BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. pernyataan tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsure penting dalam sebuah Negara yang berdasarkan hukum (rechsstaat). Hanya peradilan yang memenuhi criteria mandiri (independent), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai actor utama lembaga peradilan menjadi vital, terlebih lagi mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. 1 Seorang hakim ketika sedang mengalami suatu perkara, diharapkan dapat bertindak arif dan bijaksana, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran materiil, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum positif, melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktek, sehingga kesemuannya itu bermuara kepada putusan yang akan dijatuhkannya, karena melalui putusannya,
1
Rizky Argama, Tanggungjawab Profesi Hkaim Sebagai Aktor Utama Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, diakses dari http://www.google.com/Makalah Etika Profesi Hakim, Tanggal 10 februari 2009.
1
hakim dapat mengubah, mengalihkan atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga Negara dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukan melalui putusan pengadilan yang dapat dipertanggungjawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan Negara, diri sendiri serta “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.2 Oleh karena itu, hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya.3 Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan, difinisi hakim tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 Angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Sedangkan mengadili dalam Pasal 1 Angka 9 KUHAP diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim yang menerima, memaksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas,
2
Lilik Mulyadi, 2002, HUKUM ACARA PIDANA Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 33. 3 Lilik Mulyadi,2007, PUTUSAN HAKIM dalam HUKUM ACARA PIDANA, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, dan Permasalahannya, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.134.
2
jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dengan demikian seorang hakim sangat dituntut untuk bersikap professional dan independent, sehingga putusannya dapat memenuhi rasa keadilan. Perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak, merupakan jenis perbudakan pada era modern ini. Perdagangan perempuan dan anak, terkait erat dengan kriminalitas transnasional, dan dinyatakan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.4 Fenomena tentang perdagangan manusia ini telah ada sejak tahun 1949, yaitu sejak ditandatangani Convention On Traffic In Person, kemudian dilanjutkan dengan Convention On The Elimination Of All Form Of Discrimination Agains Women (CEDAW) dan telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Kemudian dipertegas dalam agenda Global Alliance Agains Traffic In Women (GAATW) di Thailand Tahun 1994. 5 Maraknya praktek perdagangan orang untuk tujuan seksual lebih disebabkan untuk merespon berbagai faktor eksternal penyebab munculnya pelacuran anak-anak. Pelaku perdagangan orang ini mengeksploitasi korban untuk meraup keuntungan besar-besaran dan juga menjadikan sebagai mata pencaharian. Eksploitasi6 adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang
4 5 6
Rachmad Syafaat, 2002, Dagang Manusia, Lappera Pustaka Utama, Yogyakarta, hal.1. Ibid. hal, 11. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 1 ke-7
3
meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial. Apalagi bagi para pelaku perdagangan anak perempuan, hal tersebut merupakan peluang emas untuk meraup keuntungan besar. Apalagi jika anak-anak tersebut masih perawan, keuntungan dapat mencapai jutaan rupiah.7 Pendapatan dari tindak kejahatan perdagangan orang mencapai Rp 32 triliun dalam satu tahun. Kasus perdagangan orang ini kian meningkat dari tahun ke tahun. Tindak kejahatan perdagangan orang merupakan tindak kejahatan yang menggiurkan, bahkan pelacuran, perdagangan kayu ilegal, dan narkoba pun kalah. Pendapatan dari bisnis pelacuran hanya Rp 29.7 triliun, perdagangan kayu ilegal Rp 15,4 triliun, dan narkoba Rp 12 triliun.8 Jadi, pendapatan dari perdagangan orang itu tiga kali lipat pendapatan dari tindak kejahatan narkoba. Kejahatan ini telah seringkali memangsa mereka yang “lemah” (rentan) secara sosial, ekonomi, politik, kultural, dan biologis. Banyak kalangan menyebut trafficking terhadap manusia, yang saat ini digunakan secara resmi di dalam Undangundang No. 21 Tahun 2007 (UU TPPO) dengan sebutan Perdagangan Orang, sebagai
7 8
Suyanto, 2002, Perdagangan Anak Perempuan, PSKK-UGM, Yogyakarta, hal. 10. Beta, Perdagangan Orang Capai Rp.32 Triliun per Tahun, http : // www.Bataviase.co.id, 27 Februari 2010.
4
“the form of modern day slavery”.9 Sebutan tersebut sangat tepat karena sesungguhnya ia adalah bentuk dari perbudakan manusia di zaman modern ini. Ia juga merupakan salah satu bentuk perlakuan kejam terburuk yang melanggar harkat dan martabat manusia. Untuk maksud dan tujuan tersebut, maka lahirlah UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pengertian TPPO terdapat didalam pasal 1 ke-1, yaitu Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Undang-undang ini memuat berbagai ketentuan yang dapat mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan trafficking terhadap manusia, mulai dari proses dan cara, sampai kepada tujuan, dalam semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan antarwilayah dalam negeri maupun antarnegara, dan baik oleh pelaku perorangan, kelompok orang, maupun korporasi. Kejahatan terhadap
manusia
adalah perbuatan pidana dan
harus
dipertanggungjawabkan. Menurut Roeslan Saleh dan Moeljatno perbuatan pidana10 adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata dalam pergaulan masyarakat,
9
Damianus Bilo dan Penasehat Teknis Hukum, Penuntutan Tindak Pidana Perdagangan Manusia, Pusdiklat, Jakarta, hal. 1. 10 Sianturi, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AhaemPetehaem, Jakarta, Hal.121.
5
mempunyai unsur formil (perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut), dan unsur materiil (sifat melawan hukum). Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Disini berlaku Asas Legalitas11 yang tertuang didalam pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan Undang-undang pidana yang ada sebelum perbuatan dilakukan. Berbeda dengan asas hukum lainnya, asas legalitas ini tertuang secara eksplisit dalam undang-undang. Tujuan hukum pidana pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan (individu) atau hak-hak asasi manusia dan melindungi kepentingankepentingan masyarakat dan Negara dengan perimbangan yang serasi dari kejahatan/tindakan tercela di satu pihak dan dari tindakan penguasa yang sewenangwenang. Dasar untuk adanya pertanggungjawaban pidana adalah “kesalahan”. Prinsip/asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah “tiada pidana tanpa kesalahan”. Salah satu syarat untuk adanya pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah adanya “kemampuan bertanggungjawaban”. Artinya seseorang barulah dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana manakala orang itu dianggap
11
Eddy Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, hal.18.
6
“mampu bertanggungjawab. Menurut Simons seseorang dianggap “mampu” bertanggungjawab, apabila jiwanya sehat yaitu ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatanya bertentangan dengan hukum dan ia dapat menentukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut. Sosialisasi UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO itu, menegaskan bahwa UU 21Tahun 2007 merupakan salah satu upaya yang penting untuk memberantas tindak kejahatan perdagangan orang itu. KUHP sendiri sudah memiliki pasal-pasal terkait perdagangan orang. Tapi, KUHP lebih bersifat umum, sedangkan UU TPPO bersifat khusus, karena UU TPPO itu menjatuhkan sanksi minimal tiga tahun dan denda Rp 120 juta. Bedanya, KUHP tidak mencantumkan sanksi minimal, sehingga sanksi yang dijatuhkan bisa sangat ringan. Apalagi UU TPPO menyebut hukuman dan denda, sedangkan KUHP menyebut hukuman atau denda." Bahkan, UU TPPO mempunyai kelebihan dengan dibolehkannya cara penyadapan, pemblokiran rekening, pengadilan secara in absentia, perlindungan saksi, dan kelebihan lainnya. 12 Untuk menjerat pelaku TPPO maka jaksa menggunakan UU No.21 Tahun 2007, tetapi tidak menutup kemungkinan jaksa juga menggunakan pasal didalam KUHP misalnnya, pasal 506 KUHP 13 yang berbunyi barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikan sebagai pencarian,
12 13
Beta, loc cit. Moeljatno, 2007, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Akasara, Jakarta, hal.184.
7
diancam dengan kurungan paling lama 1 tahun. Untuk menjerat pelaku dengan UU TPPO maka harus memenuhi unsur-unsur dalam pasal 2 ayat (1) UU TPPO yaitu harus ada unsur setiap orang; perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat; memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain; tujuan eksploitasi. Jika salah satu unsur tidak terpenuhi maka pelaku hanya bisa dijerat dengan pasal yang ada didalam KUHP yang hukumanya lebih ringan dan tidak sesuai dengan kejahatan yang sudah diperbuatnya. Berbicara mengenai tindak pidana perdagangan orang maka kita tidak akan bisa lepas dari proses beracara yaitu proses dimana seseorang dari berstatus tersangka, menjadi terdakwa kemudian menjadi terpidana yang dibuktikan melalui proses hukum dan proses di pengadilan. Pengadilan adalah salah satu unsur penting dalam sebuah Negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independent), netral (tidak memihak), dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Di dalam sistem peradilan, hakim mempunyai peran yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara yang dihadapinya. Oleh karena itu seorang hakim ketika sedang menangani suatu perkara, diharapkan dapat bertindak arif dan bijaksana, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran materiil, nbersifat aktif dan dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum positif, melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan
8
praktek,
sehingga
kesemuanya
itu
bermuara
kepada
putusan
yang
akan
dijatuhkannya, karena melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga Negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yang dapat dipertanggungjawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan Negara, diri sendiri serta “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”14. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna mennegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 Angka 8 menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Sedangkan mengadili dalam Pasal 1 Angka 9 KUHAP diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan pemaparan di atas, maka penyusun berharap agar hakim dapat membuktikan setiap tindak pidana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum baik
14
Lilik Mulyadi. 2002.loc cit.
9
secara formil, materiil, dan secara sosiologis supaya terpenuhinya rasa keadilan. Secara formil apakah dalam Putusan Hakim Nomor: 155/Pid.B/2009/PN.Malang telah memenuhi hukum acara secara materiil, akan dilihat apakah hakim di dalam membuktikan tindak pidana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum telah memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam pasal 2 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2007, pasal 12 UU Nomor 21 Tahun 2007vtentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan pasal 506 KUHP.
Karena itulah yang mendorong dan memberikan motivasi kepada
penulis untuk melakukan penelitian untuk penulisan skripsi yang berjudul: ANALISIS YURIDIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR:
155/Pid.B/2009/PN.Malang
TENTANG
TINDAK
PIDANA
PERDAGANGAN ORANG. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka perlu dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana dasar pertimbangan yuridis formil dalam putusan hakim Nomor: 155/Pid.B/2009/PN.Malang? 2. Bagaimana dasar pertimbangan yuridis materiil dalam putusan hakim Nomor: 155/Pid.B/2009/PN.Malang? 3. Bagaimana dasar pertimbangan sosiologis dalam putusan hakim Nomor: 155/Pid.B/2009/PN.Malang?
10
C. Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan memahami dasar pertimbangan yuridis formil dalam putusan hakim Nomor: 155/Pid.B/2009/PN.Malang. 2. Untuk mengetahui dan memahami dasar pertimbangan yuridis materiil dalam putusan hakim Nomor: 155/Pid.B/2009/PN.Malang. 3. Untuk mengetahui dan memahami dasar pertimbangan sosiologis dalam putusan hakim Nomor: 155/Pid.B/2009/PN.Malang. D. Manfaat Penelitian Dengan adanya penyusunan dan penulisan skripsi ini maka diharapkan dapat berguna dan dapat memberikan manfaat yang baik. Dalam hal ini penulis memberikan penjelasan sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan sumbangan pemikiran berupa khasanah keilmuan dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana. b. Menambah referensi hukum yang dapat digunakan sebagai acuan bagi penelitian dalam bidang yang relevan dengan penelitian di masa mendatang dalam lingkup yang lebih detail, jelas, dan mendalam lagi. c. Dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam praktik hukum serta pengaplikasian peraturan dalam proses hukum pada kasus yang
11
diteliti, yakni mengenai putusan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang. 2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pemikiran mengenai praktek hukum yang perlu diaplikasikan dalam permasalahan yang berhubungan dengan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. b. Memberikan jawaban atas masalah yang diteliti. c. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penyusun dalam menerapkan ilmu yang diperoleh khususnya hukum pidana. E. Metode Penulisan Metode penelitian berfungsi sebagai alat atau cara untuk pedoman melakukan penelitian, sedangkan penelitian adalah suatu cara yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk memecahkan suatu masalah yang bersifat ilmiah. Metode ilmiah ini adalah segala cara dalam rangka ilmu tersebut , untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan sehingga hasil pembahasanya dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis yang bersifat ilmiah. 1. Metode Pendekatan Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan yang diangkat dalam penelitian ini, maka metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini
12
menggunakan pendekatan yuridis normatif. 15 Yaitu hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis didalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaedah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas. penelitian yang dimaksudkan untuk
mencari,
meneliti dan
mengkaji
secara
mendalam
dasar
pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 155/Pid.B/2009/PN.Malang dan aturan mengenai tindak pidana perdagangan orang. 2. Jenis Bahan Hukum a) Bahan Hukum Primer Adalah bahan hukum yang diperoleh dari hukum positif atau bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, bahan hukum primer yang digunakan adalah Putusan Hakim Pengadilan Negeri Malang Nomor: 155/Pid.B/2009/PN.Malang Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, KUHAP, KUHP, Undang-Undang No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, UndangUndang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. b) Bahan Hukum Sekunder Adalah bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dengan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan
15
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, 2007, Pedoman Penulisan Hukum, Malang, hal. 12.
13
hukum primer, dalam hal ini bahan yang digunakan penulis adalah buku-buku, majalah, internet, artikel, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan topik bahasan yaitu tentang kekuasaan kehakiman dan juga tentang perdagangan orang. c) Bahan Hukum Tersier Adalah bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier dalam penelitian ini adalah kamus, ensiklopedi, dan penelitian terdahulu. 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum a) Dokumentasi Pengumpulan data dengan menggunakan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan objek yang diteliti antara lain, Surat Tuntutan No.Reg.Perk: PDM-123/Malang/Ep.2/02/2009, Surat Dakwaan No.Reg.Perk: PDM-123/Malang/Ep.2/02/2009, Surat
Putusan
Nomor : 155/Pid.B/2009/PN.Malang, Guna melengkapi data-data yang diperlukan dalam penelitian ini. b) Kepustakaan Untuk mendapatkan data penulis melakukan dengan jalan studi kepustakaan, yaitu data yang diperoleh dari membaca dan mempelajari literatur buku-buku yang berkaitan dengan putusan hakim, pertimbangan hakim, pemberantasan tindak pidana 14
perdagangan orang, misalanya buku mengenai perdagangan manusia, kekuasaan kehakiman, dan lain-lain. Menurut Soerjono Soekanto, studi kepustakaan adalah studi dokumen yang merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan atas data tertulis. Dalam hal ini, peneliti membaca, mempelajari, dan mengkaji dari buku-buku, dokumen, dan bahan tulisan yang berhubungan dengan penelitian yang akan diadakan. Buku-buku disini yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana perdagangan
orang,
kekuasaan
kehakiman;
dokumen
bisa
bersumber dari tulisan, bukti-bukti surat, foto, rekaman video yang berhubungan dengan perdagangan orang dan putusan hakim; bahan tulisan lainya bisa bersumber dari majalah, surat kabar, internet, yang masih ada kaitannya dengan pertimbangan hakim, kekuasaan kehakiman, pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. 4. Teknik Analisa Bahan Hukum Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisa isi (content analysis)16 yaitu menganalisa secara mendalam tentang isi pertimbangan-pertimbangan hakim pada Putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor: 155/Pid.B/2009/PN.Malang.
16
Ibid.
15
Antara lain: aspek kepastian hukum yaitu pelaksanaan penegakan hukum oleh hakim, apakah telah memenuhi unsur formil dan unsur materiil dalam tindak pidana perdagangan orang. Yang dimaksud unsur formil disini adalah proses beracara pada saat persidangan, apakah sesuai dengan hukum pasal 143 ayat (2) dan (3), pasal 183, pasal 184, pasal 195, pasal 197 KUHAP, sedangkan secara materiilnya penulis ingin mengetahui secara mendalam mengenai latar belakang pertimbangan hakim dalam menggunakan pasal 2 ayat (1), pasal 12 UU No.21 Tahun 2007 dan Pasal 506 KUHP. Pertimbangan Sosiologis yaitu apa saja yang mendorong terdakwa melakukan suatu tindak pidana yang berasal dari diri sendiri atau faktor dari lingkungan, sehingga hakim bisa mempertimbangkan sebagai acuan untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya dan juga putusan tersebut
dapat
bermanfaat
bagi
putusan-putusan
berikutnya
(yurisprudensi). F. Sistematika Penulisan Dalam penulisan hasil dari penelitian ini, peneliti membagi dalam IV BAB, dengan harapan mempunyai sistematika yang dapat membantu untuk mengetahui dan memahami. Sehingga mampu mempunyai nilai lebih atas kesatuan ide tersebut. Adapun sistematika penulisan yang dimaksud adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN: Bab ini meliputi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum. 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA: Dalam bab ini akan diuraikan tentang tinjauan umum tentang perdagangan orang, putusan hakim, kekuasaan kehakiman, pembuktian, pemidanaan. Tinjauan umum tentang perdagangan manusia yang meliputi pengertian perdagangan manusia, unsur-unsur perdagangan manusia, faktor-faktor penyebab perdagangan manusia, dan modus operandi perdagangan manusia. BAB III PEMBAHASAN: Berupa hasil penelitian yang akan menjawab perumusan masalah yakni: pertama: Bagaimana dasar pertimbangan yuridis formil dalam putusan hakim Nomor: 155/Pid.B/2009/PN.Malang, kedua: Bagaimana dasar pertimbangan yuridis materiil dalam putusan hakim Nomor: 155/Pid.B/2009/PN.Malang, ketiga: Bagaimana dasar pertimbangan sosiologis dalam putusan hakim Nomor: 155/Pid.B/2009/PN.Malang. BAB IV PENUTUP: Dalam bab ini diuraikan mengenai kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penulisan ini, serta sebuah saran yang peneliti sumbangkan berkaitan dengan kesimpulan yang ditarik dari permasalahan yang telah dijabarkan dalam pembahasan dengan harapan mampu menjadi rekomendasi terhadap pihak-pihak yang berkepentingan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
17