1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah : Menurut Pembukaan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 tersirat suatu makna, bahwa Negara Republik Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah Negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat) dalam arti negara pengurus (Verzogingsstaat)1. Hal ini tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUDNRI 1945) Alinea ke 4 yang menyatakan sebagai berikut : ‘Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Indonesia….. ” Selain dari isi alinea tersebut, Indonesia merupakan Negara hukum juga tercantum dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sejalan dengan ketentuan tersebut selain membentuk kekuasaan kehakiman yang tertulis dalam Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang selanjutnya disebut UUD NRI 1945 dimana kekuasaan
kehakiman
merupakan
kekuasaan
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia dan menjaga pertahanan serta keamanan Negara. UUDNRI 1945 juga melahirkan lembaga – lembaga sebagai alat Negara 1
Maria Farida Indrati Soeprapto, ilmu Perundang-undangan Materi, Muatan, Daerah Istimewa Yogyakarta:PT Kanisius, 2007, hal 1.
- Jenis, Fungsi, dan
2
yang bertugas untuk menegakkan hukum. Dari ketentuan Pasal 30 Ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan
“ Usaha pertahanan dan keamanan Negara
dilaksanakan melalui system pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung” serta Pasal 30 Ayat (4) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Kepolisian Negara Republik sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakan hukum. Demi mewujudkan penegakan hukum yang adil, dan beradab berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945, maka diundangkanlah Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut dengan UU No. 2 Tahun 2002 oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia, hal ini secara jelas terdapat dalam dasar pemikiran Pembentukan UU No. 2 Tahun 2002 yang tertuang dalam konsideran menimbang huruf a dan b, yaitu a. Bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab bedasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Bahwa Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat Negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggu hak asasi manusia. Setelah diundangkannya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia yg selanjutnya disebut POLRI diberikan wewenang-wewenang untuk mengakkan hukum , hal ini
3
mengacu pada ketentuan Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI. Dalam melaksakan tugas pokoknya selaku penegak hukum, POLRI diberikan wewenang untuk menyelidiki dan menyidik setiap tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan Pasal 14 Huruf g UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI contohnya Tindak Pidana Korupsi. Suatu fenomena sosial yang dinamakan korupsi merupakan realitas perilaku manusia dalam interaksi social yang dianggap menyimpang2. Oleh karena itu perilaku tersebut dengan segala bentuk dicela dalam masyarakat. Pencelaan
masyarakat
terhadap
korupsi
menurut
konsepsi
yuridis
dimanifestasikan dalam rumusan hukumsebagai suatu bentuk tindak pidana3. Dewasa ini di Indonesia tindak pidana korupsi dirasa sangat merugikan negara khususnya di dalam perekonomian negara yg berdampak pada terhambatnya pembangunan nasional hal ini tercantum dalam konsideran menimbang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yg selanjutnya disebut dengan UU No. 31 Tahun 1999 huruf a, dan b yaitu a. Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan Negara atau pereoknomian Negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi 2
Elwi Danil, Korupsi, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Ed. 1, Cet. 3, Jakarta,PT. Rajagrafindo Persada, hal. 1 3 Ibid.
4
Hal itulah yang menjadi dasar pemikiran pembentukan UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan melalui UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi ini adalah sebuah bentuk usaha negara yang benar – benar ingin memerangi tindak pidana korupsi. Namun seiring bekembangnya sistem ketatanegaraan dan semakin banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia, maka dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (kemudian disebut Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut UU No. 30 Tahun 2002 yang memberi tugas kepada KPK untuk menangani kasus – kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disingkat KPK dikarenakan pemberantasan tindak pidana korupsi sebelum diundangkannya UU No. 30 Tahun 2002 belum dapat dilaksanakan secara optimal. Hal ini secara jelas terdapat dalam dasar pemikiran pembentukan UU No. 30 Tahun 2002 yang tertuang dalam konsideran menimbang huruf a dan b, yaitu: a. Bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara professional, intensif dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan Negara, perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional; b. Bahwa lembaga pemerintahan yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;
5
Dalam konsideran menimbang huruf a dan b sangat jelas diuraikan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh lembaga kepolisian atau oleh lembaga kejaksaan belum secara efektif sehingga pemerintah mengambil jalan untuk membentuk suatu lembaga yang bersifat independen dalam melaksanakan tugasnya, yakni dengan membentuk KPK Hubungan antara KPK dengan POLRI
adalah merupakan hubungan
fungsional, yakni dalam melakukan fungsinya sebagai lembaga Negara yang menegakkan hukum, keadilan, dan mengayomi serta memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan adanya Lembaga KPK yang menjadi mitra bagi POLRI merupakan suatu sistem yang ideal bagi penegakkan hukum dan keadilan di Indonesia. Kehadiran KPK
memberikan semangat baru bagi penegakkan
hukum dan keadilan di Indonesia khususnya terhadap tindak pidana korupsi. Hadirnya KPK juga mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah dalam hal keseriusannya memberantas tindak pidana korupsi dimana selama ini sebelum adanya KPK pemberantasan tindak pidana korupsi belumlah efektif. Mengenai hubungan kewenangan dan hubungan fungsional antara KPK dengan POLRI tercantum jelas pada Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi juga berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Sedangkan bagi kepolisian, ketentuan mengenai hubungan fungsional dan kerja sama dengan KPK tertuang dengan jelas dalam ketentuan
6
Pasal 42 Ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI bahwa hubungan dan kerja sama POLRI dengan badan, lembaga, serta instansi di dalam dan luar negeri didasarkan atas sendi-sendi hubungan fungsional, saling menghormati, saling membantu, mengutamakan kepentingan umum, serta memperhatikan hierarki, sedangkan pada Pasal 42 Ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI disebutkan bahwa hubungan dan kerja sama di dalam negeri dilakukan terutama dengan unsur-unsur pemerintah daerah, penegak hukum, badan lembaga, instansi lain, serta masyarakat dengan mengembangkan asas partisipasi dan subsidaritas. Memang dalam ketentuan Pasal 42 Ayat (1) dan (2) UU No. 2 Tahun 2002 tentang
POLRI
tidak
ada
secara
jelas
menyebutkan
tentang
Komisi
Pemberantasan Korupsi, dan hanya menyebutkan mengenai badan, lembaga instansi lain, serta masyarakat. Akan tetapi kembali kita melihat kedudukan dan fungsi dari KPK yang merupakan lembaga/instansi yang berkedudukan di dalam negeri dan sebagai lembaga yang mengemban tugas menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia. Jadi atas dasar itu Komisi Pemberantasan Korupsi sudah memenuhi unsur yang terdapat dalam ketentuan Pasal 42 Ayat (1) dan (2) UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI sebagai lembaga yang berkedudukan di dalam negeri serta sebagai lembaga yang menegakkan hukum dan keadilan. Hubungan fungsional antara KPK dan POLRI bersifat timbal balik, hal ini dengan adanya ketentuan yang menjelaskan kedua lembaga Negara tersebut dapat melakukan kerja sama dengan lembaga Negara lain yang berfungsi menegakkan hukum, keadilan, mengayomi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk Komisi Pemberantasan Korupsi hal ini jelas diatur dalam ketentuan Pasal 6
7
Huruf a dan b UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yakni Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi dan supervisi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau dengan Kejaksaan Negara Republik Indonesia. Sedangkan Ketentuan mengenai lembaga POLRI dapat melakukan kerjasama dengan lembaga atau instansi lain yang berfungsi memberantas korupsi yaitu terdapat dalam ketentuan Pasal 42 Ayat (1) dan (2) UU No.2 tahun 2002 tentang POLRI yang seara rinci di tegaskan bahwa kepolisian dalam menjalankan tugasnya dapat melakukan hubungan dan kerja sama dengan badan, lembaga serta instansi di dalam negeri dan di luar negeri yang berfungsi memberantas tindak pidana korupsi. Dengan adanya pengaturan mengenai hubungan dalam melakukan kerjasama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi antara KPK dengan POLRI secara teori memberikan semangat baru bagi penegakkan hukum dan keadilan di Indonesia, khususnya dalam memberantas tindak pidana korupsi. Idealnya jika ada 2 institusi yang berperan sebagai instrument Negara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dengan kewenangan yang dilandasi hubungan fungsional pasti pegakkan hukum dan keadilannya semakin efektif dan efisien. Namun keadaan dewasa ini KPK dan POLRI menjadi sorotan, hal ini dikarenakan telah terjadinya gesekan-gesekan diantara kedua institusi penegak hukum ini, perseteruan antara KPK dengan POLRI bahkan sudah terjadi beberapa kali, dimulai dari tindak pidana korupsi hingga sengketa kewenangan dari kedua institusi, pada perseteruan jilid 1 kasus “cicak vs buaya” berawal dari tindakan
8
penyidikan (penyadapan) KPK terhadap Kabareskrim POLRI saat tahun 2008, Komisaris Jenderal Susno Duadji, yang diduga menerima gratifikasi dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna, karena berhasil memaksa Bank Century mencairkan
dana
nasabah
itu
sebelum
bank
itu
ditutup.4Dalam
wawancara Tempo dengan Susno Duadji yang dimuat di Majalah Tempo edisi 612 Juli 2009, Susno merendahkan KPK yang dinilainya bodoh karena berani dengan Polri, khususnya dengan Kabareskrim (dia sendiri). Padahal, menurutnya dia tidak bersalah. Dari sinilah muncul istilah Susno, “cicak” melawan “buaya,” yang kemudian sangat populer itu. “Kalau orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini (Kabareskrim) memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa.” Perseteruan cicak versus buaya belum berhenti sampai disitu, dilanjutkan dengan cicak versus buaya jilid dua yang kembali melibatkan kedua institusi penegak hukum. Pada Juli 2012, perseteruan KPK vs Polri kembali terbuka, setelah KPK menetapkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka kasus korupsi di proyek simulator ujian SIM.5. Padahal sebelumnya, Mabes Polri telah menyatakan, setelah melakukan investigasi penyidikan internal, tak ditemukan unsur korupsi di proyek tersebut, yang 4
Reza Gunanda, 2014, Pertikaian KPK versus Polri Berlanjut, Pos Kupang http://kupang.tribunnews.com/2015/01/24/pertikaian-kpk-versus-polri-berlanjut?page=2 diakses tanggal 9 Februari 2015 5 Icha Rastika, 2012, KPK Resmi Tetapkan Djoko Susilo Tersangka, KOMPAS.com, http://nasional.kompas.com/read/2012/07/31/08321417/KPK.Resmi.Tetapkan.Djoko.Susilo.Tersa ngka diakses tanggal 9 Februari 2015
9
melibatkan Djoko Susilo. Sampai yang terhangat sekarang kasus Calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu Komisaris Jendral Polisi Budi Gunawan yg dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di awal tahun 2015 karena terindikasi kasus tindak pidana korupsi6 Dari perseteruan yang terus menerus terjadi antara lembaga KPK dan POLRI maka menarik untuk diteliti. Apakah memang ada konflik ketentuan hukum yang melahirkan sengketa kewenangan antara lembaga KPK dan POLRI ? Hal ini lah yang melatar belakangi untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Sengketa Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Kasus Korupsi” 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
masalah
tersebut
dapat
dirumuskan
permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani kasus tindak pidana korupsi ? 2
Bagaimana penyelesaian jika terjadi sengketa kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia ?
6
Amberanie Nadia Kemala Movanita, 2015, KPK Tetapkan Calon Kapolri Budi Gunawan sebagai Tersangka, KOMPAS.com, http://nasional.kompas.com/read/2015/01/13/14354311/KPK.Tetapkan.Calon.Kapolri.Budi.Gunaw an.sebagai.Tersangka diakses tanggal 9 Februari 2015
10
1.3
Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup rumusan masalah yang pertama adalah menelusuri
peraturan perundang-undangan yang membahas wewenang KPK dan POLRI dalam menangani kasus korupsi menurut UU. No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI. Mengingat
banyaknya
pertentangan
kewenangan
dari
Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka analisis akan dilakukan terhadap kasus Korupsi Simulator SIM Tahun 2012. 1.4
Orisinalitas Penelitian Dalam rangka menumbuhkan anti plagiat didalam dunia pendidikan di
Indonesia, maka penulis menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan beberapa jenis judul peneletian atau desertasi terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini
peneliti
menampilkan 2 skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan sengketa kewenangan antar Lembaga-LembagaNegara . Tabel 1 Daftar penelitian sejenis No. Judul Skripsi
Penulis
Rumusan Masalah
1
M. Nasrul Hamzah ( Program Studi Ilmu Hukum, Program Sarjana, Universitas Hasanudin)Tahun 2012
1.Bagaimana pola hubungan kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pemberantasan Kasus Korupsi? 2.Sejauh mana dasar pegaturan penyelesaian sengketa kewenangan dalam hal hubungan kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia?
Hubungan Kewenangan Antara Komisi Pemberantasan Korupsi Dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Pemberantasan
11
Korupsi Penyelesaian Sengketa Atas Kewenangan Penyidikan KPK Dan Polisi dalam menangani kasus korupsi
2
Gidion S. H Tatuil ( Program Studi Ilmu Hukum, Program Sarjama Universitas Sam Ratulangi) Tahun 2012
1.Bagaimana Penyidikan dari pihak KPK dan Polri dalam menangani kasus korupsi? 2. Bagaimana terjadinya sengketa serta upaya penyelesaian kewenangan penyidikan antara KPK dan Polri?
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sejenis diatas ialah pada penelitian ini lebih khusus menganalisa tentang sengketa kewenangan antara KPK dan POLRI pada kasus simulator SIM tahun 2012. 1.5
Tujuan Penelitian
1.5.1
Tujuan Umum Sebagai sumbangan buah pikiran sebagai mahasiswa di bidang ilmu
hukum tata negara khususnya dalam penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara dan pengamalan dari asas tri dharma perguruan tinggi, selain itu untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana hukum. 1.5.2
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani kasus tindak pidana korupsi 2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
12
1.6
Manfaat Penelitian
1.6.1
Manfaat Teoritis Secara teoritis kajian ini diharapkan dapat berguna sebagai upaya
pengembangan ilmu pengetahuan Hukum Tata Negara khususnya dalam bentuk sumbangan pikiran tentang penyelesaian sengketa kewenangan antar dua institusi hukum yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia. 1.6.2
Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini memberikan gambaran penyelesaian sengketa
kewenangan lembaga Negara mengacu pada peraturan perundang-undangan. 1.7
Landasan Teoritis
1.7.1. Prinsip Negara Hukum Dalam kepustakaan
Indonesia,
istilah
negara hukum merupakan
terjemahan langsung dari rechsstaat7. Istilah rechsstaat mulai popular di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang itu sudah ada sejak lama8. Istilah the rule of law mulai populer dengan terbitnya buku dari Albert Van Dicey tahun 1889 dengan judul Introduction to the Study of Law of The Constitution9. Dari latar belakang dan system hukum yang menopangnya, terdapat perbedaan antara konsep rechsstaat dan konsep the rule of law, meskipun berbeda, pada dasarnya kedua konsep tersebut mengarahkan dirinya pada satu sasaran utama, yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap hak – hak asasi manusia. Meskipun dengan 7
Padmo Wahjono, 1977, Ilmu Negara Suatu Sistematik dan Penjelasan 14 Teori Ilmu Negara dari Jellinek, Melati Study Group, Jakarta, hal 30. 8 Ni’Matul Huda, 2013, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, hal 81 9 ibid.
13
sasaran yang sama, keduanya berjalan dengan system sendiri yaitu sistem hukumnya masing – masing10. Konsep rechsstaat lahir dari perjuangan menentang absolutism sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep the rule of law berkembang secara evolusioner11. Konsep rechsstaat bertumpu atas sistem hukum eropa continental yang disebut civil law, sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law. Karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan karakteristik civil law adalah judicial12. Adapun ciri – ciri rechsstaat adalah13 1. Adanya Undang-Undang Dasar atau Konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat. 2. Adanya pembagian kekuasaan negara 3. Diakui dan dilindungi hak – hak kebebasan rakyat. A. V. Dicey mengetengahkan tiga arti dari the rule of law sebagai berikut14: 1. Supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang – wenangan, prerogative atau discretionary authority yang luas dari pemerintah 2. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang 10
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, hal 72 11 ibid. 12 ibid. hal. 80 13 Huda Ni’Matul, Op.cit, hal. 81 14 Huda Ni’ Matul, Loc.cit
14
dilaksanakan oleh ordinary court: ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum; tidak ada peradilan administrasi negara. 3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum kosntitusi bukanlah sumber, tetapi merupakan konsekuensi dari hak – hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan. Menurut Wirjono Prodjodikoro, negara hukum berarti suatu negara yang di dalam wilayahnya adalah : 1. Semua alat – alat perlengkapan dari negara, khususnya alat – alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing – masing, tidak boleh sewenang – wenang,
melainkan harus
memperhatikan peraturan – peraturan hukum yang berlaku. 2. Semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan – peraturan hukum yang berlaku. Indonesia merupakan negara hukum, Pasal 1 ayat (3) UUDNRI 1945 menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia negara hukum”. Negara hukum dimaksud adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan kebenaran
dan
keadilan
dan
tidak
ada
kekuasaan
yang
tidak
dipertanggungjawabkan15.
15
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2010, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR RI, Jakarta, hal, 46
15
Dengan landasan prinsip negara hukum, dalam kasus sengketa kewenangan ini yang akan diteliti adalah kepastian hukumnya, karena Indonesia merupakan negara hukum jadi segala tindak – tanduk seluruh pemangku kekuasaan dan warga negaranya harus didasari oleh peraturan perundang – undangan. 1.7.2 Asas-asas Pemerintahan yang baik 1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan
peraturan
perundang-undangan,
kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara. 2.
Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, yaitu menjadi landasan keteraturan,
keserasian,
keseimbangan
dalam
pengabdian
penyelenggaraan negara. 3.
Kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan kolektif.
4. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperolah informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. 5. Asas
Proporsoionalitas,
yaitu
asas
yang
mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
16
6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 7. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negera harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 1.7.3 Teori Kewenangan. Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum16 Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah: Bevoegheid wet kan worden omscrevenals
het
geheel
van
bestuurechttelijke
bevoegdheden
door
publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer. (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik)17 Dari pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, penulis berkesimpulan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari 16
Indroharto, 1994, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung hal. 65 17 Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung, hal.4
17
kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu. Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat.Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat). Sengketa
kewenangan
Lembaga
Negara
yang
memperoleh
Kewenangannya dari UUDNRI 1945 adalah sengketa yang timbul dalam bidang hukum tata Negara sebagai akibat suatu lembaga Negara menjalankan kewenangan yang diberikan UUDNRI 1945 padanya, telah merugikan, menghilangkan atau mengganggu kewenangan lembaga Negara lainnya sengketa (dispute) itu dapat terjadi karena digunakannya kewenangan lembaga negara yang diperolehnya dari UUDNRI 1945, dan kemudian dengan penggunaan kewenangan tersebut terjadi kerugian kewenangan konstitusional lembaga negara lain.
18
1.8
Metode Penelitian Untuk memperoleh informasi serta penjelasan mengenai segala sesuatu
yang berkaitan dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian atau metode penelitian, hal ini dikarenakan dengan menggunakan metode penelitian yang benar akan diperoleh validitas data serta dapat mempermudah dalam melakukan penelitian terhadap suatu masalah. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1.8.1
Jenis Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini metode yang digunakan adalah metode
penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif juga disebut penelitian hukum doktrin, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut dengan penelitian hukum doktrin, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan – peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum lain. Sebagai penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder18. 1.8.2
Jenis Pendekatan Penelitian Hukum Normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis
pendekatan yakni19 : (1)
Pendekatan Kasus (The Case Approach)
(2)
Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach)
(3)
Pendekatan Fakta (The Fact Approach)
(4)
Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach)
18
Surjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, hal 13 19 ibid.
19
(5)
Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach)
(6)
Pendekatan Sejarah (Historical Approach)
(7)
Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach) Dalam penelitian ini digunakan pendekatan Perundang-undangan, Analisa
Konsep Hukum (Analitical & conceptual approach).Pendekatan Perundangundangan yakni mengkaji semua Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan yang terkait dengan masalah yang diteliti. Pendekatan konsep hukum menguraikan masalah dengan berpijak pada pola pikir dari konsep-konsep hukum formal dan Norma-Norma hukum yang berlaku, sedangkan
pendekatan. Pendekatan kasus ( The Case
Approach) dilakukan dalam penelitian ini dmana saya selaku penulis ingin meneliti satu dari banyak kasus sengketa kewenangan lembaga KPK dan POLRI yaitu dalam menangani kasus korupsi Simulator SIM tahun 2012. 1.8.3
Sumber Bahan Hukum Oleh karena penulisan ini merupakan penelitian yuridis Normatif, maka
untuk menunjang pembahasan masalah tersebut di atas maka sumber bahan hukum yang dipergunakan terdiri dari sumber bahan hukum primer, sekunder dan tersier. 1. Bahan Hukum Primer, yakni Bahan yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum maupun mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan yang terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan
20
Nepotisme, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Negara Indonesia dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.20 2. Bahan Hukum Sekunder, yakni Bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa buku, majalah, karya ilmiah, maupun artikel-artikel lainnya yang terkait dengan permasalahan.21 1.8.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Untuk memperoleh, mengumpulkan serta mengolah bahan dalam
penyusunan skripsi ini dilakukan dengan studi dokumen atau
telaah bahan
pustaka serta menggunakan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan masalah yang akan dikaji. Tujuan dan kegunaan studi dokumen dan kepustakaan pada dasarnya adalah menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian.22 1.8.5
Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Ada beberapa teknik yang digunakan dalam pengolahan dan analisis bahan
Hukum yakni : 1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum
20
Ibid., hal 12 Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 65 22 Ronny Hanitjo Soemitro, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, cet- ke 5, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 12 21
21
2. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder. 3. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.