BAB II KONSEP MASYARAKAT MADANI
Pada bab II ini penulis akan membahas 2 hal pokok dari konsep masyarakat madani yaitu: 1. Sejarah perkembangan masyarakat madani, dengan menelusuri pemikiran dari perspektif Islam. 2. Pemaknaan, Karakteristik, Ciri Masyarakat Madani dan konsep menuju masyarakat madani Indonesia.
1. Sejarah Perkembangan Masyarakat Madani Terminologi masyarakat madani pertama kali dipopulerkan oleh Muhammad an-Naquib al-Atas yaitu mujtama’ madani yang secara etimologi mempunyai dua arti: pertama, masyarakat kota yang berarti kota, karena madani adalah derivat dari kata bahasa Arab “Madinah” yang berarti kota; kedua, masyarakat yang berperadaban karena madani adalah juga merupakan derivat dari bahasa Arab Tamaddun atau madaniah yang berarti peradaban. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan civility atau civilization, maka dari makna ini masyarakat madani sama dengan civil society yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban. Apakah gagasan masyarakat madani merupakan terjemahan dari civil society?, hal ini masih dipertanyakan. Apakah sama istilah masyarakat madani dengan civil society?. Berbagai pemikiran yang dilontarkan akhir-akhir ini seputar civil society di Indonesia telah diterjemahkan menjadi “masyarakat sipil” atau “masyarakat madani”. Sebenarnya istilah ini merupakan imbas dari perkembangan pemikiran yang terjadi di dunia barat, khususnya di negaranegara industri maju di Eropa Barat dan Amerika dalam perhatian mereka
11
.
12
terhadap perkembangan ekonomi, politik, sosial budaya, yang tentu sangat berbeda dengan sosial budaya masyarakat dan bangsa Indonesia.1 Untuk menjawab pertanyaan di atas, berikut akan dibahas sejarah perkembangan msyarakat madani atau civil society dengan menelusuri pemikiran dari perspektif Islam, pemaknaan masyarakat madani, karakteristik, konsep masyarakat madani Indonesia dan perubahan menuju masyarakat madani Indonesia: tantangan, peluang, dan terobosan sehingga pada bab III pembahasan difokuskan pada pembaharuan pendidikan Islam untuk masyarakat madani Indonesia. 1.1. Akar Sejarah Masyarakat Sipil atau Civil Society Jika dilacak berdasarkan perkembangan social legal atau sosiocultural konsepsi masyarakat sipil ini sebenarnya bermula dari tradisi masyarakat barat. Masyarakat madani yang merupakan terjemahan dari sicil society dalam diskursus ilmu sosial dalam konsep dasarnya sebenarnya tdak ada kaitannya dengan pemerintahan militer seperti yang banyak diperbincangkan di Indonesia. konsep ini sebenarnya merupakan lawan dari konsep masyarakat negara atau masyarakat politik (state society, political society), dan konsep ini mula-mula dimunculkan di Eropa sebagai produk sejarah masyarakat barat, karena “civil society” tidak lahir dari suasana vacum. Sebaliknya, civil society merupakan produk dari suatu masyarakat teretentu yaitu sosial budaya dan politik di Barat.2 Konsep ini pertama kali lahir dapat dilacak akar katanya sejak zaman Yunani kuno. Oleh karena itu, gagasan masyarakat madani dalam pengertian civil society sebenarnya bukanlah sebuah wacana baru. Ernest Gellner, yang dikutip Adi Suryadi Culla, menyataan bahwa Gellner
1
Hujair A.H. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Safira Insani Press, 2003), hlm. 20. 2 Ahmad Gaus AFA, Masyarakat Madani Warisan Nabi Muhammad, dalam Nur Cholis Madjid, Kehampaan Soiritual Masyarakat Madani, (Jakarta : Media Cita, 2004), hlm. 316.
.
13
menelusuri akar gagasan ini ke masa lampau melalui sejarah peradaban Barat (Eropa dan Amerika) dan yang menjadi perhatian adalah ketika konsep ini dipopulerkan secara gamblang oleh seorang pemikir Skotlandia, Adam Ferguson (1723 – 1816), dalam karya klasiknya “an Essay on History of Civil society” (1767) dan kemudian konsep civil society dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh dunia barat modern, diantaranya John Lock (1632-1704) dan JJ Rouseau (1712 – 1778). Istilah civil society diungkapkan dalam pemikirannya mengenai masyarakat dan politik. Lock mendefinisikan masyarakat sipil sebagai masyarakat politik.3 Kemudian konsep masyarakat madani juga dikembangkan oleh pemikir-pemikir dari Jerman, melalui pemikir-pemikir seperti Khant, Fichle dan Hegel. Konsep civil society mulai mendapat pemaknaan yang lebih luas, lebih jelas sebagai satu kesatuan yang terpisah dari negara. Khant memandang masyarakat madani sebagai tujuan umat manusia yang hidup berdasarkan hukum dan menolak menyatakan sebagai bagian dari kekuasaan yang absolut. Oleh Hegel masyarakat sipil dihadapkan dengan negara. Hegel menempatkan masyarakat sipil sebagai elemen politik dibawah supremasi negara. Bagi Hegel masyarakat sipil merujuk pada masyarakat ekonomi (borjuis), ekonomi society, sedangkan masyarakat negara sebagai masyarakat politik (political society). 4 Konsep masyarakat sipil mendapat pandangan yang positif sesungguhnya baru muncul sekitar abad 20 dari sejumlah tokoh antara lain Antonio Gramsci dan John Keane. Konsep Gramsci bahwa civil society bukan semata-mata mewadahi kepentingan individu, tetapi juga terdapat organisasi-organisasi yang berusaha melayani orang banyak, masyarakat sipil juga memiliki potensi untuk dapat mengatur dirinya sendiri secara 3 4
Sanaky, op. cit., hlm. 23. Ibid., hlm. 25.
.
14
rasional dan mengandung unsur kebersamaan. Oleh Gramsci masyarakat sipil bisa menjadi benteng dari hegemoni dari kelas borjuis, dan akhirnya juga menjadi pendukung negara5. Dari uraian diatas penulis berasumsi bahwa istilah civil society telah lahir sejak Yunani kuno hingga zaman abad 18 sampai abad 20 yang semula berarti masyarakat sipil dengan pengertian masyarakat ekonomi (borjuis) yang berlawanan arti dengan masyarakat negara (political society)
kemudian
berkembang
sebagaimana
pendapat
Gramsci,
masyarakat sipil yang mendukung negara dan negara bisa memiliki berbagai unsur masyarakat sipil.
1.2. Masyarakat Madani dalam Perspektif Islam Dalam perspektif Islam, civil society lebih mengacu kepada penciptaan peradaban. Kata al-Din yang umumnya diterjemahkan sebagai agama berkaitan dengan makna al-tamaddun atau peradaban. Keduanya menyatu dalam pengertian al-Madinah yang arti harfiahnya adalah kota. Dengan demikian makna civil society sebagai masyarakat madani yang mengandung 3 hal yakni, agama, peradaan dan perkotaan. Dari konsep ini tercermin agama merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya dan masyarakat kota adalah hasilnya. Secara etimologi Madinah adalah kata dari bahasa Arab yang mempunyai dua pengertian: Pertama; Madinah berarti kota atau disebut dengan masyarakat kota. Karena kata madani adalah turunan dari kata bahasa Arab madina yang juga dalam bahasa Yunani disebut Polis dan Politica yang kemudian menjadi dasar kata policy dan politic dalam bahasa Inggris. Kedua; masyarakat berperadaban karena masyarakat Madinah juga derivat dari kata tamaddun atau madaniyah yang berarti peradaban 5
Ibid., hlm. 29.
.
15
yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan civility atau civilization dan kata sifat dari Madinah adalah madani. Civilizate soviety atau civil society dalam bahasa Arab dapat disebut mujtama’ madani, masyarakat berperadaban. Jadi masyarakat madani dapat berarti sama dengan civil society karena masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.6 Ahmad Hatta menyatakan bahwa secara terminologi masyarakat madani adalah komunitas muslim pertama di kota Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah dan diikuti oleh keempat kulafaurrasyidin. Masyarakat madani yang dibangun pada zaman rosul tersebut identik dengan civil society karena secara sosio-kultural mengandung substansi keadaban atau civility. Model masyarakat ini sering dijadikan model masyarakat modern sebagaimana yang diakui oleh seorang sosiolog Robert N Bellah dalam bukunya Beyond Believe (1976). Bellah dalam hasil penelitiannya terhaap agama-agama besar di dunia mengakui bahwa masyarakat yang dipimpim oleh Rasulullah merupakan masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempatnya karena masyarakat tersebut telah melakukan lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan tata sosial dan pembangunan sistem politiknya. Pendapat ini senada dengan Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa : “Istilah tersebut merujuk pada masyarakat Islam yang telah dibangun Nabi di negeri Madinah yang oleh ahli sejarah disebut dengan negara Madinah.”7 Madinah merupakan negara yang didirikan untuk membangun peradaban baru. Para sejarawan ada yang menyatakan bahwa madani berarti Madinah yaitu kota tujuan hijrah Nabi Muhammad SAW yang dulunya bernama Yatsrib. Kemudian perubahan nama dari Yatsrib menjadi Madinah dipahami oleh umat Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai upaya Nabi untuk mewujudkan sebuah masyarakat madani, 6 7
Ibid., hlm. 30. Ibid., hlm. 29.
.
16
dihadapkan pada masyarakat Badawi atau Numad. Nabi mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah, pada hakekatnya merupakan pernyataan niat, sikap, proklamasi atau deklarasi bahwa di tempat baru itu Nabi bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin hendak mendirikan dan membangun suatu masyarakat yang beradab, yaitu suatu masyarakat yang teratur atau yang berperaturan, sebagaimana mestinya sebuah masyarakat. Nurcholish Majid menyatakan bahwa : Secara konvensional perkataan Madinah memang diartikan dengan kota tetapi menurut ilmu kebahasaan perkataan Madinah mengandung makna peradaban dalam bahasa Arab, peradaban dinyatakan dengan kata-kata madaniah atau tamaddun. Oleh karena itu masyarakat madani diasosiasikan dengan masyarakat beradab atau berperadaban. Dengan demikian pengertian masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab (civilized) yang mengandung kehidupan sosial yang sopan yang ditegakkan atas dasar akar haknya, atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh pada peraturan atau hukum. Oleh karena itu, masyarakat dengan tipologi seperti inilah yang dibangun Nabi di Madinah.8
Sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa sebenarnya Rasulullah tidak pernah memproklamirkan negara Yatsrib atau Madinah sebab bukan kedaulatan wilayah yang menjadi tujuan utama gerakan Nabi. Negara yang hendak dibangun Islam adalah negara yang memberi ruang kepada kedaulatan aqidah (ideologi) dan fitrah (paradigma). Negara baru yang terbentuk di Madinah itu barangkali lebih tepat disebut sebagai negara hijrah, karena negara ini didirikan atas dasar ideologi Islam yang dapat didirikan dimana saja bukan hanya di Kota Madinah, karena dasarnya adalah ideologi, maka sifatnya menjadi universal, tidak tergantung dan terbatas wilayah geografi tertentu. Dengan demikian pada konsep baru yang ditawarkan Nabi bahwa negara itu melampaui batas-batas geografis.
8
Ibid., hlm. 31.
.
17
Negara ini lebih cocok dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan (basic values of humanity) sebab yang menjadi dasar utama kewarganegaraannya bukan nasionalisme, suku, ras, atau pertalian darah. Tetapi manusia dapat memilih konsep hidup tertentu atau akidah tertentu. Manusia secara bebas dan merdeka menentukan pilihan akidahnya tanpa tekanan dan paksaan dari manapun, oleh siapapun.
Negara baru yang dibangun oleh Nabi
adalah negara ideologi yang didasarkan atas asas kemanusiaan yang terbuka sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 256 yang artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”. Untuk itu konsep negara yang ditawarkan Islam benar-benar baru dan orisinil. Karena negara yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, tak lain karena konsep yang dianutnya menetapkan sebuah keyakinan. Dengan keyakinan ini orang boleh bicara tentang persamaan dan kebersamaan hak dan kewajiban serta kesetaraan. Apabila diskursus ini dimulai atau ditarik dari akar peristiwa hijarah yang disebut di atas sebagai negara hijrah maka merupakan sebuah metamorfosis dari suatu gerakan menjadi negara. Gerakan ini berasal dari gerakan 13 tahun sebelumnya Nabi melakukan penetrasi sosial yang sangat sistematis di mana Islam menjadi jalan hidup individu. Di mana Islam memanusia dan manusia kemudian memasyarakat.9 Maka melalui hijrah masyarakat bergerak secara linier menuju negara. Melalui hijrah gerakan itu menegara dan madinah adalah wilayahnya. Nabi melakukan penataan negara tersebut dengan : Pertama; membangun infastruktur negara dengan Masjid sebagai simbol dan perangkat utamanya. Kedua; menciptakan kohesi sosial melalui proses pesaudaraan antaa dua komunitas yang berbeda yaitu Quaraisy dan Yatsrib yang dikenal dengan komunias Muhajirin dan Anshar, tetapi menyatu 9
Ibid., hlm. 32.
.
18
sebagai komunitas agama. Ketiga; membuat nota kesepakatan untuk hidup bersama dengan komunias lain yang berbeda sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami wilayah yang sama melalui Piagam Madinah. Keempat; merancang sistem negara melalui konsep jihad fisabilillah dengan dasar ini negara dan masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi merupakan negara dan masyarakat yang kuat dan solid. Peristiwa hijrah telah menciptakan keberagamanaan pendidik Madinah. Penduduk Madinah tidah hanya terdiri atas suku aus, khazraj, dan Yahudi. Tetapi muhajirin, Quaraisy dan suku-suku Arab lain yang datang dan hidup bersama mereka di Madinah. Nabi menghadapi realitas pluralitas karena struktur masyarakat Madinah yang baru dibangun terdapat beragam agama.struktur masyarakat yang pluralistik ini dibangun oleh Nabi diatas pondasi iman dan akidah yang tentu lebih tinggi nilai ikatannya dari solidaritas kesukuan ashabiah dan afiliasi lainnya. Klasifikasi masyarakat pada saat itu berdasarkan atas keimanan dan mereka terbagi ke dalam beberapa kelompok yaitu mukminin, munafiqin, kuffar, musrikun dan Yahudi. Dengan kata lain bahwa masyarakat di Madinah pada saat itu merupakan bagian dari masyarakat yang majemuk atau plural.10 Kemajemukan masyarakat Madinah mengakibatkan munculnya persoalan-persoalan ekonomi dan kemasyarakatan yang harus diantisipasi dengan baik, dalam konteks itu introduksi sistem persaudaraan menjadi kebutuhan yang mendesak untuk mengatasi persoalan itu Nabi bersama semua unsur penduduk Madinah menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dogma yang dikenal sebagai “Piagam Madinah” (Mitsaq alMadinah) yang dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah kemanusiaan. Piagam ini juga menjadi satu-satunya dokumen penting dalam perkembangan kebiasaan konstitusional dan hukum dalam dunia Islam. Selain itu dalam piagam itu dikatakan bahwa manusia untuk 10
Ibid., 33.
.
19
pertama kalinya diperkenalkan antara lain wawasan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan secara bersama. Dalam piagam tersebut juga menempatkan hak-hak individu yaitu kebebasan memeluk agama, persatuan dan kesatuan, persaudaraan antar agama, perdamaian dan kedamaian, toleransi, keadilan diskriminasi dan menghargai
kemajemukan.
Dengan
kemajemukan
tersebut
Nabi
mempersatukan mereka berdasarkan tiga unsur, yaitu : Pertama, mereka hidup dalam wilayah Madinah sebagai tempat untuk hidup bersama dan bekerja bersama. Kedua, mereka bersedia dipersatukan dalam satu umat untuk mewujudkan kerukunan dan kemaslahatan secara bersama-sama. Ketiga, mereka menerima Muhammad sebagai pemimpin tertinggi dan pemegang otoritas politik yang legal dalam kehidupan mereka yang dilengkapi dengan institusi peraturan yang disebut Piagam Madinah yang berlaku bagi individu dan setiap kelompok.11 Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa masyarakat madani mengacu pada masyarakat yang telah dibentuk oleh Nabi 14 abad yang lalu di mana beliau telah berhasil membangun suatu masyarakat dan negara di kota Madinah dengan penuh peradaban, keadilan, berwawasan kebebasan memeluk agama, demokratis berpolitik ekonomi. Dari etimologi masyarakat madani diambil dari kata masyarakat Madinah, masyarakat kota, masyarakat berperadaban yang sama artinya dengan civil society. 2. Pemaknaan Karakteristik dan Ciri Masyarakat Madani 2.1. Pemaknaan Masyarakat Madani Istilah “masyarakat madani” yang disosialisasikan di Indonesia sebagai terjemahan dari Bahasa Inggris civil society. Kata civil society, sebenarnya berasal dari bahasa Latin civitas dei, artinya kota Illahi dan 11
Ibid., hlm. 34.
.
20
society yang berarti masyarakat, maka dari kata civil ini membentuk kata civilization berarti peradaban. Dengan demikian kata civil society diartikan sebagai komunitas masyarakat kota, yakni masyarakat yang telah berperadaban maju. Nurcholish Madjid, menyatakan konsepsi seperti ini, pada awalnya merujuk pada dunia Islam yang ditujukan oleh masyarakat kota Arab. Nabi, membuat deklarasi dengan mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah, kerena Nabi ingin menciptakan sebuah masyarakat yang beradab (civil society). Dalam bahasa Arab sipil madani, hukum sipil Qanun madani, sedangkan qanun berasal dari bahasa Yunani, mirip bahasa Arab kanon, oleh karena itu kata Madinah juga mengandung pengertian civil society.12 AS. Hikam, menggunakan istilah Arab : “madani” (dari arti kata “Madinah”) untuk menterjemahkan “civil” dianggap tepat karena istilah “madani” mengandung arti gagasan masyarakat yang beradab sebagai lawam masyarakat yang tidak berbudaya. Sedangkan istilah “masyarakat warga” atau “masyarakat kewargaan” lebih berkonotasi gagasan kewarganegaraan sebagai bagian integral civil society. Harus disadari bahwa yang dimaksud oleh istilah masyarakat warga, masyarakat kewargaan, masyarakat sipil dan “masyarakat madani” tak lain adalah civil society. Kemudian dari pandangan ini pula, tercermin bahwa istilah “masyarakat madani” sebenarnya merupakan istilah yang baru muncul. Istilah ini muncul dari hasil pemikiran Muhammadan-Naquib al-Attas, menyatakan bahwa dalam literatur Islam sebenarnya tidak mengenal istilah masyarakat madani, melainkan mengenal istilah serupa yaitu alMadinah al-Fadlilah atau negara utama (secara harfiah kota utama). Yang berasal dari pemikiran al-Farabi pada abad pertengahan. Akan tetapi dalam wacana “masyarakat madani” banyak para ahli menggunakan istilah civil
12
Ibid., hlm. 10.
.
21
society sebagai asal usul istilah masyarakat madani karena istilah masyarakat madani mengandung gagasan masyarakat berperadaban.13 Secara terminologis masyarakat madani menurut an-Naquib alAttas adalah mujtama’ madani atau masyarakat kota. Secara etimologi mempunyai dua arti; Pertama, masyarakat kota karena madani berasal dari bahasa Arab Madinah yang berarti kota; dan Kedua, masyarakat berperadaban karena madani berasal dari kata tamaddun atau Madinah yang berarti peradaban, dengan demikian masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab. Istilah masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society juga berdasarkan pada konsep negara “kota Madinah” yang dibangun Nabi pada tahun 622 Masehi. Selain itu istilah masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamaddun yaitu masyarakat berperadaban yang diperkenalkan oleh Ibnu Kholdun dan konsep alMadinah al-Fadlilah yang dikemukaan al-Farabi pada abad pertengahan. Gelner, dikutip Mahasin (1995:IX) menyatakan bahwa : “Masyarakat madani sebagai terjemahan bahasa Inggris civil society tetapi sebenarnya kata civil society berasal dari bahasa Latin civitas dei (kota Illahi) dan society (masyarakat).” Menurut Nurcholish Majid lebih merujuk pada dunia Islam yang ditunjukan oleh masyarakat kota Arab karena lawan dari kata masyarakat kota adalah masyarakat non madani, pengembara, badawi yang masih membawa citra kasar berwawasan pengetahuan sempit, masyarakat tradisional, penuh mitos dan tahayul, banyak menggunakan kekerasan dan kekuatan, suka menindas dan sifat-sifat negatif lainnya.14 Nurcholish Majid sudah melakukan rekonstruksi masyarakat madani yani perkataan Arab “Madinah” artinya kota, yang secara etimologis berarti tempat peradaban. Karena itu perkataan Madinah mirip 13 14
Ibid., hlm. 46. Ibid., hlm. 47.
.
22
dengan perkataan Yunani polis (seperti dalam nama Constantinopel) dan Madinah dalam arti adalah sama dengan hadharah dan isaqarah yang masing-masing sering diterjemahkan “peradaban” dan “kebudayaan”. Masyarakat
madani
merupakan
masyarakat
modern
yang
bercirikan kebebasan dan demokratis dalam berinteraksi di masyarakat yang semakin plural dan heterogen dalam kondisi seperti ini, masyarakat diharapkan mampu mengorganisasikan dirinya dan tumbuh kesadaran diri untuk mewujudkan peradaban. 15 Berdasarkan pendapat di atas dapat dimengerti bahwa masyarakat madani pada prinsipnya mempunyai makna ganda yaitu demokrasi, transparasi, toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, kooperasi, koordinasi, simplikasi, sinkronisasi, integrasi, emansipasi dan hak asasi. Namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Perbedaan yang tampak jelas adalah civil society tidak mengaitkan prinsip tatanan pada agama tertentu. Sedangkan masyarakat madani jelas mengacu pada agama Islam. Oleh karena itu konsep masyarakat madani menurut Islam adalah bangunan politik yang demokratis, menghormati dan menghargai publik seperti kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial menjunjung tinggi etika dan moralitas dan lain sebagainya. Dengan demikian masyarakat madani dapat dipahami sebagai masyarakat yang berperadaban, masyarakat sipil dan menghargai pluralistik. Tuntutan masyarakat madani yang diharapkan kaum reformis adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar. Kemudian masyarakat yang jujur, adil, mandiri, harmonis memihak kepada yang lemah, menjamin kebebasan beragama,
15
berbicara,
Ibid., hlm. 49.
berserikat
dan
berekspresi,
menjamin
hak
.
23
kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia. Dengan mengetahui makna masyarakat madani maka mendorong untuk mengkaji karakteristik dan ciri masyarakat madani.
2.2. Karakteristik dan Ciri Masyarakat Madani Dari pandangan dan gambaran tentang masyarakat madani di atas secara umum dapat dipahami bahwa karakteristik masyarakat madani adalah masyarakat kota, masyarakat yang berperadaban, masyarakat yang dapat menciptakan peradaban, masyarakat yang memiliki pola kehidupan yang benar yaitu pola kehidupan masyarakat yang menetap, bukan nomaden. Selain itu juga masyarakat yang terbuka, pluralistik, menjamin kebebasan beragama, jujur, adil, mandiri, harmonis menjamin kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia. Dalam masyarakat madani tersebut pelaku sosial akan selalu berpegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan yang bercirikan demokratisasi dalam berinteraksi dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Masyarakat
madani yang hendak diwujudkan antara lain
berkarakteristik sebagai berikut: 1. Masyarakat beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki pemahaman mendalam akan agama serta hidup berdampingan dan saling menghargai perbedaan agama masingmasing. 2. Masyarakat demokratis dan beradab yang menghargai adanya perbedaan pendapat serta mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan individu, kelompok dan golongan. 3. Masyarakat yang menghargai hak asasi manusia untuk mengeluarkan pendapat, berkumpul, berserikat, hak atas penghidupan yang layak,
.
24
hak memilih agama, hak atas pendidikan dan pengajaran serta hak untuk memperoleh pelayanan dan perlindungan hukum yang adil. 4. Masyarakat tertib dan sadar hukum yang direfleksi dari adanya budaya malu bila melanggar hukum. 5. Masyarakat yang kreatif, mandiri dan percaya diri, memiliki orientasi kuat pada penguasaan ilmu pengetahuan dan tehnologi 6. Masyarakat yang memiliki semangat kompetitif dalam suasana kooperatif, penuh persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain dengan semangat kemanusiaan universal pluralistik.16 AS. Hikam mengambil pemikiran Alexis De Tocqueville mengenai ciri-ciri masyarakat madani merumuskan 4 ciri utama dari masyarakat madani yaitu: 1. Kesukarelaan, yang artinya suatu masyarakat madani bukanlah merupakan suatu masyarakat paksaan atau karena indoktrinasi. 2. Keswasembadaan, masyarakat tidak tergantung kepada negara, juga tidak tergantung kepada lembaga atau organisasi lain. Setiap anggota masyarakat mempunyai harga diri yang tinggi yang percaya akan kemampuan sendiri untuk berdiri sendiri bahkan untuk dapat membantu sesama yang lain yang kekurangan. Anggota masyarakat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan masyarakatnya. 3. Kemandirian tinggi terhadap negara, negara dianggap sebagai kesepakatan bersama sehingga tanggung jawab lahir dari kesepakatan tersebut adalah juga tuntutan dan tanggungjawab dari masing-masing anggota. Inilah negara yang berkedaulatan rakyat.
16
Sanaky, op. cit., hlm. 50.
.
25
4. Keterikatan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama, berarti suatu masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang berdasarkan hukum dan bukan negara kekuasaan.17 Ciri lain dari masyarakat madani yang dikemukakan oleh Antonio Rosmini dalam The Filosofi of Right, Rights in civil society (1996:28-50) yang dikutip oleh Mufid menyebutkan 10 ciri masyarakat madani, yaitu: universalitas, supremasi keabadian, dan pemerataan kekuatan (prevalence of force) adalah 4 ciri yang pertama. Ciri yang kelima ditandai dengan kebaikan dari dan untuk bersama. Hal ini bisa terwujud jika setiap anggota masyarakat memiliki akses pemerataan dalam memanfaatkan kesempatan atau (the tendency to equalize the share of utility). Keenam jika masyarakat madani ditujukan untuk meraih kebijakan umum (the common good). Tujuan akhir adalah kebijakan publik (the public good). Ketujuh, sebagai pertimbangan kebijakan umum masyarakat madani juga memperhatikan kebijakan perorangan dengan cara memberikan alokasi kesempatan kepada setiap anggotanya meraih kebijakan itu. Kedelapan, masyarakat madani memerlukan piranti eksternal untuk mewujudkan tujuannya,
piranti
itu
adalah
masyarakat
eksternal.
Kesembilan,
masyarakat madani bukanlah sebuah kekuatan yang berorientasi pada keuntungan, masyarakat madani lebih merupakan kekuatan yang justru memberi manfaat. Kesepuluh, kendati masyarakat madani memberi kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya, tidak berarti bahwa ia harus seragam, sama dan sebangun serta homogen. Masyarakat madani terdiri dari berbagai warga beraneka warna, bakat dan potensi, karena itulah masyarakat madani disebut sebagai masyarakat multi kuota (a multi qouta society).18
17
H.A.R. Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1999), hlm. 159. 18 Sanaky, op. cit., hlm. 51.
.
26
2.3. Konsep Masyarakat Madani di Indonesia Di Indonesia, istilah masyarakat madani pada umumnya disamakan dengan istilah masyarakat sipil (civil society) dan menjadi salah satu sorotan penting dalam banyak diskusi publik di belakangan ini. Bahkan pada saat pemerintahan Presiden Habiebie telah membentuk satu tim dengan Keputusan Peresiden Republik Indonesia, nomor 198 tahun 1998, tentang Pebentukan Tim Nasional Reformasi Menuju Nasyarakat Madani. Tim tersebut diberi tugas untuk membahas masalah-masalah pokok yang harus disiapkan untuk membangun masyarakat madani Indonesia, yaitu diantaranya: Pertama, menghimpun pemikiran tentang transformasi ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya serta perkiraan dampak globalisasi terhadap berbegai aspek kehidupan bangsa (pada tugas pertama). Kedua, merumuskan rekomendasi serta pemikiran tentang upaya untuk mendorong tranaformasi bangsa menuju masyarakat madani.19 Selanjutnya, Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani merumuskan visi normatif masyarakat madani yang dicita-citakan sebagai suatu tatanan yang tumbuh dan berkembang dalam komunitas bangsa yang majemuk dan yang masih terus mengalami proses pluralisasi baik horisontal, sebagai akibat dari terjadinya mobilitas geografis, maupun vertikal, sebagai akibat persaingan dalam ekonomi pasar dan kedudukan birokratis. Secara lebih rinci, visi normatif masyarakat madani dirumuskan sebagai berikut. Pertama, sebagai pembentuk atau penjaga situasi sosial yang integratif dan congenial. Masyarakat madani diharapkan memperkokoh kohesi dan integrasi nasional, mempertebal solidaritas sosial, serta memupuk toleransi pada perbedaan.
19
Ibid., hlm. 56.
.
27
Kedua, sebagai pemelihara tradisi dan budaya sosial politik yang sehat. Masyarakat madani yang dicita-citakan adalah masyarakat yang mempunyai kesadaran kemasyarakatan, tanggung jawab sosial dan kesadaran kebangsaan. Ketiga, sebagai pemelihara sikap sosio-kultural yang terbuka, kreatif, dan kosmopolitan. Dengan berbagai bentuk asosiasi dan aktivitas yang beragam, masyarakat madani diharapkan dapat menghidupkan dan memelihara tumbuhnya masyarakat belajar (learning society), yaitu masyarakat yang terbuka dan peka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tetap mempertahankan jati dirinya sebagai bangsa. Dengan demikian, maka masyarakat madani adalah masyarakat yang berperadaban dan menjadi dasar tumbuhnya masyarakat yang demokratis. Keempat, sebagai kekuatan sosial-ekonomi yang diharapkan dapat memupuk etos kerja dan etika yang baik. Etos kerja dan etika harus berjalan bersama untuk meningkatkan produktivitas yang mementingkan kesejahteraan dan keadilan. Dalam konteks ini peran agama menjadi sangat penting. Dengan kata lain, masyarakat madani juga adalah masyarakat yang religius. Dengan demikian masyarakat madani yang ingin kita wujudkan adalah masyarakat yang demokratis, damai, sejahtera dan berkeadilan sosial dalam negara yang baik di bawah limpahan rido Tuhan Yang Maha Esa.20 2.4. Persyaratan Menuju Masyarakat Madani Gagasan
tentang
sistem
kehidupan
masyarakat
madani
membutuhkan beberapa persyaratan untuk dapat diimplementasikan.
20
Tilaar, Pendidikan Masyarakat Baru, op. cit., hlm. 50.
.
28
Persyaratan yang diperlukan yaitu: Pertama, pemahaman yang sama (one standard). Kedua, adanya keyakinan (confidence) dan saling percaya (social trust). Ketiga, satu kesatuan atau satu hati dan saling tergantung, keempat, perlu adanya kesamaan pandangan menuju masyarakat madani.21 Upaya kerja keras dan daya tahan yang tinggi diperlukan untuk mewujudkan masyarakat madani, untuk menghadapi berbagai kendala dan tantangan yang berhubungan dengan struktur sosial maupun berkaitan dengan keadaan masyarakat Indonesia. Nurcholish Majid menyatakan bahwa keharusan masyarakat untuk ikut mengambil peran dalam mewujudkan masyarakat berperadaban, masyarakat madani di Indonesia, karena terbentuknya merupakan bagian mutlak dari cita-cita kenegaraan yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.22 Berkaitan dengan upaya perubahan tersebut Jimly Asshiddiqie menawarkan tiga agenda perubahan yaitu: 1). Agenda Reformasi institusional, yaitu terbentuknya institusi yang kuat dan fungsional; 2). Reformasi instrumental, yaitu upaya pembaharuan mulai dari konstitusi sampai pada peraturan-peraturan pada tingkat rendah; 3). Reformasi budaya yang menyangkut orientasi pemikiran, pola-pola perilaku dan tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Menurut Jimly ketiga agenda itu sekarang sedang berlangsung tetapi tingkat kecepatan antara satu bidang dengan bidang yang lain tidak sama, disamping itu tidak semua orang memiliki tingkat kesadaran dan pemahaman yang sama. Dari agenda perubahan ini berbagai upaya perlu dilakukan untuk mewujudkan masyarakat madani baik yang bersifat jangka pendek maupun panjang:
21 22
Sanaky, op. cit., hlm. 67. Ibid., hlm. 78.
.
29
Pertama, peluang perubahan jangka pendek menyangkut perubahan pada pemerintahan, politik, ekonomi dan hukum. Sebagaimana tuntutan masyarakat era Reformasi, terciptanya pemerintahan bersih menjadi prasarat untuk tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani jelas menuntut
performance
pemerintahan yang
bersih
sebagai
sebuah
pemerintahan yang efisien dan efektif , bersih dan profesional. Kedua, peluang perubahan jangka panjang bidang kebudayaan dan pendidikan. Reformasi budaya yang menyangkut orientasi pemikiran, polapola perilaku dan tradisi yang berkembang dalam masyarakat perlu dikembangkan dalam rangka mendukung proses pelembagaan dan mekanisme kehidupan kenegaraan yang diidealkan. Bidang pendidikan, menyiapkan sumber daya manusia yang berwawasan dan berperilaku madani melalui pendidikan. Konsep masyarakat madani merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasional. Sistem pendidikan yang dikembangkan harus mampu membangun komposisi manusia untuk mempersiapkan pendidikan yang lebih baik. Pendidikan harus disusun sesuai dengan kondisi lingkungan masyarakat baik masa kini maupun antisipasi masa mendatang.
Pembaharuan
pendidikan
Islam
diupayakan
untuk
memberdayakan potensi umat disesuaikan dengan karakteristik dan kehidupan masyarakat madani, yaitu demokratis, partisipasi sosial yang tinggi dan supremasi hukum. Sektor pendidikan memiliki peran strategis dan fungsional dalam membangun masyarakat madani Indonesia. Artinya pendidikan dalam hal ini pendidikan Islam, diupayakan untuk menghasilkan manusia-manusia yang bertaqwa, berkeadaban dan berbudaya demokratis, berkeadilan, egaliteran, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, mengharagai masyarakat yang mempunyai paham keagamaan yang berbeda-beda, penuh
.
30
toleransi, partisipasi dan solidaritas sosial, menjunjung tinggi hukum, menegakkan hukum dan peraturan yang berlaku.23 Pertanyaan yang muncul kemudian apakah pendidikan sekarang ini dapat diharapkan untuk mengembangkan fungsi yang dikemukakan tersebut.
23
Ibid., hlm. 80-83.