BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG PUASA DAN QADA’
A. Pengertian Puasa Kata puasa dalam bahasa Indonesia itu berasal dari bahasa Arab ( ), kata ini berasal dari fi’il madhi yaitu (
), dan (
) yang dalam
bahasa berarti : 1. Menurut Sayid Sabiq
1
Artinya : “Menahan secara mutlak.” 2. Menurut al-Kasani
2
Artinya : “Menahan diri secara mutlak, yaitu menahan dari segala sesuatu” 3. Di dalam al-Qur'an surat Maryam ayat 26 yang berbunyi :
Artinya : “Sesungguhnya Aku telah bernadzar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah.”(Q.S. Maryam : 26) 3 Adapun pengertian puasa menurut istilah adalah sebagai berikut :
1 2
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, Beirut, Libanon : Dar al-Fikr, 1968, hlm. 364 Al-Kasani al-Hanafi, Badaa’i al-Shanaai, Juz II, Beirut Libanon : Daar al-Fikr, t.th.,
hlm. 113 3
Departemen Agama RI., Al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur'an, 1971, hlm. 465
11
1. Menurut al-Shan’ani :
4
Artinya : “Menahan diri dari makan dan minum,jima’ dan sebagainya yang telah diperintahkan syara’. Menahan diri dari padanya sepanjang hari menurut cara yang disyari’atkan disertai pula menahan diri dari perbuatan yang diharamkan dan yang dimakruhkan dan dalam berpuasa sesuai syaratsyarat yang telah ditetapkan dan waktu yang ditentukan.” 2. Menurut Imam Taqiyuddin
5
Artinya : “Menahan diri dari sesuatu yang telah ditentukan dari seseorang tertentu dalam waktu tertentu dengan beberapa syarat.” 3. Menurut al-Kasani
6
Artinya : “Menahan diri dari sesuatu yang telah ditentukan yaitu makan, minum dan jima’ dnegan syarat yang telah ditentukan pula.” 4. Menurut al-Jaziri
4
305
Shan’ani, Subul al-Salam, Juz II, Beirut Libanon : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th., hlm.
5
Taqiyuddin Abi Bakr Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, Juz I, t.th : Dar alIhya’ al-Kutub Arabiyah, t.th., hlm. 204 6
Al-Kasani al-Hanafi, op. cit.,
12
7
Artinya : “Menahan diri dari sesuatu yang membatalkan seharian penuh dari tabiat fajar shadiq sampai terbenamnya matahari dengan syarat tertentu.” Dari keterangan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa puasa secara bahasa berarti menahan. Sedangkan menurut syara’ ialah menahan nafsu dari setiap yang membatalkan puasa dan menahan nafsu dari setiap perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. dengan memenuhi syarat dan rukunnya.
B. Dasar Disyari’atkannya Puasa Ramadhan Dasar disyari’atkannya puasa ramadhan yaitu firman Allah yang berbunyi:
7
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Juz I, Beirut Libanon : Daar al-Fikr, hlm. 511
13
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. al-Baqarah : 183-185)8
Adapun dasar yang bersumber dari hadits adalah :
9
Artinya : “Dan Ibn Umar ra. berkata : Rasulullah SAW. bersabda : “Islam didirikan atas lima sendi; mengakui bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, 8 9
Departemen Agama RI., op. cit., hlm. 44-45 Al-Bukhari, Matan al-Bukhari, Juz I, Bandung : PT. Al-Ma’arif, hlm. 11
14
mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari). Berdasarkan ayat-ayat al-Qur'an dan hadits SAW. di atas, ulama fiqh sepakat (ijma’) bahwa puasa itu hukumnya wajib dan orang-orang yang mengingkarinya dihukumi kafir.10
C. Macam-macam Puasa Pada hakekatnya puasa terbagi menjadi dua, yaitu : 1. Puasa fardhu, masuk ke dalamnya puasa ramadhan, puasa qada’, puasa kafarat dan puasa nadzar. Adapun puasa qada’ adalah puasa yang wajib ditunaikan karena berbuka dalam bulan ramadhan, disebabkan udzur (halangan) seperti safar, sakit, haid dan nifas atau dengan sebab yang lain.11 Puasa nadzar ialah puasa wajin yang difardhulan sendiri oleh seorang muslim atas dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Barang siapa bernadzar berpuasa sehari atau beberapa hari secara beriringan ataupun tidak maka wajib ditunaikan selama tidak jatuh pada hari-hari yang diharamkan.12
10
Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid IV, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1423 11
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Puasa, Semarang : Pustaka Rizki Putra, Cet. Ke-4, 2000, hlm. 76 12
Ibid., hlm. 76-77
15
Puasa kafarat ialah puasa yang wajib ditunaikan untuk menutupi suatu kesalahan yaitu karena merusak puasa dengan bersetubuh, membunuh orang dengan tidak sengaja, karena mendzihar isteri, kafaratnya
yaitu
dua
bulan
berturut-turut,
jika
tidak
sanggup
memerdekakan budak. Atau karena merusak sumpah dan karena mengerjakan sesuatu yang haram dikerjakan dalam ihram kafaratnya yaitu puasa tiga hari, jika tidak sanggup memerdekakan budak.13
2. Puasa tathawwu’ yaitu puasa yang dikerjakan para muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan wajib seperti puasa al-Syura, puasa Arafah dan puasa lain-lainnya.14 D. Rukun-rukun Puasa 1. Niat Niat merupakan rukun puasa berdasarkan firman Allah SWT. yang berbunyi :
Artinya : “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya.” (Q.S. al-Bayyinah : 5)15 Dan hadits Nabi SAW. yang berbunyi :
13
Ibid., hlm. 165 Ibid., hlm. 76 15 Departemen Agama RI., op.cit., hlm. 1084 14
16
16
Artinya : “Menceritakan kepada saya Abdullah bin Musalamah berkata : Menjaebarkan kepada saya Malik dari Yahya bin Said dari Muhammad bin Ibrahim dari al-Qamah bin Waqas dari Umar sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda : segala amalan itu mengikuti niatnya, dan setiap manusia memperoleh apa yang diniatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itu akan kembali kepada Allah dan RasulNya, dan barang siapa hijrahnya karena kesenangan dunia yang disukainya atau wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya akan kembali kepada yang diniatkannya itu.” (HR. Bukhari) 2. Menahan diri dari makan dan minum serta bersetubuh dan sengaja muntah Diwajibkannya menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh sejak dari terbit fajar hingga terbenam matahari berdasarkan firman Allah yang berbunyi :
Artinya : “Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Q.S. al-Baqarah : 187)17
16 17
Al-Bukhari, op. cit., hlm. 24 Departemen Agama RI., op.cit., hlm. 45
17
Menurut Sayyid Sabiq yang dimaksud dengan garis putih dan garis hitam ialah terangnya siang dan gelapnya malam. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa ‘Adi bin Hatim bercerita : Tatkala turun ayat yang artinya : “hingga nyata benang putih dari benang hitam berupa fajar” saya ambillah seutas tali hitam dan seutas tali putih lalu saya taruh di bawah bantal dan saya amati di waktu malam, dan ternyata tidak dapat saya bedakan. Maka pagi-pagi saya datang menemui Rasulullah SAW. dan saya ceritakan kepadanya hal itu, Nabi SAW. bersabda : “maksudnya ialah gelapnya malam dan terangnya siang.”18 Selain diwajibkannya menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh juga diwajibkan menahan diri dari sengaja muntah. Berdasarkan hadits Nabi SAW. :
19
Artinya : “Barang siapa terpaksa muntah (ketika berpuasa), maka terhadapnya tidak ada qada’ dan barang siapa sengaja muntah, maka terhadapnya wajib qada’” (HR. Ibn Majah) E. Syarat-syarat Puasa Pelaksanaan puasa atas orang Islam menuntut adanya beberapa syarat yang harus dipenuhi, sekaligus rukun-rukunnya. Ulama ahli fiqh membedakan syarat-syarat tersebut atas syarat wajib puasa dan syarat sah puasa. Dalam hal ini penulis membedakan syarat-syarat tersebut dan hanya akan menyebutkan
18
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Terj. Mahyudin Syaf, Fiqh Sunnah, Bandung : PT. AlMa’arif, Cet. Ke-3, 1985, hlm. 174 19 Abi Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwani Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz I, Beirut Libanon : Dar al-Fikr, t.th., hlm. 536
18
semua syarat-syarat itu, serta menganggapnya sebagai syarat-syarat untuk melaksanakan puasa. Adapun syarat-syarat puasa adalah sebagai berikut :
1. Islam Puasa itu merupakan ibadah Islamiyah, sehingga tidak wajib bagi orang-orang yang tidak beragama Islam.20 2. Baligh (sampai umur) Anak kecil tidak diwajibkan berpuasa, karena belum baligh, sebagaimana hadits Nabi SAW. :
21
Artinya : “Dari Aisyah : Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda : Hukum itu diabaikan atas tiga golongan, yaitu atas orang tidur sehingga ia bangun, atas anak kecil sehingga ia dewasa, dan atas orang gila sehingga ia berakal atau sembuh.” (HR. Ibn Majah) Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy puasa anak kecil yang telah berakal yang sanggup berpuasa sah puasanya walaupun belum baligh.22 3. Berakal (tidak gila atau mabuk)
20
Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 176
21
Ibn Majah, op. cit., hlm. 658 Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 88
22
19
Orang gila tidak mukallaf, karena tidak mempunyai akal yang menjadi dasar taklif maka tidaklah wajib berpuasa pada waktu sedang gila. Berdasarkan kaidah ushuliyah yang berbunyi :
Artinya : “Apa-apa yang mengandung tuntutan terhadap mukallaf untuk berbuat atau menahannya dari melakukannya atau memlih antara melakukan dengan tidak melakukan.” 23 4. Suci dari haid, nifas dan wiladah Wanita yang sedang haid, bernifas ataupun wiladah (bersalin), tidak boleh berpuasa, karena tidak sah berpuasa dalam keadaan demikian. Tapi apabila mereka telah suci, mereka wajib mengqada’ puasa yang ditinggalkannya. Mengingat hadits Nabi :
24
Artinya : “Dari Aisyah berkata : Kami seddang haid di masa rasululah SAW. maka kami diperintahkan supaya mengqada’ puasa.” (HR. Ibnu Majah) 5. Berada di kampung (tidak bepergian) Orang yang sedang dalam safar (tidak berada di kampung) tidak diwajibkan berpuasa, mereka boleh berpuasa dalam safarnya dan boleh
23
Drs. Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Cet. Ke-I, Jakarta : Rajawali Pers, 1993, hlm.
24
Ibnu Majah, op. cit., hlm. 534
146
20
berbuka kemudian mangqada’nya setelah berada di tempatnya sebanyak yang ia tinggalkan. Berdasarkan firman Allah SWT. :
Artinya : “Maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”(Q.S. al-Baqarah : 184) 25 Dan perjalanan yang membolehkan berbuka ialah perjalanan yang dibolehkan padanya mengqashar shalat.26 Imam Malik, Syafi’i, Ahmad dan fuqaha lain berpendirian bahwa kebolehan mengqashar itu adalah jarak tempuh empat barid (48 mil) atau sehari perjalanan dengan kecepatan wajar (menggunakan kendaraan unta), sedangkan Imam Abu Hanifah, kebolehan mengqashar shalat adalah dalam jarak tempuh tiga hari perjalanan. Menurut kaum Dzahiri pelaksanaan qashar dibolehkan bagi setiap kemusafiran, tanpa memandang jauh atau dekat.27 6. Sanggup berpuasa Boleh tidak berpuasa atas orang yang lemah atau orang yang berat menjalankannya, hal ini merupakan rukhshah atau keringanan bagi mereka, berdasarkan firman Allah SWT. :
25
Departemen Agama RI., op. cit., hlm. 44 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 186 27 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. A. Hanafi, MA., Jakarta : Bulan Bintang, t.th., 26
hlm. 354
21
Artinya : “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (Q.S. al-Baqarah : 184)28 F. Ketentuan Umum Tentang Qada’ Madzhab Maliki berpendapat bahwa ada tujuh hal secara berurutan yang harus dilakukan oleh orang yang membatalkan puasanya yaitu qada’, kafarat kubra, kafarat sughra (fidyah), imsak,, menghentikan tatabu’ (keberuntutan
dalam
pengqada’an
puasa),
mendapat
siksaan
dan
menghentikan niat.29 Oleh karena itu qada’ diwajibkan atas orang yang membatalkan puasa ramadlan selama sehari atau lebih karena ada udzur, seperti sakit, melakukan perjalanan, haid, nifas, dan lain-lain. Qada’ juga diwajibkan atas orang yang membatalkan puasa karena tidak ada udzur, seperti tidak berniat karena lupa atau sengaja. Kewajiban qada’ berdasarkan firman Allah yang berbunyi :
Artinya : “Maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”(Q.S. al-Baqarah : 184) 30
28
Departemen Agama RI., op. cit., hlm. 44 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam qa ‘Adillatuhu, terj. Agus Effeni dan Bahruddin Fanany “Puasa dan I’tikaf”, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, Cet. Ke-I, 1995, hlm. 268 30 Departemen Agama RI., loc. cit. 29
22