BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH
A. Pengertian Wali Nikah Menurut bahasa kata Wali berasal dari fi’il madhiًََِٔنyang berarti dekat dengan, kemudian menjadi isim fa’ilًُانَِٕنyang berarti sama dengan
ُانًُحِّبyaitu
orang yang mencintai, menolong, mengangkat.
ُأَْنٍَِاء.Apabila dikatakan ًٍ اَيْ َش اَحَذ َ ٍ َِٔن ْ َي
ًُانَِٕن
jama’nya
maka berarti orang yang mengurus
perkara seseorang, (wali). Apabila dikatakan
ِأَْنٍِاَ ُء األَيْشsama denganُانحُكاَو
yang mempunyai arti para penguasa.1 Sedangkan menurut istilah
pengertian wali antara lain sebagai
berikut: Yang dikatakan wali adalah orang paling dekat dengan si wanita.Dan orang yang berhak menikahkan wanita adalah ayahnya lalu kakeknya dan seterusnya ke atas.Boleh juga anaknya dan cucunya kemudian saudara seayah seibu kemudian saudara se ayah kemudian paman.2 Menurut Sayyid Sabiq “Wali” ialah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya.3
1
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al Munawir.(Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), hlm. 1690. 2 Muhammad Khotib al-Sarbani, al-Mughnil Muhtaj, juz 4.(Beirut libanon: Dar al-Kutubi ilmiah, tt), hlm.249. 3 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, alih bahasa oleh Mohammad Thalib.(Bandung: Al Ma’arif, 1981), hlm. 7
19
20
Muhammad Jawad Mughniyah berpendapat bahwa wali adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar’i atas segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri.4 Menurut Amir Syarifudin pengertian wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap orang lain dengan alasan karena orang tersebut memiliki suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan untuk bertindak sendiri secara hukum baik dalam urusan harta atau dirinya. Sedangkan wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.5 Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam wali nikah didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki kekuasaan untuk mengakadnikahkan seorang perempuan yang ada dibawah perwaliannya.6 Sedangkan di dalam kamus bahasa Indonesia pengertian wali didefinisikan sebagai pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah, yaitu ketika melakukan janji nikah atau ijab qobul dalam pernikahan.7 Dari beberapa definisi yang dikemukakan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa wali nikah adalah orang yang mempunyai hak serta
4
Muhammad Jawad Mughniyah, Penerj.Masykur, dkk, Fiqih Lima Madzhab. (Jakarta: Lentera, 2000), hlm. 345. 5 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.69. 6 Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm.35. 7 PJS Poerwadianto, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm.100
21
wewenang untuk menikahkan atas nama pihak mempelai perempuan dalam suatu akad pernikahan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya oleh calon mempelai laki-laki terhadap calon mempelai perempuan dibawah perwaliannya untuk kelangsungan pernikahannya.
B. Dasar Hukum Wali Nikah 1. Al Qur’an Memang tidak ada satu ayatAl-Qur’an pun yang jelas secara ibarat al-nash yang menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan. Namun dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk nashyang ibarat-nya tidak merujuk kepada keharusan adanya wali, tetapi dari ayat tersebut secara isyarat nash dapat dipahami menghendaki adanya wali.8 Diantara ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan adanya wali adalah sebagai berikut : a. Surat al-Baqarah (2) ayat 232 :
Artinya :“Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma’ruf. itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman diantara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih 8
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia… hlm.69-70.
22
baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.”9
b. Surat al-Baqarah (2) ayat 221 :
Artinya:“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum kamu beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum kamu beriman.Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang yang musyrik walaupun dia menarik hatimu.Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”10 9
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas demikian, “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seseorang yang menalak isterinya satu atau dua kali, lalu iddahnya habis. Kemudian orang itu berniat merujuk dan mengawininya kembali, dan si isteri pun mau.Namun para wali wanita itu menolaknya.Maka Allah melarang mereka menghalang-halanginya.”Hal senada dikemukakan pula oleh sekelompok tabi’in.Riwayat itu menunjukkan bahwa isteri tidak berkuasa untuk mengawinkan dirinya tanpa wali. Firman Allah, “Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman diantara kamu kepada Allah dan hari kemudian.” Maksudnya, para wali tidak boleh menolak untuk menikahkan wanita dengan mantan suaminya jika ada kerelaan diantara keduanya dengan cara yang ma’ruf, jika kamu beriman kepada Allah dan syariat-Nya serta kamu takut terhadap azab hari akhir. ”itu lebih baik bagimu dan lebih suci,” artinya ketundukanmu kepada syariat Allah dengan mengembalikan wanita yang ada perwaliannya kepada mantan suaminya serta tidak melindunginya adalah lebih baik dan lebih suci bagi hatimu.“Dan Allah mengetahui” kebaikan yang terdapat dalam pelaksanaan dan peninggalanmu, “sedang kamu mengetahui” hal itu. 10 Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ayat ini merupakan pengharaman dari Allah Azza wa Jalla atas kaum mukmin agar mereka tidak menikahi wanita-wanita musyrik yang suka menyembah berhala. Firman Allah, “Sesungguhnya budak wanita mukmin lebih baik bagimu dari pada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan, budak laki-laki mukmin lebih baik dari pada laki-laki musyrik walaupun dia menarik hatimu.”As Sadi berkata (309) “Ayat ini diturunkan berkaitan dengan Abdullah bin Rawahah yang memiliki budak hitam.Dia marah kepadanya dan
23
c. Surat an-Nur (24) ayat 32 :
Artinya:“Kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba sahayamu. Jika mereka miskin maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberianNya) lagi maha mengetahui.”11
Ibarat nash ketiga ayat tersebut di atas tidak menunjukkan keharusan adanya wali; karena yang pertama larangan menghalangi perempuan yang habis iddanya untuk kawin, ayat kedua larangan
menamparnya.Kemudian dia merasa kaget dan bersalah, lalu pergi menemui Rasulullah SAW.seraya menyampaikan kasusnya. Nabi bertanya, “Bagaimana keadaan dia?”Abdullah menjawab, “Dia sholat, berpuasa, berwudhu dengan bagus, dan bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan bahwasanya engkau adalah Rasul Allah.”Nabi bersabda, “Hai Abu Abdillah, budak wanita itu muslimah.”Abdillah berkata, “Demi dzat yang mengutus dengan hak, sungguh aku memerdekakannya dan sungguh aku akan menikahinya.”Kemudian Abdullah pun melaksanakan sumpahnya.Kemudian kaum muslimin lainnya mencela Abdullah dengan mengatakan, “Dia telah mengawini budak wanitanya.”Sebelumnya mereka ingin menikahkan budaknya dengan laki-laki musyrik lantaran mengharapkan keturunannya.Kemudian Allah menurunkan ayat ini.” Firman Allah, “Janganlah kamu menikahkan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman,” maksudnya janganlah kamu menikahkan laki-laki musyrik dengan wanitawanita mukmin, sebagaimana Allah berfirman, “mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir tidak halal pula bagi mereka.” Kemudian Allah Ta’ala berfirman, “Budak lakilaki yang beriman lebih baik dari pada orang musyrik walaupun ia menarik hatimu.” Yakni, seorang laki-laki muslim, walapun dia budak negro, adalah lebih baik dari pada orang musyrik walaupun dia seorang pemimpin. “Mereka menyeret ke neraka.” Yakni bercampur dan bergaul dengan mereka akan membangkitkan cinta kepada dunia, merasa puas dengannya, serta memprioritaskan dunia dari pada akhirat, dan pada akhirnya akan mengakibatkan kebinasaan. “Sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya,” yani melalui syariat-Nya, apa yang diperintahkan, dan apa yang dilarang-Nya. “Dan Dia menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil Pelajaran.” 11 Penjelasan ayat yang mulia ini dalam Tafsir Ibnu Katsir adalah mencakup dalil-dalil yang muhkan dan perintah-perintah yang pasti. Firman Allah Ta’ala, “Dan nikahilah orang-orang yang sendirian diantara kamu,” merupakan perintah kawin. Segolongan ulama ada yang berpendapat bahwa ayat ini mewajibkan menikah kepada siapa yang sanggup melakukannya. Firman Allah Ta’ala, “Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.” Ibnu Abbas berkata, “Allah memotovasi mereka agar kawin dan menyuruh mereka kawin dengan orang yang merdeka dan budak sahaya.Dia menjanjikan kemampuan materi kepada mereka.”
24
perkawinan antara perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik, sedangkan ayat ketiga suruhan untuk mengawinkan orang-orang yang masih bujang. Namun karena dalam ketiga ayat itu khitab Allah berkenaan dengan perkawinan dialamatkan kepada wali, dapat pula dipaham daripada keharusan adanya wali dalam perkawinan.Dari pemahaman ketiga ayat tersebut di atas jumhur ulama menetapkan keharusan adanya wali dalam perkawinan.12 Disamping itu terdapat pula ayat Al-Qur’an yang memberikan pengertian perempuan itu kawin sendiri tanpa mesti memakai wali, diantaranya adalah : a. Surat al-Baqarah (2) ayat 232 :
Artinya :“Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman diantara kamu kepada Allah dan hari kemudian.Itu lebih baik bagimu dan lebih suci.Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.”13 12
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia… hlm. 71. Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas demikian, “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seseorang yang menalak isterinya satu atau dua kali, lalu iddahnya habis. Kemudian orang itu berniat merujuk dan mengawininya kembali, dan si isteri pun mau.Namun para wali wanita itu menolaknya.Maka Allah melarang mereka menghalang-halanginya.”Hal senada dikemukakan pula oleh sekelompok tabi’in.Riwayat itu menunjukkan bahwa isteri tidak berkuasa untuk mengawinkan dirinya tanpa wali. Firman Allah, “Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman diantara kamu kepada Allah dan hari 13
25
b. Surat al-Baqarah (2) ayat 230 :
Artinya: “Kemudian jika sisuami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui .” 14 kemudian.” Maksudnya, para wali tidak boleh menolak untuk menikahkan wanita dengan mantan suaminya jika ada kerelaan diantara keduanya dengan cara yang ma’ruf, jika kamu beriman kepada Allah dan syariat-Nya serta kamu takut terhadap azab hari akhir. ”itu lebih baik bagimu dan lebih suci,” artinya ketundukanmu kepada syariat Allah dengan mengembalikan wanita yang ada perwaliannya kepada mantan suaminya serta tidak melindunginya adalah lebih baik dan lebih suci bagi hatimu.“Dan Allah mengetahui” kebaikan yang terdapat dalam pelaksanaan dan peninggalanmu, “sedang kamu mengetahui” hal itu. 14 Manurut Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini menghapuskan tradisi yang berlaku pada permulaan islam, yaiu seorang suami berhak merujuk isterinya meskipun dia sudah menceraikannya seratus kali, selama si isteri berada dalam masa iddah. Namun, tatkala tradisi ini banyak merugikan isteri, maka Allah membatasi talak hingga tiga. Dia membolehkan rujuk pada talak pertama dan kedua, tetapi sama sekali cerai pada talak ketiga. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Talak itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” Firman Allah Ta’ala, “Apabila dia menceraikannya, maka wanita itu tidak halal lagi baginya sebelum wanita itu menikah dengan orang lain.” Maksudnya, apabila seorang suami menceraikan isterinya yang ketiga kalinya, dan sebelumnya dia sudah memutuskan dua kali talak, maka si isteri haram dirujuk oleh suami sebelum wanita itu kawin dengan orang lain. Artinya, hingga wanita itu di jima’ oleh orang lain melalui perkawinan yang sah. Bila si isteri dijima’ oleh seseorang tanpa nikah, walaupun oleh budak sahaya miliknya, maka si wanita tidak halal bagi suaminya yang pertama, sebab yang menjima’ bukan suaminya. Demikian pula apabila si isteri menikah tetapi belum di-dukhul oleh suaminya, maka ia tak halal bagi suami yang pertama. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Aisyah (353), “Seorang suami mencerai isterinya sebanyak tiga kali.Kemudian si isteri kawin dengan laki-laki lain yang kemudian menceraikannya sebelum disentuh.Kemudian Rasulullah SAW ditanya, apakah isteri itu halal bagi suami yang pertama?Nabi bersabda, “Tidak!Sebelum suami kedua merasakan madu isterinya, demikan pula sebaliknya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim, dan Nasa’I dari berbagai jalan yang bervariasi, yaitu dari Abdullah bin Umar al-Umar. Maksudnya, suami pertama harus mencintai wanita itu dan bermaksud menggaulinya untuk selamanya, sebagaimana hal itu disyariatkan dalam sebuah perkawinan.Jika suami yang kedua disebut muhallil bertujuan untuk menghalalkan wanita bagi suami pertama maka muhallil inilah yang dicela dan dilaknat dalam berbagai hadits.Jika muhallil
26
c. Surat al-Baqarah (2) ayat 234 :
….
Artinya: “…. Apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)memberikan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.15
Ayat pertama diatas dengan tegas mengatakan perempuan itu mengawini bekas suaminya dan wali dilarang mencegahnya.Ayat kedua dengan jelas menyatakan perempuan itu melakukan perkawinan dengan laki-laki lain dan ayat ketiga perempuan itu berbuat atas dirinya (maksudnya kawin).Dalam ayat ketiga tersebut, fa’il atau pelaku dari perkawinan itu adalah perempuan itu sendiri tanpa disebutkan adanya wali.16 Dari ayat tersebut diatas, ulama Hanafiyah dan Ulama Syi’ah Imamiyah berkesimpulan bahwa perempuan yang sudah dewasa dan sehat menyatakan maksudnya secara jelas di dalam akad, maka batallah pernikahannya menurut jumhur imam. 15 Dalam Tafsir Ibnu Katsirdijelaskan ayat ini merupakan perintah dari Allah bagi kaum wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu hendaklah mereka beriddah selama empat bulan sepuluh malam. Ketetapan ini berlaku baik bagi isteri yang sudah di-dukhul maupun yang belum melalui persenggamaan. Firman Allah Ta’ala, “Apabila mereka telah habis iddahnya, maka tidak ada dosa bagimu” yakni atas para wali wanita, “membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka dengan ma’ruf,” maksudnya untuk berhias dan berdandan serta tampil untuk menikah lagi, karena yang demikian itulah yang ma’ruf. Demikianlah penafsiran Ibnu Abbas. 16 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia … hlm.72.
27
akalnya dapat melakukan sendiri perkawinannya dan tidak perlu wali mengakadkannya.Alasan rasionalnya ialah orang yang telah dewasa dan sehat akal dapat cakap bertindak menurut hukum
dengan sendirinya
tanpa diperlukan bantuan walinya.
2. Sunnah Dalam Sunnah Nabi SAW yang dijadikan sebagai dasar hukum tentang wali nikah antara lain : a. Hadits dari Siti Aisyah r.a :
سٔاِ ابٕ دأد ٔانخشيزي ٔاحًذ ٔانبٍٓقً ٔنفظًٓا.ًال َكاح ا ال بٕن .الَكاح اال بٕنً ٔشاْذي عذل Artinya: “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali. (Riwayat Abu Daud, Turmudzi, Ahmad dan Baihaqi). Menurut Lafadz yang diketengahkan oleh Imam Ahmad dan Imam Baihaqi menyebutkan, “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya seorang wali dan dua saksi laki-laki yang adil.”18 Hadits ini menjelaskan tiada nikah yang sah kecuali dengan adanya seorang wali laki-laki yang merdeka lagi telah mukallaf. Pengertian ini berdasar kepada hadits lainnya yang diketengahkan oleh Ibnu Majah dan Daruquthni dengan syarat Syaikhain, yaitu: “Wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya, dan wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.”Karena itulah maka jumhur ulama 17
Sholih bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim, al Kutub as-Sittah, Sunan Abi Daud. (Riyad: Darus Salam, 2000), hlm. 1376, Hadits No. 2085 18 Lihat al Imam al Hafidz Ali bin Umar, Sunan ad-Daruquthni, Jilid III (Jakarta: Pustaka Azam, 2008), hlm. 436. Hadits No.3481; Moh Zuhri, Dipl, Taft dkk, Sunan at-Tirmidzi. Jilid II (Semarang: asy Syifa, 1992), hlm. 423, Hadits No.1107; Bey Arifin & Syinqithy Djamaludin, Sunan Abi Daud, Jilid III (Semarang: asy Syifa, 1992), hlm.27, Hadits No.1376.
28
Salaf maupun Khalaf mengatakan, bahwa keberadaan seorang wali dalam suatu perkawinan merupakan suatu keharusan demi sahnya perkawinan tersebut.
b. Hadits dari Siti Aisyah r.a :
قال سصٕل اهلل صهى اهلل عهٍّ ٔصهى: عٍ عائشت سضً اهلل عُٓا قانج أًٌا ايشأة َكحج ٌغٍش إرٌ ٔنٍٓا فُكاحٓا باطم باطم باطم فإٌ دخم: ٍبٓا فهٓا انًٓش بًا اصخحم يٍ فشجٓا فإٌ اصخجشٔا فانضهطاٌ ٔنً ي ( ّال ٔنً ن Artinya: Dari Aisyah r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Manakala seorang wanita kawin tanpa seizin para walinya, maka nikahnya batal, batal, batal, dan jika lelaki yang bersangkutan telah menggaulinya maka ia harus membayar mahar karena ia telah menggaulinya. dan jika mereka bersengketa maka Sultan adalah wali dari orang yang tidak mempunyai wali.” (HR. Abu Daud dan Turmudzi).20 Dalam hadits tersebut diatas dapat diketahui bahwa setiap wanita jika kawin tanpa seizin para walinya, maka nikahnya batal, dan apabila lelaki yang kawin dengannya telah menyetubuhinya, maka lelaki itu harus membayar mahar mitsil kepadanya oleh sebab ia telah menggaulinya, setelah itu ia tidak mempunyai jalan lagi terhadapnya karena nikahnya batal. Dan apabila para walinya bersengketa, atau
19
Sholih bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim, al Kutub as-Sittah, Sunan Abi Daud. (Riyad: Darus Salam, 2000), hlm. 1376, Hadits No. 2083 20 LihatBey Arifin & Syinqithy Djamaludin, Sunan Abi Daud… hlm.26, Hadits No.2083; Moh Zuhri, Dipl, Taft dkk, Sunan at-Tirmidzi ... hlm. 424, Hadits No.1108.
29
tidak mau mengawinkannya mengingat ketiadaan faktor sepadan (kufu) umpamanya, maka yang menjadi walinya ialah Sultan, yakni wali hakim.
c. Hadits dari Abu Hurairah :
( ال حزٔج: قال سصٕل اهلل صهى اهلل عهٍّ ٔصهى: ٔعٍ ابى ْشٌشة قال ٔالحزٔج انًشاة َفضٓا) سٔاِ ابٍ ياجّ ٔانذاسقطُى,انًشاة انًشاة .ٔسجانّ ثقاث Artinya: “Dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: Wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya, dan wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.”(HR. Ibnu Majah dan Daruquthni)22 Dalam hadits ini diterangkan bahwa seorang wanita tidak bisa menjadi wali untuk dirinya sendiri dan juga tidak bisa menjadi wali bagi orang lain atau pun mewakilkan, begitulah pendapat para jumhur ulama’. Sedangkan ulama hanafiyah menetapkan tidak wajibnya wali bila yang melangsungkan perkawinan itu adalah perempuan yang sudah dewasa dan sehat akal.Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat Muslim yang berbunyi :
21
Sholih bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim, al Kutub as-Sittah, Ibnu Majjah. (Riyad: Darus Salam, 2000), hlm.2589, Hadits No. 1882. 22 al Imam al Hafidz Ali bin Umar, Sunan ad-Daruquthni … hlm. 497. Hadits No.3495
30
انثٍّب احق بُفضٓا يٍ ٔنٍٓا Artinya: “Janda itu lebih berhak atas dirinya ketimbang walinya.”24 Juga hadits dari Ibnu Abbas menurut riwayat Abu Daud, dan al-Nasai dan disahkan oleh Ibnu Hibban yang bunyinya :
نٍش نهٕنً يع انثٍّب ايش Artinya: “Tidak ada urutan wali terhadap perempuan yang sudah janda.26
3. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI Dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan (selanjutnya disebut Undang-undang perkawinan) tidak menyebutkan wali sebagai syarat untuk sahnya pernikahan, sebagaimana disebutkan dalam bab II tentang syarat-syarat perkawinan pada pasal 6 adalah sebagai berikut : (1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka 23
Sholih bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim, al Kutub as-Sittah, Sunan Abi Daud. (Riyad: Darus Salam, 2000), hlm.1377, Hadits No. 2099. 24 Lihat Bey arifin, Yunus Ali al-Muhdhor, Sunan an-Nasa’iy, Jilid III (Semarang: asy Syifa, 1992), hlm.479, Hadits No.3121; Bey Arifin & Syinqithy Djamaludin, Sunan Abi Daud … hlm.34, Hadits No.2013. 25 Sholih bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim, al Kutub as-Sittah, Sunan Abi Daud. (Riyad: Darus Salam, 2000), hlm.1377, Hadits No. 2100. 26 Bey Arifin & Syinqithy Djamaludin, Sunan Abi Daud … hlm.34, Hadits No.2014.
31
izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberi izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini. (6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Dari pasal tersebut Undang-undang perkawinan tidak menyebutkan wali sebagai syarat untuk sahnya pernikahan.Yang disebutkan dalam Undang-undang perkawinan hanyalah orang tua, itupun dalam kedudukan sebagai orang yang harus dimintai izinnya pada waktu melangsungkan perkawinan, yang demikianpun apabila calon mempelai berumur dibawah
32
21 tahun. Hal ini mengandung arti bila calon mempelai sudah mencapai umur 21 tahun peranan orang tua tidak ada sama sekali.27 Dengan demikian walaupun Undang-undang perkawinan tidak menyebutkan wali sebagai syarat untuk sahnya pernikahan, akan tetapi dalam Undang-undang perkawinan menyebutkan bahwa, perkawinan dikatakan sah apabila perkawinan tersebut telah dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang perkawinan pasal 2 ayat (1) yaitu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam, mengenai wali nikah dimasukkan sebagai rukun dalam perkawinan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 14 adalah untuk melaksanakan perkawinan harus ada : calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab dan Kabul. Selain itu di dalam Kompilasi Hukum Islam, adanya wali nikah bagi mempelai perempuan dalam akad perkawinan merupakan suatu rukun yang harus dipenuhi.Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 19 disebutkan wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi
bagi
calon
mempelai
wanita
yang
bertindak
untuk
menikahkannya dan pasal tersebut menunjukan bahwa keberadaan
27
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia… hlm.69-70.
33
walibagi mempelai perempuan dalam pernikahan merupakan suatu yang mesti dan tidak sah perkawinan yang dilakukan tanpa adanya wali.28 Dengan demikian walaupun Kompilasi Hukum Islam berbeda dengan Undang-undang perkawinan dalam menentukan syarat atau rukun perkawinan, akan tetapi pada asalnya materi dalam Kompilasi Hukum Islam yang bersumber dari Undang-undang perkawinan, dan dalam Kompilasi Hukum Islam ditambahkan materi lain yang prinsipnya tidak bertentangan dengan Undang-undang perkawinan.29 Sehingga disimpulkan bahwa berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 19 tersebut, maka dalam hukum perdata Islam di Indonesia mengenai pernikahan bahwa keberadaan wali dalam akad pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi mempelai perempuan yang akan melangsungkan akad pernikahan dan tidak sah akad pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali.
C. Kedudukan Wali dalam Pernikahan Padaakad perkawinan wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut. Dikalangan ulama terdapat beda pendapat dalam hal kedudukan wali sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan, yaitu:30
28
Ibid., hlm.69. Ibid., hlm. 31 30 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, Jilid 1. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 156 29
34
1. Pendapat yang memandang bahwa sighat akad nikah yang diucapkan wanita yang cerdik dan dewasa adalah sah secara mutlak. Pendapat ini dipegang oleh Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Zufar, Auza’I, dan Muhammad Ibnu al-Qosim. Hal ini didasarkan pada dalil naqli yaitu Qur’an surat al-Baqarah ayat230, 232, dan ayat 234 dengan penafsiran yang mengarah pada pendapat tersebut. Begitu pun dari dalil sunnah Rasul diantaranya hadits Abu Abbas yang diriwayatkan oleh jamaah kecuali Bukhori yang berbunyi :
انثٍّب احق: قال سصٕل اهلل صهى اهلل عهٍّ ٔصهى: عٍ ابٍ عباس قال بُفضٓا يٍ ٔنٍٓا ٔانبكش حضخارٌ فً َفضٓا ٔارَٓا صًاحٓا Artinya; “Dari Ibnu Abbas, ia berkata, Nabi SAW bersabda: “Perempuan yang janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya. Sedangkan anak gadis diminta izinnya mengenai dirinya dan diamnya adalah izinnya.”32 Dan hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh Nasa’I dan Ahmad yang berbunyi :
نٍش: عٍ او صهًت آَا نًا بعث انُبً صهى اهلل عهٍّ ٔصهى ٌخطبٓا قانج ٍ نٍش احذ ي: فقال سصٕل اهلل صهى اهلل عهٍّ ٔصهى.احذ يٍ أنٍائٍشاْذا .أنٍائك شاْذ ٔال غائّب ٌكشِ رنك Artinya: 31
“Ummu Salamah meriwayatkan, tatkala Rasulullah meminangnya ia berkata: “ Tidak seorangpun dari wali-waliku
Sholih bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim, al Kutub as-Sittah, Sunan Abi Daud. (Riyad: Darus Salam, 2000), hlm.1377, Hadits No. 2099. 32 Lihat Moh Zuhri, Dipl, Taft dkk, Sunan at-Tirmidzi ... hlm. 437, Hadits No.1114; Bey arifin, Yunus Ali al-Muhdhor, Sunan an-Nasa’iy… hlm.481, Hadits No.3127; Bey Arifin & Syinqithy Djamaludin, Sunan Abi Daud … hlm.33, Hadits No.2012.
35
hadir, maka sabda Rasulullah SAW : “Tidak seorangpun dari walimu yang hadir atau yang ghaib (musafir) menolak perkawinan kita.” 2. Pendapat yang menyatakan Sighat ijab akad nikah yang diucapkan oleh wanita hukumnya sah, namun bergantung pada izin atau restu walinya, jika tidak direstui walinya maka akadnya batal. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Sirin, Qosim bin Muhammad, dan Muhammad Ibnu Hasan. Hal ini didasarkan pada hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad yang berbunyi :
قال سصٕل اهلل صهى اهلل عهٍّ ٔصهى: عٍ عائشت سضً اهلل عُٓا قانج أًٌا ايشأة َكحج ٌغٍش إرٌ ٔنٍٓا فُكاحٓا باطم باطم باطم فإٌ دخم بٓا: ًفهٓا انًٓش بًا اصخحم يٍ فشجٓا فإٌ اصخجشٔا فانضهطاٌ ٔنً يٍ ال ٔن ( ّن Artinya: Dari Aisyah r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Manakala seorang wanita kawin tanpa seizin para walinya, maka nikahnya batal, batal, batal, dan jika lelaki yang bersangkutan telah menggaulinya maka ia harus membayar mahar karena ia telah menggaulinya. dan jika mereka bersengketa maka Sultan adalah wali dari orang yang tidak mempunyai wali.” (HR. Abu Daud dan Turmudzi).34 3. Pendapat ini hampir serupa dengan pendapat diatas hanya saja pendapat ini
memandang
bahwa
izin
wali
haruslah
diperoleh
sebelum
berlangsungnya akad nikah. Pendapat inidipegang oleh Abu Saur.
33
Sholih bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim, al Kutub as-Sittah, Sunan Abi Daud. (Riyad: Darus Salam, 2000), hlm. 1376, Hadits No. 2083 34 LihatBey Arifin & Syinqithy Djamaludin, Sunan Abi Daud… hlm.26, Hadits No.1999; Moh Zuhri, Dipl, Taft dkk, Sunan at-Tirmidzi ... hlm. 424, Hadits No.1108.
36
4. Pendapat yang memandang bahwa pernikahan tanpa wali itu sah hukumnya jika sekufu, dan batal jika tidak sekufu. Pendapat ini dipegang oleh Asy-Syabi dan Az-Zuhri. Alasannya didasarkan pada hadits Ummu Salamah yang telah tersebut diatas. 5. Pendapat yang memandang bahwa akad nikah tanpa wali hukumnya sah bagi wanita janda dan tidak sah bagi wanita yang masih gadis. Pendapat ini dipegang oleh Daud Az-Zahiri. Alasannya dilandaskan pada hadits Ibnu Abbas yang telah dikemukakan diatas. 6. Pendapat yang memandang batal akad nikah yang sighat ijabnya diucapkan oleh wanita, baik gadis atau janda, sekufu atau tidak, dengan ijin wali atau tidak, secara langsung untuk dirinya atau sebagai wakil. Pendapat ini dipegang oleh Imam Syafi’i , Imam Malik, Ibn syubrumah, Ibn Abu Laila, Sofyan Sauri, Ishaq bin Rahawaih, Ibn Mubarok, Ibn Hazim, dan kebanyakan dari kalangan ulama jumhur. Dasarnya adalah dalil naqli Al-Qur’an yang tersebut didepan penjelasan uraian inidan juga hadits-haditsnya yang merupakan sumber dari sunnah Rasulullah SAW.35 Sedangkan dalam kitab Bidayat al-Mujtahit wa Nihayat alMuqtasid, Ibnu Rusyd diterangkan:
اخخهف انعهًاء ْم انٕالٌت ششط يٍ ششٔط صحت انُكاح او نٍضج ٔآَا ششط فى,ًبششط؟ فزّْب يانك انى اَّ ال ٌكٌٕ َكاح اال بٕن . ٔبّ قال انشافعى,ُّ فى سٔاٌت اشّٓب ع.انصحت
35
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan…hlm. 154-161
37
Bahwa ulama berselisih pendapat apakah wali menjadi syarat sahnya nikah atau tidak.Berdasarkan riwayat Asyhab, malik berpendapat tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh imam syafi’i.36
D. Macam-macam Wali Nikah Pada umumnya wali dalam pernikahan oleh para jumhur ulama dibagi atas dua bagian, yaitu wali dekat (wali aqrab) dan wali jauh (wali ab’ad).Wali aqrabadalah wali yang paling dekat hubungannnya dengan pengantin perempuan mengikut susunan wali.Sedangkan wali ab’ad adalah wali yang jauh perhubungannya dengan pengantin perempuan mengikut susunan wali. Namun untuk lebih lengkap wali dapat pula dibagi dalam 3 kelompok, yaitu : 1. Wali Nasab Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali karena adanya hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan.37Dalam hal ini yang dimaksud adalah ayah dan kakek.Dua wali ini yang paling dekat dan paling berhak menikahkan putrinya (cucu bagi kakek), Merekalah yang berkuasa mutlak untuk menikahkan.38 Urutannya sebagai berikut : a. Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas.
36
Abul Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid. (Beirut: Dar al-Jill Juz 2, 1409 H/1989 M), hlm.6. 37 Slamet Abidin, Fiqih Munakahat.(Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm.89. 38 Fatihuddin Abul Yasin, Risalah Hukum Nikah. (Surabaya: Terbit Terang, 2006), hlm.4.
38
b. Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak) c. Saudara laki-laki sebapak d. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak dan seterusnya kebawah f. Paman (saudara dari bapak) kandung g. Paman (saudara dari bapak) sebapak h. Anak laki-laki paman kandung i. Anak laki-laki paman sebapak dan seterusnya kebawah 39 Urutan diatas harus dilaksanakan secara tertib, artinya yang berhak menjadi wali adalah bapak, apabila bapak telah meninggal atau tidak memenuhi persyaratan, maka wali berpindah ke kakek.Apabila kakek telah meninggal atau kurang memenuhi syarat yang ditentukan, maka wali jatuh kepada bapaknya kakek dan seterusnya ke atas.Begitulah seterusnya sampai urutan yang terakhir. Jika wali yang lebih berhak tidak ada dan terjadi diluar ketentuan tersebut, maka wali nikah akan jatuh kepada wali yang lain, yaitu wali hakim.40 Wali nasab terbagi dua.Pertama, wali nasab yang berhak memaksa menentukan perkawinan.Wali nasab yang berhak memaksa ini disebut Wali Mujbir.Wali Mujbir adalah wali yang mempunyai bidang kuasa mengawinkan anak atau cucu perempuan tanpa meminta izin perempuan itu terlebih dahulu. Yang dimaksud adalah Bapak, Kakek (dari pihak
39
M. Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Empat Madzhab, cet.ke-15. (Jakarta: PT.Hidakarya Agung, 1996), hlm.53. 40 Abdul Ghoni, S.Pd.I, Kepala KUA Kec. Wonopringgo, wawancara pribadi, pekalongan, 17 November 2014
39
bapak) dan tuan bagi hamba sahayanya,41 meskipun demikian harus memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya: a. Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak perempuan tersebut. b. Sekufu antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya. c. Calon suami mampu membayar mas kawin. d. Calon suami tidak bercacat yang membahayakan pergaulan dengan anak perempuannya, seperti orang buta. Kedua, wali nasab yang tidak mempunyai hak kekuasaan memaksa atauwali nasab biasa, yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapak dari bapak dan seterusnya anggota keluarga laki-laki menurut garis keturunan patrilinial.
2. Wali Hakim Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah,42 untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan.Di dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan bahwa wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.43dengan ketentuan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 23 :
41
Muhammad Arsyad al-Banjari, Kitab An-Nikah I. (Martapura: Yayasan Pendidikan Islam dalam Pagar (YAPIDA), 2005), hlm.15. 42 Sesuai dengan Peraturan menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan. 43 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Depatemen Agama RI, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), hlm.13
40
a. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gharib atau adhol atau enggan. b. Dalam hal wali adhol atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut. Adapun dalil yang berkaitan dengan wali hakim adalah sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud sebagai berikut :
ّفاٌ اشخجشٔا فانضهطاٌ ٔنً يٍ ال ٔنً ن Artinya: "Kemudian bila (para walinya) itu menolak untuk menikahkan (adhol), maka hakim (penguasa) adalah wali bagi orang yang tidak ada walinya." (HR. Ahmad dan Abu Daud)44
3. Wali Muhakam Wali muhakam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami isteri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.45 Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim, padahal ditempat itu tidak ada wali hakimnya, maka
44
Bey Arifin & Syinqithy Djamaludin, Sunan Abi Daud… hlm.26, Hadits No.1999 Departemen Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. (Jakarta: Proyek peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, 1997/1998), hlm. 35. 45
41
pernikahan dilangsungkan dengan wali muhakam.46Caranya ialah kedua calon suami isteri mengangkat seorang yang mempunyai pengertian tentang hukum-hukum untuk menjadi wali dalam pernikahan mereka. Pernikahan dengan wali muhakam tersebut dianggap sah menurut hukum syara’, sebagaimana pendapat imam syafi’i, bila ada seorang wanita yang hidup di wilayah terpencil tidak memiliki wali, lalu ia menyerahkan kepada seseorang menjadi wali untuk menikahkan dirinya, maka pernikahan tersebut hukumnya sah.47 Dari beberapa pendapat para ulama tentang masalah wali yang telah dikemukakan di atas,menurut pendapat penulis keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali.Sebagaimana menurut hukum Islam wali adalah sangat penting dan menentukan, hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak sah nikah tanpa wali.” Begitu pula disebutkan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang mempersyaratkan adanya wali secara mutlak dalam suatu perkawinan dan disebutkan dalam pasal 19 Kompilasi Hukum Islam, bahwa wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
46
Di Indonesia praktik menggunakan wali muhakam biasanya terjadi di luar pulau jawa. Faktor-faktor yang mengakibatkan penggunaan wali muhakam ini antara lain: medan yang sulit dijangkau/terisolir, cuaca buruk seperti adanya gelombang pasang, musim penghujan, dll. Faktor tersebut mengakibatkan wali hakim (PPN) tidak bisa menghadiri acara pernikahan sehingga biasanya pasangan calon pengantin menunjuk tokoh masyarakat untuk bertindak menjadi wali nikah. 47 Fatihudin Abul Yasin, Risalah Hukum Nikah. (Surabaya: Terbit Terang, 2006), hlm.33.
42
E. Peralihan Wali Nikah Menurut Fiqih dan KHI Akad pernikahan merupakan akad yang istimewa daripada akad-akad lainnya seperti jual-beli atau gadai. Akad nikah dianggap oleh ulama sebagai hal yang harus ditangani dengan hati-hati (aqd khatir) karena akan berimplikasi kepada anak dan hal-hal lain yang ditimbulkan karena pernikahan seperti hak warisan. Salah satu unsur yang paling utama dari akad nikah adalah wali nikah. Hanya wali nikah yang memiliki hak untuk menikahkan wanita yang berada dalam perwaliannya. Hak ini diberikan Islam kepada wali nikah, karena wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Jika wanita menikahkan dirinya sendiri, maka berarti ia telah berzina.48 Tetapi dalam realitanya, wali nikah yang berhak menikahkan terkadang kehilangan hak perwaliannya karena hal-hal tertentu, yang mengharuskan hak walinya berpindah kepada wali nikah lain yang dalam hierarki berada pada ring yang lebih jauh daripadanya. Perpindahan hak wali nikah ini dalam term fiqh dikenal dengan intiqal wali nikah.49 1. Jenis dan Sebab Intiqal Wali Nikah Adapun Jenis dan sebab intiqal wali nikah dapat dijelaskan sebagai berikut : 50 a. Dari Wali Aqrab ke Wali Ab'ad
48
Yasron, Makalah Wali Nikah, KUA Kec.Wonopringgo Zamroni, Penyuluh Agama Islam KUA Kec. Wonopringgo, Wawancara Pribadi, Pekalongan, 28 November 2014 50 Suhaimi, Makalah Intiqal Wali Nikah, Kankemenag Kab. Pekalongan 49
43
Menurut jumhur ulama, jika wali ab'ad menikahkan wanita padahal masih ada wali aqrab (yang urutannya lebih dekat), maka akad nikahnya tidak sah. Perpindahan dari wali aqrab ke wali ab'ad hanya dapat terjadi karena keadaan wali aqrab seperti di bawah ini: 1. Ia adalah hamba sahaya; 2. Gila; 3. Bodoh (kurang akal); 4. Kafir; dan 5. Sedang ihram (mengerjakan haji). Pasal 22 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan dua sebab bergesernya wali nikah dari aqrab ke ab'ad, yaitu: 1. Jika tidak memenuhi syarat-syarat sebagai wali nikah; dan 2. Jika wali nikah menderita tuna wicara, tuna rungu, atau sudah udzur. 51 Menurut pendapat Hanafiyah, jika wanita dinikahkan oleh wali ab'adnya, padahal ada wali aqrab, maka sahnya akad nikah tergantung ada atau tidaknya izin dari wali aqrabnya itu. Jika wali aqrabnya mengizinkan, maka akad nikah sah, jika ia tidak mengizinkan, maka akad nikah batal. Tetapi, jika wali aqrabnya tersebut masih kecil atau gila, maka perwalian berpindah kepada wali ab'adnya.52
51
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Depatemen Agama RI, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), hlm.22. 52 Muhammad Ali as Shobih, al Ahkam al Syar’iyah Fi al Ahwal al Syahsiyyah ala Madzhab al imam Abi Hanifah an Nu’man. (Mesir: al Azhar, 1965), hlm. 7
44
Menurut Malikiyah, jika wali ab'ad menikahkan wanita, padahal wali aqrabnya masih ada, maka akad pernikahannya tetap sah, asal wanita tersebut berkenan, setuju.53
b. Dari Wali Nasab ke Wali Hakim Pada asalnya, wali hakim berfungsi sebagai penyeimbang. Wali hakim digunakan ketika tidak ada lagi wali nasab. Dalam hadits Nabi saw., perpindahan dari wali nasab ke wali hakim didasarkan pada adanya perselisihan antara para wali, seperti dipahami dari hadits dari Aisyah di bawah ini:
أًٌا ايشأة َكحج بغٍش إرٌ ٔنٍٓا فُكاحٓا باطم باطم باطم فإٌ دخم ًٍبٓا فهٓا انًٓش بًا اصخحم يٍ فشجٓا فإٌ اصخجشٔا فانضهطاٌ ٔنً ن أخشجّ األسبعت إال انُضائى ٔصححّ أبٕ عٕاَت ٔابٍ (ال ٔنً نٓا حباٌ ٔانحاكى Artinya: "Wanita apapun yang menikah tanpa idzin walinya, maka nikahnya batal, batal, batal. Jika suami telah menggaulinya, maka wanita tersebut berhak atas maskawin sebagai penghalal kemaluannya. Jika para wali tersebut berselisih, maka shulthan menjadi wali bagi wanita yang tidak memiliki wali (karena berselisih)." (Diriwayatkan oleh Imam Empat kecuali Al-Nasa'iy. Abu Awanah, Ibnu Hibban, dan AlHakim menilai hadits ini shahih)54
53
Abdurrahman bin Muhammad Audz al Jaziri, Fiqih ala Madzahib al Arba’ah. (Beirut, Libanon: Dar Ibnu Hazm, 2001), hlm. 832 54 Lihat Bey Arifin & Syinqithy Djamaludin, Sunan Abi Daud, Jilid III (Semarang: asy Syifa, 1992), hlm.26, Hadits No.1999; .Moh Zuhri, Dipl, Taft dkk, Sunan at-Tirmidzi. Jilid II (Semarang: asy Syifa, 1992), hlm. 424, Hadits No.1108.
45
Pasal 2 ayat (1) PMA Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim menyebutkan sebab-sebab perpindahan dari wali nasab ke wali hakim, antara lain: 1. Tidak mempunyai wali nasab yang berhak 2. Wali nasabnya tidak memenuhi syarat 3. Wali nasabnya mafqud55 4. Wali nasabnya berhalangan hadir 5. Wali nasabnya adhal56 Kompilasi Hukum Islam pasal 23 ayat (1) juga menyebutkan sebab-sebab yang senada dengan PMA Nomor 2 tahun 1987 di atas, hanya berbeda sedikit redaksinya, yaitu, "Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan."57 Menurut Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Tahun
1992
Nomor:
D/ED/PW.01/03/1992
tentang
petunjuk
pengisian formulir NTCR, Departemen Agama Direktorat Jendral 55
Dar el mashreq sebagaimana dikutip Abdul Manaf dalam karya tulisannya menjelaskan bahwa kata mafqud berasal dari kata kerja faqoda, yufqidu, dan masdarnya fiqdanan, fuqdanan, fuqudan, yang berarti telah hilang/tiada. Secara lughowiyah, mafqud berarti hilang/lenyap. Dalam menentukan status bagi mafqud (apakah ia masih hidup atau tidak), para ulama fiqih cenderung memandangnya dari segi positif, yaitu dengan menganggap orang yang hilang itu masih hidup sampai dapat dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa ia telah wafat. Sikap yang diambil ulama’ fiqih ini berdasarkan kaidah istishab yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula sampai ada dalil yang menunjukkan hukum lain. 56 Menurut Wahbah az Zuhaily, Adhol adalah penolakan wali untuk menikahkan anak perempuannya yang berakal dan sudah baligh dengan laki-laki yang sepadan dengan perempuan itu, dan masing-masing kedua calon mempelai itu saling mencintai, Penolakan itu menurut syara’ dilarang. 57 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Depatemen Agama RI, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), hlm.22.
46
Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, telah ditentukan wali hakim sebagai solusi perkawinan bagi mempelai perempuan yang berada dalam kesulitan memperoleh wali nasab sama sekali, wali tidak diketahui tempatnya (mafqud), walinya sendiri yang akan menjadi pengantin laki-laki sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada, wali yang berada ditempat yang jaraknya mencapai masafatul qosri, wali berada dalam tahanan dan tidak boleh ditemui, walinya mogok tidak bersedia menikahkan (adhol), wali sedang melakukan ibadah haji/umroh, walinya gila atau fasiq dan dilahirkan kurang dari 6 bulan.58 Sebab-sebab yang lebih rinci lagi dikemukakan Pedoman Fiqh Munakahat dari Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, yaitu: 1. Karena tidak mempunyai wali nasab sama sekali, atau 2. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya, atau 3. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada, atau 4. Wali berada di tempat jaraknya sejauh masafatul qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan sholat qasar) yaitu 92,5 km, atau 5. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai, atau 6. Wali adhal, artinya wali tidak bersedia atau menolak untuk menikahkan, atau 58
DEPAG, Pedoman Pencatat Nikah (PPN), (Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid Pusat, 1992/1993), hlm. 497
47
7. Wali sedang melakukan ibadah haji/umrah.59 Maka yangberhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali. Menurut Hasbi Ash Shiddieqy, Ulama-ulama Hanafiyah berpendapat
berpindahnya
wilayah
dari
akrab
kepada
yang
mengiringinya, adalah dalam beberapa hal : 1. Wali akrab itu jauh 2. Apabila wali akrab enggan menikahkan padahal bakal suami itu sekufu 3. Tidak cukup syarat pada wali akrab, tidak merdeka, belum sampai umur dan tidak beragama islam. Sedangkan Ulama-ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa berpindah hak menikahkan dari wali akrab kepada sulthan; jika wali akrab sedang mengerjakan haji; jika wali itu jauh sejauh semasafah qashar dan tidak memberi wakilah kepada seseorang; jika wali itu terpenjara dan jika enggan menikahkan padahal bakal suami sekufu.60 Menurut ulama Hanabilah: Tata urutan wali fardhu. Tidak boleh tidak. Tetapi hak tersebut gugur dalam beberapa hal; tidak mau menikahkan dengan orang yang telah disukai (direlai) oleh orang yang dinikahkan itu (dalam hal ini hak menikahkan berpindah dari wali
59
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fiqih Munakahat. (Jakarta: 1997), hlm. 110 60 Zainudin Abdul Aziz al Malibari, Fatkhul Mu’in Syarah Qurrotul ain. (Surabaya: al Haramain, 2006), hlm. 104.
48
kepada hakim); kediaman wali lebih dari masafah qashar; wali tidak mampu memegang hak wilayah karena masih kecil atau berlainan agama. Dan Ulama-ulama Malikiyah berpendapat bahwa Apabila wali tempatnya jauh, jika dihawatirkan terjadi kemudaratan karena tak ada yang menafkahi atau karena dihawatirkan perzinaan, maka hakim boleh mengawinkannya.61 Menurut Ahmad Rofiq, perpindahan dari wali nasab kepada wali hakim dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Wali aqrab atau wali ab’ad tidak ada sama sekali 2. Wali aqrab ada, tetapi akan menjadi calon mempelai pria, sedang wali aqrab yang sederajat (sama-sama anak paman) sudah tidak ada 3. Wali aqrab ada, tetapi sedang ihram 4. Wali aqrab ada tetapi tidak diketahui tempat tinggalnya (mafqud) 5. Wali aqrab ada tetapi menderita sakit pitam 6. Wali aqrab ada tetapi menjalani hukuman yang tidak dapat dijumpai 7. Wali aqrab ada tetapi bepergian jauh sejauh perjalanan yang membolehkan sholat qashar. 8. Wali aqrab ada tetapi menolak untuk mengawinkannya (adhol)
61
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqih Islam. (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 227.
49
9. Calon mempelai wanita menderita sakit gila, sedang wali mujbirnya sudah tidak ada lagi.62 Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, wewenang wali berpindah ke tangan hakim apabila: ada pertentangan diantara wali-wali; dan bilamana walinya tak ada dalam pengertian tidak ada yang absolute (mati, hilang) atau karena ghoib.63 Ada satu sebab lagi yang menyebabkan intiqal dari nasab ke hakim. Sebab tersebut adalah anak hasil di luar nikah (anak tidak sah). Menurut pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. KHI pasal 100 lebih menegaskan lagi bahwa anak tersebut tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Karena tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, maka wanita tersebut tidak memiliki seorang wali nasab pun, karena barisan wali nasab adalah dari garis ayah. Oleh sebab itu, maka perwaliannya berpindah kepada wali hakim.64
62
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Rajawali press, tt), hlm. 88 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, Terj. Mohammad Tholib. (Bandung: Al Ma’arif, 1978),
63
hlm. 29 64
Abdul Ghoni, Kepala KUA Kec. Wonopringgo, Wawancara pribadi, Pekalongan, 28 November 2014