17
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN 2.1
Pengertian Perjanjian Pengangkutan Istilah pengangkutan belum didefinisikan dalam peraturan perundang-
undangan, namun banyak sarjana yang mengemukakan pengertian pengankutan. Menurut R. Djatmiko “ Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti membawa atau memindahkan sesuatu ketempat lain” 1. Pengangkutan dalam arti ekonomi dan perdagangan merupakan jasa yang menaikkan arti dan nilai suatu barang. Pengangkutan memiliki posisi yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan bangsa dan Negara. Pengangkutan adalah proses kegiatan memuat barang atau penumpang ke dalam alat pengangkutan, membawa barang atau penumpang dari tempat pemuatan ke tempat tujuan, dan menurunkan barang atau penumpang dari alat pengangkutan ke tempat yang ditentukan2. Di Negara kita pengangkutan dilakukan dengan bermacam-macam moda, yakni pengangkutan darat, baik melalui jalan raya maupun dengan kereta api, pengangkutan laut dan pengangkutan udara3. Jadi hukum pengangkutan adalah keseluruhan peraturan-peraturan didalam dan diluar kodifikasi yang berdasarkan atas dan bertujuan untuk mengatur hubungan-hubungan hukum yang tertib karena keperluan pemindahan barang-barang dan atau orang-orang dari suatu ke lain
1
R.Djatmiko D, 1996, Pengetahuan Hukum dan Hukum Dagang, Angkasa, Bandung,
h. 111 2
Abdul Muhammad, 1991, Hukum Pengangkutan Darat, laut, udara, Cet pertama, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad III), h. 19 3 Ridwan Khairandy et. Al. 1999, Pengantar Hukum Dagang Indonesia1, Cet pertama, Gama Media atas kerja sama PSH FH UII, Yogyakarta, h. 96
18
tempat untuk memenuhi perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian-perjanjian tertentu4. Sebelum menyelenggarakan pengangkutan, terlebih dahulu harus ada perjanjian pengangkutan antara pengangkut dan penumpang / pemilik barang. Perjanjian pengangkutan adalah persetujuan dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan / atau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan penumpang atau pemilik barang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan 5 . Perjanjian pengangkutan selalu diadakan secara lisan, tetapi didukung oleh dokumen yang membuktikan bahwa perjanjian sudah terjadi dan mengikat Pengangkutan dan transportasi memiliki posisi yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan bangsa dan negara. Selain itu untuk memperlancar pertumbuhan perekonomian nasional dan untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. Tanpa adanya transportasi sebagai sarana penunjang tidak dapat diharapkan terciptanya hasil yang memuaskan dalam usaha pengembangan ekonomi dari suatu Negara6. Aspek-aspek dalam pengangkutan yang pertama adalah orang yang melakukan pengangkutan. Pelaku ini ada yang berupa badan usaha, seperti perusahaan angkutan, dan ada pula yang berup manusia pribadi. Yang kedua adalah alat untuk menyelenggarakan pengangkutan. Alat tersebut digerakkan
4
Sution Usman Adji, Djoko Prakoso, dan Hari Pramono, 1990, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Cet pertama, PT. Rineka Cipta, Jakarta, h. 5 5 Abdulkadir Muhammad I, op.cit, h. 46 6 H.A. Abbas Salim, 1993, Manajemen Transportasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 1
19
secara mekanik dan memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, Seperti kendaraan bermotor, kapal laut, dan pesawat udara.Aspek yang ketiga adalah barang atau penumpang. Barang muatan yang diangkut adalah barang perdagangan yang sah menurut undang-undang. Aspek yang keempat adalah perbuatan, yaitu kegiatan mengangkut barang atau penumpang sejak pemuatan sampai dengan penurunan ditempat tujuan yang ditentukan. Aspek kelima adalah fungsi pengangkutan, yaitu meningkatkan kegunaan dan nilai barang atau penumpang (tenaga kerja). Sedangkan aspek yang keenam adalah tujuan pengangkutan yaitu sampai atau tiba di tempat tujuan yang ditentukan dengan selamat, biaya pengangkutan lunas7. Dari definisi diatas dapat diketahui pihak-pihak yang tersangkut dalam perjanjian pengangkutan adalah pengangkut dan pengirim dan atau penumpang. Adapun sifat dari hukum pengankutan tersebut adalah timbal balik artinya kedua belah pihak, baik pihak pengankut maupun pihak penumpang atau pihak pengirim mempunyai kewajiban sendiri-sendiri. Kewajiban pihak pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat. Sedangkan kewajiban pihak pengirim atau penumpang adalah membayar uang angkutan sebagai kontraprestasi dari penyelenggaraan pengangkutan dari yang dilakukan oleh pihak pengangkut. Dalam pengertian “menyelenggarakan pengangkutan” dimaksudkan bahwa pengangkut itu dapat menyelenggarakan pengangkutan sendiri atau dapat dilakukan orang lain atas perintah pihak pengangkut, sedangkan yang dimaksud
7
Abdulkadir Muhammad III, op.cit, h. 19-20
20
sampai tujuan dengan selamat mengandung arti bahwa bila pengangkutan itu berjalan dengan tidak selamat, hal itu menjadi tanggung jawab pengangkut. Dalam hal pemerintah menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan barang, maka pemerintah membuka kesempatan bagi badan hukum Indonesia atau warga Negara Indonesia untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan angkutan umum. Hal ini tercantum dalam Pasal 139 ayat 4 Undang-Undang Nomer 22 tahun 2009 Tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan yang menyatakan bahwa penyedia jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik Negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomer 22 tahun 2009 Tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan yang dimaksud perusahaan angkutan umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan kendaraan bermotor umum. Pengusaha pengangkutan adalah perusahaan yang mengusahakan pekerjaannya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dengan kendaraan umum keseleruhan dari tempat barang itu dimuat atau diterima dari tangan pengirim (pemilik) barang diangkut sampai tempat tujuan dengan
bertanggung
jawab sepenuhnya dengan memperhitungkan biaya pengangkutan8. Pengusaha otobus sebagai penyelenggaraan pengangkutan, memiliki alat pengangkutan sendiri berupa beberapa kendaraan bermotor (bus atau colt), dan melengkapi izin trayek
maka
8
pengusaha
tersebut
sudah
dapat
mengoprasikan
armada
Soegijatna Tjakranegara, 1995, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Cet pertama, PT Rineka Cipta, Jakarta, h. 74
21
angkutannya 9 . Alat pengangkutan darat adalah kendaraan bermotor yang dijalankan oleh pengemudi. Pengemudi bukanlah pengangkut, melainkan sebagai buruh pengangkut yang dikuasai oleh hubungan hukum perburuhan sebagaimana dimaksud dalam pada bab VII-A Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Semua alat pengangkutan harus memenuhi syarat yang ditetapkan Undang-Undang10. 2.2. Syarat Sahnya Perjanjian Pengangkutan Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis11. Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata, “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Pengertian perjanjian ini dalam ketentuan pasal ini menurut para sarjana terlalu luas, karena mencakup juga perjanjian yang bersifat personal yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Perjanjian yang dikehendaki oleh buku II KUHPerdata hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan. Pengertian pada Pasal 1313 KUHPerdata dirasa terlalu luas, maka beberapa sarjana 9
Sution Usman Adji, Djoko Prakoso ,dan Hari Pramono, op.cit, h. 195 Abdulkadir Muhammad III, op.cit, h. 65 11 R.Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, Cet. Ke-4, Citra Aditya Jakarta,(selanjutnya disebut Subekti II), h. 6 10
Bhakti,
22
memberikan definisi mengenai perjanjian, yaitu “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan dirinya untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan12. Selanjutnya yang dimaksud dengan “dilaksanakannya dalam lapangan harta kekayaan” adalah bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak bersifat kebendaan, yang dapat dinilai dengan uang. Menurut Subekti yang dimaksud dengan “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”13. Berbicara mengenai masalah pengangkutan tentu tidak lepas dari perjanjian pengangkutan itu sendiri dalam hal ini R. Soekardono, berpendapat bahwa perjanjian pengangkutan adalah : suatu perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim (penumpang), dimana pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang ketempat tujuan tertentu sedangkan pihak lain pengirim (penumpang) berkeharusan untuk menunaikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut14. R. Subekti mengemukakan “Perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana suatu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lain sedangkan pihak lain menyanggupi untuk membayar ongkos15.
12
Abdulkadir Muhamad I, op.cit, h. 78 Subekti, 1979, Hukum Perjanjian Cet. Ke IV, Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disebut Subekti III), h. 1 14 R. Soekardono, 1983, Hukum Dagang Indonesia, jilid II, Rajawali, Jakarta, h.14 15 Subekti I ,op.cit, h. 69 13
23
Apabila dilihat dari asas-asas perjanjian pengangkutan, pada umumnya perjanjian pengangkutan dibuat tidak tertulis, yang terpenting adalah kedua belah pihak yang mengesahkan hubungan hak dan kewajiban yang telah diatur dalam Undang-Undang
Pengangkutan,
apa
yang
diatur
dalam
undang-undang
pengangkutan itulah yang harus ditaati oleh para pihak 16 . Tetapi tidak semua orang mau untuk membuat perjanjian ini secara lisan karena secara tegas para pihak menghendaki adanya suatu kepastian mengenai ketentuan-ketentuan yang harus diikuti dan dipatuhi dalam pemenuhan hak dan kewajiban, selain itu perjanjian tertulis tersebut dapat dijadikan sebagai bukti tertulis apabila nantinya terjadi suatu perselisihan. Syarat sahnya suatu perjanjian mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian, karena dalam KUHD dan Undang-Undang lainnya tidak mengatur secara khusus. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan syarat sahnya perjanjian sebagai berikut. 1. Sepakat 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal Syarat no. 1 kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan syarat no. 2 atau kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut syarat subyektif, yaitu syarat untuk subyek hukum atau orangnya. Sedangkan syarat no. 3 atau hal
16
Abdulkadir Muhammad I, op.cit, h. 43
24
tertentu dan syarat no. 4 suatu sebab yang halal disebut sebagai syarat obyekif, yaitu syarat untuk obyek hukum atau bendanya. Adapun yang dimaksud dengan : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Dalam hal ini masing-masing pihak menyadari bahwa ada suatu keinginan yang sama untuk melakukan sesuatu guna mencapai tujuan yang sama sehingga dibutuhkan kata sepakat, maka dalam hal ini kata sepakat berarti penyesuaian kehendak secara timbal balik. Kata sepakat menurut Suryodiningrat adalah “kecocokan antara kehendak dan kemauan kedua belah pihak yang mengadakan persetujuan”
17
, begitu pula dalam perjanjian
pengangkutan antar pihak penumpang dengan pihak pengangkut harus ada kata sepakat, setuju, seiya sekata, mengenai hal-hal pokok apa saja yang akan diatur dalam perjanjian, tentang apa saja yang dikehendaki oleh para pihak sehingga ada suatu timbal balik yang akan terjadi nantinya dari masingmasing pihak dalam perjanjian tersebut, akan tetapi perjanjian tersebut tidak dapat terjadi karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling) ataupun penipuan (berdog). Adapun yang dimaksud dengan paksaan (dwang) adalah paksaan terhadap badan (fisik) dan paksaan terhadap jiwa (psikis) dan paksaan yang dilarang oleh undang-undang. Tetapi dalam hal ini, didalamnya undangundang ada suatu unsur paksaan yang diizinkan oleh undang-undang, yakni paksaan dengan alasan akan dituntut dimuka hakim, apabila pihak lawan tidak
17
R.M. Suryodiningrat, 1982, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, PT. Tarsito, Bandung, h. 93
25
memenuhi prestasi yang telah ditetapkan. Adapun yang dimaksud kekhilafan (dwaling), dapat terjadi dalam 2 kemungkinan, yaitu : a. Kekeliruan terhadap orang atau subyek hukum b. Kekeliruan terhadap barang atau obyek hukum Sedangkan unsur penipuan (berdog), apabila terjadi suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar. Hal ini dipertegas dalam Pasal 1321 KUHPerdata yang menyatakan “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Adanya kebebasan bersepakat (consensual) para subyek hukum atau orang, dapat terjadi karena. 1. Secara tegas, baik mengucapkan kata atau tertulis 2. Secara Diam. Baik dengan sikap atau syarat Penjelasan diatas dapat mempertegas bahwa kata sepakat dalam perjanjian pengangkutan baru terjadi apabila masing-masing pihak mempunyai persesuaian kehendak secara timbal balik dan tanpa ada perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum yang dapat menimbulkan kerugian bagi kesepakatan tersebut karena bila terjadi kecacatan seperti adanya paksaan, penipuan, kekhilafan dalam perjanjian tersebut maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan Para
pihak
atau
orang-orang
yang
akan
membuat
perjanjian
pengangkutan haruslah cakap menurut hukum, yang dimaksud cakap menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya, orang dewasa sebagai berikut.
26
-
Mereka yang sudah berumur 21 tahun
-
Mereka yang belum mencukupi umur 21 tahun tapi sudah menikah
-
Mereka yang telah menikah dan bercerai walaupun belum mencapai umur 21 tahun18.
3. Suatu hal tertentu Syarat sahnya suatu perjanjian menyatakan adanya suatu hal tertentu artinya menyangkut hak-hak dan kewajiban dari kedua belah pihak yang membuat perjanjian, “suatu hal tertentu dalam perjanjian pengangkutan disini adalah apa yang diwajibkan antara pengangkut dengan penumpang19. Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut mengenai obyek hukum atau mengenai bendanya. Dalam membuat perjanjian antara para subyek hukum itu menyangkut mengenai obyeknya, apakah menyangkut benda berwujud, benda bergerak atau tidak bergerak. Pengangkutan sebagai perjanjian selalu didahului oleh kesepakatan antara para pihak pengangkut dan pihak penumpang. Kesepakatan tersebut pada dasarnya berisi kewajiban dan hak, baik pengangkut dan penumpang. Kewajiban pengangkut
adalah mengangkut
penumpang atau barang sejak
tempat
pemberangkatan sampai ketempat tujuan yang telah disepakati dengan selamat20.
18
Subekti, 1987,Perbandingan Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta, (selanjutnya disebut Subekti IV), h. 18 19 Soegijatna Tjakranegara, op.cit, h. 70 20 Abdulkadir Muhamad II,op.cit, h. 2
27
4. Suatu sebab yang halal Selanjutnya perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus benar-benar mempunyai maksud dan tujuan yang jelas sehingga tidak merugikan masingmasing pihak dan tidak bertentangan dengan undang-undang yang ada. Dalam pengertian ini pada benda (obyek hukum) yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum sehingga perjanjian itu kuat. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata merumuskan “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik ketertiban umum”, Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan “suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Berdasarkan uraian pasal diatas dapat diketahui perjanjian pengangkutan mempunyai syarat umum yang diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata sedangkan untuk syarat khususnya dapat dilihat dari isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak (penumpang dan pengangkut). Syarat khusus dari isi perjanjian pengangkutan itu biasanya memuat seperti. 1. Jika pengangkut dibatalkan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu sebelum pemberangkatan, biaya pengangkutan tidak dapat dikembalikan; 2. Jika pengangkut dibatalkan dengan pemberitahuan lebih empat, lima atau enam jam sebelum pemberangkatan biaya pengangkutan dikembalikan dengan 10% atau 25%; 3. Apabila penumpang datang terlambat atau tidak berada ditempat yang telah ditentukan ketika dijemput sehingga pada saat pemberangkatan biaya pengangkutan tidak dikembalikan;
28
4. Apabila pada jam keberangakatan mobil pengangkut rusak mendadak sehingga tidak dapat diperbaiki maka pengangkutan dibatalkan dan biaya pengangkutan dikembalikan penuh atau penumpang secepatnya diberitahukan untuk dipindahkan ke mobil lain yang sejenis; 5. Apabila kegiatan pengangkutan memperoleh gangguan perjalanan diluar dugaan yang bukan kesalahan penumpang atau bukan kerusakan mobil maka biaya pengangkutan dikembalikan seluruhnya atau sebagian sesuai dengan gangguan tersebut21. Telah dikemukakan diatas bahwa perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian
dimana
pihak
pengangkut
mengikatkan
dirinya
untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang atau penumpang dari suatu tempat ketempat tujuan dengan selamat dan pengirim atau penumpang dari suatu tempat ketempat tujuan dengan selamat dan pengirim atau penumpang mengikatkan dirinya untuk membayar biaya pengangkutan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dilihat bahwa dalam suatu perjanjian tersebut ada dua pihak yang saling terikat untuk melaksanakan kewajibannya dan memperoleh hak-haknya dimana kedua
belah
pihak
itu
adalah pengangkut dan penumpang. Kewajiban
pengangkut adalah mengangkut barang atau orang dari suatu tempat ketempat tujuan dengan selamat sedangkan penumpang berkewajiban membayar uang angkutannya. Perjanjian itu muncul setelah adanya persetujuan atau kesepakatan anatar kedua belah pihak secara suka rela tanpa adanya paksaan sehingga perjanjian ini mengikatkan kedua belah pihak sebagai suatu undang-undang.
21
Abdulkadir Muhamad I,op.cit, h. 80
29
2.3.
Prosedur Perjanjian Pengangkutan Pada dasarnya perjanjian perjanjian pengangkutan, sepertinya halnya
pada perjanjian-perjanjian yang lain, terjadi pada saat tercapainya kata sepakat antara penumpang dengan pengangkut. Sedangkan perjanjian itu berakhir setelah pihak pengangkut menyelesaikan kewajibannya mengangkut penumpang sampai ketempat tujuan dengan selamat. Ada beberapa hal yang berbeda dan perlu diperhatikan yaitu mengenai perbuatan yang seharusnya dilakukan setelah terjadinya kesepakatan hal tersebut akan secara jelas dapat diketahui jika ditinjau dari macam-macam pengangkutan yang ada sebagai berikut. 1. Didalam pengangkutan tidak dengan tujuan teratur. Setelah
terjadinya
kesepakatan
antara
pengangkut
dengan
penumpang, maka ada suatu kewajiban bagi pihak penumpang agar pengangkutan dapat dilaksanakan, yaitu membayar ongkos angkutan atau minimal uang persekot yang sudah ditentukan para pihak dari seluruh biaya pengangkutan. Pengangkutan yang ditandai dengan pemberian uang persekot terlebih dahulu, hal ini dapat dilihat dalam praktek persewaan bus pariwisata. 2. Didalam pengangkutan dengan tujuan trayek teratur (trayek tetap) Didalam pengangkutan dengan sistem pembayaran dimuka dengan pemesanan tiket terlebih dahulu, maka kesepakatan yang telah terjadi harus diikuti dengan pembayaran harga tiket oleh penumpang. Dengan pembayaran tiket maka pengangkutan akan dilaksanakan. Pada pengangkutan yang pembayarannya yang dilakukan pada saat perjalanan maka perjanjian telah dianggap terjadi pada saat penumpang masuk dalam kendaraan (bus) dan
30
kemudian mengambil tempat duduk serta diikuti kesediaan membayar biaya pengangkutan. Didalam pengangkutan penumpang dengan trayek tetap, pemerintah mengatur mengenai besar tarif angkutan, jadwal pemberangkatan dan tempat-tempat yang akan dilalui. 2.4.
Akibat Hukum Perjanjian Pengangkutan Berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa akibat
hukum dari perjanjian pengangkutan adalah. 1. Berlaku sebagai undang-undang 2. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak tanpa ada alasan yang cukup menurut undang-undang 3. Dilaksanakan berdasarkan itikad baik22. Suatu perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya artinya pihak-pihak harus mentaati perjanjian sama seperti mentaati undang-undang, apabila salah satu pihak yang melanggar tersebut berarti telah melanggar undang-undang. Biasanya dalam perkara yang berkaitan dengan perjajian bagi para pihak yang melanggar perjanjian dapat digugat melalui pengadilan dapat digugat melalui pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan23. Suatu perjanjian yang dibuat secara sah akan mengikatkan para pihak sehingga perjanjian tersebut tidak dapat dibatalkan secara sepihak dan apabila ingin membatalkan perjanjian tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak lain dan harus diperjanjikan lagi, namun bila ada alasan-alasan yang cukup
22
Abdulkadir Muhamad, 1990, Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhamad IV ), h. 78 23 Ibid, h. 45
31
menurut undang-undang perjanjian tersebut dapat ditarik kembali atau dapat dibatalkan secara sepihak. Perjanjian ini harus dilakukan dengan itikad baik, hal ini sesuai dengan rumusan Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, yaitu suatu perjanjian dalam arti unsur subyektif tetapi untuk menilai pelaksanaan perjanjian tersebut ditentukan pada unsur obyektif yaitu dengan selalu mematuhi norma-norma kesusilaan, ketentuan undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Dengan adanya perjanjian pengangkutan tersebut masing-masing pihak yaitu pihak pengangkutan dan pihak penumpang sepakat untuk tunduk pada isi perjanjian yang telah dibuat, karena sifat perjanjian adalah terbuka maka para pihak secara bebas dapat menentukan isi perjanjian tetapi tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang ada pada undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan sehingga perjanjian yang telah disepakati tersebut tetap akan membebani para pihak dengan hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan sehingga menimbulkan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh para pihak.