7
BAB II Kerangka Konseptual
Digitally signed by Institut Teknologi Bandung DN: cn=Institut Teknologi Bandung, o=Digital Library, ou=UPT Perpustakaan ITB,
[email protected], c=ID Date: 2013.06.19 15:49:19 +07'00'
Kerangka konseptual merupakan sekumpulan konsep-konsep yang digunakan dalam menjalankan penelitian. II.1 Konsep 3R Sampah sering dianggap sebagai benda yang tidak berguna yang secara ekonomis merupakan komoditas yang bernilai negatif karena untuk menanganinya diperlukan biaya yang relatif besar. Menurut Azwar (1990) sampah adalah bagian yang tidak terpakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan konsumsi dan produksi manusia dan umumnya bersifat padat.
Murtadho (1988) membedakan sampah atas sampah organik yang mudah lapuk (garbage) dan sampah anorganik yang tidak mudah lapuk (rubbish). Sampah organik meliputi limbah padat semi basah berupa bahan-bahan organik yang umumnya berasal dari pertanian. Sampah ini mempunyai sifat mudah terurai oleh mikroorganisma dan mudah membusuk karena mempunyai rantai karbon yang pendek. Sampah anorganik adalah sampah padat bersifat kering dan sulit terurai oleh mikroorganisma karena memiliki rantai karbon yang panjang dan komplek seperti kaca, besi, plastik dan sebagainya.
Pendekatan yang umum dilakukan dalam menyelesaikan masalah persampahan adalah pendekatan yang konvensional yang bersifat pasif dan instruksional dengan lebih menekankan kepada penanganan dan pengolahan sampah yang dibuang (end-off pipe approach). Kebijakan pengelolaan sampah lebih menekankan kepada bagaimana sampah dikumpulkan, diangkut dan di buang ke suatu tempat karena dianggap sebagai barang sisa yang sudah tidak ada manfaatnya.
Filosofis pengelolaan sampah selama ini adalah dikumpulkan, ditampung di tempat penampungan sementara (TPS) dan akhirnya dibuang ke tempat penampungan akhir (TPA). Hal ini menyebabkan terjadinya penumpukan sampah di setiap lini rumah tangga, TPS dan TPA. Secara internal keadaan ini disebabkan oleh kurang tersedianya sarana dan prasarana pengumpulan, keterbatasan armada
8
personil kebersihan dan sulitnya mencari lembaga swadaya yang dapat bermitra dengan pemerintah dalam penanganan sampah secara baik. Adanya keterbatasan lahan yang dapat dipergunakan sebagai TPA karena semakin sulitnya memperoleh ruang yang pantas dan jaraknya semakin jauh dari pusat kota, serta diperlukannya dana yang besar untuk pembebasan lahan TPA, merupakan faktor eksternal yang turut mempengaruhi permasalahan persampahan tersebut.
Pengelolaan sampah dengan cara demikian ternyata menimbulkan banyak persoalan seperti : tingginya biaya operasional yang harus di tanggung oleh pemerintah dalam hal ini PD. Kebersihan Kota Bandung, karena beban sampah yang harus diangkut rata-rata/hari sebesar 43% = 3200 m3 atau sebanyak 320 rit/hari dengan biaya pengangkutan sebesar Rp. 500,000 per rit (PD. Kebersihan 2006), maka dapat dikalkulasikan besarnya biaya operasional pengangkutan sampah yang harus dikeluarkan setiap harinya oleh PD. Kebersihan yakni tidak kurang dari Rp. 160,000,000/hari.
Jelas bukan suatu biaya operasional yang
sedikit.
Tingginya biaya operasional tersebut ditambah dengan minimnya anggaran PD. Kebersihan akan menyebabkan kualitas pelayanan pengangkutan sampah tidak akan maksimal. Agenda 21 menyebutkan bahwa secara nasional hanya 40% dari sampah penduduk perkotaan yang dapat terlayani oleh fasilitas umum sedangkan sisanya dibakar atau dibuang ke badan-badan sungai. Menurut Walhi1 dengan adanya perlakuan sampah yang demikian akan menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan, seperti penurunan kualitas air sungai dan menyebabkan banjir.
Disamping itu, implementasi kebijakan pengelolaan sampah yang konvensional menyebabkan peningkatan jumlah kebutuhan sarana dan prasarana, terutama tempat pembuangan akhir yang semakin sulit didapatkan karena keterbatasan lahan. Permasalahan lahan menjadi suatu masalah yang sangat kompleks karena
1
http://www.walhi.or.id/ download tanggal 6 Oktober 2007
9
disamping semakin sulit mencari lahan akan tetapi juga mengandung konflik sosial. Kendala keterbatasan lahan di Kota Bandung menyebabkan lokasi TPA baru mengandalkan lahan dari kabupaten tetangga.
Proses persetujuan
masyarakat dan proses perijinan dari pemerintah setempat memerlukan waktu yang lama sementara produksi sampah dari sumbernya tidak dapat dihentikan. Terkadang hal inilah yang menyebabkan terjadinya penumpukan sampah di berbagai tempat penampungan sementara (PD. Kebersihan,2006).
Dengan berbagai permasalahan di atas maka perlu ada perubahan paradigma dan strategi dalam pengelolaan sampah. Paradigma baru tentang sampah ini pada hakikatnya memperluas pandangan lama tentang sampah dan diharapkan penekanan penanganannya pun akan sedikit bergeser. Dalam paradigma baru ini, sampah diposisikan selain sebagai limbah juga sebagai potensi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan sehingga mempunyai nilai tambah sebagai produk daur ulang maupun produk baru. Dengan demikian pada tahap lebih jauh proses ini akan memberikan nilai tambah bagi sisi income masyarakat dan pemerintah sendiri.
Kondisi di atas mendorong upaya pengelolaan sampah kota yang lebih baik berdasarkan pada usaha penanganan sampah sedini mungkin, sedekat mungkin dari sumbernya dan sebanyak mungkin mendayagunakan kembali sampah (Sadoko, 1993), perubahan pola pembuangan sampah serta meningkatkan pemanfaatan dan pengolahan sampah yang lebih baik melalui proses reduce, reuse, dan recycle
Mengenai konsep 3R, Sadoko (1993) mengemukakan sebagai berikut : - Reduce Mengurangi volume sampah. Kegiatan ini disebut juga tindakan pencegahan sampah, dilakukan dengan cara mengkonsumsi barang lebih sedikit dan tidak banyak menggunakan kemasan. Pada umumnya kemasan yang lebih besar menghasilkan sampah lebih sedikit dibandingkan dengan kemasan yang lebih kecil dan memiliki kecenderungan sekali pakai.
10
- Reuse Menggunakan barang kembali yang telah dipakai tanpa melalui proses pengubahan. Barang yang tidak dapat digunakan lagi dapat disumbangkan kepada orang lain atau menjualnya. - Recycle Mendaur ulang barang yang tidak terpakai dengan melalui suatu proses, misalnya kertas daur ulang yang diperoleh dari kertas-kertas bekas. Proses daur ulang adalah salah satu strategi pengelolaan sampah padat yang terdiri atas kegiatan pemilahan, pengumpulan, pemrosesan, pendistribusian dan pembuatan produk/material bekas pakai.2 Material yang dapat didaur ulang: •
Botol bekas wadah kecap, saos, sirup, krim kopi, baik yang putih bening maupun yang berwarna terutama gelas atau kaca yang tebal.
•
Kertas, terutama kertas bekas di kantor, koran, majalah, kardus kecuali kertas yang berlapis (minyak atau plastik)
•
Logam bekas wadah minuman ringan, bekas kemasan kue, rangka meja, besi rangka beton
•
Plastik bekas wadah sampo, air mineral, jerigen, ember
•
Sampah basah dapat diolah menjadi kompos
Secara garis besar proses yang dialami oleh bahan/material daur ulang adalah sebagai berikut : 1. Kertas
2
•
Kertas dipilah berdasarkan jenisnya
•
Kertas yang sudah terpisah dipotong-potong menjadi kecil-kecil
•
Melalui proses peleburan dalam boiler lalu diproses menjadi pulp
•
Proses pembuatan kertas
http://id.wikipedia.org/wiki/Daur_ulang
11
Gambar II.2. Proses Daur Ulang Kertas Sumber : Data sekunder Tugas akhir Bainah Wati, Teknik Industri ITB 2002
2. Besi •
Besi dipisahkan menurut kualitasnya
•
Dipotong-potong kecil lalu di lebur
•
Di campur dengan bahan mentah sesuai kriteria kualitas yang diinginkan
•
Taping, penuangan besi cair ke dalam kontainer
•
Molding, membuat percetakan untuk dijadikan ingot
•
Ingot diproses menjadi besi beton dengan rolling mall
12
Gambar II.3. Proses Daur Ulang Besi Sumber : Data sekunder Tugas akhir Bainah Wati, Teknik Industri ITB 2002
3. Plastik •
Dipisah-pisahkan sesuai tipe masing-masing seperti PP, HDPE,LDPE, PVC dan lain-lain
•
Dicuci
•
Dipotonng-potong
•
Digiling/flakes
•
Dicairkan dan dicampur bahan kimia sesuai standar produk atau dijadikan bentuk pelet
•
Diolah menjadi batang pipa plastik, kantong plastik, tali rafia,keset poliester, serat nilon untuk tekstil dan lain-lainnya.
13
Gambar II.4. Proses Daur Ulang Plastik Sumber : Data sekunder Tugas akhir Bainah Wati, Teknik Industri ITB 2002
4. Gelas •
Dicuci, pencucian dilakukan oleh lapak/bandar, hanya dilakukan pada botol yang masih utuh. Untuk kaca yang berupa serpihan/pecahan pencucuian material dilakukan langsung oleh pabrilk pengolah
•
Dipisahkan berdasarkan warnanya
•
Dihancurkan menjadi buubk halus
•
Digunakan sebagai campuran membuat botol kaca yang baru atau produk-produk kaca lainnya,
14
Gambar II.5. Proses Daur Ulang Kaca Sumber : Data sekunder Tugas akhir Bainah Wati, Teknik Industri ITB 2002
Seperti yang dilakukan oleh negara Jepang yang telah berhasil mengubah sampah menjadi produk semen yang kemudian dinamakan dengan ekosemen. Diawali penelitian di tahun 1992, dengan dibiayai oleh Development Bank of Japan, para peneliti Jepang telah meneliti kemungkinan abu hasil pembakaran sampah, endapan air kotor dijadikan sebagai bahan semen. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa abu hasil pembakaran sampah mengandung unsur yang sama dengan bahan dasar semen pada umumnya. Pada tahun 1998, setelah melalui proses uji kelayakan akhirnya pabrik pertama didunia yang mengubah sampah menjadi semen didirikan di Chiba. Pabrik tersebut mampu menghasilkan ekosemen 110.000 ton per tahunnya. Sedangkan sampah yang diubah menjadi abu yang kemudian diolah menjadi semen mencapai 62.000 ton per tahun, endapan air kotor dan residu pembakaran yang diolah mencapai 28.000 ton per tahun. Hingga saat ini sudah dua pabrik di Jepang yang memproduksi ekosemen.
15
Gambar II.6. Simulasi pembuatan eko semen dari limbah rumah tangga
Berdasarkan hasil pengujian JSA (Japan Standar Association) dinyatakan bahwa ekosemen mempunyai kualitas yang sama baiknya dengan semen biasa. Sehingga, hingga saat ini penggunaan ekosemen sudah digunakan dalam pembangunan jembatan, jalan, rumah, dan bangunan lainnya di Jepang.
Dengan adanya pengubahan sampah menjadi semen, menambah alternatif pengolahan sampah menjadi barang bermanfaat bagi manusia yang telah membuangnya. Selain itu dengan adanya alternatif pengolahan sampah menjadi semen, biaya pengolahan sampah di Jepang menjadi lebih murah. Bila sebelumnya 40.000 yen per ton (pengolahan sampah konvensional) menjadi 39.000 yen per ton (pengolahan sampah hingga menjadi semen)3
Berdasarkan hasil penelitian Stephen J. Miller, Ph.D., seorang ilmuwan senior dan konsultan peneliti di Chevron yang bersama rekan-rekannya di Pusat penelitian Chevron Energy Technology Company, Richmond, California, Amerika Serikat dan University of Kentucky, telah berhasil mengubah limbah plastik menjadi minyak pelumas. Dalam penelitiannya yang akan dipublikasikan dalam Jurnal American Chemical Society bagian Energi dan Bahan Bakar (Energy and Fuel) edisi 20 Juli 2005, Miller memanaskan polietilena menggunakan metode pirolisis, 3
http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2006-03-22-Semen-dari-Sampah.shtml
16
lalu menyelidiki zat hasil pemanasan tersebut. Ternyata, ketika polietilena dipanaskan akan terbentuk suatu senyawa hidrokarbon cair. Senyawa ini mempunyai bentuk mirip lilin (wax). Banyaknya plastik yang terurai adalah sekitar 60%, suatu jumlah yang cukup banyak. Struktur kimia yang dimiliki senyawa hidrokarbon cair mirip lilin ini memungkinkannya untuk diolah menjadi minyak pelumas berkualitas tinggi.4
Berdasarkan berbagai contoh kasus di atas bagaimana ketika sampah diubah kembali menjadi suatu produk yang bernilai ekonomis perlu upaya-upaya inovasi, maka bila kita kaitkan sampah ketika menjadi input untuk diproduksi kembali merupakan input yang dianggap sudah ‘kehilangan’ sumber dayanya sehingga tidak seperti bahan baku orisinil, untuk menjadi produk baru dari sampah sangat memerlukan suatu daya cipta/inovasi tinggi.
II.2. INOVASI
Menurut Nonaka seperti yang dikutip oleh Bob Widyantono dalam makalahnya menyebutkan bahwa inovasi sebagai suatu proses penciptaan pengetahuan dalam organisasi (organizational knowledge-creation). Bahkan, ia menyebutkan bahwa pengetahuan dalam dua kelompok, yakni yang tak terucapkan/terungkapkan (Tacit), dan yang dinyatakan/diungkapkan secara eksplisit (articulable). Pengetahuan yang nyata (articulable) berkenaan dengan pengetahuan yang dialihkan (transmittable) termaktub dalam bahasa formal dan sistematik, sedangkan pengetahuan yang tak terungkapkan (tacit) adalah mempribadi dan sulit diformulasi, serta tidak mudah dikomunikasikan.
Pengetahuan yang tak terucapkan (tacit), menurut Nonaka, dapat dibagi lebih lanjut dalam dua jenis, yakni know-how (aspek prosedural), dan semacam frame of reference. Frame of reference itu oleh para psikolog dikenal sebagai mental models dan mencakup paradigma, kepercayaan tradisional, yang kita biasa pakai
4
Sandri Justiana, S.Si dan Budiyanti Dwi Hardanie, S.Si http://acswebapplications.acs.org/ pada anggal 21-6-2007
17
dalam mempersepsi dunia beserta lingkungan. Suatu dimensi abstrak dari setiap individu, dan inovasi seringkali menjadi penting untuk mengartikulasikan perskpektif atau citra seseorang mengenai dunianya, kini maupun yang akan datang. Penciptaan pengetahuan yang lebih bermakna terjadi lantaran adanya interaksi antara yang tak terucapkan (tacit) dan yang nyata (articulable) yang memerlukan penyesuaian dinamis pada keadaan, serta memainkan peranan dalam kemampuan organisasi untuk bisa bertahan sekaligus tumbuh kembang. 5
Bila kita kaitkan dalam konteks pengolahan sampah, sistem reduce, reuse, dan recycle (3R) sampah dapat dikatakan merupakan suatu inovasi karena didalamnya ada proses penciptaan pengetahuan baru yakni bahwa sampah anorganik seperti plastik dapat direcycle kembali untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk membuat produk baru, kertas bekas dapat menjadi bahan baku untuk membuat kertas lagi atau sampah organik yang dapat direcycle untuk menjadi produk baru berupa kompos yang dapat dimanfaatkan untuk menyuburkan tanaman.
Ada pula yang mengartikan bahwa inovasi diartikan sebagai hasil interaksi elemen dalam sebuah sistem yang mencakup antara lain: lingkungan usaha, sistem pendidikan dan pelatihan, sektor kebijakan publik, dan kondisi sosio-kultural. Sedangkan Kinerja Sistem Inovasi dipengaruhi oleh pola, karakter, dan intensitas interaksi antar elemen sistem yang mengarah pada penciptaan pengetahuan baru serta difusi dan penggunaan pengetahuan pada seluruh masyarakat (termasuk business oganizations dan government bodies). 6
Pengertian lain dari suatu inovasi seperti yang diungkapkan dalam buku Creating system Innovation oleh Hans de Bruijn adalah bahwa yang dimaksud dengan inovasi adalah proses penambahan nilai atau valuae. Adanya kebutuhan akan suatu proses inovasi dilatarbelakangi oleh adanya resistensi sosial dalam setiap permasalahan adopsi teknis yang tidak bisa diselesaikan dengan perubahan 5
Bob Widyahartono MA (
[email protected]) adalah pengamat ekonomi/bisnis; Dosen Senior Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta. Telaah -- SDM Dalam Masyarakat Berbasis Pengetahua, antara news, 26 Februari 2007 6 Pengertian Inovasi menurut Jurnal UI 5 Oktober 2006 hasil down Load tanggal 3 Mei 2007 Internet © 2006 Universitas Indonesia, all right reserved
18
konvensional seperti pada umumnya. Proses perubahan yang dimaksud untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang ada sangatlah kompleks karena biasanya melibatkan berbagai elemen baik elemen teknis, institusional, struktural dan kultural yang ada dalam suatu sistem.
Hans de Bruijin (2004) merujuk fenomena kompleks seperti ini untuk menegaskan adanya karakter sistemik dari suatu inovasi. Bukan hanya sebagian, tetapi keseluruhan elemen perlu berubah agar suatu inovasi berlangsung dan mencapai
mencapai kestabilan.
Dan dalam mencapai kestabilan itu proses
inovasi terus mengalami berbagai pertentangan nilai sebelum akhirnya sebuah nilai baru akan diterima sebagai suatu nilai yang diproduksi dan dikonsesus bersama. Proses inovasi juga dikatakan bersifat sistemik lantaran keseluruhan elemen sistem perlu berubah agar situasi yang baru disertai hasil yang baru yang lebih diinginkan dapat terwujud.
Proses ini tidak jarang berliku-liku dan
menempuh periode yang cukup panjang.
Beberapa aspek mendasar dari Inovasi sistemik (Bruijn,et all, 2004) adalah bahwa inovasi sistemik selalu melingkupi hal-hal sebagai berikut : •
Inovasi bersifat komprehensif.
•
Karena bersifat suatu proses yang sistemik maka pada umumnya inovasi sistem mengandung makna butuh waktu yang panjang.
•
Adanya perubahan perspektif dan pergeseran budaya di antara para aktor seperti stake holder, konsumen dan produsen.
Perubahan yang diinginkan terjadi dapat diinisiasi oleh pemerintah sehingga pendekatannya sangat top down karena pemerintahlah yang menetapkan situasi akhir yang diinginkan dan mempromosikan keberbagai aktor yang terlibat dalam proses inovasi sistemik. Namun ada kalanya sang inisiator inovasi berasal dari kelompok yang menamakan akademisi/periset dan pelaku pasar sehingga pendekatannya bottom down.
Atau bisa saja inovasi tersebut diinisiasi oleh
adanya kombinasi dari kepentingan-kepentingan sehingga pendekatannya bersifat berjejaring.
19
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa ada tiga faktor penting yang membatasi peluang untuk mengelola suatu inovasi menurut Hans de Bruijin ( 2004 ) adalah : • Keterbatasan pengetahuan Adanya keterbatasan pengetahuan menyebabkan munculnya ketidakpastian atau ketidaktentuan. • Konsesus berlangsung secara non-linier. • Pertentangan Nilai
Menurut Bruijn,et all, 2004 dalam bukunya Creating System Innovation ketika berbicara inovasi sistemik, maka kita dapat kita dapat membedakan substansi dari inovasi sistemik dan proses untuk dapat mewujudkannya. Gambaran umum dari substansi dari inovasi sistemik adalah sangat komprehensif dan radikal. Dikatakan komprehensif karena keseluruhan sistem harus berubah dan bukan hanya salah satu komponen dari sistem. Tentu saja hal ini akan membuat suatu perubahan yang sangat radikal di mana keseluruhan sistem mengalami perubahan baik institusi, nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku.
Ketika kita berbicara proses untuk mewujudkan inovasi sistemik maka masa transisi manajemen adalah hal yang biasa terjadi. Terkadang membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk mengimplementasikan inovasi sistemik. Masa transisi manajemen dapat diketahui dari beberapa prinsip berikut ini : • Inovasi sistemik dapat dengan sengaja direncanakan di mana tujuan dapat ditentukan dan ditargetkan. • Inovasi sistemik dilakukan dengan hati-hati di mana masyarakat mengetahui dan menyadari pentingnya inovasi dan implementasinya. • Inovasi sistemik didominasi oleh interaksi di mana tujuan ditentukan bersama oleh sejumlah elemen terkait • Inovasi sistemik merujuk pada perubahan paradigma, inisiator perubahan bisa datang dari pemerintah atau elemen lain yang memimpin untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama.
20
Inisiator suatu sistem inovasi menurut Bruijn,et all, 2004 dalam bukunya Creating System Innovation bisa dari berbagai elemen dan merupakan interaksi berbagai elemen sebagai berikut : • Sumber pengetahuan dapat menjadi pendorong sehingga terjadi proses sistem inovasi. Hal ini berarti dari arena science dan riset, pengetahuan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan sistem inovasi dan memungkinkan terjadinya suatu proses inovasi. • Pemerintah sebagai inisiator sistem inovasi. Sistem inovasi merupakan hasil dari kebijakan politik pemerintah di mana hal itu diperlukan untuk mendukung bagi penerimaan masyarakat akan suatu proses inovasi. • Pasar sebagai pendorong sistem inovasi. Kemungkinan terjadi proses sistem inovasi juga dapat tumbuh dari kebutuhan pasar. Industri dapat menciptakan teknologi baru, sebagai contoh revolusi IT pada tahun 1990 sebagai pendorong suatu sistem inovasi di bidang informasi dan komunikasi.
Yang menarik dari berbagai kasus terjadinya proses sistem inovasi bahwa untuk terjadinya proses tersebut membutuhkan keterkaitan/interaksi minimalnya dua arena baik itu arena Universitas-Pemerintah, arena Universitas-Industri maupun Industri-Pemerintah bahkan untuk idealnya agar sistem inovasi terwujud dibutuhkan interaksi ketiga arena.
Gambar II.7. Interaksi dua arena : pemerintah dan market
21
Gambar II.8. Interaksi dua arena : pemerintah dan Akademisi
Gambar II.9. Interaksi dua arena : Universitas dan Industri
Industri
Interaksi dua elemen
Universitas
Interaksi tiga elemen
Pemerintah
Gambar II.10. Interaksi tiga arena : Universitas, industri dan pemerintah
22
II.3. Konsep Triple helix (ABG)
Model pembangunan triple helix terdiri dari tiga elemen dasar, yakni pertama peran yang lebih banyak bagi perguruan tinggi untuk melakukan suatu proses inovasi, kedua adanya perubahan hubungan yang kolaboratif di antara ketiga institusi di mana dengan adanya inovasi kebijakan akan semakin meningkatkan hasil interaksi antar universitas-industri-pemerinyah, ketiga sebagai tambahan fungsi mereka terdahulu maka setiap bagian ’ambil peran dari yang lain’ (Etzkowitz, 2005)7
Masih menurut Etzkowitz model pembangunan triple helix melihat bahwa perguruan tinggi sebagai suatu sumber elemen penting untuk melakukan rekombinasi dan inovasi. Hal itu berarti terdapat reinforcement aturan dalam sebuah perguruan tinggi yakni dari ilmu-ilmu dasar ke proses inovasi dan produksi yang merupakan awal dari sikap entrepereuener sebuah perguruan tinggi.
Teori triple helix merupakan model penemuan spiral yang menangkap hubunganhubungan yang saling menguntungkan pada kondisi yang berbeda dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dimensi pertama model triple helix adalah transformasi internal di setiap helix seperti pembangunan hubungan lateral di antara perusahaan aliansi yang strategis atau suatu asumsi misi pembangunan ekonomi oleh universitas.
Kedua pengaruh satu helix terhadap yang lain,
misalnya, peran pemerintah federal dalam menerapkan kebijakan industri Dermaga Dole tahun 1980.
di
Ketika peraturan yang menyangkut properti
intelektual yang dihasilkan pemerintah melalui penelitian berubah, maka teknologi mengalihkan kegiatan sebagai wilayah yang dimiliki perguruan tinggi, sehingga menghasilkan suatu transfer profesi akademik yang menyangkut teknologi. Dimensi ketiga adalah kreasi jejaring dan organisasi tiga hubungan
7
Henry Etzkowitzs, The Renewal of the African University: Towards a “Triple Helix” Development Model, 2005
23
yang baru dari interaksi antara tiga helix yang dibuat untuk memunculkan gagasan-gagasan dan format baru dalam pembangunan berteknologi tinggi.8
Masih dalam makalah yang sama Etzkowitz menggambarkan bahwa triple helix menunjukkan hubungan antara universitas-industri-pemerintah sebagai suatu variable yang berdiri sejajar dan saling bergantung dan saling berperan satu sama lain. Disini terjadi gerakan institusional yang terpisah yang menunjukkan paling tidak adanya suatu ideologi, seperti yang terjadi di Amerika. Ada juga model pergantian yang dianut suatu negara yang meliputi industri dan akademian seperti terjadi di Uni-Soviet, tetapi kondisi ini pun dapat ditemukan di Amerika latin dan negara-negara eropa.
Hubungan bilateral antara pemerintah - perguruan tinggi, universitas - industri juga industri dan pemerintah telah berkembang menjadi hubungan tripatrit di antara ke 3 institusi tersebut, terutama di level regional. Hubungan Universitas, industri dan pemerintah muncul bermula dari institusi yang berbeda di berbagai bagian dunia, tetapi untuk tujuan yang umum adalah merangsang pengembangan ilmu pengetahuan berdasarkan pembangunan ekonomi. 9
Dalam model triple helix, penekanan dikonsentraikan pada interaksi, hubunganhubungan antar lembaga dan kolaborasi. Jika secara tradisional lembaga pemerintahan, pendidikan tinggi dan bisnis masing-masing beroperasi dalam ranah-ranah yang saling terpisah sau dari yang lainnya maka model triple helix menegaskan pentingnya hubungan-hubungan yang berjejaring. Fokus perhatian dalam model triple helix adalah pada permasalahan bagaimana ketiga arena kelembagaan yang berbeda- arena akademik, bisnis dan pemerintah- dapat melakukan interaksi dan pertukaran sumber-sumber pengetahuan10
8
Henry etzkowitz, The Triple Helix of University - Industry – Government Implications for Policy and Evaluation, Working paper 2002·11,Science Policy Institute, page3 9 ibid 10 Sonny Yuliar dalam makalah Peran Perguruan tinggi dalam Masyarakat Berbasis Pengetahuan : isyu demikrasi dan tantangan kebiajakan
24
Menurut Etkowitz seperti yang dikutip dalam makalah tersebut konsep triple helix berperan sebagai pemandu dalam pengelolaan interaksi.
Dalam masyarakat-
masyarakat yang berbeda proses transisi dapat dimulai dari titik-titik berangkat yang berbeda-beda (Etkowitz, 2007 )
Dalam dekade terakhir, kebijakan pendidikan tinggi di berbagai negara memberi penekanan
pada
hubungan
‘triple
helix’
di
antara
academicians,
businessmen/women, dan government agencies (ABG). Gagasan dasar yang melatari pengembangan kerangka kerja ABG adalah bahwa agar pengetahuan dapat menghasilkan nilai (values), proses pencapaian pengetahuan tidak boleh terisolasi dari lingkungannya. Values merupakan hasil dari interaksi sosial. Konsep ABG ini berkaitan erat dengan konsep sistem inovasi.
Dalam model triple helix, penekanan dikonsentraikan pada interaksi, hubunganhubungan antar lembaga dan kolaborasi.
Jika secara tradisional lembaga
pemerintahan, pendidikan tinggi dan bisnis masing-masing beroperasi dalam ranah-ranah yang saling terpisah satu dari yang lainnya maka model triple helix menegaskan pentingnya hubungan-hubungan yang berjejaring. Fokus perhatian dalam model triple helix adalah pada permasalahan bagaimana ketiga arena kelembagaan yang berbeda- arena akademik, bisnis dan pemerintah- dapat melakukan interaksi dan pertukaran sumber-sumber pengetahuan11.
Dengan
demikian maka proses inovasi lebih dimungkinkan untuk dapat tercipta.
Dalam konsepsi Sistem Inovasi Nasional (SIN), proses inovasi dan pembangunan yang berbasis IPTEK semakin bergantung pada kemampuan untuk menggunakan pengetahuan yang dihasilkan di mana saja/di berbagai tempat (bukan sebatas di lembaga-lembaga iptek formal), dan mengkombinasikan berbagai pengetahuan ini dengan stok pengetahuan yang telah tersedia.
Untuk ini, kapasitas absorptif (absorptive capacities), kapasitas alih pengetahuan, dan kemampuan untuk ‘to learn by interaction’ menjadi faktor-faktor krusial bagi 11
ibid
25
keberhasilan inovasi. Pengetahuan baru dan berguna (baik secara sosial maupun komersial) merupakan hasil interaksi dan proses pembelajaran di antara berbagai aktor/elemen di dalam sistem inovasi; penghasil (producer), pengguna (user), pensuplai (supplier), otoritas publik, lembaga ilmiah, kesemuanya membangun sebuah ‘daya distribusi pengetahuan’. 12
Gambar II.11. Creating Values melalui Jejaring ABG II.4. Kesimpulan Kerangka Teoritik Konsep 3R merupakan konsep yang digagas baik di dalam maupun di luar negeri (Jepang) yang berkaitan dengan upaya mengantisipasi laju timbulan sampah yang dihasilkan sebagai konsekuensi dari berbagai aktivitas manusia. Berikut gambaran pelaksanaan praktek 3R sampah di negara Jepang. Berdasarkan pada pola dasar lingkungan hidup Jepang. Kebijakan penanganan sampah kota Tokyo dilakukan dengan urutan sebagai berikut: pertama, mengontrol jumlah 12
Perspektif Tentang IPTEK Berimplikasi pada penyusunan indikator IPTEK,: Tesis Magister Studi Pembangunan ITB : Samiran, 2004
26
sampah. Kedua, penggunaan kembali barang produksi yang telah dipakai, dan ketiga daur ulang (material recycle). Jika mengalami kesulitan dalam proses dan rawan terhadap lingkungan, maka dijadikan sebagai sumber energi.
Untuk menerapkan sistem daur ulang (Material recycle) maka ada kebijakan pengumpulan sampah terbakar dua hari dalam seminggu dan sehari untuk sampah kertas, botol, dan kaleng. Kebijakan ini dilaksanakan di seluruh distrik mulai bulan Februari tahun 2000. Sedangkan pet botol dikumpulkan pada/oleh toko-toko tertentu. Sekarang ada sekitar 4.500 toko yang berpartisipasi dalam usaha ini.
Pembentukan tim penyuluh untuk para pengusaha industri besar. Untuk kelancaran jalannya program pengontrolan buangan sampah dan daur ulang, pada bulan maret tahun 1991 dimulailah program pengawasan dan penyuluhan. Serta penyediaan tempat untuk pemrosesan sampah. Untuk menjaga kestabilan sistem pembakaran sampah sempurna, penyediaan tempat pemrosesan sampah terus dilakukan. Tahun 1999 telah didirikan tempat pemrosesan sampah di Toshima-ku. Juga untuk mengurangi jumlah dioxin dilakukan terus penyempurnaan sistem pembakaran. Selain itu, seluruh tempat pemrosesan sampah diusahakan untuk mendapatkan ISO 14001. Pada tahun 1999, lima dari 60 tempat pemrosesan sampah yang ada telah mendapatkan ISO 14001. Bantuan pemerintah pusat terhadap pemerintah perkotaan dan pedesaan. Bantuan dana dan teknisi dilakukan, terutama untuk membantu pelaksanaan program penanganan sampah rumah tangga dan daur ulang.
Selain itu, kebijakan untuk mengikutsertakan pemerintah, masyarakat, dan pengusaha dalam mengatasi masalah sampah adalah usaha yang tepat untuk memberikan kesadaran akan tanggung jawab masing-masing individu dalam mengatasi masalah sampah.13
13
Anto Tri Sugiharto Ph.D, termuat dalam Pikiran rakyat, Kamis, 17 Maret 2005
27
Bila kita lihat implementasi praktek 3R sampah di negara Jepang sangat membutuhkan adanya interaksi antara pemerintah, pihak industri, dan masyarakat agar perubahan sistem pengeloaan sampah dalam hal ini erat kaitannya dengan proses inovasi praktek 3R sampah terus terjadi.
Dari gambaran tersebut di atas implementasi praktek 3R sampah sarat akan pentingnya proses-proses inovasi sedangkan konsep inovasi sangat menekankan pentingnya interaksi berbagai elemen sebagai media bagi penyebaran pengetahuan yang menjadi sumber proses inovasi maka dapat dikatakan bahwa dalam implementasi praktek 3R perlu adanya interaksi berbagai elemen. II.5.TEORI ANT 2.5.1. Fenomena Sosioteknis dalam Pandangan Teori Jejaring-Aktor Teori Jejaring-Aktor (Actor-network Theory, ANT)14 berkembang di dalam serangkaian kegiatan penelitian sosiologis tentang sains dan teknologi. Para ahli yang terlibat dalam kegiatan ini berargumen bahwa 'pengetahuan'15 merupakan produk yang memiliki dimensi sosial, dan bukan merupakan sesuatu yang dihasilkan melalui pengoperasian metode saintifik secara eksklusif. Para ahli ini memperluas lingkup pernyataan ini dan menegaskan bahwa agen-agen, institusiinstitusi sosial, mesin-mesin dan organisasi-organisasi merupakan produk atau efek dari sualu jejaring material yang heterogen.
Dalam ANT, suatu entitas sosial juga merupakan jejaring elemen-elemen material yang terpolakan. Dengan pernyataan demikian, ANT mengambil posisi yang secara radikal berbeda dari teori-leori sosial yang memandang entitas sosial hanya terdiri atas manusia-manusia saja. Dalam pandangan ini, tugas dari kajian sosiologi teknologi adalah mempelajari dan memahami karakteristik jejaring 14
ANT dikembangkan berkat hasil kerja dan penelitian yang dilakukan sosiolog Prancis Michael Callon dan Bruno Latour, sosiolog Inggris John Law. 15 Di sini ‘pengetahuan’ yang dirujuk adalah yang memiliki eksistensi atau perluasan material, mulai dari percakapan, presentasi dalam seminar, makalah, paten, saintis yang terlatih untuk riset dan lain-lain
28
dalam heterogenitasnya, dan menggali bagaimana elemen-elemen dalam
suatu
satuan
jejaring
terpolakan
yang menghasilkan efek-efek seperti
organisasi, kuasa, birokrasi, fungsi teknologi, dan lain-lain. Pertanyaanpertanyaan analitik yang lazim dijawab ANT adalah seperti : Apakah suatu agen menjadi agen semata-mata dikarenakan dia memiliki tubuh, pengetahuan, keterampilan, nilai, dan lain-lain? ataukah suatu agen menjadi agen dikarenakan dia menghuni sekumpulan elemen-elemen yang terbentang di dalam jejaring elemen-elemen material, termasuk tubuh?
ANT mengakui bahwa manusia memiliki kehidupan dalam (inner life), seperti kegiatan mental dan kegiatan kognisi. Tetapi yang ditekankan ANT adalah bahwa sejauh agen sosial yang menjadi perhatian, agency ini diraih bukan karena karena terwujud di dalam tubuh. Melainkan, agen/aktor merupakan jejaring dari relasirelasi heterogen yang terpolakan, atau merupakan efek dari jejaring demikian. Sejauh efek sosial (keagenan, keaktoran) yang menjadi perhatian, berpikir, beraksi, mencari nafkah dan hal-hal yang lazimnya diatributkan pada manusia, dihasilkan di dalam jejaring yang meluas di dalam dan melampaui tubuh. Suatu aktor juga selalu merupakan suatu jejaring — jejaring aktor.
Definisi yang sama berlaku untuk mesin. Sebuah mesin juga merupakan jejaring heterogen sekumpulan kaidah yang dijalankan oleh elemen-elemen material, operator-operator, user dan repair-persons. Begitu pula dengan organisasi dan institusi, semuanya merupakan peranan-peranan berpola yang dijalankan oleh orang-orang, mesin-mesin, dokumen-dokumen, gedung-gedung dan lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak selalu menyadari keberadaan jejaring di balik suatu aktor atau institusi. Misalnya, sebuah televisi merupakan objek tunggal dengan beberapa komponen yang terlihat. Ketika televisi itu rusak, objek tersebut segera berubah menjadi jejaring komponen-komponen elektronik dan intervensiintervensi manusia. Bagi orang yang sehat, organ-organ tubuh tersembunyi. Bagi orang yang sakit, tubuh segera dikonversi ke dalam jejaring yang terdiri atas proses, sekumpulan orang, dan intervensi-intervensi yang bersifat farmasitis.
29
Ilustrasi ini menggambarkan bahwa munculnya kesatuan, dan menghilangnya jejaring, berkaitan dengan simplifikasi. Fenomena merupakan efek atau produk dari jejaring heterogen. Tetapi dalam kehidupan praktis kita tidak sanggup menghadapi komplikasi jejaring yang terus meluas. Umumnya kita tidak dalam posisi yang siap untuk mendeteksi kompleksitas jejaring. Yang terjadi adalah ketika sebuah jejaring beraksi sebagai entitas tunggal, jejaring tersebut seolaholah menghilang, dan digantikan oleh aksi itu sendiri dan aktor dari aksi tersebut. Pada saat yang sama, cara-cara bagaimana efek dihasilkan juga menghilang. Jadi, sesuatu yang lebih sederhana seperti televisi yang bekerja baik, bank yang terkelola dengan baik, menjadi tabir yang menutupi jejaring yang menghasilkannya.
Punktualisasi merupakan sebuah proses atau efek, dan bukan sesuatu yang dapat dibentuk sekali untuk selamanya. Jadi, ANT mengasumsikan bahwa istilah 'struktur' dalam frase 'struktur sosial' bukan merupakan kata benda, tetapi kata kerja. Struktur tidak berdiri bebas, seperti kerangka baja di lokasi bangunan. Struktur merupakan efek relasional yang secara rekursif mereproduksi dirinya sendiri. Asumsi ini berimplikasi tidak ada tatanan sosial, organisasi, atau agen yang pernah mencapai status sempurna, otonom, dan final. ANT tidak mengakui keberadaan tatanan sosial dengan pusat yang tunggal, atau dengan sekumpulan relasi-relasi yang stabil. Alih-alih demikian, yang ada adalah tatanan-tatanan dalam pluralitas (Michael Callon, 2003).
Pernyataan ini bukan berarti bahwa ANT mengakui pluralisme, bahwa yang ada hanyalah pusat-pusat kuasa (power centers), tatanan-tatanan, yang kurang lebih setara. Yang ditekankan oleh ANT adalah bahwa efek-efek kuasa, tatanan dihasilkan dalam cara-cara relasional dan terdistribusi. Penataan struktur dan efek-efek yang dihasilkan bersifat contestable. Oleh karena ini, analisis proses penataan atau penstrukturan berada di posisi sentral dalam ANT. Yang dituju adalah eksplorasi dan deskripsi proses-proses pembentukan pola, orkestrasi sosial, penataan dan resistansi. yang melalui semua ini hadir efek-efek seperti agen-agen, instrumen, mesin, institusi, atau organisasi.
30
Inti dari pendekatan ANT adalah berkenaan dengan bagaimana aktor-aktor dan organisasi-organisasi memobilisasi, mempersandingkan, dan mempertahankan segenap elemen-elemen heterogen yang melalui ini semua aktor-aktor dan organisasi-organisasi tersebut terkomposisi. ANT mengangkat pertanyaan tentang bagaimana
aktor-aktor
mampu
mencegah
elemen-elemen
ini
mengikuti
kecenderungan-kecenderungannya sendiri sehingga terlepas dari jejaring. ANT mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas secara empiris.
2.5.2. Proses Pembingkaian (Framing) dan Efek kalkulasional Sebagaimana disampaikan di atas, efek-efek kalkulasional tertentu dapat dihasilkan, sehingga meningkatkan ketegaran jejaring. Tetapi efek kalkulasi merupakan sekumpulan relasi-relasi yang melibatkan representasi material, pengawasan dan kontrol. Dengan perkataan lain, efek kalkulasional muncul melalui proses translasi, yang terjadi ketika agen-agen dan benda-benda yang terlibat dalam kalkulasi mengalami disentanglement (pemutusan atau pelemahan relasi) dan dibingkai (framed).
Melalui pembingkaian dan disentanglement,
batas-batas ditarik di antara relasi-relasi; batas-batas ini yang menjadi pertimbangan dalam kalkulasi.
Konsep disentanglement telah lama dikenal dalam teori ekonomi, ketika para pakar ekonomi mendefinisikan eksternalitas yang menunjuk pada semua koneksi, relasi, dan efek yang para agen ekonomi tidak perhitungkan dalam kalkulasi mereka ketika memasuki transaksi pasar. Dalam perspektif ANT, setiap entitas yang terlibat di dalam jejaring relasi-relasi, dalam aliran intermediaries yang bersirkulasi, menghubungkan, membentuk identitasidentitas.
Konsep eksternalitas menunjuk pada semua pekerjaan yang
harus dilakukan untuk membuat relasi-relasi dapat dikalkulasi di dalam jejaring. Ini mencakup pembingkaian aktor-aktor dan relasi-relasi mereka.
31
Pembingkaian (framing) dalam terminologi antropologi adalah: Framing is a cognitive Contextualization device whereby all rules of behavioir, symbol and their interpretation are bounded by a particular activity with its own overall structure. Frames have temporal beginings and endeings and often embodied specified physical boundaries. Menurut Michel Callon, seorang sosiolog teknologi, pada konteks ANT pembingkaian merupakan operasi yang digunakan untuk mendefinisikan agen-agen individual yang dibedakan secara jelas dan dilepaskan hubungan di antara satu dengan yang lain.
Pembingkaian
memungkinkan
pendefinisian
objek-objek,
seperti
komoditas, fakta sosial, objek teknologi yang teridentifikasi dengan sempurna dan dapat dapat diisolasi.
Gambar II.12. Ilustrasi proses (translasi) pembingkaian yang disederhanakan; relasi antara agen A dengan E, F, G terlepas, dan terbentuk relasi-relasi dengan X, Y, Z. Melalui pembingkaian, agen A mendapatkan kompentensi baru yang terdefinisikan melalui translasi.
Dari ilustrasi pada Gambar II.12, sebuah agen (baik human maupun non human) mengalami pembingkaian ketika melemah/terputus relasi-relasinya dengan agenagen tertentu, dan menguat relasi-relasi dengan agen-agen tertentu yang lain. Melalui proses pembingkaian demikian, sebuah agen meraih identitas atau kompetensi yang baru. Salah satu efek penting yang muncul melalui pembingkaian efek calculativeness—munculnya agen yang dapat melakukan kalkulasi. Agen-agen yang terelasikan satu pada yang lain meraih efek kalkulatif dikatakan saling kompatibel (compatible) satu terhadap yang lain.
32
Dalam pembahasannya tentang pasar strawberi di Perancis (Michael Callon, 2003) diilustrasikan bagaimana konstruksi pasar, dan munculnya agen-agen yang terlibat dalam penentuan harga, terjadi melalui proses pembingkaian yang menghasilkan efek : - Hadirnya produk yang memenuhi kualifikasi; - Terdefinisinya suplai dan permintaan; - Organisasi transaksi yang memungkinkan tercapainya harga seiimbang.
Pada awalnya, menurut pemaparan Callon, investasi material dialokasikan. Transaksi
yang
tak
(intermediaries) yang
terkoordinasi terlibat
di
dalam
antara relasi
produser antar
dan
personal
penyalur kemudian
dilokalisasikan di sebuah gudang penyimpanan yang khusus dibangun untuk tujuan ini. Para produser menempatkan produk mereka ke tempat itu setiap hari, yang diwadahi dalam keranjang-keranjang, dan dipertunjukkan dalam batches di dalam gudang. Setiap batch memiliki lembar data yang segera diserahkan pada juru lelang. Juru lelang ini memasukkan data ke dalam komputer dan mengkompilasi sebuah katalog yang dibagikan kepada para pembeli.
Produsen dan pengepak buah strawberi masuk ke dalam ruang lelang yang dirancang dengan cara sedemikian rupa, sehingga para pembeli dan para penjual tidak pernah dapat melihat satu kepada yang lain, tetapi dapat melihat jelas juru lelang dan papan elektronik yang memeragakan harga. Peragaan strawberi di dalam ruang dan dalam katalog memungkinkan semua pihak mengetahui secara persis suplai yang tersedia baik volume maupun mutunya.
Terlebih lagi,
peragaan batches yang berbeda secara bersandingan menyoroti perbedaan dalam kuantitas dan mutu di antara produser-produser. Para produser dapat memperbandingkan produksinya masing-masing dengan produksi pesaing mereka. +al demikian tidak mungkin terjadi jika pengumpulan buah strawberi dilakukan secara lokal, dan tidak dipusatkan di dalam gedung lelang tersebut. Para petani strawberi yang sebelumnya terikat dalam relasi personal dengan para
33
penyalur (intermediaries) dan pengepak buah kini memasuki hubungan baru yang bersifal impersonal.
Segenap elemen-elemen yang heterogen berkontribusi pada proses pembingkaian transaksi dengan cara pemutusan jejaring relasi-relasi, dan dengan demikian mengkonstruksi sebuah arena di mana setiap entitas terputus hubungannya dan entitas-entitas yang lain. Teknik lelang secara berangsur-angsur, peragaan transaksi pada papan elektronik, kualifikasi relatif dari batches strawberi, dan pengetahuan pasar secara umum semuanya membuat transaksi menjadi dapat dikalkulasi.