Bab II. Kerangka Kerja Konseptual
Pada bab ini disampaikan kerangka konsep-konsep teoritik dan analitik yang dipergunakan dalam pelaksanaan penelitian. Kerangka kerja yang disusun mencakup konsep tentang otonomi karena objek penelitian yaitu institusi pengawasan publik dilihat dalam rerangka otonomi daerah, makna otonomi untuk memperkuat fakta tentang konsepnya, konsep tata kelola yang berkaitan dengan pengaturan, pengarahan, atau pengendalian, konsep good governance yang memuat indikator-indikator dalam proses pengawasan, konsep pengawasan sebagai upaya pengungkapan fakta publik berikut norma-norma dalam pengawasan, teori jejaring aktor (Actor Network Theory/ANT) sebagai media analisis fenomena sosioteknis, dan konsep-konsep yang berkaitan dengan penelitian kualitatif. Pada bagian akhir bab ini juga dijelaskan bagaimana konsepkonsep tersebut dipergunakan dalam setiap tahap penelitian.
II.1 Konsep otonomi Dalam banyak hal, kata desentralisasi dan otonomi adalah kata yang sering saling dipertukarkan. Menurut Nugroho D. Riant (2000: 46) Secara etimologi kata Otonomi berasal dari 2 (dua) kata yaitu outos dan nomos. Kata outos berarti “sendiri” dan kata nomos berarti “perintah”. Jadi Otonomi berarti “memerintah sendiri”. Dalam wacana administrasi publik daerah otonom sering disebut sebagai local self government. Daerah Otonom praktis berbeda dengan “daerah” saja yang merupakan penetapan dari kebijakan yang dalam wacana administrasi publik disebut sebagai local state government.
Sedangkan Desentralisasi adalah pelimpahan wewenang, sehingga ia lebih dekat dengan otonomi daerah. Konsep desentralisasi dengan demikian mempunyai cetakan pemahaman yang sama dengan otonomi daerah. Namun, lanjut Sarundajang dalam Nugroho (2000 : 47) sebelum masuk ke “cetakan yang sama” tersebut sebagai pembanding, ada 4 klasifikasi daerah otonom, yaitu :
5
1. Otonomi Organik atau Rumah Tangga Organik. Otonomi ini mengatakan bahwa rumah tangga adalah keseluruhan urusan-urusan yang menentukan mati hidupnya badan otonomi atau daerah otonom. 2. Otonomi Formal atau Rumah Tangga Formal. Adapun yang dimaksud dengan otonomi formal adalah apa yang menjadi urusan otonomi itu tidak dibatasi secara positif. Satu-satunya pembatasan adalah daerah otonom yang bersangkutan tidak boleh mengatur apa yang telah diatur oleh perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. 3. Otonomi Materiil atau Rumah Tangga Materiil. Kewenangan daerah otonom itu dibatasi secara positif yaitu dengan menyebutkan secara limitatif dan terinci atau secara tegas apa saja yang berhak di atur dan diurusnya. 4. Otonomi Riil atau Rumah Tangga Riil pada prinsipnya menyatakan bahwa penentuan tugas pengalihan atau penyerahan wewenang-wewenang urusan tersebut didasarkan pada kebutuhan dan keadaan serta kemampuan daerah yang menyelenggarakannya.
Lebih lanjut dalam mendiskusikan otonomi daerah, kita harus terlebih dahulu mengetahui bagaimana atau di mana letak otonomi daerah dalam sistem pemerintah negara Republik Indonesia sejak tahun 1945 sampai dengan sekarang. Kemudian, landasan apa yang mendasari proses perubahan otonomi daerah baik dari landasan hukumnya, bagaimana kedudukan dan alat kelengkapannya dalam menjalankan tugasnya serta apa peranannya dalam sistem pemerintahan di Indonesia secara keseluruhan.
Pemahaman dan makna otonomi telah mengalami perubahan secara mendasar sejak berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. Namun karena dianggap masih memiliki banyak kelemahan, Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tersebut kemudian disempurnakan dengan digantikan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
6
Lahirnya Undang-undang 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang disusul kemudian dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, adalah merupakan koreksi total atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dalam upaya memberikan otonomi yang cukup luas kepada daerah sesuai cita-cita Undang-undang Dasar 1945. UU 22 Tahun 1999 tersebut lahir sebagai pelaksanaan Tap MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan juga masih dalam rangka pelaksaan UUD 1945, sehingga Undang-undang tersebut lebih dikenal sebagai UU Otonomi Daerah Tahun 1999. Seperti proses-proses perubahan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang lainnya, Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 ini terlihat merupakan pergeseran pendulum dari suatu kondisi ekstrim ke kondisi ekstrim yang lain sesuai dengan suasana politik saat itu. Dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ini merupakan pergeseran pendulum yang cukup drastis dari kondisi sentralistis ke arah desentralisasi yang lebih luas.
Menurut Yudoyono (2001: 28) suatu hal yang paling menonjol dari penggantian UU No 5 Tahun 1974 dengan UU No. 22 Tahun 1999 adalah adanya perubahan yang mendasar pada format
otonomi daerah dan substansi desentralisasi.
Perubahan tersebut dapat diamati dari kandungan materi yang tertuang dari rumusan pasal demi pasal pada undang-undang tersebut. Ada beberapa hal yang dikembalikan dan ada pula beberapa hal yang baru sama sekali. Kandungan kedua undang-undang tersebut sangat jelas terutama terlihat bahwa UU No 5 Tahun 1974 lebih cenderung pada dekosentrasi, sedangkan pada UU No. 22 Tahun 1999 desentralisasinya lebih condong bersifat devolusi. Hal ini dapat difahami karena isi maupun jiwa dari setiap peraturan perundang-undangan banyak tergantung pada kesadaran dan kemauan politik dari pada si pembuat undang-undang saat itu.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pada akhir masa kerja DPR 1999-2004 pada tanggal 15 Oktober 2004, adalah merupakan koreksi total atas kelemahan yang terdapat pada UU Nomor 22 Tahun 1999. Terbitnya Undang-undang ini juga diiringi dengan
7
ditetapkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini juga dilengkapi dengan sistem pemilihan langsung kepala daerah. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat kandungan materi ketiga undangundang tersebut di atas pada tabel di bawah ini: Tabel II.1 Perbandingan UU No. 5 Tahun 1974, 22 Tahun 1999 dan 32 Tahun 2004 No
UU No. 5 Tahun 1974
UU No. 22 Tahun 1999
UU No. 32 Tahun 2004
1.
Nama : Pokok Pokok Pemerintahan Di Daerah (menekankan makna dekosentrasi/tugas Pemerintah di Daerah) Azas desentralisasi dilaksanakan bersamasama dengan azas dekosentrasi dan medebewind
Nama : Pemerintahan Daerah (Menekankan desentralisasi / tugas Pemerintahan Daerah)
Nama : Pemerintahan Daerah (Menekankan desentralisasi / tugas Pemerintahan Daerah)
Pemerintah daerah (provinsi kabupaten/kota) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
3.
Desentralisasi dilaksanakan melalui penyerahan urusan secara bertahap sesuai dengan kemampuan daerah (kewenangan daerah otonom terbatas)
Azas desentralisasi dilaksanakan di Kabupaten dan Kota, sedangkan desentralisasi dan dekosentrasi dilaksanakan bersamasama di Propinsi dalam kedudukannya sebagai daerah otonom terbatas sekaligus sebagai wilayah administratif Desentralisasi ditetapkan bersamaan penetapan status daerah otonom/melekat. (kewenangan daerah otonom utuh dan bulat)
4.
Tergantung kebijakan Mandiri-bervariasi pemerintah Pusat dan sesuai dengan aspirasi bersifat seragam masyarakat dan budaya lokal. Rekrutmen pejabat Rekruitmen pejabat politik dan proses politik dan proses legislasi daerah melalui legislasi daerah tuntas di izin dan petunjuk daerah tanpa intervensi pemerintah pemerintah. Terbatas dalam Memberi keleluasaan mengelola sumberdaya (diskresi) dalam alam di daerahnya pengelolaan sumberdaya sendiri alam daerahnya
Mandiri-bervariasi sesuai dengan aspirasi masyarakat dan budaya lokal.
2.
5.
6.
8
Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
Rekruitmen pejabat politik dan proses legislasi daerah tuntas di daerah tanpa intervensi pemerintah. Memberi keleluasaan (diskresi) dalam pengelolaan sumberdaya alam daerahnya
7.
8.
9.
Pemerintah daerah Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD dan Perangkat Daerah sebagai Lembaga Eksekutif Daerah Mengenal adanya Tidak mengenal adanya perangkat dekosentrasi di perangkat dekosentrasi Daerah Tingkat I dan dalam daerah otonom. Tingkat II. Kewenangan daerah Kewenangan daerah Kabupaten dan kota otonom bersifat utuh dan bersifat residual. bulat.
Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Perangkat Daerah sebagai Lembaga Eksekutif Daerah Tidak mengenal adanya perangkat dekosentrasi dalam daerah otonom. Kewenangan daerah otonom bersifat utuh dan bulat.
Menurut Nugroho (2000: 46) Secara prinsip terdapat dua hal yang tercakup dalam otonomi, yaitu Hak dan Wewenang untuk mengelola daerah dan tanggungjawab untuk kegagalan dalam pengelolaan daerah. Daerah yang otonom adalah daerah yang mandiri, tingkat kemandirian diturunkan dari tingkat desentralisasi yang diselenggarakan. Semakin tinggi derajat desentralisasi maka semakin tinggi pula tingkat otonomi daerah tersebut. Dari pemahaman tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam rangka membangun manajemen pemerintahan yang efektif, maka diperlukan desentralisasi dalam derajat tinggi karena desentralisasi dalam derajat yang tinggi akan membentuk kebutuhan untuk membangun daerah-daerah otonom yang memiliki derajat kemandirian yang tinggi pula.
II.2 Makna Otonomi Dari konsep otonomi yang dibicarakan di atas dapat dikatakan bahwa yang menjadi inti atau prinsip dari otonomi tersebut merupakan hak,wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurusnya menjadi urusan rumah tangga daerah sendiri. Menurut Warsito (2001) terdapat 3 (tiga) pengertian otonomi atau rumah tangga daerah atau penyerahan urusan-urusan menjadi urusan rumah tangga daerah, yaitu : Pertama : Sistem Material, dimana urusan-urusan rumah tangga daerah dibatasi secara tegas dan lugas. Secara pasti ditetapkan apa saja yang termasuk kedalam urusan rumah tangga daerah. Secara normatif terperinci ditentukan apa yang menjadi urusan pemerintah pusat dan apa yang menjadi urusan pemerintah di daerah-daerah.
9
Kedua : Sistem Formal, yaitu urusan-urusan yang termasuk ke dalam urusan rumah tangga daerah ditetapkan di dalam undang-undang. Daerah dapat mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting untuk daerahnya asal tidak memasuki urusan-urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat atau daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Jadi, pembatasan terletak pada derajat peraturan yang mengatur. Ketiga : Sistem Riil atau Nyata, yaitu urusan yang termasuk kedalam urusan rumah tangga daerah diserahkan kepada daerah, didasarkan pada faktor-faktor riil dari kebutuhan, kekuatan, kemampuan dan keberadaan suatu daerah. Jadi, suatu urusan menjadi urusan rumah tangga daerah didasarkan pada keberadaan nyata suatu daerah. Otonomi sangat erat kaitannya dengan demokrasi, dimana yang diinginkan bukan hanya demokrasi pada tataran nasional, tetapi juga pada tingkatan lokal (local democracy) yang arahnya kepada pemberdayaan (empowering) atau kemandirian daerah. Dengan demikian lanjut Warsito (2001) otonomi tersebut dapat dilihat dari
4 (empat) sudut pandang yaitu:
1. Politik, Sebagai permainan kekuasaan yang dapat mengarah kepada penumpukan kekuasaan yang seharusnya kepada penyebaran kekuasaan (distribution or dispersion of power). Tetapi juga sebagai tindakan pendemokrasian untuk melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi. 2. Teknik Organisatoris, sebagai cara untuk menerapkan dan melaksanakan pemerintahan yang efisien. 3. Kultural, adanya perhatian terhadap keberadaan atau kekhususan daerah. 4. Pembangunan,
desentralisasi
atau
otonomi
secara
langsung
memperhatikan dan melancarkan serta meratakan pembangunan. (The Liang Gie : 1968).
Dengan demikian filosofi dan implementasi otonomi sesungguhnya berorientasi kepada : a. Realisasi dan implementasi dari filosofi demokrasi.
10
b. Realisasi dan kemandirian secara nasional dan mengembangkan sensivitas kemandirian daerah pula. c. Melatih daerah mencapai kedewasaannya dan dapat memanage permasalahan dan kepentingannya sendiri sejauh memungkinkan. d. Mempersiapkan “political schooling” untuk seluruh masyarakat. e. Mempersiapkan saluran bagi aspirasi dan partisipasi daerah. f. Membuat pemerintah dapat secara optimal mencapai efisien dan efektif (Soewargono:1977).
Demokrasi tidak akan terbentuk dengan sendirinya, karena bukan suatu yang dapat terwujud secara alamiah. Dengan demikian demokrasi memerlukan upaya yang konsisten dan berkesinambungan dari semua pihak berdasarkan keyakinan bahwa ia merupakan idealisme yang layak diperjuangkan. Menurut Rasyid (1994: 44) di dalam proses yang tiada henti-hentinya menuju demokrasi, komitmen masyarakat luas untuk berdemokrasilah pada tingkat pertama justru perlu dibangun.
II.3 Tata-Kelola (governance) Tata kelola (governance) terkait dengan pengaturan, pengarahan, atau pengendalian. Praktik tata kelola mencakup proses dan sistem, yang dengan ini semua elemen masyarakat bekerja dan beroperasi. Istilah governance itu sendiri terkait erat dengan keybernaen yang berarti to steer, dan keybernetike yang berarti the art of steering. Jadi steering, navigation, dan governance ketiganya memiliki keserupaan makna. Gagasan tentang tata kelola secara intrinsik mengandung nilainilai – apa-apa yang dianggap baik dan tidak baik. Dalam istilah good governance atau democratic governance, pernyataan tentang nilai-nilai bersifat eksplisit. Dalam bidang rekayasa, nilai-nilai biasanya dinyatakan dalam kriteria kuantitatif yang mengukur, misalnya, kompromi antara efisiensi dan efektivitas.
Penggunaan istilah tata kelola dalam situasi praktis sering disertai dengan asumsiasumsi berkenaan dengan bagaimana suatu tata kelola mungkin diwujudkan. Tidak jarang tata kelola dipersepsikan sebagai penyelenggaraan kekuasaan atau
11
kewenangan untuk mengatur, mengarahkan, atau mengendalikan. Di sini diasumsikan bahwa keteraturan atau keterarahan mengemban peran sebagai pengatur dan pengendali urusan publik. Tetapi dalam kajian-kajian ilmiah tentang tata kelola, asumsi tersebut dipertanyakan. Konsentrasi kuasa (power) memang dapat membuat tata kelola menjadi efektif. Nilai-nilai tertentu dapat diberlakukan kaidah yang berlaku umum, serta sistem penegakan aturan yang tangguh. Tetapi konsentrasi kuasa juga efektif dalam menghancurkan tata kelola, ketika nilai-nilai yang dianut kelompok marjinal berbeda dari nilai-nilai yang dianut kelompok penguasa.
Zsaga (2006), dalam diskusinya tentang filosofi dari tata kelola, menegaskan bahwa tata kelola tidak bisa berlangsung hanya dengan menekankan kepatuhan atas
kaidah-kaidah
yang
bersifat
instruktif.
Bagi
Zsaga,
tata
kelola
mempersyaratkan bahwa keputusan-keputusan harus mempertimbangkan apa-apa yang sesuai dalam situasi atau peristiwa yang spesifik. Misalnya, seorang dokter tidak hanya membuat keputusan-keputusan untuk menangani masalah kesehatan, tetapi juga harus mempertimbangkan kesehatan manusia. Seorang dokter, ketika menghadapi pasien, harus mempertimbangkan apa-apa yang baik dalam situasi yang khusus dari pasien tersebut. Tata kelola mempersyaratkan adanya phronesis, atau kebijakan praktis (practical wisdom) yang dikembangkan melalui latihanlatihan untuk membuat keputusan yang sesuai dalam situsi-situasi yang unik.
Ilustrasi lainya untuk memperjelas kajian di atas adalah sebagai berikut. Seorang sopir bus, agar memiliki kompetensi harus dididik dan dilatih untuk mengenal jalan yang akan dilalui, tanjakan dan tikungannya, memahami kondisi jalan saat hujan, dan berbagai teknik mengendalikan bus. Tetapi ia harus mampu untuk selalu memilih keputusan yang sesuai dalam situasi-situasi yang spesifik dalam perjalanan ke tempat tujuan, dan tidak sekedar menerapkan/mematuhi kaidah atau prosedur yang dipelajari di atas kertas. Menjalankan bus tidak bisa hanya mempelajari sekumpulan kaidah-kaidah, dikarenakan kaidah-kaidah tersebut tidak cukup rinci untuk dapat diterapkan secara akurat pada setiap kasus. Melalui ilustrasi tersebut kita dapat mengambil pelajaran bahwa pada praktiknya,
12
bagaiman proses memilih kaidah tertentu untuk diikuti melibatkan pemahaman akan situasi yang kongkret, sesuatu yang tidak mungkin ditentukan oleh kaidah yang wujudnya abstrak. Misalnya, sopir bus tersebut harus mempertimbangkan siapa-siapa yang berada dalam busnya, apakah para wisatawan, anak-anak muda, anak kecil, ibu hamil, tentara, polisi dan kelompok lansia. Ini semua menentukan faktor objektif untuk mengambil keputusan.
Jadi pada esensinya, tata kelola berurusan dengan nilai-nilai dan keputusankeputusan yang terkait dengan nilai-nilai tersebut. Dan agen manusia merupakan basis keberadaan dari nilai-nilai tersebut (raison d’etre). Dengan perkataan lain, sebuah tata kelola tidak memberikan penekanan pada kaidah-kaidah dan kepatuhan pada kaidah-kaidah, tetapi pada agen-agen manusia itu sendiri. Manusia dan masyarakat tidak bisa sekedar menjadi objek dari tata kelola. Tata kelola yang baik dan efektif hanya bisa dicapai melalui kemitraan dan konsultasi dalam ranah kebijakan yang lebih luas, dan proses-proses keputusan yang bersifat partisipatori. Tata kelola dan demokrasi, oleh karenanya, tidak bisa dipisahkan. Kaidah-kaidah yang berlaku umum, meski diperlukan, tidak memadai dalam kondisi kehidupan nyata yang kompleks, yang diselubungi dengan ketidakpastian. Terlebih lagi ini tidak memadai bila keputusan yang diambil dapat mempengaruhi kehidupan orang-orang lain.
Tata kelola berkenaan dengan serangkaian keputusan-keputusan, aktor-aktor yang terkait dengan keputusan-keputusan tersebut. Dalam ilustrasi tentang sopir bus di atas, area permasalahannya adalah, misalnya, mengantar penumpang ke tujuan perjalanan mereka secara aman dan nyaman. Keputusan-keputusan yang utama disini terkait dengan arah gerak dan laju bus, pemilihan rute dan jalan yang akan dilalui. Tetapi juga penting keputusan-keputusan yang menyangkut kenyamanan dan keamanan penumpang, seperti kapan harus menginjak rem agar tidak berhenti mendadak, siapa yang harus diprioritaskan untuk dilindungi ketika gangguan keamanan terjadi dan lain sebagainya. Aktor-aktor keputusan adalah sopir bus itu sendiri, kernet dan manajer perusahaan otobus beserta perangkatnya, serta penumpang bus.
13
Mengatur proses keputusan, dalam kajian tata kelola, artinya adalah membawa proses keputusan dan hasil-hasilnya ke arah yang sesuai dan selaras dengan nilainilai yang dianut oleh berbagai aktor yang terlibat dalam proses keputusan dan dipengaruhi oleh hasil-hasilnya. Ini berarti juga bahwa tata kelola berurusan dengan aksi-aksi, interaksi-interaksi sosial, nilai-nilai sosial dan, perubahan sosial. Penekanan proses keputusan sebagai proses sosial membedakan bidang kajian tata kelola dari teori-teori keputusan (decicion theory). Dalam teori-teori keputusan, umumnya perhatian ditujukan pada kalkulasi pilihan-pilihan untuk menemukan pilihan yang optimal, yaitu pilihan yang memberikan hasil terbesar serta mengkrompromikan sejumlah kriteria.
Kajian tata kelola tidak berurusan dengan kandungan keputusan ataupun kaidahkaidah untuk memilih dan menetapkan keputusan. Yang menjadi sentral perhatian dalam kajian tata kelola adalah agen-agen yang terlibat dalam aksi kolektif, nilainilai dan kepentinga-kepentingan dari agen-agen, interaksi antara para agen, serta efek dari aksi kolektif tersebut terhadap para agen. Oleh karena ini, umumnya kajian tata kelola melibatkan teori-teori sosial. Kajian tata kelola berurusan dengan nilai-nilai, etika, tatanan sosial, aksi, dan kualitas kehidupan sosial secara umum. Dengan demikian, tata kelola memperhatikan keputusan-keputusan, aktoraktor keputusan, hasil-hasil dari aksi kolektif sebagai sebuah proses sosial. Misalnya, banyak kajian tata kelola mengangkat pertanyaan tentang proses keputusan yang demokratis, implikasi keputusan tersebut terhadap kualitas kehidupan sosial, dan bagaimana mengarahkan proses tersebut agar membawa perbaikan dalam kehidupan sosial.
III.4 Good Governance Istilah “Governance” menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, bahwa kemampuan suatu negara mencapai tujuan negara sangat tergantung pada kualitas tata
14
kepemerintahan di mana pemerintah melakukan interaksi dengan sektor swasta dan masyarakat (Thoha; 2000, 12).
Sedangkan United Nations Development Program (UNDP) mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. Menurut definisi ini, governance mempunyai tiga kaki (three legs), yaitu economic, political, dan administrative. Economics governance meliputi proses-proses pembuatan keputusan (decision-making processes) yang memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi diantara penyelenggara ekonomi. Economic governance mempunyai implikasi terhadap equity, poverty dan quality of life. Political governance adalah proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan, sedangkan administrative governance adalah sistem implementasi proses kebijakan. Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing (LAN, 2000 : 5).
Konsep good governance sejak tahun 1991 dipromosikan oleh beberapa agensi multilateral dan bilateral (Keban ; 2000, 52). Mereka memberikan tekanan pada beberapa indikator, antara lain : (1) demokrasi, desentralisasi dan peningkatan kemampuan pemerintah; (2) hormat terhadap hak asasi manusia dan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku; (3) partisipasi rakyat; (4) efisiensi, akuntabilitas, transparansi dalam pemerintah dan administrasi publik; (5) pengurangan anggaran militer; dan (6) tata ekonomi yang berorientasi pasar. World Bank (LAN; 2000, 6) mensinonimkan
good
governance
dengan
penyelenggaraan
manajemen
pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political frameworks bagi tumbuhnya aktivitas
kewiraswastaan.
Sedangkan
UNDP
dalam
workshop
yang
diselenggarakannya (Widodo; 2001, 24) menyimpulkan “that good governance
15
system are participatory, implying that all members of governance institutions have a voice in influencing decision making”. Namun dalam perkembangan berikutnya lembaga ini (LAN; 2000, 7) memberikan definisi good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sector swasta dan masyarakat (society).
Lembaga Administrasi Negara (2000, 6) medefinisikan good governance sebagai penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Pada tataran ini, good governance berorientasi pada 2 (dua) hal pokok, yakni : Pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Pada tataran ini, good governance mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara
dengan
elemen-elemen
konstituennya,
seperti
legitimacy,
accountability, scuring of human right, autonomy and devolution of power dan assurance of civilian control; Kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Dalam konteks ini, good governance tergantung pada pada sejauh mana struktur serta mekanisme politik dan administratif berfungsi secara efektif dan efisien.
Dari beberapa pengertian good governance diatas, maka dapat diidentifikasi indikator-indikator yang terkandung didalamnya. UNDP (LAN; 2000, 7) mengajukan karakteristik good governance, sebagai berikut :
Participation ; Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun secara intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar keabsahan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
Rule of law ; Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak azasi manusia.
16
Transparancy ; Transparansi dibangun atas dasar keabsahan arus informasi. Proses-proses, lembaga dan informasi yang secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan.
Responsive ; Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders.
Consensus Orientation ; Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
Equity ; Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
Effectiveness
and
effeciency
;
Proses-proses
dan
lembaga-lembaga
menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
Accountability ; Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembagalembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
Strategic vision ; Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan yang luas dan jauh kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
Sementara itu, United Nations (Keban; 2000, 52) merumuskan indikator good governance yang meliputi : (1) kemampuan, yaitu kemampuan yang cukup untuk melaksanakan kebijakan dan fungsi-fungsi pemerintah, termasuk sistem administrasi publik efektif dan responsif; (2) akuntabilitas dalam kegiatan pemerintah dan transparan dalam pengambilan keputusan; (3) partisipasi dalam proses demokrasi, dengan memanfaatkan sumber informasi dari publik dan dari swasta ; (4) perhatian terhadap pemerataan dan kemiskinan; dan (5) komitmen terhadap kebijakan ekonomi yang berorientasi kepada pasar.
17
Nilai yang terkandung dari pengertian beserta karakteristik good governance tersebut diatas merupakan nilai-nilai yang universal sifatnya dan sesuai dengan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam GBHN 1999 – 2004,
karena
itu
diperlukan
pengembangan
dan
penerapan
sistem
pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna dan berhasil guna. Kondisi semacam ini perlu adanya akuntabilitas dan tersedianya akses yang sama pada informasi bagi masyarakat luas. Hal ini merupakan fondasi legitimasi dalam sistem demokrasi, mengingat prosedur dan metode pembuatan keputusan harus transparan agar supaya memungkinkan terjadinya partisipasi efektif. Kondisi semacam ini mensyaratkan bagi siapa saja yang terlibat dalam pembuatan keputusan, baik itu pemerintah, sektor swasta maupun masyarakat, harus bertanggung jawab kepada publik serta kepada institusi stakeholders. Disamping itu, institusi governance harus efisien dan efektif dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, responsif terhadap kebutuhan masyarakat, memberikan fasilitas dan peluang ketimbang melakukan kontrol serta melaksanakan peraturan perundang-undanganan yang berlaku.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid yang bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergisan interaksi yang positif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat (LAN; 2000, 8), sedangkan hubungan diantara ketiga unsur utama
(domain) tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut :
Negara
Sektor Swasta
Masyarakat
Gambar II.1 Hubungan unsur utama dalam pemerintahan
18
II.5 Konsep Pengawasan Secara umum yang dimaksud pengawasan adalah segala kegiatan dan tindakan untuk menjamin agar penyelenggaraan suatu kegiatan tidak menyimpang dari tujuan serta rencana yang telah digariskan. Bila dirinci lebih jauh maka sebagaimana disepakati dalam seminar Undang-undang Perbendaharaan Negara, tanggal 30 Agustus 1970. Pengawasan adalah suatu kegiatan untuk memperoleh kepastian apakah pelaksanaan suatu pekerjaan atau kegiatan itu dilakukan sesuai dengan rencana, aturan-aturan dan tujuan yang telah ditetapkan (Baswir, 1999:118).
Adapun pengawasan pada pemerintah daerah umumnya dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional. Menurut Baswir (1999:128) pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional, baik yang berasal dari lingkungan internal pemerintah maupun yang berasal dari eksternal pemerintah. Sasaran pelaksanaan pengawasan fungsional ini mencakup baik pelaksanaan tugas umum pemerintah, maupun pelaksanaan pembangunan. Tujuannya adalah agar pelaksanaan tugas umum dan pembangunan itu sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan yang dilaksanakan pada pemerintah daerah adalah pemeriksaan terhadap pelaksanaan anggaran yaitu ketaatan terhadap pelaksanaan anggaran baik anggaran penerimaan maupun anggaran belanja.
II.6 Pengawasan sebagai bagian dari sistem manajemen Sebagai salah satu fungsi dasar manajemen, pengawasan tidak dapat dihilangkan dalam setiap sistem organisasi. Setiap manajer atau pimpinan organisasi mau tidak mau harus menjalankan fungsi manajemen ini demi keberhasilan tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Setiap lembaga pemerintahan, baik itu lembaga pemerintah pusat maupun daerah merupakan suatu organisasi sebagai pecahan atau sub organisasi dari organisasi yang lebih besar yaitu pemerintah. Pemerintah inipun merupakan sub organisasi atau sub sistem dari sistem yang lebih besar, yaitu Negara. Jadi negara adalah suatu organisasi, dan organisasi tidak lain adalah aspek statis dari administrasi (dalam arti luas) dimana manajemen adalah
19
merupakan aspek dinamisnya (Logemann, 1955). Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengawasan sebagai salah satu fungsi dasar manajemen mutlak diperlukan dalam penyelenggaraan manajemen negara atau administrasi negara. Pengawasan yang dimaksud disini adalah pengawasan melekat dan pengawasan fungsional.
Pengertian pengawasan melekat adalah suatu tindakan atau kegiatan atau usaha untuk mengawasi dan mengendalikan anak buah secara langsung, yang harus dilakukan sendiri oleh setiap pimpinan organisasi. Sedangkan pengawasan fungsional yang dimaksud disini mengandung pengertian bahwa pengawasan yang dilakukan oleh oleh aparat yang diadakan khusus untuk membantu pimpinan (manajer) dalam menjalankan fungsi pengawasan di lingkungan organisasi yang menjadi tanggungjawabnya. Pengawasan dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan pekerjaan atau kegiatan yang menjadi objek pengawasan berdasarkan aturan hukum yang berlaku apakah sudah sesuai dengan semestinya atau tidak, sebagai bahan untuk melakukan perbaikan-perbaikan diwaktu yang akan datang (Sujamto, 1994). II.7 Norma Pemeriksaan Dalam melakukan pemeriksaan aparat pengawasan fungsional pemerintah juga memiliki norma pemeriksaan. Arti norma pemeriksaan adalah patokan, kaidah atau ukuran yang ditetapkan oleh pihak berwenang yang harus diikuti dalam rangka melaksanakan fungsi pemeriksaan agar dicapai mutu pelaksanaan pemeriksaan dan mutu laporan pemeriksaan yang dikehendaki. Norma pemeriksaan terdiri dari.
1. Norma umum pemeriksaan. a. Ruang lingkup pemeriksaan lengkap terhadap obyek yang diperiksa mencakup: (1) pemeriksaan atas keuangan dan ketaatan pada peraturan perundang-undangan; (2) penilaian tentang daya guna dan kehematan dalam penggunaaan sarana yang tersedia; (3) penilaian hasil guna atau
20
manfaat yang direncanakan dari suatu program. Pejabat yang berwenang menetapkan tugas pemeriksaan harus mempertimbangkan kebutuhan pemakai hasil pemeriksaan dalam menentukan ruang lingkup dari suatu pemeriksaan tertentu. b. Dalam segala hal yang berhubungan dengan tugas pemeriksaaan, aparat individu maupun kolektif harus bertindak dengan penuh intergritas dan obyektivitas. c. Pemeriksa atau para pemeriksa yang ditugaskan untuk melaksanakan pemeriksaan, secara individu atau setidak-tidaknya secara kolektif, harus mempunyai keahlian/kemampuan teknis yang diperlukan dalam bidang tugasnya. d. Dalam melaksanakan pemeriksaan dan penyusunan laporan, pemeriksa wajib menggunakan keahlian/kemampuan teknisnya dengan cermat. 2. Norma pelaksanaan pemeriksaan. a. Pekerjaan pemeriksaan harus direncanakan sebaik-baiknya. b. Para pelaksana pemeriksa harus diawasi dan dibimbing dengan sebaikbaiknya. c. Ketaatan pada peraturan perundang-undangan harus ditelaah dan dinilai secukupnya. d. Sistem pengendalian manajemen harus dipelajari dan dinilai secukupnya untuk menentukan sampai seberapa jauh sistem itu dapat diandalkan kemampuannya untuk menjamin ketelitian informasi, keataatan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan untuk mendorong pelaksanaan kegiatan yang berdayaguna dan berhasilguna. e. Bukti yang cukup, kompeten, dan relevan harus diperoleh sebagai landasan yang layak untuk menyusun pertimbangan, kesimpulan, pendapat serta saran tindak pemeriksa. 3. Norma pelaporan pemeriksaan. a. Laporan pemeriksaan harus dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada pejabat yang memberi perintah serta kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
21
b. Laporan pemeriksaan harus dibuat segera setelah selesai pekerjaan pemeriksaan dan disampaikan kepada pejabat yang berkepentingan tepat pada waktunya. c. Tiap laporan Pemeriksaan harus memuat ruang lingkup dan tujuan pemeriksaan, disusun dengan baik, menyajikan informasi yang layak, serta pernyataan bahwa pemeriksaan telah dilaksanakan sesuai dengan norma pemeriksaan aparat pengawasan fungsional pemerintah. d. Setiap laporan pemeriksaan yang bertujuan menilai dayaguna dan kehematan, serta hasil guna program harus: (1) memuat temuan dan kesimpulan pemeriksaan secara obyektif serta saran tindak yang konstruktif;
(2)
lebih
mengutamakan
usaha
perbaikan
atau
penyempurnaan dari pada kritik; (3) mengungkapkan hal-hal yang masih merupakan masalah yang belum dapat diselesaikan sampai berakhirnya pemeriksaan, bila ada; (4) mengemukakan pengakuan atas suatu prestasi keberhasilan atau suatu tindakan perbaikan yang telah dilaksanakan, terutama bila perbaikan itu dapat diterapkan di instansi lain; (5) mengemukakan penjelasan pejabat obyek yang diperiksa mengenai hasil pemeriksaan; (6) menyatakan informasi penting yang tidak dimuat dalam laporan pemeriksaan karena dianggap rahasia atau harus diperlakukan secara khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan, bila ada. e.
Setiap laporan pemeriksaan yang bertujuan menyatakan pendapat terhadap kewajaran laporan keuangan harus memuat: (1) suatu pernyataan pendapat akuntan atau kelayakan laporan secara keseluruhan, apakah sesuai dengan prinsip akuntansi yang lazim berlaku, atau prinsip akuntansi lainnya yang diberlakukan secara khusus pada obyek yang diperiksa, dan dilaksanakan secara konsisten dengan periode sebelumnya. Bila pemeriksa tidak dapat menyatakan pendapatnya, alasannya harus diungkapkan dalam laporan; (2) pengungkapan informasi yang masih dipandang perlu oleh pemeriksa; (3) uraian mengenai pelanggaran atas peraturan perundang-undangan disertai pengaruhnya terhadap laporan keuangan obyek yang diperiksa (Norma Pemeriksaan, 1985: 4-7).
22
Di samping Norma Pemeriksaan aparat pengawasan fungsional di daerah mengacu kepada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 158 Tahun 1996 tentang Pedoman Pemeriksaan Reguler Aparat Pengawasan Fungsional di Jajaran Departemen Dalam Negeri. II.8 Pendekatan kemanusian dalam pemecahan masalah Aneka proses sosial dan relasi sosial yang melibatkan teknologi, alam, dan aktor sosial (produksi, konsumsi, transportasi, pengobatan, pekerjaan) tidak saja memproduksi dan mengonsumsi di dalamnya ”produk-produk sosial”, tetapi sekaligus ”memproduksi” dan ”mengonsumsi” aneka ”risiko”, baik yang bersifat fisik, psikis, maupun sosial. Mesin-mesin sosial yang sebenarnya ditujukan untuk memproduksi
produk-produk
sosial
(kesehatan,
keamanan,
kekayaan,
kemakmuran) kini sekaligus menjadi ”mesin-mesin risiko sosial”—the social risk machine.
” High risk society” Ulrich Beck, di dalam Risk Society: Towards a New odernity (1998) menjelaskan ”risiko” (risk) sebagai kemungkinan-kemungkinan kerusakan fisik (termasuk mental dan sosial) yang disebabkan oleh proses teknologi dan proses-proses lainnya, seperti proses sosial, politik, komunikasi, seksual. Risiko, dengan demikian, mempunyai hubungan sangat erat dengan sistem, model, dan proses perubahan di dalam sebuah masyarakat (industrialisasi, modernisasi, pembangunan), yang akan menentukan tingkat risiko yang akan dihadapi oleh masyarakatnya.Setidaknya, ada tiga kondisi yang membentuk aneka risiko ini.
Pertama, risiko itu ”diproduksi” di dalam sebuah sistem sosial, misalnya oleh institusi atau organisasi (kesehatan, keamanan, pertanian), yang justru diharapkan dapat mengelola dan mengontrol risiko. Kedua, besarnya risiko merupakan fungsi langsung dari kualitas relasi dan proses social. Ketiga, risiko tinggi disebabkan oleh ketergantungan besar masyarakat yang terkena risiko pada institusi atau aktor-aktor sosial yang justru asing, jauh, atau tak tersentuh oleh mereka. Risiko, dalam hal ini, berbanding terbalik dengan kemampuan sebuah institusi dalam mengelola sistem sosial: pengelolaan sistem sosial yang buruk akan
23
mempertinggi aneka risiko, dan sebaliknya. Perkembangan risiko ke arah ” risiko tinggi” (high risk) di atas tubuh bangsa ini menunjukkan sangat buruknya pengelolaan sistem sosial itu, terutama pada institusi atau organisasi-organisasi yang bertanggung jawab terhadap munculnya risiko: sistem kontrol sosial yang mandul, sistem pengawasan (surveillance) yang tak berjalan, sistem pendisiplinan dan hukuman (discipline and punishment) yang tidak mempunyai kekuatan, sistem laporan asal bapak senang (ABS).
Buruknya kualitas relasi sosial dan proses sosial akan semakin mempertinggi tingkat risiko yang dihadapi. Kondisi buruk seperti inilah yang terjadi di atas tubuh bangsa ini, yang menyebabkan risiko berlipat ganda: aparat yang korup dan nepotis, kecerobohan lembaga pengawas makanan, kelambatan lembaga pengawas hasil pertanian dan peternakan, kelalaian lembaga pengendali kehutanan, ketidakpedulian lembaga yang berurusan dengan bencana alam (seperti banjir, longsor), apatisme masyarakat terhadap berbagai ancaman risiko.
Sikap reflexive adalah sikap yang berupaya mengatasi aneka efek risiko pada tingkat risiko itu sendiri melalui berbagai solusi teknis, bukan mencari akar-akar penyebab yang lebih fundamental, esensial atau substansial—inilah sikap reflexive modernity pada umumnya. Akan tetapi, sikap yang lebih buruk ketimbang reflexive adalah sikap ”pembiaran total” dan ‘ketakacuhan fatalistik’ (fatalistic indifference) terhadap aneka risiko sehingga risiko dilihat sebagai bagian rutinitas kehidupan sehari-hari, yang dalam ketakacuhan dibiarkan menjadi akumulasi risiko: banjir, longsor, kebakaran hutan, kecelakaan lalu lintas, demam berdarah, virus ternak.
Buruknya kualitas tiga bangunan sosial di atas sistem sosial, proses sosial, dan relasi sosial telah menggiring masyarakat bangsa ke arah tiga ”ekologi risiko” (risk ecologies), yaitu: risiko fisik-ekologis (physical-ecological risk), yaitu aneka risiko kerusakan fisik pada manusia dan lingkungannya; risiko mental (mental risk), yaitu aneka risiko kerusakan mental akibat perlakuan buruk pada
24
tatanan psikis; risiko sosial (social risk), yaitu aneka risiko yang menggiring pada rusaknya bangunan dan lingkungan sosial (eco-social).
Resiko fisik-ekologis adalah berupa kerusakan pada arsitektur homo humanus dan oikos, yang bisa disebabkan oleh proses alam itu sendiri (seperti gempa, tsunami, letusan gunung) atau yang diproduksi oleh manusia (man made risks). Aneka risiko biologis yang ”diproduksi” melalui aneka makanan, sayuran, hewan ternak, buah-buahan yang menciptakan aneka penyakit kanker, tumor ganas, syaraf, kulit disebabkan oleh intervensi proses artifisial-kimiawi terhadap proses alam yang melampaui batas. Misalnya, risiko akibat penggunaan zat kimia dalam proses reproduksi hewan atau tanaman, atau zat kimia (seperti formalin dan boraks) pada makanan hyper-artificiality.
Risiko sosial adalah berupa kerusakan bangunan socius, sebagai akibat dari faktor-faktor eksternal kondisi alam, teknologi, industri. Resiko fisik ”kecelakaan” (lalu lintas jalan, pesawat terbang, kecelakaan laut), ”bencana” (banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan) menciptakan pula secara bersamaan risiko sosial, berupa tumbuhnya aneka ”penyakit sosial”: ketakpedulian, ketakacuhan, indisipliner, fatalitas, selfishness, egoisme dan immoralitas. Risiko sosial paling besar dari pembiaran berbagai risiko fisik lainnya adalah mulai terkikisnya ”rasa sosial” itu sendiri, yang menciptakan masyarakat tanpa rasa, kepekaan, kebersamaan dan tanggung jawab sosial asocial.
Risiko mental adalah berupa hancurnya bangunan psyche, berupa perkembangan aneka bentuk abnormalitas, penyimpangan (deviance) atau kerusakan psikis lainnya, baik yang disebabkan faktor eksternal maupun internal. Pembiaran berbagai bentuk kelainan psikis (seksual, kekerasan, kriminalitas) dengan membiarkan berbagai risikonya telah menciptakan manusia-manusia yang kehilangan ”rasa kemanusiaannya” sendiri, yaitu manusia yang tanpa perasaan, rasa malu, empati, simpati dan tanggung jawab. Kerusakan parah ”ekosistem mental” disebabkan pembiaran aneka risiko mental dari berbagai tindakan sosial,
25
misalnya pembiaran kekerasan, korupsi, seks bebas dalam waktu yang lama— inhuman condition.
Menurut Yasraf Amir Piliang, 2007) tiga ekologi risiko di atas menciptakan sebuah kondisi ruang kehidupan yang sarat ancaman, ketakutan, dan paranoia. Kondisi sarat risiko ini tidak dapat dibiarkan terus membiak dan berlipat ganda secara eksponensial,yang dapat menggiring pada kerusakan total fisik, mental dan sosial. Tidak saja diperlukan pikiran-pikiran reflexive dalam mengantisipasi, mengurangi atau mengatasi dampak-dampak risiko, tetapi, lebih jauh lagi, renungan-renungan reflective melalui sentuhan halus kemanusiaan dalam mencari pemecahan-pemecahan lebih fundamental di balik aneka risiko yang dihadapi masyarakat bangsa.
II.9 Fenomena, struktur fenomena, dan perubahan Seringkali kita mendengar istilah fenomena dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi banyak yang tidak kita ketahui mengenai makna sesungguhnya dari fenomena tersebut. Menurut Saswinadi Samojo (2005), fenomena adalah segala sesuatu yang dapat kita lihat, alami, dan rasakan. Fenomena ini dapat kita lihat, alami dan rasakan melalui efek-efek atau akibat yang ditimbulkannya. Fenomena dapat memberikan pengaruh karena fenomena terbentuk dari unsur-unsur yang mempunyai pola keterkaitan tertentu. Hal inilah yang disebut sebagai struktur suatu fenomena ( Saswinadi Sasmojo, 2005).
Ketika suatu fenomena telah terdefinisakan strukturnya maka fenomena tersebut dapat disebut sebagai sistem, yaitu apabila semua unsur pembentuk sistem dan hubungan keterkaitan antar-sistem telah terdefinisi. Dengan diketahuinya struktur dari sistem maka akan dapat ditelaah lebih jauh kemampuan-kemampuan yang dimiliki sistem tersebut yaitu; melaksanakan berbagai operasi sehingga sistem tersebut dapat berperan di lingkungan keberadaannya, dan memengaruhi perkembangan keadaan lingkungannya.
26
Dalam melakukan telaah terhadap fenomena secara keseluruhan, maupun terhadap bagian-bagian yang membentuk fenomena tersebut akan dapat dikenali fungsifungsi yang dapat ditegakan oleh sebuah sistem. Dengan dikenalinya fungsi-fungi yang dapat ditegakan sistem, memungkinkan seseorang dapat menggagas berbagai tindakan yang mungkin dilaksanakan untuk kemanfaatan sistem, baik secara langsung maupun setelah melakukan berbagai manipulasi. Sehingga dengan pemahaman yang dimilikinya seseorang dapat lebih terbuka pikirannya dan lebih kreatif dalam upaya memanfaatkan sistem, atau mempengaruhi pola laku sistem untuk mengendalikan berkembangnya efek-efek sistem yang dipandang merugikan ( Saswinadi Sasmojo, 2005). II.10 Fenomena sosiologis dalam pandangan teori jejaring-aktor ANT merupakan salah satu hasil pengembangan keilmuan antardisiplin dalam tradisi Science and Technology Studies (STS). Berbagai penelitian empiris oleh sosiolog Michel Callon, antropolog Bruno Latour (Ecole des Mines, Paris), sosiolog John Law (Universitas Lancaster), serta Wiebe Bijker, Susan Leigh Star, Madeleine Akrich, Vicky Singleton, Donna Harraway dan lain-lain berkontribusi dalam membangun pondasi teoretik dari ANT. ANT berbeda dari teori-teori lain dalam STS dalam cara teori ini melihat realitas (perbedaan pada tataran ontologi). Dewasa ini, banyak peneliti dari berbagai disiplin ilmu melakukan studi dan penelitian pada bidang disiplin ilmunya masing-masing dengan menggunakan pendekatan ANT.
Para pelopor ANT bertitik tolak pada suatu telaah multidisiplin atas proses bagaimana pengetahuan mengalami ekstensi ke dalam wujud material melalui organisasi dan penataan elemen-elemen sosial dan material. Sains, sebagaimana terungkap dalam penelitian empiris mereka, hadir melalui proses rekayasa heterogen di mana elemen-elemen sosial, teknis, konseptual dan tekstual di rakit, dan dikonversikan/ditranslasikan ke dalam sekumpulan produk saintifik (yang juga heterogen). Dalam cara yang sama institusi-institusi lain dipahami— keluarga, organisasi, sistem komputasi, ekonomi, teknologi, dan aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Semua ini merupakan jejaring elemen-elemen material
27
yang tertata, dan resistansi-resistansi yang muncul telah di atasi. Jadi, salah satu kesimpulan penting dalam penelitian-penelitian ini adalah bahwa entitas sosial juga merupakan jejaring elemen-elemen material yang terpolakan. Kesimpulan demikian ini mengambil posisi yang secara radikal berbeda dari teori-teori sosial yang memandang entitas sosial hanya terdiri atas manusia-manusia saja (John law, 1994).
Masih dalam konteks ini, menurut penggagas ANT ketika kita membicarakan entitas sosial (lembaga, pranata, regulasi, kuasa, tatanan politik, ekonomi) atau entitas
teknis
(jejaring
telekomunikasi,
sistem
transportasi,
komputer,
instrumentasi), pada dasarnya kita membicarakan sebuah realitas yang tunggal, namun dari dua sisi yang berbeda. ANT menyebut ini semua sebagai sociotechnical assembles atau sociotechnical artefacts. Kerangka kerja konseptual yang ditawarkan ANT, oleh karenanya, dikembangkan untuk memahami bagaimana sociotechnical artefacts mengalami serangkaian transformasi atau translasi. Akan tetapi, berbeda dengan teori-teori lain, ANT menempatkan asumsi yang minimal pada elemen-elemen analisisnya. ANT tidak percaya akan kekuatan deterministik, atau kompetensi yang potensial pada elemen-elemen analisis (manusia, lembaga sosial, komponen material) (Sonny Yuliar, 2006). Teori Jejaring-Aktor (Actor-network theory; ANT) berkembang di dalam serangkaian kegiatan penelitian sosiologis tentang sains dan teknologi. Para ahli yang terlibat dalam kegiatan ini berargumen bahwa pengetahuan merupakan produk yang memiliki dimensi sosial, dan bukan merupakan sesuatu yang dihasilkan melalui pengoperasian metode saintifik secara eklusif. Para ahli ini memperluas lingkup pernyataan ini dan menegaskan bahwa agen-agen, institusiinstitusi social, mesin-mesin dan organisasi-organisasi merupakan produk atau efek dari suatu jejaring material yang heterogen.
Sains menurut ANT, adalah proses rekayasa heterogen dimana elemen-elemen sosial, teknis, konseptual dan tekstula dirakit, dan dikonversikan/ditranslasikan ke dalam sekumpulan produk saintifik (yang juga heterogen) misalnya sebagai proposisi politis dinegosiasikan dan diwujudkan. Dalam cara yang sama institusi-
28
institusi lain dipahami-keluarga, organisasi, system komputasi, ekonomi, teknologi, dan aspek-aspek kehidupan social lainnya. Semua ini merupakan jejaring elemen-elemen material yang terpolakan. Dengan pernyataan demikian, ANT mengambil posisi secara radikal berbeda dari teori-teori social yang memandang entitas sosial hanya terdiri atas manusia-manusia saja (John Law, 1994)
Dalam pandangan ini, tugas dari kajian sosiologi teknologi adalah mempelajari dan memahami karakteristik jejaring dalam heterogenitasnya, dan menggali bagaimana elemen-elemen terpolakan dalam suatu jejaring yang menghasilkan efek-efek seperti organisasi, kuasa, birokrasi, fungsi teknologi, dan lain-lain. Pertanyaan-pertanyaan analitik yang lazim dijawab ANT adalah seperti: Apakah suatu agen menjadi agen semata-mata karena dia memiliki tubuh, pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan lain-lain? Ataukah suatu agen menjadi agen dikarenakan dia menghuni sekumpulan elemenelemen yang terbentang di dalam jejaring elemen-elemen material, termasuk tubuh? ANT mengakui bahwa manusia memiliki kehidupan dalam (inner life), seperti kegiatan mental dan kegiatan kognisi. Tetapi yang ditekankan ANT adalah bahwa sejauh agen sosial yang menjadi perhatian, agency ini diraih bukan karena terwujud di dalam tubuh. Melainkan, agen/aktor merupakan jejaring dari relasirelasi heterogen terpolakan, atau merupakan efek dari jejaring demikian. Sejauh efek sosial (ke-agen-n, ke-aktor-an) yang menjadi perhatian, berpikir, beraksi, mencari nafkah dan hal-hal yang lazimnya diatributkan pada manusia, dihasilkan di dalam jejaring yang meluas di dalam dan melampaui tubuh. Suatu aktor juga selalu merupakan suatu jejaring-jejaring aktor (M. Ari Anggorowati, 2005)
Definisi yang sama berlaku untuk organisasi dan institusi, yang semuanya merupakan peranan berpola yang dijalankan oleh orang-orang, mesin-mesin, dokumen-dokumen, gedung-gedung dan lain-lain. Begitu pula untuk mesin. Sebuah mesin juga merupakan jejaring heterogen yang berupa sekumpulan kaidah yang dijalankan oleh elemen-elemen material, operator-operator, users dan orang-
29
orang yang memperbaiki serta memelihara agar mesin tersebut tetap berjalan dengan baik.
Fenomena merupakan efek atau produk dari jejaring heterogen. Tetapi dalam kehidupan praktis kita tidak sanggup menghadapi komplikasi jejaring yang terus meluas. Umumnya kita tidak dalam dalam posisi yang siap untuk mendeteksi kompleksitas jejaring. Yang terjadi adalah ketika sebuah jejaring beraksi sebagai entitas tunggal, jejaring tersebut solah-olah menghilang, dan digantikan oleh aksi itu sendiri dan aktor dari aksi tersebut. Pada saat yang sama, cara-cara bagaimana efek dihasilkan juga menghilang. Jadi, sesuatu yang lebih sederhana seperti televisi yang bekerja dengan baik, bank yang terkelola dengan baik, menjadi tabir yang menutupi jejaring yang menghasilkannya. Punktualisasi (Punctualisation) Dalam pengamatan sehari-hari, sebuah televisi merupakan obyek tunggal yang koheren dengan beberapa komponen yang terlihat. Namun ketika televisi ini rusak, ia segera berubah menjadi sebuah jejaring komponen-komponen elektronik (tetsers dan suku cadang) dan intervensi-intervensi manusia. Mengapa jejaring yang menopang sebuah aktor tidak mudah dikenali dalam pengamatan seharihari? Menurut ANT, terlihatnya kesatuan dan menghilangnya jejaring berkaitan dengan pembingkaian (framing) dan penyederhanaan. Argumentasinya adalah sebagai berikut, semua fenomena sosial/teknis merupakan efek atau produk dari jejaring yang heterogen. Tetapi dalam praktik kita sering kali tidak berada dalam posisi untuk mendeteksi kompleksitas jejaring. Yang terjadi adalah, begitu jejaring beraksi sebagai sebuah kesatuan unit, maka ia ‘menghilang’, digantikan oleh aksi itu sendiri atau representatif dari aksi tersebut: punctualization (Latour, 1999).
Translasi (Translation) Dalam ANT, analisis ditujukan untuk menggali dan mendeskripsikan proses pembentukan pola-pola secara lokal, temporal: social orchestration, ordering and resistance. ANT menggali proses (yang sering disebut translasi) yang
30
membangkitkan efek pranata seperti devices, agents, institutions, organisations. Persoalan inti yang menjadi perhatian ANT adalah (Latour, 1987; Law, 1999): bagaimana para aktor memobilisasi, merangkai-kan dan memegang bersama elemen-elemen heterogen; bagaimana mereka dapat menyembunyikan proses translasi itu sendiri dan mengubah jejaring dari sekumpulan heterogen masingmasing dengan kecenderungannya sendiri-sendiri ke dalam sesuatu yang tampil sebagai aktor yang terpunktualisasikan.
Untuk memperlihatkan posisi ANT dalam teori-teori sosial, dapat digunakan matriks paradigma-paradigma sosiologi yang disusun oleh George Ritzer (Ritzer, 1992). Sosiologi translasi (atau ANT) ini memiliki kedekatan dengan teori tindakan sosial Max Weber dalam hal bahwa entitas-entitas sosial itu didefinisikan melalui aksi-aksi sosial. Namun demikian, sosiologi translasi tidak mengasumsikan keberadaan aktor sosial secara a priori. Alih-alih demikian, keaktor-an suatu aktor sosial sebagaimana kestabilan fungsi teknologis merupakan hasil dari jejaring relasi-relasi heterogen. Tabel II.2 Sebuah Alternatif melihat Teori Jejaring-Aktor dengan Memetakannya pada Paradigma-paradigma Sosiologi. Variabel
Paradigma
Individual
Prilaku social
Individual — group
Definisi social
Individual — group + Translasi social obyek-obyek material Group
Fakta social
ANT mengasumsikan bahwa istilah ‘struktur’ dalam frase ‘struktur sosial’ bukan merupakan kata benda, tetapi kata kerja. Struktur tidak berdiri bebas, seperti kerangka baja sebagai bagian dari konstruksi di lokasi bangunan. Struktur merupakan efek relasional yang secara rekursif mereproduksi dirinya sendiri. Asumsi ini berimplikasi tidak ada tatanan social, orgaisasi atau agen yang pernah mencapai status sempurna, otonom dan final. ANT tidak mengakui keberadaan
31
tatanan sosial dengan pusat yang tunggal, atau dengan sekumpulan relasi-relasi yang stabil. Alih-alih demikian, yang ada adalah tatanan-tatanan dalam pluralitas (Michael Callon, 2003).
Pernyataan tersebut bukan berarti ANT mengakui pluralisme, bahwa yang ada adalah pusat-pusat kuasa (power centers), tatanan-tatanan, yang kurang lebih setara. Yang ditekankan ANT dalam hal ini adalah bahwa efek-efek kuasa, tatanan dihasilkan dalam cara-cara relasional dan terdistribusi. Penataan struktur dan efekefek yang dihasilkan bersifat contestable. Oleh karenanya, analisis proses penataan atau penstrukturan berada di posisi sentral dalam ANT. Yang dituju adalah eksplorasi dan deskripsi proses-proses pembentukan pola, orkestrasi sosial, penataan dan resistensi, yang melalui semua ini hadir efek-efek seperti agen-agen, instrument, mesin, institusi, atau organisasi.
Inti dari pendekatan ANT adalah berkenaan dengan bagaiman aktor-aktor dan organisasi-organisasi memobilisasi, mempersandingkan, dan mempertahankan segenap elemen-elemen heterogen yang melalui ini, semua aktor-aktor dan organisasi-organisasi tersebut terkompososi. ANT mengangkat pertanyaan tentang bagaiman
aktor-aktor
mampu
mencegah
elemen-elemen
ini
mengikuti
kecenderungan-kecenderungannya sendiri sehingga terlepas dari jejaring. ANT mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas secara empiris. II.11 Konsep-konsep analitik dalam ANT ANT menerangkan fenomena sosioteknis (seperti difusi inovasi) dengan melibatkan elemen-elemen heterogen seperti tabung-tabung eksperimen, lembagalembaga sosial, mesin scanner, jejaring komputer di dalam sebuah jejaring yang tertata dan terpola, dengan resistansi-resistansi yang sebelumnya muncul telah teratasi. Beberapa kaidah empiris yang dapat digunakan untuk menjelaskan polapola pembentukan jejaring-aktor adalah sebagai berikut (Bijker 1992; Latour 1987) :
Pertama, beberapa jenis material bersifat lebih durable dari pada yang lain sehingga mampu memelihara pola-pola relasional lebih lama. Namun
32
durability itu sendiri merupakan efek relasional. Benda-benda material yang durable dapat digunakan dalam cara-cara yang berbeda, dan efek-efeknya berubah ketika ditempatkan dalam jejaring relasi-relasi yang baru.
Jika durability berkenaan dengan penataan pada dimensi waktu, mobilitas merupakan penataan pada dimensi ruang. Khususnya, mobilitas berkenaan dengan cara-cara untuk beraksi dari jauh (acting at a distance). Akan tetapi pusat-pusat dan periferi-periferi juga merupakan efek relasional yang dihasilkan melalui pengawasan dan kontrol. Teks, peraga elektronik, statistik, sistem perbankan, dan lain-lain, merupakan immutable mobiles; objek-obyek yang bersirkulasi dan membawa elemen-elemen heterogen dalam suatu jalinan relasi-relasi.
ANT berargumen bahwa dalam kondisi relasional yang tepat, efek-efek kalkulasional tertentu dapat dihasilkan, sehingga meningkatkan ketegaran jejaring. Akan tetapi kalkulasi bukan suatu deus ex machina. Calculativeness itu sendiri merupakan sekumpulan relasi heterogen. Kalkulasi hanya dapat bekerja melalui representasi material, pembingkaian (framing), pengawasan dan kontrol, yang juga merupakan efek-efek relasional.
Yang terakhir, penstrukturan berlangsung dalam lingkup lokal dan temporal. Akan tetapi dalam situasi tertentu strategi translasi menjalar dan bereproduksi dalam jejaring dari jejaring-jejaring (network of networks). Jika ini terjadi, ini akan berlangsung secara implisit, dan memberikan efek makro/global.
II.12 Konsep penelitian kualitatif Sebagai suatu metode penelitian, metode kualitatif merupakan multimethod dalam melihat suatu masalah, melakukan interpretasi dan melakukan pendekatan secara natural bagi peneliti. Beberapa metode yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif adalah; studi kasus, pengalaman pribadi, wawancara, observasi lapangan, etnografi dan lain sebagainya. Dalam penelitian kualitatif dikenal suatu metode yang disebut studi kasus. Pengertian studi kasus adalah suatu cara dalam melakukan eksplorasi terhadap suatu sistem yang dibatasi oleh waktu dan tempat tertentu baik pada satu kasus (within case) maupun beberapa kasus (multiple case). Sistem yang dibatasi tersebut dapat berupa suatu program, kejadian maupun
33
aktivitas. Sementara itu konteks dari kasus yang diteliti adalah situasi/kondisi yang melatar belakangi kasus tersebut seperti kondisi fisik, kondisi sosial, sejarah dan ekonomi. Kemudian analisis yang dapat dilakukan pada metode studi kasus ini dapat merupakan analisis yang holistik atau analisis kasus dengan sudut pandang tertentu.
Pemilihan metode kualitatif dalam penelitian tentang institusi pengawasan ini dilakukan karena selama ini pandangan mengenai sebuah institusi hanya dilihat dari sudut pandang kelembagaan saja. Sementara itu sudut pandang tersebut belum bisa menjelaskan secara gamblang mengenai makna institusi itu sendiri. Institusi pengawasan tidak hanya mengenai suatu lembaga yang merupakan salah satu perangkat pembangunan di daerah. Tetapi dipandang dalam terbentuknya institusi dari suatu jejaring antara artifak teknologi yang terhubung dengan manusia dan realita sosial yang berada di sekitarnya. Ketika manusia dengan manusia, artifak dengan artifak, artifak dengan manusia membentuk suatu pola hubungan
maka
terbentuklah
jejaring
yang
membentuk
institusi
ini.
Keterhubungan itu disebut sebagai relasi dan hanya dapat dieksplorasi secara mendalam dengan menggunakan metode kualitatif.
Penelitian terhadap proses pengawasan yang dilakukan oleh institusi pengawasan ini mencoba mengangkat dua buah kasus, yaitu pada proses pemeriksaan regular tahun anggaran 2007 di Kecamatan Playen dan Dinas Pekerjaan Umum yang sama-sama berada di dalam naungan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul. Dipilihnya multiple case pada penelitian ini bertujuan mengamati bagaimana proses pengawasan dilakukan pada dua seting sosial yang berbeda. Dengan pengamatan terhadap hubungan-hubungan yang terbentuk pada dua kasus yang berbeda diharapkan diperoleh informasi yang mengarah pada jawaban untuk pertanyaan penelitian yang diajukan.
II.13 Tahapan penelitian Dari teori-teori yang dikemukaan di atas, kemudian diformulasikan konsepkonsep yang berguna dalam menganalisis fenomena yang menjadi persoalan.
34
Konsep-konsep inilah yang menjadi dasar dalam mengolah data-data yang diperoleh ketika melakukan penelitian. Untuk lebih jelasnya proses yang akan dilakukan di dalam penelitian ini terlihat pada gambar di bawah ini;
Fenomena Pengawasan
Studi Kasus Pengawasan
Landasan Teori (otonomi, governance, good governance, pengawasan, actor network theory (ANT), metode kualitatif)
Pemeriksaan di Kecamatan
Kerangka Kerja Konseptual (konsep yang digunakan pada tiap tahap penelitian)
Pemeriksaan di DPU
Wawancara, observasi, dokumendokumen, etnografi
Wawancara, observasi, dokumendokumen, etnografi
Deskripsi pemeriksaan di Kecamatan
Deskripsi pemeriksaan di DPU
Analisis
Analisis
Perbandingan hasil analisis pada masing2 kasus
Gambar II.2 Tahapan-tahapan dalam penelitian
35
Kesimpulan
Dalam penelitian ini tema besar yang ingin digali yaitu mengenai pengawasan dengan kerangka otonomi daerah sedang isunya adalah otonomi membawa perubahan yang lebih baik. Seperti terlihat pada gambar II.3 di atas, tahap awal dalam penelitian ini adalah menyusun kerangka konsep berfikir yang diperoleh dengan penelusuran teori-teori yang berhubungan dengan fenomena dan bagaimana cara menganalisisnya. Setelah terbentuk konsep pemikiran yang jelas maka tahap selanjutnya adalah melakukan studi kasus pada dua buah kasus yang sama dengan seting sosial yang berbeda yaitu di Kecamatan dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Gunungkidul. Pada dua kasus tersebut dicari data-data dengan melalui wawancara, observasi langsung, mempelajari dokumen-dokumen dan melakukan etnografi.
Dari hasil penelusuran dua kasus tersebut kemudian diperoleh deskripsi pemeriksaan di Kecamatan maupun DPU. Disinilah konsep yang telah dirumuskan tersebut berguna untuk menganalisis deskripsi dari masing-masing kasus. Yaitu bagaimana otonomi berdampak pada perubahan di institusi pengawasan, bagaimana perubahan tersebut mendorong pencapaian tata kelola publik yang baik (good governance), diuraikan juga aktor-aktor yang terlibat dengan ANT sebagai alat analisisnya. Kemudian tahap selanjutnya adalah membandingkan hasil analisis. Tahap terakhir dalam penelitian ini adalah menarik kesimpulan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang dikemukaan pada bagian pendahuluan.
Langkah-langkah penelitian di atas, belum terlihat bagaimana konsep-konsep yang sudah terbentuk dimanfaatkan. Pada bagian akhir dari bab ini akan dijelaskan bagaimana konsep-konsep yang sudah terbentuk tersebut digunakan untuk menganalisis data pada setiap tahap penelitian. Kerangka kerja konseptual inilah yang nantinya akan menjadi panduan dalam membahas atau menguraikan fenomena yang diamati. Sehingga akan terlihat jelas alur maupun struktur yang disampaikan pada laporan tesis ini. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar kerangka konseptual di bawah ini;
36
ANT (Actor networktheory) Konsep Otonomi
Konsep Pengawasan Fenomena Pengawasan
Prinsip-prinsip good governance
Konsep tata kelola (governance)
Gambar II.3 Kerangka kerja konseptual Konsep otonomi dalam penelitian ini digunakan untuk melihat dampak otonomi terhadap perubahan institusi pengawasan dan perubahan pemeriksaan. Kemudian pengawasan dengan perubahannya berdampak apa pada pelaksanaan otonomi. ANT digunakan untuk menguraikan fenomena pengawasan (fenomena sosial) sebagai efek atau produk dari jejaring yang heterogen. ANT untuk memahami proses terbentuknya jejaring heterogen, bagaimana resistensi-resistensi yang ada bisa diatasi sehingga berhasil membentuk jejaring pengawasan yang stabil. Konsep pengawasan digunakan untuk memberikan pemahaman mengenai pengawasan itu sendiri, misalnya alat yang digunakan dalam pengawasan, siapa yang mengawasi, apa yang diawasi, bagaimana melaporkan hasilnya dan lain sebagainya. Intinya adalah gambaran proses pemeriksaan dari proses perencaaan sampai dengan pelaporan hasil pemeriksaan. Pengawasan yang dimaksud disini adalah konsep pengawasan dari peraturan perundangan mengenai pengawasan.
Konsep tata kelola berkaitan dengan bagaimana fenomena pengawasan tersebut mewujudkan tata kelola yang baik. Oleh karenanya harus dipahami makna dari tata kelola yang baik itu sendiri, sehingga akan terlihat bagaimana pengawasan seharusnya dilakukan. Di samping itu, digunakan juga prinsip-prinsip good governance sebagai indikator pembanding lainnya. Dengan berpegang pada konsep good governance, apakah tata kelola proses pembangunan pada objek penelitian harus mengadopsi prinsip-prinsip tersebut? Setelah memahami makna tata kelola (governance) yang lebih baik, maka pertanyaan tersebut akan terjawab dengan mudah.
37