BAB II KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA SYARAT BATAL DALAM KONTRAK BISNIS YANG MENGESAMPINGKAN PASAL 1266 DAN 1267 KUH PERDATA
A. Pengaturan Kontrak Bisnis 1.
Pengertian Kontrak Bisnis Kontrak/perjanjian terdapat definisinya dalam Pasal 1313 KUH Perdata
yaitu “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih mengikakan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. 108 Menurut Peter Mahmud Marzuki, sistematika Buku III tentang Hukum Perikatan mengatur mengenai overeenkomst jika dalam bahasa Inggris berarti agreement. 109 Overeenkomst jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti perjanjian. 110 Sedangkan kata contract tidak digunakan dalam seluruh Buku III. Dalam konsep kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada Buku III KUH Perdata mengindikasikan perjanjian memang berkaitan dengan masalah harta kekayaan. Jenis perjanjian ini tidak jauh berbeda dari konsep kontrak AngloAmerican yang sering disebut contract. 111 Sehubungan dengan istilah kontrak diatas, istilah kontrak atau perjanjian dalam sistem hukum nasional memiliki pengertian 108
Pasal 1313 KUH Perdata. Peter Mahmud Marzuki, An Introduction to Indonesian Law, (Malang: Setara Press & Zaidun & Partners Counselor & Attorney at Law, 20110, hal 236. 110 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsional dalam Kontrak Komersial, Op.cit, hal 14. 111 Peter Mahmud Marzuki, An Introduction to Indonesian Law, Op.cit, hal 236. 109
Universitas Sumatera Utara
yang sama seperti halnya di Belanda tidak dibedakan antara pengertian contract dan overeenkomst. 112 Dengan memperhatikan pengertian kontrak, maka dapat disimpulkan bahwa overeenkomst pada Buku III tentang Hukum Perikatan tidak dibedakan dengan pengertian contract pada konsep kontrak Anglo-American.
2.
Syarat Sahnya Kontrak Bisnis Apapun perjanjian atau kontrak yang dibuat, akibat hukum suatu perjanjian
baru akan timbul apabila perjanjian/kontrak tersebut dibuat sesuai dengan syaratsyarat sahnya suatu perjanjian/kontrak. 113 Maka rumusan 4 (empat) syarat sahnya kontrak menurut Pasal 1320 KUH Perdata jika dikaitkan dengan pasal-pasal yang berhubungan dengan masing-masing syarat meliputi: 114 a.
Sepakat diantara para pihak dalam kontrak;
b.
Pihak-pihak memang cakap melakukan perbuatan hukum;
c.
Sifat dan luas objek perjanjian dapat ditentukan;
d.
Kausanya halal atau diperbolehkan. Menurut R. Subekti, bagian pertama dari keempat syarat sahnya perjanjian,
yaitu mengenai subjek perjanjian. Dalam hal mengenai subjek yang membuat perjanjian, orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan 112
St. Laksanto Utomo, Aspek Hukum Kartu Kredit dan Perlindungan Konsumen, (Bandung: PT Alumni, 2011), hal 39. 113 Lastuti Abubakar, Transaksi Derivatif di Indonesia: Tinjauan Hukum tentang Perdagangan Derivatif di Bursa Efek, (Bandung: Book Terrace & Library, 2009), hal 65. 114 Pasal 1320 KUH Perdata.
Universitas Sumatera Utara
perbuatan hukum tersebut. Selain itu ada konsensus/sepakat yang menjadi dasar perjanjian yang harus dicapai atas dasar kebebasan menentukan kehendaknya dengan tidak ada paksaan, kekhilafan atau penipuan. Kedua mengenai objek perjanjian ditentukan bahwa apa yang diperjanjikan oleh masing-masing pihak harus cukup jelas untuk menetpakan kewajiban masing-masing pihak. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan. 115 Kontrak bisnis yang tidak memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata baik syarat subjektif maupun syarat objektif akan mempunyai akibat-akibat yaitu: 116 a. Noneksistensi artinya tidak ada kontrak bila tidak ada kesepakatan; b. Vernietigbaar, artinya kontrak dapat dibatalkan jika kontrak timbul karena adanya cacat kehendak atau karena ketidakcakapan yang merupakan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata angka 1 dan angka 2. Hal ini terkait dengan tidak terpenuhinya syarat subjektif sehingga kontrak tersebut dapat dibatalkan; dan c. Nietig, artinya kontrak batal demi hukum jika kontrak tersebut tidak mempunyai objek atau tidak dapat ditentukan objeknya serta mempunyai sebab atau kausa yang dilarang yang merupakan syarat Pasal 1320 KUH Perdata angka 3 dan angka 4. Hal ini berarti terkait dengan syarat objektif sehingga kontrak batal demi hukum.
Selanjutnya syarat-syarat sahnya suatu kontrak bisnis dapat dijelaskan secara lebih mendalam sebagai berikut.
115 116
R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung: Alumni, 1976), hal 25. Muhammad Syaiffudin, Op.cit, hal 111.
Universitas Sumatera Utara
a.
Kesepakatan Syarat pertama dari Pasal 1320 KUH Perdata yaitu syarat subjektif pertama
mengatur bahwa adanya kesepakatan sebagai salah satu syarat keabsahan kontrak. Ada perbedaan antara Pasal 1320 KUH Perdata yang meletakkan kesepakatan sebagai salah satu syarat mendasar dari pemuatan kontrak yang sah dengan sistem common law yang lebih meletakkan unsur-unsur terjadinya kesepakatan yaitu penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance), tetapi artinya sama bahwa pertemuan antara penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) tetap akan menghasilkan kesepakatan seperti yang dimaksud salah syarat sahnya kontrak yang diatur Pasal 1320 KUH Perdata. 117 Suatu kontrak tidak menutup kemungkinan kesepakatan dibentuk oleh adanya unsur cacat kehendak. Suatu kontrak dapat mengandung cacat kehendak jika terjadi hal-hal sebagai berikut: 1) Paksaan Paksaan dalam kesepakatan membuat kontrak yang diatur dalam Pasal 13231327 KUH Perdata menurut Sudargo Gautama adalah setiap tindakan intimidasi mental. 118 Paksaan dapat berupa kejahatan atau ancaman kejahatan, hukuman penjara atau ancaman hukuman penjara, penyitaan dan kepemilikan yang tidak sah, atau ancaman penyitaan atau kepemilikan suatu benda atau tanah yang dilakukan secara tidak sah, dan tindakan-tindakan lain yang melanggar undang-undang, seperti tekanan 117 118
Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 151. Sudargo Gautama, Indonesian Business Law, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995), hal
76.
Universitas Sumatera Utara
ekonomi, penderitaan fisik dan mental, membuat seseorang dalam keadaan takut, dan lain-lain. 119 2) Penipuan Penipuan yang menjadi alasan pembatalan kontrak menurut pasal 1328 KUH Perdata harus memenuhi 4 (empat) unsur. Pertama, merupakan tindakan yang bermaksud jahat, kecuali untuk kasus kelalaian dalam menginformasikan cacat tersembunyi pada suatu benda. Kedua, sebelum perjanjian tersebut dibuat. Ketiga, dengan niat atau maksud agar pihak lain menandatangani perjanjian. keempat, tindakan yang dilakukan semata-mata hanya dengan maksud jahat. 120 Kontrak yang mempunyai unsur penipuan di dalamnya tidak mengakibatkan kontrak tersebut batal demi hukum (null and void) melainkan kontrak tersebut hanya dapat dibatalkan (voidable). Hal ini berarti selama pihak yang dirugikan tidak menuntut ke pengadilan yang berwenang maka kontrak tersebut masih tetap sah. 121 3) Kesesatan atau kekeliruan Kesesatan atau kekeliruan dalam kesepakatan membuat kontrak diatur dalam Pasal 1322 KUH Perdata. Dalam hal ini, salah satu pihak atau beberapa pihak memiliki persepsi yang salah terhadap objek atau subjek yang terdapat dalam perjanjian. Ada 2 (dua) macam kekeliruan, yang pertama yaitu error in persona, yaitu kekeliruan pada orangnya, contohnya, sebuah perjanjian yang dibuat dengan artis 119
John D. Calamari & Joseph M. Perillo, Contracts. Second Edition. (Minneapolis: West Publishing Co., 1977), hal 262-264. 120 Ibid. 121 Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan, dan Yurisprudensi. Edisi Revisi. (Yogyakarta: Total Media, 2009), hal 32.
Universitas Sumatera Utara
yang terkenal tetapi kemudian perjanjian tersebut dibuat dengan artis yang tidak terkenal hanya karena dia mempunyai nama yang sama. Yang kedua adalah error in substantia yaitu kekeliruan yang berkaitan dengan karakteristik suatu benda, contohnya seseorang yang membeli lukisan Basuki Abdullah tetapi kemudian setelah sampai di rumah orang itu baru sadar bahwa lukisan yang dibelinya tadi adalah lukisan tiruan dari lukisan Basuki Abdullah. 122 4) Penyalahgunaan keadaan. Ada dua macam penyalahgunaan keadaan menurut Van Dunne. Pertama, penyalahgunaan keadaan karena keunggulan ekonomis sehingga pihak lain terpaksa mengadakan kontrak. Kedua, penyalahgunaan keadaan karena penyalahgunaan ketergantungan relasi dan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan. 123 Dalam sistem common law, doktrin penyalahgunaan keadaan yang menentukan pembatalan kontrak dibuat berdasarkan tekanan tidak patut, tetapi tidak termasuk dalam kategori paksaan. 124 Demikian, bahwa semua tindakan hukum yang dilakukan di bawah kekeliruan, penipuan, paksaan, dan penyalahgunaan keadaan merupakan akibat adanya cacat dalam kehendak dari pihak yang melakukan perbuatan hukum. Dalam
122
Mariam Darus Badrulzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung; PT Citra Aditya Bakti, 2001), hal 75. 123 H.P. Panggabean, Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-Putusan Hukum Perikatan, (Bandung: PT Alumni), hal 292-293. 124 Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan, dan Yurisprudensi, Op.cit, hal 32.
Universitas Sumatera Utara
hal ini, penting untuk membuktikan hubungan kausalitas antara cacat kehendak dan tindakan hukum tersebut. 125 b.
Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian. Menurut
Pasal
1320
KUH
Perdata,
syarat
kedua
untuk
sahnya
perjanjian/kontrak adalah kecakapan untuk membuat perjanjian/kontrak. 126 Syarat ini diartikan bahwa mereka yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian harus telah dewasa dan tidak di bawah pengampuan. 127 Orang dewasa yang mempunyai jabatan direksi pada Perseroan Terbatas atau orang dewasa yang mendapatkan kewenangan dari direksi untuk mewakili Perseroan Terbatas tersebut. 128 Contohnya, seorang general manager suatu Perseroan Terbatas bisa cakap untuk melakukan perbuatan hukum apa saja untuk atau kepentingan diri sendiri selaku orang yang telah dewasa tetapi tidak berwenang untuk menandatangani suatu kontrak untuk dan atas nama Perseroan Terbatas di mana dia bekerja kecuali telah memperoleh
kewenangan
untuk
mewakili
kepentingan
Perseroan
Terbatas
tersebut. 129 Seseorang belum dikatakan dewasa menurut Pasal 330 KUH Perdata jika belum mencapai umur 21 tahun. Seseorang dikatakan dewasa jika telah berumur 21
125
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op.cit, hal 101. 126 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian: Buku II, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995), hal 2. 127 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, (Bandung: PT Alumni, 2009), hal 209. 128 Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 196. 129 Ibid, hal 197.
Universitas Sumatera Utara
tahun atau berumur kurang dari 21 tahun, tetapi telah menikah. 130 Pasal 7 UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan batas usia menikah adalah untuk pria 19 tahun dan perempuan adalah 16 tahun. 131 Dalam perkembangannya berdasarkan Pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kedewasaan seseorang ditentukan anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai umur 18 tahun. 132 Selanjutnya, Pasal 39 ayat (1) butir a Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menentukan batas kedewasaan seseorang untuk menghadap dan membuat akte notaris adalah 18 tahun atau telah menikah. 133 Dengan demikian, dewasa orang pribadi baik laki-laki maupun perempuan dalam arti cakap melakukan perbuatan hukum sekarang ini, ketentuannya adalah: 1) Telah berusia genap 18 tahun; 2) Telah menikah. c. Suatu Hal Tertentu Maksud dari suatu hal atau objek tertentu dalam syarat ketiga Pasal 1320 KUH Perdata adalah prestasi yang menjadi pokok kontrak. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata, “Suatu perjanjian harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang itu tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau 130
Pasal 330 KUH Perdata. Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 132 Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan, dan Yurisprudensi, Op.cit, hal 36. 133 Pasal 39 ayat (1) butir a Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. 131
Universitas Sumatera Utara
dihitung”. 134 Ketentuan KUH Perdata menegaskan bahwa hal atau objek tertentu tidak perlu ditentukan secara indvidual, cukup ditentukan jenisnya. 135 Selain itu, Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa, “barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu perjanjian”. Agus Yudha Hernoko berpendapat bahwa hal atau objek tertentu tidak harus dalam arti secara gramatikal dan sempit bahwa harus ada ketika kontrak dibuat. Ketentuan ini memungkinkan untuk hal atau objek tertentu hanya ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlah dapat ditentukan di kemudian hari. 136 Maka menurut Hardijan Rusli, suatu kontrak memang seharusnya berisi pokok atau objek yang tertentu agar dapat dilaksanakan. Hakim dalam hal ini akan berusaha untuk mengetahui pokok atau objek dari suatu kontrak agar kontrak dapat dilaksanakan, tetapi apabila pokok atau objek kontrak itu tidak dapat ditentukan, maka kontrak itu menjadi batal atau tidak sah. 137 d. Kausa yang Halal Pengertian kausa yang halal sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 1320 KUH Perdata harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1335 KUH Perdata dan Pasal 1337 KUH Perdata. Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan, “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, 134
Pasal 1333 KUH Perdata. Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op.cit, hal 109. 136 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsional dalam Kontrak Komersial, Op.cit, hal 192. 137 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hal 86. 135
Universitas Sumatera Utara
tidaklah mempunyai kekuatan”. Kemudian Pasal 1337 KUH Perdata menegaskan bahwa, “Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau dengan ketertiban umum”. Suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden) bukanlah hal yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah yang lainnya atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman. 138 Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata dengan Pasal 1335 KUH Perdata dan 1337 KUH Perdata, maka suatu kontrak yang tidak mempunyai kausa, kausanya palsu, kausanya bertentangan dilarang undang-undang, kausanya bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum dapat menyebabkan suatu kontrak tidak sah atau batal demi hukum sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 139 Maka, syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif. Bila syarat subjektif tidak terpenuhi maka akan memberikan konsekuensi hukum suatu kontrak dapat dibatalkan (voidable, vernietigbaar). Syarat ketiga dan keempat merupakan 138
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian: Buku II, Op.cit, hal
139
M. Syaifuddin, Op.cit, hal 134.
109.
Universitas Sumatera Utara
syarat objektif. Bila syarat objektif tersebut tidak terpenuhi maka akan membuat kontrak batal demi hukum (null and void, nietig). 140
3.
Asas-Asas dalam Kontrak Bisnis Aturan-aturan hukum kontrak menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan
penjelmaan dari dasar-dasar filosofis yang terdapat pada asas-asas hukum yang bersifat sangat umum dan menjadi landasan berpikir atau dasar ideologis. Asas hukum sebagai landasan norma menjadi alat uji bagi norma hukum yang ada, dalam arti norma hukum tersebut pada akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas yang menjiwainya. 141 Dari berbagai asas hukum yang terdapat dalam hukum kontrak, Ridwan Khairandy menyebut terdapat asas-asas yang terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yaitu “asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sund servanda, dan asas itikad baik”. 142 Dalam hal ini, asas-asas hukum itu berfungsi sebagai pembangun sistem, dan lebih lanjut asas-asas itu sekaligus membentuk sistem check and balance sehingga ada keseimbangan. 143 Berdasarkan pandangan Niewenhuis, asas-asas yang ada dalam
140
Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 150. Peter Mahmud Marzuki, “Batas-Batas Kebebasan Berkontrak”, Yuridika, Vol 18 No. 3 (2003), hal 196. 142 Ridwan Khairandy, “Hukum Perikatan Indonesia dalam Perspektif Perbandingan”, http://ridwankhairandy.staff.uii.ac.id/category/materi-kuliah/, hal 71, diakses 22 Desember 2012. 143 H.P. Panggabean, Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-Putusan Hukum Perikatan, Op.cit, hal 74. 141
Universitas Sumatera Utara
hukum kontrak saling berhubungan satu sama lain dan tidak dapat dilepaskan dalam hubungannya dengan asas-asas hukum kontrak lainnya. a.
Asas kebebasan berkontrak Kebebasan berkontrak berlatar belakang pada paham individualime yang
secara embrional lahir dalam zaman Yunani, dteruskan oleh Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman Renaissance melalui ajaran-ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke, dan Rousseau. Puncak perkembangannya tercapai dalam periode setelah Revolusi Prancis. 144 Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka yang berarti bahwa hukum memberi keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. Apa yang diatur dalam Buku III hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend recht/aanvullend recht). 145 Sistem terbuka Buku III KUH Perdata ini dapat terlihat dari substansi Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyetakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Menurut R. Subekti, pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan ketertiban dan kesusilaan umum. 146 Sutan Remy Sjahdeini menjelaskan ruang lingkup asas kebebasan berkontrak menurut hukum kontrak Indonesia adalah: 147 144
Anhar C. Sihombing, “Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Tertanggung dalam Perjanjian Asuransi di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 29 No. 2 (2010), hal 73. 145 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Op.cit, hal 109. 146 R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995), hal 4-5. 147 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 54.
Universitas Sumatera Utara
1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian/kontrak; 2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian/kontrak; 3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian/kontrak yang dibuatnya; 4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian/kontrak; 5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian/kontrak. 6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional). Menurut Sutan Remy Sjahdeini, dalam perkembangannya kebebasan berkontrak mendatangkan ketidakadilan karena karena prinsip ini hanya mencapai tujuannya semata yaitu mendatangkan kesejahteraan seoptimal mungkin bila para pihak memiliki bargaining power yang seimbang. Dalam kenyataannya hal tersebut tidak terjadi demikian sehingga perlu campur tangan negara untuk melindungi yang lemah. 148 Penekanan ekstrem pada asas kebebasan berkontrak yang berkembang dalam paham liberalisme abad ke-19 dibatasi oleh campur tangan penguasa. Hukum semakin lama bergeser dari urusan privat menjadi urusan masyarakat atau publik. Kecenderungan yang terjadi adalah unsur-unsur hukum privat digantikan oleh elemen hukum publik. 149
148
Ibid, hal 21. Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia: Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hal 381. 149
Universitas Sumatera Utara
Maka, kebebasan berkontrak menurut W. Friedmann masih dianggap sebagai aspek yang esensial dari kebebasan individu, tetapi tidak lagi mempunyai absolut seperti satu abad yang lalu. 150 Rumusan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata harus diimbangi oleh pasal-pasal lain dalam satu kerangka sistem hukum kontrak yaitu Pasal 1320 KUH Perdata, Pasal 1335 KUH Perdata, Pasal 1337 KUH Perdata, Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata serta Pasal 1339 KUH Perdata, maka penerapan asas kebebasan berkontrak ternyata perlu diimbangi oleh rambu-rambu hukum lainnya. Hal ini berarti kebebasan para pihak dalam membuat kontrak perlu memerhatikan hal-hal sebagai berikut: 151 1. 2. 3. 4.
Memenuhi syarat-syarat sahnya kontrak; Untuk mencapai tujuan para pihak, kontrak harus mempunyai kausa; Tidak mengandung kausa palsu atau dilarang undang-undang; Tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan dan ketertiban umum. 5. Harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Maka, secara filosofis keseimbangan ini mereduksi ketidakseimbangan, ketidakadilan, dan ketimpangan kedudukan, hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak sehingga dapat mengeliminasi potensi terjadi eksploitasi manusia terhadap manusia lainnya. Dengan demikian, asas kebebasan berkontrak sebagaimana terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata hendaknya ditafsirkan dalam
150
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum: Hukum dan Masalah-Masalah Kontemporer (Susunan III).Terjemahan oleh Muhammad Arifin. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hal 48. 151 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsional dalam Kontrak Komersial, Op.cit, hal 118.
Universitas Sumatera Utara
kerangka berpikir hukum yang meletakkan kedudukan, hak, dan kewajiban para pihak dalam kontrak secara seimbang. b.
Asas konsensualisme Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH
Perdata di mana dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Perjanjian menurut asas konsensualisme tidak diadakan secara formal tapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh para pihak. 152 Walaupun demikian untuk menjaga kepentingan pihak debitur atau yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi diadakan bentuk-bentuk formalitas, atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu. 153 Eggens berpendapat asas konsensualisme merupakan suatu puncak peningkatan manusia yang tersirat dalam pepatah “een man een man, een woord een woord”. Ketentuan ini mengharuskan orang dapat dipegang ucapannya adalah suatu tuntutan kesusilaan dan memang jika orang ingin dihormati sebagai manusia, ia harus dapat dipegang perkataannya. 154 Dengan demikian, asas konsensualisme yang terkandung dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata menuntut para pihak dalam perjanjian menyesuaikan kehendak
152
Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia: Buku Kesatu, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2004), hal 10. 153 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal 34-35. 154 Johannes Ibrahim, Kartu Kredit: Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2004), hal 36.
Universitas Sumatera Utara
dan pernyataan para pihak sehingga menimbulkan kepercayaan diantara para pihak dalam membuat perjanjian baik secara lisan maupun tertulis. Hanya saja untuk menjamin para pihak memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan maka para pihak sebaiknya membuat perjanjian secara tertulis yaitu dengan kontrak tertulis. Ini juga menjamin para pihak dapat memegang perkataan mereka yang dituangkan dalam kontrak tertulis sehingga mertabat para pihak dalam kontrak dapat terjaga dengan adanya kontrak tertulis. c.
Asas pacta sund servanda Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa, “semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pengertian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
menunjukkan
bahwa
undang-undang
sendiri
mengakui
dan
menempatkan para pihak dalam kontrak sejajar dengan pembuat undang-undang. 155 Dengan adanya janji timbul kemauan bagi para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kewajiban kontraktual tersebut menjadi sumber bagi para pihak untuk secara bebas menentukan kehendak tersebut dengan segala akibat hukumnya. Berdasarkan kehendak tersebut, para pihak secara bebas mempertemukan kehendak masing-masing. Kehendak para pihak inilah yang menjadi dasar kontrak. Terjadinya perbuatan hukum itu ditentukan berdasar kata sepakat. Adanya konsensus dari para pihak itu, maka kesepakatan itu menimbulkan kekuatan
155
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsional dalam Kontrak Komersial, Op.cit, hal 127.
Universitas Sumatera Utara
mengikat perjanjian sebagaimana layaknya undang-undang (pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan menjadi hukum bagi mereka. Asas inilah yang menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati. 156 Undang-Undang memberikan jaminan kepastian hukum dengan pengakuan terhadap para pihak yang membuat kontrak yang sah sehingga asas pacta sund servanda ini disebut juga asas kepastian hukum. Di mana menurut asas pacta sund servanda ini, substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak sebagaimana layaknya sebuah undang-undang harus dihormati oleh pihak ketiga atau hakim. Pihak ketiga atau hakim tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. 157 Dengan demikian, asas pacta sund servanda merupakan aturan yang menetapkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, mengingat kekuatan hukum yang terkandung di dalamnya, dimkasudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan. 158 d.
Asas itikad baik Itikad baik menurut Agus Yudha Hernoko harus dimaknai dalam
keseluruhan proses kontraktual artinya itikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada tahap pra kontraktual, kontraktual, dan pelaksanaan kontraktual. Maka,
156 157
Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Op.cit, hal 28-29. Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia: Buku Kesatu, Op.cit,
hal 10. 158
M. Syaiffudin, Op.cit, hal 91.
Universitas Sumatera Utara
fungsi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata mempunyai sifat dinamis melingkupi keseluruhan proses kontrak tersebut. 159 Namun isi dari itikad baik tidak universal karena isi asas-asas bergantung pada ruang dan waktu. Ini disebabkan setiap kelompok masyarakat terdapat pandangan dan praktik yang berkaitan dengan standar tingkah laku dalam hubungan kontrak yang dipatuhi bersama secara umum oleh para anggota kelompok masyarakat. Jadi, menurut Sutan Remy Sjahdeini yang mengutip pendapat Wirjono Prodjodikoro bahwa moral/kesusilaan harus diartikan sebagai moral/kesusilaan dalam suatu masyarakat diakui oleh umum/khalayak ramai. Di Indonesia hampir tidak ada standar tingkah laku yang terangkat dan diakui secara konkret dalam putusan-putusan pengadilan untuk dijadikan acuan seragam secara pasti. 160 Maka, itikad baik menurut kepatutan dan kepantasan dalam kontrak hendaknya lebih melihat kepada asas proporsional yang lebih menitikberatkan pada proporsi pembagian hak dan kewajiban diantara para pihak yang berlangsung secara layak dan patut (fair and reasonable) berdasarkan nilai kesetaraan, kebebasan, distribusi proporsional, asas kecermatan, kelayakan, dan kepatutan daripada mempermasalahkan keseimbangan hasil secara matematis. 161
159
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsional dalam Kontrak Komersial, Op.cit, hal 139. 160 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hlm 137. 161 Agus Yudha Hernoko, “Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Bisnis: Upaya Mewujudkan Hubungan Bisnis dalam Perspektif Kontrak yang Berkeadilan”, Op.cit, hlm 14.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pendapat tersebut maka menurut R. Wirjono Prodjodikoro yang memberikan batasan itikad baik menurut Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata dengan istilah jujur di mana tidak hanya bermakna itikad baik/kejujuran yang bersifat objektif melainkan juga itikad baik/kejujuran yang bersifat subjektif. 162 Demikian bahwa pelaksanaan kontrak dengan itikad baik tidak hanya pada fase pelaksanaan kontrak tetapi juga mencakup keseluruhan proses kontrak. Pelaksanaan kontrak dengan itikad baik ini menurut kepatutan dan kepantasan tidak hanya itikad baik yang bersifat objektif saja karena itikad baik yang bersifat objektif harus sesuai dengan moral dan kesusilaan yang diakui khalayak umum dalam masyarakat. Di mana isi dari itikad baik, kepatutan, serta moral tidak universal sehingga itikad baik dalam kontrak menurut kepatutan dan kepantasan hendaknya lebih menitikberatkan pada pembagian hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak secara proporsional.
4.
Unsur-Unsur Dalam Kontrak Bisnis Pada hakekatnya unsur pokok dalam kontrak merupakan perwujuan dari
pengaturan Pasal 1320 KUH
Perdata dan Pasal 1339 KUH Perdata. 163 Maka,
terjadinya suatu kontrak harus memenuhi unsur-unsur yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:
162
R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung: C.V. Mandar Maju, 2000), hal 107. 163 Kartini Muljadi et al, Seri Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Op.cit, hal 84.
Universitas Sumatera Utara
a.
Unsur Essensialia Unsur essensialia merupakan sifat yang harus ada di dalam kontrak karena
sifat ini yang menentukan atau menyebabkan kontrak itu tercipta. 164 Unsur essensialia adalah unsur yang wajib ada dalam suatu kontrak di mana yang menjadi pembeda antara kontrak yang satu dengan yang lain karena semua kontrak yang diatur dalam KUH Perdata mempunyai unsur essensialia dan karakteristik yang berbeda di mana tanpa adanya unsur essensialia tersebut, maka kontrak yang dimaksudkan para pihak akan menjadi berbeda dengan kehendak para pihak. 165 b. Unsur Naturalia Unsur naturalia adalah bagian kontrak yang berdasarkan sifatnya dianggap ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. 166 Unsur naturalia ini merupakan sifat bawaan atau natur kontrak sehingga secara diam-diam melekat pada kontrak. 167 Unsur naturalia pada umunya melekat pada kontrak dan diatur dalam undang-undang.
Namun
keberlakuan
unsur
tersebut
dalam
kontrak
dapat
dikesampingkan oleh para pihak yang berkontrak melalu suatu kesepakatan yang tegas untuk mengesampingkan keberlakuannya. 168
164 165
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: PT Alumni, 2005), hal 25. Kartini Muljadi et al, Seri Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Op.cit,
hal 86. 166
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op.cit, hal 70. 167 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Op.cit, hal 99. 168 Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 115.
Universitas Sumatera Utara
c. Unsur Aksidentalia Unsur aksidentalia adalah unsur yang pada dasarnya menggambarkan keterbukaan dari suatu kontrak dalam mewujudkan prinsip kebebasan berkontrak bagi para pihak. 169 Unsur ini berbagi hal khusus yang dinyatakan dalam perjanjian yang disetujui oleh para pihak. Unsur ini adalah syarat yang tidak harus ada bergantung pada keinginan para pihak, merasa perlu memuat atau tidak. 170
B. Kontrak Baku dan Perlindungan Konsumen 1.
Pengertian, Penggolongan, dan Ciri-Ciri Kontrak Baku. Dalam pustaka hukum ada beberapa istilah bahasa Inggris yang dipakai
untuk kontrak baku yaitu “standardized agreement, standardized contract, pad contract, standard contract, standardized mass contract, dan contract of adhesion”. 171 Menurut H.P. Panggabean, standard contracts dan adhesion contracts dibedakan secara tegas dalam hukum Amerika Serikat. Standard contract menekankan pada pengkajian terhadap bentuk penyajian janji-janji kontrak, sedangkan adhesion contracts lebih menekankan pada kekuatan antara para pihak
169
Ibid. I.G. Rai Widjaja, Merancang Suatu Kontrak: Contract Drafting dalam Teori dan Praktek. (Jakarta: Megapoin Kesaint Blanc, 2007), hal 120. 171 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hlm 74-75. 170
Universitas Sumatera Utara
pada saat pembuatan kontrak. 172 Maka menurut Sutan Remy Sjahdeini, kontrak baku adalah: 173 perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul yang dibakukan oleh pemakainya dan pihak lainnya pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah warna, tempat,waktu, dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain, yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu, suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh akta notaris dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itu pun adalah perjanjian baku. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, kontrak baku dapat digolongkan dalam 4 jenis yaitu: 174 a. Pertama, kontrak baku sepihak adalah kontrak yang ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam kontrak itu.pihak yang kuat di sini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur. b. Kedua, kontrak baku timbal balik adalah kontrak baku yang isinya ditentukan oleh kedua pihak misalnya kontrak baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak kreditur dan pihak lainnya yaitu debitur.kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi.
172
H.P. Panggabean, Praktik Standaard Contract (Perjanjian Baku) dalam Perjanjian Kredit Perbankan, Op.cit, hal 97-98. 173 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 74. 174 Mariam Darus Badzulzaman, “Perjanjian Baku (Standard), Perkembangannya di Indonesia”,di dalam Tan Kamello (ed), Butir-Butir Pemikiran Hukum Guru Besar Dari Masa ke Masa: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Hukum USU 1979-2001, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal 20-21.
Universitas Sumatera Utara
c. Ketiga, kontrak baku yang ditetapkan pemerintah ialah kontrak baku yang isisnya ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu misalnya kontrak-kontrak yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. d. Keempat, kontrak baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah kontrak-kontrak yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantun notaris atau advokat yang bersangkutan. Di dalam perpustakaan Belanda, jenis keempat ini disebut contract model. Adapun ciri-ciri kontrak baku adalah sebagai berikut: 175 a. Kontrak baku yang dipakai oleh perusahaan-perusahaan untuk penawaran produk atau jasa yang sama atas dasar kebiasaan dengan memberikan formulir yang sama untuk semua transaksi. b. Kontrak baku dirancang lebih dahulu oleh pengacara untuk memanfaatkan waktu sedapat mungkin untuk mengoptimalkan kontrak terutama yang berfokus pada kepentingan perusahaan. c. Kontrak baku yang diberikan kepada konsumen adalah pre-printed document atau dokumen pra-cetak termasuk beberapa klausul yang sering ditulis dalam cetakan kecil dan umumnya sulit dimengerti oleh konsumen bahkan ahli hukum.
175
Christina Maria Vogerl, Unfair Terms in Standard Form Contract: A Law & Economics Analysis of Key Issues in the Implementation of Cosumer Directive on Unfair Terms, (Hamburg: Thesis, European Master Program in Law & Economics University of Hamburg, 2007), hal 3-4.
Universitas Sumatera Utara
d. Perusahaan-perusahaan memberikan kontrak yang disebut take it or leave it basis di mana konsumen sering mempunyai kesempatan yang sedikit untuk menegosiasikan penggabungan semua klausul-klausul khusus dalam kontrak baku. e. Konsumen sering menghadapi situasi di mana mereka tidak mempunyai waktu yang cukup untuk membaca dan juga tidak berharap untuk membacanya atau menerima kontrak baku setelah transaksi berlangsung. f. Sebagian dari klausul-klausul pre-printed yang digolongkan sebagai “the breath of the parties obligation to one another” yang terkait secara umum pada peristiwa di masa depan dan seringkali kemungkinan resiko relatif rendah. Klausul ini disebut klausul pelaksanaan (performance terms) yang terbuka untuk negosiasi. Klausul ini terkait dengan barang seperti kualitas, jumlah, dan harga dari produk atau jasa. Demikian, sesuai dengan pendapat Paulus J. Soepratignja bahwa pembuatan kontrak baku hanya dapat dilakukan jika muncul urgensi tanggapan atas kepentingan pelaku usaha yaitu: 176 a. Menghadapi kegiatan transaksional dalam frekuensi tinggi; b. Demi persaingan bisnis harus memberikan pelayanan secara efisien dan efektif kepada konsumen; c. Demi efisiensi pendistribusian hasil produksi, seluruh atau sebagian syarat-syarat dalam tiap transaksi harus telah dipersiapkan lebih dahulu secara tertulis agar segera dapat diketahui oleh konsumen;
176
Paulus J. Soepratignja, Teknik Pembuatan Akta Kontrak, (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2007), hal 146.
Universitas Sumatera Utara
d. Mengimbangi tingginya frekuensi kegiatan transaksional sehingga harus menyediakan naskah dan/atau persyaratan kontrak secara massal dan seragam untuk transaksi yang sama dengan tanpa memperlihatkan kondisi dan/atau kebutuhan dari masing-masing konsumen. e. Persyaratan kontrak secara massal dan seragam secara efektif harus dapat memberikan jaminan atas kekuatan dan kepastian hukum bagi pelaku usaha sendiri serta bagi konsumen. Demikian dapat disimpulkan beberapa hal dari pembahasan kontrak baku. Pertama, kontrak baku lebih ditujukan pada penyajian janji-janji kontrak yang berbeda dengan adhesion contract yang menekankan kekuatan posisi tawar para pihak. Kedua, tidak semua jenis kontrak baku bersifat sepihak karena ada kontrak baku timbal balik, kontrak baku pemerintah, dan kontrak baku di lingkungan notaris. Ketiga, kontrak baku hanya bisa digunakan untuk menghadapi frekuensi transaksi yang tinggi untuk efisiensi dan efektivitas kegiatan bisnis dalam menjamin kepastian hukum bagi para pihak.
Universitas Sumatera Utara
2.
Perlindungan Hukum Yang Setara Terhadap Bargaining Power Para Pihak Yang Tidak Seimbang Dalam Kontrak Baku. Kontrak baku di dalam praktik tumbuh sebagai kontrak tertulis dalam bentuk
formulir. Perbuatan-perbuatan hukum sejenis yang selalu terjadi secara berulangulang dan teratur bisa melibatkan banyak orang atau pihak sehingga menimbulkan kebutuhan untuk mempersiapkan isi kontrak terlebih dahulu, kemudian dibakukan sehingga memudahkan setiap saat jika masyarakat membutuhkannya. 177 Hal ini dapat dilihat dari generalisasi Henry Maine dalam bukunya Ancient Law yang menjadi sangat terkenal yaitu “the movement of the progressive societies has hithero been a movement from status to contract”. 178 Perubahan yang demikian memungkinkan para warga masyarakat di dalam organisasi kehidupannya yang kemudian menentukan secara bebas posisi hak dan kewajibannya di hadapan warga-warga yang lain dengan memastikannya lewat kontrak-kontrak. 179 Hal ini sesuai dengan Pasal 1319 KUH Perdata yang menganut sistem terbuka di mana para pihak diperkenankan membuat kontrak-kontrak yang dikehendaki selain yang sudah diatur dalam Buku III Perdata sepanjang memenuhi syarat keabsahan suatu kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Kebebasan para
177
Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah terhadap Produk Tabungan dan Deposito: Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan di Indonesia Dewasa Ini,(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995), hal 26. 178 Henry Sumner Maine, Ancient Law. Cheap Edition. (London: John Murray Albemarle, 1908), hal 151. 179 Soetandyo Wignjosoebroto, Op.cit, hal 292.
Universitas Sumatera Utara
pihak untuk membuat kontrak selanjutnya dipertegas oleh ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang memuat asas kebebasan berkontrak yang bersifat universal. 180 Menurut Setiawan, semakin banyaknya kontrak baku menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pembatasan kebebasan berkontrak. 181 Menurut Duncan Kennedy: 182 “Industri bersifat publik di mana klausula-klausula kontrak yang dirancang oleh pelaku usaha dan ditawarkan didasarkan pada basis take it or leave it, pelaku usaha adalah entitas yang lebih besar dari konsumen, pelaku usaha memiliki kekuatan monopoli di pasar yang relevan, komoditas dalam permintaan menjadi kebutuhan, dan terdapat kelangkaan yang memberikan ruang bagi pelaku usaha untuk mengeksploitasi konsumen”.
Konsep bargaining power sangat berguna untuk memahami pasar yang terdiri dari hanya ada jumlah pelaku usaha atau konsumen yang sedikit. Ini sesuai logika untuk mengatakan bawah pelaku usaha yang bersifat monopoli mempunyai bargaining power lebih besar dari satu penjual yang berada diantara banyak penjual dan ada ketidakseimbangan kekuatan (inequality of power) ketika penjual tunggal menghadapi banyak konsumen. dalam hal ini, tes kesetaraan adalah mengenai adanya kesetaraan derajat dari persaingan pada masing-masing pihak dari suatu transaksi. Selain itu, pengetahuan yang dibutuhkan untuk merancang kontrak dan praktek dari
180
Lastuti Abubakar, Op.cit, hal 84. Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT Alumni, 2008), hal 179-180. 182 Duncan Kennedy, “Distributive And Paternalist Motives In Contract And Tort Law, With Special Reference To Compulsory Terms And Unequal Bargaining Power”, Maryland Law Review, Vol. 41 No. 4 (1982), hal 616. 181
Universitas Sumatera Utara
pemaksaan klausula-klausula take it or leave it memberikan kekuatan bagi pelaku usaha untuk mendikte konsumen. 183 Hal ini sesuai dengan pendapat Phillip Nonet dan Phillip Selznick bahwa, “kebebasan berkontrak memperkuat persamaan tapi bersamaan dengan itu juga meletakkan dasar bagi hubungan subordinasi yang tidak diatur”. Philippe Nonet dan Philip Selznick juga menambahkan dengan mengutip pendapat Karl Renner yang menyatakan, “kontrak merupakan kontrol terhadap kepemilikan dalam hukum yang bersifat memaksa dan kekuasaan yang mutlak oleh manusia untuk mengontrol manusia lainnya”. 184 Ini juga sesuai dengan pendapat Lawrence Friedman bahwa, “sebagian dari kita telah melihat gejala dari kontrak kembali ke status di mana sebenarnya abad setelah masa Henry Maine nyaris tidak bergerak menuju arah kontrak bebas”. 185 Dari segi efisiensi waktu, biaya dan tenaga memang dapat diandalkan terlebih lagi dalam sistem ekonomi dan komunikasi serba cepat yang membuat para pihak harus bergerak secepat mungkin dan seefisien mungkin. Namun di sisi lain, bentuk kontrak seperti ini tentu saja menempatkan pihak yang tidak ikut membuat klausul-klausul dalam kontrak itu sebagai pihak baik yang langsung maupun tidak langsung sebagai pihak yang dirugikan yakni di satu sisi ia sebagai salah satu pihak dalam kontrak itu memiliki hak untuk memperoleh kedudukan seimbang dalam 183
Ibid, hal 616-617. Philippe Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif. Terjemahan oleh Raisul Muttaqien. (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2010), hlm 50. 185 Lawrence Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh M. Khozim. (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2009), hal 373. 184
Universitas Sumatera Utara
menjalankan kontrak tersebut, tetapi di sisi lain ia harus menurut terhadap isi kontrak yang disodorkan kepadanya. 186 Mempertimbangan hubungan kontrak yang akan dilakukan oleh perusahaanperusahaan yang berbasis konsumen dengan ribuan ataupun bahkan jutaan konsumennya ataupun nasabahnya mempunyai objek kesepakatan yang sama dan juga dengan pertimbangan efisiensi serta kemudahan pelayanan bagi kepentingan perusahaan tersebut dan para nasabah serta keyakinan bahwa draft tersebut secara umum telah dapat mewakili kepentingan dari pelaku usaha dan para nasabah ataupun konsumennya secara seimbang juga dengan pertimbangan bahwa draft-draft kontrak tersebut pada umumnya masih merupakan rancangan yang terbuka untuk dinegoasiasikan, maka umumnya rancangan-rancangan kontrak seperti itu disediakan dalam bentuk yang telah dicetak (printed draft). Selain itu, tidak mungkin perusahaan misalnya perusahaan perbankan, perusahaan asuransi dan perusahaan leasing harus merancang kontrak dari awal bersama-sama dengan masing-masing nasabah atau konsumen yang berjumlah ratusan atau ribuan bahkan jutaan calon mitra berkontraknya. Sulit untuk membayangkan suatu bank yang menyalurkan kredit ke ratusan ribu bahkan jutaan nasabahnya, harus secara konvensional melakukan rangkaian proses perancangan kontrak dari tahap awal terhadap masing-masing calon debiturnya serta proses-proses negosiasi penyempurnaan hingga pada tahap kesepakatan bersama sebelum perjanjian
186
Sriwati, “Perlindungan Hukum Bagi Para pihak dalam Perjanjian Baku”, Jurnal Yustika, Vol. 3 No. 2 (2000), hal 176.
Universitas Sumatera Utara
kredit ditandatangani oleh kedua belah pihak yang begitu rumit dan panjang, maka akan sangat membutuhkan waktu yang lama sehingga akan mengganggu aktivitas bank tetapi juga aktivitas calon debitur. 187 Maka ini sesuai dengan pendapat Max Weber bahwa perusahaan-perusahaan kapitalisme modern sangat bergantung pada prediksi. 188 Max Weber berpendapat bahwa kapitalisme tidak hanya membutuhkan teknik-teknik produksi, tetapi juga membutuhkan sistem hukum yang dapat diprediksi. 189 Di satu sisi penggunaan kontrak baku memberikan keuntungan yaitu: 190 a. Biaya persiapan dari suatu kesepakatan lebih rendah berdasarkan fakta bahwa tidak ada negosiasi antara para pihak; b. Kontrak baku ini mengurangi biaya-biaya dengan pembatasan kebutuhan akan bantuan hukum. c. Para pihak dalam kontrak baku mencapai tujuan ekonomi karena kontrak baku menghemat waktu dan biaya baik untuk kosumen maupun perusahaan. d. Kontrak baku memberikan peluang bagi manajemen perusahaan untuk membatasi resiko mereka. e. Kontrak baku memberikan peluang bagi manajemen senior perusahaan untuk mengendalikan perancangan-perancangan kontraktual yang dilakukan oleh staf yang bersifat subordinatif tanpa upaya apa pun.
Namun di sisi lain, kelemahan pokok dari kontrak baku ini karena kurangnya kesempatan bagi pihak lawan untuk menegosiasi atau mengubah klausula-klausula dalam kontrak yang bersangkutan, sehingga kontrak baku sangat berpotensi untuk
187
Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 178-179. M.D.A. Freeman, Lloyd’s Introduction Jurisprudence. 8th Edition. (London: Sweet & Maxwell, 2008), hal 841. 189 Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Diterjemahkan oleh Yusup Priyasidiarja. (Yogyakarta: Jejak, 2007), hal 32. 190 Christelle Kok, The Effect of The Consumer Protection Act on Exemption Clauses in Standardised Contracts, (Pretoria:Dissertation, Univeristy of Pretoria, 2010), hal 16. 188
Universitas Sumatera Utara
menjadi klausula yang berat sebelah. Adapun faktor-faktor yang membuat para pihak dalam kontrak baku tidak seimbang yaitu: 191 a. Kurang adanya atau bahkan tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak untuk melakukan tawar-menawar, sehingga pihak yang kepadanya disodorkan kontrak tidak banyak kesempatan untuk mengetahui isi kontrak tersebut, apalagi ada kontrak yang ditulis dengan huruf-huruf yang sangat kecil; b. Karena penyusunan kontrak yang sepihak, maka pihak penyedia dokumen biaanya memiliki cukup banyak waktu untuk memikirkan mengenai klausula-klausula dalam dokumen tersebut, bahkan mungkin saja sudah berkonsultasi dengan para ahli atau dokumen tersebut justru dibuat oleh para ahli. Sedangkan pihak yang kepadanya disodorkan dokumen tidak banyak kesempatan dan seringkali tidak familiar dengan klausula-klausula tersebut; c. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku menempati kedudukan yang sangat tertekan, sehingga hanya dapat bersikap “take it or leave it”.
Dalam praktek, klausula-klausula yang berat sebelah dalam kontrak baku tersebut biasanya mempunyai wujud sebagai berikut: 192 a. b. c. d. e. f.
Dicetak dengan huruf kecil; Bahasa yang kurang jelas dan susah dibaca; Tulisan yang kurang jelas dan susah dibaca; Kalimat kompleks; Bahkan ada kontrak baku yang tidak berwujud seperti kontrak tersamar; Jika kalimat ditempatkan pada tempat-tempat yang kemungkinan besar tidak dibacakan oleh satu pihak.
Namun dalam kenyatannya menurut Sutan Remy Sjahdeini, tidak selamanya konsumen berada dalam pihak yang lemah karena dalam hal bank berhadapan dengan pengusaha-pengusaha golongan konglomerat sebagai nasabah debitur, bank justru berada dalam kedudukan yang lemah karena jumlah pengusaha golongan 191
Rachmadi Usman, Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan Mediasi Perbankan, Op.cit, hal
192
Ibid.
134.
Universitas Sumatera Utara
konglomerat tidak banyak sehingga menjadi objek persaingan antar bank. Agar bank tidak kehilangan nasabah-nasabah golongan konglomerat yang besar sumbangannya terhadap profitabilitas bank maka bank sering bersikap mengalah terhadap tuntutantuntutan atau persyaratan yang diminta oleh mereka. 193 Menurut Duncan Kennedy, barang merupakan kebutuhan seperti makanan tetapi bukan berarti pelaku usaha mempunyai kekuatan yang lebih besar dari pelaku usaha barang lainnya untuk mendikte harga atau klausula seperti kapal mewah. Jika ada banyak pelaku usaha dari suatu kebutuhan, tidak ada satu pun dari mereka dapat membebankan lebih dari harga dan persyaratan tanpa kehilangan semua pembelinya. Jika ada beberapa penjual barang mewah, mereka mempunyai kekuatan yang substansial untuk menetapkan harga dan persyaratan, walaupun tidak ada satu pun orang secara materi menjadi lebih buruk apabila industri berhenti melakukan transaksi bisnis sama sekali. Duncan Kennedy juga menambahkan bahwa barang adalah kebutuhan bukan berarti pembeli karena kebutuhannya akan membiarkan kenakan harga yang lebih tinggi tanpa mengurangi permintaan dari yang mereka akan biarkan dalam kasus barang mewah. Seseorang bisa terus menikmati kebutuhankebutuhan yang paling utama khususnya makanan dan perumahan, lama setelah seseorang telah melewati tahap di mana dia perlu. Harga dari sayur-sayuran mungkin ditentukan pada marjin bukan oleh pembeli yang harus membeli pada harga berapa pun atau dalam keadaan kelaparan,
193
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 213.
Universitas Sumatera Utara
tetapi oleh mereka yang memutuskan antara yang berkelebihan/mengalami kejenuhan dan yang rakus absolut. Mereka akan mencapai kejenuhan/kelebihan belaka jika harga terlalu tinggi. Di mana pembeli yang marginal adalah miskin, itu mungkin secara khusus sulit bagi penguasa pasar untuk menaikkan biaya dengan menaikkan harga yang dibebankan pada pembeli, karena pembeli miskin yang marginal akan mengurangi konsumsi mereka ketika harga naik. 194 Melihat kelemahan kontrak baku maka menurut Mo Zhang, negara-negara telah menyadari kontrak baku sering disalahgunakan oleh pihak yang berposisi tawar lebih kuat di pasar, maka banyak negara telah mengadopsi hukum atau aturan untuk memelihara penggunaan kontrak baku yang fair. 195 Inosentius Samsul sebagaimana dikutip oleh Yusuf Shofie memandang intervensi pemerintah terhadap hubungan antara produsen dan konsumen ditunjukkan dalam bentuk regulasi di bidang perlindungan konsumen. 196 Di mana dalam perkembangan perlindungan konsumen di Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang disahkan dan diundangkan pada 20 April 1999. 197 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan ketentuan khusus (lex specialis) terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
194
Duncan Kennedy, Op.cit, hal 618-619. Mo Zhang, Chinese Contract Law: Theory and Practice, (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2006), hal 130-140. 196 Yusuf Shofie, Tanggung Jawab Pidana Korporasi Dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011), hal 217. 197 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. (Jakarta: PT Grasindo, 2006), hal 52. 195
Universitas Sumatera Utara
Menurut Dedi Harianto, sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat legi generali maka ketentuan di luar Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal ini termuat dalam Pasal 64 Bab XIV Ketentuan Peralihan yang menegaskan, “segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini”. 198 Dengan demikian, perkembangan kontrak baku tidak cukup hanya berdasarkan asas kebebasan berkontrak dalam sistem terbuka Buku III KUH Perdata saja. Hal ini dikarenakan dalam praktek, asas kebebasan berkontrak dalam sistem terbuka Buku III KUH Perdata telah menimbulkan posisi tawar (bargaining position) para pihak yang tidak seimbang baik pengusaha maupun konsumen. Oleh karena itu, campur tangan pemerintah diperlukan untuk menyeimbangkan posisi tawar (bargaining position) para pihak melalui undang-undang.
198
Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan yang Menyesatkan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal 55.
Universitas Sumatera Utara
3.
Larangan Terhadap Klausula Baku. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak
memuat definisi kontrak baku tetapi merumuskan pengertian klausula baku yang diatur dalam Pasal 1 angka 10 yaitu, “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. 199 Selain itu, UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur tentang pencantuman klausula oleh para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan yaitu: 200 1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang 199 200
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Universitas Sumatera Utara
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli olch konsumen secara angsuran. 2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. 3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum. 4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang larangan yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, larangan Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen seharusnya dibatasi hanya untuk jngka waktu 4 (empat) tahun sesuai ketentuan Pasal 27 huruf e Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal ini menentukan pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen apabila lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat ketentuan ini berlebihan karena menutup kemungkinan bagi pelaku usaha untuk lepas dari tanggung jawab dengan cara mencantumkannya dalam klausula baku. 201
201
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Kosumen, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal 108.
Universitas Sumatera Utara
Contohnya, kehilangan kenderaan bukan tanggung jawab pengelola parkir. 202 Dalam Kasus Anny Gultom dan Hontas Tambunan sebagai penggugat melawan PT. Securindo Pakatama Indonesia sebagai tergugat, Putusan No. 551/Pdt.G/2000/PN. Jkt.Pst pada tanggal 26 Juni 2001 yang didukung pada tingkat banding Pengadilan Tinggi dan kasasi Mahkamah Agung membatalkan klausula eksonerasi yang isinya membebaskan tanggung jawab dari tergugat selaku pengelola parkir dalam hal terjadinya sesuatu terhadap objek yang diparkirkan karena ketidakbebasan konsumen yang tidak mempunyai pilihan lain selain tunduk pada kemauan dari pengelola parkir terhadap penggunaan satu-satunya lahan parkir di kompleks perparkiran pusat perbelanjaan Cempaka Mas yang disediakan pengelola parkir. Dalam hal ini tidak ada paksaan fisik yang menimbulkan tekanan atau ketakutan pada pihak mitra berkontrak tetapi pada penyalahgunaan keadaan yang dilakukan oleh pihak pengelola sebagai satu-satunya lahan parkir yang tersedia pada area pusat perbelanjaan tersebut. 203 Selanjutnya hal yang terkait dengan larangan mencantumkan klausula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan barang kembali barang yang dibeli konsumen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 huruf b Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan pasangan dari larangan klausula baku yang menyatakan bahwa, “pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang 202
Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008), hal 44. 203 Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 192-193.
Universitas Sumatera Utara
dibeli konsumen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”. 204 Contohnya adalah struk belanja yang berbunyi “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan”. 205 Larangan mencantumkan klausula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan barang kembali barang yang dibeli konsumen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 huruf b Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebaiknya ada batas waktu yang wajar. Jadi pelaku usaha dilarang untuk tidak menerima kembali barang yang sudah dijual dan tidak mengembalikan uang yang telah diterimanya sebagai pembayaran atas barang tersebut tetapi tentu saja jika pengembalian barang dengan alasan-alasan yang dibenarkan hukum. Larangan dalam Pasal 18 huruf d Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo sudah tepat. Klausula baku berisikan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang dibeli secara angsuran adalah tidak adil. 206 Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa Pasal 1796 KUH Perdata telah menentukan pemberian kuasa dirumuskan dalam kata-kata umum dan hanya meliputi
204
Ahmadi Miru et al, Hukum Perlindungan Kosumen, Op.cit, hal 109. H.P. Panggabean, Praktik Standaard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, Op.cit, hal 3. 206 Ahmadi Miru et al, Hukum Perlindungan Kosumen, Op.cit, hal 109. 205
Universitas Sumatera Utara
perbuatan-perbuatan pengurusan sehingga pemberian kuasa menurut Pasal 1796 KUH Perdata hanya terbatas pada tindakan-tindakan pengurusan saja. Jika yang dikehendaki pelaku usaha misalnya bank adalah dapat melakukan segala tindakan apa pun padahal Pasal 1796 KUH Perdata hanya membatasi pada perbuatan pengurusan saja, maka bank mencampuri terlalu jauh urusan nasabah debitur. Pemberian kuasa harus dengan tegas dan khusus menyebutkan tindakan-tindakan dan kewenangan apa saja yang boleh dilakukan oleh kreditur dengan itikad baik kreditur sepanjang kreditur tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan debitur dan kebijaksanaan debitur tidak mengurangi kemampuan nasabah debitur untuk melunasi utang. Misalnya dapat diberikan kuasa umum untuk melakukan segala tindakan sehubungan dengan perbuatan hukum menjual rumah tertentu dari pemberi kuasa yang hanya terbatas hal-hal yang sehubungan dengan pelaksanaan penjualan rumah yang harus diketahui dan disetujui oleh pemberi kuasa serta adanya pembatasanpembatasan terhadap tindakan-tindakan penerima kuasa yaitu kepatutan dari tindakan-tindakannya. 207 Selain itu, klausula baku berisikan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang dibeli secara angsuran yang tidak adil dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan keadaan. 208
207
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 241-244. 208 Ahmadi Miru et al, Hukum Perlindungan Kosumen, Op.cit, hal 109.
Universitas Sumatera Utara
Dalam praktek, penyalahgunaan keadaan melalui tekanan dan paksaan yang dilakukan terhadap calon mitra berkontrak tidak selalu dengan ancaman kekerasan. Walaupun tidak terlihat ancaman dalam bentuk kekerasan tetapi sudah cukup secara substansial untuk membuktikan pihak yang dipaksa telah kehilangan kebebasannya dan tidak berdaya untuk menolak kontrak tersebut selain harus menyatakan setuju dan menandatangani kontrak sekalipun sangat disadarinya penandatangan kontrak akan memberikan potensi kerugian baginya atau paling tidak bukan refleksi dari apa yang diinginkan. 209 Selanjutnya menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, ketentuan larangan membuat klausula baku perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf e Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen seharusnya tidak hanya mengatur larangan yang berkenaan dengan hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen tetapi juga berkurangnya kegunaan barang atau jasa. Apabila larangan klausula baku sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf e Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terbatas hanya pada hal hilangnya kegunaan barang dan jasa, maka pelaku usaha dapat memanfaatkan kelemahan aturan yang ada dengan menunjuk pada persoalan berkurangnya kegunaan barang atau jasa
209
Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 190.
Universitas Sumatera Utara
dalam klausula baku. 210 Maka Contohnya adalah barang pecah atau membuka segel berarti membeli. 211 Pasal 18 ayat (1) huruf f Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur tentang larangan klausula baku yang memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa. Klausula baku yang memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa termasuk klausula eksonerasi karena dalam klausula baku pemberian hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau harta kekayaan konsumen, pelaku usaha dapat membatasi tanggung jawabnya dengan adanya hak pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau harta kekayaan konsumen di mana pembatasan tanggung jawab dapat dikategorikan termasuk klausula eksonerasi karena klausula eksonerasi berisi pembatasan pertanggungjawaban pelaku usaha atau kreditur. 212 Contohnya adalah perusahaan maskapai penerbangan berhak menunda dan/atau menjadwal ulang penerbangan pada hari yang sama tanpa harus melakukan ganti rugi dalam bentuk apapun juga atas kerugian yang ditimbulkan karena penundaan dan/atau penjadwalan ulang suatu penerbangan atau perusahaan tidak memiliki tanggung jawab atas kerugian yang timbul karena pembatalan suatu
210
Ahmadi Miru et al, Hukum Perlindungan Kosumen, Op.cit, hal 109-110. Yusuf Sofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Op.cit, hal 44. 212 Mariam Darus Badzulzaman, “Perjanjian Baku (Standard), Perkembangannya di Indonesia”,Op.cit, hal 31. 211
Universitas Sumatera Utara
penerbangan. 213 Namun sekarang, Pasal 10 huruf a Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara mewajibkan perusahaan maskapai penerbangan untuk memberikan ganti rugi sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) per penumpang untuk keterlambatan lebih dari 4 (empat) jam. 214 Perusahaan maskapai penerbangan wajib memberikan ganti rugi sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah ganti rugi sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) per penumpang jika perusahaan maskapai penerbangan menawarkan tempat tujuan lain yang terdekat dengan tujuan penerbangan akhir penumpang dan wajib menyediakan tiket penerbangan lanjutan atau menyediakan transportasi lain sampai ke tempat tujuan apabila tidak ada moda transportasi selain angkutan udara untuk pembatalan penerbangan dan perubahan jadwal penerbangan yang dilakukan kurang dari 7 (tujuh) hari kalender sampai dengan waktu keberangkatan yang telah ditetapkan sesuai dengan Pasal 10 huruf b dan c serta Pasal 13 ayat 3 dan 4 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara. 215 Selain itu penumpang juga dibebaskan dari biaya tambahan bila penerbangan dialihkan ke penerbangan perusahaan maskapai penerbangan lain termasuk peningkatan kelas pelayanan dan untuk penurunan kelas pelayanan, penumpang berhak mendapatkan sisa uang kelebihan dari tiket yang dibeli. 213
M. Sadar et al, Op.cit, hal 37. Pasal 10 huruf a Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara. 215 Pasal 10 huruf b dan c jo Pasal 13 ayat 3 dan 4 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara. 214
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya Pasal 11 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara mewajibkan perusahaan maskapai penerbangan untuk membebaskan penumpang yang tidak terangkut dari biaya tambahan dan/atau memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan. 216 Perusahaan maskapai penerbangan menurut Pasal 12 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara, wajib memberitahukan kepada penumpang paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sebelum pelaksanaan penerbangan dengan mengembalikan seluruh uang tiket yang dibayarkan penumpang. 217 Perusahaan maskapai penerbangan dibebaskan dari tanggung jawab atas ganti rugi akibat keterlambatan jika keterlambatan penerbangan disebabkan oleh faktor cuaca seperti badai dan atau teknik operasional seperti terjadinya antrian pesawat udara lepas landas, mendarat, atau alokasi waktu keberangkatan di bandar udara sesuai dengan Pasal 13 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara. 218 Kemudian, Pasal 18 ayat 1 huruf g Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang klausula baku yang menyatakan
216
Pasal 11 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara. 217 Pasal 12 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara. 218 Pasal 13 Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara.
Universitas Sumatera Utara
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibeli. Dalam hubungan bank sebagai pelaku usaha dan nasabah debitur sebagai konsumen, bank sering membuat klausula baku yang menyatakan kewajiban nasabah untuk tunduk pada segala peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan ditetapkan kemudian oleh bank. Pencantuman klasula nasabah harus tunduk pada segala peraturan bank yang masih akan ditetapkan jelas merupakan peraturan baru yang belum dapat diketahui atau dipahami. Sutan Remy Sjahdeini menilai klausula ini bertentangan Pasal 1320 ayat (3) KUH Perdata dan Pasal 1333 KUH Perdata. Syarat adanya suatu hal yang diatur dalam Pasal 1320 ayat (3) KUH Perdata harus ada terlebih dahulu suatu hal yang diperjanjikan. Pencantuman klasula nasabah harus tunduk pada segala peraturan bank yang masih akan ditetapkan jelas merupakan peraturan baru yang belum dapat diketahui atau dipahami. Oleh karena itu, klausula tersebut berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata tidak sah dan tidak mengikat. 219 Namun menurut Ahmadi Miru, praktek pembuatan klausula baku yang bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sudah berlangsung lama. 220 Adapun secara umum
219
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 230. 220 Ahmadi Miru et al, Hukum Perlindungan Kosumen, Op.cit, hal 110.
Universitas Sumatera Utara
praktek pembuatan klausula baku yang bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah: 221 a. Ketentuan yang ditetapkan kemudian secara sepihak oleh bank baik penetapan bunga, biaya, ongkos, dendan kurs, termasuk pemberlakuan ketentuan yang sudah ada maupun yang akan berlaku di kemudian hari; b. Persyaratan-persyaratan dan/atau tindakan-tindakan dan/atau bukti-bukti yang secara sepihak ditetapkan oleh bank; c. Ketentuan-ketentuan yang mempunyai pengertian yang sangat luas, misalnya kata-kata “termasuk tetapi tidak terbatas pada”.
Walaupun ketentuan bank Pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk melarang praktek pembuatan klausula baku tersebut, bank tidak akan mematuhi ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jika tidak ada pengecualian larangan tersebut. Kalau pun ada bank yang mematuhi ketentuan tersebut, maka bank akan bangkrut dalam kondisi tersebut. 222 Selanjutnya, Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang klausula yang menyatakan konsumen memberikan kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran. Contohnya pembuatan klausula baku yang menyatakan konsumen memberikan kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan selain harus sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 221
Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia: Simpanan, Jasa, dan Kredit, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), hal 73. 222 Ahmadi Miru, “Larangan Penggunaan Klausula Baku Tertentu dalam Perjanjian antara Konsumen dan Pelaku Usaha.”, Jurnal Hukum UII Yogyakarta, Vol. 8 No. 17 (2001), hal 116.
Universitas Sumatera Utara
tentang Perlindungan Konsumen juga harus sesuai secara diametral dengan UndangUndang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Kuasa pembebanan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKHMT) menurut rumusan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan harus dibuat dalam bentuk akta PPAT. Dengan kata lain, SKMHT yang tidak dibuat dengan akta PPAT tidaklah berlaku sebagai SKMHT. 223 Dengan berlakunya Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan tidak lagi dapat disatukan dengan perjanjian kredit tapi harus dibuat secara terpisah. 224 Selain SKMHT harus dibuat dengan akta PPAT, menurut Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan SKMHT juga harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan. b. Tidak memuat kuasa substitusi c. Mencantumkan secara jelas objek hak tanggungan, jumlah utang dan mana serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitur bukan pemberi hak tanggungan.
Ini berarti SKMHT adalah suatu surat kuasa yang benar-benar khusus hanya terbatas untuk memberikan atau membebankan hak tanggungan semata-mata. 225 Selanjutnya Pasal 15 ayat (3)
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
223
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Tanggungan, (Jakarta: Kencana, 2008), hal 191-192. 224 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan: Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), (Bandung: Alumni, 1999), hal 104. 225 Kartini Muljadi et al, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Tanggungan, Op.cit, hal 192.
Universitas Sumatera Utara
Tanggungan mengatur bahwa SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) selambatlambatnya 1 (satu) bulan. 226 Sedangkan SKMHT mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 ayat (4) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. 227 Selain itu menurut Pasal 95 Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan: 228 (1) Akta tanah yang dibuat oleh PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah adalah: a. Akta Jual Beli; b. Akta Tukar Menukar; c. Akta Hibah; d. Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan; e. Akta Pembagian Hak Bersama; f. Akta Pemberian Hak Tanggungan; g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik. h. Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik. (2) Selain akta-akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PPAT juga membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang merupakan akta pemberian kuasa yang dipergunakan dalam pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Peraturan Kepala BPN No. 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatur bahwa Pasal 96 ayat (2)
226
Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Pasal 15 ayat (4) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. 228 Pasal 95 Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 227
Universitas Sumatera Utara
telah dihapus sehingga tidak perlu menggunakan formulir sesuai dengan bentuk akta sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 96 ayat (1), tetapi bentuk akta yang digunakan untuk membuat APHT dan SKMHT harus sesuai dengan lampiran Peraturan Kepala BPN No. 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang terdiri dari APHT dan SKMHT di mana akta tanah yang dibuat oleh PPAT dan pembuatan APHT dengan menggunakan SKMHT sebagai akta tanah yang dibuat oleh PPAT dan APHT dengan menggunakan SKMHT sebagai akta pemberian kuasa dapat dilakukan. Menurut Pasal 96 ayat (5) Peraturan Kepala BPN No. 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Kepala kantor pertanahan akan menolak pendaftaran akta PPAT yang tidak sesuai dengan ketentuan aturan pasal 96 ayat 1 peraturan tersebut. 229 Selain itu menurut Pasal 15 ayat (6) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, SKMHT yang tidak diikuti dengan pembuatan APHT baik bagi SKMHT yang sudah terdaftar maupun SKHMT yang belum terdaftar dapat batal demi hukum. 230
229
Situs Resmi Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan, “Mulai 2 Januari 2013 Penyiapan dan Pembuatan Blanko Akta PPAT Dilakukan oleh Masing-Masing PPAT”, “http://www.pekalongankab.go.id/fasilitas-web/artikel/sosial-budaya/3311-mulai-2-januari-2013penyiapan-dan-pembuatan-blanko-akta-ppat-dilakukan-oleh-masing-masing-ppat.html#, diakses 30 Maret 2013. 230 Pasal 15 ayat (6) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Universitas Sumatera Utara
Jika penerapan Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tentang larangan klausula baku yang menyatakan konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan terhadap barang yang dibeli secara angsuran berbenturan secara diametral dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, maka pelanggaran tersebut diancam pidana 5 (lima) tahun/ pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) berdasarkan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 231 Pada Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Mengenai letak, bentuk dan pengungkapan klausula baku dapat juga dilihat dari itikad baik pelaku usaha sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kewajiban pelaku usaha adalah beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan. 232 Seharusnya ada sikap keterbukaan dan itikad baik dari pelaku usaha untuk menghasilkan rancangan kontrak yang dibuat dalam bahasa yang lebih mudah 231
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009), hal 27-28. 232 M. Sadar et al, Op.cit, hal 39.
Universitas Sumatera Utara
dipahami dan ditulis dengan huruf-huruf yang mudah dibaca misalnya menggunakan ukuran huruf 11 Times New Romans dengan kualitas kertas dan cetakan yang baik disertai keterbukaan untuk menjelaskan maksud-maksud dari poin-poin kontrak kepada nasabah konsumen serta membuka kesempatan bagi nasabah konsumen untuk membaca dan memahami atau bahkan menegosiasikan keinginan-keinginan nasabah yang dapat berbentuk pengajuan usul-usul perubahan draft kontrak yang ditawarkan oleh pelaku usaha walaupun draft tersebut telah dalam bentuk tercetak yang dimaksudkan untuk lebih murah dan mudah pengadaannya bukan agar tidak dapat diubah. Bila pelaku usaha setuju dengan usulan perbaikan atau perubahan yang diusulkan oleh nasabah konsumen, maka perubahan-perubahan tersebut dapat dilakukan dengan cara mencoret klausula atau kalimat draft kontrak dan menuliskan perubahan-perubahan yang disepakati untuk kemudian diparaf oleh masing-masing pihak. 233 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memang dalam hal ini telah membangkitkan kesadaran baru berupa perkembangan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab (caveat venditor). 234 Namun, konsumen harus tetap waspada (caveat emptor). 235 Pasal 5 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mewajibkan konsumen untuk membaca atau
233
Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 183-184. Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Op.cit, hal 42. 235 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Op.cit, hal 234
205.
Universitas Sumatera Utara
mengikuti petunjuk informasi mengenai produk jasa dan barang demi keamanan dan keselamatan. 236 Dedi Harianto berpendapat konsumen sendiri harus melengkapi pengetahuan tentang kelebihan dan kekurangan produk yang akan dibeli dengan memiliki berbagai informasi mengenai produk yang dibutuhkan sebelum memberikan pertimbangan untuk memilih atau membeli produk sesuai kebutuhan. 237 Konsumen juga mempunyai kewajiban untuk melakukan tindakan kehati-hatian (duty of care) dan kewajiban untuk membaca setiap proposal kontrak sebelum meyetujuinya (duty to read) karena banyak fakta menunjukkan bahwa ketidakmampuan suatu kontrak dalam melindungi konsumen lebih disebabkan karena ketidakpedulian konsumen sendiri terhadap kontrak-kontrak yang akan ditandatangani misalnya karena malas membaca kontrak apalagi untuk membahasnya dengan alasan menghabiskan waktu dan konsumen percaya saja dengan kontrak yang disodorkan. 238 Hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk memohon pembatalan kontrak kecuali penipuan dan kekhilafan sehingga pihak lain mendapat pemahaman yang keliru atau salah tentang kontrak. Jadi, dengan menandatangani kontrak baku apakah ia mengetahui isi kontrak atau tidak, ia menjadi terikat dengan kontrak tersebut. 239
236
A. Wangsawidjaja Z, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), hal 149. 237 Dedi Harianto, Opcit, hal 129. 238 Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 184. 239 F.X. Suhardana, Contract Drafting: Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak. Edisi Revisi. (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2009), hal 25.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memuat sanksi bahwa setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau kontrak yang memuat ketentuan yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah batal demi hukum. Substansi Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan penegasan kembali asas kebebasan membuat kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 jo. Pasal 1337 KUH Perdata. Konsekuensi yuridisnya adalah setiap kontrak yang memuat klausula baku dilarang berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memiliki bentuk atau format yang dilarang berdasarkan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat para pihak yaitu pelaku usaha dan konsumen yang membuat kontrak tersebut. 240 Di samping itu Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mewajibkan pelaku usaha untuk segera menyesuaikan standar kontrak yang dipergunakan dengan ketentuan undang-undang ini. 241 Contohnya penyesuian klausula baku yang diterapkan sebelumnya adalah “Jika barang kiriman tersampaikan dengan terlambat pada penerima, tidak bisa dituntut penggantian
kerugian”
diubah
klausulanya
menjadi
“Jika
barang
kiriman
tersampaikan dengan terlambat, akan diberikan penggantian kerugian ... kali biaya 240
M. Syaiffudin, Op.cit, hal 237. Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010), hal 27. 241
Universitas Sumatera Utara
kirim”. 242 Jika ternyata masih tetap dipakai standar kontrak yang tidak sesuai dengan ketentuan di atas, akibat hukumnya adalah batal demi hukum. Artinya, klausula itu dianggap tidak ada, karena tidak mempunyai kekuatan hukum. 243 Menurut Yusuf Shofie, walaupun ada kesan pada sebagian pelaku usaha bahwa Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen melarang kontrak baku sehingga sehingga menghambat aktivitas ekonomi, namun Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang penggunaan kontrak baku baik untuk barang maupun jasa. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hanya membatasi penggunaan kontrak baku yang menimbulkan ekses negatif bagi pihak lainnya atau konsumen. 244 Oleh karena itu menurut Ahmadi Miru, kontrak baku tetap mengikat para pihak dan pada umumnya beban tanggung gugat para pihak adalah berat sebelah maka langkah yang harus dilakukan bukan melarang penggunaan kontrak baku melainkan membatasi penggunaan klausula-klausula tertentu dalam kontrak baku. 245 Pembatasan kontrak baku tidak hanya dibatasi oleh Pasal 18 UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen saja, tetapi kontrak baku juga dibatasi oleh pengawasan yang dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
242
Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Op.cit, hal 46. Janus Sidabalok, Op.cit, hal 27. 244 Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Op.cit, hal 49. 245 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hal 132. 243
Universitas Sumatera Utara
Yusuf Shofie berpendapat bahwa, “secara riil eksistensi BPSK tidak selalu berhubungan dengan sengketa konsumen antara pelaku usaha dan konsumen yaitu peran BPSK untuk melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku oleh pelaku usaha untuk menciptakan keseimbangan kepentingan pelaku usaha dan konsumen”. 246 Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 52 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang
Perlindungan
Konsumen
jo.
Kepmenperindag
No.
350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK yaitu: 247 Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi: a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini; e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang itu; i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 246
Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Op.cit, hal
240. 247
Pasal 52 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo. Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.
Universitas Sumatera Utara
m.
menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Memperbandingkan pengawasan klausula baku di Belanda, KUH Perdata Belanda yang baru mengatur bahwa kontrak baku sejak awal diawasi oleh pemerintah. Hal ini dapat dilihat dalam Article 6:214 Dutch Civil Code yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris yaitu: 248 1. If, with regard to a specific profession or economic sector, a Standard Regulation has been issued for agreements entered into by one of the parties in the course of his professional practice or business, then this agreement is not only subject to the rules of law, but also to the rules of that Standard Regulation. The particular types of agreements for which Standard Regulations may be issued and the profession or economic sector which may fall under the scope of such Regulations, shall be selected by Order in Council. 2. A Standard Regulation shall be made, amended and repealed by a commission that is to be appointed by the Ministry of Justice. Additional rules will be set by law with regard to the way how these commissions must be formed and their working method. 3. The making, amendment or withdrawal of a Standard Regulation cannot become effective before it has been approved by the Crown and before it has been published, with approval of the Crown, in the Dutch Government Gazette. 4. A Standard Regulation may derogate from rules of law as far as a derogation from these rules would as well be allowed under an agreement between private parties, whether or not subject to specific formal requirements. The previous sentence does not apply when a statutory provision implies otherwise. 5. Parties may in their agreement derogate from the rules of a Standard Regulation. The Standard Regulation may, however, indicate that such a derogation must meet specific formal requirements. Ada perbedaan antara pengawasan kontrak baku di Belanda berdasarkan Article 6:214 Dutch Civil Code jika dibandingkan dengan pengawasan kontrak baku 248
Dutch Civil Code, “Dutch Civil Code”, http://dutchcivillaw.com/legislation/dcctitle6655.htm#232, diakses tanggal 19 Desember 2013.
Universitas Sumatera Utara
oleh BPSK di Indonesia. Di Belanda berdasarkan Article 6:214 Dutch Civil Code, setiap kontrak baku harus diseleksi oleh Order in Council terlebih dahulu. Kemudian kontrak baku yang dibuat itu diubah dan dicabut oleh suatu komisi yang ditunjuk Departemen Kehakiman sesuai dengan aturan tambahan mengenai bagaimana cara komisi ini dibentuk dan cara kerjanya. Selain itu pembuatan, perubahan, dan penolakan kontrak baku harus disetujui oleh Raja/Ratu sebelum diterbitkan dalam Berita Negara dengan persetujuan Raja/Ratu. Kemudian, suatu kontrak baku dapat dikesampingkan dari aturan hukum dan itu dibolehkan dalam kontrak-kontrak oleh pihak swasta kecuali undang-undang menyiratkan sebaliknya. Para pihak mungkin akan mengesampingkan kontrak baku tetapi pengesampingan tersebut harus tunduk pada persyaratan formal tertentu. Hal ini berarti bahwa pengawasan terhadap kontrak baku di Belanda dilakukan sebelum terjadinya sengkata para pihak dalam kontrak baku sedangkan di Indonesia, pengawasan terhadap pencatuman klausula baku dilakukan bila ada pengaduan dari konsumen mengenai adanya pelanggaran dalam pencantuman klausula baku. Namun, Indonesia tidak mungkin mengikuti pengawasan kontrak baku seperti di Belanda mengingat jumlah penduduk Indonesia menurut Badan
Universitas Sumatera Utara
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) diestimasi akan mencapai 250.000.000. (dua ratus lima puluh juta) jiwa pada tahun 2013. 249 Memperbandingkan jumlah penduduk di Belanda yang pada tahun 2013 diestimasi akan mencapai 16.805.037 (enam belas juta delapan ratus lima ribu tiga puluh tujuh) jiwa masih jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah penduduk Indonesia. 250 Demikian dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia dan jumlah transaksi kontrak baku di Indonesia tidak memungkinkan bagi Indonesia untuk melakukan pengawasan satu per satu kontrak baku mulai dari proses perancangan hingga pelaksanaan kontrak baku jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan jumlah transaksi kontrak baku di Belanda. BPSK memang telah diresmikan dengan adanya Keputusan Presiden No. 90 tahun 2001 tentang Pembentukan BPSK di berbagai kota besar di Indonesia yang terakhir diikuti dengan Keputusan Presiden No. 22 tahun 2013 tentang pembentukan BPSK di Kabupaten Sumedang, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Donggala, Kabupaten Belitung Timur, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Ogan Ilir, Kota Pali, dan Kota Kotambagu. 251
249
Fitri Syahrifah, “BKKBN: Tahun Ini Penduduk Indonesia Capai 250 Juta Jiwa”, http://health.liputan6.com/read/521272/bkkbn-tahun-ini-penduduk-indonesia-capai-250-juta-jiwa, diakses tanggal 20 Desember 2013. 250 Index Mundi, “Netherland Demographic Profile.”, http://www.indexmundi.com/netherlands/demographics_profile.html, diakses tanggal 20 Desember 2013. 251 Keputusan Presiden No. 90 tahun 2001 tentang Pembentukan BPSK di Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makassar jo Keputusan Presiden No. 22 tahun
Universitas Sumatera Utara
Namun, pengawasan terhadap kontrak baku dalam hal ini oleh BPSK juga mengalami kendala karena BPSK sendiri menurut Susanti Adi Nugroho di dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya menghdapai berbagai kendala yaitu: 252 a. b. c. d. e.
Kendala kelembagaan; Kendala pendanaan; Kendala sumber daya manusia; Kendala peraturan; Kendala pembinaan, pengawasan, dan minimya koordinasi antar aparat penanggung jawab; f. Kurangnya sosialisasi dan kesadaran hukum konsumen; g. Kurangnya respon dan pemahaman dari badan peradilan terhadap kebijakan perlindungan konsumen; h. Kurangnya respon masyarakat terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan lembaga BPSK. Menurut Aman Sinaga, pada umumnya BPSK mengalami kendala dana operasional dan SDM sehingga kinerjanya kurang optimal. 253 Selain itu, meskipun BPSK telah dibentuk di berbagai kota di Indonesia, masalah SDM tetap menjadi masalah di mana Shidarta mempertanyakan adanya orang-orang yang berkompeten di bidang perlindungan konsumen di setiap wilayah Daerah Tingkat II. 254 Kemudian kewenangan BPSK sangat terbatas. Lingkup sengketa yang berhak ditangani oleh BPSK hanya mencakup pelanggaran Pasal 19 ayat (2), Pasal
2013 tentang pembentukan BPSK di Kabupaten Sumedang, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Donggala, Kabupaten Belitung Timur, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Ogan Ilir, Kota Pali, dan Kota Kotambagu. 252 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Kencana, 2011), hal 210-236. 253 Harian Analisa, “BPSK Belum Optimal Lindungi Konsumen.”, http://www.analisadaily.com/mobile/pages/news/71223/bpsk-belum-optimal-lindungi-konsumen, diakses tanggal 20 Desember 2013. 254 Shidarta, Op.cit, hal 180.
Universitas Sumatera Utara
20, Pasal 25, dan Pasal 26 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 255 Sanksi yang diberikan hanya berupa sanksi administratif yang telah mendapat pengaruh dari sistem Common Law sehingga dapat berupa ganti rugi seperti yang diatur dalam Pasal 61 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelanggaran terhadap pasal-pasal lain yang bernuansa pidana sepenuhnya menjadi kewenangan pengadilan termasuk pelanggaran pancantuman klausula baku sekalipun pengawasan terhadap pencantuman klasula baku ini adalah bagian dari tugas BPSK. 256 Dengan demikian, pada prinsipnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk membuat kontrak baku yang memuat klausula baku atas setiap perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/atau jasa, selama dan sepanjang klausula baku tidak mencantumkan ketentuan yang dilarang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 257
255
Ibid. Ibid. 257 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia, 2003), hal 57. 256
Universitas Sumatera Utara
6.
Klausula Syarat Batal Sebagai Salah Satu Klausula Eksonerasi dan Perlindungan Konsumen. Klausula eksonorasi adalah suatu klausula dalam perjanjian dan karenanya
disepakati atau paling tidak dianggap disepakati oleh para pihak di mana ditetapkan adanya pembebasan atau pembatasan tanggung jawab tertentu yang secara normal menurut hukum seharusnya menjadi tanggung jawabnya. 258 Sutan Remy Sjahdeini menggolongkan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata jika terjadi events of default sebagai salah satu klausula baku yang memberatkan nasabah atau konsumen. 259 Sebagai perbandingan dengan Hukum Perancis, melalui klausula seperti ini, kreditur dapat secara sepihak mengakhiri kontrak dalam kasus kontrak yang tidak dapat dilaksanakan (non-performance). Tentunya hakim akan campur tangan jika muncul sengketa, tetapi kewenangannya dibatasi, ketika berdasarkan Pasal 1184 Civil Code, hakim yang secara nyata mengakui pengakhiran kontrak (termination of contract), hanya dapat memperingatkan akan hal ini. Penolakan dari hakim ini akan membolehkan kreditur untuk membebaskan diri secepatnya, maka ia dapat membuat ikatan yang baru dengan pihak-pihak lain dan membatasi kerugian/kehilangannya (loss). Yves-Marie Laithier menambahkan untuk meningkatkan pelaksanaan kontrak, klausula syarat batal membolehkan kreditur untuk mengakhiri kontrak untuk tidak dapat terlaksananya kontrak (non-performance) dari kewajiban dan tidak murni untuk 258
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku II,Op.cit, hal 119. Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 72. 259
Universitas Sumatera Utara
wanprestasi tertentu. Dengan kata lain, klausula syarat batal tidak hanya menunjukkan sifat yudisial dari pengakhiran kontrak (termination) dalam hukum Perancis, ini juga berarti memperluas ruang lingkup pengakhiran kontrak (termination), yang menjelaskan bagaimana klausula seperti ini bisa hadir dalam negara-negara di mana pengakhiran kontrak (termination) adalah pemulihan secara sepihak (unilateral remedy). Keuntungan inilah yang menjelaskan bagaimana klausula syarat batal secara perlahan berkembang menjadi klausula baku (standard clause). 260 Andreanto Mahardika dalam tesisnya menggolongkan klausula syarat batal sebagai klausula eksonerasi dalam kontrak baku. Hal ini terlihat dari pembahasannya tentang perjanjian jual beli perumahan dalam bentuk kontrak baku berklausula eksonerasi ditinjau dari hukum perjanjian yang dilihat dari salah satu seginya adalah pembatalan sepihak dalam perjanjian pengikatan jual beli. 261 Dari hasil penelitian Anderanto Mahardika, 2 (dua) pengembang yaitu PT Multi Reka Realty dan PT Bumi Cempaka Asri di dalam isi kontraknya memuat klausula syarat batal jika pihak pembeli perumahan lalai membayar angsuran harga tanah dan bangunan berikut denda-denda dan biaya-biaya lain. Hasil penelitian Anderanto Mahardika juga menyimpulkan keterangan 2 (dua) pembeli perumahan
260
Yves-Marie Laithier, “Comparative Reflections on the French Law of Remedies for Breach of Contract”,di dalam Nili Cohen & Ewan McKendrick (ed), Comparative Remedies for Breach of Contract, (Oxford: Hart Publishing, 2005), hal 118. 261 Andreanto Mahardika, Penerapan Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Baku Pengikatan Jual Beli Perumahan Di Kota Denpasar Propinsi Bali, (Semarang: Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, 2010), hal 65-70.
Universitas Sumatera Utara
yang menyatakan keberatan dengan syarat pembatalan secara sepihak pengembang sewenang-wenang membatalkan perjanjian tanpa melalui pengadian secara sepihak dan menjual rumah kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan pembeli perumahan. 262 Persyaratan-persyaratan untuk membatalkan secara sepihak dalam perjanjian timbal balik yang ditetapkan oleh pengembang dianggap bertentangan dengan Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata. Syarat pembatalan sepihak yang dibuat pengembang bertentangan dengan Pasal 1266 KUH Perdata jo 1267 KUHPerdata di mana hal ini pun dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya No. 244 K/Sip/1973 tanggal 24 September 1973 telah memutuskan tentang penarikan kembali suatu perjanjian bahwa suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. 263 Namun tidak semua kontrak baku adalah klausula eksonerasi. Jika melihat pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, klausula baku dan klausula eksonerasi berbeda. Artinya klausula baku adalah klausula yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah kepada klausula eksonerasi. 264 Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, klausula baku yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 8
262
Ibid, hal 67-68. Ibid, hal 68-70. 264 Shidarta, Op.cit, hal 151. 263
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah ketentuan yang merupakan unsur aksidentalia dalam tiap-tiap kontrak. 265 Namun klausula syarat bukan termasuk klausula baku yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal ini dikarenakan jika dari unsur kontrak, klausula syarat batal termasuk unsur naturalia dari suatu kontrak. Ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata di mana menurut Pasal 1266 KUH Perdata, syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Di mana unsur dari kontrak ini bersifat mengatur yang termuat dalam ketentuan perundang-undangan. Para pihak bebas untuk mengaturnya sendiri bahkan karena ketentuan tidak bersifat memaksa, bebas untuk menyimpanginya. 266 Klausula pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata lebih diperuntukkan pada nilai kepraktisannya. Klausula pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dianggap jalan singkat yang sesuai dengan tuntutan efisien dan kepastian hukum pelaku bisnis. 267 Menurut Sutan Remy Sjahdeini, klausula syarat batal ini merupakan klausula yang penting bagi perlindungan kepentingan pelaku usaha seperti bank karena pelaku usaha dalam hal ini akan sangat enggan untuk memberikan kredit jika 265
Kartini Muljadi et al, Seri Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Op.cit,
hal 90. 266
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op.cit, hal 70. 267 Dwi Agus Prianto, Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Standar Pengikatan Jual beli Kavling PT. Waskita Karya Cabang Sarana Papan Berdasarkan Asas-Asas Perjanjian, (Jakarta: Tesis, Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010), hal 56.
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan pembatalan kontrak hanya dapat terjadi berdasarkan putusan pengadilan atau melalui proses litigasi yang panjang dan lama. 268 Sebagai perbandingan menurut P.S. Atiyah dan Stephen A. Smith, pengecualian untuk kasus yang diatur oleh klausula yang tidak adil dalam Consumer Contracts Regulations 1999, klasula syarat batal pada prinsipnya sah secara sempurna. Di mana dalam kasus Director General of Fair Trading vs First National Bank plc, ada klasula yang mengkhususkan pembayarn sejumlah bunga yang diikuti dengan sanksi berupa pembatalan kontrak. Pemikiran dibalik keputusan ini adalah konsumen mengharapkan pelaksanaan kontraknya dan sedikit memperhatikan provisi ketika apa yang terjadi bila kosnumen gagal melaksanakan kontrak. Bahkan jika konsumen memperhatikan, signifikansi penuh dari provisi itu juga sulit untuk siapapun tetapi bagi ahli hukum yang terlatih akan memperhatikannya. Tetapi jika klasula tentang harga dikecualikan dari pengawasan undang-undang, konsumen tidak bisa diabaikan sepenuhnya dalam praktek. Jika pengadilan diberikan akses untuk menetapan klausula mana dalam keadaan keterlambatan pembayaran cicilan, konsumen diharuskan membayar sejumlah uang untuk kerugian karena keterlambatan pembayaran. Klausula denda (penal clause) sering diyakini sebagai contoh yang jelas dari klausula yang tidak adil, tetapi jika kompensasi dalam bentuk harga yang lebih rendah diberikan dalam pengembalian untuk klausula denda (penal clause), itu mungkin lebih adil walaupun itu akan menjadi kejutan. Banyak konsumen lebih
268
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 72.
Universitas Sumatera Utara
senang untuk menerima provisi dalam pertukaran untuk pengurangan harga secara signifikan. 269 Namun dari sisi perlindungan hak-hak pembeli, pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata rentan terhadap terjadinya pelanggaran hak-hak pembeli oleh pengembang dengan mengatasnamakan melaksanakan ketentuan perjanjian. 270 Klausula ini dapat disalahgunakan untuk menekan debitur bila debitur tidak melakukan kewajiban maka kreditur dapat melakukan sita terhadap objek kontrak dengan membayar denda. Menurut P.S. Atiyah dan Stephen A. Smith, klausula syarat batal ini menjadi rentan sejak para pihak dapat dan sering melakukan permintaan hak untuk membatalkan bahkan untuk pembatalan hal yang paling sepele sekalipun dan pemutusan kontrak dapat mapan secara normal tanpa pembuktian kesalahan. 271 Maka dalam hal pencantuman klasula syarat batal sebagai salah satu klausula baku, perlindungan konsumen menurut Pasal 1349 KUH Perdata telah secara umum diatur sebagai pelaksanaan asas contra proferentum di mana jika terjadi keraguan atau perdebatan terhadap penafsiran dari kontrak maka penafsiran akan diberikan untuk keuntungan dari pihak nasabah atau konsumen. Artinya pihak yang melakukan perancangan awal terhadap kontrak tercetak dianggap lebih memahami seluruh ketentuan tersebut karena tata cara penerjemahan kata-kata yang digunakan
269
P.S. Atiyah & Stephen A. Smith, Atiyah’s Introduction to The Law of Contract. 6th Edition. (Oxford: Clarendon Press, 2006), hal 197 dan hal 320. 270 Dwi Agus Prianto, Op.cit, hal 56. 271 P.S. Atiyah et al, Op.cit, hal 197.
Universitas Sumatera Utara
dalam kontrak yang dirancang akan dilakukan secara berpihak pada keuntungan dari nasabah konsumen. 272 Asas ini hanya berlaku untuk kontrak baku bukan untuk kontrak biasa karena bila pihak debitur yang cedera janji menggunakan asas contra preferentum, maka debitur bisa menyalahgunakan asas ini untuk menghindari tanggungjawabnya. Peter Mahmud Marzuki menyarankan agar para pihak yang berkontrak dapat menyiapkan draf kontrak masing-masing, perlu menggunakan jasa pengacara, seyogianya sebuah kontrak selalu diawali dengan definisi sehingga mengelimir perbedaan penafsiran dikemudian hari; dan jeli serta cermat dalam merumuskan klausula-klausula dalam kontrak. 273 Demikian dapat diambil beberapa kesimpulan. Pertama, klausula syarat batal tidak mutlak merupakan klausula eksonerasi. Kedua, kreditur dapat membebaskan diri secepatnya melalui klausula syarat batal sehingga ia dapat membuat ikatan yang baru dengan pihak-pihak lain dan membatasi kerugiannya. Ketiga, klausula syarat batal lebih ditujukan untuk kepraktisan juga bukan merupakan klasula baku yang dilarang oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Jika dilihat dari Pasal 1266 KUH Perdata dan unsur kontraknya, klausula syarat batal termasuk unsur naturalia karena sifat pengaturan Pasal 1266 KUH Perdata yang bersifat terbuka sehingga apa yang diatur oleh undang-undang boleh disimpangi para
272
Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 185. Saam Fredy Marpaung, “Contra Preferentum”, saamfredymarpaung.wordpress.com/2012/01/31/ch-255-contra-proferentem/, diakses tanggal 30 Desember 2012. 273
Universitas Sumatera Utara
pihak. Begitu juga klausula syarat batal bukan termasuk klausula baku yang dilarang oleh undang-undang. Keempat, pihak konsumen dapat menggunakan penafsiran berdasarkan asas contra preferentum jika ada keraguan dalam menafsirkan khusus hanya untuk klasula baku syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata, bukan klausula kontrak biasa. Sebaiknya para pihak menyiapkan draf kontrak masing-masing dengan menggunakan konsultan hukum untuk mengelimir perbedaan penafsiran dikemudian hari.
C. Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap Klausula Baku dalam Sektor Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 274 Otoritas Jasa Keuangan berfungsi menyelenggarkan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. 275 Keberadaan OJK tidak bisa dilepaskan dari otoritas moneter dan otoritas fiskal. 276 Hal ini terkait dengan pembagian dua jesis pengaturan dan pengawasan bank yaitu pengawasan dalam macro-economic supervision dan prudential
274
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otorita Jasa Keuangan. Pasal 5 Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 276 Komang Darmawan, “Harapan Besar Pada OJK”, Investor, No. 231/XIV/September 2012, 275
hal 31.
Universitas Sumatera Utara
supervision. Pengaturan dan pengawasan bank dalam bentuk macro-economic supervision untuk mendorong bank-bank ikut menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter, sedangkan pengaturan dan pengawasan bank dalam bentuk prudential supervision untuk mendorong agar bank secara individual tetap sehat serta mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik. 277 Maka pengaturan dan pengawasan bank pindah ke OJK, sementara Bank Indonesia menjaga stabilitas keuangan dan sistem pembayaran. 278 Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. 279 Terhitung 1 Januari 2014, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjalankan fungsi pengawasan perbankan yang selama ini dijalankan oleh Bank Indonesia (BI). OJK telah lebih dulu mengambilalih pengawasan lembaga keuangan non bank sejak 1 Januari 2013. Jadi dengan pengambilalihan fungsi pengawasan perbankan oleh OJK, maka OJK memiliki wewenang yang meliputi kelembagaan bank mulai dari perizinan pendirian bank, dan pengaturan serta pengawasan mengenai kesehatan bank, manajemen risiko, bahkan pemeriksaan bank. 280
277
Bismar Nasution, “Aspek Hukum Peran Bank Sentral Dalam Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)”, disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) tentang Peran Bank Sentral Dalam Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia Padang, tanggal 28 Mei 2009, hal 13. 278 Komang Darmawan, Op.cit, hal 31. 279 Pasal 6 Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 280 Agustina Melani, “Menyambut Pengawasan Perbankan ke Tangan OJK Mulai 2014”, http://bisnis.liputan6.com/read/787594/menyambut-pengawasan-perbankan-ke-tangan-ojk-mulai-2014, diakses tanggal 6 Januari 2014.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, salah satu tujuan pembentukan OJK adalah melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 4 UndangUndang No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yaitu: 281 OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan c. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
OJK dalam rangka melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat kemudian menerbitkan Peraturan OJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan yang diundangkan pada tanggal 26 Juli 2013. Muliaman D. Hadad berpendapat bahwa Peraturan OJK ini mengandung 3 aspek utama yaitu: 282 a. peningkatan transparansi dan pengungkapan manfaat, risiko serta biaya atas produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK). b. tanggung jawab PUJK untuk melakukan penilaian kesesuaian produk dan/atau layanan dengan risiko yang dihadapi oleh konsumen keuangan. c. prosedur yang lebih sederhana dan kemudahan konsumen keuangan untuk menyampaikan pengaduan dan penyelesaian sengketa atas produk dan/atau layanan PUJK. Pasal 22 ayat (1) Peraturan OJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan mengatur perjanjian baku yang disusun oleh pelaku
281
Pasal 4 Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Dewi Rachmat Kusuma, “OJK Terbitkan Aturan Untuk Pertama Kalinya, Apa Isinya?”, http://finance.detik.com/read/2013/07/30/133946/2318894/5/ojk-terbitkan-aturan-untuk-pertamakalinya-apa-isinya, diakses tanggal 6 Januari 2014. 282
Universitas Sumatera Utara
jasa keuangan wajib disusun sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 283 Selain itu menurut Peraturan OJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, kontrak baku dapat ditawarkan oleh pelaku usaha jasa keuangan melalui media elektronik. 284 Pasal 22 ayat (3) Peraturan OJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan melarang klausula baku dalam sektor jasa keuangan yaitu: 285 Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen; b. menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli; c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundangundangan; d. mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen, bukan merupakan tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan; e. memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan; f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Pelaku Usaha
283
Pasal 22 ayat (1) Peraturan OJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan 284 Pasal 22 ayat (2) Peraturan OJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. 285 Pasal 22 ayat (3) Peraturan OJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Universitas Sumatera Utara
Jasa Keuangan dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya; dan/atau g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran.
Pasal 54 dan Pasal 56 Peraturan OJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan mengamanatkan kontrak baku yang dibuat oleh pelaku usaha jasa keuangan wajib menyesuaikannya dengan Pasal 22 Peraturan OJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan OJK yang berlaku efektif terhitung 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan. 286 Demkian dapat disimpulkan bahwa: a. Keberadaan OJK tidak lepas dari otoritas moneter dan otoritas fiskal yaitu pengawasan yang dilakukan oleh Bank Sentral dalam bentuk pengawasan macroeconomics supervision yang mendorong bank-bank ikut menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter sedangkan, pengaturan dan pengawasan bank dalam bentuk prudential supervision untuk mendorong agar bank secara individual tetap sehat serta mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik. b. OJK adalah lembaga independen yang bertugas melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa 286
Pasal 54 dan Pasal 56 Peraturan OJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Universitas Sumatera Utara
keuangan lainnya terhitung 1 Januari 2014, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di mana sebelumnya OJK telah lebih dulu mengambilalih pengawasan lembaga keuangan non bank sejak 1 Januari 2013 sesuai dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. c. Salah satu tujuan pembentukan OJK adalah melindungi kepentingan konsumen terutama untuk klausula baku dalam sektor jasa keuangan yang ditunjukkan OJK dengan menerbitkan Peraturan OJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Peraturan OJK ini mengatur tentang penawaran kontrak baku oleh pelaku usaha jasa keuangan melalui media elektronik, larangan klausula baku dalam kontrak baku sektor jasa keuangan dan penyesuaian kontrak baku yang harus dilakukan oleh pelaku usaha jasa keuangan sebelum berlakunya Peraturan OJK yang berlaku efektif terhitung 1 (satu) tahun sejak tanggal 26 Juli 2013 yaitu sejak tanggal Peraturan OJK ini diundangkan.
D. Kekuatan Mengikat Klausula Syarat Batal Dalam Kontrak Bisnis Yang Mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. 1.
Pembatalan Kontrak Bisnis Akibat Wanprestasi. Wanprestasi merupakan lembaga hukum yang memegang peranan penting
dalam hukum perdata karena mempunyai akibat hukum yang sangat penting yang biasanya dikaitkan dengan masalah pembatalan perjanjian atau ganti rugi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata jo Pasal 1266 dan 1267
Universitas Sumatera Utara
KUH Perdata. 287 Menurut R. Subekti, ada empat macam alasan seorang debitur wanprestasi yaitu: 288 a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan; c. Melakukan apa yang dijanjikannya tapi terlambat; d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh melakukannya. Pasal 1243 KUH Perdata mengatur sebagai berikut: 289 Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.
Dari ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata terdapat pengertian bahwa pihak yang menuntut ganti rugi mempunyai kewajiban untuk membuktikan bahwa mitra berkontraknya telah melakukan wanprestasi. Tata cara penentuan wanprestasi diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata yaitu, “Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. 290 Berdasarkan Pasal 1238 KUH Perdata, pembuktian telah terjadinya wanprestasi harus dilakukan dengan lembaga somasi. Secara teori, somasi untuk melunasi utang dilakukan melalui pengadilan yaitu exploit 287
J. Satrio, Wanprestasi Menurut KUH Perdata, Doktrin, dan Yurisprudensi, Op.cit, hal 21. R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit, hal 45. 289 Pasal 1243 KUH Perdata. 290 Pasal 1238 KUH Perdata. 288
Universitas Sumatera Utara
atau berita acara oleh juru sita pengadilan. Akan tetapi dalam prakteknya, somasi untuk membayar yang dilakukan sebagai dasar untuk membangun status wanprestasi. Penyampaian somasi oleh kreditur kepada debitur biasanya dilakukan melalui pengiriman somasi sebanyak tiga kali dan disampaikan untuk memenuhi kriteria status wanprestasi untuk mengambil langkah hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Pasal 1243 KUH Perdata, Pasal 1266 KUH Perdata, dan Pasal 1267 KUH Perdata. 291 Menurut Octavian Cazac dalam kaitannya dengan pembatalan kontrak akibat wanprestasi, harus dibedakan antara pembatalan di luar pengadilan (out of court termination) yang dinyatakan dengan somasi dan pembatalan melalui pengadilan (in court termination) yang diputuskan oleh oleh hakim berdasarkan pelaksanaan para pihak. 292 Pihak yang menuntut ganti rugi dapat mengajukan ganti rugi ke pengadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata yang memberikan hak kepada salah satu pihak karena wanprestasi untuk membatalkan kontrak di pengadilan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam kontrak, maka hakim di pengadilan leluasa menurut keadaan atas tuntutan tergugat untuk memberikan suatu jangka waktu kepada tergugat untuk kesempatan melaksanakan kewajibannya dalam jangka waktu tidak boleh lebih satu bulan.
291
Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 221-222. Octavian Cazac, “Toward A Comprehensive Concept Of Termination Of Contracts”, Moldovan Journal of International Law and International Relations, No. 3 (1982), hal 76. 292
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, debitur yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak namun wanprestasi, kreditur mempunyai hak menerima prestasi dapat memilih dan mengajukan tuntutan haknya di pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata yaitu: 293 a. Pelaksanaan kontrak; b. Pelaksanaan kontrak disertai dengan ganti rugi; c. Ganti rugi saja; d. Pemutusan kontrak; e. Pemutusan kontrak disertai dengan ganti rugi. Nilai ganti rugi yang dituntut hendaknya dapat diperhitungkan dan pasti nilainya. Pasal 1267 KUH Perdata berada dalam satu rangkaian dengan Pasal 1265 KUH Perdata dan Pasal 1266 KUH Perdata. Pasal 1266 ayat (1) KUH Perdata mengatur dalam perjanjian timbal balik, syarat batal dianggap selalu ada di dalamnya. Namun, apabila syarat batal itu terpenuhi, perikatan tidak batal sendirinya tetapi harus dimintakan pembatalannya kepada hakim. Jadi, untuk pembatalan perikatan di mana syarat batal terpenuhi, maka tidak diperlukan adanya somasi. Tidak terpenuhinya perikatan dalam Pasal 1267 KUH Perdata adalah sama dengan peristiwa dipenuhinya syarat batal sehingga untuk tuntutan pembatalan ke pengadilan tidak diperlukan somasi. 294 Karena pada asasnya gugatan ke pengadilan diterima sebagai suatu somasi di mana dalam gugatan yang diterima sebagai suatu somasi, kreditur memperingatkan
293 294
M. Syaiffudin, Op.cit, hal 344. J. Satrio, Wanprestasi Menurut KUH Perdata, Doktrin, dan Yurisprudensi, Op.cit, hal 63.
Universitas Sumatera Utara
debitur untuk berprestasi paling lambat pada suatu waktu tertentu dan sekaligus. Kalau tidak dipenuhi, kreditur menuntutnya di muka hakim. 295 Ketentuan tata cara terjadinya wanprestasi dapat diatur secara tegas oleh para pihak dalam kontrak sehingga pembuktian yang dilakukan berdasarkan kontrak yang disepakati. 296 Menurut J.H. Niewenhuis menegaskan bahwa dalam keadaan tertentu untuk membuktikan wanprestasi debitur tidak diperlukan somasi yaitu: 297 a. Untuk pemenuhan prestasi berlaku tenggang waktu yang fatal; b. Debitur menolak pemenuhan; c. Debitur mengakui kelalaiannya; d. Pemenuhan prestasi tidak mungkin; e. Pemenuhan tidak lagi berizin; f. Debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya. J. Satrio berpendapat somasi merupakan suatu peringatan agar debitur berprestasi dan karenanya bersifat konstitutif dengan konsekuensi kalau debitur tanpa alasan yang sah tetap tidak berprestasi, somasi menjadikan debitur dalam keadaan lalai/wanprestasi. 298 Jika dikaitkan dengan Pasal 1266 KUH Perdata, pembatalan tanpa melalui pengadilan dengan somasi merupakan bentuk pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata karena pembatalan kontrak tanpa melalui pengadilan melainkan dengan somasi atau pembatalan kontrak karena wanprestasi berdasarkan kontrak.
295
Ibid, hal 45. Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 220. 297 M. Syaiffudin, Op.cit, hal 341. 298 J. Satrio, Wanprestasi Menurut KUH Perdata, Doktrin, dan Yurisprudensi, Op.cit, hal 44. 296
Universitas Sumatera Utara
Dalam suatu somasi, kreditur harus memberikan waktu yang patut untuk memenuhi somasi yang lamanya tergantung dari keadaan. 299 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak tidak perlu diberikan somasi jika tindakan tersebut sudah memenuhi kriteria atau persyaratan yang ditentukan dalam klausula-klausula kontrak dalam hal ini adalah terlampaunya batasan waktu untuk melakukan suatu tindakan recovery atas pelanggaran yang ditentukan dengan klausula-klausula kontrak sehingga pihak yang dirugikan dapat secara langsung melakukan eksekusi atas objek kontrak. Ada pun akibat hukum dari pembatalan kontrak karena wanprestasi berdasarkan undang-undang atau demi hukum yaitu Pasal 1265 KUH Perdata yang mengatur syarat batal yang dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Setelah perikatan batal, segala sesuatu akan dikembalikan pada keadaan semula atau berlaku surut (ex tunc). 300 Jika debitur wanprestasi, perjanjian menjadi batal dan dapat diartikan batal sejak debitur wanprestasi dan dalam hubungannya dengan Pasal 1381 KUH Perdata di mana perikatan menjadi batal karena daya kerja
299
Ibid, hal 32. Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan: Buku Kedua, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010), hal 239. 300
Universitas Sumatera Utara
syarat batal. Kemudian adanya keputusan hakim mengenai hal itu, maka keputusan itu berlaku mundur sampai saat wanprestasi. 301 Y. Sogar Simamora mengatakan bahwa tidak tepat syarat dalam Pasal 1265 KUH Perdata tidak dipenuhi kontrak menjadi batal demi hukum dan jika syarat dalam Pasal 1266 KUH Perdata tidak dipenuhi maka kontrak dapat dibatalkan. Dalam sistem common law, kontrak yang batal demi hukum (void) dan kontrak yang dapat dibatalkan (voidable) terjadi karena tidak dipenuhinya syarat dalam pembuatan kontrak. Dengan demikian sama dengan sistem civil law. Hal yang diatur dalam Pasal 1266 KUH Perdata pada hakikatnya menyangkut situasi pelaksanaan di mana salah satu
pihak
melakukan
pelanggaran
terhadap
syarat
dalam
kontrak
yang
mengakibatkan breach of contract. Dalam hal demikian, pihak lain dapat melakukan pengakhiran (termination) jadi bukan pembatalan. 302 Hak untuk membatalkan kontrak (right to terminate performance of the contract) dikaitkan dengan pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata maka lebih tepat menggunakan istilah right to rescind dalam Bahasa Inggris. 303 Hal ini dikarenakan rescind menurut Black’s Law Dictionary berarti membatalkan kontrak berdasarkan kesepakatan. 304 Menurut Ewan McKendrick,
301
J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1999), hal
305. 302
Y. Sogar Simamora, Hukum Kontrak: Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia, (Surabaya: Laksbang Justitia, 2013), hal 288. 303 Ewan McKendrick, Contract Law, 9th Edition. (Basingstoke: Palgrave Macmillan ,2011), hal 327-328. 304 Bryan A. Garner ed, Black’s Law Dictionary, Op.cit, hal 1332..
Universitas Sumatera Utara
akibat hukum dari rescind bersifat prospektif atau ex nunc bukan ex tunc. 305 Artinya ketika pelaksanaan kontrak dibatalkan karena pembatalan, kewajiban untuk melaksanakan hanya dibatalkan untuk berlaku kemudian atau bersifat prospektif. Kontrak tidak dibuat untuk berakibat hukum ab initio atau batal demi hukum. 306 Demikian dari pembahasan pembatalan kontrak akibat wanprestasi dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, wanprestasi mempunyai peranan penting terutama jika dikaitkan dengan pembatalan kontrak. Kedua, untuk membuktikan seorang debitur wanprestasi harus ada somasi walaupun tidak semua wanprestasi debitur perlu dinyatakan dengan somasi. Ketiga, adanya perbedaan antara pembatalan kontrak antara pembatalan kontrak di luar pengadilan dengan somasi dan pembatalan kontrak melalui pengadilan dengan keputusan hakim. Keempat, adanya perbedaan akibat hukum antara pembatalan kontrak di luar pengadilan dengan somasi dan pembatalan kontrak melalui pengadilan dengan keputusan hakim di mana pembatalan kontrak di luar pengadilan dengan somasi mempunyai akibat hukum berlaku kemudian atau (ex nunc) dan pembatalan kontrak melalui pengadilan dengan keputusan hakim yang harus sesuai dengan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata mempunyai akibat hukum berlaku surut (ex tunc).
305 306
Ewan McKendrick, Contract Law, Op.cit, hal 327-328. Ibid, hal 334.
Universitas Sumatera Utara
2.
Syarat Batal Dalam Kontrak Timbal Balik. Ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata berasal dari ketentuan Pasal 1184 Civil
Code. Hal ini terlihat dalam Pasal 1184 Civil Code Prancis yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Inggris yaitu: 307 The terminating condition is always implied in bilateral contracts in ase one of the two parties does not perform agreement. In that case the contract is not terminated as a matter of right. The party in whose favor the agreement has not been performed has a choice either to force the other party to preform the contract when possible, or to demand termination with damages. Termination must be sought from the courts, and a delay may be granted the defendant, according to the circumtances. Ketentuan tersebut merupakan kombinasi ketentuan yang bersumber pada hukum Romawi, Kanonis, dan Perancis. 308 Dalam hukum Romawi, penjual wajib mengirim barang walaupun pembeli memutuskan kewajibannya untuk membayar, dan pembeli diingatkan untuk wajib membayar walaupun penjual tidak mengirimkan barang yang sudah dikonfirmasi. Untuk menghindari hasil yang tidak menguntungkan ini, penjual secara rutin memasukkan syarat batal yang disebut pacte atau lex commissoria yang mana membolehkan mereka untuk membatalkan penjualan jika pembeli tidak membayar tepat waktu. R. Pothier pun mengakui bahwa syarat batal Civil Code Prancis mempunyai kemiripan dengan lex commissoria Romawi ini. 309
307
Edward A. Tomlison, “Performance Obligations of the Aggrieved Contractant: The French Experience”. Loyola Los Angeles and Comparative Law Journal, Vol 12 No. 139 (1989), hal 160. 308 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan: Buku Kedua, Op.cit, hal 226. 309 Edward A. Tomlison, Op.cit, hal 177.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini dapat dilihat dari kutipan Reinhard Zimmerman tentang lex commissoria yang menjadi iron rule hukum Romawi dan maksud selalu dianggap ada yaitu: 310 If, in case of a synallagmatic contract, one party is in default in performing, the other party may give him a reasonable period within to preform and warn him of his intention to refuse to accept the performance after the expiration of the period. After the expiration of the period he is entitled to demand compensation for non performance in due time. . . If, in consequence of default, the performance of the ontract is of no use to other party, such the other party.
Demikian juga menurut Peter de Cruz, di dalam Pasal 1184 Civil Code terdapat hak kreditur untuk menarik kembali atas tidak terlaksananya kontrak di dalam kontrak dua sisi (synallagmatic). 311 Menurut Mara Ioan dan Hristache Trofin, defenisi-defenisi berbagai macam kontrak yang disebut synallagmatic selalu mengandung frasa “in exchange for”. 312 Janwillem Oosterhuis berpendapat bahwa Pasal 1184 Civil Code yang ditransplantasi ke dalam Wetboek Napoleon Belanda juga memberikan kepada kreditur dari perjanjian timbal balik (reciprocal) untuk memilih antara menuntut pelaksanaan nyata (actual performance) atau pembatalan (rescission) dengan ganti rugi (with damages). Paradoks yang nyata antara prinsip keseluruhan kewajiban untuk bertindak menyelesaikan ganti rugi atas tidak terlaksananya kontrak (nonperformance) oleh debitur (Pasal 1142) dan aturan bahwa kredtur dari perjanjian
310
Reinhard Zimmermann, The Law Of Obligations: Roman Foundation of The Civilian Tradition, (Oxford: Clarendon Press, 1996), hal 800. 311 Peter de Cruz, Perbandingan Sistem Hukum: Common Law, Civil Law dan Socialist Law. Diterjemahkan oleh Narulita Yusron. (Bandung: Nuansa Media & Diadit Media, 2010), hal 560. 312 Mara Ioan & Hristache Trofin, “Regulation of the Exception for Non-performance Under The New Civil Code”. Acta Universitatis Danubius Juridica, Vol. 8 No. 2 (2012), hal 112.
Universitas Sumatera Utara
timbal balik (reciprocal) dapat memilih antara pelaksanaan nyata (actual performance) dan ganti rugi (damages) atas kesalahan debitur (Pasal 1184) yang menjadi isu dalam praktek hukum dan doktrin di Belanda setelah pengundangan Burgeljik Wetboek tahun 1838. 313 Pasal 1142 Wetboek Napoleon dalam Burgeljik Wetboek tahun 1838 menjadi Pasal 1302 BW dan Pasal 1303 BW yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Janwillem Oosterhuis di mana sebagian setara dengan Pasal 1184 Code Civil yaitu sebagai berikut: 314 The condition subsequent is always implied in synallagmatic contracts, for the case where one of the two parties does not carry out his undertaking. In that case the contract is not avoided ipso jure, but avoidance must be placed in court. This apllication must also take place, even if the condition subsequent because of the non-performance is expressed in the contract. If the condition subsequent is not expressed in the contract, the judge is free, depending on the circumtances, to grant the defendant, at his request, a period of grace to perform his obligation after all, which period may however not exceed the time of one month. The party towards whom the undertaking has not fulfilled ha choice, when it is possible, either to compel the other to fullfil the agreement or to request its avoidance with compensation of damages.
Akan tetapi, pandangan Pothier tentang klausula syarat batal berbeda dari Hukum Romawi. Pothier pun menjelaskan bahwa: 315 In French practice it was customary to summon, through the sergeant, the creditor [i.e., the party from whom one is claiming a discharge] so that he may satisfy the condition with a frerral before the judge who will pronounce the nullity [i.e., the extinction] of the engagement if the creditor fails to satisfy the condition.
313
Janwillem Oosterhuis, Specific Performance in German, French, and Dutch Law in the Nineteenth Century: Remedies in an Age of Fundamental Rights and Industrialisation, (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2011), hal 205-206. 314 Ibid, hal 214. 315 Edward A. Tomlison, Op.cit, hal 177.
Universitas Sumatera Utara
Demikian, Pothier mensyaratkan campur tangan pengadilan untuk pembatalan
walaupun
klausula
syarat
batal
sudah
tercantum
dalam
lex
commissoria. 316 Dalam kenyataan ide campur tangan pengadilan dapat persoalan pembatalan kontrak dua sisi (synallagmatic contract) aslinya berasal dari Hukum Kanonis bukannya Hukum Romawi. Ahli hukum Kanonis menerangkan bahwa ikatan antara perikatan timbal balik (reciprocal) dalam kontrak dua sisi (synallagmatic contract) dan dapat diketahui peraturannya jika salah satu pihak gagal memegang janjinya, itu menghilangkan haknya untuk melaksanakan janji yang dibuat oleh pihak lain. 317 Menurut Rene Cassin, ahli hukum Kanonis tidak membiarkan salah satu pihak nantinya melepaskan dirinya dari janji yang tidak dipegang teguh olehnya, tetapi disyaratkan untuk meminta pembatalan dari pengadilan gereja. Gereja yang akan menilai apakah pembatalan pihak lainnya memberikan alasan pembenaran untuk tidak menepati janji kepada orang yang berjanji. 318 Hal ini sesuai dengan pendapat Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi bahwa rumusan Pasal 1266 KUH Perdata dibuat untuk melindungi kepentingan salah satu pihak dalam perikatan timbal balik. Dalam perikatan yang demikian, masingmasing pihak terikat untuk melaksanakan prestasi satu terhadap yang lain. Dapat terjadi bahwa prestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan timbal balik dilaksanakan terlebih dahulu dari prestasi pihak lainnya atau dengan kata lain prestasi yang saling bertimbal balik tersebut dapat terjadi tidak dilaksanakan secara 316
Ibid, hal 177. Octavian Cazac, Op.cit, hal 79. 318 Edward A. Tomlison, Op.cit, hal 181. 317
Universitas Sumatera Utara
bersamaan. Untuk itu, maka guna melindungi kepentingan pihak yang beritikad baik dalam kontrak timbal balik, maka KUH Perdata demi hukum menentukan bahwa syarat batal harus selalu dianggap ada. 319 Akan
tetapi
pembentuk
undang-undang
telah
memberikan
kepada
pengaturan syarat batal tersebut secara diam-diam yang hampir seluruhnya bertumpu pada fiksi. 320 Hal itu terlihat dari penjelesan Paul Scholten tentang Pasal 1266 KUH Perdata bahwa Pasal 1266 KUH Perdata telah dipakai untuk menentang pembatalan perjanjian dengan mempertahankan yang sudah lampau dengan memutuskan yang akan datang dengan menggunakan fiksi hukum karena para pihak walaupun tidak memperjanjikan bahkan tidak memikirkan tentang klasula syarat batal tetapi dianggap telah memikirkan dan bermaksud untuk memperjanjikan klausula syarat batal. 321 Fiksi hukum penting sekali untuk perkembangan hukum yang berguna menyelesaikan pertentangan tuntutan baru dengan sistem yang ada. 322 Namun fiksi hukum dikritik oleh Jeremy Bentham yang mengatakan bahwa, “fictions are to law what fraud to trade”. 323 Fiksi hukum memang sifatnya hanyalah khayalan karena
319
Gunawan Widjaja & Kartini Muljadi, Seri Hukum Perikatan: Hapusnya Perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal 204-205. 320 Gr. Van der Burght, Buku Tentang Perikatan Dalam Teori dan Yurisprudensi. Disadurkan oleh Freddy Tengker. Wila Chandrawila Supriadi (Ed). (Bandung: Mandar Maju, 2012), hal 145. 321 Paul Scholten, Mr. C. Asser Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda: Bagian Umum. Diterjemahkan oleh Siti Soemarti Hartono. Sudikno Mertokusumo (ed.). (Yogyakarta: Gadjah Mada Univerity Press, 1996), hal 72-73. 322 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum. Diterjemahkan oleh Oetarid Sadino. Cet. ke33. (Jakarta: Pradnya Paramita, 2009), hal 410. 323 Raymond Wacks, Understanding Jurisprudence: An Introduction to Legal Theory. 3rd Edition. (Oxford: Oxford University Press, 2012), hal 202.
Universitas Sumatera Utara
tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya. 324 Ini terlihat dari penjelasan Van der Burght bahwa kebanyakan para pihak yang akan mengadakan kontrak sama sekali tidak mengetahui adanya peluang mengandalkan syarat seperti itu ketika pembentuk undang-undang telah menggunakan fiksi hukum dengan mengatur syarat batal secara diam-diam. 325 Pengaturan Pasal 1266 KUH Perdata dapat dikategorikan sebagai unsur naturalia dari kontrak di mana syarat batal selalu dianggap dicantumkan itu dapat diartikan syarat batal secara diam-diam dicantumkan dalam kontrak baik diketahui oleh para pihak atau tidak. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri unsur naturalia karena unsur naturalia adalah unsur yang melekat pada perjanjian di mana unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian, secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan unsur yang melekat pada perjanjian. 326 Menurut Gunawan Widjaja, unsur naturalia ini dapat diatur secara berbeda oleh para pihak jika memang dikehendaki oleh mereka. 327 Selain itu, Reinhard Zimmermann berpendapat lex commisoria telah digantikan posisinya dalam praktek bisnis secara luas dengan perancangan berdasarkan oleh pengaturan yang oleh penjual (vendor) mempertahankan kepemilikan penjualan properti sampai pembeli telah membayar harga pembelian. 324
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2009), hal 5. 325 Gr. Van der Burght, Op.cit, hal 145. 326 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Edisi Revisi. (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2010), hal 154. 327 Gunawan Widjaja, “Hal-Hal Prinsip Dalam Pembuatan Kontrak Yang Sering Terlupakan Dan Akibat-Akibatnya”, Op.cit, hal 51.
Universitas Sumatera Utara
Lex commisoria telah digantikan reservation of title arrangement atau peranncangan kesepakatan hak retensi kreditur jika debitur tidak dapat membayar tepat waktu dan cara hak retensi yang lebih memuaskan telah memberikan posisi yang aman kepada kreditur dari lex commisoria. Lex commisoria dikonstruksikan lebih resolutif daripada kondisi yang menangguhkan dengan hasil kreditur diikat untuk pertukaran kepemilikan. Ini tidak akan dipermasalahkan sepanjang itu telah tidak bisa dipungkiri bahwa kepemilikan akan secara otomatis kembali kepadanya saat kesalahan pembeli untuk membayar tepat waktu. Kepemilikan tidak gugur secara otomatis tetapi menjadi ditukar kembali. Demikian lex commisoria secara luas dibatasi dalam arti memastikan kreditur yang melawan keadaan insolven dari debitur yang dapat berjalan terus. 328 Hal ini terlihat dalam Pasal 61 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang menentukan bahwa hak untuk menahan benda milik debitur (hak retensi) berlangsung sampai utangnya lunas. Hak kreditur yang mempunyai hak untuk menahan benda milik debitur (hak retensi) tidak kehilangan haknya karena adanya putusan pernyataan pailit. Hak retensi berlangsung sampai utangnya lunas. 329 Maka, kesimpulan yang dapat diambil. Pertama, syarat batal dalam kontrak timbal balik berasal dari ketentuan Hukum Romawi, Hukum Kanonis, dan Hukum Perancis. Hanya saja, perbedaan antara syarat batal dalam hukum Romawi dengan 328
Reinhard Zimmerman, Op.cit, hal 744-746. Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Edisi Baru. (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2010), hal 200. 329
Universitas Sumatera Utara
hukum Kanonis dan hukum Perancis adalah Hukum Kanonis dan hukum Perancis mensyaratkan campur tangan pengadilan. Kedua, ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata tentang syarat batal merupakan fiksi hukum yang digunakan untuk mencantumkan ketentuan ini secara diam-diam di mana para pihak tidak pernah mengetahui adanya peluang mengandalkan syarat batal. Syarat yang diperjanjikan dengan fiksi hukum tidaklah
mengikat
karena
harus
adanya
kehendak
para
pihak
untuk
memperjanjikannya. Pihak yang membuat janji tidak dapat diikat oleh janjinya yang bersifat fiksi. Para pihak juga dapat mengecualikan daya kerja kebendaan dan daya berlaku surutnya karena ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata bersifat melengkapi (aanvulend recht). Ketiga, syarat batal menurut konsep lex commisoria sudah digantikan fungsinya dengan hak retensi yaitu hak untuk menahan benda milik debitur dalam praktek dunia bisnis modern.
3.
Pengecualian Dalam Pembatalan Kontrak Bisnis Karena Wanprestasi. Keadaan memaksa dicantumkan sebagai salah satu klausula dalam kontrak.
di mana klausula keadaan memaksa pada hakikatnya merupakan klausula yang membebaskan debitur untuk bertanggungjawab atas tidak dipenuhinya kewajiban yang ditentukan baginya. 330 Hukum Perdata Indonesia mengatur ketentuan tentang keadaan memaksa yang dapat membebaskan seorang debitur dari kewajiban untuk membayar ganti rugi
330
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 85.
Universitas Sumatera Utara
dengan tegas diatur dalam Pasal 1244 KUH Perdata dan Pasal 1245 KUH Perdata. Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan bahwa: 331 Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya. Pasal 1245 KUH Perdata menyebutkan bahwa: 332 Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya. Namun menurut Herlien Budiono, keadaan memaksa sebenarnya tidak perlu diperjanjikan seperti syarat batal. 333 Hal ini dikarenakan pembebasan tanggung jawab debitur menurut keadaan memaksa memang dibenarkan undang-undang. 334 Ada 5 (lima) unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa yaitu: 335 a. b. c. d. e.
Tidak terpenuhi prestasi karena di luar kesalahan atau kesengajaan debitur; Terdapat peristiwa yang menyebabkan objek yang diperjanjikan musnah; Peristiwa yang mendasari terjadinya keadaan memaksa tidak dapat diduga sebelumnya; Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur; Debitur tidak beritikad buruk.
331
Pasal 1244 KUH Perdata. Pasal 1245 KUH Perdata. 333 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op.cit, hal 198. 334 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 85. 335 Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa (SyaratSyarat Pembatalan Perjanjian yang Disebabkan Keadaan Memaksa/Force Majeure, (Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010), hal 41. 332
Universitas Sumatera Utara
Demikian juga dengan ruang lingkup halangan-halangan yang digolongkan dalam keadaan memaksa meliputi: 336 a. Keadaan memaksa karena keadaan alam yang disebabkan oleh keadaan alam yang tidak dapat diduga dan dihindari dari setiap orang karena sifat alamiah tanpa unsur kesengajaan seperti gempa bumi dan badai; b. Keadaan memaksa karena keadaan darurat yang ditimbulkan oleh situasi atau kondisi yang tidak wajar, keadaan khusus yang bersifat segera dan berlangsung dengan singkat tanpa diprediksi sebelumnya seperti ledakan dan terorisme; c. Keadaan memaksa karena keadaan ekonomi yang disebabkan oleh adanya situasi ekonomi yang berubah, ada kebijakan ekonomi tertentu, atau perubahan peraturan perundang-undangan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan tidak dapat dipenuhinya prestasi seperti timbulnya gejolak moneter yang menimbulkan kenaikan biaya bank; d. Keadaan memaksa karena kebijakan atau peraturan pemerintah yang disebabkan oleh suatu keadaan di mana terjadi perubahan kebijakan pemerintah atau hapau atau dikeluarkannya kebijakan yang baru dan berdampak pada kegiatan yang sedang berlangsung seperti larangan Pemerintah Daerah yang melarang masuknya objek perjanjian; e. Keadaan memaksa karena keadaan teknis yang tidak terduga yang disebabkan oleh peristiwa rusaknya atau berkurangnya fungsi peralatan teknis atau operasional yang berperan penting bagi proses produksi sutau perusahaan da hal tersebut tidak 336
Ibid, hal 41-42.
Universitas Sumatera Utara
diduga sebelumnya seperti tidak bekerjanya mesin yang berpengaruh besar pada kegiatan perusahaan. Keadaan memaksa terkait erat dengan resiko. Permasalahannya adalah siapa yang harus menanggung resiko dalam keadaan memaksa. 337 Pengaturan resiko dalam perjanjian timbal balik seperti kontrak bisnis di mana kedua belah pihak sama-sama berkewajiban memenuhi prestasi diatur dalam Pasal 1264 KUH Perdata dan Pasal 1444 KUH Perdata. Pasal 1264 KUH Perdata menyatakan bahwa: 338 Jika suatu perikatan tergantung pada suatu syarat yang ditunda, maka barang yang menjadi pokok perikatan tetap menjadi tanggungan debitur, yang hanya wajib menyerahkan barang itu bila syarat dipenuhi. Jika barang tersebut musnah seluruhnya di luar kesalahan debitur, maka baik bagi pihak yang satu maupun pihak yang lain, tidak ada lagi perikatan. Kemudian Pasal 1444 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa: 339 Jika barang tertentu yang menjadi pokok persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada, atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
Perkataan tanggungannya seperti yang disebutkan dalam Pasal 1264 KUH Perdata dapat ditafsirkan dengan resiko musnahnya barang yang menjadi pokok perjanjian bersyarat sebelum diserahkan karena belum terpenuhinya syarat perjanjian itu menjadi tanggungan pemilik barang dan apabila barang tersebut musnah karena keadaan memaksa, maka perjanjian yang pelaksanaannya masih menunggu 337
Siti Anisah, “Doktrin Keadaan Memaksa, Pengaturan, dan Perkembangannya”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 29 No. 2 (2010), hal 61. 338 Pasal 1264 KUH Perdata. 339 Pasal 1444 ayat (1) KUH Perdata.
Universitas Sumatera Utara
terpenuhinya syarat itu menjadi batal. Selanjutnya, Pasal 1444 ayat (1) KUH Perdata menentukan apabila suatu barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tidak dapat diperdagangkan, atau hilang karena keadaan memaksa maka perikatan diantara pihak-pihak yang membuat perjanjian tidak dapat menuntut sesuatu apapun antara satu terhadap yang lain. Dengan demikian pengaturan resiko dalam Pasal 1444 KUH Perdata sejalan dengan pengaturan resiko Pasal 1264 KUH Perdata yang samasama menentukan apabila suatu barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tidak dapat diperdagangkan, atau hilang karena keadaan memaksa maka resikonya ditanggung oleh pemilik dan perjanjiannya menjadi hapus. 340 Namun debitur yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak tidak bisa mendalilkan keadaan memaksa jika: 341 a. Debitur telah dalam keadaan lalai; b. Debitur dapat menduga akan terhambatnya pelaksanaan prestasi pada saat pembuatan kontrak; c. Debitur patut atau mengetahui bahwa ada cacat-cacat benda yang dapat menghambat pelaksanaan prestasinya pada saat pembuatan kontrak; d. Debitur patut atau mengetahui bahwa ada kesalahan yang dilakukan oleh orang lain yaitu pihak ketiga bukan kreditur atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi yang diikutsertakan dalam kontrak dan menghambat pelaksanaan prestasi.
340 341
Anita Kamilah, Op.cit, hal 95. M Syaifuddin, Op.cit, hal 360.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini, Pasal 1266 KUH Perdata menurut Herlien Budiono memberikan kewenangan kepada kreditur atas dasar wanprestasi untuk memilih pilihan pemenuhan prestasi atau penuntutan pembatalan disertai penggantian biaya, ganti rugi dan bunga dalam perjanjian timbal balik jika prestasi yang dilakukan oleh debitur tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan tanpa adanya alasan keadaan memaksa. 342 Berbeda dengan tidak dipenuhinya pelaksanaan prestasi karena wanprestasi, tidak dipenuhinya pelaksanaan prestasi karena keadaan memaksa bukan disebabkan oleh kelalaian debitur tetapi oleh suatu keadaan yang terjadi secara tiba-tiba yang menghalanginya untuk melaksanakan prestasi pada kreditur sehingga debitur tidak wajib menanggung kerugian yang diakibatkan karena keadaan memaksa sesuai dengan ketentuan Pasal 1244 KUH Perdata, Pasal 1245 KUH Perdata, dan Pasal 1444 KUH Perdata. 343 Ada pun menurut Siti Anisah, peristiwa yang dikategorikan keadaaan memaksa menimbulkan berbagai akibat hukum yaitu: 344 a. Kreditur tidak dapat lagi meminta pemenuhan prestasi; b. Debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi; c. Resiko tidak beralih kepada debitur;
342
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan: Buku Kedua, Op.cit, hal 228. 343 Anita Kamilah, Op.cit, hal 88. 344 Siti Anisah, Op.cit, hal 59.
Universitas Sumatera Utara
d. Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada perjanjian timbal balik. Dengan demikian, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari pembahasan tentang pengecualian syarat batal yaitu keadaan memaksa. Pertama, keadaan memaksa merupakan pengecualian syarat batal karena wanprestasi yang menjadi syarat terpenuhinya pembatalan kontrak tidak terjadi jika kelalaian dari pihak lawan adalah sebagai akibat dari keadaan memaksa. Kedua, debitur harus membuktikan dirinya telah memenuhi unsur, syarat, dan ruang lingkup keadaaan memaksa. Ketiga, resiko akibat keadaan memaksa ditanggung oleh pemilik barang atau kreditur karena apabila objek yang diperjanjikan musnah maka perikatan yang juga musnah. Keempat, pelaksanaan prestasi yang disebabkan oleh keadaan memaksa menghalanginya untuk melaksanakan prestasi pada kreditur sehingga debitur tidak wajib menanggung kerugian yang diakibatkan karena keadaan memaksa. Kelima, akibat hukum yang ditimbulkan oleh keadaan memaksa yaitu kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi, debitur tidak dapat dinyatakan lalai dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi; resiko tidak beralih kepada debitur, dan kreditur tidak dapat menuntut pembatalan kontrak.
Universitas Sumatera Utara
4.
Kekuatan Mengikat Klausula Syarat Batal Dalam Kontrak Bisnis Yang Mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Kekuatan mengikat klausula syarat batal dalam kontrak bisnis yang
mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata didasarkan atas asas pacta sund servanda. Pengesampingan Pasal Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata yang telah disepakati menjadi undang-undang bagi para pihak di mana prinsip ini sesuai dengan prinsip pacta sund servanda. Hal ini tercermin dari sistem terbuka yang dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menegaskan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 345 Selanjutnya, sifat pengaturan Pasal 1266 KUH Perdata di mana menurut Herlien Budiono berdasarkan keputusan Hoge Raad bahwa Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata bukan peraturan yang bersifat ketentuan memaksa. Artinya para pihak dapat mengesampingkannya. 346 Dalam perspektif hukum perikatan, pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata masih menimbulkan perbedaan penafsiran menyangkut sifat dari ketentuan ini yaitu sifat melengkapi (aanvulend recht) dan sifat memaksa (dwinged recht). Pada umumnya dipahami dengan penafsiran gramatikal, kata harus dan wajib menindikasikan ketentuan bersifat dwingend recht. Maka, Pasal 1266 KUH Perdata bersifat dwingend recht dan tidak dapat disimpangi karenanya. Jika dilihat dari daya 345
A. Wangsawidjaja Z, Op.cit, hal 136. Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan: Buku Kedua, Op.cit, hal 229. 346
Universitas Sumatera Utara
berlakunya, Pasal 1266 KUH Perdata harus dinilai dwingend recht karena syarat batal dalam pasal ini tergolong syarat batal relatif dan bukan syarat batal mutlak seperti ketentuan Pasal 1265 KUH Perdata. Perbedaannya terletak pada momen terjadinya kebatalan. 347 Pada syarat batal mutlak, jika syarat terpenuhi maka dengan sendirinya perikatan batal, sedangkan pada syarat batal relatif, sekalipun syarat terpenuhi perikatan tidak otomatis batal melainkan harus dimintakan kepada hakim. 348 Menurut Y. Sogar Simamora, istilah syarat memutus paling tepat karena dalam perikatan bersyarat, perikatan sudah terjadi demikian juga pelaksanaannya sehingga situasi tidak terpenuhinya syarat dalam tahap pelaksanaan kontrak bukan menunjuk pada syarat batal dalam pembuatan kontrak yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Kemudian dalam kontrak timbal balik jika salah satu wanprestasi, syarat memutus merupakan syarat yang berlaku dengan sendirinya karena hukum. Dengan demikian yang membuat perikatan itu putus adalah karena adanya wanprestasi dan bukan putusan hakim. Para pihak dapat mengesampingkan perantaraan hakim dalam kontrak. Pasal 1266 KUH Perdata yang mensyaratkan pemutusan melalui pengadilan untuk melindungi pihak yang merasa dirugikan karena kontrak diputus secara sepihak tidak tepat karena dari segi pendekatan ekonomi, hal ini dinilai sebagai pemikiran yang tidak sejalan dengan prinsip efisiensi. Keputusan pengadilan bukanlah sebuah keharusan jika dikehendaki demikian karena pada umunya pemutusan sepihak dilakukan jika pihak lawan tidak melaksanakan 347
Y. Sogar Simamora, Hukum Kontrak: Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia, Op.cit, hal 285-287. 348 Hardijan Rusli, Op.cit, hal 124-125.
Universitas Sumatera Utara
kewajiban yang fundamental. Pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata merupakan suatu kezaliman karena dinilai sebagai kebutuhan. Oleh karena itu, sekalipun Pasal 1266 KUH Perdata tampak merupakan bersifat memaksa (dwingend recht), tetapi pengesampingan dalam kontrak dapat dinilai sebagai syarat yang biasa diperjanjikan oleh para pihak dan secara yuridis harus dianggap mengikat. 349 Menurut Mara Ioan dan Hristache Trofin, hal ini dikarenakan kerikatan secara timbal balik dapat diartikan merupakan sumber yang sama untuk kontrak dan saling ketergantungan para pihak yang terkandung dalam keterikatan perikatan diantara para pihak yang berkontrak yang mengatur akibat hukum dari perbuatan untuk perikatan dari pihak lain. 350 Dalam pengertian yang demikian lahirnya norma hukum ini didasarkan pada hubungan para pihak yang bersifat horizontal. Dalam konteks ini kesederajatan dan kesepakatan menjadi penting. Norma hukum yang lahir dari perjanjian hanya mengikat para pihak yang membuatnya. Pihak ketiga di luar perjanjian sama sekali tidak terikat. Di Indonesia hal ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan bahwa “setiap persetujuan yang dibuat secara sah akan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”. 351
349
Y. Sogar Simamora, Hukum Kontrak: Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia, Op.cit, hal 288-290. 350 Mara Ioan et al, Op.cit, hal 112. 351 Hikmahanto Juwana, “Penghormatan terhadap Kontrak Bisnis”, Makalah yang disampaikan pada Seminar “The Enforceability of Business Contracts”, diselenggarakan oleh Partnership for Business Competition, 13 Juni 2002, hal 2.
Universitas Sumatera Utara
Menurut L.J. van Apeldoorn, ada analogi tertentu antara kontrak dengan undang-undang. Hingga batas tertentu para pihak yang berkontrak bertindak sebagai pembentuk undang-undang (legislator swasta). Kontrak mempunyai daya berlaku terbatas pada para pihak yang membuatnya, selain itu dengan kontrak para pihak bermaksud untuk melakukan perbuatan konkret. 352 M. Isnaeni berpendapat kekuatan mengikat mempunyai daya kerja sebatas para pihak yang membuatnya. Hal ini menunjukkan bahwa hak yang lahir merupakan hak perorangan dan bersifat relatif. 353 Dalam hal ini, pihak ketiga seperti hakim harus menghormati isi kontrak karena para pihak yang membuat kontrak mempunyai keyakinan bahwa apa yang diperjanjikan dijamin pelaksanaannya termasuk tidak boleh dicampuri oleh pihak ketiga ataupun hakim karena jabatannya. 354 Hal ini yang menjadi dasar para pihak untuk menyepakati pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata di mana pengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata yang telah disepakati dianggap sebagai undang-undang bagi para pihak dan tidak boleh dicampuri oleh pihak ketiga yaitu hakim. Selain itu, pengaturan Pasal 1266 KUH Perdata merupakan unsur naturalia jika dilihat dari sifatnya karena aturan dianggap ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Bagian dari perjanjian ini bersifat mengatur yang berarti bahwa para pihak bebas untuk mengaturnya sendiri bahkan
352
L.J. van Apeldoorn, Op.cit, hal 155-156. M. Isnaeni, Hipotek Pesawat Udara di Indonesia, (Surabaya: Darma Muda, 1996), hal 32. 354 H.R. Daeng Naja, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis: Contract Drafting, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hal 11-12. 353
Universitas Sumatera Utara
ketentuan tersebut tidak bersifat memaksa, bebas untuk menyimpanginya. Sebaliknya jika para pihak tidak mengaturnya sendiri di dalam perjanjian, ketentuan perundangundangan tentang perjanjian tersebut akan berlaku. 355 Selain itu Pasal 1266 KUH Perdata tergolong juga hukum pelengkap (aanvullend recht), jadi dengan demikian pada prinsipnya para pihak dapat mengecualikan daya kerja kebendaan dan daya berlaku surutnya. 356 Dalam
praktek
diterima
pandangan
bahwa
apabila
para
pihak
memperjanjikan pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata maka pembatalan tanpa perlu perantaraan keputusan hakim karena pembatalan akan batal tanpa perantaraan hakim dalam hal terjadi wanprestasi. Karena itu tetap terbuka peluang bagi para pihak untuk mengesampingkan Pasal 1266 ayat (2), (3), dan (4) KUH Perdata. Maka para pihak harus menyatakan secara tegas bahwa hak yang dimiliki para pihak berdasarkan ketentuan pasal tersebut secara tegas telah dilepaskan. 357 Artinya perubahan dan pengakhiran kontrak hanya dimungkinkan sebagai kekecualian jika sesuai dengan kondisi kontrak atau jika jelas kondisi tersebut disebutkan secara eksplisit dengan dianutnya asas pacta sund servanda di mana kontrak setiap waktu dapat diubah atau diakhiri atas persetujuan para pihak. 358 355
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op.cit, hal 101. 356 Gr. Van der Burght, Op.cit, hal 145. 357 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan: Buku Kedua, Op.cit, hal 229. 358 Herlien Budiono, “Asas Keseimbangan dalam Perspektif Unidroit Principles”,di dalam Elly Erawaty, Bayu Seto Hardjowahono, & Ida Susanti (ed), Beberapa Pemikiran Tentang
Universitas Sumatera Utara
Para pihak yang mengikatkan diri untuk mengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata yang dibuat dalam kontrak itu seharusnya mentaati dan memenuhi apa yang telah disepakatinya. Menurut Herlien Budiono, hal ini dikarenakan orang yang terikat pada kesepakatan-kesepakatan yang dibuatnya di dalam dan melalui kontrak seyogianya menaati dan memenuhi apa yang telah disepakatinya. 359 Selain itu kepercayaan antara para pihak menjadi elemen penting dalam kekuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Menurut H.C.F. Schoordijk, kekuatan mengikat kontrak harus dicari dalam kepercayaan yang dimunculkan pada pihak lawan. Suatu kontrak bukan hanya pernyataan-pernyataan baik yang mengungkap kehendak para pihak maupun melalui kehendak itu sendiri. Terbentuknya kontrak bergantung pada kepercayaan atau pengharapan yang muncul pada pihak lawan sebagai akibat pernyataan dari yang diungkapkan. 360 Menurut Solene Rowan, ketentuan tentang kontrak yang hanya boleh dibatalkan oleh pengadilan hanya dapat dikesampingkan oleh kegunaan klausula syarat batal yang patut. Klausula ini dilaksanakan dengan cara tidak mengharuskan
Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia: Liber Amicorum untuk Prof.Dr.CFG. Sunaryati Hartono, S.H., (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011), hal 311. 359 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia: Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Op.cit, hal 374. 360 Elly Erawati & Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, (Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010), hal 67.
Universitas Sumatera Utara
pihak yang dirugikan untuk meminta kepada pengadilan untuk memberikan putusan pengakiran kontrak. Ia dapat mengakhiri (terminate) secepatnya. 361 Jika muncul sengketa, kewenangan pengadilan dibatasi. Pengadilan tidak dapat berbuat daripada memastikan apakah kondisi-kondisi untuk hak pihak yang dirugikan untuk mengakhiri kontrak telah terpenuhi. Kondisi seperti ini mengecualikan klausula yang menyatakan sebaliknya, Pengakhiran hanya dapat mempunyai arti setelah pelaksanaan peringatan untuk melaksanakan kontrak dari kreditur di mana hal ini dapat mengurangi arti dari klausula syarat batal. Peringatan harus disertai dengan mengingatkan kembali klausula syarat batal dalam klausula yang jelas. 362 Kemudian, untuk membatasi kebutuhan akan kewenangan pengadilan, klausula syarat batal dapat memperluas hak untuk mengakhiri (right of termination). Mereka melakukannya oleh pemberian bahwa hak tersebut dapat dilaksanakan terhadap wanprestasi yang tidak diyakini sebagai wanprestasi yang serius. Ini juga termasuk pihak yang dirugikan dapat mengakhiri kontrak walaupun wanprestasi ini relatif minor. Sebagai perbandingan dengan hukum Prancis di mana penafsiran klausula syarat batal yang luas, pengadilan Prancis meminta hak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik (good faith). 363
361
Solene Rowan, Remedies For Breach of Contract: A Comparative Analysis of The Protection of Performance, (Oxford: Oxford University Press, 2012), hal 84. 362 Ibid. 363 Ibid, hal 84-85.
Universitas Sumatera Utara
Namun pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata hanya mengikat jika pihak kreditur yang mempunyai hak untuk minta agar kontrak dibatalkan itu tidak wanprestasi. Jika kreditur sendiri wanprestasi maka ia sendiri telah kehilangan hak untuk mengajukan pembatalan yang dikenal exceptio non adimpleti contractus. Ajaran exceptio non adimpleti contractus berkaitan dengan ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata di mana pihak yang dalam kontrak timbal balik telah melakukan wanprestasi tidak berhak untuk menuntut pihak lawannya agar memenuhi kewajibannya, dia berhak menolak dengan exceptio non adimpleti contractus. 364 Itikad buruk kreditur mengacaukan daya kerja klausula syarat batal jika ia berlindung dibaliknya ketika ia secara sebagian atau keseluruhan dipersalahkan atas wanprestasi atau lebih luas ketika ia tidak mempermudah pelaksanaan kontrak. Penilaian pengadilan terhadap kewajaran pengakhiran (termination) merupakan sesuatu yang secara diam-diam dimaksukkan dalam hal ini, sebagai tambahan menelaah
kembali
kondisi-kondisi
hukum
dibutuhkan
untuk
pengakhiran
(termination). 365 Walaupun
dalam
suatu
kontrak
telah
secara
tegas
disepakati
pengesampingan dari kewenangan pengadilan dalam memutuskan tindakan wanprestasi dan kewenangan pengadilan untuk membatalkan kontrak sebagai akibat dari tindakan wanprestasi tersebut, apabila dalam penerapannya pihak yang 364
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan: Buku Kedua, Op.cit, hal 232-233. 365 Yves-Marie Laithier, Op.cit, hal 120.
Universitas Sumatera Utara
dinyatakan wanprestasi menolak tuduhan tersebut dan tidak dapat menerima tindakan pembatalan sepihak yang dilakukan oleh mitra berkontraknya maka pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dalam kontrak yang disepakati demi hukum tidak berlaku. Pengadilan Negeri tetap berwenang untuk memeriksa dan memutuskan setiap sengketa yang timbul dalam kontrak karena berdasarkan undang-undang adalah untuk memeriksa dan memutuskan bukan untuk sekedar menegaskan isi perikatan dari para pihak berkontrak. 366 Inilah sebabnya Yves-Marie Lathier berpendapat pengadilan maha hadir (omnipresent) dengan ungkapan “sent out by the door, it come back through window”. 367 Pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata hanya akan efektif bila para pihak yang berkontrak menyepakati pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata secara sukarela, penuh kesadaran, serta secara konsekuen tunduk pada akibat pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata serta tidak membawa permasalahan dari pembatalan kontrak ke pengadilan sehingga tidak menimbulkan penolakan ketika pembatalan atau penghentian kontrak oleh pihak lainnya dalam kontrak apalagi sampai pengajuan gugatan ke pengadilan. Sepanjang pihak yang merasa dirugikan mengajukan gugatan ke pengadilan maka fakta kesepakatan pengesampingan Pasal
366 367
Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 234-235. Yves-Marie Laithier, Op.cit, hal 120.
Universitas Sumatera Utara
1266 KUH Perdata menjadi tidak efektif untuk melarang pengadilan memeriksa dan memutuskan perkara. 368 Pengakhiran dalam bentuk pembatalan (rescission) didefinisikan berakibat hukum kemudian (ex nunc) dari keberlanjutan kontrak dapat dianaliasa dalam dua perspektif: 369 a. Sama dengan standar pengakhiran kontrak kecuali ini diaplikasikan untuk melanjutkan kontrak; b. Pengakhiran digunakan dalam penghormatan pelepasan dari melanjutkan kontrak oleh cara pernyataan secara sepihak oleh salah satu pihak yang dijamin oleh hukum maupun klausula.
Maka,
pengakhiran
kontrak
dengan
klausula
syarat
batal
yang
mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata itu berakibat hukum kemudian (ex nunc). J. Satrio berpendapat pada pengakhiran ex nunc, semua perikatan yang telah ada sebelum pengakhiran tetap mengikat tetapi untuk selanjutnya sejak pembatalan, ia tidak melahirkan perikatan-perikatan baru. 370 Maka dapat dikatakan bahwa pengaturan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata bersifat mengatur karena pengaturan Buku III KUH Perdata bersifat mengatur (aanvullend) juga Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata merupakan unsur naturalia dari kontrak bisnis di mana unsur naturalia bukanlah unsur yang wajib ada di dalam kontrak bisnis sekalipun telah diatur dalam undang-undang. Jadi, eksistensi Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata bukanlah unsur yang wajib ada 368
Ricardo Simanjuntak, Op.cit, hal 239. Octavian Cazac, Op.cit, hal 89. 370 J. Satrio, Hukum Perikatan Tentang Hapusnya Perikatan: Bagian I, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), hal 4. 369
Universitas Sumatera Utara
dalam kontrak bisnis sehingga para pihak boleh mengesampingkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata berdasarkan asas pacta sund servanda yang tercakup dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Selain itu, pengaturan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata menggunakan fiksi hukum di mana para pihak belum tentu mengetahui penggunaan syarat batal tersebut. Para pihak boleh mengesampingkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata sesuai dengan kesepakatan para pihak mengenai klausula yang mengesampingkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata. Kesepakatan untuk mengesampingkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata harus dilaksanakan dengan itikad baik. Jika dalam pelaksanaannya ada pihak yang beritikad tidak baik, maka kewenangan pengadilan diam-diam dimasukkan untuk menelaah kondisikondisi mengenai pengakhiran kontrak bisnis. Misalnya jika ada pihak yang menggunakan klausula Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata untuk memperkaya diri sendiri (legal enrichment) maka pengadilan dalam hal ini berwenang untuk menilai pengakhiran kontrak untuk menjaga keseimbangan posisi tawar para pihak dan melindungi pihak yang dirugikan. Demikian pembahasan ini dapat diperoleh beberapa kesimpulan: a. Klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata merupakan unsur naturalia dari kontrak yang selalu dianggap dicantumkan secara diam-diam dan dapat disepakati secara berbeda oleh para pihak.
Universitas Sumatera Utara
b. Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat melengkapi karena merupakan bagian dari Buku III KUH Perdata yang bersifat melengkapi walaupun ada perbedaan penafsiran dari segi efisiensi, sifat pengaturan, dan istilah pengaturan. c. Para pihak bebas untuk menyepakati pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata yang didasarkan pada asas pacta sund servanda di mana pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata yang telah disepakati berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak bahkan hakim sebagai pihak ketiga tidak boleh mencampurinya. d. Mengikatnya pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata berlaku efektif jika pihak yang menuntut pembatalan sendiri tidak wanprestasi atau tidak beritikad buruk dan pihak yang lain tidak mengajukan exceptio non adimpleti contractus. e. Akibat hukum klausula syarat batal pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan Pasal 1267 KUH Perdata bukan berakibat batal demi hukum atau dapat dibatalkan tetapi berakibat hukum kemudian (ex nunc) yang berakibat perikatan yang ada tetap mengikat tetapi sejak pengakhiran, ia tidak melahirkan perikatan baru.
Universitas Sumatera Utara