BAB II PEMBERIAN PEMBIAYAAN DAN OBJEK JAMINAN BANK YANG DIATUR DALAM KUH PERDATA
A. Pengertian Pembiayaan dan Jaminan 1. Pengertian pembiayaan Pada dasarnya Bank Syariah memiliki fungsi yang tidak jauh berbeda dengan bank konvensional yaitu menghimpun dana dari masyarakat yang kemudian selanjutnya menyalurkanya kembali kepada masyarakat atau yang lebih dikenal dengan fungsi Intermediary. Dalam prektiknya bank syariah menyalurkan dana yang diperolehnya dari masyarakat dalam bentuk pembiayaan, baik itu pembiayaan modal usaha maupun itu pembiayaan konsumtif. Pembiayaan itu sendiri menurut M. Syafii Antonio adalah pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan pihakpihak defisit unit atau dalam artian pihak-pihak yang sedang membutuhkan modal untuk memenuhi kebutuhan tertentu. 18 Menurut Muhammad bahwa pembiayaan dala artian luas diartikan sebagai pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan baik dilakukan sendiri maupun dijalankan oleh orang lain. 19 Selanjutnya menurut Kasmir pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk 18
M. Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, hlm. 160 19 Muhammad, Op.Cit.,, hlm.261
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. 20 Berdasarkan beberapa pengertian yang telah diuraikan oleh beberapa ahli tersebut, maka dapat disimpullan bahwa pembiayaan adalah pemberian fasilitas penyediaan dana untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, dan didasarkan atas kesepakatan antara pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai itu untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. 2. Pengertian jaminan Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu Zakerheid, atau Cautie. Zakerheid atau Cautie mencakup secara umum cara-cara kreditor menjamin dipenuhinya tagihannya, di samping pertanggung jawaban umum debitor terhadap barang-barangnya. Selain dikenal istilah jaminan, dikenal juga istilah Agunan, dimana isrtilah agunan ini dapat dilihat di dalam Pasal 1 Angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dikatakan bahwa jaminan tambahan diserahkan nasabah debitor kepada bank dalam rangka mendapatkan fisilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Jika dilihat ketentuan mengenai aguan dalam Pasal 1 Angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tersebut, maka agunan itu merupakan jaminan tambahan (accesoir), yang tujuanya adalah untuk mendapatkan fasilitas kredit ataupun pembiayaan dari bank. 21 Menurut Pasal 1 Angka 26 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, memberikan pengertian bahwa agunan adalah jaminan 20
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm.96 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 21 21
tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak diserahkan oleh pemilik agunan kepada bank syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban nasabah penerima fasilitas. Menurut M. Bahsan bahwa ia menggunakan istilah jaminan, dimana menurutnya jaminan adalah segala sesuatu yang diterima oleh kreditor dan diserahkan debitor untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat. Selanjutnya adapun yang menjadi alasan M. Bahsan menggunakan istilah jaminan adalah sebagai berikut: 22 a. Telah lazim digunakan dalam bidang ilmu hukum dalam hal ini berkaitan dengan penyebutan-penyebutan, seperti hukum jaminan, lembaga jaminan, jaminan kebendaan, dan sebagainya; b. Telah digunakan dalam beberapa perturan perundang-undangan tentang lembaga jaminan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, dan Undang-Undang Jaminan Fidusia. Menurut hukum Islam sendiri yang berkaitan dengan jaminan utang, dikenal ada dua istilah, yaitu: 23
a. Kafalah Kafalah adalah mempersatukan tanggung jawab dengan tanggung jawab lainnya dalam hal tuntutan secara mutlak, baik berkaitan dengan jiwa, utang, materi, maupun pekerjaan. Pengertian lain dari kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
22
M. Bahsan, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rejeki Agung, Jakarta, 2002, hlm.148 23 Wangsawidjaja, Op.Cit.,hlm.295
Sebagaimana halnya suatu perjanjian, yang baru sah setelah memenuhi syaratsyarat objektif dan subjektif, begitu pula dalam akad penanggung (kafalah), juga terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Rukun kafalah ada empat, yaitu: 1) Adanya pihak penjamin/penanggung (kafil); 2) Adanya pihak yang berutang (makful ‘anhul’ashil); 3) Adanya pihak yang berpiutang (makful lahu); dan 4) Adanya objek yang ditanggung (makful bih). Para ulama fikih sendiri mengemukakan beberapa syarat-syarat kafalah sesuai rukun kafalah itu sendiri, yaitu: 1) Pihak penjamin/penanggung (kafil) 2) pihak yang berutang (makful ‘anhul’ashil) 3) Pihak yang berpiutang (makful lahu) 4) Objek tanggungan (makful bih) b. Rahn Menurut Sayyid Sabiq, rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut ajaran Islam sebagai jaminan utang, hingga orang yang bersangkutan dapat mengambil piutang atau mengambil sebagian manfaat barang itu. Rahn yang biasanya diterjemahkan sebagai gadai, mempunyai pengertian yang lebih luas daripada gadai berdasarkan ketentuan Pasal 1150 KUH Perdata, yang hanya meliputi barang bergerak.Rahn di sini meliputi barang jaminan/agunan berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak, sehingga pengertian rahn sama dengan pengertian gadai dalam hukum adat. Adapun Pasal 1150 KUH Perdata berbunyi sebagai berikut:
“gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak , yang diserahkan kepadanya oleh debitur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain, dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu diserahkan sebagai gadai dan yang harus didahulukan”. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam praktik perbankan syariah pengertian rahn adalah agunan.Namun, ada juga rahn sebagai produk bank syariah. Menurut jumhur ulama, rukun rahn ada lima: 1) Rahim (orang yang menggadaikan) 2) Murtahin (orang menerima gadai) 3) Marhun/Rahn (objek/barang gadai) 4) Marhun Bih (utang) dan 5) Sighat (ijab kabul). Para ulama fiqih mengemukakan syarat-syarat ar-rahn sesuai dengan rukun ar-rahn itu sendiri, yaitu: 1) Para pihak dalam pembiayaan rahn (rahin dan murtahin). 2) Adanya kesepakatan (sighat) atau ijab Kabul 3) Marhun bih (utang)
B. Jenis-jenis Pembiayaan dan Jaminan dalam KUH Perdata 1. Jenis-jenis pembiayaan
Penyaluran dana yang dilakukan oleh bank syariah kepada nasabah secara garis besar terbagi ke dalam empat kategori yang dibedakan berdasarkan jenis akad pembiayaan, yaitu: a. Pembiayaan dengan prinsip jual-beli dalam bentuk piutang, yang terbagi lagi berdasarkan akad Murabahah, Salam, dan Istishna’. 24 1) Pembiayaan atas dasar akad Murabahah Pembiayaan dengan akad murabahah adalah transaksi jual beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati oleh para pihak, dimana penjual menginformasikan terlebih dahulu kepada pembeli. Adapun mekanisme dalam pembiayaan dengan akad Murabahah ini antara lain: a) Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam kegiatan transaksi Murabahah dengan nasabah; b) Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya; c) Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan yang di pesan nasabah, dan; d) Bank dapat memberikan potongan dalam besaran yang wajar dengan tanpa diperjanjikan di muka. 2) Pembiayaan atas dasar akad salam Pembiayaan dengan akad salamadalah transaksi jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran secara tunai terlebih dahulu secara penuh. Adapun mekanisme dalam pembiayaan dengan akad salam ini antara lain:
24
Muhammad, Op.Cit., hlm.49-50
a) Bank bertindak baik dengan pihak penyedia dana dalam kegiatan transaksi salam dengan nasabah; b) Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar salam; c) Penyediaan dana oleh bank kepada nasabah harus dilakukan di muka secara penuh yaitu pembayaran segera setelah pembiayaan atas dasar akad salam disepakati atau paling lambat 7(Tujuh) hari setelah pembiayaan atas dasar akad salam disepakati; d) Pembayaran oleh bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang nasabah kepda bank atau dalam bentuk piutang bank. 3)
Pembiayaan atas dasar akad istishna’
Pembiayaan dengan akad istishna’ adalah transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan. Adapun mekanisme dengan pembiayaan dengan akad istishna’ini antara lain: a) Bank bertindak baik sebagai pihak penyedia dana dalam kegiatan transaksi istishna’ dengan nasabah; dan b) Pembayaran oleh bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang nasabah kepada bank atau dalam bentuk piuatng bank. a. Pembiayaan dengan prinsip sewa menyewa, yang terbagi dalam bentuk Ijarah atau sewa beli dalam bentuk Ijarah Muntahiya Bittamilk. 25
25
Wangsawidjaja, Op.Cit.,hlm.213
1) Pembiayaan dengan akad ijarah Pembiayan dengan akad ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan/atau jasa antara pemilik objek sewa untuk kepemilikan hak pakai atau objek sewa dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan. Adapun mekanisme pembiayaan berdasarkan akad ijarah antara lain: a) Bank bertindak sebagai penyedia dana dalam kegiatan transaksi ijarah dengan nasabah; b) Pengembalian atas penyediaan dana bank oleh nasabah dapat dilakukan baik dengan angsuran maupun sekaligus; c) Pengembalian atas penyediaan dana bank tersebut tidak dapat dilakukan dalam bentuk piutang maupun dalam bentuk pembebasan utang 2) Pembiayaan dengan akad ijarah muntahiya bittamilk Pembiayaan dengan akad ijarah muntahiya bittamilk adalah transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakanya dengan opsi pemindahan hak milik objek sewa. Mekanisme pembiayaan dengan akad ijarah muntahiya bittamilk adalah bahwa bank selain sebagai penyedia dana dalam kegiatan transaksi ijarah dengan nasabah, bank juga bertindak sebagai pemberi janji (wa’ad) antara lain untuk memberikan opsi pengalihan hak penguasaan objek sewa kepada nasabah sesuai kesepakatan. b. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil yang terbagi dalam bentuk Mudharabah dan Musharakah; 1) Pembiayaan dengan akad Mudharabah
Pembiayaan dengan akad Mudharabah adalah akad kerja sama dalam suatu usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (malik, shahib al-aml, Lembaga Keuangan Syariah(LKS)) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (amil, mudarib, nasabah) bertindak selaku pengelolah, dan keuntungan usaha dibagi diantara mereka sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Akad mudharabah itu sendiri terbagi ke dalam 2 jenis yaitu: 26 a) Al-mudaharabah al-muqayyadah (resticted mudharabah) Disebut al-mudharabah al-muqayyadah atau mudharabah yang terbatas apabila rabb-ul mal menentukan bahwa mudarib hanya boleh berbisnis dalam bidang tertentu. Berarti mudarib hanya boleh menginvestasikan uang rabb-ul mal pada bisnis di bidang tersebut dan tidak boleh pada bisnis di bidang yang lain; b) Al-mudharabah al-muthalaqah ( Unrestricted mudharabah) Disebut al-mudharabah al-muthalaqah atau mudharabah yang mutlak atau tidak terbatas apabila rabb-ul mal menyerahkan sepenuhnya kepada pertimbangan mudharib untuk ke dalam bidang bisnis apa uang rabb-ul mal akan ditanamkan. Selanjutnya adapun mekanisme pembiayaan berdasarkan akad mudharabah ini antara lain: 27 a) Bank bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang menyediakan dana dengan fungsi sebagai modal kerja, dan nasabah bertindak sebagai pengelolah dana (mudharib) dalam kegiatan usahanya; b) Bank memiliki hak dalam pengawaan dan pembinaan usaha nasabah walaupun tidak ikut serta dalam pengelolahan usaha nasabah, antara 26
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hlm.294-296 Muhammad, Op.Cit.,hlm. 41-42
27
lain bank dapat melakukan review dan meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggung jawabkan; c) Perjanjian atau nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak; d) Jangka waktu pembiayaan atas dasar akad mudharabah pengembalian dana dan pembagian hasil usaha ditentukan atas dasar kesepakatan bank dengan nasabah; e) Pembiayaan atas dasar akad mudharabah diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan; f) Pengembalian pembiayaan atas dasar akad mudharabah dilakukan dalam dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode akad, sesuai dengan jangka waktu pembiayaan; g) Kerugian usaha nasabah pengelolah dana mudharib, yang dapat ditanggung oleh bank selaku pemilik dana ( Shahibul maal) adalah maksimal sebesar jumlah pembiayaan yang diberikan(ra’sul maal). 2) Pembiayaan berdasarkan akad musharakah Pembiayaan berdasarkan akad musharakah adalah transaksi penanaman dana dari dua atau lebih pemilik dana dan/atau barang untuk menjalankan usaha tertentu sesuai syariah dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang disepakati, sedangkan pembagian kerugian berdasarkan
proporsi modal masing-masing. Adapun mekanisme pembiayaan berdasarkan akad musharakah antara lain: 28 a) Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu; b) Nasabah bertindak sebagai pengelolah usaha dan bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolahan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati seperti melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil usahayang dibuat oleh nasabah; c) Pembagian hasil usaha dari pengelolahan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati; d) Nisbah yang diespakti tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi; e) Jangka
waktu
pembiayaan
atas
dasar
akad
musharakah,
pengembalian dana dan pembagian hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan antara bank dan nasabah. c. Pembiayaan dengan prinsip pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh Pembiayaan berdasarkan akad qardh adalah transaksi pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban bahwa pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus ataupun cicilan dalam jangka waktu tertentu. Adapun mekanisme pembiayaan berdasarkan akad qardh antara lain: 29
28
Wangsawidjaja, Op.Cit. hlm.196 Ibid., hlm.222-223
29
1) Bank bertindak sebagai penyedia dana untuk memberikan pinjaman (qardh) kepada nasabah berdasarkan kesepakatan; 2) Bank dilarang dengan alasan apapun untuk meminta pengembalian pinjaman melebihi jumlah nominal yang sesuai akad; 3) Bank juga dilarang membebankan biaya apapun atas penyaluran pembiayaan atas dasar qardh, kecuali biaya administrasi dalam batas kewajaran; 4) Pengembalian jumlah pembiayaan atas dasar qardh harus dilakukan oleh nasabah pada waktu yang telah disepakati; 5) Dalam hal nasabah digolongkan mampu, namun tidak mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibanya pada waktu yang telah disepakati, maka bank dapat memberikan sanksi sesuai syariah dalam rangka pembinaan nasabah. Selain dibedakan berdasarkan jenis akad pembiayaan yang diberikan, jenis-jenis pembiayaan juga dapat dibedakan berdasarkan sifat pembiayaanya, dimana adapun jenis pembiayaanya antara lain: 1. Pembiayaan produktif Yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha baik itu usaha produksi perdagangan, maupun investasi 2. Pembiayaan konsumtif Yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang umumnya dibutuhkan oleh perorangan
c)
Jenis-jenis jaminan dalam pembiayaan
Penyaluran dana berdasarkan prinsip syariah oleh bank syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) mengandung resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasanya sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank syariah dan UUS, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah. 30 Berdasarkan Pasal 37 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tersebut maka untuk mengamankan dana yang disalurkan oleh bank syariah tersebut maka diperlukan jaminan atau agunan yang memiliki nilai ekonomis yang dapat di eksekusi guna
mengantisipasi apabila nasabah
wanprestasi. Jaminan sendiri dalam praktiknya dapat dibedakan ke dalam 2 (dua) bentuk yaitu : 31 1. Jaminan Materiil (Kebendaan) Jaminan ini memberikan ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan. Adapun bentuk-bentuk jaminan kebendaan ini antara lain: a. Gadai (Pand), yang diatur dalam Bab 20 Buku ke II Kitab Undang-undang Hukum Perdata; b. Hypoteek, yang diatur dalam Bab 21 Buku ke II Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
30
Ibid., hlm.290 Salim HS, Op.Cit., hlm.23
31
c. Credietverband, yang diatur dalam Staatblaad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah dirubah dengan Staatblaad 1937 Nomor 190; d. Hak Tanggungan, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996; e. Jaminan Fidusia, sebagaimana yang diatur Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999. 2. Jaminan Immateriil (Perorangan) Jaminan ini berbeda dengan jaminan kebendaan, dimana pada jaminan ini tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan. Adapun bentuk-bentuk jaminan perorangan ini antara lain: a. Penanggung (Borg), adalah orang lain yang dapat ditagih; b. Tanggung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng; dan c. Perjanjian garansi
C. Prosedur pemberian pembiayaan Prosedur pemberian pembiayaan pada bank syariah sama dengan prosedur pemberian kredir pada bank konvensional, dimana pada mulanya pihak nasabah mengajukan permohonan kepada bank syariah, dimana pengajuan permohonan pembiayaan tersebut dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh nasabah. Adapun isi yang harus disebutkan dalam surat permohonan tersebut antara lain: 32 1. Jumlah maksimum pembiayaan yang diperlukan;
32
Wangsawidjaja, Op.Cit.,hlm.104
2. Tujuan penggunanaan fasilitas pembiayaan (dimana tujuan ini nantinya akan menentukan jenis pembiayaan yang diberikan). 3. Jaminan atau Agunan pembiayaan Selain diajukan permohonan tertulis juga dipersyaratkan adanya data pendukung lain yang tak kalah penting antara lain: 33 1. Anggaran dasar atau akta pendirian perusahaan berikut perubahanya; 2. Susunan pengurus dan komisaris; 3. Izin-izin dari instansi yang berwenang; 4. Data financial, data pemasaran, dan data produksi dari perusahaan calon nasabah. Permohonan tertulis dari calon nasabah berikut data pendukung tersebut di atas, merupakan bahan penilaian yang akan dilakukan oleh petugas bank secara seksama sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 23 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Setelah diajukan permohonan tertulis kepada pihak bank, maka tahap selanjutnya adalah dilakukan penyelidikan terhadap berkas pinjaman yang bertujuan untuk mengetahui apakah berkas yang diajukan sudah lengkap sesuai persyaratan dan sudah benar. Jika menurut pihak bank belum lengkap maka nasabah diminta untuk segera melengkapinya dan apabila sampai batas tertentu nasabah tidak sanggup untuk melengkapinya maka permohonan kredit dapat dibatalkan. 34 Apabila sudah dilakukan penyelidikan terhadap berkas nasabah maka tahap selanjutnya adalah tahap wawancara I (pertama), dimana tahap ini merupakan tahap penyidikan kepada calon nasabah, untuk menyakinkan apakah berkas33
Ibid., hlm.104-105 Kasmir, Op.Cit.,hlm.117
34
berkas tersebut sesuai dan lengkap seperti dengan bank yang inginkan. Wawancara ini juga untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan nasabah yang sebenarnya. 35 Setelah dilakukan wawancara I (pertama) maka tahap selanjutnya adalah tahap On The Spot dimana tahap ini merupakan pemeriksaan ke lapangan dengan meninjau berbagai objek yang akan dijadikan usaha atau jaminan. Kemudian hasil On The Spot dicocokan dengan hasil wawancara I (pertama). 36 Selanjutnya setelah dilakukan tahap On The Spot maka tahap selanjutnya dilakukan wawancara II (kedua) dimana kegiatan ini merupakan kegiatan perbaikan berkas, jika mungkin ada kekurangan-kekurangan pada saat setelah dilakukan tahap On The Spot. Catatan yang ada pada permohonan dan pada saat wawancara I (pertama) dicocokan dengan pada saat On The Spot apakah ada kesesuaian dan mengandung suatu kebenaran. 37 Setalah berbagai tahap dilalui maka selanjutnya masuk kepada tahap terakhir yaitu tahap penerbitan surat keputusan pembiayaan, dimana jika bank menyetujui untuk memberikan pembiayaan maka surat keputusan penerbitan pembiayaan memuat materi antara lain: 38 a.
Jenis pembiayaan yang diberikan;
b. Tujuan penggunaan pembiayaan; c. Maksimum pembiayaan yang disetujui; d. Jangka waktu fasilitas pembiayaan; e. Besarnya imbalan; 35
Ibid.,hlm.117 Ibid.,hlm.118 37 Ibid., hlm.118 38 Wangsawidjaja, Op.Cit.,hlm.110 36
f. Bagi hasil; g. Tarif denda atas keterlambatan pembayaran pembiayaan dan angsuran pembiayaan; h. Jenis agunan yang diberikan kepada berikut cara pengikatanya dan besarnya jumlah pengikatan; i. Kewajiban nasabah penerima fasilitas untuk menutup asuransi atas barangbarang agunan yang insurable, dengan syarat bankers clause pada perusahaan syariah. Persetujuan bank atas permohonan pembiayaan yang diajukan oleh calon nasabah penerima fasilitas yang dimuat dalam surat keputusan pembiayaan masih bersifat penawaran (offering letter) dari bank kepada calon nasabah penerima fasilitas yang bersangkutan. Karena itu, surat keputusan pembiayaan ini belum mengikat bank dan calon nasabah penerima bersangkutan. 39 Apabila calon nasabah penerima fasilitas menyetujui syarat-syarat yang ditawarkan oleh bank sebagaimana tercantum dalam surat keputusan pembiayaan, maka calon nasabah penerima fasilitas mengembalikan kopi surat keputusan pembiayaan setelah ditandatangani oleh yang bersangkutan di atas materai secukupnya sebagai tanda persetujuan. Selanjutnya setalah itu maka masuk pada tahap
pengikatan
jaminan
pembiayaan,
yang
dimana
pelaksanaan
penandatanganan akta pengikatan jaminan sebagai perjanjian ikutan terhadap perjanjian pokok yaitu akad pembiayaan, dilakukan bersamaan pada saat penandatanganan
akad
pembiayaan.
Dimana
penandatanganan
perjanjian
pengikatan jaminan tersebut paling lambat harus dilakukan sebelum pencairan
39
Ibid.,hlm.110
pembiayaan dilakukan. Apabila penandatanganan perjanjian jaminan mendahului akad pembiayaan maka dikhawatirkan akan menimbulkan cacat yuridis dan dapat menjadi potensial problem dikemudian hari. Namun apabila pengikatan agunan belum dilaksanakan pada saat pencairan fasilitas pembiayaan, maka fasilitas pembiayaan tersebut tidak aman (unsecured financing). 40 Setalah seluruh tahapan pemberian pembiayaan sudah dilalui sampai pada tahap pencairan pembiayaan, maka agar dana pembiayaan yang sudah disalurkan menjadi tepat sasaran, maka perlu adanya pengawasan terhadap aktivitas usaha dari nasabah penerima fasilitas oleh bank baik secara aktif seperti melakukan peninjauan setempat atas usaha nasabah penerima fasilitas pembiayaan, sedangkan pengawasan secara pasif misalnya menganalisis laporan keuangan, laporan stok barang dagangan dan laporan kegiatan usaha yang disampaikan oleh nasabah kepada bank. 41
D. Berakhirnya akad pembiayaan Jangka waktu berakhirnya akad pembiayaan adalah tenggang waktu berlakunya akad pembiayaan tersebut, yaitu sejak ditandatangani oleh bank dan nasabah penerima fasilitas sampai dengan dibayarnya seluruh outstanding pembiayaan nasabah beserta biaya-biaya yang timbul berdasarkan akad pembiayaan. Oleh karena itu, dengan dilunasinya seluruh outstanding kewajiban nasabah tersebut, maka berakhir pula perikatan antara bank dengan nasabah yang bersangkutan. Namun apabila kewajiban nasabah kepada bank belum dilunasi seluruhnya, maka
40
Ibid., hlm.113 Ibid., hlm113
41
akad pembiayaan tersebut masih tetap berlaku dan menjadi dasar hukum bagi bank untuk menuntut haknya kepada nasabah yang bersangkutan. 42 Menurut Faturrahman Djamil berakhirnya akad pembiayaan (intiha al-’aqdi) adalah dengan 3 cara, yaitu: 43 1. Berakhirnya masa berlaku akad; 2. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad; 3. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia. Lebih jauh lagi menurut Faturrahman Djamil menjelaskan bahwa berakhirnya akad pembiayaan selain yang sudah disebutkan di atas tadi, berakhirnya suatu akad juga bisa karena: terpenuhinya isi kontrak (tahqiq al-gharadh) dimana terpenuhinya isi kontrak ini terjadi karena pihak dalam kontrak sudah memenuhi semua hak dan kewajiban mereka, pemutusan kontrak (faskh) dimana pemutusan kontrak ini terjadi karena adanya kesepakatan antara para pihak, putus dengan sendirinya (infisakh) karena isi kontrak tersebut mustahil terlaksana. 44 Akad pembiayaan sendiri pada dasarnya sama dengan perjanjian pada umumnya, karena perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, dan akad juga merupakan salah satu sumber iltizam, maka berdasarkan qiyas dan penafsiran secara analogi ketentuan berkahirnya perikatan sebagaiman diatur dalam pasal 1381 KUH Perdata sebagai hukum positif juga dapat berlaku sebagai cara berakhirnya akad dalam transaksi pembiayaan. 45 Berdasarkan Pasal 1381 KUH Perdata sendiri, ada 10 (sepuluh) cara berakhirnya suatu akad, yaitu karena: 42
Wangsawidjaja, Op.Cit.,hlm.237 Faturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.259 44 Ibid.,hlm.259 45 Wangsawidjaja, Op.Cit.,hlm.239 43
1. Pembayaran; 2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; 3. Pembaruan utang (novasi); 4. Perjumpaan utang atau kompensasi; 5. Pencampuran utang; 6. Pembebasan utang (kwijtschelding); 7. Musnahnya barang yang terutang; 8. Pembatalan; 9. Berlakunya syarat batal; 10. Lewatnya waktu (kadaluarsa) Berdasarkan sepuluh cara berakhirnya perikatan tadi, maka yang menjadi cara berakhirnya pembiayaan pada praktik perbankan syariah antara lain disebabkan karena: 46 1. Pembayaran Pembayaran dalam perjanjian pembiayaan adalah pemenuhan perjanjian secara sukarela, yaitu debitor melunasi/ mengembalikan pembiayaan secara baik kepada bank syariah berikut imbalanya berupa fee/ujrah ataupun bagi hasil. 2. Pembaruan utang Pembaruan utang (novasi) ini dapat disamakan dengan akad hawalah pada pembiayaan syariah, sebagaimana fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang hawalah. hawalah sendiri adalah akad pengalihan utang dari satu pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menangung pembayaranya.
46
Ibid.,hlm.239-245
3. Perjumpaan utang Perjumpaan utang (kompensasi) adalah suatu cara penghapusan pembiayaan dengan jalan memperjumpakan (memperhitungkan) utang-utang secara timbal balik antara bank dengan debitor. Selanjutnya mengenai perjumpaan utang ini dalam praktik ada dua pendapat pertama bahwa apabila debitor mempunyai simpanan di bank berupa giro ataupun deposito, maka berdasarkan hukum, bank tanpa diharuskan suatu perbuatan atau keterangan dari debitor yang bersangkutan berhak secara langsung untuk memperhitungkan giro dan deposito debitor yang bersangkutan dengan jumlah utang (outstanding) debitor, dimana cara itu disebut ipso yure compensatoir. Sementara iutu pendapat kedua, simpanan debitor tidak dapat diperhitungkan oleh bank secara langsung tetapi dilakukan melalui gugatan di Pengadilan Negeri.
4. Pembebasan utang Dalam praktik perbankan pembebasan utang (hapus tagih) dapat diberikan kepaa nasabah apabila telah memenuhi persyaratan tertentu misalnya pembiayaan telah dilakukan restrukturisasi, outstanding utang nasabah telah dihapus buku, nasabah telah mengangsur minimal 50% dari utang pokok, semua agunan telah di eksekusi dan tidak ada lagi agunan yang tersisa, kekayaan nasabah tidak ada lagi, dan/atau usaha nasabah tidak berjalan.