BAB II SEWA MENYEWA RUMAH YANG OBJEK SEWANYA DIIKAT SEBAGAI JAMINAN DI BANK A. Hakikat Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Hukum, hak dan kewajiban memiliki hubungan keterkaitan dalam lalu lintas kegiatan ekonomi. Hukum itu memberikan perlindungan pada kepentingan manusia dan membagi hak dan kewajiban. Hak merupakan kenikmatan dan keleluasaan serta kewajiban merupakan beban. Bahwa di dalam hubungan sewa menyewa yang menyewakan memberi hak pemakaian saja kepada penyewa dan bukan hak milik. Perjanjian sewa menyewa tidak memberikan suatu hak kebendaan, tetapi hanya memberi suatu hak perseorangan, terhadap yang menyewakan ada hak “persoonlijk” terhadap pemilik, akan tetapi hak orang yang menyewakan ini mengenai suatu benda, yaitu suatu barang yang disewakan. 58 Dari defenisi Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dilihat bahwa ada 3 (tiga) unsur yang melekat, yaitu: 1. Barang. 2. Jangka waktu. 3. Pembayaran.
58
R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung : Bale, 1989), Hal. 36.
27 Universitas Sumatera Utara
Untuk menunjukkan bahwa itu merupakan perjanjian sewa menyewa, maka penyewa yang diserahi barang yang dipakai, diwajibkan membayar harga sewa atau uang sewa kepada pemilik barang. Pada hakekatnya sewa menyewa tidak dimaksud berlangsung terus menerus, melainkan pada saat tertentu pemakaian dari barang tersebut akan berakhir dan barang akan dikembalikan lagi kepada pemilik semula, mengingat hak milik atas barang tersebut tetap berada dalam tangan pemilik semula. Walaupun dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa sewa menyewa itu berlangsung selama waktu tertentu, yang berarti bahwa dalam perjanjian sewa menyewa harus selalu ditentukan tenggang waktu tertentu, tetapi dalam perjanjian sewa menyewa itu dapat juga tidak ditetapkan suatu jangka waktu tertentu, asal sudah disetujui harga sewa untuk satu jam, satu hari, satu bulan, dan lain-lain. Jadi para pihak bebas untuk menentukan berapa lama waktu tersebut. Dalam praktek pada umumnya perjanjian sewa menyewa ini diadakan untuk jangka waktu tertentu, sebab para pihak menginginkan adanya suatu kepastian hukum. Dalam perjanjian sewa menyewa selalu terdapat 2 (dua) belah pihak yang selalu mengikatkan diri untuk berprestasi satu sama lain. Pihak inilah yang menjadi subjek sewa menyewa. Subjek sewa menyewa merupakan subjek hukum dimana subjek hukum ini ada 2 (dua) yaitu : orang pribadi dan badan hukum. 59
59
Hubungan hukum harus terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau si berpiutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi pihak
Universitas Sumatera Utara
Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Menurut R. Suroso subjek hukum adalah : “Sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap bertindak dalam hukum, sesuatu pendukung hak (rechtsbevoedgheid) dan merupakan sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban”. 60 Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para pihak ataupun yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan suatu perikatan yang mana perikatan merupakan isi dari suatu perjanjian, jadi perikatan yang telah dilaksanakan para pihak dalam suatu perjanjian memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap pelaksanaan isi dari perjanjian khususnya perjanjian sewa menyewa ini. 1. Perjanjian Sewa Menyewa Di dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan definisi mengenai perjanjian sebagai berikut : Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 61 Kata perbuatan pada perumusan tentang persetujuan sebagai yang disebutkan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata lebih tepat kalau diganti yang pasif adalah debitur atau si berhutang. Mereka ini yang disebut subjek perikatan, Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perdata Tentang Perikatan, (Medan : Fakultas Hukum USU, 1996), Hal. 3. 60 R. Suroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1993), Hal. 223. 61 Pasal 1313, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
dengan kata perbuatan hukum/tindakan hukum mengingat bahwa dalam suatu perjanjian, akibat hukum yang muncul memang dikehendaki para pihak. 62 Rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut hendak memperlihatkan bahwa suatu perjanjian adalah : 63 1. Suatu perbuatan. 2. Antara sekurangnya 2 (dua) orang. 3. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang berjanji tersebut. Selain yang diberikan oleh Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, beberapa sarjana juga memberikan perumusan mengenai perjanjian : 1. Menurut M. Yahya Harahap Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hukum pada satu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus mewajibkan para pihak lain untuk menunaikan prestasi. 64
62
J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), Cet. 1, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992), Hal. 7. 63 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Cet. 1, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), Hal. 7. 64 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cet. 1, (Bandung : Alumni, 1986), Hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
2. Menurut Wirjono Prodjodikoro Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak dimana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal.65 3. Menurut Abdul Kadir Muhammad Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 66 4. Menurut Subekti Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 67 Perjanjian merupakan sumber yang menimbulkan perikatan. Selain perjanjian, perikatan juga dapat timbul dari Undang-Undang. Suatu perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak yang mengadakan perjanjian. 68 Pada umumnya perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang. 69
65
R. Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, Hal. 9. Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, Hal. 78. 67 R. Subekti, Loc. Cit, Hal. 1. 68 Ibid, Hal. 1. 69 Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata . 66
Universitas Sumatera Utara
Dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dikatakan bahwa, Pasal itu mengandung suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya Undang-Undang. Prinsip yang terkandung dalam ketentuan di atas, jelaslah bahwa suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan dan dapat pula dalam bentuk tulisan. Jika dibuat secara tertulis, hal ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan di kemudian hari. Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan : Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu. Ada persetujuan-persetujuan dimana untuk setiap salah satu pihak menimbulkan suatu kewajiban yang berkelanjutan, misalnya : sewa menyewa. 70 Sementara itu dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan : Semua perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik, dan hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan. 71 Perjanjian sewa menyewa adalah sebagai salah satu bentuk perjanjian yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan merupakan perjanjian timbal balik yang selalu mengacu kepada asas konsensualitas atau berdasarkan
70 71
R. Setiawan, Op. Cit, Hal. 64. R. Subekti, Op. Cit, Hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
kesepakatan para pihak dan merupakan salah satu jenis perjanjian yang sering terjadi dalam kehidupan di masyarakat. 72 Perjanjian sewa menyewa diatur dalam ketentuan Buku Ketiga Bab Ketujuh Pasal 1548 sampai Pasal 1600 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 73 Perjanjian sewa menyewa pada dasarnya tergolong dalam jenis perjanjian untuk memberikan/menyerahkan sesuatu yang diatur dalam Buku III Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dimaksud dengan sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. 74 Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menggunakan istilah sewa menyewa (huur en verhuur). Perkataan tersebut seolah-olah memberikan pengertian yang sama, yang dapat menimbulkan salah pengertian seolah-olah para pihak saling sewa menyewakan antara mereka. Padahal sebenarnya tidak demikian, yang benarbenar terjadi adalah satu pihak menyewakan barang kepada pihak penyewa dan si penyewa membayar sejumlah harga atas barang yang disewakan. Dengan perkataan lain, hanya sepihak saja yang menyewakan dan bukan saling sewa menyewakan 72
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perjanjian dan Perikatan, (Jakarta : Pradya Paramita, 1987), Hal. 53. 73 R. Subekti, Loc. Cit, Hal. 1. 74 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2002), Hal. 123.
Universitas Sumatera Utara
antara mereka. Karena itu, yang dimaksud dengan sewa menyewa dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut tiada lain ialah persewaan. Perjanjian sewa menyewa termasuk dalam perjanjian bernama. Perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya perjanjian ini sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Peraturan tentang sewa menyewa ini berlaku untuk segala macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak, yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu, karena waktu tertentu bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa menyewa. 75 Menurut Subekti perjanjian sewa menyewa adalah : “Suatu
perjanjian
dimana
pihak
yang
satu
menyanggupi
akan
menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu jangka waktu tertentu sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan”. 76 Adapun pengertian perjanjian sewa menyewa menurut M. Yahya Harahap adalah sebagai berikut : “Perjanjian
sewa
menyewa
adalah
persetujuan
antara
pihak
yang
menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik
75 76
R. Subekti, Op. Cit, Hal. 1. Subekti, Op. Cit, Hal. 164.
Universitas Sumatera Utara
menyerahkan barang yang hendak disewa kepada penyewa untuk dinikmati sepenuhnya”. 77 Jikalau ditinjau perjanjian sewa menyewa ini adalah merupakan suatu jenis perjanjian yang bebas bentuknya, artinya perjanjian tersebut dapat diperbuat baik secara lisan maupun tertulis tergantung kesepakatan antara pihak penyewa dengan pihak yang menyewakan, akan tetapi segala bentuk perjanjian sewa menyewa khususnya perjanjian sewa menyewa rumah sebaiknya diperbuat secara tertulis dengan tujuan untuk lebih dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Terhadap syarat esensial dalam perjanjian sewa menyewa ini, yakni mengenai harga sewa atau sewa haruslah tertentu atau segala sesuatu yang dapat ditentukan dan biasanya harus ditentukan secara tegas perjanjian yaitu dengan penetapan besarnya uang sewa menyewa harus dibayar kepada pihak yang menyewakan. Jangka waktu atau lamanya sewa dapat saja ditentukan secara jelas dalam perjanjian, atau dengan kata lain tidak perlu disebutkan untuk berapa lamakah barang tersebut akan disewa oleh pihak penyewa, tetap telah disetujui oleh kedua belah pihak baik penyewa maupun yang disewakan dalam setiap bulan atau tahunnya. Jika diperhatikan sewa menyewa ini merupakan suatu bentuk perjanjian yang bersifat perseorangan dari bukan perjanjian yang bersifat hak kebendaan yaitu dengan
77
M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hal. 220.
Universitas Sumatera Utara
perjanjian sewa menyewa ini, kepemilikan terhadap rumah sewa tersebut tidaklah beralih kepada penyewa tapi tetap menjadi hak milik dari orang yang menyewakan. 78 R. Subekti menyatakan bahwa : Jika ada suatu perjanjian sewa menyewa rumah yang belum habis masa sewanya. Oleh pemilik rumah atau yang menyewakan melakukan tindakan hukum menjual rumah yang disewakan tersebut, maka pihak penyewa tidak berhak melakukan penuntutan ganti rugi. Namun sebaliknya, bila diperjanjikan secara tegas, maka pihak penyewa dapat melakukan tuntutan hukum ganti rugi kepada pihak penyewa. 79 Asas-asas hukum perjanjian sewa menyewa tercantum dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa sewa menyewa merupakan suatu perjanjian dimana terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri yang saling memberi prestasi dan tegen prestasi yaitu pihak yang menyewakan memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak yang lain selama suatu waktu tertentu dan pihak penyewa memberikan tegen prestasi berupa pembayaran sesuatu harga yang disanggupi dan merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak. Di dalam asas hukum perjanjian sewa menyewa tersebut di atas terdapat unsur-unsur dari sewa menyewa yang antara lain adalah : a. merupakan suatu perjanjian. b. terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri.
78 79
Qirom S. Meliala, Op. Cit, Hal. 78. R. Subekti, Loc. Cit, Hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
c. pihak yang satu memberikan kenikmatan atas sesuatu barang kepada pihak yang lain selama suatu waktu tertentu dan pihak yang lain membayar pada sesuatu harga atas kenikmatan yang diperolehnya dari barang tersebut. Dalam hal penulisan ini perjanjian sewa menyewa dibuat setelah adanya perjanjian jaminan kredit di Bank terlebih dahulu. Di dalam kesepakatan yang dituangkan di dalam perjanjian sewa menyewa di antara debitur dan pihak ketiga dengan ini telah saling setuju dan semufakat. Pihak pertama terlebih dahulu menerangkan dimana objek sewa menyewa berupa bangunan rumah tempat tinggal permanen bertingkat 1 ½ (satu setengah) dan tanah saat ini masih status jaminan kredit di salah satu Bank di kota Medan. Sehingga pihak ketiga telah mengetahui jika rumah tersebut dalam keadaan dijaminkan ke Bank. 2. Objek Sewa Menyewa Dalam perjanjian sewa menyewa ditemui adanya sesuatu yang menjadi objek. Pada dasarnya apa yang menjadi objek sewa menyewa adalah apa yang merupakan objek hukum. Jadi objek sewa menyewa adalah merupakan objek hukum. Yang dimaksud dengan objek hukum (recht subject) adalah : segala sesuatu yang bermanfaat dan dapat dikuasai oleh subjek hukum serta dapat dijadikan objek dalam suatu hubungan hukum. 80
80
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta : Liberty, 1999),
Hal. 68.
Universitas Sumatera Utara
Demikian pula halnya dengan yang terjadi dalam perjanjian sewa menyewa ini meliputi segala jenis benda baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak asal tidak dilarang oleh Undang-Undang dan ketertiban umum. 81 Peraturan tentang sewa menyewa, berlaku untuk segala macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak memakai waktu tertentu, karena perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 82 Menurut Pasal 1549 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa semua jenis barang, baik yang tak bergerak, baik yang bergerak dapat disewakan. Basrah Lubis mengemukakan bahwa : Jika benda yang disewa itu musnah sewaktu terjadinya sewa menyewa karena overmacht maka perikatan sewa menyewa batal demi hukum, dan pihak penyewa tidak berhak atas ganti rugi, baik benda tersebut secara keseluruhan maupun sebahagian. Apapun pernyataannya batalnya perjanjian itu tidak perlu dimintakan pernyataan dan resiko atas musnahnya objek sewa menyewa secara keseluruhan adalah pihak yang menyewakan (pemilik hak atas benda) serta tidak dapat meminta atau menuntut pembayaran uang sewa kepada pihak penyewa atau dengan tegasnya uang sewa dengan sendirinya gugur, dan sebaliknya pihak penyewa tidak dapat menuntut penggantian barang ataupun ganti rugi dari pihak yang menyewakan (Pasal 1553 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). 83 Terhadap setiap objek sewa menyewa yang menjadi jaminan kredit yang diserahkan debitur dan disetujui Bank seharusnya mengikat objek jaminan kredit 81
Qirom S. Meliala, Op. Cit, Hal. 78. R. Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, Hal. 4. 83 Basrah Lubis, Sewa Menyewa dan Pembahasan Kasus, (Medan : Diktat Kuliah FH USU , 1993), Hal. 43. 82
Universitas Sumatera Utara
secara sempurna, yaitu dengan mengikuti ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang mengatur tentang jaminan utang. Pengikatan atau penguasaan jaminan kredit seharusnya dilakukan sebelum diizinkannya debitur menarik dana kredit. Keharusan pengikatan dan penguasaan jaminan kredit merupakan bagian dari persyaratan administratif yang sudah diselesaikan sebelum kredit disalurkan dananya kepada debitur. Sehubungan dengan adanya persyaratan administratif yang ditetapkan dalam peraturan intern Bank, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan hendaknya bank tidak menyetujui permohonan penarikan kredit yang diajukan debitur sebelum seluruh persyaratan administratif diselesaikan oleh debitur, termasuk mengenai pengikatan dan penguasaan jaminan kreditnya. 84 Sebagaimana objek jaminan utang yang lazim digunakan dalam suatu utang piutang, secara umum jaminan kredit perbankan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu barang bergerak, barang tidak bergerak, dan jaminan perorangan (penanggungan utang). Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999, barang bergerak terdiri atas yang berwujud dan tidak berwujud. Oleh karena lembaga jaminan tersebut memiliki tugas melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, maka jaminan yang baik (ideal) adalah : 85 1. Dapat secara mudah membantu memperoleh kredit itu oleh pihak yang memerlukannya. 2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya. 84
M. Bahsan, Op, Cit, Hal. 132. R. Subekti, Op.Cit, Hal. 21.
85
Universitas Sumatera Utara
3. Memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima (pengambil) kredit. Masing-masing kelompok jaminan kredit tersebut terdiri dari bermacam jenis dan nama yang kadang-kadang sulit untuk dirinci secara tegas. Barang bergerak yang berupa barang berwujud misalnya, adalah sangat banyak jenisnya walaupun masih dapat dibedakan menjadi beberapa sub kelompok, antara lain berupa, barang perhiasan, surat berharga, kendaraan bermotor, perlengkapan rumah tangga, perlengkapan kantor, alat berat, alat transportasi laut dan sungai, alat transportasi udara, barang persediaan, barang dagangan, dan sebagainya. Barang tidak bergerak dapat berupa tanah dan benda-banda yang berkaitan (melekat) dengan tanah seperti rumah tinggal, gedung kantor, gudang, hotel, dan sebagainya. Barang tidak berwujud dapat berupa tagihan, piutang, dan sejenisnya (tetapi untuk surat yang mempunyai harga mungkin masih perlu penegasan apakah termasuk sebagai barang berwujud atau barang tidak berwujud misalnya saldo tabungan dan saldo giro yang seharusnya dibeakan dari bilyet deposito atau sertifikat deposito). Sebagian dari objek jaminan kredit sebagaimana yang disebutkan di atas diatur atau berkaitan dengan suatu peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Berdasarkan peraturan perUndang-Undangan yang mengatur atau berkaitan dengan masing-masing barang yang ditetapkan sebagai objek jaminan kredit akan dapat dinilai berbagai hal tentang barang yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
Pengaitan dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang mengatur sesuatu objek jaminan kredit adalah untuk memperjelas jenisnya sehingga Bank dapat mempertimbangkannya sesuai dengan kebijakannya tentang jenis-jenis objek jaminan kredit yang dapat diterimanya. Kejelasan jenis objek jaminan kredit antara lain diperlukan pula untuk kemungkinan dilakukannya pengikatan sesuai dengan lembaga jaminan yang berlaku. 86 Menurut M. Bahsan praktek perbankan dapat diketahui bahwa tidak semua jenis barang atau bentuk objek jaminan utang dapat diterima Bank dalam rangka kegiatan perkreditannya. Beberapa Bank menetapkan secara tegas jenis objek jaminan kredit yang tidak dapat diterimanya, misalnya yang berupa barang persediaan, tanah yang belum bersertifikat, saham, dan sebagainya. Kebijakan tersebut ditetapkan Bank berdasarkan alasan-alasan tertentu dengan memerhatikan kepentingannya, antara lain berupa kemudahan pengikatan, kepastian nilai (harga) dari objek jaminan kredit yang bersangkutan, kemudahan pencairan, kemudahan pengawasan dan pemeliharaan, dan sebagainya. Untuk beberapa Bank tertentu adanya kebijakan mengenai pembatasan jenis objek jaminan kredit yang dapat diterimanya cukup relevan karena akan berpengaruh terhadap peningkatan efisiensi dan kinerjanya sebagai suatu badan usaha. 87
86 87
M. Bahsan, Op. Cit, Hal. 108-109. Ibid, Hal. 110.
Universitas Sumatera Utara
Bahwa yang menjadi objek sewa menyewa di dalam pembahasan penulisan ini adalah sebuah rumah berikut tanah tapak dan pekarangan dari rumah tersebut, yang didirikan di atas sebidang tanah Hak Guna Bangunan seluas 99 m2. Objek jaminan kredit (agunan) telah diatur di dalam klausul perjanjian kredit pemilikan rumah mandiri pada angka III Agunan : 88 a. atas fasilitas kredit yang diperokeh debitur dari Bank, Debitur/Pemilik agunan atas fasilitas kredit yang diperoleh bersedia dan dengan ini memberikan jaminan kebendaan kepada Bank berupa hak tanggungan atas : 1 (satu) pintu bangunan rumah tempat tinggal permanen bertingkat 1 ½ (satu setengah) yang terbuat dari dinding batu, lantai keramik, atap cor beton, diperlengkapi dengan aliran listrik dan air leiding serta hak-hak atas langganannya/pemakaiannya, terletak di dalam wilayah Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan, Kecamatan Medan Timur, Kelurahan Durian, setempat dikenal dengan rumah Jalan Akasia I Nomor 28 Medan; demikian berikut tanah tapak dan pekarangan dari rumah tersebut, yang didirikan di atas sebidang tanah Hak Guna Bangunan Nomor : 107, luasnya 99 M2 (sembilan puluh sembilan meter persegi), yaitu tanah yang dimaksudkan dalam Sertipikat (Tanda Bukti Hak) tertanggal 19 (sembilan belas) Mei 2001 (dua ribu satu), Surat Ukur tertanggal 07 (tujuh) Mei
88
Klausul Perjanjian Sewa Menyewa No. 72.
Universitas Sumatera Utara
2001 (dua ribu satu), Nomor : 1583/2001, dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota Medan, terdaftar atas nama debitur. 3. Bentuk Perjanjian Sewa Menyewa Yang Dibuat Meskipun sewa menyewa adalah suatu perjanjian konsensual, namun oleh Undang-Undang diadakan perbedaan (dalam akibat-akibatnya) antara sewa tertulis dan sewa lisan. Jika sewa menyewa itu diadakan secara tertulis, maka sewa itu berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang ditentukan sudah habis, tanpa diperlukannya sesuatu pemberitahuan pemberhentian untuk itu. Sebaliknya di dalam Pasal 1571 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa jika sewa menyewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa ia hendak menghentikan sewanya, pemberitahuan mana harus dilakukan dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Jika tidak ada pemberitahuan seperti itu, maka dianggaplah bahwa sewa itu diperpanjang untuk waktu yang sama. Penegasan perjanjian sewa menyewa rumah ini adalah sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 Tentang Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik, disebutkan segala bentuk perjanjian sewa menyewa rumah haruslah diperbuat dengan suatu batas tertentu dan segala bentuk perjanjian sewa menyewa rumah yang telah diperbuat tanpa batas waktu adalah batal demi hukum.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini dipertegas di dalam Pasal 10 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 Tentang Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik yang mengatur dalam hal kesepakatan tentang batas waktu yang diperjanjikan. Perihal sewa tertulis itu diatur dalam Pasal 1570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan perihal sewa yang tidak tertulis (lisan) diatur dalam Pasal 1571 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jika seorang penyewa sebuah rumah atau ruangan, setelah berakhirnya waktu sewa yang ditentukan dalam suatu perjanjian sewa tertulis, dibiarkan menempati rumah atau ruangan tersebut, maka dianggaplah si penyewa itu tetap menguasai barang yang disewakan atas dasar syarat-syarat yang sama, untuk waktu yang ditentukan oleh kebiasaan setempat, dan tak dapatlah ia meninggalkan rumah atau ruangan
itu
atau
dikeluarkan
dari
situ,
melainkan
sesudahnya
dilalukan
pemberitahuan penghentian sewanya menurut kebiasaan setempat (Pasal 1587 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Dari uraian tersebut dimaksudkan bahwa sewa tertulis tersebut, setelah habis waktunya dan penyewa dibiarkan menempati rumah sewa, berubah menjadi sewa lisan tanpa waktu tertentu yang hanya dapat diakhiri menurut adat kebiasaan setempat. Berkenaan dengan Pasal 1570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang telah ditentukan telah lampau, tanpa diperlakukannya sesuatu pemberhentian untuk itu.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1571 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan jika sewa tidak dibuat dengan tulisan maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Di dalam Pasal 1579 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewa dengan menyatakan hendak memakai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya. Dari ketentuan kedua Pasal tersebut di atas Pasal 1578 dan Pasal 1579 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, jelas bahwa dalam perjanjian sewa menyewa yang telah diperjanjikan terlebih dahulu tidak dibenarkan untuk memaksa si penyewa untuk mengosongkan barang yang disewa dengan alasan barang tersebut akan dijual atau akan dipergunakan sendiri oleh pemilik barang yang disewa tersebut. Dalam hal barang yang disewa oleh si penyewa tersebut akan dijual, maka pemilik barang yang disewa harus terlebih dahulu memberikan pemberitahuan kepada si penyewa jauh hari sebelum waktu penjualan barang tersebut tiba. Dalam praktek pelaksanaan perjanjian sewa menyewa pada umumnya, di dalam klausul bila barang yang disewa tersebut akan dijual oleh pemilik barang yang disewa tersebut dicantumkan secara tegas dalam perjanjian tertulis tersebut dengan mencantumkan
Universitas Sumatera Utara
pula syarat-syarat yang harus disepakati kedua belah pihak yaitu pemilik sewa dan penyewa untuk dapat terlaksananya penjualan barang yang disewa tersebut. 89 Perjanjian sewa menyewa antara debitur dengan pihak ketiga dibuat secara Notariil melalui Notaris yang telah ditunjuk oleh kreditur (Bank) sesuai dengan kebijakan Bank yang meminta perjanjian tersebut dibuat secara notariil. B. Ketentuan Kredit Di Bank Menurut Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan bahwa, berdasarkan rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perbankan mengenai perjanjian kredit, dapat disimpulkan bahwa dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam meminjam yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754. 90 Perjanjian pinjam meminjam ini juga mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan. Karenanya perjanjian kredit ini merupakan
89
Soedjono Dirdjosisworo, Misteri di Balik Kontrak Bermasalah, (Bandung : Mandar Maju, 2002), Hal. 37. 90 Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa : “pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Universitas Sumatera Utara
perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh Bank kepada nasabah. 91
Secara yuridis ada 2 (dua) jenis perjanjian atau pengikatan kredit yang digunakan oleh Bank dalam memberikan kreditnya, yaitu : 1. Perjanjian di bawah tangan. 2. Perjanjian berbentuk notariil. Perjanjian merupakan Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya untuk sahnya suatu perjanjian maka harus memenuhi 4 (empat) unsur sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal. Apabila salah satu dari syarat tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau dengan sendirinya batal demi hukum. Menurut M. Yahya Harahap bahwa :
91
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Alumni, 1994), Hal. 110.
Universitas Sumatera Utara
“Jika Undang-Undang menetapkan subjek perjanjian yaitu pihak yang berhak atas prestasi dan pihak debitur yang wajib melaksanakan prestasi, maka intisari atau objek dari perjanjian ialah prestasi itu sendiri”. 92 Sementara itu dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, semua perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik, dan hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan. 93 Tidak terlepas dari berbagai pandangan mengenai perjanjian kredit ini dalam pemberian kredit oleh suatu Bank kepada nasabahnya, perjanjian kredit merupakan keharusan sebagaimana dikemukakan Hasanuddin Rahman, bahwa : “Apabila Bank menganggap permohonan tersebut layak untuk diberikan, maka untuk dapat terlaksana pelepasan kredit tersebut, terlebih dahulu haruslah dengan diadakannya suatu persetujuan atau kesepakatan dalam bentuk perjanjian kredit atau pengakuan hutang”. 94 Dalam surat keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor. 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/ UPBB tanggal 31 Maret 1995 dalam lampiran pedoman penyusunan kebijaksaan pemberian kredit (PPKPB) angka (450) Tentang Perjanjian Kredit, dinyatakan : Setiap kredit yang telah disetujui dan
92
R. Setiawan, Op. Cit, Hal. 64. R. Subekti, Loc. Cit, Hal. 41. 94 Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di Indonesia (Panduan Dasar: Legal Officer), (Bandung : Citra Adiya Bakti,), Hal. 138. 93
Universitas Sumatera Utara
disepakati pemohon kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. 1. Perjanjian Kredit Bank Kredit berasal dari kata Yunani “credere” yang berarti kepercayaan (truth atau faith). 95 Karena itu dasar kredit adalah kepercayaan. Dengan demikian seseorang yang memperoleh kredit pada dasarnya adalah memperoleh kepercayaan, artinya pihak yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang diperjanjikan. 96 Baik menyangkut jangka waktunya, maupun prestasi dan kontra prestasi. Dengan demikian kredit berarti bahwa pihak yang satu memberikan prestasi baik berupa barang, uang dan jasa kepada pihak lain, sedangkan kontra prestasi akan diterima di kemudian (dalam jangka waktu tertentu). O. P. Simorangkir, menguraikan mengenai kredit ini, sebagai berikut: Kredit adalah pemberian prestasi (misalnya: uang, barang) dengan balas prestasi (kontra prestasi) akan terjadi pada waktu mendatang. Dewasa ini kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang, maka transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit yang menjadi pembahasan. Kredit berfungsi kooperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau antara kreditur dengan debitur. Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung resiko. Singkatnya kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen-komponen kepercayaan, resiko dan pertukaran ekonomi dimasamasa datang. 97 Muchdarsyah Sinungan memberikan definisi bahwa : 95
Thomas Suyatno, H. A. Chalik, Made Sukada, C. Tinon Yuniati, Djuehaepah T. Marala, Dasar-Dasar Perkreditan, edisi keempat, (Jakarta : Gramedia Pustaka Umum, 2003), Hal. 175. 96 Ibid, Hal. 13. 97 H. Rahmad Firdaus dan Maya Ariyanti, Manajemen Perkreditan Bank Umum, (Bandung : Alfabeta, 2003), Hal. 44.
Universitas Sumatera Utara
“Kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu akan datang disertai dengan suatu kontraprestasi berupa bunga”. 98 Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan UndangUndang No. 7 tahun 1992 Tentang Perbankan, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 angka 11 menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan sejumlah pemberian bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan. 99 Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh Undang-Undang, suatu pinjam meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit perbankan sepanjang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 100 1) Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang. Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang tersebut dilakukan oleh Bank. Bank adalah pihak penyedia dana dengan menyetujui pemberian sejumlah dana yang kemudian disebut sebagai jumlah kredit atau plafon kredit. Sementara tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang dalam praktek perbankan misalnya berupa pemberian (penerbitan) garansi Bank dan penyediaan fasilitas dana untuk pembukaan letter of credit (LC). 2) Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain. Persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam merupakan dasar dari penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan 98
Muchdarsyah Sinungan, Dasar-Dasar Teknik Managemen Kredit, (Jakarta : Bima Aksara, 1987), Hal. 11. 99 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. 100 M. Bahsan, Op. Cit, Hal. 77.
Universitas Sumatera Utara
penyediaan uang tersebut. Persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam dibuat oleh Bank dengan pihak debitur yang diwujudkan dalam bentuk perjanjian kredit. Perjanjian kredit sebagai salah satu jenis perjanjian, tunduk kepada ketentuan hukum perikatan dalam hukum positif di Indonesia. Pengaturan tentang perjanjian terdapat dalam ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ketiga Tentang Perikatan, dan ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sepanjang yang mengatur tentang larangan pencantuman klausul buku dalam perjanjian. Perjanjian pinjam meminjam uang antara Bank dengan debitur lazim disebut perjanjian kredit, akad kredit, dan sebutan lain yang hampir sejenis. Perjanjian kredit yang dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (antara lain memenuhi ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) merupakan Undang-Undang bagi bank dan debitur. Ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menetapkan suatu perjanjian yang sah berlaku sebagai UndangUndang bagi pihak yang berjanji. 3) Adanya kewajiban melunasi utang. Pinjam meminjam uang adalah suatu utang bagi peminjam. Peminjam wajib melunasinya sesuai dengan yang diperjanjikan. Pemberian kredit oleh Bank kepada debitur adalah suatu pinjaman uang, dan debitur wajib melakukan pembayaran pelunasan kredit sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah disepakatinya, yang biasanya terdapat dalam ketentuan perjanjian kredit. Dengan demikian, kredit perbankan bukan suatu bantuan dana Bank yang diberikan secara cuma-cuma. Kredit perbankan adalah suatu utang yang harus dibayar kembali oleh debitur. 4) Adanya jangka waktu tertentu. Pemberian kredit terkait dengan suatu jangka tertentu. Jangka waktu tersebut ditetapkan pada perjanjian kredit yang dibuat Bank dengan debitur. Jangka waktu yang ditetapkan merupakan batas waktu kewajiban bank untuk menyediakan dana pinjaman dan menunjukkan kesempatan dilunasinya kredit. Berdasarkan jangka waktu tertentu yang ditetapkan atas pemberian kredit, maka kredit perbankan dapat dibedakan atas kredit jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Kredit jangka pendek adalah kredit yang mempunyai jangka waktu 1 (satu) tahun atau di bawah 1 (satu) tahun. Kredit jangka menengah adalah kredit yang mempunyai jangka waktu di atas 1 (satu) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun, dan kredit jangka panjang adalah kredit yang mempunyai jangka waktu di atas 3 (tiga) tahun. Jangka waktu suatu kredit ditetapkan berdasarkan kebijakan yang berlaku pada masing-masing Bank dan mempertimbangkan tujuan penggunaan kredit serta kemampuan membayar dari calon debitur setelah dinilai kelayakannya. Berdasarkan pengertian kredit tentang jangka waktu tertentu tersebut dapat disimpulkan bahwa jangka waktu kredit harus
Universitas Sumatera Utara
ditetapkan secara tegas karena menyangkut hak dan kewajiban masing-masing pihak. 5) Adanya pemberian bunga kredit. Terhadap suatu kredit sebagai salah satu bentuk pinjaman uang ditetapkan adanya pemberian bunga. Bank menetapkan suku bunga atas pinjaman uang yang diberikannya. Suku bunga merupakan harga atas uang yang dipinjamkan dan disetujui Bank kepada debitur. Namun, sering pula disebut sebagai balas jasa atas penggunaan uang Bank oleh debitur. Sepanjang terhadap bunga kredit yang ditetapkan dalam perjanjian kredit dilakukan pembayarannya oleh debitur, akan merupakan salah satu sumber pendapatan yang utama bagi Bank. Kelima unsur yang terdapat dalam pengertian kredit sebagaimana yang disebutkan di atas harus dipenuhi bagi suatu pinjaman uang untuk dapat disebut sebagai kredit di bidang perbankan. Walaupun istilah kredit banyak pula digunakan untuk kegiatan perutangan lainnya di masyarakat. 101 Adapun Undang-Undang Perbankan Bab III bagian kedua Pasal 6 huruf (a), (b) dan (c) disebutkan Usaha Bank Umum meliputi dan yang terpenting adalah : a) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; b) Memberikan kredit; c) Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh Bank sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
101
Ibid, Hal. 77.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pengertian-pengertian mengenai kredit di atas, terdapat beberapa unsur-unsur dalam kredit, yaitu : 1. Kepercayaan, yang berarti bahwa setiap pemberian dilandasi adanya keyakinan dari pihak Bank bahwa kredit yang diberikan akan dibayar kembali oleh debitur sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan. 2. Waktu, disini berarti bahwa antara pelepasan kredit oleh Bank dengan pembayaran kembali oleh debitur tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan, melainkan dipisahkan oleh tenggang waktu. 3. Resiko berarti bahwa setiap pelepasan kredit jenis apapun akan terkandung resiko di dalamnya, yaitu resiko yang terkandung dalam jangka waktu antara pelepasan kredit dengan pembayaran kredit. Hal ini berarti semakin panjang jangka waktu kredit semakin tinggi resiko kredit itu. 4. Prestasi, yang berarti bahwa setiap kesepakatan kredit antara Bank dengan debiturnya mengenai suatu pemberian kredit, maka pada saat itu pula akan terjadi suatu prestasi dan kontra prestasi. 102 Menurut pandangan Subekti perihal perjanjian kredit adalah : “Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur oleh Kitab undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769”. 103 Sementara
itu
Mariam
Darus
Badrulzaman
mengemukakan
bahwa
berdasarkan rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perbankan mengenai perjanjian kredit dapat disimpulkan dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam meminjam di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754. 104
102
Hasanudin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di Indonesia Panduan Dasar Legal Officer, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998), Hal. 97. 103 Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni,1982), Hal. 13. 104 Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
Karenanya perjanjian kredit ini merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh Bank kepada nasabah. 105 Perjanjian pinjam meminjam ini juga mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam ini pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan. 106 Bertalian dengan aturan hukum dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, menyebutkan bahwa “dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”, Bank memberikan kredit kepada masyarakat yang bersedia menjadi nasabah debitur dengan didasari prinsip-prinsip kehati-hatian dalam menilai watak, kepribadian, modal, jaminan/agunan dan prospek usaha dari calon nasabah debitur tersebut. Penilaian ini bertujuan agar pemberian kredit tersebut tepat guna dan dapat mengembangkan usaha dari nasabah debitur tersebut. Diantara faktor-faktor penilaian 105 106
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit, Hal. 110. Ibid, Hal. 110.
Universitas Sumatera Utara
yang ada, faktor terpenting yang berfungsi sebagai pengaman yuridis dari kredit yang disalurkan adalah jaminan kredit. 107 Dalam pelaksanaannya, pengertian perjanjian kredit selalu dikaitkan dengan bentuk perjanjian. Bentuk dan materi perjanjian kredit antara satu Bank dengan Bank yang lainnya tidaklah sama karena harus disesuaikan dengan kebutuhannya masingmasing. Jadi dapat dikatakan bahwa perjanjian kredit tersebut belum memiliki bentuk yang tetap, hanya saja dalam prakteknya banyak hal yang biasanya dicamtumkan dalam perjanjian kredit, misalnya definisi istilah-istilah yang akan dipakai dalam perjanjian ini terutama dalam perjanjian dengan istilah asing, jumlah dan batas waktu pinjaman, serta pembayaran pinjaman, penetapan suku bunga pinjaman dan denda bila debitur lalai membayar. Mengingat kredit yang diberikan oleh Bank mengandung resiko maka pemberian kredit oleh Bank harus dilandasi oleh keyakinan Bank atas kemampuan debitur untuk dapat melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. 108 Oleh karena itu untuk meyakinkan Bank bahwa si nasabah benar-benar dapat dipercaya dan tidak mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya Bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat dalam setiap pemberian kredit.
107
Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung : Alumni, 2006), Hal. 185. 108 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
Universitas Sumatera Utara
Bila Undang-Undang Perbankan diteliti, ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Bank untuk menjalankan kegiatan usahanya di bidang perkreditan yakni akan diuraikan sebagai berikut : a. Keharusan pemberian kredit berdasarkan analisis 5 C dan 7 P. Dalam pelaksanaannya untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh Bank. Dalam hal ini pihak Bank harus melakukan penilaian yang umum untuk mendapatkan nasabah yang benar-benar membutuhkan dan beritikad baik, maka dilakukan dengan analisis 7 P dengan unsur penilaian sebagai berikut : 1. Personality yakni mencakup sikap, emosi, tingkah laku dan tindakan nasabah dalam menghadapin suatu masalah dan menyelesaikannya. 2. Party yakni mengklasifikasikan nasabah dalam golongan-golongan tertentu, berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya dan ini mendapat fasilitas yang berbeda dari Bank. 3. Purpose yakni menilai usaha tujuan nasabah dalam mengambil kredit sesuai dengan kebutuhan. 4. Prospect yakni menilai usaha nasabah dimasa yang akan datang menguntungkan atau tidak, karena tanpa mempunyai prospek, bukan saja Bank yang rugi akan tetapi juga nasabah. 5. Payment yakni cara pembayaran dari mana sumber dana untuk pengembalian kredit. Semakin banyak sumber penghasilan debitur ini semakin baik karena jika salah satu rugi dapat ditutupi dengan usaha yang lain. 6. Prifitability yakni menganalisis kemampuan nasabah dalam mencari laba yang diukur dalam periode ke periode apakah sama atau meningkat dengan adanya tambahan kredit yang diperoleh. 7. Protection yakni untuk mendapatkan jaminan perlindungan sehingga kredit yang diberikan benar-benar aman, ini berupa jaminan barang atau jaminan asuransi. 109 Dengan penilaian tersebut di atas dapat dikatakan sebagai studi kelayakan usaha dan biasanya digunakan untuk proyek-proyek yang bernilai besar dan berjangka waktu panjang. b. Batas maksimum pemberian kredit Berdasarkan Pasal 11 penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan mengatakan :Pemberian kredit pembiayaan berdasarkan Prinsip Syahriah oleh Bank mengandung resiko kegagalan atau 109
Kashmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), Hal. 119-120.
Universitas Sumatera Utara
kemacetan dalam pelunasannya, sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan Bank. Mengingat bahwa kredit tersebut bersumber dari dana masyarakat yang disimpan pada Bank, resiko yang dihadapi Bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dan masyarakat tersebut. Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, Bank diwajibkan membayar resiko dengan mengatur penyaluran kredit atau pemberian pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada nasabah atau kelompok nasabah debitur tertentu. 110 Dalam hal ini untuk mengantisipasi hal tersebut Bank Indonesia telah mengeluarkan Surat Keputusan No.31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 yang mengatur tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) bank umum dengan tujuan untuk dilakukan penyebaran resiko dalam pemberian kredit. 111 BMPK dapat digolongkan sebagai berikut : 1. BMPK bagi peminjam yang merupakan pihak terkait : a. 10% dari modal bagi pihak terkait sebagai satu pinjaman atau kelompok peminjam. b. 10% dari modal untuk jumlah seluruh pihak terkait. 2. BMPK bagi pihak tidak terkait : c. 30% dari modal sejak berlaku SK s/d akhir 2001 d. 25% dari modal selama tahun 2002. e. 20% dari modal sejak 1 Januari 2003. 112 Oleh karena itu, praktek pemberian kredit oleh Bank sebaiknya bagi pihak terkait perlu dihindarkan atau sekurang-kurangnya sangat dibatasi, begitu juga bagi pihak tidak terkait hendaknya pemberian kredit jangan terlalu berlebihan yang berakibat Bank dalam keadaan beresiko tinggi. Untuk itu perlu ada ada ketentuan tentang batas maksimum pemberian kredit yang harus dipatuhi oleh setiap Bank. 110
Pasal 11 Penjelasan Umum angka 6 Undang-Undang No.10 tahun 1998, Tentang
Perbankan. 111
Suharno, Analisa Kredit, (Jakarta : Djambatan, 2003), Hal. 13. Ibid, Hal. 37.
112
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian kredit perlu mendapatkan perhatian khusus, baik oleh Bank sebagai kreditur maupun nasabah sebagai debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian kredit. Pada awal perkembangannya fungsi perjanjian kredit adalah untuk merangsang kedua belah pihak untuk saling menolong untuk tujuan pencapaian kebutuhan baik dalam bidang usaha maupun yang lebih tinggi berupa kemajuan-kemajuan pada usahanya atau mendapatkan pemenuhan akan kebutuhannya. Adapun bagi pihak yang memberikan kredit, secara material dia harus mendapatkan rentabilitas berdasarkan perhitungan yang wajar dari modal yang dijadikan objek kredit atau jaminan dan secara spritual mendapat kepuasan dengan dapat membantu pihak lain untuk mencapai kemajuan. Suatu kredit mencapai fungsinya apabila secara sosial ekonomis baik bagi debitur, kreditur maupun masyarakat membawa pengaruh kepada tahapan yang lebih baik, maksudnya baik bagi pihak debitur maupun kreditur mendapat kemajuan. Kemajuan tersebut dapat tergambarkan apabila mereka mendapat keuntungan yang juga mengalami peningkatan kesejahteraan dan masyarakat atau negara mengalami suatu penambahan dari penerimaan pajak, juga kemajuan ekonomi yang bersifat mikro maupun makro. Dari manfaat nyata dan manfaat yang diharapkan maka sekarang ini kredit dalam kehidupan perekonomian dan perdagangan mempunyai fungsi yaitu :113 a. Meningkatkan daya guna uang; b. Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang; c. Meningkatkan daya guna dan peredaran barang; 113
Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Perkreditan, Cetakan Ketiga, (Jakarta : Gramedia, 1990),
Hal. 12-13.
Universitas Sumatera Utara
d. Salah satu stabilitas ekonomi; e. Meningkatkan kegairahan berusaha; f. Meningkatkan pemerataan pendapatan; g. Meningkatkan hubungan internasional. Di dalam penulisan ini perjanjian kredit dibuat terlebih dahulu baru kemudian dilakukan perjanjian sewa menyewa, dimana kreditur memperbolehkan objek jaminan pindah ke pihak ketiga dengan syarat adanya persetujuan dari pihak Bank (kreditur). Dengan mana dalam hal ini objek sewa menyewa dijaminkan ke Bank guna pemenuhan agunan kredit yang diajukan oleh debitur untuk keperluan yang bersifat konsumtif berupa pengambilalihan (take over) pembiayaan terhadap pembelian rumah baru untuk dimiliki debitur.
Hal ini tertuang di dalam klausul perjanjian kredit pemilikan rumah mandiri yang disebutkan dalam angka I Ketentuan Kredit : 114 a. tujuan kredit adalah untuk keperluan yang bersifat konsumtif, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan atau ketertiban umum. 2. Pengikatan Kredit Bank Dengan Objek Jaminan Istilah jaminan merupakan terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie, yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditur, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap krediturnya. 114
Klausul Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Mandiri No. 72
Universitas Sumatera Utara
Terdapat sejumlah asas-asas dalam Hukum Jaminan yang objeknya berupa benda, yaitu : 1. Asas Hak Kebendaan (real right). Sifat kebendaan adalah absolut, artinya hak ini dapat dipertahankan pada setiap orang. Pemegang hak benda berhak menuntut setiap orang yang mengganggu haknya. Sifat lain dari hak kebendaan adalah droit de suite, artinya hak kebendaan mengikuti bendanya di dalam tangan siapa pun dia berada. 2. Asas Assessor artinya hak jaminan ini bukan merupakan hak yang berdiri sendiri (zelfstandigrecht), tetapi ada dan hapusnya bergantung (accessorium) kepada perjanjian pokok. 3. Hak yang didahulukan artinya hak jaminan merupakan hak yang didahulukan pemenuhannya dari piutang lain, objeknya dapat berupa benda yang tidak bergerak, terdaftar atau tidak terdaftar. 4. Hak Asesi yaitu perlekatan antara benda yang ada diatas tanah dengan tapak tanahnya. 5. Asas pemisahan horisontal yaitu dapat dipisahkan benda yang ada diatas tanah dengan tanah yang merupakan tapaknya. 6. Asas terbuka artinya ada publikasi sebagai pengumuman agar masyarakat mengetahui adanya beban yang diletakkan di atas suatu benda. 7. Asas spesifikasi/pertelaan dari benda jaminan. 8. Asas mudah dieksekusi. 115
Jaminan dapat dibedakan antara jaminan perorangan dengan jaminan kebendaan, yaitu : a) Jaminan Perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang pihak ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang (debitur). Ia bahkan dapat diadakan di luar (tanpa) pengetahuan si berhutang tersebut. b) Jaminan kebendaan adalah suatu bagian dari kekayaan seseorang, si pemberi jaminan dan menyediakannya guna pemenuhan (pembayaran) kewajiban (hutang) seorang debitur, baik berupa kekayaan si debitur sendiri atau kekayaan orang ketiga. 116 115
Tan Kamelo, Op. Cit,Hal. 19-20. R.Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan) Menurut Hukum Indonesia, (Bandung : Citra Bhakti, 1996), Hal. 17. 116
Universitas Sumatera Utara
Menurut Hartono Hadisoeprapto tentang hukum jaminan adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang jaminan di dalam pemberian kredit. Jaminan menurut Undang-Undang Perbankan diberi arti sebagai keyakinan akan itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. 117 Oleh karena lembaga jaminan tersebut mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, maka jaminan yang baik (ideal) adalah dapat secara mudah membantu memperoleh kredit itu oleh pihak yang memerlukannya, tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya, memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima (pengambil) kredit. 118 Dalam perspektif hukum perbankan, istilah jaminan ini dibedakan dengan istilah agunan. Di bawah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 Tentang PokokPokok Perbankan, tidak dikenal istilah agunan, yang ada istilah jaminan. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, diberi arti lain yaitu : keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk 117
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2001), Hal. 282. 118 R.Subekti, Op.Cit, Hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan diperjanjikan. Arti jaminan menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 diberi istilah agunan atau tanggungan, sedangkan jaminan menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, diberi arti lain yaitu keyakinan atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan diperjanjikan. 119 Sebenarnya dalam literatur tidak mengenal istilah jaminan, sebab kata recht secara subjektif berarti hak, sehingga dalam rangkaiannya zekerheids rechten adalah hak-hak jaminan. 120 Hak adalah suatu hubungan hukum antara subjek hak dan objek hak. Dengan demikian jika hendak merumuskan hukum jaminan maka dapat dikatakan sebagai ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang jaminan. Pada umumnya, arti jaminan adalah tagihan kreditur atas hutang debitur. 121 R. Subekti berpendapat bahwa memberikan suatu barang sebagai jaminan kredit berarti melepaskan sebagian kekuasaan atas barang itu. 122 A. Vollenhoven berpendapat bahwa : “Semua benda baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang secara yuridis dapat diserahkan hak miliknya dapat juga diserahkan hak miliknya 119
Rachmadi Usman, Op. Cit, Hal. 66. Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, (Semarang : Aneka, 1977), Hal. 707. 121 Ibid, Hal. 54. 122 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Benda (selanjutnya disebut Buku III), (Jakarta : Intermasa, 1983), Hal. 72. 120
Universitas Sumatera Utara
atas kepercayaan sebagai jaminan, hal ini sesuai dengan asas yang ada dalam Undang-Undang Pokok Agraria tentang asas horizontal”. 123 Jaminan kredit adalah perjanjian antara kreditur dengan seseorang yang mengikatkan diri sebagai penanggung untuk memenuhi seluruh prestasi debitur, baik sebagai jaminan pokok ataupun sebagai jaminan kebendaan yang lain sebesar seperti tercantum dalam perjanjian pokok, baik karena ditunjuk oleh kreditur maupun yang diajukan debitur atas perintah kreditur. 124 Prinsip hukum jaminan sebagaimana yang diatur oleh ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut : 1. Kedudukan harta pihak peminjam. Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang kedudukan harta pihak peminjam, yaitu bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnya merupakan jaminan (tanggungan) atas utangnya. Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menetapkan bahwa semua harta pihak peminjam, baik yang berupa harta bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari merupakan jaminan atas perikatan utang pihak peminjam. Ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan salah satu ketentuan pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan harta pihak yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pihak pemberi jaminan akan dapat menuntut pelunasan utang pihak peminjam dari semua harta yang bersangkutan, termasuk harta yang masih akan dimilikinya di kemudian hari. Pihak pemberi pinjaman mempunyai hak untuk menuntut pelunasan utang dari harta yang akan diperoleh oleh pihak peminjam di kemudian hari. Ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sering pula dicantumkan sebagai salah satu klausul dalam perjanjian kredit perbankan. Ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dicantumkan sebagai klausul dalam perjanjian kredit bila ditinjau dari isi (materi) perjanjian, disebut sebagai isi 123
A. Vollenhoven dalam buku Thomas Subroto, Tanya Jawab Hukum Jaminan Hipotik, Fiducia, Penanggungan, dan lain lain, (Semarang : Dahara Prize, 1994), Hal. 127. 124 Ibid, Hal. 193.
Universitas Sumatera Utara
yang naturalia. Klausul perjanjian yang tergolong sebagai isi yang naturalia merupakan klausul fakultatif, artinya bila dicantumkan sebagai isi perjanjian akan lebih baik, tetapi bila tidak dicantumkan,tidak menjadi masalah kecacatan perjanjian karena hal (klausul) yang seperti demikian sudah diatur oleh ketentuan hukum yang berlaku. 2. Kedudukan pihak pemberi pinjaman. Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat disimpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi jaminan dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu : a. yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang masingmasing, dan; b. yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan perUndang-Undangan. Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menetapkan bahwa harta pihak peminjam menjadi jaminan bersama bagi semua pihak pemberi pinjaman, hasil penjualan harta tersebut dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara pihak pemberi pinjaman itu mempunyai alasan yang sah untuk didahulukan. 3. Larangan memperjanjikan pemilikan objek jaminan utang oleh pihak pemberi pinjaman. Pihak pemberi pinjaman dilarang memperjanjikan akan memiliki objek jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji (wanprestasi). Larangan tersebut terdapat dalam ketentuan peraturan perUndang-Undangan, yaitu Pasal 12 UndangUndang No. 4 Tahun 1996 mengenai Hak Tanggungan. Larangan bagi pihak pemberi pinjaman untuk memperjanjikan akan memiliki objek jaminan utang sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan-ketentuan lembaga jaminan tersebut tentunya akan melindungi kepentingan pihak peminjam dan pihak pemberi pinjaman lainnya, terutama bila nilai objek jaminan melebihi besarnya utang yang dijamin. Pihak pemberi pinjaman yang mempunyai hak berdasarkan ketentuan lembaga jaminan dilarang secara serta merta menjadi pemilik objek jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji. 125 Praktek perbankan menerima harta benda sebagai jaminan kredit antara lain dapat berupa harta benda tidak bergerak seperti tanah yang sudah bersertifikat dengan bentuk perjanjian jaminannya adalah hak tanggungan. 126 125
M.Bahsan, Op.Cit, Hal. 11. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fiducia (Seri hukum Bisnis), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), Hal. 122. 126
Universitas Sumatera Utara
Dalam praktek perkreditan baik yang dilakukan oleh Bank atau Lembaga Keuangan lainnya yang hendak mengucurkan kredit terkait dengan sejumlah jaminan tertentu yang akan diberikan oleh debitur yang biasanya terbagi dalam 2 (dua) jenis jaminan yaitu : 1. Jaminan Pokok dan; 2. Jaminan Tambahan. Jaminan Pokok biasanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit tersebut, sedangkan jaminan tambahan adalah harta kekayaan nasabah debitur. Harta kekayaan dapat berupa barang bergerak dan tidak bergerak. 127 Jaminan kebendaan yang berupa jaminan kebendaan tidak bergerak, dapat dibebankan dengan hak tanggungan. 128 Benda-benda (tanah) yang akan dijadikan jaminan atas suatu hutang dengan dibebani hak tanggungan, benda yang bersangkutan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Dapat dinilai dengan uang, karena uang yang dijamin berupa uang. 2. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas. 3. Mempunyai sifat dapat dipindahkan, karena apabila debitur cidera janji, benda yang dijadikan jaminan akan dapat dijual di muka umum, dan 4. Memerlukan penunjukan dengan Undang-Undang. 129
127
Tan Kamello, Op. Cit, (Bandung : Alumni, 2006), Hal. 15. Rachmadi Usman, Op. Cit, Hal. 77. 129 Boedi Harsono & Sudaryanto Wirjodarsono, Konsepsi Pemikiran Tentang UUHT, Makalah Seminar Nasional“Kesiapan Dan Persiapan Dalam Rangka Pelaksanaan UUHT”, (Bandung : Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, 1996), Hal. 5. 128
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya perjanjian pendahuluan atau pokok yang mendahuluinya. Karenanya perjanjian jaminan merupakan perjanjian asesor (accessoir), tambahan, atau ikutan. Sebagai perjanjian asesor, eksistensi perjanjian jaminan ditentukan oleh ada dan hapusnya perjanjian pendahuluan atau perjanjian pokoknya. Pada umumnya biasanya perjanjian pendahuluan ini berupa perjanjian utang piutang, perjanjian pinjam meminjam uang, perjanjian kredit atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Kehadirannya perjanjian utang piutang tersebut menjadi dasar timbulnya perjanjian jaminan, atau sebaliknya dengan berakhirnya perjanjian pendahuluan, berakhir pula perjanjian jaminannya. Dalam perjanjian utang piutang, diperjanjikan pula antara debitur dan kreditur bahwa pinjamannya tersebut dibebani pula dengan suatu jaminan, yang selanjutnya diikuti dengan pengikatan jaminan, yang dapat berupa pengikatan jaminan kebendaan atau jaminan perseorangan. Yang dibicarakan dalam tesis ini adalah pengikatan jaminan kebendaan. 130 Apabila perjanjian pembebanan jaminan dilakukan dalam bentuk tertulis, maka bisa dilakukan dengan menggunakan akta di bawah tangan dan akta autentik. Akta di bawah tangan adalah suatu akta yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak saja dengan tanpa bantuan seorang pejabat umum atau akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang tidak berwenang. Sementara itu, akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum yang 130
Rachmadi Usman, Op. Cit, Hal. 86.
Universitas Sumatera Utara
berwenang untuk itu, seperti Notaris, di mana bentuk aktanya juga telah ditentukan oleh Undang-Undang. 131 Persyaratan untuk mendapatkan fasilitas kredit Bank merupakan suatu keharusan untuk menyediakan barang jaminan itu, bagi pencari modal usaha kadangkadang merupakan suatu persoalan berat. Namun karena jaminan merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi, maka baik kreditur maupun nasabah debitur berusaha mencari bentuk jaminan yang menguntungkan kedua belah pihak. Hal ini disebabkan lembaga jaminan kebendaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kurang dapat mengakomodir perkembangan masyarakat akan kebutuhan lembaga jaminan. 132 3. Persetujuan Penyewaan Jaminan Kredit Dalam Pasal 11 ayat 2 huruf a Undang-Undang Hak Tanggungan dikatakan bahwa dalam akta pemberian hak tanggungan dapat dicantum janji-janji antara lain yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk menyewakan objek hak tanggungan dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan. Janji seperti ini di waktu yang lampau disebut janji sewa (huurbeding), walaupun isinya adalah “janji untuk tidak menyewakan”
tanpa
persetujuan
dari
kreditur
pemegang
hipotik
yang
memperjanjikan janji seperti itu.
131
Ibid, Hal. 87. R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia (Buku I), (Bandung : Alumni, 1989), Hal. 29 dan merintangi kebutuhan ekonomi dewasa ini terutama apabila yang harus diserahkan itu adalah barang-barang modal yang perlu dipakai dalam menjalankan usaha si pemberi jaminan. 132
Universitas Sumatera Utara
Pasal 12 ayat (2) huruf a Undang-Undang Hak Tanggungan ini memuat janji sewa, yaitu membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk : a) Menyewakan objek hak tanggungan, dan/atau b) Menentukan jangka waktu sewa, dan/atau c) Mengubah jangka waktu sewa, dan/atau d) Menerima uang muka sewa. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberi hak tanggungan tidak kehilangan wewenang untuk mengambil tindakan kepengurusan dan kepemilikan terhadap benda yang telah dijaminkan dengan hak tanggungan. Dengan adanya janji sewa tersebut, maka pemberi hak tanggungan dibatasi kewenangan. Namun demikian, ditentukan dalam klausul terakhir dari ketentuan dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a Undang-Undang Hak Tanggungan, yang kemudian dipertegas dalam penjelasannya : Pemberi hak tanggungan masih diperbolehkan melaksanakan kewenangan yang dibatasi dimaksud sepanjang untuk itu telah diperoleh persetujuan tertulis dari pemegang hak tanggungan. Jadi, pemberi hak tanggungan masih dapat melaksanakan kewenangan untuk menyewakan objek hak tanggungan, sepanjang kewenangan menyewakan objek hak tanggungan tersebut telah disetujui pemegang hak tanggungan. 133 Bahwa di dalam klausul Perjanjian Kredit disebutkan bahwa selama berlakunya perjanjian kredit ini agunan yang telah diberikan oleh Debitur/Pemilik Agunan kepada Bank berdasarkan Perjanjian Kredit ini tidak boleh diagunkan, dijual 133
Rachmadi Usman, Op. Cit, Hal. 420.
Universitas Sumatera Utara
atau dialihkan dengan cara apapun kepada pihak lain atau disewakan dengan tanpa adanya persetujuan tertulis terlebih dahulu. 134 Bank mengeluarkan persetujuan dalam bentuk Surat Persetujuan Penyewaan Jaminan Fixed Asset Fasilitas Kredit atas nama si pengambil kredit yaitu debitur yang mana surat tersebut mencantumkan objek jaminan yang disetujui permohonannya untuk disewakan dengan ketentuan : 1. Bahwa surat perjanjian sewa dibuat secara Notariil melalui Notaris yang ditunjuk oleh Bank. 2. Dalam surat persetujuan sewa menyewa harus dicantumkan klausula dengan beberapa ketentuan yang ditetapkan oleh Bank. 3. Menyerahkan copy surat perjanjian sewa menyewa kepada Bank tersebut. 4. Transaksi pembayaran sewa dilaksanakan melalui rekening debitur tersebut. 135 Dalam Surat Persetujuan Penyewaan Jaminan Fixed Asset Fasilitas Kredit yang dikeluarkan oleh kreditur (Bank) disebutkan penyewaan objek jaminan kredit diberikan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun oleh karena itu jika penyewaan objek jaminan kredit oleh debitur akan dilakukan lebih dari 1 (satu) tahun maka debitur dalam hal ini boleh meminta izin terlebih dahulu kepada kreditur (Bank) untuk menyewakan objek jaminan kredit kepada pihak ketiga. Persetujuan penyewaan objek jaminan kredit yang akan dilakukan lebih dari 1 (satu) tahun diberikan oleh kreditur (Bank) dengan mempertimbangkan kembali layak tidaknya debitur diberi izin untuk 134 135
Akta Perjanjian Kredit Pasal 3 butir c. Surat Persetujuan Penyewaan Jaminan Fixed Aset Fasilitas Kredit.
Universitas Sumatera Utara
menyewakan agunan kredit lebih dari 1 (satu) tahun. Karena mengingat pemberian persetujuan agunan kredit yang akan disewakan mengandung resiko maka harus dilandasi keyakinan dari kreditur (Bank) atas kemampuan debitur untuk dapat melunasi hutang sesuai dengan yang diperjanjikan. Debitur tidak ada kewajiban untuk menyetorkan uang hasil sewa menyewa dari pihak ketiga kepada kreditur (Bank). Uang hasil sewa menyewa tidak harus untuk menutupi plafon kredit. Di dalam surat Persetujuan Penyewaan Jaminan Fixed Asset Fasilitas Kredit disebutkan transaksi pembayaran sewa dilaksanakan melalui rekening debitur.
Universitas Sumatera Utara