BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG SEWA MENYEWA
A. Pengertian Sewa Menyewa dan Dasar Hukumnya 1. Pengertian Sewa Menyewa Sewa-menyewa dalam bahasa Arab diistilahkan dengan al-ijarah, yang artinya upah, sewa, jasa atau imbalan.1 Perlu dijelaskan pula makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya Fiqh al-Syafi’i, sebagaimana dikutip Hendi Suhendi dalam Fiqh Muamalah berpendapat bahwa ijarah berarti upah-mengupah. Ini terkait dengan rukun dan syarat upah mengupah, yaitu mu’jir dan musta’jir (yang memberikan dan yang menerima upah).2 Menurut Sayyid Sabiq pengertian sewa-menyewa ialah sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.3 Abd al-Rahman al-Jaziri mengartikan ijarah sebagai akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.4 Sedangkan M. Hasbi Ash Shiddieqy
1
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 227. 2
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 113.
3
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, Kairo: Daar al-Fath, 1990, , hlm. 15.
4
Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Juz II, Beirut: Daar alKutb al-Ilmiyyah, t.th., hlm. 94.
15
16
mengartikan; akad ijarah ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.5 Menurut istilah hukum Islam, orang yang menyewakan disebut dengan mu’ajir. Sedangkan orang yang menyewa disebut dengan musta’jir. Benda yang disewakan diistilahkan dengan ma’jur dan uang sewa atau imbalan atas pemakaian manfaat barang tersebut disebut ujrah. 6 Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud sewa-menyewa adalah pemindahan manfaat suatu benda yang disewakan dari orang yang menyewakan kepada penyewa, seperti rumah, kendaraan, maupun berupa karya pribadi seperti pekerja. Sedangkan hakikat bendanya atau kepemilikan bendanya masih tetap menjadi milik orang yang menyewakan.
2. Dasar Hukum Sewa-Menyewa Dasar hukum sewa-menyewa adalah al-Qur'an, hadits dan ijma. Dalam al-Qur'an misalnya al- surat al-Baqarah ayat 233:
وان أردﺗﻢ أن ﺗﺴﺘﺮﺿﻌﻮا أوﻟﺪآﻢ ﻓﻼﺟﻨﺎح ﻋﻠﻴﻜﻢ اذا ﺳﻠﻤﺘﻢ ﻣﺎ أﺗﻴﺘﻢ (٢٣٣ :)اﻟﺒﻔﺮة
.ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف واﺗﻘﻮا اﷲ واﻋﻠﻤﻮا أن اﷲ ﺑﻤﺎ ﺗﻌﻤﻠﻮن ﺑﺼﻴﺮ
Artinya : “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah 5
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. I, 1997, hlm. 425. 6
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm. 52.
17
bahwa Allah mengetahui yang kamu perbuat”. (Q.S. alBaqarah: 233).7 Surat al-Thalaq ayat 6 juga menyebutkan: (٦ :)اﻟﻄﻼق
.ﻓﺎن ارﺿﻌﻦ ﻟﻜﻢ ﻓﺄﺗﻮهﻦ أﺟﻮرهﻦ
Artinya : “Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka”. (Q.S. al-Thalaq: 6).8 Landasan sunnahnya dapat dilihat pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas bahwa Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: .()رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ
.اﺣﺘﺠﻢ واﻋﻂ اﻟﺤﺠﺎم أﺟﺮﻩ
Artinya: “Berkekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”. (HR. Bukhari dan Muslim).9 Terdapat pula dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: ()رواﻩ اﺑﻦ ﻣﺠﻪ
.أﻋﻄﻮا اﻷﺟﻴﺮ أﺟﺮﻩ ﻗﺒﻞ أن ﻱﺠﻒ ﻋﺮﻓﻪ
Artinya: “Berikanlah olehmu sewaan upah orang sebelum keringatnya kering”. (H. Ibn Majah).10
7
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur'an, al-Qur'an dan Terjemahnya, Medinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf al-Syarif, 1418 H. hlm. 57. 8
Ibid., hlm. 945.
9
Muhammad bin Ismail al-Shan’ani, Subul al-Salam, Juz III, Beirut: Daar al-Kutb alIlmiyah, 1988, hlm. 6. 10
Ibid.
18
Sedangkan landasan ijma’nya ialah semua umat bersepakat, tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan ijma’ ini. Sekalipun ada beberapa orang di antara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak begitu signifikan.11 Jadi, dasar hukum diperbolehkannya akad sewa-menyewa yaitu al-Qur’an, al-hadits dan ijma’ ulama. Dengan tiga dasar hukum tersebut maka status hukum sewa-menyewa sangat kuat, karena ketiganya merupakan sumber penggalian hukum Islam yang utama.
B. Rukun dan Syarat Sewa Menyewa 1. Rukun Sewa-Menyewa Untuk sahnya sewa-menyewa, pertama kali harus dilihat terlebih dahulu orang yang melakukan perjanjian sewa-menyewa tersebut. Apakah kedua belah pihak telah memenuhi syarat untuk melakukan perjanjian pada umumnya atau tidak. Penting untuk diperhatikan bahwa kedua belah pihak cakap bertindak dalam hukum, yaitu punya kemampuan dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Al-Syafi’i dan Hambali menambahkan satu syarat lagi, yaitu dewasa. Perjanjian sewa-menyewa yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa tidak sah walaupun mereka sudah berkemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.12
11
Ibid., hlm. 117.
12
Chairiman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm. 53.
19
Rukun sewa-menyewa, menurut ulama madzhab Hanafi hanya satu, yaitu ijab dan qabul (ungkapan menyerahkan dan persetujuan sewamenyewa). Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa rukun sewamenyewa (ijarah) ada empat, yaitu: a. Orang yang berakad b. Sewa/imbalan c. Manfaat d. Sighat (ijab dan qabul).13 2. Syarat Sahnya Sewa-Menyewa Adapun
syarat
sahnya
perjanjian
sewa-menyewa
harus
terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Pertama, masing-masing pihak rela melakukan perjanjian sewa-menyewa. Maksudnya, kalau di dalam perjanjian sewa-menyewa terdapat unsur pemaksaan, maka sewamenyewa itu tidak sah. Kedua, harus jelas dan terang mengenai objek yang diperjanjikan. Maksudnya, barang yang dipersewakan disaksikan sendiri, termasuk juga masa sewa (lama waktu sewa-menyewa berlangsung) dan besarnya uang sewa yang diperjanjikan. Ketiga,
objek
sewa-menyewa
dapat
digunakan
sesuai
peruntukannya. Maksudnya, kegunaan barang yang disewakan harus jelas dan dapat dimanfaatkan oleh penyewa sesuai dengan peruntukannya (kegunaan) barang tersebut. Seandainya barang itu tidak dapat digunakan 13
M. Ali Hasan, op.cit., hlm. 231.
20
sebagaimana yang diperjanjikan, maka perjanjian sewa menyewa itu dapat dibatalkan. Keempat, objek sewa menyewa dapat diserahkan. Maksudnya, barang yang diperjanjikan dalam sewa-menyewa harus dapat diserahkan sesuai dengan yang diperjanjikan. Oleh karena itu, kendaraan yang akan ada (baru rencana untuk dibeli) dan kendaraan yang rusak tidak dapat dijadikan sebagai objek perjanjian sewa-menyewa. Sebab barang yang demikian tidak dapat digunakan oleh penyewa. Kelima, kemanfaatan objek yang diperjanjikan adalah yang dibolehkan dalam agama. Perjanjian sewa-menyewa barang yang kemanfaatannya tidak dibolehkan oleh hukum agama tidak sah dan wajib untuk ditinggalkan. Misalnya, perjanjian sewa-menyewa rumah yang digunakan untuk kegiatan prostitusi. Atau, menjual minuman keras serta tempat perjudian. Demikian juga memberikan uang kepada tukang ramal. Selain itu, tidak sah perjanjian pemberian uang (ijarah) puasa atau shalat, sebab puasa dan shalat termasuk kewajiban individu yang mutlak dikerjakan oleh orang yang terkena kewajiban.14 Dara paparan di atas dapat diketahui bahwa ada beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam sewa-menyewa agar sah. Rukun-rukunnya ada empat yaitu, orang yang berakad, sewa atau imbalan, manfaat, dan sighat (ijab qabul). Sedangkan syarat-syaratny ada lima yaitu; kedua belah pihak saling rela, objek yang disewkan harus jelas, adanya manfaat pada objek yang
14
Chairiman Pasaribu, op.cit., hlm. 53-55.
21
disewakan, objek yang disewakan berwujud (hadir), dan manfaat yang disewakan adalah halal menurut Islam.
C. Manfaat Sewa-Menyewa Sewa-menyewa
merupakan
bentuk
muamalah
yang
sangat
dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Karena itulah syari’at Islam mengaturnya. Seseorang terkadang dapat memenuhi salah satu kebutuhan hidupnya tanpa melakukan pembelian barang, karena jumlah uangnya yang terbatas. Misalnya menyewa rumah, sementara pihak yang lainnya memiliki kelebihan rumah dan dapat menyewakannya untuk memperoleh uang dalam rangka memenuhi kebutuhan lainnya. Tidak semua orang dapat membeli kendaraan, karena harganya yang tidak terjangkau. Namun demikian setiap orang dapat menikmati angkutan tersebut dengan jalan menyewa. Kendaraan dan angkutan merupakan kebutuhan vital dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga banyak pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan sendiri, karena terbatasnya tenaga dan ketrampilan, misalnya mendirikan bangunan dalam keadaan mana kita mesti menyewa (buruh) yang memiliki kesanggupan dalam pekerjaan tersebut. Bentuk muamalah sewa-menyewa mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari sejak zaman dahulu hingga kini. Tidak dapat dibayangkan betapa kesulitan akan timbul dalam kehidupan sehari-hari, seandainya sewa-menyewa ini tidak dibenarkan oleh Islam.
22
Karena itu, sewa-menyewa dibolehkan dengan keterangan syara yang jelas, dan merupakan manifestasi daripada keluwesan dan keluasan hukum Islam. Setiap orang mendapatkan hak untuk melakukan sewamenyewa berdasarkan prinsip-prinsip yang telah diatur dalam syari’at Islam.15 Sewa-menyewa sebagaimana perjanjian jual beli, merupakan transaksi bersifat konsensual. Perjanjian ini mempunyai akibat hukum yaitu pada saat sewa-menyewa berlangsung, dan apabila akad sudah berlangsung, maka pihak yang menyewakan (mu’ajjir) berkewajiban untuk menyerahkan barang (ma’jur) kepada pihak penyewa (musta’jir), dan dengan diserahkannya manfaat barang/benda maka pihak penyewa berkewajiban pula untuk menyerahkan kembali uang sewanya (ujrah). Dengan demikian dapat ditegaskan lagi bahwa manfaat sewa menyewa sangat jelas, seseorang dapat menggunakan manfaat suatu barang tanpa harus membeli barang tersebut. Padahal tidak semua barang dapat terjangkau harganya, seperti kendaraan, tidak semua orang dapat membeli kendaraan, akan tetapi setiap orang dapat menikmati angkutan umum dengan jalan sewa. Demikian pula banyak pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan sendiri, karena terbatasnya tenaga dan ketrampilan, dengan sewa-menyewa pekerjaan tersebut dapat dikerjakan oleh orang lain dengan jalan sewa tenaga.
15
Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam; Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi, Bandung: CV. Diponegoro, 1984, hlm. 319-320.
23
D. Macam-macam Sewa-Menyewa Ragam sewa-menyewa dapat dilihat dari obyeknya. Dilihat dari segi obyeknya, sewa-menyewa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu sewamenyewa yang bersifat manfaat dan yang bersifat pekerjaan. Sewa-menyewa yang bersifat manfaat dalam bentuk suatu barang misalnya; pertama, sewa-menyewa rumah. Sewa-menyewa rumah sudah umum di masyarakat, sehingga dalam kitab-kitab fiqh Islam biasanya ada bahasan khusus. Rumah dapat disewa atau dipersewakan. Islam membenarkan praktek ini, karena kedua belah pihak mengambil manfaat darinya. Kedua belah pihak pun dapat mengatur syarat-syarat persewaan yang mereka kehendaki, sepanjang tidak bertentangan dengan aturan dasar al-Qur’an dan hadits Nabi s.a.w.16 Kedua, sewa-menyewa hewan. Hewan memiliki berbagai macam kegunaan, misalnya untuk tunggangan, angkutan dan manfaat-manfaat lainnya. Oleh karena tidak ada larangan dalam al-Qur’an dan hadits untuk menyewa bagi salah satu keperluan tersebut, maka sewa-menyewa tersebut dibolehkan. Dalam kehidupan modern, model sewa-menyewa dengan manfaat di atas, dapat dikembangkan misalnya sewa-menyewa kendaraan (angkutan), ataupun mesin-mesin untuk keperluan usaha.17 Ketiga, sewa-menyewa pohon. Tidak terdapat larangan dalam alQur’an dan hadits Nabi s.a.w. untuk melakukan sewa-menyewa pohon atau
16
Chairuman Pasaribu, op.cit., hlm. 55-56.
17
Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, Semarang: Asy-Syifa’, 1991, hlm. 206-207.
24
tanaman untuk diambil hasilnya, baik jangka waktu semusim ataupun beberapa musim sesuai kesepakatan.18 Keempat, sewa-menyewa mata uang. Umumnya, ulama terdahulu membahas hukum sewa-menyewa uang dirham dan dinar. Dalam madzhab Mlaiki, terdapat perselisihan pendapat. Ibn al-Qasim berpendapat tidak boleh menyewakan barang tersebut, dan hal ini adalah pinjaman. Alasannya, karena pada barang tersebut tidak tergambar adanya manfaat, kecuali dengan mersusakkan barangnya. Abu Bakar al-Anshari, dan lainnya memandang bahwa sewa-menyewa mata uang adalah sah bahkan harus ada sewanya. Alasannya, karena adanya manfaat padanya. Orang berniat menyewa mata uang itu, karena merasa ada manfaat baginya, misalnya untuk dibawa bepergian atau sebagai cadangan.19 Kelima, sewa-menyewa tanah. Inilah yang menjadi perdebatan di kalanga ulama terdahulu. Sebagian ulama tidak membenarkan sewa-menyewa tanah dalam bentuk apapun, karena dalam perbuatan tersebut derdapat kesamaran. Pemilik tanah memperoleh keuntungan pasti dari hasil sewa tanahnya, sementara pihak penyewa berada dalam keadaan spekulasi, boleh jadi berhasil, atau malah gagal karena tertimpa bencana. Di antara ulama klasik yang melarang menyewakan tanah untuk pertanian adalah Abu Bakar bin Abdurrahman dan Thawus.20 Mereka berpegangan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari: 18
Hamzah Ya’qub, op.cit., hlm. 324.
19
Ibn Rusyd, loc.cit.
20
Hamzah Ya’qub, op.cit., hlm. 322-323.
25
ﻥﺆﺟﺮهﺎ ﻋﻠﻰ اﻟﺮﺑﻊ وﻋﻠﻰ اﻷوﺳﻖ:ﻣﺎ ﺗﺼﻨﻌﻮن ﺑﻤﺤﺎﻗﻠﻜﻢ )ﻣﺰارﻋﻜﻢ(؟ ﻗﺎﻟﻮا ()رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى
. ﻻﺗﻔﻌﻠﻮا: ﻗﺎل,ﻣﻦ اﻟﺘﻤﺮ واﻟﺸﻌﻴﺮ
Artinya: “Apakah yang akan kalian perbuat terhadap ladang kalian? Mereka menjawab: “Kami sewakan dia dengan seperampat dan beberapa wasaq dan gandum.” Maka jawab Nabi s.a.w.: “Jangan kalian lakukan yang demikian”. (H.R. al-Bukhari).21 Sedangkan jumhur ulama klasik seperti al-Syafi’i, membolehkan menyewakan tanah untuk pertanian.22 Mereka berargumentasi dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim:
ﺳﺄﻟﺖ راﻓﻊ ﺑﻦ ﺥﺪﻱﺞ ﻋﻦ آﺮاء اﻻرض ﺑﺎﻟﺬهﺐ:ﻋﻦ ﺣﻨﻈﻠﺔ ﺑﻦ ﻗﻴﺲ ﻗﺎل اﻥﻤﺎ آﺎن اﻟﻨﺎس ﻱﺆﺟﺮون ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ رﺳﻮل اﷲ, ﻻ ﺑﺄس ﺑﻪ: ﻓﻘﺎل,واﻟﻔﻀﺔ واﺵﻴﺎء ﻣﻦ اﻟﺰرع ﻓﻴﻬﻠﻚ.ﺹﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎذﻱﺎﻥﺎت واﻗﺒﺎل اﻟﺠﺪاول ﻓﻠﺬﻟﻚ, وﻟﻢ ﻱﻜﻦ ﻟﻠﻨﺎس آﺮاء اﻻ هﺬا, وﻱﺴﻠﻢ هﺬا وﻱﻬﻠﻚ هﺬا,هﺬا وﻱﺴﻠﻢ هﺬا ()رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ
. ﻓﺄﻣﺎ ﺵﻴﺊ ﻣﻌﻠﻮم ﻣﻀﻤﻮن ﻓﻼ ﺑﺄس ﺑﻪ,زﺟﺮ ﻋﻨﻪ
Artinya: “Handhalah bin Qais berkata: “saya bertanya kepada Raf’i bin Khadij tentang menyewakan tanah dengan emas dan perak. Ia menjawa: “tiada salah”. Di zaman Rasulullah s.a.w. orang-orang menyewakan tanah dengan tanaman yang tumbuh di perjalanan air dan yang tumbuh di pinggir selokan dan dengan beberapa macam dari tumbuh-tumbuhan, lalu binasa ini selamat itu, dan selamat ini binasa itu, dan tiada (waktu itu) bagi orang-orang sewa21
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab Sewa Menyewa, Beirut: Daar al-Fikr, t.th., hlm. 34. 22
Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm (Kitab Induk), terj. Semarang: Asy Syifa, 1990, hlm.. 219.
26
menyewa, melainkan cara ini. Oleh sebab itu, Nabi melarang padanya. Adapun sesuatu yang jelas dan dilarang maka tidak salah”. (H.R. Muslim).23 Berdasar hadits tersebut, fuqaha yang berpandangan membolehkan sewa-menyewa tanah dengan pembayaran yang jelas, misalnya dengan uang, emas atau perak diperbolehkan. Sedangkan yang dilarang ialah yang tidak berketentuan.24 Karena perkembangan zaman, berkembang pula kebutuhan manusia akan manfaat suatu barang, maka manfaat-manfaat barang yang dapat disewakan dapat dikembangkan, tidak sebatas yang telah disebutkan di atas. Manfaat-manfaat suatu barang yang dapat disewakan dapat dikembang sesuai dengan kebutuhan, sepanjang barang tersebut memiliki manfaat dan tidak dilarang secara jelas oleh syara’. Adapun objek sewa-menyewa pada sektor pekerjaan atau jasa seperti tenaga perburuhan untuk mengerjakan suatu tugas. Buruh adalah orang yang menyewakan tenaganya kepada orang lain untuk dikaryakan berdasarkan kemampuannya dalam suatu pekerjaan. Tenaga buruh tersebut boleh disewakan, karena tidak adanya nash al-Qur’an maupun hadits yang melarangnya. Perburuhan termasuk muamalah yang dapat dilakukan dalam setiap sektor kehidupan manusia yang perlu tunjangan-tunjangan dan topanganmenopang antara satu dengan lainnya, misalnya dalam industri, pertanian,
23
Muslim ibn Hajaj, Shahih Muslim, Beirut: Daar al-Fikr, t.th., hlm. 45.
24
Ibn Rusyd, op.cit., hlm. 201-202.
27
peternakan, pengangkutan, dsb. Karena tidak mungkin seseorang dapat mengerjakan dan menyelesaikan suatu urusan dengan kemampuannya sendiri, seperti ketika membangun sebuah rumah. Oleh karena itu, perlu menyewa tenaga atau memperkejakan orang lain yang memapu melakukannya dengan imbalan pembayaran yang disepakati oleh kedua belah pihak atau menurut adat kebiasaan yang berlaku. 25 Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa dilihat dari obyek sewa-menyewa ada dua, yaitu sewa-menyewa yang bersifat manfaat dan yang bersifat pekerjaan. Yang termasuk sewa-menyewa bersifat manfaat seperti sewa-menyewa rumah, hewan, pohon, mata uang, dan sewa-menyewa sewamenyewa tanah. Adapun objek sewa-menyewa pekerjaan atau jasa adalah seperti tenaga perburuhan untuk mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan. Macam-macam obyek sewa-menyewa tersebut dapat dikembangkan sesuai perkembangan zaman, seperti sewa kendaraan, sewa komputer, dll.
25
M. Ali Hasan, op.cit., hlm. 236.