BAB II KEBUDAYAAN MASYARAKAT MAENAMÖLÖ
2.1.
Geografi Maenamölö
Secara geografi, Maenamölö terletak pada 0° 33’ 25” LS dan 1° 4’ 5” LU serta 97° 25’ 59” dan 98° 48’ 29” BT. Berbatasan dengan:
Sebelah Utara : Kecamatan Aramö
Sebelah Selatan : Samudera Hindia
Sebelah Timur : Kecamatan Telukdalam
Sebelah Barat
: Kecamatan Mazinö
Topografi Maenamölö sebagaian besar berbukit-bukit dan terjal dengan ketinggian mencapai 800 meter di atas permukaan laut dan dataran yang rendah terdapat lembah dikelilingi oleh Samudera Hindia yang membentang langsung ke Afrika di Barat dan Antartika di Selatan. Iklim di daerah Maenamölö antara 17,0°-32,60° celcius dan rata-rata kelembaban udara antara 80 - 90%. Kecepatan angin mencapai 14 hingga 16 knot per jam menyebabkan musim kemarau dan musim hujan datang dengan silih berganti. Curah hujan perbulan rata-rata 298,60 mili meter, diperkirakan lebih banyak hari hujan daripada kemarau setiap bulan. Dengan demikian, kondisi alamnya menjadi sangat lembab dan basah sehingga mengakibatkan sering terjadinya longsor di sana-sini bahkan daerah aliran sungai yang berpindahpindah. Hal ini sering kali dibarengi dengan badai besar. Badai laut biasanya terjadi antara bulan Maret, Juni, September dan November setiap tahun tetapi
Universitas Sumatera Utara
terkadang badai bisa berubah secara mendadak. Akibat kondisi alam yang demikian melahirkan aliran sungai kecil, sedang dan besar ditemui di seluruh wilayah.
2.2.
Asal Usul Maenamölö Secara etimologi, kata ‘Maenamölö’ dibagi menjadi Mae, artinya citra,
seperti, menyerupai, penjelmaan, inkarnasi. Na, adalah singkatan dari seseorang yang dituakan. Mölö adalah nama pribadi leluhur yang pernah bertransmigrasi ke Böröfösi pada masa lalu. Sebelum peristiwa pemekaran Kecamatan Maniamölö, seluruh desa di wilayah ini masih menyebutnya Maenamölö. Argumentasi tersebut dibuktikan dengan pendirian nama kampung Bawömaenamölö, Hilimaenamölö yang berada di wilayah Kecamatan Maniamölö hingga saat ini masih menyebut dirinya sebagai Maenamölö Tou. Demikian juga warga kampung Hilinawalö Fau, Onohondrö dan Siwalawa yang berada di wilayah Kecamatan Fanayama, menyebut identitas sebagai Maenamölö atas. Jadi dapat didefinisikan Maenamölö merupakan sekumpulan masyarakat beberapa kampung yang memiliki hubungan darah dalam satu garis keturunan leluhur yang sama bernama Mölö di wilayah Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias. Menurut Sökhiaro Welther Mendröfa, (1980:63-137), bahwa nenek moyang masyarakat suku Nias diturunkan dari Teteholi Ana’a, 16 disanalah Sirao Uwu Jihönö bertahta. Raja tersebut memiliki tiga orang permaisuri dan masing-
16
Teteholi Ana’a, artinya langit lapisan ke-9, tempat dewa dewa pencipta bertahta, rahim sang ibu, suatu negeri yang sangat indah dan permai.
Universitas Sumatera Utara
masing dikaruniai tiga orang anak laki-laki. Permaisuri yang pertama adalah bernama Mburutio Rao Gawe Zihönö. Anaknya laki-laki bernama Baewadanö, La’indrö Lai Sitambaliwö, Balugu Luo Mewöna. Permaisuri yang kedua adalah bernama Nawaöndru Ere Gowasa. Anaknya laki-laki bernama Lasoro Gae Sitölu Ndraha, Gözö Tuuha Zangaröfa, Hia Walani Adu. Permaisuri yang ketiga adalah bernama Zi’adulo Rao Ana’a. Anaknya laki-laki bernama Lahari Sofusö Kara, Daeli Bagabölö Lani, Lulu Hada Ana’a. Pada suatu hari terjadi keributan yang sangat sengit diantara ke sembilan putra Sirao Uwu Jihönö untuk merebut mahkota Tetehőli Ana’a. Karena suasana pertengkaran di istana semakin memanas, maka untuk menenangkan keadaan tersebut Sirao Uwu Jihönö mengundang seluruh rakyat dari berbagai penjuru untuk menyaksikan sayembara memperebutkan mahkota Teteholi Ana’a. Sebelum sayembara dimulai, bangkitlah raja Sirao Uwu Jihönö Uwu Jato seperti seekor singa yang mengaung dihadapan ribuan orang dengan menyerukan barangsiapa diantara kesembilan anak-anakku yang sanggup memanjat dan menari-nari di atas mata tombak yang dipancangkan di halaman istana bagaikan seekor burung yang sedang bertengger di atasnya maka kepadanyalah aku berkenan. Dialah yang akan mewariskan tahta kerajaan di Teteholi Ana’a.’ Kemudian raja Sirao Uwu Jihönö mempersilahkan satu persatu putranya mulai dari yang tertua secara berurutan. Ironisnya, dari delapan orang anaknya tak seorangpun yang berhasil melakukannya. Namun tiba pada giliran si bungsu bernama Luomewöna, dia mengawali dengan bersujud dihadapan ayahnya dan kepada ketiga orang istri ayahnya serta kepada seluruh rakyat memohon restu. Tidak lama kemudian, tiba-tiba suasana sayembara mulai berubah, semua
Universitas Sumatera Utara
perhatian tertuju kepadanya. Saat melakukannya, dengan penuh mudah sekali baginya mencapai mata tombak itu dan akhirnya iapun berhasil memenangkan sayembara itu. Maka berseru-serulah raja Sirao dihadapan ribuan orang yang menyaksikan kebolehan Luomewöna bahwa mulai pada hari ini dialah yang akan bertahta di Teteholi Ana’a. Tidak lama setelah dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya, ke delapan orang abangnya yang kalah dibuang ke bumi kepulauan Nias. Salah satunya adalah bernama Hia Walani Adu dan menjadi leluhur penduduk Nias Selatan. 17 Selanjutnya menurut Amos Harefa, (2013), bahwa keberadaan Hia Walangi Adu di Sifalagö Gomo, dikarunai sembilan orang anak laki-laki. Namanamanya dimulai dari yang sulung hingga bungsu, sebagai berikut: Telau, Boto, Bawa, Mata, Ikhu, Talina, Gahe, Tana, Tara. Pada suatu hari mereka pergi mencari makanan tetapi di tengah hutan menemukan pohon sagu. Telau bertugas menebang pohon sagu itu sedangkan ketujuh adik-adiknya mendapat tugas untuk menayang dari bawah. Karena mereka tidak kuat menayangnya, akhirnya pohon sagu itu menimpa mereka dan matilah Boto, Bawa, Mata, Ikhu, Talina, Kahe dan Tana hanya Telau dan Tara saja yang beruntung selamat. Pada prinsipnya hidup adalah pilihan, ibarat Haega so mbua geho, gaö möi manugela wofo (dimana ada pohon berbuah ke situlah burung datang bertengger). Demikianlah Telau hidup menetap Sifalagö Gomo tetapi sebelum Tara meninggalkan kota leluhurnya di Sifalagö Gomo, ayahnya Hia Walangi Adu mengadakan perjamuan bersama dan memberinya banyak nasehat sebagai petuah kehidupan termasuk tongkatnya 17
Sökhiaro Welther Mendröfa, (1980), Fondrakö Ono Niha, (Jakarta: Inkultra Foundation Inc),hlm. 63-137
Universitas Sumatera Utara
terbuat dari Lewuo hao (sejenis pohon bambu) kapada Tara anaknya. Dimana saja tongkat itu ditancapkan hingga menembus ke dalam tanah maka itulah pertanda bahwa tanah itu yang akan memberi bagimu kesuburan selama-lamanya. Keesokan harinya, sebelum matahari terbit pada pagi hari di ufuk Timur, berangkatlah Tara bersama isterinya. Dari tatapan mata yang sangat dekat, kini semakin mengecil lalu pada akhirnya menghilang karena mereka melintasi lerenglereng gunung yang tinggi, melewati pinggir jurang yang dalam. Banyak sungai yang dalam dan luas diseberangi hingga menemukan sungai Mejaya di desa Hili’alawa. Mereka menyusuri ke atas sungai itu hingga di tanah yang agak datar tepatnya di desa Lawindra wilayah Kecamatan Majinö Kabupaten Nias Selatan. Karena isteri Tara sangat letih dan meminta untuk istrahat sejenak untuk memulihkan tenaga yang telah banyak terkuras. Momentum ini dimanfaatkan oleh Tara untuk memancangkan tongkat milik ayahnya di sekitar tempat itu dan langsung tertanam hingga ke kedalaman. Maka tersungkurlah Tara ke tanah. Saking girangnya, ia mulai menyair sembari menari-nari di depan istrinya karena telah menemukan tanah perjanjian dan menamainya Lawindra. Setelah terjadi inkulturasi baru di tempat itu, maka Tara mengumpulkan seluruh kaumnya untuk mengadakan Owasa Sebua (pesta besar) dan menobatkannya menjadi ‘Sanaya Bute.’ Pada musim kelaparan mulai tiba, ke empat putra Sanaya Bute
bernama
Mölö, Jinö, Tuha Ene dan Lalu pergi berburu dan mencari makanan di tengah hutan belantara, ternyata mereka menemukan berjejeran pohon sagu di tengah hutan belantara. Jinö mendapat tugas untuk menebang batang pohon sagu tetapi ketiga orang lainnya menjaga menayang pucuk. Pada saat pohon sagu tumbang,
Universitas Sumatera Utara
Tuha Ene dan Lalu menyelamatkan diri tetapi Mölö hampir terjebak ditimpa pohon sagu itu. Beruntung ia dapat menyelamatkan dirinya dari peristiwa naas itu. Kejadian ini membuat hati Mölö tidak terima dan merasa ditipu oleh adikadiknya. Dari situlah situasi mulai tidak aman dan lama-kelamaan semakin menegang, kebersamaan yang sudah lama terbina lama-kelamaan semakin memudar, merasa tidak nyaman bila hidup bersama lagi. Rasa senasib dan sepenanggungan yang dulu, kini tinggal kenangan, suasana semakin meruncing. Tak ada pilihan lain mereka harus berpisah. Jinö menetap di Lawindra tetapi Lalu, Tuha Ene dan Mölö memilih untuk meninggalkan tempat itu. Lalu beserta rombongannya menuju daerah Ono Mönö. Tuha Ene beserta rombongan menuju Hili’amuruta. Selanjutnya, Mölö beserta rombongannya pergi dengan melintasi lereng-lereng gunung yang tinggi, melewati pinggir jurang yang dalam. Akhirnya mereka tiba Böröfösi. Pada mulanya Böröfösi mencerminkan suatu kehidupan yang rukun, damai dan bahagia tetapi seiring dengan berjalannya waktu ke waktu, hubungan kekerabatan yang utuh lama-kelamaan mulai memudar, masing-masing bersaudara saling menonjolkan diri dengan bertepuk dada, suka merampas yang bukan haknya, gemar mencari-cari kesalahan saudaranya dengan menuduh tanpa ampun, merasa susah hati ketika melihat saudaranya berhasil dan amat senang bila melihat saudara kandungnya menderita kesusahan. Para isteri saling irihati, semua saling bertengkar mulut, mengancam mau berlaga, ditambah lagi pada masa ini seringkali mengalami musibah kelaparan. Akhirnya Mölö mengumpulkan seluruh keluarganya untuk bersepakat. Masing-masing ke lima putranya menanam pohon pisang di pusat pekarangan. Mölö memberikan petunjuk bahwa mereka harus
Universitas Sumatera Utara
menunggu pisang itu sampai berbuah kira-kira enam bulan lamanya. Bilamana condong batang dan buah pisangmu, ke situlah engkau pergi dan menetaplah di sana. Sebelum kelima orang putra tersebut berpisah satu sama lainnya, Mölö dan isterinya Nandua Ziliwu menjamu kelima putranya itu dengan menyembelih berpuluh-puluh ekor babi dan ayam. Momentum ini dimanfaatkan untuk memberikan nasehat sebagai petuah serta membagi-bagikan harta warisannya secara adil. Adapun Fau adalah anak sulung mendapat bagian warisan Farada (emas murni), kemudian bernama Takhi mendapat bagian Adu Zatua (patung leluhur), sedangkan Boto, bagiannya adalah Toho (tombak), dan Maha mendapatkan Tölögu (pedang), Hondrö, mendapat Baluse (perisai) sedangkan Hörözaitö seorang perempuan bungsu mendapat bagian perhiasan emas. Pada akhirnya kedua orangtua mereka memberkati kelima rang anak-anaknya dimanapun mereka berada kelak beroleh kehidupan dalam damai sejahtera. Kesekoan harinya, mereka semua berangkat meninggalkan Böröfösi menuju ke tempat dimana arah condong pisangnya. Laki-laki memikul beban yang berat dan perempuan menggendong keranjang yang bergelantangan dengan melewati banyak gunung-gunung melintasi lereng bukit dan menyusuri berbagai lembah dan menyeberangi hulu sungai yang dalam dan sangat luas. Setelah Fau beserta isterinya Nalai Mbarasi dan anak-anaknya tiba di lokasi itu, bersukacitalah hati Fau dan mengatakan: ‘Di sinilah petunjuk bagiku, di sinilah arah condong pisangku’. Kemudian semuanya memotong kayu berdahan, menarik akar dan membersihkan dengan membakarnya, meratakan batang puar lalu mulai mendirikan suatu desa bernama Lahusa Fau. Berhubung karena jumlah penduduk
Universitas Sumatera Utara
dalam kampung tersebut semakin bertambah sedangkan lahan untuk mendirikan rumah baru sudah mulai terbatas berhubung lahan sudah tidak memadai, demikian juga sudah tidak terjaminnya keamanan kampung akibat bencana alam, musuh sehingga warga kampung setiap saat terancam jiwanya, terjadinya perselisihan pendapat antara keluarga satu keturunan dengan keturunan lainnya, maka mereka memisahkan diri dari kampung induk dan mencari lokasi yang dianggap aman dan nyaman. Pada akhirnya mereka menyebar ke beberapa tempat, ada yang mendirikan kampung Orahili Fau, Hilinawalö Fau, Bawöfanayama dan Hilizondrege’asi. Hal serupa dialami oleh Takhi. Ia membawa isterinya Nawua Geho beserta anak-anaknya. Setibanya di lokasi itu, maka bersukacitalah hatinya, atas kegirangannya yang tak dapat dibendung lagi, pada akhirnya ia menari dan berkata: ‘Di sinilah petunjuk bagiku, di sinilah arah condong pisangku’. Kemudian mereka semua saling bergotong-royong memotong kayu berdahan, menarik akar dan membersihkan dengan membakarnya, meratakan batang puar lalu mulai mendirikan suatu kampung bernama Hili Lawalani tak lama kemudian pindah ke Hili’amaigila. Karena jumlah penduduk dalam kampung tersebut semakin bertambah sedangkan lahan untuk mendirikan rumah baru sudah mulai terbatas belum lagi terjadinya perselisihan pendapat antara keluarga satu keturunan dengan keturunan lainnya, maka mereka memisahkan diri dari kampung induk dan mencari lokasi yang dianggap aman dan nyaman. Pada akhirnya mereka menyebar ke beberapa tempat, ada yang mendirikan kampung Setelah bertahun-tahun lamanya, keturunannya mendirikan kampung Hilisaudanö, Bawögosali, Bawömaenamölö, Hilimaenamölö dan Hilisimaetanö. Berikutnya
Universitas Sumatera Utara
adalah Boto. Ia membawa isterinya bernama Silini Hösi dan anak-anaknya, mendirikan kampung bernama Hili Lalimboto sebagai desa induk. Keturunannya mendirikan kampung Hilifalawu, Hilifalawu, Hilimböwö, Hilihöru, Hiligombu, Botohösi. Kemudian Maha juga mengalami hal yang serupa. Ia memiliki seorang istri Rai Balaki, pada akhirnya meninggalkan Böröfösi menuju Ulimbawa. Lamakelamaan keturunannya mendirikan beberapa kampung yang baru, diantaranya adalah kampung Siwalawa, Hiligeho, Lahömi, Bawölowalani, Hili’ana’a, Hilisondrekha. Demikian pula Hondrö, memiliki isteri bernama Siholai. hidup dan menetap di Huluhösi. Kemudian keturunannya mendirikan kampung Onohondrö. Karena Hörözaitö adalah anak si bungsu perempuan, maka ia harus menetap bersama orangtuanya. Berhubung karena Nandua Jiliwu lebih dahulu meninggal dunia, pada akhirnya Mölö pergi berkelana sebagai musafir di Tanoi Disana mempersuntung anak seorang bangsawan dan mempunyai anak laki-laki bernama Sebua Tendroma. Di tempat dimana ia tinggal disebut orang Ono Namölö Laraga Tumöri, di tempat itulah Mölö nantinya dikuburkan. 18
2.3.
Sistem Kepercayaan Masyarakat Maenamölö
2.3.1.
Sanömba Nadu Menurut Johannes Maria Hämmerle,
(1990:201), bahwa sebelum
datangnya agama Katolik, Protestan, Islam, Hindu dan Budha bersebar di seluruh
18
Wawancara: Amos Harefa, (Jumat, 18 Januari 2013)
Universitas Sumatera Utara
pelosok kepulauan Nias, sistem kepercayaan masyarakat suku Nias bersifat Politheisme, Naturisme, Fetisisme, Dinamisme, Animisme. 19 Sesembahan suku Nias termasuk di dalamnya penduduk Maenamölö sejak zaman dahulu adalah Inada Samihara Luo selaku dewa pencipta dan berkuasa atas seluruh kehidupan yang bertahta di atas langit lapisan ke sembilan, Latura Danö selaku dewa yang berkuasa di bumi, Silewe Najarata selaku dewi yang berkuasa menengahi Inada Samihara Luo dengan Latura Danö. Selain itu juga mereka juga percaya kepada dewa-dewa yang menampakkan diri sebagai gejala-gejala alam, seperti; matahari, bulan, bintang, pohon besar, arwah nenek moyang, Sigelo Danö sebagai dewa yang menjaga gua atau lubang-lubang yang dalam, Laöhö sebagai dewa yang berkuasa atas angin topan, Fauhesa sebagai dewa yang menjaga gua atau lubang-lubang yang dalam, Luaha Goholu sebagai dewa yang menjaga sungai, Anonatö sebagai dewa yang memberikan kekuatan untuk mengalahkan musuh pada saat terjadi perang dan sebagainya. bahwa dewa pujaan orang Nias lainnya adalah. Semua itu dipersonifikasikan ataupun dimanifestasikan dalam bentuk patung dari bahan batu ataupun kayu dan mengganggapnya bahwa di dalam patung-patung itu akan ditempati oleh para dewa ataupun roh. Menurut Nenden Artistiana, (2011:23), berpendapat bahwa pada acara pemujaan, Ere sebagai perantara selalu membunyikan atau memukul-mukul Fondrahi (tambur) dan pada saat menyampaikan permohonan dalam bentuk Hoho (syair-syair kuno) atau mantera-mantera, Ere juga mempersiapkan sesajen dalam 19
Johannes Maria Hämmerle, OFMCap, Asal Usul Masyarakat Nias Suatu Interoretasi, (Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias: 1990), hlm. 201.
Universitas Sumatera Utara
bentuk makanan (babi, ayam, telur) disertai kepingan emas juga diberikan supaya segala sesuatu yang dimohonkan itu dapat dikabulkan. Kemudian persembahaan dalam bentuk korban makanan dapat dibagi-bagi kepada orang yang hadir, akan tetapi setelah ritual selesai, uang, emas dan barang-barang berharga lainnya sebagai persembahan warga akan menjadi hak Ere. 20 Menurut Johannes. M. Hämmerle, (15 Maret 2009), bahwa pemikiran masyarakat Nias yang menganut kepercayaan Sanömba Nadu, sebagai berikut: 1.
Manusia mempunyai Boto (tubuh), Noso (nafas) dan Lumö-Lumö (bayangan). Setelah seseorang mati maka Boto akan menjadi ke tanah, Noso akan kembali ke Teteholi Ana’a (sorga) dan Lumö-Lumö (bayangan) akan menjadi Bekhu (roh). Agar bisa sampai ke Tetehõli Ana’a, setiap roh harus menyeberangi suatu jembatan antara dunia orang hidup dan orang mati. Bila roh itu berjalan tetapi jembatannya semakin mengecil bagaikan rambut, pertanda bahwa selama hidupnya banyak melakukan kejahatan. Pada akhirnya ia akan jatuh dan masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Sebaliknya, seseorang yang selama hidupnya banyak berbuat baik, jembatannya semakin melebar dan perjalanannyapun lancar hingga ke Teteholi Ana’a dengan selamat.
2.
Mereka yang telah meninggal akan diwariskan Tõi (nama) dan Lakõmi (kemuliaan). Apabila selama hidupnya telah berbuat yang terbaik dan sangat mengharumkan bagi keluarga bahkan masyarakat umum dengan bukti-bukti yang otentik, dia akan dikenang sepanjang masa. Maka untuk mengenang
20
Nenden Artistiana, (2011), Menelisik Keunikan Budaya Tanö Niha, (Jakarta: PT. Multazam Mulia Utama), hlm. 23
Universitas Sumatera Utara
jasa-jasanya di dunia ini maka dibuatlah suatu patung yang menyerupai sehingga arwahnya dapat menjelma melalui patung tersebut dan meletakkan patungnya di tempat yang strategis serta selalu merawatnya dengan baik. Jikalau tidak menghormati rohnya maka janganlah heran bila mereka yang masih hidup akan menerima berbagai ganjaran malapetaka dan dapat tertular bagi banyak orang tetapi apabila taat dan menghormati orangtuanya maka anak itu pasti akan menjumpai banyak berkat-berkat seumur hidupnya. Untuk menangkal semua itu, setiap keluarga segera mengundang Ere untuk mengadakan acara sesajen. 3.
Kalau dulu semasa hidup dia adalah seorang raja maka di dunia seberang Tetehõli Ana’a juga ia akan tetap menjadi raja dan yang miskin akan tetap miskin.
4.
Dunia Teteholi Ana’a keadaanya terbalik. Apa yang baik di dunia ini, di sana akan jadi buruk. Maka ada kebiasan, orang-orang Nias, bila menitipkan baju dan barang-barang lainnya, semua barang itu dirusak. Jika di sini siang di sana malam demikian juga kalimat dalam bahasa di sana adalah serba terbalik. 21 Namun semenjak terjadinya penyebaran agama kristen yang dibawa oleh
kaum puritanisme dari Eropa dan akibat perkembangan zaman, pada akhirnya tradisi kepercayaan Sanömba Nadu perlahan-lahan mulai ditinggalkan.
21
Johannes. M. Hämmerle (15 Maret 2009), http:// www. Tempointeraktif.com
Universitas Sumatera Utara
2.3.2.
Katolik Menurut Fries yang dikutip oleh Johannes M. Hämmerle, (1985:3-7),
bahwa masuknya misi Katolik Roma di kepulauan Nias ditandai dengan kedatangan pastor muda bernama Fr. Jean Pierre Vallon yang diutus oleh Society Misionaries Khatolik Perancis di bawah pimpinan Uskup Florens dari Perancis pada 14 Desember 1831 dan tiba di kepulauan Nias pada bulan Maret 1832. Ia tinggal di kampung Lasara dan memulai pelayanannya namun Tuhan berkehendak lain, di bulan Juni 1832 beliau meninggal dunia karena makanannya diracuni oleh warga. Tidak lama setelah itu datanglah Pastor Fr. Jean Laurent Bërard untuk menggantikannya namun dalam waktu tidak terlalu lama ia juga mati keracunan. Kemudian pada tahun 1834, Henry Lyman berkebangsaan Amerika yang diutus oleh Society Misionaries Khatolik Perancis melakukan pelayanan di Nias Selatan tetapi gagal dan kembali. Kemudian tahun 1854, datang lagi Pastor Caspar de Hesellse (missionaris Belanda). Ia tinggal di Sogawu-gawu namun tak juga bertahan lama meninggal dan dikubur 31 Agustus 1854 di Hilihati, Gunungsitoli. 22 Setelah Perang Dunia Kedua, Misi Katolik tumbuh dan menyebar dari Gunungsitoli ke bagian utara Nias dan dari Telukdalam ke bagian selatan Nias. Saat ini para Xaverian melayani beberapa Paroki. Salah satunya adalah di kota Telukdalam. Umat umumnya berasal dari jemaat BNKP. Sebagaimana diuraikan oleh Menurut Marianus Amsal, (Oktober 2013), bahwa beberapa langkah-langkah yang ditempuh untuk mengembangkan 22
Johannes M. Hämmerle, (1985), Sejarah Gereja Katolik di Pulau Nias, (Telukdalam: Yayasan Pusaka Nias), hlm.3-7
Universitas Sumatera Utara
pelayanan pastoral, antara lain; perayaan Ekaristi harian dan mingguan sebagai tanda dan ungkapan persatuan umat dengan Tuhan Yesus, mengusahakan dialog dan kegiatan ekumenis dengan umat beragama Kristen, mengusahakan komunio dengan perhatian pada orang-orang miskin lewat seksi sosial, mengadakan pendalaman iman paad momen-momen tertentu pada tingkat basis, serta mempromosikan Gereja kon-katedral sebagai pusat ziarah bunda Maria bagi seluruh umat Nias. Dalam bidang kegiatan oikumene para Xaverian mempunyai andil besar. Hal itu terlihat dari adanya beberapa kegiatan ekumene yang telah berjalan lancar dan adanya persaudaraan yang cukup akrab di antara para pemimpin Katolik dan para pendeta, mengusahakan kunjungan stasi bisa lebih dari 3 kali dalam setahun, memperkuat peranan awam dengan mendidik katekis paroki dan membentuk katekis wilayah, membangun struktur yang cukup kuat di tingkat paroki (dewan paroki inti). Pada wilayah dan stasi, mengusahakan pemberdayaan umat melalui berbagai kursus seperti: kursus para pemuka jemaat, katekis wilayah, mudika, guru-guru sekolah minggu, mengadakan kerja sama dengan komisi-komisi untuk pembinaan umat seperti komisi kateketik dan komisi sosial ekonomi (CU), mengusahakan oikumene di tingkat wilayah/ stasi dan melaksanakan katekese/ homili agar iman Kristiani semakin mengakar di hati umat sehingga nilai-nilai adat yang merugikan mereka dapat semakin berkurang. Karya yang telah dilakukan para Xaverian di Nias yang berusaha menghadirkan Kabar Gembira Injil dalam kehidupan nyata umat sehingga lama-kelamaan keterlibatan umat dalam kehidupan menggerja bisa sungguh semakin nyata. Semuanya itu tidak lepas dari banyaknya tantangan yang mesti dihadapi.
Universitas Sumatera Utara
Tantangan utama yang dihadapi adalah jarak antara stasi yang satu dengan yang lain berjauhan, keterbatasan tenaga untuk menggerakkan dan memandirikan mereka (para pengurus dan katekis) dalam berbagai kegiatan sehingga kehidupan jemaat semakin bergairah. 23 Umat Katolik yang berada di seluruh penjuru kepulauan Nias, Mata pencaharian mereka bervariasi, ada yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan, guru, tukang becak, tukang bangunan, pedangang dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa umat di Paroki ini termasuk umat yang sudah berpendidikan dan memiliki kedudukan penting dalam masyarakat.
2.3.3.
Kristen Protestan Pada tahun 1836 Rheinische Missions Geselschaft
(RMG) yaitu
gabungan zending yang berdiri pada tahun 1823 dan berpusat di Barmen wilayah Dusseldorf di Jerman, mengirimkan 9 orang pendeta di wilayah Indonesia dalam rangka melaksanakan amanat agung Tuhan Yesus Juruselamat. Secara kolektif pada tanggal 27 September 1865, seluruh denominasi gereja di Nias telah menetapkannya sebagai hari Yubelium (hari memperingati berita Injil di kepulauan Nias). Tim Penyusun, buku Waö-Waö Duria Somuso Dödö ba Danö Niha, (1986:6), menejelaskan bahwa L. Denninger adalah salah satu dari ke 9 orang misionaris yang diutus oleh Rheinische Missions Geselschaft (RMG) yang berdiri pada tahun 1823 dan kini telah diganti namanya menjadi Vision Evangelis’m Mission (VEM) di Germani. Sebelum tiba di Nias, 23
Marianus Amsal, (Oktober 2013), www.xaverindo.org
Universitas Sumatera Utara
Ludwig Ernst Denninger melakukan pekabaran Injil disekitar kota Padang, Sumatera Barat namun penduduk setempat menolaknya. Karena hampir setiap hari ia bertemu dengan orang-orang Nias sebagai pendatang di Padang sangat ramah kepadanya, maka ia terus membina persahabatan yang akrab dan melayani mereka sambil belajar berbahasa daerah Nias dengan fasih. Kemudian pada tanggal 27 September 1865. 24 Beberapa lama kemudian ia meminta petunjuk Roh Kudus dan pada akhirnya ia memutuskan untuk segera meninggalkan kota Padang, Sumatera Barat dengan menumpang kapal kayu dari pelabuhan Teluk Bayur menuju pelabuhan lama kota Gunungsitoli di Kepulauan Nias. Disebutkan bahwa Ludwig Ernst Denninger tiba di Gunungsitoli tepatnya pada tanggal 27 September 1882. Sebagai langkah awal kehidupannya, ia harus menyewa sebuah rumah kecil tempat untuk keluarga menginap sementara waktu. Keesokan harinya, ia mulai berkunjung dari rumah ke rumah, desa yang satu dengan desa tetangga lainnya untuk memberitakan Injil Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Sekalipun berbagai hambatan yang harus dihadapi oleh Ludwig Ernst Denninger dalam melaksanakan misi yang mulia ini seperti; jalan penghubung antara kampung belum ada, masih jalan setapak dan penuh dengan semak-semak duri, seringkali terjadi perang antar kampung, maraknya pengayau manusia, penduduk suku Nias adalah penyembah patung berhala, mewabahnya musim penyakit demam, typus, kolera, TBC, sering terjadinya musim kelaparan. Namun semangat jiwa untuk memberitakan Injil Kristus semakin berkobar. Karena penduduk
24
27 September 1865, Ernst Ludwig Denninger menginjakan kaki pertama sekali di Gunungstioli melalui pelabuhan Teluk Bayur, Padang Sumatera Barat. Tanggal kedatangan Ernst Ludwig Denninger ini telah diabadikan sebagai hari Jubellium (berita injil, keselamatan) yang diperingati setiap tahun oleh seluruh denominasi gereja dipenjuru kepulauan Nias
Universitas Sumatera Utara
sekitar gunungsitoli menilainya sebagai Tuan yang sangat rendah hati, memiliki perhatian yang murni terhadap semua warga. Ludwig Ernst Denninger membuka sekolah bagi anak-anak untuk belajar mengenal membaca dan pada akhirnya mendirikan Seminary (sekolah Alkitab) untuk mempersipakan pribumi menjadi guru injil. Karena menuai keberhasilan dalam pelayanan, maka Tuan Ludwig Ernst Denninger meminta kepada Rheinische Missions Geselschaft (RMG) untuk mengirimkan tenaga pelayan namun RMG mengirimkan misionar secara bertahap, diantaranya adalah J.W. Thomas dan De Weertt (1873-1897), H. Lagemann. (1982-1933= 41 Tahun), Bortta (1907–1931), Rabenech (1901-1934), Ed. Sartor, Pieper (1928-1929), Fr.Dermann (1928-1940), Skamrad, dr. Harma, Peterson dan lain-lain. Selanjutnya atas gerakan pertobatan massal dalam bahasa Nias disebut “fangesa dödö sebua, peningkatan yang terjadi bukan hanya secara kwantitatif saja, tetapi juga dalam hal spritualitas. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya patung, ilmu-ilmu sihir dan racun yang dimusnahkan. Perselisihan dan peperangan di antara penduduk mulai berkurang, kerukunan mulai berkembang.
2.3.4.
Islam Saluran Islamisasi di Indonesia adalah melalui jalur perdagangan sesuai
dengan kegiatan perdagangan abad 7 sampai 16, dimana para pedagang muslim turut mengambil bagian mengislamkan ternyata sangat menguntungkan karena dalam agama Islam tidak ada pemisahan antara manusia sebagai
pedagang
dengan kewajibannya sebagai seorang muslim untuk menyampaikan ajaran kepercayaannya kepada orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Masuknya agama Islam di daratan Nias tidak dapat diketahui secara pasti, sebab masuknya agama Islam bukan dari spesialis misi yang terorganisir. Dalam dokumen Informasi dan Profil Kabupaten Nias, yang disusun oleh Tim Penyusun (2001:12), dijelaskan bahwa masuknya agama Islam di kepulauan Nias sudah dimulai sejak tahun 851 Masehi ketika seorang saudagar bangsa Persia bernama Sulaiman untuk mengislamkan orang-orang Nias. Kemudian pada tahun 1605 masehi, seorang pengelana dari Arab bernama Ibnu Batutah, datang ke Nias tepatnya di wilayah Lahewa Kabupaten Nias Utara. Ibnu Batutah mencatat bahwa di kepulauan Nias menjumpai pribumi yang berkebudayaan mirip dengan kebudayaan Arab kuno di zaman Jahiliyah. 25 Selanjutnya, menurut Schroder yang dikutip oleh F. Zebua, (1996:82), bahwa masuknya agama Islam di pulau Nias dimulai dari kedatangan etnis Melayu, Aceh, Padang, Bugis, Muko-muko, Surabaya, Tarusan, Arab. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang lari dari hukuman dan bersembunyi untuk mencari perlindungan yang aman dalam hidupnya. 26 Ketika orang-orang Islam mencoba memasuki desa-desa adat di wilayah Nias Selatan, pada akhirnya mereka tidak bisa bertahan karena penduduknya mayoritas beternak babi. Kendati demikian, perkembangan Islam di kepulauan Nias tergolong fenomenal. Hal ini ditandai dengan jumlah mereka semakin lama semakin terjadi peningkatan yang signifikan. Hal tersebut dapat tinjau bahwa mereka berada pada posisi yang sangat strategis. Diantaranya, ada yang menjadi pedagang, ada yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil, Polri, 25
Tim Penyusun, (2001), Informasi dan Profil Kabupaten Nias, (Gunungsitoli: BAPPEDA), hlm.12 26 F. Zebua, (1996), Kota Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya, (Gunungsitoli), hlm.82
Universitas Sumatera Utara
Tentara bahkan Politikus dan lain sebagainya bahkan hampir semua pusat pasar ke 4 Kabupaten/ Kotamadya se-kepulauan Nias, saat ini mayoritas dikuasainya oleh penduduk yang beragama Islam. Demikian juga lokasi wisata pantai diberbagai penjuru kepulauan Nias saat ini hampir semuanya dikuasai oleh penduduk yang beragama Islam. Adapun perkembangan Islam di wilayah Maenamölö dikategorikan mengalami kemajuan dibandingkan dengan agama Budha dan Hindu.
2.4.
Sistem Pemerintahan Maenamölö
2.4.1.
Masa Pra Penjajahan Sistem pemerintahan di Maenamölö pada masa pra penjajahan adalah
disebut Banua. Istilah ‘Banua’ mempunyai pengertian langit, kerajaan, kampung atau desa, badan pemerintahan. Setiap Banua dihuni oleh bagian-bagian dari beberapa marga yang terdiri dari sejumlah kekerabatan, antara lain Ngambatö (suami, istri dan anak), Faiwasa (keluarga keturunan dari kakek yang sama, Sisambua banua (penghuni yang hidup se-kampung). Menurut Sorayana Zebua, (2006:1), mendefinisikan Banua merupakan suatu kumpulan warga dalam suatu kesatuan hukum, baik menyangkut pemerintah, adat istiadat maupun kepercayaan yang dipimpin oleh Si’ulu yang dibantu oleh para Si’ila dalam menangani tugas-tugas kemasyarakatan. 27
27
Sorayana Zebua, (2006), Sistem dan Peranan Banua/ Öri Dalam Kehidupan Bermasyarakat Dahulu dan Kini, (Gunungsitoli: Bahan Seminar Studi Kelembagaan Adat dan Budaya Nias), hlm.1
Universitas Sumatera Utara
Secara hirarkis bahwa stratifikasi sosial yang berlaku pada kehidupan masyarakat Maenamölö, sebagai berikut: 1.
Si’ulu Si’ulu adalah golongan masyarakat yang berkuasa mutlak untuk memerintah seluruh warga di kampung secara turun-temurun dimana pengukuhan, keabsahannya
hanya
dapat
dilaksanakan
melalui
upacara
Owasa.
Keberadaan Si’ulu adalah sebagai representasi Inada Samihara Luo, penggagas dan yang mendirikan kampung, sebagai teladan yang baik bagi seluruh warga di kampung, setiap perselisihan yang terjadi di masyarakat harus mampu menetralisasikannya, tidak bertindak otokrasi dalam kepemimpinannya, segala kebijakan harus dilakukan secara musyawarah mufakat. Namun pada sisi lain, keberadaan Si’ulu sebagai wakil dewa sebagai penguasa di kampung justru banyak menimbulkan malapetaka, kesengsaraan bagi warga. Ironisnya, ‘Hönö li, rohu-rohu nia, khö ndra Si’ulu’ artinya, ribuan kata tetapi keputusan Si’ulu yang akan terjadi. Untuk mencapai segala rencananya, Si’ulu tidak segan-segan menindas bahkan menjadikan warga sebagai tumbal tanpa mempertimbangkan keadilan. Tak jarang warganya dijadikan sebagai tumbal hanya karena tidak mampu memenuhi keinginan para Si’ulu. Hal ini terungkap dari berbagai sumber tulisan yang diterjemahkan oleh Johannes M. Hämmerle, (2013:4,31,34), bahwa pulau Sömambawa adalah satu dari ketiga pelabuhan tertua di kepulauan Nias sebagai tempat perdagangan manusia menjadi budak, pandelingen di Padang dan diberbagai penjuru lainnya. Dari hasil penjualan
Universitas Sumatera Utara
para budak itulah para Si’ulu menikmati kekayaan, berupa; emas, kuningan, besi, pakaian, gong, piring dan sebagainya mereka mampu mendirikan rumah adat yang besar, pesta Owasa dan mendirikan batu-batu megalit. Namun pada kesempatan lain, rombongan orang Melayu dan Aceh menculik para perempuan dan anak-anak Nias untuk diperdagangkan ke seberang. 28 Si’ulu terbagi 2, yakni a.
Si’ulu Sima’awali Menurut Waspada Wau, (2012), bahwa ada 11 tingkatan untuk layak disebut sebagai Si’ulu Sima’awali, sebagai berikut:
Laböoda, artinya pesta kelahiran anak laki-laki genap umur 8 hari.
Lakhai, artinya pesta sunat yang pesta syukurannya ditanggung paman yaitu saudara laki-laki dari pihak ibu.
Mambu Ana’a Siduavfulu, artinya pesta emas batangan (farada) 24 karat seperti kalung (Kalabubu) untuk laki-laki seberat 20 Batu setara 200 gram.
Mambu Ana’a Silimavfulu, artinya pesta
emas batangan
(farada) 24 karat seperti anting-anting telinga (Fondruru) sebelah kanan bagi laki-laki, Taraho, konde perempuan dan aya gaule sebagai kalung perempuan sebart 50 batu setara 500 gram.
Mambu Ana’a Si’otu, artinya pesta emas batangan (farada) 24 karat seperti; Fondruru (anting-anting telinga sebelah kanan
28
Johannes M. Hämmerle, (2013), Pasukan Belanda di Kampung Para Penjagal, (Gunungsitoli), hlm.31
Universitas Sumatera Utara
bagi laki-laki), Taraho (konde perempuan), Aya Gaule (kalung perempuan), Rai (mahkota), Sukhu (sisir) seberat kumulatif 100 batu setara 1000 gram.
Mambu Ana’a Sizuanacu, artinya pesta emas batangan (farada) 24 karat seperti anting-anting telinga (Fondruru) sebelah kanan bagi laki-laki, Taraho konde perempuan dan aya gaule sebagai kalung perempuan, mahkota (Rai), sisir (sukhu), gelang emas (tölajaga) hanya sebelah kanan bagi laki-laki kedua lengan bagi perempuan seberat kumulatif 200 batu setara 2000 gram.
Mambu Oroba Ana’a, artinya pesta emas batangan (farada) 24 karat seberat sesuai dengan kebutuhan.
Faulu, artinya pesta emas batangan (farada) 24 karat seperti anting-anting telinga (Fondruru) sebelah kanan bagi laki-laki, Taraho konde perempuan dan aya gaule sebagai kalung perempuan,
mahkota (Rai), sisir (sukhu), gelang emas
(tölajaga) hanya sebelah kanan bagi laki-laki kedua lengan bagi perempuan seberat kumulatif 200 batu setara 2000 gram.
Motomo, artinya, pesta pendirian rumah.
Simboto, artinya pesta skala besar dengan mengundang desa atau raja sahabat.
Universitas Sumatera Utara
Mambu Oroba Ana’a,
artinya pesta pamer baju laki-laki
berlapis emas 24 karat seberat kebutuhan. 29 b.
Si’ulu Sito’ölö. Si’ulu Sito’ölö adalah kaum keluarga dari Si’ulu Sima’awali yang berkuasa sebagai wakil Si’ulu Sima’awali bilamana berhalangan.
2.
Ere Jajang A. Sonjaya (ama Robi Hia) mengatakan bahwa Ere berperan sebagai perantara dalam memanjatkan doa dan menyampaikan permohonan kepada roh leluhur. Saat melakukan komunikasi dengan leluhur, biasanya akan diberikan sesaji sirih, pinang, biji-bijian, hasil ladang dan kepingan emas. 30 Ere adalah para ahli yang biasanya selalu ada dalam tatanan kehidupan setiap kampung. Ketika sebuah kampung dibangun, maka bangsawan akan memastikan terlebih dahulu apakah para Ere dengan berbagai keahlian masing-masing tersedia di desa terbut. Seringkali bila belum tersedia, Maka Ere dari desa lain akan diundang untuk menetap di desanya. Bilamana seorang Ere berkunjung ke suatu kampung maka hal ini menjadi kebanggaan bagi warga yang dikunjungi dan akan menyambutnya dengan pesta besar-besaran. Setibanya di pintu gerbang kampung, ia disambut dengan berbagai atraksi dan tari-tarian tradisional yang diiringi pemukulan gong, gendang hingga sampai ke halaman depan rumah Si’ulu kemudian mempersilahkannya duduk di tempat yang telah disediakan. Ketika
29
Waspada Wau, (26 Desember 2012), Fanaruyama, (Bawömataluo: Makalah Seminar International Potensi, Pemuda, Prospek dan Tantangan Masa Depan) 30 Jajang A. Sonjaya (ama Robi Hia), Melacak Batu Menguak Mitos, (Yokyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 75-76
Universitas Sumatera Utara
menyampaikan permohonan kepada dewa, Ere memulainya dengan cara memukul-mukul Fondrahi (tambur) sembari melantunkan Hoho (syair-syair kuno) untuk mengundang dewa. Setelah dipastikan bahwa dewa yang dipanggil itu telah datang selanjutnya mempersembahkan sesajen berupa sirih dan makanan lainnya seperti babi, ayam atau telur agar segala yang dimohonkan dapat dikabulkan. Namun penyembahan emas, barang berharga lainnya atas pemberian warga adalah menjadi bagian Ere sepenuhnya. Keberadaan Ere di tengah-tengah masyarakat adalah satu sisi adalah sebagai representasi Inada Silewe Nazaria. Penobatan seorang Ere harus didasarkan pada seleksi yang ketat dengan menjalani beberapa pengujian yang dapat dibuktikan oleh banyak orang. mengatakan bahwa tempo dulu, sebelum didirikan suatu kampung yang baru terlebih dahulu Si’ulu harus memastikan apakah Ere telah tersedia atau belum, bila tidak ada maka Ere dari kampung lain akan diundang untuk bergabung menjadi warga kampung tersebut. Sesuai dengan sumber tulisan yang dikutip oleh Ichwan Azhari dan Erond L. Damanik, (2010), menjelaskan bahwa ada beberapa jenis Ere masyarakat suku Nias pada masa lalu, antara lain: a.
Ere Börönadu (imam ritual), berperan sebagai mediator untuk menyekutukan antara manusia
dengan para dewa, mengantar
persembahan, meramal, memberkati, mengutuk. b.
Ere hoho (imam pujangga, orator), berperan sebagai pemimpin upacara adat, seperti kematian, pernikahan di keluarga bangsawan.
Universitas Sumatera Utara
c.
Ere vanöfa (imam, tukang besi), berperan untuk menempah segala jenis peralatan perang, seperti; tombak, pedang dan sejenisnya yang telah dimanterakan dengan kekuatan yang ajaib.
d.
Ere döröu (dukun penyakit), berperan untuk mengobati orang yang sedang dihinggapi sakit-penyakit seperti; ibu yang akan melahirkan, santet, masuk angin dan sebagainya.
e.
Ere Mialu (pawang berburu), berperan untuk meminta restu dewa untuk mengijinkan warga berburu hewan liar di hutan, ikan di laut. 31
3.
Ono Mbanua Ono Mbanua adalah penduduk yang sederhana dan tergolong merdeka. Menurut kepercayaan kuno masyarakat Nias, Ono Mbanua merupakan representasi Lature Danö. 32 Tuntutan moral bagi kaum Ono Mbanua adalah harus tunduk kepada para penetua adat dan berperan aktif untuk menjaga benteng pertahanan dan keamanan kampung dalam menghadapi agresi musuh dari luar serta memelihara hubungan yang harmonis terhadap lingkungan dimanapun ia berada. Ono mbanua terdiri dari a.
Si’ila (konsensus kompromi pada masyarakat) Si’ila merupakan lapisan masyarakat terkemuka diantara status Ono Mbanua
yang
memegang
peranan
aktif
dalam
pelaksanaan
musyawarah terkait kemaslahatan dalam program kelangsungan komunitas suatu kampung. Waspada Wau, (26 Desember 2012), 31
Ichwan Azhari dan Erond L. Damanik, (2010), Manuskrip Sejarah dan Budaya Nias Selatan, (Medan: Universitas Negeri Medan) 32 Lature Danö merupakan dewa penguasa di bumi (dunia bawah).
Universitas Sumatera Utara
berpendapat bahwa paling tidak ada beberapa sebagai persyaratan minimal sebelum diangkat menjadi Si’ila, antara lain:
Simöi-möi, artinya selalu hadir dalam setiap kegiatan, pelayatan, mendukung pekerjaan gotong-royong.
Sanua-nua, artinya banyak memberikan berbagai sumbangan pemikiran atas dasar objektifitas jauh dari subjektifitas dalam setiap musyawarah desa.
Sameme, artinya selalu memberi andil materil (Botolö) atas nama diri sendiri atau keluarganya setiap ada kegiatan di kampung. Jikalau telah memenuhi persyaratan tersebut di atas maka Si’ulu dapat memberikan persetujuan kepada seseorang untuk memberitahukan dirinya di kampung melalui upacara Owasa. 33
Untuk mencapai tingkatan ini, seseorang harus mampu mengadakan Owasa (pesta besar) selama berhari-hari dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ratusan ekor babi. Biasanya orang-orang yang melakukan ini adalah mereka yang memiliki harta dan emas. b.
Sato (masyarakat kebanyakan). Dalam Fondrakö masyarakat suku Nias, telah ditetapkan bahwa tidak dibenarkan terjadi pernikahan antara anak dari keluarga bangsawan dengan anak yang berasal dari keluarga Ono Mbanua. Bilamana kedua saling jatuh cinta maka lebih baik keduanya mengurungkannya saja di
33
Waspada Wau, (26 Desember 2012), Fanaruyama, op.cit.,
Universitas Sumatera Utara
dalam hati sebab bilamana suatu ketika mereka diketahui telah menjalin hubungan asmara, satu sisi tercorenglah dan menjadi hina keluarga Si’ulu di seluruh negeri itu, sisi lain, sang anak yang berasal dari keluarga Ono Mbanua pasti akan dihukum pancung ataupun diikat batu kilangan pada leher kedua anak tersebut lalu membawanya ke sungai, laut dan menenggelamkannya hingga mati tetapi dan juga keluarganya akan menerima hukum adat dengan seberat-beratnya. Pada sudut lain menjadi ancaman bagi lingkungan keluarga Sato tersebut. Konsekuensinya adalah kedua orang ini (pelaku) harus dibunuh mati dengan cara yang mengerikan yakni dipacung atau diikat batu pada leher kedua pelaku lalu ditenggelamkan mereka di sungai atau di laut hingga mati. Namun pada masa kini, peristiwa tersebut sudah tidak diberlaku lagi karena segala norma telah didominasi oleh hukum Pemerintah Negara Republik Indonesia. 4.
Sawuyu Kata ‘Sawuyu’ berarti anak kecil, hamba. Kaum ini adalah orang-orang yang menduduki lapisan paling bawah. Munculnya golongan budak di Maenamölö disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah melanggar hukum adat, kalah dalam perang, korban penculikan. Dalam penelitian Desertasi, Jerome Allen Feldman, (1997:34-35), menjelaskan bahwa perbudakan adalah sesuatu yang dibenarkan dalam Fondrakö (lembaga adat) masyarakat Nias, para budak itu dipaksa untuk bekerja tanpa mengenal lelah. Budak ini berasal dari orang-orang yang telah melanggar hukum adat,
Universitas Sumatera Utara
tidak mampu membayar hutang-piutang, karena kalah dan menjadi tawanan perang serta hasil tangkapan melalui penggerebekan, penyayauan. Para Si’ulu sebagai penguasa menjadikan mereka sebagai budak, sebagian dijual di sekeliling Indonesia. Mereka dikumpulkan ke Aceh kemudian diangkut dengan kapal Cina ke Padang, selanjutnya di kirim ke atas Batavia. Demikian pula terjadi di Aceh, sebanyak 1822 para budak dari Nias pernah diekspor ke luar negeri terutama dari Telukdalam, Selatan Nias. Rata-rata ada sekitar 1500 orang setiap tahun dari tempat ini dijual. Perdagangan ini mengakibatkan para Si’ulu (bangsawan) sebagai penguasa di Nias Selatan menikmati kekayaan yang luar biasa dari hasil penjualan para budak-budak itu. Hal ini tercermin dari seni dan arsitektur rumah para Si’ulu (bangsawan) di Nias Selatan yang memakan biaya yang re latif mahal. 34 Menurut Pieter Lase, (1997:20), kaum budak, terdiri dari: a.
Sondrara hare, artinya orang-orang yang telah melanggar hukum adat dan tidak mampu membayar denda.
b.
Hölitö, artinya orang-orang yang telah dijatuhi hukuman mati karena melanggar hukum adat dan tidak mampu membayar denda lalu ditebus oleh bangsawan.
c.
Binu, artinya orang-orang yang telah kalah dan menjadi tawanan perang.
Kaum
ini
biasanya
diperlukan,
dipersiapkan
untuk
persembahan pada setiap upacara adat; keluarga bangsawan, untuk pendirian bangunan rumah adat, menjadi teman di dalam kubur jika 34
Feldman Allen Jerome, (1977), The Arcitekture of Nias Indonesia With Special Reference To Bawömataluo Vilage, (Faculty of Philosophy Columbia University: Desertasi), hlm.34-35
Universitas Sumatera Utara
ada seorang bangsawan meninggal dunia atau pada penyambutan pengantin putri bangsawan. 35
2.4.2.
Masa Penjajahan
2.4.2.1. Pemerintahan Kolonial Belanda Sorayana Zebua, (2006:5), menjelaskan bahwa secara etimologi, kata Öri mempunyai arti mata air sejuk, perunggu, gelang kebal yang diperoleh dari moncong babi, perserikatan beberapa kampung. Öri adalah perserikatan beberapa kampung yang ada hubungan darah dalam garis keturunan leluhur yang sama. 36 Pada masa penjajahan di kepulauan Nias, Belanda mengadopsi Öri sebagai struktur pemerintahan yang berada di bawah Onderdistrik di bawah pimpinan seorang Tuhenöri (asisten demang atau satu tingkat di atas Si’ulu) yang diangkat langsung oleh pemerintahan kolonial Belanda. Di dalam dokumen Informasi dan Profil Kabupaten Nias yang disusun oleh Tim Penyusun, (2001:x), bahwa sejak tahun 1864, kepulauan Nias merupakan bagian wilayah Residentil Tapanuli, Sibolga di bawah kekuasaan Goverment Sumatra Westksest di Padang. Kemudian pada tahun 1919, kepulauan Nias menjadi Afdeling Nias terdiri dari Onderafdeling Zuid yang berkedudukan di Telukdalam dan Onderafdeling Nord berkedudukan di Gunungsitoli masing-masing dipimpin oleh seorang Controleur. Namun Onderafdeling der Batu Eilanden yang berkedudukan di Pulau Tello yang sebelumnya berada di wilayah Residentil Sumatera Barat di Padang, pada 35
Pieter Lase, (1997), Menyibak Agama Suku Nias, (Bandung: Agiamedia), hlm.20 Sorayana Zebua, (2006), Sistem dan Peranan Banua/ Öri Dalam Kehidupan Bermasyarakat Dahulu dan Kini, op.cit., hlm.5 36
Universitas Sumatera Utara
bulan Desember 1928, dipindahkan di wilayah Pemerintahan Afdeling Nias. Di bawah Onderafdeling disebut Distrik yang dipimpin oleh seorang Demang, di bawah
Distrik disebut Onderdistrik yang dipimpin oleh seorang Asisten
Demang. 37 Tabel 2:1 NO
1.
NAMA ÖRI
Maenamölö I
NAMA KAMPUNG Siwalawa Hilisao’ötöniha Hilizihönö Hili’amaetaniha Bawömataluo Bawölowalani Hili’amaigila Hilisimaetanö Lahusa Ono Hondrö Hilinawalö Fau Lagundry
2.
Maenamölö II
Hilimaenamölö Botohilitanö Hilifalawu Hiligombu Hilihöru Hilimbulawa Sisobamböwö Hilimböwö
Sumber: Johannes M. Hämmerle, 2010
2.4.2.2. Pemerintahan Jepang
37
Tim Penyusun, (2001), Informasi dan Profil Kabupaten Nias, op.cit.,, hlm.x
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1942, Jepang tiba di Nias untuk menggantikan kekuasaan Hindia Belanda. Meskipun Jepang hanya berkuasa selama kurang lebih tiga setengah tahun di pulau Nias, masyarakat merasa bagaikan neraka karena tentara Jepang sangat kasar tanpa belas kasihan, menyiksa para tawanan, memonopoli perdagangan serta memberlakukan kerja paksa (rodi) untuk memenuhi keperluan Jepang. Sebagaimana dijelaskan dalam buku Informasi dan Profil Kabupaten Nias, (2001:x), berdasarkan Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1942, struktur pemerintah Jepang yang telah diwariskan oleh Hindia Belanda, kecuali Onderafdeling dihilangkan sedangkan yang lainnya tidak mengalami perubahan, hanya sebutan nama saja yang diganti menjadi istilah Jepang. Misalnya, Afdeling disebut sebagai Bungsu Sibu, Distrik disebut sebagai Gun, Onderdistrik disebut sebagai Foku Gun. 38 Sistem pembagian wilayah Öri Maenamölö pada masa pemerintahan Jepang, sebagai berikut: Tabel 2:2 NO
NAMA ÖRI
1.
Fau I
2.
38
Fau II
NAMA KAMPUNG 1
Orahili
2
Hili’amaetaniha
1
Bawömataluo
2
Ono Hondrö
3
Hilinawalö Fau
4
Hilijihönö
1
Siwalawa
2
Bawölowalani
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
4.
5
Maenamölö I
Maenamölö II
3
Hiligeho
4
Hilisondrekha
5
Hili’ana’a
1
Hilisimaetanö
2
Bawögosali
3
Hilifalawu
4
Hilimbulawa
5
Sisobamböwö
6
Lahusa
7
Sifaoro’asi
8
Hilimböwö
9
Hilihöru
1
Hilimaenamölö
2
Botohilitanö
3
Lagundri
Sumber: Johannes M. Hämmerle, 2010
2.4.3.
Masa Kemerdekaan Republik Indonesia
2.4.3.1. Kabupaten Tk. II Nias Sistem pemerintahan di seluruh penjuru Nias pada tahun-tahun pertama masa Kemerdekaan Republik Indonesia belum mengalami perubahan, terkecuali sebutan nama wilayah dan pimpinannya saja. Seperti yang ditulis oleh Tim Penyusun Informasi dan Profil Kabupaten Nias, (2001:xi), menjelaskan bahwa Nias Gunsu Sibu diganti menjadi Luhak yang dipimpin oleh Kepala Luhak, Gun diganti menjadi Urung yang dipimpin oleh Asisten Kepala Urung, Fuku Gun
Universitas Sumatera Utara
diganti menjadi Urung Kecil yang dipimpin oleh Kepala Urung Kecil (Asisten Demang). 39 Seperti dikemukakan oleh D. Zagötö, (1972:23), bahwa pada masa pemerintahan Kabupaten Tk. II Nias, antara tingkat Kecamatan dengan tingkat Banua (Kampung), masih berlaku namanya tingkat Öri yang dikepalai oleh seorang Tuhenöri tetapi sekarang tingkat Öri telah ditiadakan. Sebagaimana dikatakan oleh F. Zebua, (1996:108), mengatakan bahwa sejak keluarnya keputusan Gubernur sebagai Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Tanggal 26 Juli 1965 Nomor 222/V/GSU, maka sistem pemerintahan Öri di Kabupaten Nias dihapuskan dan dinyatakan tidak berlaku lagi. 40
2.4.3.2. Kabupaten Nias Selatan Secara geografi, Kabupaten Nias Selatan terletak pada 0° 33’ 25” Lintang Selatan dan 1° 4’ 5” Lintang Utara serta 97° 25’ 59” dan 98° 48’ 29” Bujur Timur. Luas wilayah sebesar 1.825,2 km2
terdiri dari 104 buah pulau.
Berbatasan dengan: a.
Sebelah Utara : Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Barat
b.
Sebelah Selatan : Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat
c.
Sebelah Barat
d.
Sebelah Timur : Kabupaten Mandailing Natal dan Pulau-Pulau Mursala
: Samudera Hindia.
Tapanuli Tengah 39
Ibid., hlm.xi F. Zebua, (1996), hlm.108, Kota Gunungsitoli Sejarah Lahirnya Dan Perkembangannya, (Gunungsitoli)
40
Universitas Sumatera Utara
Topografi wilayah Kabupaten Nias Selatan berbukit-bukit sempit dan terjal serta pegunungan tingginya di atas permukaan laut bervariasi antara 0-800 meter, terdiri dari dataran rendah sampai bergelombang mencapai 20 %, dari tanah bergelombang sampai berbukit-bukit 28,8 % dan dari berbukit sampai pegunungan 51,2 % dari keseluruhan luas daratan. Kondisi demikian sunggguh menyulitkan pembuatan jalan-jalan lurus dan lebar. Iklim Kabupaten Nias Selatan terletak di daerah khatulistiwa maka curah hujannyapun tinggi. Rata-rata curah hujan perbulan 298,60 mm dan banyaknya hari hujan dalam setahun 250 hari atau rata-rata 21 hari perbulan pada tahun 2011. Akibat banyaknya curah hujan maka kondisi alamnya sangat lembab dan basah. Musim kemarau dan hujan silih berganti dalam setahun. Disamping struktur batuan dan susunan tanah yang labil mengakibatkan seringnya banjir Bandang dan terdapat patahan jalanjalan aspal dan longsor disana sini, bahkan terjadi daerah aliran sungai berpindah-pindah. Keadaan iklim dipengaruhi oleh Samudera Hindia. Suhu udara berkisar antara 21,7°-31,3° dengan kelembaban sekitar 88 % dan kecepatan ratarata angin 6 knot/jam. Curah hujan tinggi dan relatif turun hujan sepanjang tahun dan sering kali dibarengi dengan badai besar. Musim badai laut biasanya berkisar antara bulan September sampai Nopember, tetapi kadang terjadi badai pada bulan Juni, jadi cuaca bisa berubah secara mendadak. Kabupaten Nias Selatan terdiri dari 104 buah pulau besar dan kecil. Jumlah pulau yang dihuni 21 buah, yang tidak dihuni 83 buah. Penyebaran Pulau Pulau menurut Kecamatan, terdiri dari Pulau Batu dan Hibala sebanyak 101 Pulau, Lahusa sebanyak 1 Pulau dan Lölöwa’u sebanyak 2 Pulau.
Universitas Sumatera Utara
Ditinjau dari kesejarahannya bahwa wacana pembentukan Kabupaten Nias Selatan sudah dimulai sejak tahun 1960-an oleh tokoh-tokoh masyarakat Nias Selatan. Namun usulan tersebut tidak segera teralisasi karena harus memenuhi tahapan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Hadirat Manaö, (2012:4), menjelaskan bahwa pada mulanya seluruh wilayah kepulauan Nias berada di bawah 1 (satu) Pemerintah Kabupaten Nias., namun semenjak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, pada akhirnya terjadilah pemekaran wilayah otonomi di kepulauan Nias. Regulasi tersebut didasari oleh berbagai kesenjangan sosial, pergeseran politik, penghasilan ekonomi, perbedaan budaya dan lain sebagainya. Pada saat yang bersamaan marak pula konflik komunitas sebagai suatu suatu protes masyarakat terhadap sistem pemerintah yang otokrasi dan sentralisme. Dimana hampir semua jabatan terpenting pada Pemerintah Kabupaten Nias dikuasai, didominasi sepenuhnya oleh masyarakat dari Nias Utara sepanjang masa. Mereka tidak memberi peluang kepada setiap warga yang berasal dari Nias Selatan bahkan menekan habis-habisan akan tetapi di rantau orang mereka banyak yang berhasil menduduki jabatan terpenting diberbagai sektor. 41 Lebih lanjut bahwa Tim Penyusun, Bahan Rakernas BAMUSPERNIS, (2005), dijelaskan bahwa didorong oleh rasa kepedulian dan keprihatinan serta solidaritas yang dimotivasi oleh nilai budaya Nias ‘Harato Sebua Wa Hasara Dödö.’ 41
Hadirat Manaö, (26 Desember 2012), Dampak Pemekaran Wilayah dan Persaingan Politik Antar Kelompok Masyarakat di Kabupaten Nias Selatan, (Bawömataluo: Makalah Seminar Internasional Potensi Pemuda, Prospek dan Tantangan Masa Depan), hlm.4
Universitas Sumatera Utara
BAMUSPERNIS didirikan pada Tanggal 12 Maret 2001 di kota Medan untuk jangka
waktu
yang
tidak
ditentukan
lamanya.
berperan
serta
untuk
memperjuangkan terbentuknya Kabupaten Nias Selatan. Rakyat Nias Selatan menyambut baik serta mendukung sepenuhnya BAMUSPERNIS sebagai wadah untuk memperjuangkan terbentuknya Kabupaten Nias Selatan sebagai salah satu solusi yang tepat dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Nias Selatan. 42 Demikian juga dalam katalog BPS Kabupaten Nias Selatan, (2012), dijelaskan bahwa berdasarkan aspirasi didukung
masyarakat
Nias
Selatan
yang
oleh keputusan DPRD Kabupaten Nias Nomor: 02/KPTS/2000
Tentang Persetujuan
Pemekaran
Kabupaten
Nias
menjadi
2 Kabupaten
Tertanggal 1 Mei 2000, Keputusan DPRD Provinsi Sumatera Utara N omor: 19/K/2002 T entang Persetujuan Pemekaran Kabupaten Nias tertanggal 25 Agustus 2002, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9
T ahun
2003
T entang Pembentukan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Pakpak Barat, dan Kabupaten Humbang Hasundutan di Propinsi Sumatera Utara, Tertanggal 25 Pebruari 2003. 43 Demikian juga
warga Nias Selatan yang berada di perantauan
khususnya di wilayah Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang dan Depok (JABOTABEDEK) membentuk Panitia Persiapan Pemekaran Kabupaten Nias Selatan (FP3KANISE). Pada akhirnya terjadilah pemekaran wilayah otonomi di kepulauan Nias. Gelombang pertama adalah pemekaran Kabupaten Nias Selatan yang disahkan oleh Menteri Dalam Negeri pada Tanggal 28 Juli 2003 melalui 42 43
Tim Penyusun, (2005), BAMUSPERNIS, (Telukdalam: Bahan Rakernas) BPS Kabupaten Nias Selatan, (2012), Nias Selatan Dalam Angka 2012, (Telukdalam: Katalog)
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2003, Tanggal 25 Februari 2003 bersamaan dengan Kabupaten Pak-Pak Barat dan Humbang Hasundutan di Medan, Sumatera Utara oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia pada tanggal 28 Juli 2003. Selanjutnya pada tanggal 10 Oktober 2003, T. Rizal Nurdin Gubernur Sumatera Utara diangkat menjadi Pelaksana Tugas Bupati Kabupaten Nias Selatan oleh Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya gelombang kedua, disusul dengan pemekaran Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara dan Kotamadya Gunungsitoli. Ada 8 Kecamatan yang bergabung untuk memperjuangkan pemekaran Kabupaten Nias Selatan, sebagai berikut: Tabel 2:3 NO
KECAMATAN
LUAS WILAYAH (KM2)
% TERHADAP KECAMATAN
1
Telukdalam
490.00
27.54
2
Lahusa
334.00
10.91
3
Gomo
158.60
19.64
4
Lölömatua
188.60
9.70
5
Lölöwa’u
295.60
11.84
6
Amandraya
183.10
9.95
7
Pulau-Pulau Batu
121.05
6.98
8
Hibala
54.25
3.44
Sumber:http://www. niasselatankab.go.id
Semula Maenamölö berada di wilayah Pemerintah Kecamatan Telukdalam, akan tetapi beberapa tahun setelah Nias Selatan menjadi Kabupaten baru, pada akhirnya dimekarkan menjadi 3 Kecamatan dalam 2 (dua) tahapan. Tahapan
Universitas Sumatera Utara
pertama adalah pada masa Fahuwusa Laia, S.H, M.H., sebagai Bupati Nias Selatan, Maenamölö dimekarkan menjadi 2 wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Fanayama dan Kecamatan Maniamölö, selanjutnya tahapan kedua yakni pada masa Idealisman Dachi sebagai Bupati Nias Selatan masa bakti (2011-2016), dimekarkan lagi satu Kecamatan yaitu Kecamatan Luahagundre Maniamölö (perpaduan antara desa-desa wilayah Kecamatan Fanayama dan Kecamatan Maniamölö), sebagai berikut: 1.
Kecamatan Fanayama Secara geografi wilayah Kecamatan Fanayama seluas 77 km2 yang berbatasan dengan: a.
Sebelah Selatan : Kecamatan Luahagundre Maniamölö
b.
Sebelah Utara
: Kecamatan Mazinö dan Aramö
c.
Sebelah Barat
: Kecamatan Maniamölö
d.
Sebelah Timur
: Kecamatan Telukdalam
Nama-nama desa yang bergabung di Kecamatan Fanayama, sebagai berikut: Tabel 2:4 KECAMATAN FANAYAMA NO
DESA
1
Botohilitanö
2
Lagundri
3
Hili’amaetaniha
4
Bawönahönö
5
Hilizihönö
6
Bawömataluo
7
Orahili Fau
Universitas Sumatera Utara
8
Lahusa Fau
9
Onohondrö
10
Siwalawa
11
Hilinawalö Fau
12
Sondregeasi
13
Hili’ofönaluo
14
Botohilisalo’o
15
Orahili Fa’omasi
16
Bawöfanayama
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias Selatan, 2011 2.
Kecamatan Maniamölö Secara geografi, luas wilayah Kecamatan Maniamölö sebesar 77, 83 km2. Berbatasan dengan: a.
Sebelah Selatan : Laut Indonesia
b.
Sebelah Utara
: Kecamatan Aramö
c.
Sebelah Barat
: Kecamatan Amandraya
d.
Sebelah Timur
: Kecamatan Fanayama
Johannes M. Hämmerle, (2011:127), menjelaskan bahwa istilah Maniamölö, dibagi 2 kata Mania dan Mölö. Mania adalah suatu kata kerja yang berarti rasa rindu, sayang, kenang. Sedangkan Mölö adalah nama pribadi seorang leluhur. Jadi, Maniamölö adalah tanda peringatan bagi Mölö untuk mengenang masa lalu di Sifalagö Gomo tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. 44 Nama-nama desa yang bergabung di Kecamatan Maniamölö
44
Johannes M. Hämmerle, (2011), Ritus Famatö Harimao, (Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias), hlm.10
Universitas Sumatera Utara
pertama sekali pemekaran pada masa Fahuwusa Laia, SH, M.H., sebagai Bupati definitif Kabupaten Nias Selatan, sebagai berikut: Tabel 2:5 KECAMATAN MANIAMÖLÖ NO
NAMA KAMPUNG
1
Hilisimaetanö
2
Samadaya Hilisimaetanö
3
Idalajaya
4
Eho Maenamölö
5
Bawögösali
6
Bawö Hösi
7
Bawö Saudano
8
Bonia
9
Pekan Hilisimaetanö
10
Soto’ö
11
Lawelu Maha Neho
12
Hilifalawu
13
Fa’omasi Hilisimaetanö
14
Hili’aurifa
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias Selatan, 2011
3.
Kecamatan Luahagundre Maniamölö Secara adminstrasi, luas wilayah Kecamatan Luahagundre Maniamölö sebesar 77, 83 km2. Berbatasan dengan: a.
Sebelah Selatan : Laut Indonesia
b.
Sebelah Utara
: Kecamatan Mazinö dan Aramö
c.
Sebelah Barat
: Kecamatan Maniamölö
Universitas Sumatera Utara
d.
Sebelah Timur
: Kecamatan Telukdalam
Beberapa desa yang bergabung di Kecamatan Luahagundre Maniamölö, sebagai berikut: Tabel 2:6 KECAMATAN LUAHAGUNDRE MANIAMÖLÖ NO
NAMA KAMPUNG
1
Botohilitanö
2
Botohilitanö Salo’o
3
Lagundri
4
Orahili Fa’omasi
5
Hili’amaetaniha
6
Sondrege’asi
7
Hilimaenamölö
8
Botohilitanö
9
Bawömaenamölö
10
Botohilitanö Sorake
Sumber: http://www. niasselatankab.go.id
2.5.
Sistem Pencaharian Masyarakat Maenamölö
2.5.1.
Perburuan Berburu sudah ada sejak zaman prasejarah (kala pletosen dan pasca
plestosen) yang merupakan kegiatan pokok (mata pencaharian) masyarakat prasejarah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Berburu masa itu hanya bertujuan untuk mendapatkan makanan dengan menggunakan alat-alat yang sangat sederhana yang terbuat dari batu, kayu, dan tulang. Lama kelamaan pola pikir manusia semakin meningkat sejalan dengan kemajuan zaman yang
Universitas Sumatera Utara
melahirkan suatu peruhan tentang peralatan yang dipergunakan untuk keperluan hidup. Tempo dulu, berburu merupakan mata pencaharian masyarakat Maenamölö, selain untuk membasmi binatang liar yang seringkali merusak tanaman atau dan membahayakan manusia, berburu merupakan pencaharian warga untuk kebutuhan daging makanan. Biasanya sebelum pergi berburu ke hutan, warga memohon restu kepada dewa Sowanua dengan mempersembahkan sesajen supaya ketika pergi untuk berburu pulang dengan membawa hasil buruan. Kebanyakan binatang yang diburu di darat seperti; babi hutan, kancil, rusa, kijang, trenggiling, kalong, kera, burung, musang, kancil, tenggiling, dan sebagainya. Sedangkan binatang yang diburu di perairan seperti; buaya, biawak, ular sawah yang diambil kulitnya saja dan tidak untuk dimakan namun kadang dagingnya dijadikan sebagai obat gatal. Namun Binatang yang paling banyak diburu adalah babi hutan dan merusak tanaman serta dagingnya di sukai. Ada pula anggapan bahwa babi hutan mempunyai keistimewaaan terutama jantan, sering terdapat gelang, rantai yang disangkutkan di moncong dan taringnya dan pada saat berkubang di lepaskan, di letakkan di pinggir kubangan. Bagi orang Nias gelang babi tersebut di namakan Öri dan rantainya disebut Aya Zökha. Menurut kepercayaan bahwa orang yang memakai gelang dan rantai tersebut kebal atau tidak mampan terhadap senjata dan guna-guna. Selain itu, taring babi dapat juga di pergunakan sebagai asesoris yang dipasang di sarung pedang. Sebelum mereka berangkat berburu, mereka bersalam-salam dengan tujuan agar perburuan berhasil. Pantangan bagi para pemburu adalah mereka tidak
Universitas Sumatera Utara
boleh melihat ke belakang sewaktu bertolak dari rumah, tidak boleh bertengkar satu sama lain, tidak boleh mencurigai sesama tim agar perjuangan mereka untuk mencari buruan mendapat hasil yang maksimal dan terhindar dari segala bahaya yang mengancam jiwa mereka selama berada di tengah hutan. Perlengkapan utama untuk berburu adalah tombak, mandau dan alat perangkap tradisional lainnya. Salah satu tehnik berburu lainnya adalah dengan menggunakan sistim pancang terbuat dari bambu yang diruncingkan, pancangpancang itu kemudian ditancapkan di atas tanah dengan formasi menghadap arah binatang buruan. Apabila buruan melewati tempat itu maka pancang tadi akan mengena di dadanya. Para pemburu juga dibantu oleh anjing sebagai pelacak. Menurut Tuhoni Telaumbanua, (15 November 2013), Hasil buruan setiap orang didasarkan pada peran yang telah dilaksanakannya, mereka bagi-bagi di lokasi perburuan dan yang membagi adalah pemimpin perburuan dengan cara merata kecuali pembagian khusus terhadap orang yang menombak hasil buruan tersebut, penguasa atau ketua adat dan pemilih anjing pemburu dan yang paling mulia lagi adalah ketika daging-buruan itu dapat dibagikan kepada saudara dekat termasuk tetangga yang berdekatan. 45
2.5.2.
45
Pertanian
Tuhoni Telaumbanua, (15 November 2013), http://tuhony.files.wordpress.com
Universitas Sumatera Utara
Silvy M. Imaniyah, dalam (24 Oktober 2012), menjelaskan bahwa bidang pertanian merupakan salah satu mata pencaharian bagi masyarakat Nias, terutama tanaman pangan. Pertanian merupakan penunjang bagi keberlangsungan kekerabatan bagi masyarakat Nias untuk saling berbagi di masa-masa susah. Kebersamaan dalam mengolah tanaman pertanian terlihat jelas dalam kegiatan gotong-royong dalam membuka lahan maupun pada saat dilaksanakan penanaman tanaman tersebut, kebersamaan juga terjalin saat panen tiba. 46 Bertolak dari pengalaman masyarakat Nias dalam bertani, mereka mengalami masa dimana hasil ladang berhasil atau gagal. Mereka memperhatikan soal waktu menyemai atau waktu bertanam dengan Menggunakan sistim Bawa Dalu Mbanua yang kini diganti dengan sistim kalender. Biasanya pada musim kemarau penduduk memanfaatkan untuk membuka dan membakar hutan hingga sebagai lahan ladang kemudian pada musim hujan, dimanfaatkan waktu untuk menanami padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang kedelai, kacang tanah, kacang hijau, cabe, terung, pisang serta jenis tanaman lainnya. Setelah ladang panen berakhir kemudian dibiarkan hingga menjadi hutan alami kembali atau karena hutan semakin lama semakin berkurang dan ketika lahan tersebut tidak subur lagi maka mereka menanaminya dengan tanaman keras seperti karet, cokelat, kopi, cengkeh, pala, nilam, kakao, pinang, kelapa, pohon durian, pohon mahoni atau jenis tanaman lainnya yang bersifat prospek. Adapun peralatan yang digunakan oleh para petani untuk membuka hutan menjadi lahan kebun adalah berupa kapak untuk menebang pepohonan yang
46
Silvy M. Imaniyah, (24 Oktober 2012), http://blogsisiunik.blogspot.com
Universitas Sumatera Utara
besar, parang untuk membabat rerumputan dan cangkul untuk menggemburkan tanah. Ketika lahan kebun mulai tandus maka para petani mulai beralih menanam tanaman keras, seperti; karet, coklat, kelapa, mahoni, durian, kueni, mangga, duku, sawit dan sebagainya yang dianggap prospek. Kondisi tersebut juga mendapat berbagai kendala seperti gangguan hama penyakit selain itu para tengkulak lokal telah menekan harga di tingkat petani. Usaha berladang berarti kegiatan pembukaan hutan secara berpindahpindah. Sering hal ini dianggap merusak lingkungan. Padahal kalau dikaji lebih mendalam, ternyata orang Nias dahulu tidak membuka hutan dan menebang pohon sembarangan. Mereka tahu bahwa hanya hutan yang sudah banyak humusnya yang cocok untuk berladang. Setelah diusahakan (mo’arogoli) biasanya mereka meninggalkan sekian tahun hingga menjadi “atua eu”. Ini sebenarnya kearifan lokal, ditambah dengan pemahaman bahwa pohon besar dihuni oleh dewa atu roh-roh. Sehingga tidak boleh menebang pohon sembarangan agar dewa atu roh-roh tidak marah. Kalau marah, maka bisa datang bencana seperti banjir atau tanah longsor.Sebenarnya kalau diperhadapkan dengan ilmu pengetahuan, hal tersebut sesuai, bahwa penebangan pohon bisa menyebabkan banjir dan tanah longsor. Menurut Tuhony Telaumbanua,
dalam (15 November 2013),
menjelaskan tanaman perkebunan yang ada di Nias adalah tanaman perkebunan rakyat dengan komoditi andalan karet, kelapa, kakao dan beberapa komoditi yang lain seperti kopi, cengkeh, pala dan nilam. Selama tahun 2006 produksi tanaman karet di Kabupaten Nias mencapai 47.334 ton dari luas tanaman seluas 21.919 ha
Universitas Sumatera Utara
dan diusahakan oleh 21.033 rumahtangga petani. Tanaman kelapa selama tahun 2006 mencapai 23.505 ton dari luas tanaman seluas 24.256 ha dan yang diusahakan oleh 16.939 rumah tangga petani. Demikian juga untuk tanaman kopi, produksinya mencapai 43 ton dari luas tanaman seluas 172 ha dan yang diusahakan oleh 1.254 rumah tangga petani, produksi cengkeh mencapai 17 ton dari luas tanaman seluas 1.117 ha, yang diusahakan oleh 2.070 rumah tangga petani. Hasil tanaman perkebunan rakyat dari Kabupaten Nias pada umumnya hampir seluruhnya dijual keluar daerah dalam bentuk bahan mentah, melalui para pedagang baik lokal maupun luar daerah. 47 Produktivitas pada sektor pertanian masyarakat di kepulauan Nias hingga kini masih rendah dibandingkan dengan berbagai daerah lain di provinsi Sumatera Utara. Kendala utama mencakup pemakaian bibit berkualitas rendah, sedikit menggunakan pupuk, praktik agronomi masih buruk, lemahnya program penyuluhan, tidak adanya pengendalian hama dan penyakit serta kurangnya keterampilan dan pengetahuan dalam tekhnologi yang lebih baik. Selain itu para tengkulak lokal telah menekan harga di tingkat petani.
2.5.3.
Nelayan Salah satu mata pencaharian penduduk Maenamölö yang berdomisi di
pesisir pantai adalah mengandalkan sebagai nelayan. Pada saat kondisi laut dalam keadaan baik maka warga pergi menangkap ikan di laut tetapi saat musim badai mulai tiba para pelaut menyandarkan perahunya untuk memperbaiki segala 47
Tuhony Telaumbanua, (15 November 2013), http://tuhony.files.wordpress.com
Universitas Sumatera Utara
kerusakannya. Ikan-ikan tangkapan, selain untuk dijual dibagi-bagikan kepada keluarga dan tetangganya. Di dalam tulisan Dominiria Hulu, (15 Maret 2010), bahwa hasil produksi ikan di Kabupaten Nias selama tahun 2006 adalah 8.995, 61 ton terdiri dari produksi ikan laut sebesar 8.970, 31 ton dengan banyaknya nelayan 6.615 orang, produksi ikan air tawar sebesar 25.30 ton. Ikan yang berasal dari sungai 3.6 ton, ikan rawa sebesar 12, 8 ton, ikan kolam 4,8 ton, dan ikan tambak 4 ton. 48 Produktivitas pada sektor perikanan masyarakat setempat hingga kini masih tergolong tinggi. Namun kendala utama adalah mencakup pengadaan kapal dan peralatannya, lemahnya program penyuluhan serta kurangnya keterampilan dan pengetahuan dalam tekhnologi yang lebih baik selain itu para tengkulak lokal telah menekan harga di tingkat nelayan.
2.5.4.
Peternakan Dalam tulisan Silvy M. Imaniyah, (28 April 2010), menjelaskan bahwa
bidang perternakan merupakan salah satu mata pencaharian bagi masyarakat Nias. Ciri khas mata pencaharian penduduk Maenamölö secara turun-temurun adalah beternak babi, anjing, kambing, sapi, kerbau, unggas berupa ayam dan itik. 49 Usaha tersebut di atas dilakukan untuk keperluan setiap pesta keluarga maupun upacara adat di kampung. Hal ini terungkap ketika sebuah keluarga mengadakan suatu Owasa, pesta perkawinan, kematian, syukuran dan sebagainya, maka
48 49
Dominiria Hulu, (http://dominiriahulu.wordpress.com/2010/03/15) Silvy M. Imaniyah, (28 April 2010), http://blogsisiunik.blogspot.com
Universitas Sumatera Utara
keluarga ini akan menyediakan berpuluh-puluh ekor babi untuk menjamu para tamu yang akan datang. Dahulu, berternak babi dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya membiarkannya hidup secara bebas, ada juga dengan cara mengandangnya dalam jumlah banyak. Umumnya ternak peliharaan ini sangat penting, terutama dalam kebutuhan adat dan pemujaan. Disamping itu, peternakan babi merupakan aset ekonomi yang sangat signifikan bagi masyarakat setempat. Namun pada masa kini, masyarakat memiliki keterampilan yang modern untuk beternak babi. Makanan ternak adalah tanaman natural tetapi pada masa kini, masyarakat lokal lebih senang memberikan makanan ternak yang telah diolah melalui pupuk sehingga cepat menghasilkan uang. Ternak yang paling dominan adalah ternak babi sebanyak 35.375 ekor, kambing sebanyak 10.926 ekor, sapi sebanyak 1.618 ekor, kerbau 829 ekor, kerbau 82 ekor, unggas berupa ayam dan itik, ayam sebanyak 565.154 ekor dan itik sebanyak 21.500 ekor.
2.6.
Kesenian Masyarakat Maenamölö Kesenian merupakan hasil pikiran manusia yang disempurnakan oleh
rasa estetika yang menjadi kebutuhan manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Takari, (2009:1), bahwa kesenian tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat tertentu karena mereka memerlukan pemuasan akan rasa keindahan atau estetika. Saat seseorang menyampaikan gagasan, maka ia akan menggunakan seni sastra, ketika mengenakan busana akan disertai dengan desain
Universitas Sumatera Utara
yang memperindah busana tersebut, saat seseorang mengungkapkan perasaannya, ia akan mengekspresikan melalui nada dan lagu. Sehubungan dengan banyaknya cabang kesenian tradisional suku Nias, tentunya menyangkut seni rupa (bangunan, rias, lukis, relief), seni pertunjukan (tari, drama, film), seni suara (vokal, instrumen dan sastra yang lisan). Pada bagian ini, penulis hanya mengangkat beberapa bagian saja.
2.6.1.
Megalitikum Beranjak dari masa prasejarah, berbagai peninggalan-peninggalan
megalitik sampai saat ini masih banyak bertebaran di desa-desa adat tradisional Maenamölö Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias seperti; di desa Orahili Fau, Bawömataluo,
Siwalawa,
Onohondrö,
Hilinawalö
Fau,
Hilisimaetanö,
Botohilitanö dan sekitarnya, diantaranya: 1.
Behu (Menhir) adalah sebuah batu besar yang ditegakkan seperti tiang atau tugu yang berada di depan rumah Si’ulu untuk keperluan sakral berbagai macam upacara, diantaranya adalah dipergunakan sebagai batu pengikat terdakwah, pengikat binatang korban, sarana untuk mengangkat derajat sosial seseorang. Peninggalan budaya Behu ini juga tidaklah semata dibuat asal memenuhi fungsi utama itu, tetapi juga untuk memenuhi rasa keindahan. Ini terbukti pada bentuk dan ornamentalnya. Berbagai peninggalan tradisi megalitik cenderung bertelanjang dengan menampilkan alat genital secara menyolok, tidak saja hanya pemenuhan fungsi utamanya
Universitas Sumatera Utara
sebagai media sakral yaitu pemujaan roh leluhur tetapi juga untuk memenuhi rasa keindahan. 2.
Dolmen atau batu altar yang terdapat di desa-desa adat di Maenamölö adalah merupakan megalitik yang terbuat dari batu monolit yang ditopang batu-batu lain di bawahnya yang diletakkan di halaman rumah Si’ulu untuk keperluan upacara adat istiadat masyarakat setempat, diantaranya adalah sebagai tempat menaruh sesajen, pentas untuk tarian Moyo. Di dolmen ini banyak relief ornament, ada yang bermotif roda matahari, tetumbuhan, manusia dalam sikap terbelenggu dan sebagainya.
3.
Osa-osa merupakan megalitik peninggalan para leluhur yang terbuat dari batu berbentuk persegi empat pipih, berkaki empat, memiliki kepala dan ekor. Osa-osa ini sebagai symbol dari binatang Lasara. 50 Bentuk Osa-osa, diantaranya ialah Sitölu Bagi (berkepala tiga) sebagai tanda mempelai lakilaki sedangkan Ni’obehu (berkepala satu) sebagai tanda mempelai perempuan. Salah satu fungsi Osa-Osa dalam kehidupan masyarakat Maenamölö adalah dipergunakan untuk upacara pemindahan tulangbelulang para leluhur dari dalam guci (tempayan) dan disimpan di dalam peti jenazah yang baru untuk disemayamkan. Dari uraian singkat diatas kita menemukan kenyataan bahwa bakat atau
potensi seni pahat patung di daerah ini sangat kuat. Para seniman dengan peralatan sederhana pun dahulu telah mampu menghasilkan karya yang mengagumkan dunia seni berkat bakat, citarasa dan ketrampilan seni yang diwarisi secara turun
50
Lasara atau Lawölö merupakan dewa pelindung.
Universitas Sumatera Utara
temurun. Perkembangan seni patung seakan terhenti karena selain para seniman lebih banyak beralih profesi hal ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah kehadiran para misionaris tidak memiliki komitmen dalam mendukung warga mengembangkan kreativitasnya membuat patung. Konsepsi agama itu tidak seirama dengan konsepsi megalitik. Sekarang kemampuan seni patung Nias praktis tinggal sisa-sisanya, bahkan tinggal kenangan dengan kebanggaan atas kejayaan masa silamnya. Dari sudut budaya sangat disayangkan, padahal maha karya seni patung yang terdapat di daerah Maenamölö begitu diminati oleh orang-orang dari seberang. Dengan demikian, sebelum potensi itu hilang ditelan zaman sebaiknya semua pihak perlu membangkitkan kembali semangat para seniman lokal untuk mengembangkannya sehingga dengan demikian warisan budaya yang hampir ini punah dapat diaktifkan kembali.
2.6.2.
Bolanafo Berbagai warisan pusaka leluhur masyarakat Maenamölö yang
terpendam dan sangat potensial, nyaris tidak terdokumentasi sebagai bagian yang utuh dalam sejarah suku Nias, salah satunya adalah menganyam Bolanafo. 51 Sepanjang peradaban di suku Nias belum ada yang menyebutkan identitas nama orangnya yang pertama sekali yang menganyam serta memberi nama Bolanafo. Namun sebutan Bolanafo sudah ada sejak dahulu dan sangat 51
Bolanafo terdiri dari dua suku kata yakni Bola identik tempat, puan sedangkan Afo, identik 5 jenis ramuan tradisional, terdiri dari; Tawuo (sirih), Betua (kapur), Gambe (daun gambir), Bago Tembakau) dan Fino (buah pinang). Bandingkan: Esther GN Telaumbanua, (2011), op.cit., hlm.10
Universitas Sumatera Utara
bertalian pada nilai kebudayaan suku Nias. Menganyam Bolanafo merupakan warisan pusaka para leluhur orang Nias, di dalamnya terungkap ekspresi perempuan
yang
lemah-lembut,
kesabaran,
kedermawan,
keloyalitasan,
ketekunan, kreatifitas, kegigihan. Pengrajin tradisional Bolanafo hingga sekarang masih terdapat di desa-desa pedalaman di kepulauan Nias dalam jumlah sedikit. Pada umumnya kehidupan keluarga mereka tergolong kurang mampu dan ratarata tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Namun dalam berbagai kekurangan, Allah yang maha kuasa telah memberikan karunia jiwa seni yang mengagumkan. Para ibu-ibu biasanya menganyam Bolanafo di waktu-waktu senggang di rumah sambil menurunkan dengan mengajarkan kepada anakanaknya perempuan supaya kelak menjadi seorang ibu rumah tangga yang mandiri. Tradisi ini telah berlangsung secara turun-temurun. Bahan-bahan bakunya terbuat dari sejenis Sinasa (daun pandan) berduri dan Kele’ömö (Eleocharis dulcis). Kedua bahan baku utama ini merupakan tanaman lokal yang saat ini sudah semakin langka. Rumput lokal ini terlebih dahulu dikeringkan dan dipipihkan lalu diberi pewarna dan dianyam. Proses pengeringan itu sendiri memakan waktu yang cukup lama tergantung pada kondisi cuaca. Sehingga tidaklah heran membuat sebuah Bolanafo berukuran 30x35 cm memerlukan waktu seminggu bahkan sampai dua minggu lamanya. Kaum pengrajin Bolanafo tradisionil umumnya menggunakan pewarna berbahan baku alami yang diambil dari buah, akar-akar pohon dan dedaunan. Misalnya buah pohon Sianuza digunakan untuk pewarna merah. Tetapi karena kondisi sekarang
Universitas Sumatera Utara
dengan bahan baku yang sudah mulai sulit ditemukan, untuk pewarna lain para pengrajin mencampurnya dengan pewarna buatan atau kimia. Selanjutnya, peralatan yang dipergunakan untuk menganyam Bolanafo terdiri dari: tali pancing untuk melepaskan duri daun Sinasa, Sukhu Sese untuk mengiris Sinasa dan Kele’ömö, Famoe untuk pemotong dalam ukuran panjang yang melebihi, Lewuö untuk membersihkan dan memipihkan sekaligus melembutkan Sinasa dan Kele’ömö, Periuk atau kuali untuk merendam dan memasak Sinasa dan Kele’ömö. Esther GN Telaumbanua, SE (2011:10), mengemukakan bahwa motif dan penggunaan Bolanafo pada acara adat suku Nias sangat dipengaruhi oleh strata sosial yang telah ditetapkan dalam Fondrakö, sebagaimana di bawah ini : 1.
Si’ulu; Bolanafo yang digunakan untuk menyambut dan menyuguhkan sirih kepada tamu adalah bercorak Ni’otarawa.
2.
Ere; Bolanafo yang digunakan adalah bercorak Ni’ohulayo.
3.
Ono
Mbanua;
Bolanafo
yang
digunakan
untuk
menyambut
dan
menyuguhkan sirih kepada tamu-tamunya adalah bercorak Tandrösa. 4.
Sawuyu; Bolanafo yang digunakan untuk menyambut dan menyuguhkan sirih kepada tamu-tamunya adalah bercorak polos. 52 Bolanafo adalah sebuah karya seni, sebuah kreatifitas yang berbasis pada
kearifan lokal. Sebagai sebuah produk seni, Bolanfo belum banyak dikenal oleh masyarakat di luat Nias. Diperlukan sebuah strategi promosi yang tepat untuk mengangkat Bolanafo sebagi produk ekonomi kreatif berdaya saing dan memberi 52
Esther GN Telaumbanua, (2011), Nias Bangkit Langkah-Langkah Awal, op.cit., hlm. 10
Universitas Sumatera Utara
manfaat ekonomis. Strategi itu menyeluruh meliputi pengembangan sektor hulu sampai ke sektor hilir dimulai dari pengrajin, bahan baku, peningkatan produktifitas dan perluasan produk, usaha, sampai pemantapan citra sebagai produk berdaya saing. Pemberdayaan pengrajin dilakukan untuk meningkatkan kapasitasnya sebagi pekerja kreatif yang berdayakreasi, produktif dan inovatif.
2.6.3.
Li Niha Secara etimologi, Li Niha dibagi 2 suku kata, yaitu Li artinya suara dan
Niha artinya manusia. Bahasa Nias adalah media komunikasi sehari-hari penduduk Nias, baik dalam acara adat, agama bahkan dalam pergaulan terhadap sesama. Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis darimana asalnya serta masih bertahan hingga saat ini. Barangkali misteri terpenting dan yang paling menarik bagi para ahli bahasa adalah ciri khas dari Li Niha, dimana bunyi getaran kedua bibir yang terdapat pada awal dan tengah-tengah kata ‘Mbambatö’. Bunyi ini merupakan salah satu bunyi aneh dalam bahasa-bahasa dunia tetapi dalam Li Niha, bunyi getaran kedua bibir ini bukanlah sesuatu yang aneh, ini adalah bunyi normal yang biasa ditemukan dalam Li Niha. Penduduk suku Nias mengenal enam huruf vocal A,E,I,O,U,Ö. Hal itu tampak pada huruf setiap kata atau kalimat tanpa mengenal konsonan dalam kata maupun kalimat. Misalnya, Tumbu (lahir), Manowalu (menikah), Motomo (mendirikan rumah), Fakawi (meninggal). Atau suatu kalimat: Amaedola mbua geu ba ndraha, omasi dödö ba’ambö danga (ibarat buah di dahan pohon, ingin
Universitas Sumatera Utara
hati tapi tangan tak sampai), Nonilau dödö ba wamobörö (kehendak hati memulainya), Uwaö mena zambua ligu khömö balö fa’abölö (saya ingin mengatakan sesuatu kepadamu tetapi aku tidak mampu). Nenden Artistiana, (2011:9), berpendapat bahwa bahasa Nias dikenal 3 dialek, yakni untuk daerah Nias Utara (agak lembut), Nias Selatan (agak keras) dan Nias Tengah (terkenal dengan huruf Cu maka bilang tuada jadi cuada). 53 Selanjutnya, Bamböwö Laiya, (2006:7), menegaskan bahwa secara kultural, terutama di bidang bahasa, saat ini terdapat 3 sub-kultur di wilayah Kabupaten Nias Selatan, sebagai berikut: 1.
Si fa haega gaö (Kecamatan Telukdalam, PP. Batu)
2.
Si fakao andrö (Amandraya, Lahusa, Gomo, Aramö)
3.
Si fa ba da’ö (Lölöwau, Lölömatu). 54
2.6.4.
Hoho Hubari Gulo, (2011:94), menjelaskan bahwa Hoho merupakan tradisi
lisan masyarakat Nias yang dilagukan secara puitis dengan memilih kata-kata yang menarik untuk diperdengarkan secara lemah-lembut, baik perorangan maupun secara bersama-sama yang berhubungan dengan adat-istiadat masyarakat suku Nias. Misalnya, seorang laki-laki yang hendak melamar gadis, juru bicara dari keluarga yang menyampaikan keinginannya kepada pihak sang gadis dengan
53
Nenden Artistiana, (2011), Menelisik Keunikan Budaya Tanö Niha, (Jakarta: PT. Multazam Mulia Utama), hlm.9 54 Bamböwö Laiya, (2006), Sumane ba Böwö Ni’orisi, (Telukdalam: Yayasan BAMPER MADANI), hlm.7
Universitas Sumatera Utara
tujuan adalah agar tidak menimbulkan ketersinggungan bagi pihak yang menerima pesan. 55 Selanjutnya, Sadieli Telaumbanua, (2006), berpendapat bahwa ada 3 jenis Hoho dalam kehidupan masyarakat suku Nias, sebagai berikut: 1.
Hoho Hada; seperti Fane’esi, Famadaya, Faulu, Fanaru omo dan sebagainya.
2.
Hoho Rezeki; biasanya dituturkan pada saat pembibitan tanaman agar Siraha voriwu (dewi kesuburan) menjauhkan segala hama penyakit, bagi warga yang menggeluti usaha ternak dimohon agar Bekhu (dewa binatang) tidak mendatangkan penyakit ternaknya. Demikian pula para
nelayan,
memohon Jihi (hantu laut) penguasa atas ikan-ikan di air maupun di laut, memberikan ijin melaut dan pulang dengan membawa ikan yang sangat banyak. 3.
Hoho Ritual; beberapa bagian hoho, seperti seperti asal usul kejadian, setan dan sumber penyakit, penciptaan alam semesta, penciptaan manusia pertama, lembaga adat, kota leluhur, kemasyhuran, perebutan kekuasaan, penurunan leluhur Nias, pembuatan patung, gempa bumi, dan sebagainya. 56 Namun lambat-laun keberadaan Hoho dalam kehidupan masyarakat suku
Nias mengalami pergeseran peran, terlebih dengan kemajuan zaman nilai yang
55
Hubari Gulö, (2011), Hoho Faluaya Tradisi Lisan Masyarakat Nias di Desa Bawömataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan Sumatera Utara: Analisis Teks dan Struktur Musik, (Medan: Tesis, Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara), hlm.94 56 Sadieli Telaumbanua, (2006), Representasi Budaya Nias Dalam Tradisi Lisan, (Gunungsitoli: Lembaga Pengkajian dan Pengembangan)
Universitas Sumatera Utara
pernah menjadi pegangan hidup harus disingkirkan dengan alasan tidak sesuai lagi dengan kondisi masa kini.
2.6.5.
Fahombo Batu Menurut Nata’alui Duha, (2004), bahwa melompat batu merupakan
media latihan para prajurit kampung untuk menerobos benteng musuh baik ketika melakukan penyerangan maupun dalam upaya melarikan diri dari kepungan musuh sekaligus untuk menguji kekuatan dan ketangkasan seseorang bahwa dia adalah manusia yang sakti. 57 Fahombo Batu juga sering digolongkan sebagai bagian dari seni pertunjukkan. Walaupun harus diakui bahwa dahulu, ini termasuk bagian dari pembinaan generasi muda untuk menjadi dewasa secara fisik dan mental, serta siap tampil di medan perang. Informan, Amos Harefa, (18 Agustus 2013), Fahombo Batu pada mulanya tercetus karena dipicu berbagai kesenjangan, diantaranya ialah seperti perebutan wilayah kekuasaan, gara-gara perempuan, pelanggaran terhadap normanorma adat yang merusak hubungan antar kampung dan sengketa lainnya sehingga harus diselesaikan dengan jalur perang. Periode ini dimana alam menawarkan hukum rimba. Siapa yang terkuat dialah penguasa. Begitulah sirklus kehidupan pada waktu itu. Maka setiap orang yang akan pergi berperang harus dilatih terlebih dahulu bagaimana strategi perang, salah satunya adalah latihan melompat batu, latihan ini sangat penting bagi setiap serdadu dalam menghadapi
57
Nata’alui Duha, (2004), Fahombo Batu Di Nias, Tiada Duanya Di Dunia, (Medan: Sinar Indonesia Baru), hlm.59-60
Universitas Sumatera Utara
agresi musuh. Manfaat bagi yang kalah adalah untuk menyelamatkan diri dengan melompati rintangan-rintangan tersebut dari kepungan musuh dan bagi pemenang akan mudah mengejar dan memukul musuh. Sebelum seseorang akan belajar melompati batu itu terlebih dahulu ia harus memohon restu kepada arwah-arwah para leluhur pelompat batu yang sudah meninggal dengan tujuan untuk menghindari kecelakaan dan bencana bagi para pelompat ketika sedang mengudara, sebab banyak juga pelompat yang mengalami kecelakaan. Jika seseorang dianggap telah lulus maka diadakanlah acara syukuran sederhana dengan menyembelih ayam jantan pilihan atau sekor anak babi bahkan bangsawanpun ikut menjamunya. Pada hari itu juga pemuda ini secara resmi mendapat gelar Samu’i mbanua atau La’imbahorö (pengawal kampung) jika ada konflik antar kampung maka orang-orang inilah yang menjadi garda terdepan untuk menyerbu. 58 Edi Gunawan Zebua, (23 Juni 2012), diuraikan bahwa struktur lompat batu adalah terbuat dari batu monolit, tingginya mencapai 2 meter dengan lebar 90 cm panjangnya 60 cm. Di depannya ada undukan batu kecil setinggi 60 meter berfungsi sebagai landasan pijakan sebelum melakukan lompatan. Prajurit itu berlari dengan menginjak undukan batu kecil penopang terlebih dahulu untuk dapat melewati susunan batu yang tinggi. Berbagai ekspresi para pelompat ketika sedang mengudara. 59 Tidak bisa dipungkiri bahwa atraksi lompat batu di wilayah Kabupaten Nias Selatan telah menjadi seni pertunjukkan yang fenomenal, kehadirannya 58 59
Wawancara: Amos Harefa, (18 Agustus 2013) Edi Gunawan Zebua, (23 Juni 2012), http:www: nias-bangkit.com
Universitas Sumatera Utara
selalu dinanti dalam setiap acara bertemakan tentang Nias bahkan atraksi ini telah menjadi icon kalangan termasuk beberapa perusahaan telah menggunakan atraksi lompat batu ini dalam iklan produknya bahkan Pemerintah Republik Indonesia telah mengabadikannya dalam uang kertas seribu rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada tahun 1992. Namun pada masa kini, satu sisi lompat batu masih tetap berlangsung sebagai kegiatan seni budaya, pada sektor lain dikemas sedemikian menarik menjadi suatu produk warisan budaya.
2.6.6.
Faluaya Menurut Waspada Wau, (26 Desember 2012), bahwa Faluaya adalah
keseluruhan ekspresi suatu peperangan untuk memperjuangkan semua aspek kehidupan, termasuk membela diri dan mempertahankan kehormatan kampung. 60 Nilai-nilai yang terkandung di dalam Faluaya adalah bersifat nasehat dan perintah kepada setiap orang karena pada prinsipnya siapapun tidak akan pernah dibela secara membabi buta orang yang bersalah. Öndröra vabanuasa, kiri-kiri vambambatösa adalah falsafah bahwa kepentingan kelompok di atas kepentingan pribadi yang melandasi Tola mate, tobai aila yang artinya lebih baik mati dari pada menanggung malu. Ditinjau dari sejarah bahwa tarian Faluaya juga menggambarkan menggambarkan persatuan dan kesatuan suatu kampung saat menghadapi berbagai ancaman musuh. Pertujukan tari Faluaya pada umumnya dilakukan
60
Waspada Wau, (2012), Fanaruyama, (Bawömataluo: Makalah Seminar International Potensi, Pemuda, Prospek dan Tantangan Masa Depan)
Universitas Sumatera Utara
lapangan terbuka dan agak luas tanpa menggunakan dekorasi. Di Kabupaten Nias Utara, Faluaya (tari perang) disebut Baluse (tari perisai) tetapi di Pulau-Pulau Batu, wanita turut menari dengan langkah kecil yang lemah gemulai. Dewasa ini, Faluaya yang berasal dari Nias Selatan sudah banyak ditampilkan dalam berbagai event, baik pada pentas Lokal, Nasional bahkan di Mancanegara. Tarian ini menjadi sajian utama pada penyambutan tamu yang berbau adat di Nias. Penarinya lebih dari 20 bahkan sampai 200 orang laki-laki layaknya seperti serdadu lengkap dengan perisai dan tombak, parang, mandau dengan berbagai pelindung tubuh baik leher maupun di pinggang serta di dada. Tarian ini dipimpin seorang panglima sebagai komando untuk membentuk formasi berjajar panjang yang terdiri dari empat jajar. Posisi komando berada di depan menghadap kearah penari. Tarian kemudian dimulai dengan gerakan kaki maju mudur sambil dihentakkan ke tanah dan menerikkan kata-kata pembangkit semangat. Makna gerakan ini adalah kesiapan pasukan untuk maju ke medan perang dengan penuh semangat kepahlawanan. Kemudian diikuti dengan formasi melingkar yang bertujuan untuk mengepung dan leumpuhkan musuh. Gerakan Faluaya sangat dinamis, hentakan kaki yang diiringi oleh musik dan gerakan mengayunkan tombak dan pedang menggambarkan semangat dari para pejuang dalam mempertahankan kampung mereka dari serangan musuh. Tidak hanya itu saja, suara yang dikelurkan oleh para penari juga merupakan ekspresi ketangkasan dan kepahlawanan para kesatria. Tari Faluaya (tari perang) terbagi 6 jenis, sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1.
Folohe Toho (tehnik menombak) adalah suatu keahlian khusus bagi prajurit untuk menguasai teknik menyerang dengan menombak musuh.
2.
Folohe Baluse (tehnik perisai) adalah suatu keahlian khusus prajurit untuk menguasai teknik menggunakan perisai saat melakukan pertahanan ketika musuh datang menyerang.
3.
Fahutasa (tehnik menyerang) adalah suatu keahlian khusus bagi prajurit untuk menguasai tehnik untuk memukul lawan dengan tölögu (mandau) pengayau kepala manusia ketika saling menyerang.
4.
Famanu-manusa (tehnik berlaga) adalah suatu kemampuan adu nyali, kekuatan bagi prajurit mengalahkan musuh ketika berperang.
5.
Janökhö (tehnik mengayau) adalah suatu kemampuan para serdadu kampung pergi mengayau di kampung-kampung tetangga lainnya untuk dijadikan sebagai tumbal atau persembahan ketika seorang bangsawan meninggal dunia dengan cara dipenggal kepalanya di atas kuburan. Diyakini bahwa
tumbal-tumbal
ini
nantinya
menjadi
bangsawan ini di tempat kuburan. Seorang
menjadi
budak-budak
melayaninya untuk makan,
seorang yang menjaganya, seorang tukang pijatnya, seorang tukang potong kukunya, seorang lagi suruhannya kemana-mana. 6.
Jamu’i (tehnik seram), adalah temperamen seorang prajurit perang, berjiwa tegas tanpa basa-basi. Tidak banyak pertimbangan. Siapapun dihadapannya, terlebih lagi ketika Tölögu (Mandau) sudah sempat dicabut dari sarungnya, tak ada pilihan lagi maka taruhannya pasti nyawa musuh harus melayang. Memandangnya saja, musuh-musuhnya sudah gemetar.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Nata’alui Duha yang disadur oleh Tim Penyusun Pusaka Nias dalam Media Warisan, (2011:59-60), mengatakan bahwa rasa kepentingan kampung lebih utama dari pada hubungan kekerabatan. Apapun akan dikorbankan untuk membela demi kehormatan kampung sendiri. Sesuatu yang terjadi pada seseorang merupakan peristiwa bagi seluruh warga sekampung. Misalnya; salah seorang warga kampung A disakiti oleh warga kampung Z maka seluruh warga kampung A akan turut membalasnya, demikian sebaliknya. Setelah musuh diserang maka kepala musuh yang sudah terpenggal dan para tawanan perang itu dibawa pulang. Bilamana para serdadu pulang dengan membawa kemenangan, menjelang tiba dekat pintu gerbang kampung para prajurit mulai berarak-arakkan sembari melagukan hoho kemenangan dan beberapa kepala musuh yang mereka gotong menyerahkannya kepada bangsawan kemudian mereka melakukan perjamuan besar-besaran serta mengukuhkan para prajurit itu sebagai pahlawan kampung. Pada acara itu bangsawan memberikan rai-rai (mahkota) bahkan emas batangan kepada masing-masing prajurit itu. 61
2.6.7.
Arsitektur Bagi masyarakat suku Nias, rumah adalah yang terpenting dalam proses
kehidupan manusia dari kelahiran sampai kematian. Di dalam rumahlah manusia dilahirkan, dibesarkan dan dididik supaya menjadi orang yang berguna di tengahtengah masyarakat kelak. Membangun rumah artinya membangun harkat dan
61
Tim Penyusun, (2011), Pusaka Nias dalam Media Warisan, (Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias, Kumpulan Artikel dan Opini), hlm.59-60
Universitas Sumatera Utara
martabat bangsa melalui proses adat istiadat yang disebut dengan Orahua mbanua (musyawarah kampung). Pendirian rumah adat yang terdapat di desa-desa adat Maenamölö bukan sekedar sebagai monumental tetapi mengandung nilai kearifan dan rasional yang dibangun dari bahan kayu tanpa menggunakan paku dan besi, atapnya terbuat dari anyaman daun rumbia sekaligus mampu menyiasati berbagai fenomena ancaman alam serta ancaman musuh. Selain itu digunakan sebagai tempat hunian, balai permusyawarahan bahkan dimanfaatkan sebagai tempat pengadilan masyarakat. Motif ukuran dan desain yang ada di dalam maupun di luar serta rumah yang memuat berbagai ukiran dimana semuanya terkandung keaslian suatu nilai kebudayaan yang klasik dan mengagumkan. Seperti pengakuan Anthony Reid dalam tulisannya, (2010:.234), bahwa rumah sang raja masih menyandang keindahan lamanya dan di dalamnya terdapat bayak patung berhala; patungpatung kayu yang kasar dan berukuran sebesar manusia asli dan hampir-hampir telanjang. Demikian pula wakil Presiden Republik Indonesia, Adam Malik pernah berkunjung di Nias Selatan dan beliau sangat mengagumi karena kearifan orang Nias Selatan yang sanggup mendirikan rumah adat raksasa seperti yang kita lihat di desa Bawömataluo, Desa Onohondrö, Desa Hilinawalö Fau, Hilinawalö Mazinö dan Desa Hilisimaetanö. 62 Berdasarkan penelitian arsitektur rumah adat Nias, Alain M. Viaro, (2006:69), membagi beberapa bagian arsitektur rumah adat di Maenamölö, antara lain; Batu ndriwa, Oriwa, Ehomo, Ete, Ora, Silötömbato, Sikhöli, Lasara, Lagö-
62
Anthony Reid, (2010), Sumatera Tempo Doeloe, (Jakarta: Komunitas Bambu: 2010), hlm.234
Universitas Sumatera Utara
lagö, Ete deu, Malige, Lawa-lawa, Gasö matua, Fusömbatö, Fanötö, Sagötö batö, Dua götö batö, Tölu götö batö, Öfa götö batö, Lima götö batö, Önö götö batö, Fitu götö batö, Walu götö batö, Siwa götö batö, Loyo-loyo mbu-mbu, Ni’owöliwöli, gasi-gasi, laji-laji mbumbu. 63 Ironis, keberadaan arsitektur rumah adat yang ada di wilayah Kabupaten Nias Selatan saat ini tidak mendapat perhatian khusus oleh masyarakatnya. Hal ini diungkapkan karena ada indikasi bahwa apresiasi masyarakat terhadap rumah tradisional sudah mulai berkurang. Sebagaimana pernyataan Johannes M. Hämmerle, (1990:90), bahwa dulu hampir setiap desa di Nias Selatan mempunyai satu rumah besar tetapi sekarang sudah banyak yang punah. 64 Seterusnya Esther GN Telaumbanua, (2006:16), menambahkan bahwa dalam kurun waktu tercatat kepulauan Nias telah mengalami siklus Gempa besar berkekuatan di atas 8 SR yaitu yang terjadi pada tahun 1861, 1917 dan terakhir 28 Maret 2005 berkekuatan 8,7 SR dengan gempa susulan yang semakin melemah setiap waktu ternyata merusak material yang tak terhitung jumlahnya. 65
63
Alain M. Viaro, (2006), Traditional Architecture of Nias Island, (Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias, cetakan I), hlm.69 64 Johannes M. Hämmerle, (1990), Omo Sebua, (Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias), op.cit., 90 65 Esther GN Telaumbanua, (2011), Nias Bangkit Langkah-langkah Awal, (Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan), hlm.16
Universitas Sumatera Utara