33
BAB II KEBERADAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG ORANG TUA DALAM MEMBERIKAN HAREUTA PEUNULANG DI KABUPATEN ACEH BESAR A. Deskripsi Daerah Penelitian Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provini Aceh. Kabupaten Aceh Besar terletak di ujung barat daya Provinsi Aceh dan merupakan titik awal dari Banda Aceh menuju daerah Aceh dan Sumatera lainnya. Adapun luas wilayah Kabupaten Aceh Besar seluruhnya sekitar 2.974,12 km² . Secara administrasi Kabupaten Aceh Besar terbagi menjadi 23 Kecamatan yang tersebar dari 68 Kemukiman, 608 Desa, dan 5 Kelurahan. Sebelum dimekarkan di akhir tahun 70an, ibukota Aceh Besar adalah kota Banda Aceh, kemudian kota Banda Aceh berpisah menjadi kotamadya sehingga ibukota Aceh Besar pindah ke daerah Jantho di pegunungan Seulawah. Kabupaten Aceh Besar terletak 5,2 – 5,8 LU 9,50 – 95,8 BT, dengan sisi barat,timur dan utaranya dibatasi dengan Samudera Hindia, Selat Malaka dan Teluk Benggala, yang memisahkannya dengan Pulau Weh, tempat di mana kota Sabang berada. Sedangkan untuk wilayah darat, Aceh Besar berbatasan dengan kota Aceh Banda Aceh di sisi utara, Kabupaten Jaya Aceh Jaya di sebelah barat daya, serta Kabupaten Pidie di sisi selatan dan tenggara.65 dengan batas wilayah sebagai berikut : a. Sebelah Utara: Selat Malaka / Kota Banda Aceh
65
BPS Kabupaten Aceh Besar, diakses Tanggal 3 Desember 2013
33
Universitas Sumatera Utara
34
b. Sebelah Selatan: Kabupaten Aceh Jaya c. Sebelah Timur : Kabupaten Pidie d. Sebelah Barat : Samudra Indonesia Kabupaten Aceh Besar disahkan menjadi daerah otonom melalui Undangundang Nomor 7 Tahun 1956 dengan ibukotanya pada waktu itu adalah Banda Aceh dan juga merupakan wilayah hukum Kotamadya Banda Aceh. Sehubungan dengan tuntutan dan perkembangan daerah yang semakin maju dan berwawasan luas, Banda Aceh sebagai pusat ibukota dianggap kurang efisien lagi, baik untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang. Usaha pemindahan Ibukota tersebut dari Wilayah Banda Aceh mulai dirintis sejak tahun 1969, dimana lokasi awalnya dipilih Kecamatan Indrapuri yang jaraknya 25 km dari Banda Aceh Usaha pemindahan tersebut belum berhasil dan belum dapat dilaksanakan sebagaimana diharapkan.66 Kemudian pada tahun 1976 usaha perintisan pemindahan ibukota untuk kedua kalinya mulai dilaksanakan lagi dengan memilih lokasi yang lain yaitu di Kecamatan Seulimum tepatnya kemukinan Jantho yang jaraknya sekitar 52 km dari Banda Aceh. Akhirnya usaha yang terakhir ini berhasil dengan ditandai keluarnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1976 tentang pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar dari wilayah Kotamadya Banda Aceh. Daerah Tingkat II Banda Aceh ke kemukinan Jantho di Kecamatan Seulimum Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar dengan berdasarkan hasil 66
Ibid
Universitas Sumatera Utara
35
penelitian yang dilakukan oleh team departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah yang bekerjasama dengan Konsultan PT. Markam Jaya yang ditinjau dari segala aspek dapat disimpulkan bahwa yang dianggap memenuhi syarat sebagai ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar adalah Kemukinan Jantho dengan nama "KOTA JANTHO". Setelah ditetapkan Kota Jantho sebagai ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar yang baru, maka secara bertahap pemindahan ibukota terus dimulai, dan akhirnya secara serentak seluruh aktifitas perkantoran resmi dipindahkan dari Banda Aceh ke Ibukota Jantho pada tanggal 29 Agustus 1983, dan peresmiannya dilakukan oleh Bapak Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia pada masa itu, yaitu Bapak Soepardjo Rustam pada tanggal 3 Mei 1984.67 Adapun pembagian wilayah administrasi Kabupaten Aceh Besar berikut luasnya dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1.1 Luas Daerah, Jumlah Desa / Kelurahan, Mukim, menurut Kecamatan di Kabupaten Aceh Besar No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kecamatan Lhoong Lhoknga Leupung Indra Puri Kuta Cot Glie Seulimeum Kota Jantho Lembah Seulawah Mesjid Raya
Luas Area (Km) 125,00 98,95 76,00 285,25 230,25 487,26 274,04 322,85 110,38
Desa
Mukim
28 28 6 52 32 47 13 12 13
4 4 1 3 2 5 1 2 2
67
http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/11/name/nanggroe-acehdarussalam/detail/1106/aceh-besar, diakses pada tanggal 13 November 2013
Universitas Sumatera Utara
36
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Darusalam Baitussalam Kuta Baro Montasik Blang Bintang Ingin Jaya Krueng Barona Jaya Sukamakmur Kuta Malaka Simpang Tiga Darul Imarah Darul Kamal Peukan Bada Pulo Aceh Jumlah
76,42 37,76 83,81 94,10 70,51 73,68 9,06 106,00 36,00 55,00 32,95 16,20 31,90 240,75 2.974,12
29 13 47 39 26 50 12 35 15 18 32 14 26 17 601
3 2 5 3 3 6 3 4 1 2 4 1 4 3 68
Sumber : BPS Kabupaten Aceh Besar Dalam Angka 2013 Luas Kabupaten Aceh Besar adalah sekitar 2.974,12 km², dengan wilayah terluas adalah Kecamatan Seulimeum dengan luas 487,26 wilayah terkecil adalah Kecamatan 9,06 km² yaitu seluas
km² (16,38%)
dan
(0,30%).
Perkembangan kepedudukan di Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat dari jumlah, perkembangan dan penyebaran penduduk, serta kepadatan penduduk. Jumlah penduduk Kabupaten Aceh Besar dari tahun ke tahun nampak terus bertambah. Dari data kependudukan jumlah dan kepadatan penduduk di Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2013 memiliki kepadatan rata-rata sebesar 283 jiwa/km2. Sedangkan kepadatan yang tertinggi yaitu di Kecamatan Krueng Barona jaya sebesar 1.500 jiwa/ km2, kemudian di Kecamatan Darul Imarah yaitu 1.387 jiwa/km2, kemudian kepadatan yang terendah yaitu di Kecamatan Pulo Aceh dengan tingkat kepadatan 15 jiwa/ km2.
Universitas Sumatera Utara
37
Kemudian Kecamatan Kota Jantho yaitu 29 jiwa/ km2. Secara keseluruhan kepadatan penduduk dan penyebaranya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1.2 Tabel Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Kecamatan Lhoong Lhoknga Leupung Indra Puri Kuta Cot Glie Seulimeum Kota Jantho Lembah Seulawah Mesjid Raya Darusalam Baitussalam Kuta Baro Montasik Blang Bintang Ingin Jaya Krueng Barona Jaya SukaMakmur Kuta Malaka Simpang Tiga Darul Imarah Darul Kamal Peukan Bada Pulo Aceh
Jumlah
Laki-Laki (Jiwa) 5.394 7.937 1.601 10.538 6.695 11.599 4.810 6.165 11.610 10.923 11.217 11.834 9.976 5.177 14.648 7.764 7.445 3.110 3.049 26.288 3.664 9.676 2.627 193.747
Perempuan (Jiwa) 4.569 7.389 1.411 10.342 6.436 11.034 4.405 5.550 10.894 10.917 9.390 11.593 9.477 4.975 13.842 7.294 7.300 2.955 2.870 24.891 3.501 8.526 2.186 181.747
Sumber : BPS Kabupaten Aceh Besar Dalam Angka 2013 Tabel di atas menjelaskan bahwa Kecamatan Krueng Barona Jaya memiliki kepadatan yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Hal ini dikarenakan kecamatan ini terletak pada perbatasan dengan Kota Banda Aceh khususnya dengan Kecamatan Ulee Kareng yang merupakan salah satu pusat
Universitas Sumatera Utara
38
kegiatan ekonomi di Kota Banda Aceh. Selain itu Kecamatan ini juga berdekatan dengan Universitas Syiah Kuala sehingga banyak mahasiswa yang menetap di kecamatan tersebut. Kondisi tersebut sangat mendukung dalam aktivitas penduduk mengingat kecamatan ini memiliki jalur mobilitas yang bagus sehingga meskipun luasan daerahnya kecil tetapi tetap menjadi alternatif singgah bagi penduduk yang memiliki tingkat mobilitas tinggi. Pendidikan merupakan salah satu kunci sukses utama dalam proses pelaksanaan pembangunan daerah, karena dengan pendidikan maka akan dicapai sumber daya manusia yang berkualitas. Keberhasilan dalam pendidikan tidak lepas dari tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan baik dan lancar, yang diharapkan dapat menghasilkan output yang memuaskan. Table 2.1. Tingkat Pendidikan di Lokasi Sampel Pada Sekolah Negeri dan Swasta No
1 2 3
Kecamatan
Tidak/ Belum sekolah
SD
SLTP
SMU
Kota Jantho 168 930 609 649 Seulimeum 188 2351 958 700 Kuta Malaka 231 483 235 78 Sumber : BPS Aceh Besar : Aceh Besar Dalam Angka
Perguruan Jumlah Tinggi 132 207 187
2488 4197 1214
Universitas Sumatera Utara
39
Table 2.1. Tingkat Pendidikan di Lokasi Sampel di bawah Departemen Agama Kabupaten Aceh Besar No
1 2 3
Kecamatan
Madrasah Ibtidaiyah (MI)
Madrasah Tsanawiyah (Mts)
Madrasah Aliyah (MA)
Pesantren Tradisional
Pesantren Modern
Juml ah
Kota Jantho Seulimeum Kuta Malaka
232 705 0
321 106 0
94 0 380
0 1956 80
242 448 486
889 3215 946
Sumber : BPS Aceh Besar : Aceh Besar Dalam Angka Berdasarkan table 2.1 dan 2.2 dapat diketahui bahwa masyarakat di lokasi penelitian telah menyadari peran penting pendidikan sekolah dan pendidikan agama untuk memajukan kehidupan. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah penduduk yang mendapatkan pendidikan di sekolah dan pendidikan agama di pesanteren (dayah) serta banyaknya penduduk yang telah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Mata pencaharian utama bagi penduduk di Kabupaten Aceh Besar adalah pertanian. Dari semua bidang pertanian, bersawah (menanam padi) menempati tempat teratas dan dikerjakan hampir oleh semua penduduk di Kabupaten Aceh Besar. Sebagai contoh misalnya bagi mereka yang berprofesi sebagai Nelayan, bila ada tanah yang dapat ditanami di sekitar kampung-kampung mereka, maka tanah tersebut mereka manfaatkan untuk lahan usaha tani. Hal ini lebih-lebih bila keadaan iklim tidak memunginkan para nelayan untuk turun kelaut. Padi yang dihasilkan, disamping untuk dikonsumsi sendiri juga untuk dipasarkan, guna untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Selain itu juga mereka yang berprofesi sebagai pedagang, pegawai negeri dan lain-lain (terutama yang tinggal di pedesaan) tidak jarang pula yang
Universitas Sumatera Utara
40
mengdapatkan penghasilan dari hasil pertanian. Karena pada umumnya mereka juga mengusahakan usaha-usaha tani. Berkebun termasuk urutan kedua terpenting setelah bersawah. Dalam mengusahakan kebun, para petani tidak mengkhususkan pada satu jenis tanaman tertentu dalam sebuah kebun, tetapi bertanam berbagai jenis tanaman, hal ini dilakukan karena masing-masing tanaman mempunyai satu musim berbuah sendiri, sehingga dalam satu tahun ada penghasilan yang terus menerus. Mata pencaharian lainnya yaitu pemeliharaan ternak (lembu, kerbau, kambing dan lai-lain). Lembu dan kerbau selain untuk dijual, juga digunakan sebagai penarik bajak di sawah-sawah, ladang-ladang ataupun di kebun-kebun. Selain itu di beberapa daerah kecamatan yang berbatasan dengan laut (seperti kecamatan Mesjid Raya dan Kecamatan Peukan Bada serta Kecamatan Lhok Nga/Leupueng) juga ada penduduk yang mengusahakan tambak-tambak ikan dan pembuatan garam, meskipun dalam jumlah kecil. B. Islam di Dalam Masyarakat Aceh Dikenalnya Aceh dengan sebutan Serambi Mekkah oleh masyarakat luar Aceh bukan tanpa sebab, karena Islam tidak hanya persoalan manusia dengan Tuhan tetapi juga merupakan panduan dalam menggerakkan segala aktivitas masyarakat Aceh . Disamping itu, Aceh menjadi pintu masuk bagi perkembangan Islam di Nusantara dan pusat penyebaran Islam di sekitar selat Malaka. Hal ini menjadi satu fenomena penting dari catatan perkembangan sejarah Islam di dunia. Semenjak Islam datang dan berbaur dalam masyarakat Aceh, prilaku yang nampak dalam keseharian masyarakat tak lepas dari apresiasi masyarakat terhadap
Universitas Sumatera Utara
41
Islam. Artinya masyarakat Aceh tidak hanya menganut Islam, tetapi masyarakat mencoba mengaktualisasikannya dalam kehidupannya. Kadang terlihat sikap masyarakat yang begitu fanatik terhadap Islam, dikarenakan akulturasi watak masyarakat dengan keyakinan masyarakat. Sifat kekerabatan yang tinggi dan silaturrahmi merupakan satu bentuk sikap mereka yang kental dalam mewujudkan Islam. Agama ini telah mendarah daging dalam kehidupan mereka dan melingkupi semua aspek dalam kehidupan mereka. Hal ini bisa dilihat dari adat budaya yang mereka tampilkan dan juga melalui aturan atau norma hidup yang telah mereka sepakati, seperti perkawinan, perceraian dan lainnya.68 Bagi masyarakat Aceh, sekalipun Hukum Adatnya telah lebih dahulu ada jauh-jauh hari sebelum masuknya Islam ke Nanggroe Aceh melalui Samudera Pasei, tetapi dewasa ini, antara Hukum Adat dan Hukum Islam telah sampai pada tingkat sinergik integrative, yang menujukkan adanya harmonisasi antara hukum adat dan hukum Islam. Kenyataan ini telah dibuktikan oleh Syahrizal dalam meneliti hubungan kedua system hukum tersebut (Hukum Islam dan Hukum Adat) dalam bidang kewarisan.69 Secara menyeluruh, keberadaan kehidupan bermasyarakat di Aceh seutuhnya menyatu dalam semboyan kehidupan mereka sehari-hari, yang telah menjadi 68
Snouck Hurgronje,Aceh (Di Mata Kolonialis), (Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985), Jil 1-2, sebagaimana dikutip dalam buku Syamsul Bahri (Implementasi Syari’at Islam), ( Banda Aceh : Bandar Publisihing, 2012), hal. 64 69 Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia (Refleksi terhadap Beberapa BentukIntegrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh), (Lhokseumawe : Nadya Foundation, 2004), hal. 8
Universitas Sumatera Utara
42
pegangan umum; “Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana” (Adat berada di tangan Sultan, hukum di tangan Ulama, Qanun dari Putri Pahang dan Resam dari Laksamana). 70 Begitu kentalnya Islam dalam kehidupan mereka, dimana terdapat gambaran jelas melalui ungkapan-ungkapan adat. Meskipun masyarakat Aceh memiliki adat tersendiri tetapi tak bisa dipisahkan dari Islam yang menhjadi keyakinan mereka. Pertautan keduanya (antara adat dengan Islam) bisa dilihat dari hadih maja (ungkapan adat) yang berbunyi; “Hukum (Islam) ngon adat lagee zat ngon sifeut” (Hukum dengan adat seperti zat dengan sifat).71 Ungkapan ini mengandung makna sebagaimana dikemukakan Melalatoa dari Hasjmy, “… Islam dan rakyat Aceh ibarat darah dengan daging. Hal itu berlaku dalam segala cabang kehidupan: politik, ekonomi, kebudayaan, sosial budaya dan tata susila. Segala macam ajaran dan sistem kemasyarakatan tidak boleh berlawanan dengan ajaran Islam.”72 Disamping ungkapan ini, juga terdapat ungkapan lain yang menjelaskan betapa pentingnya adat dalam kehidupan masyarakat Aceh, yang ditercermin sebagai berikut; “Mate aneuk meupat jeurat gadoh adat han meho mita” (Mati anak jelas kuburnya, hilang adat kemana dicari).73
70
Syamsul Bahri (Implementasi Syari’at Islam), ( Banda Aceh : Bandar Publisihing, 2012),
hal. 64 71
Syamsul Bahri, Op. Cit, 61 M. Junus Melalatoa, Memahami Aceh dalam Perspektif Budaya, dalam AD Pirous, Abdul Hadi WM dkk (Ed), Aceh KembaliKe Masa Depan (Jakarta: IKJ Press, 2005), hal. 31 73 Ibid 72
Universitas Sumatera Utara
43
C. Sejarah Pemberian Hareuta Peunulang Kedudukan rumah dalam lingkungan keluarga pada dasarnya berkolerasi dengan kebiasaan menetap setelah kawin. Pada masyarakat Aceh, khususnya Aceh Besar dan Pidie, berlaku kebiasaan bahwa pasangan suami-istri muda menetap di lingkungan keluarga pihak istri.74 Kebiasaan menetap secara demikian berlangsung hingga tiba saatnya pasangan muda itu dipisahkan dan membentuk keluarga batih sendiri. Pemisahan itu biasanya dilakukan dengan suatu upacara yang disebut “Peumeukleh” (pemisahan). Dengan disaksikan oleh menantu dan tetua kampung serta beberapa anggota kerabat lainnya, orang tua istri memberikan sejumlah harta yang jenis dan nilainya tergantung kepada kemampuannya, kepada anak perempuan yang hendak dipisahkan itu. Pemberian itu disebut “Peunulang” atau pemberian. Hareuta Peunulang pada dasarnya dikenal di seluruh Aceh, tetapi yang masih mempraktekkan kegiatan pemberian orang tua ini hannya di tiga daerah dalam Provinsi Aceh, yaitu Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Besar dan sebagian wilayah di Kabupaten Aceh Barat. Kegiatan pemberian hareuta peunulang ini dikenal sejak masa-masa kerajaan Aceh Darussalam atas ide atau inisitaif Putro Phang (isteri dari Sultan Iskandar Muda, Raja kerajaan Aceh Darussalam) dalam rangka menyikapi keadaan dimana para wanita di Aceh yang tinggal cerai oleh suaminya, sehingga banyak wanita yang harus menderita dengan keadaan tersebut, maka ata dasar inilah Putro Phang mengusulkan untuk diadakan suatu lembaga untuk melindungi perempuan di saat musibah yang tidak diharapkan terjadi, seperti perceraian, dan 74
Wawancara dengan Burhanuddin, Tokoh Adat, Aceh Besar, Tanggal 29 November 2013
Universitas Sumatera Utara
44
ditinggal meninggal oleh suami mareka, namun wanita masih punya tempat dan kemampuan untuk menjaga kehormatan dan usaha untuk melanjutkan kehidupan selanjutnya setelah ditingal cerai atau ditinggal meninggal oleh suami mereka.75 Menurut sejarah, Sulthanah Sri Safiatuddin merupakan salah seorang peletak dasar untuk meningkatkan peranan perempuan dan pengukuhan adat peunulang berlangsung pada masa beliau berkuasa. Pada masa itu, beliau memberlakukan adat agar orang tua memberikan peunulang kepada dari setiap anak perempuan yang sudah menikah. Selain itu, juga menetapkan bahwa harta bersama yang diperoleh dari suami istri yang bercerai mesti dibagi dua atau dibagi sama antara suami-istri76. Peunulang tersebut biasanya dalam bentuk rumah, tanah sawah (umong), batang kelapa, alat-alat dapur atau ternak. Besar atau banyaknya jenis peunulang tergantung kepada kemampuan orang tua. Pendapat yang lain sejarah lembaga hareuta peunulang dibentuk di masa perjuangan Cut Nyak Dhien (salah seorang pejuang perempuan Aceh) di mana pada saat perjuangannya banyak pengikutnya yang meninggalkan janda-janda dan mengadu kepadanya bahwa mereka terlantar setelah ditinggal mati suaminya yang ikut dalam perjuangan bersama Cut Nyak Dhien, bahkan ada yang tidak lagi memiliki tempat tinggal setelah ditinggal mati suaminya, menanggapi kondisi ini maka Cut Nyak Dhien sebagai Panglima perang di masanya berinisiatif untuk melindungi kaum
75
Wawancara dengan Abdurrahman, Mantan Ketua Pusat Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya, Unsyiah, di Banda Aceh, tanggal 26 September 2013. 76 Ali Hasyimi, 59 tahun Aceh Merdeka Di bawah Pemerintahan Ratu, (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), hal. 121-126
Universitas Sumatera Utara
45
wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang ikut berperang, dengan membentuk lembaga hareuta peunulang, di mana beliau berharap nantinya tidak ada lagi jandajanda yang ditinggal mati suami yang ikut berperang mengalami kesulitan dan tidak memiliki tempat tinggal.77 Pendapat yang lain juga menjelaskan bahwa lembaga hareuta peunulang dibentuk pada zaman Kerajaan Aceh Darussalam atas idea tau inisiatif Putroe Phang (isteri dari Sultan Iskandar Muda, Raja Kerajaan Aceh Darussalam), dalam rangka melindungi kaum wanita yang ditinggal cerai oleh suaminya. Ketka itu ditemui banyak kaum wanita yang menderita akibat ditinggalkan oleh suaminya. Atas dasar inilah Putroe Phang mengusulkan diadakan lembaga hareuta peunulang.78 D. Pengertian Pemberian Hareuta Peunulang Pemberian menjadi hal yang biasa terjadi dalam kehidupan masyarakat adat. Menurut Soerojo Wignjodipoero, pemberian adalah pembagian keseluruhan ataupun sebagian daripada harta kekayaan semasa pemiliknya masih hidup.79 Eman Suparman mempersamakan hibah dengan pemberian. Menurut Eman Suparman, hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaaan pembagiannya biasanya dilakukan pada waktu
77
Wawancara dengan Abdurrahman Kaoy, Wakil MAA, Banda Aceh, 27 November 2013 Wawancara dengan Abdurrahman, Mantan Ketua PPISB Unsyiah, Banda Aceh, tanggal 25 November 2013 79 Soerojo Wignojidipoero, Op Cit, hal. 204 78
Universitas Sumatera Utara
46
penghibah masih hidup.80 Hibah menurut hukum adat memiliki beberapa ketentuan yaitu : 1. Hibah adalah jenis pemberian yang dilakukan oleh seseorang ketika masih hidup. 2. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan tanpa kontra prestasi dari pihak penerima hibah, atau dengan kata lain perjanjian secara cuma-cuma. 3. Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah tersebut bertentangan dengan hukum adat. 4. Benda-benda yang dihibahkan adalah segala sesuatu benda milik penghibah yang telah ada pada saat dilakukan hibah, baik benda yang bergerak maupun benda tetap. 5. Hibah dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Menurut Soepomo, pemberian semasa hidup dilakukan oleh orang tua untuk mewajibkan para waris untuk membagi-bagikan harta dengan cara layak menurut anggapan pewaris dan juga untuk mencegah perselisihan.81 Menurut Ter Haar, hibah adalah pembagian harta peninggalan di waktu masih hidup dan diperuntukkan sebagai dasar kehidupan materiil anggota keluarga dan penyerahannya dilakukan dengan seketika.82 Menurut Hilman Hadikusuma, harta pemberian adalah harta yang diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau kepada suami isteri bersama atau sekeluarga rumah tangga oleh karena hubungan cinta kasih, balas budi, atau jasa, atau karena sesuatu tujuan.83 Bentuk-bentuk pemberian harta benda semasa hidup sebenarnya masih banyak dilakukan di daerah-daerah adat khusunya terhadap pemberian yang dilakukan oleh 80
Eman Suparman, Op. cit, Hal. 81 Soepomo, Op.Cit, hal. 91 82 Ter Haar, Azas-azas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1994), hal. 210 83 Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hal. 51 81
Universitas Sumatera Utara
47
orang tua semasa hidupnya seperti di daerah Lampung ada kemungkinan isteri dalam perkawinan jujur mendapat pemberian barang tetap dari orang tua atau kerabatnya disebut Tanoh Sesan atau Saba Bangunan.84 Di
lingkungan
masyarakat
adat
Daya-Kendana
Kalimantan
Barat
kemungkinan pemberian orang tua kepada anak, akan lebih banyak diberikan kepada Anak Pangkalan yaitu anak yang menjamin memelihara mengurus orang tua sampai wafatnya. Begitu pula di daerah Banten pemberian orang tua biasanya dengan cara memberikan rumah kepada anak wanita dan suami si wanita setelah perkawinan mengikuti si isteri. Di Aceh dikenal pemberian perhiasan, emas, rumah, pekarangan dan lainnya diantara ayah atau ibu kepada anak-anaknya ketika orang tua masih hidup yang disebut peunulang. Jumlah peunulang yang diberikan tidak boleh lebih dari 1/3 jumlah keseluruhan harta peninggalan pemberi. Pemberian peunulang juga dapat diberikan sebagai tanda balas jasa, dimana harta peunulang yang telah diberikan tidak dapat diminta kembali.85 Menurut hukum adat, motif dari penghibah tidak berbeda dengan motif tidak memperbolehkan membagikan harta peninggalan kepada ahli waris yang tidak berhak, yaitu harta kekayaan yang merupakan dasar kehidupan materiil yang disediakan bagi warga yang bersangkutan serta keturunannya. Penghibahan ini merupakan cara bagi orang tuanya (si penghibah) untuk memberikan harta miliknya secara langsung kepada anak-anaknya. Penghibahan sebidang tanah kepada seorang
84 85
Ibid, hal. 161 Ibid
Universitas Sumatera Utara
48
anak merupakan suatu transaksi tanah, tetapi bukan merupakan transaksi jual. Penghibah tanah harus dilakukan dengan bantuan kepala persekutuan supaya menjadi sah serta terang.86 Hibah menurut hukum adat dibedakan dengan wasiat. Hibah ini dilakukan sewaktu anak-anaknya sudah menikah dan dipisahkan dengan membuatkan rumah atau memberikan pekarangan untuk pertanian. Hal tersebut harus dibedakan dengan weling (di Jawa) yang bersifat wasiat, yaitu sebelum seseorang meninggal, maka ia mengadakan ketetapan-ketetapan yang ditujukan kepada ahli warisnya atau istrinya dengan memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana harta bendanya akan dibagi waris jika orang tersebut meninggal. Jadi barang-barangnya itu belum dibagi-bagikan kepada ahli warisnya, melainkan masih dikuasai dan jika ia meninggal maka pembagian harta peninggalannya harus dilakukan pembagian berdasarkan petunjukpetunjuknya tersebut.87 Masyarakat Aceh pada umumnya sebagaimana masyarakat yang lainnya, orang tua mempunyai kewajiban memelihara, membesarkan, bahkan sampai mengawinkan anak setelah dewasa, hal ini merupakan perwujudan kewajiban alimentasi (kewajiban timbal balik antara orang tua dan anak), namun demikian setelah seorang kawin, tidak berarti terputus hubungan dengan keluarga orang tuanya sebagaimana pada masyarakat yang menganut system kekeluargaan patrilineal.88
86
Suheri, Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Hibah untuk Anak di Bawah Umur, (Semarang : Tesis, UNDIP, 2010), hal. 17 87 Ibid, hal. 17-18 88 R. Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, hal. 11
Universitas Sumatera Utara
49
Di Aceh seperti daerah lain di Indonesia, kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga batih, ialah ayah, ibu dan anak-anak yang belum kawin. Sementara anak-anak yang telah kawin maka membentuk lagi keluarga batih yang baru, di dalam sebuah rumah terdapat satu keluarga batih namun terkadang bisa juga dua keluarga batih atau lebih. Hubungan kekeluargaan antara orang tua dan anak yang telah kawin diwujudkan dalam berbagai bentuk, menurut daerah masing-masing. Dalam masyarakat Aceh setelah seorang anak perempuan kawin, maka anak tersebut beserta suaminya untuk beberapa waktu tetap tinggal dalam keluarganya, mereka tetap dianggap sebagai bagian dari keluarga. “Secara sosial mereka belum dikategorikan sebagai sebuah keluarga terpisah dari keluarga orang tuanya, konsekuensi bahwa mereka tetap berada dibawah anggung jawab orang tua, sampai mereka dipisahkan secara adat guna membentuk keluarga sendiri”.89 Setelah beberapa waktu, biasanya setelah umur perkawinan lebih kurang setahun atau setelah punya anak, pasangan suami isteri tersebut dipisahkan dari keluarga orang tuanya, guna secara social membentuk keluarga sendirri. Pada saat upacara pemisahan ini dilakukan, kepada anak perempuan diberikan sesuatu benda yang berharga atau bermanfaat sebagai bekal hidup dengan suaminya. Biasanya berupa rumah dan atau tanah lainnya. Acara pemisahan ini dalam masyarakat Aceh
89
Abdurrahman, Hareuta Peunulang Sebagai Suatu Lembaga Adat Aceh, (Banda Aceh : PPISB Unsyiah), hal. 3
Universitas Sumatera Utara
50
dikenal dengan istilah Peumeungkleh dan barang yang diberikan tersebut dinamakan dengan Hareuta Peunulang atau ada yang menyebutnya peunulang saja.90 Pemahaman Peunulang itu sendiri masih beragam, menurut T. Moh Djuned, dalam masyarakat Aceh hingga saat ini masih banyak yang menyamakan Haeuta Peunulang dengan hibah yang terdapat dalam hukum Islam.91 Menurut Muhammad Hoesin Hareuta Peunulang sama dengan hibah, orang Aceh menyebut hibah dengan peunulang dan ini sejak dahulu telah dikenal oleh masyarakat Aceh.92 Peunulang merupakan pemberian dari orang tua untuk perempuan yang sudah menikah dan terpisah dengan harta warisan. Pemberian tersebut biasanya dalam bentuk rumah beserta tanahnya, sepetak tanah sawah dan sejumlah ternak. Jumlah atau peunulang sangat tergantung kepada kemampuan orang tua si perempuan. Tujuan peunulang adalah untuk memastikan perempuan memiliki bekal minimal untuk memulai hidup berumah tangga. Dan yang lebih penting lagi, apabila terjadi sesuatu terhadap suaminya, seperti meninggal dunia si perempuan telah memiliki rumah sendiri yang tidak dapat diganggu-gugat oleh siapapun. Bahkan dalam bentuk yang paling ekstrem, walaupun tidak diharapkan, apabila terjadi perceraian, maka
90
Ibid T. Mohd. Djuned, Peunulang sebagai Salah Satu Bentuk Pewarisan di Aceh, Artikel, Buletin Kanun No. 2 Desember 1991, hal. 6 92 Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Atjeh, 1970, hal.179 91
Universitas Sumatera Utara
51
yang turun dari rumah adalah suami (lelaki) dan bukan isteri (aneuk inong). Karena istri adalah pemilik rumoh (ureung po rumoh).93 Penyerahan peunulang biasanya dilakukan melalui sebuah upacara yang diadakan oleh orang tua si istri. Dalam upacara tersebut diundang keuchik gampong, teungku meunasah dan anggota tuha peut untuk menyaksikan prosesi peunulang. Pada kesempatan itu, orang tua pihak perempuan atau yang mewakili menyatakan bahwa ia telah melepaskan anak perempuannya dengan memberikan sejumlah peunulang dan menyebutkannya satu persatu apa-apa yang dijadikan peunulang untuk anaknya tersebut.94 Sebagaimana penjelasan dalam buku Pola Penguasaan Pemilikan Dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang ditebitkan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah 1984 / 1985. “Selain dengan cara membuka tanah baru atau menghidupkan tanah yang mati, asal-usul pemilikan atas tanah dapat pula terjadi melalui pemberian yang dalam istilah Aceh lazim disebut peunulang”. Menurut adat masyarakat Aceh Besar, setiap anak laki-laki yang baru memasuki jenjang perkawinan, ia tinggal di rumah keluarga isterinya (rumah mertuanya). Tetapi setelah beberapa tahun perkawinan berlangsung (biasanya 93 www.acehinstitute.org Sanusi M. Syarif.com, Ureung Inong & Desain Tradisi (Sebuah Refleksi Hari Adat Sedunia), diakses tanggal 12 Desember 2013 94 Snouck Hugronje, 1985. Aceh dimata kolonialis. Jilid I. Terj. Singarimbun, Ng. Maimoen,S & Kustiniyati Muchtar. (Jakarta: Yayasan Soko Guru.Nasruddin Sulaiman, Rusdi Sufi & Tuanku Abdul Jalil, 1985), hal. 408
Universitas Sumatera Utara
52
sesudah mendapatkan anak), kepada suami isteri ini dianjurkan untuk berdiri sendiri. Dalam arti suami isteri itu berpisah periuk dengan orang tua pihak si isteri. Pemisahan seperti ini disebut dengan istilah peumeukleh.95 Dan biasanya sebelum hal ini dilakukan, pihak orang tua isteri telah mempersiapkan harta pemberian berupa tanah (sawah atau kebun) ataupun bendabenda lain yang bernilai untuk anak perempuannya. Pada saat harta ini akan diberikan, dihadiri oleh para famili, keuchiek dan pemuka masyarakat kampung lainnya yang khusus diundang untuk diketahui oleh mereka. Pemberian harta ini dilakukan secara simbolis kepada si suami, karena dialah yang akan bertanggung jawab untuk mengusahakan harta tanah itu. Namun secara adat harta itu tetap milik isteri, sebab sekiranya terjadi perceraian, harta yang berupa tanah itu akan kembali kepada pihak isteri.96 Berdasarkan penelitian di lapangan melalui wawancara tidak semua responden mampu memberikan pengertian hareuta peunulang secara mutlak, namun mereka memahami peunulang sebagai hibah kepada anak mereka. Meskipun demikian responden tetap menghormati adat tersebut dan menjalankannya. Hareuta peunulang dipahami oleh para responden secara hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh penulis dalam berbagai daftar bacaan. Hareuta peunulang merupakan harta dalam wujud-wujud tertentu yang diberikan oleh orang tua kepada anak perempuannya setelah anak tersebut berumah tangga.
95 96
Wawancara dengan Tgk. Bahagia, Tokoh Adat, Aceh Besar, Tanggal 25 November 2013 Ibid
Universitas Sumatera Utara
53
E. Keberadaan Pemberian Pemberian Orang Tua Kepada Anak Perempuan Melalui Hareuta Peunulang di Kabupaten Aceh Besar Pemberian orang tua kepada anak perempuan beberapa daerah di Aceh masih dilaksanakan, khususnya Kabupaten Aceh Besar. Setiap ada acara pemisahan (peumeungkleh) hampir bisa dipastikan dibarengi dengan memberikan hareuta peunulang. Masih banyak ditemukan dalam keluarga yang melakukan pemberian hareuta peunulang kepada anak perempuannya.97 Keberadaan pemberian harta kekayaan kepada anak perempuan melalui peunulang yang hingga kini masih terus berlangsung di Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat dari banyaknya prosesi peumengkleh (pemisahan) yang diikuti oleh keuchiek (kepala desa) dan tuha peut (tetua kampong) sebagai saksi dalam kegiatan pemberian tersebut. “kami hampir selalu diundang oleh pihak keluarga si isteri dalam prosesi pemengkleh, bahkan kadang kali kami juga diberi emban untuk melangsungkan pemisahan dan sekaligus menyerahkan peunulang di hadapan keluarga, sanak family dan para ahli waris”98 Wujud benda yang merupakan hareuta peunulang dimaksud diatas bermacam-macam dan semuanya merupakan benda yang bernilai dan bermanfaat untuk kehidupan. Benda-benda yang dimaksud adalah rumah dan tanah tempat letak rumah tersebut dan lahan pertanian atau perkebunan, tanah sawah, perhiasan emas 97
Wawancara dengan Abdurrahman, Mantan Ketua PPISB, Banda Aceh, Tanggal 27 November 2013 98 Wawancara dengan Tgk. Ridwan, Kepala Desa Peukan Seulimeum, Seulimeum, tanggal 26 November,2013
Universitas Sumatera Utara
54
dan ternak. Dari semua benda tersebut yang paling banyak diberikan adalah adalah tanah kebun, dimana dari 30 orang responden 17 orang responden mendapatkan peunulang dalam bentuk kebun yang diberikan orang tuanya dan 9 orang responden dalam bentuk tanah sawah dan sisanya mendapatkan rumah dan pekarangannya. Hal yang menjadi objek dari pemberian orang tua kepada anak perempuan di Kabupaten Aceh Besar tersebut dapat terlihat dari tabel di bawah ini : Objek Peunulang No
Desa
Kecamatan
Rumah
Lahan
Sawah
Jumlah
Kebun 1
Jantho Baro
Jantho
1
2
2
5
2
Jantho
Jantho
-
4
1
5
Seulimuem
1
2
2
5
Seulimuem
1
3
1
5
Makmur 3
Peukan Seulimuem
4
Lhieb
5
Teudayah
Kuta Malaka
1
3
1
5
6
Lam Ara
Kuta Malaka
-
3
2
5
4
17
9
30
Tunoeg Jumlah
Berdasarkan tabel diatas objek pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang terbanyak dalam bentuk lahan kebun ini sesuai dengan letak geografis Kabupaten Aceh Besar yang mempunyai banyak lahan pertanian di Kabupaten Aceh Besar, dan sesuai juga dengan mata pencaharian utama sebagian besar penduduk masyarakat kabupaten Aceh Besar sebagai Petani.
Universitas Sumatera Utara
55
Kegiatan pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang dalam masyarakat Kabupaten Aceh Besar dilakukan dengan cara lisan dihadapan para saksi kepala desa dan tetua kampung, dalam upacara peumeungkleh, ini dianggap sah di dalam masyarakat Aceh Besar karena masyarakat memahami bahwa kegiatan peralihan dalam adat sah apabila didasari dengan hal jelas dan terang dalam peralihan tersebut sebagaimana pendapat Abdurrahman “peralihan secara adat sah apabila dilakukan secara jelas dan terang dihadapan para saksi-saksi”.99 Banyaknya kegiatan pemberian hareuta peunulang di Kabupaten Aceh Besar sebagai bukti nyata bahwa pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang masih berlangsung dan dihormati di dalam masyarakat di kabupaten Aceh Besar. Pemberian hareuta peunulang kepada anak perempuan yang sudah kawin akan berakibat mengurangi sebagian dari harta dalam suatu keluarga, yang berarti akan mengurangi jumlah harta pusaka jika orang tua meninggal dunia, padahal dalam masyarakat Aceh besar tidak dikenal adanya suatu lembaga yang mengikat secara adat, yang menjadi dasar bagi anak laki-laki dan perempuan yang belum kawin untuk memperoleh sebagian harta dari harta pusaka. Artinya, dalam masyarakat adat Aceh Besar hannya dikenal pemberian kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang dimana anak perempuan yang telah kawin dapat memperoleh harta harta dari orang
99
Wawancara dengan Abdurrrahman, Mantan Ketua PPISB Unysiah, Banda Aceh, tanggal 26 November 2013
Universitas Sumatera Utara
56
tuanya sementara anak laki-laki dan perempuan yang belum kawin tidak ada kesempatan itu. Untuk memenuhi unsur keadilan tersebut diatas maka dalam praktek pemberian hareuta peunulang selalu dilakukan pengontrolan oleh kepala desa, imam menasah dan/atau tetua kampung lainnya agar pemberian hareuta peunulang kepada seorang anak dilakukan secara proporsional antara jumlah harta yang ada dengan jumlah anak. Kepala desa dan/atau tetua kampung lainnya selau menjaga agar pemberian hareuta peunulang tidak melebih sepertiga dari harta yang ada, sebagaimana dari syarat pemberian peunulang itu sendiri.100 Dari semua praktek pemberian hareuta peunulang di Aceh Besar dalam penelitian ini tidak pernah ada satupun ada kasus yang menunjukkan anak laki-laki berkeberatan, semua anak laki-laki menerima dan tidak pernah ada yang mempermasalahkan pemberian tersebut semua anak laki-laki berpersepsi positif dalam hal pemberian peunulang tersebut. F. Alasan-alasan Pemberian Hareuta Peunulang Menurut Hilman Hadikusuma, pemberian tanah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adat dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu sebagai berikut : 1. Sebagai tanda pengabdian, dimana telah diberikan kepada penghulu adat atau raja sebagai tanda pengabdian atau untuk mendapatkan perhatian sukarela sebagaimana yang pernah berlaku di Minahasa. 2. Sebagai tanda kekeluargaan, dimana tanah diberikan sebagai tanda mengaku saudara (Mewari) di daerah Lampung atau sebagai tanda mengangkat tanah yang terjadi di Minahasa.
100
Wawancara dengan Tgk. Bahagia Tokoh Adat, Aceh Besar, Tanggal 23 November 2013
Universitas Sumatera Utara
57
3. Sebagai pembayaran denda, dimana tanah diberikan kepada kerabat orang yang mati terbunuh untuk digunakan sebegai tempat perkuburan, tempat kediaman atau usaha. 4. Sebagai pemberian perkawinan, misalnya tanah pei pamoya di Minahasa dan sunrang sanra di Sulawesi Selatan yang berfungsi sebagai mas kawin sementara. 5. Sebagai barang bawaan dalam perkawinan di mana tanah diberikan oleh kerabat isteri ke dalam suatu perkawinan yang disebut sebagai pauseang, bangunan atau indahan arian di Batak dan tanah sesan dalam bentuk perkawinan jujur di Lampung.101 Berkaitan dengan pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang selain dalam konteks sejarah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ditemui berbagai pendapat tentang latar belakang orang tua di Kabupaten
Aceh
Besar
dalam
memberikan
hareuta
peunulang.
Adapun
tujuan/alasan-alasan pemberian hareuta peunulang di Kabupaten Aceh Besar dapat dilihat dari berbagai aspek, sebagaimana yang dapat dikelompokkan sebagai berikut ini : 1. Faktor sebagai bekal anak di kemudian hari Tidak semua anak, entah itu laki-laki maupun perempuan yang sudah berumah tangga bila kelangsungan hidup secara mandiri, tentunya kondisi pasca nikah, bisa jadi sesuatu mengkhawatirkan bagi orang tua. Itulah sebabnya mengapa orang tua sedini mungkin berfikir akan nasib anak-anak mereka kelak, dengan cara memilih-milih harta kekayaan mereka untuk diberikan kepada anak perempuan, dengan suatu pemikiran bahwa bila anak perempuan dikemudian hari membina suatu rumah tangga (keluarga), belum
101
Hilman Hadi Kusuma,Hukum Perjanjian Adat, (Bandung : PT Alumni, 1982), hal. 149
Universitas Sumatera Utara
58
tentu suaminya mampu, sebagaimana yang di jelaskan oleh beberapa responden bahwa sebagai upaya membantu dan berjaga jika nantinya mereka memulai membina rumah tangga baru dengan suaminya. 2. Faktor Kasih Sayang Wujud rasa kasih sayang orang tua kepada anaknya dapat dilakukan dengan berbagai cara dan salah satunya adalah dengan pemberian. Pada masyarakat Kabupaten Aceh Besar secara umum dikenal adanya pemberian yang dilakukan orang tua kepada anak perempuannya setelah melangsungkan perkawinan, dimana pemberian ini disebut dengan hareuta peunulang. Peunulang diberikan kepada anak perempuat pada saat telah melangsungkan perkawinan dalam proses pemengkleh dilakukan karena ingin menunjukkan rasa kasih sayangnya yang tidak putus kepada anak perempuannya walaupun anaknya telah berumah tangga dan membentuk keluarga baru bersama suaminya.102 Orang tua perempuan dengan suka rela memberikan bagian dari hartanya untuk keperluan hidupnya misalnya dengan memberikan lahan kebun untuk menambah sumber mata pencaharian dari keluarga anak perempuannya. Sebagaimana yang dilakukan oleh MI, warga Desa Jantho Makmur yang memberikan lahan kebun yang dimilikinya agar anak perempuan dan menantunya tersebut dapat memenuhi
102
Wawancara dengan Tgk Bahagia, Tokoh Adat, Aceh Besar, Tanggal 20 November 2013
Universitas Sumatera Utara
59
kebutuhan rumah tangganya mengingat menantunya yang memiliki pekerjan berkebun sebelum menjadi menantunya.103 3.
Faktor Ekonomi Dari aspek ekonomi pemberian hareuta peunulang dimaksudkan untuk
memberi bekal bagi anaknya dalam memasuki keluarga baru dengan suaminya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Aminah terhadap anaknya yang tidak memiliki pekerjaan tetap.104 Menurut AM warga desa Lhieb yang memberikan peunulang berupa sawah karena menantunya mengalami kesulitan ekonomi karena tidak memiliki pekerjaan tetap dan harus menghidupi anak perempuannya dikemudian hari beserta cucucucunya nanti, hasil dari mengusakan sawah tersebut nantinya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka dalam keluarga. Sebagaimana diketahui bahwa setelah seorang anak perempuan kawin untuk beberapa waktu tinggal dalam keluarga ibu bapaknya dan secara social masih dianggap satu keluarga, setelah melewati waktu, anak perempuan yang telah kawin ini dipisahkan (dipeumengkleh) untuk membentuk keluarga sendiri. Sudah pasti dalam memasuki keluarga baru, mereka membutuhkan bekal dan tempat tinggal, dalam rangka memenuhi inilah maka oleh orang tuanya diberikan atau disediakan persiapan berupa harta-harta tertentu.105
103
Wawancara dengan M.I, penduduk Desa Jantho Makmur, Jantho, tanggal 23 November
104
Wawancara dengan AM, penduduk Desa Jantho Baru, Jantho, tanggal 24 November 2013 Wawancara dengan Tgk. Bahagia, Tokoh Adat, Aceh Besar, Tanggal 22 November 2013
2013 105
Universitas Sumatera Utara
60
Peunulang diberikan kepada anak perempuan sebagai modal awal dalam membina keluarga barunya bersama suaminya, orang tua yang memiliki cukup harta, biasanya akan memberikan peunulang dalam bentuk sawah, tanah kebuh, lahan, rumah, perhiasan maupun emas. Akan tetapi bagi orang tua yang tingkat ekonominya lemah maka yang diberikan dapat berupa hewan peliharaan, seperti sapi, lembu, ayam atau bebek, dan alat produksi lainnya seperti cangkul, pangki dan piring.106 Tujuan lain dari pemberian peunulang aspek sosial ekonomi adalah untuk modal atau pegangan bagi seorang anak perempuan jika dalam kehidupan berkeluarga mendapatkan musibah ditinggalkan suami, baik ditinggal meninggal atau ditinggal cerai.107 Dalam hal ini pemberian peunulang berupa rumah tempat tinggal. Jika seorang isteri ditinggal cerai oleh suaminya, maka ia tidak akan terusir dari rumah dan tidak akan terlantar. Seorang isteri yang menerima peunulang berupa rumah tidak akan terusir dari rumah, tidak hannya dari rumah yang diterimanya itu, tetapi juga dari rumah lain di mana ia bertempat tinggal bersama suaminya, kalau misalnya ia dibawa oleh suami ketempat lain. Hal inilah yang paling diperhatikan dan dijaga oleh para orang tua di Kabupaten Aceh Besar, akan merupakan aib besar kalau seseorang perempuan
106
Wawancara dengan Abdurrahman Kaoy, Wakil Sekretaris MAA, Banda Aceh, Tanggal 19 November 2013 107 Wawancara dengan SF, Penduduk Desa Teudayah, Kuta Makmur, tanggal 22 November 2013
Universitas Sumatera Utara
61
seorang perempuan harus keluar dari rumah dalam hal terjadinya perceraian atau ditinggal meninggal oleh suaminya.108 4.
Faktor Yuridis Dari aspek yuridis pemberian hareuta peunulang adalah untuk menggantikan
mas kawin yang diambil oleh orang tua untuk persiapan perkawinan anak perempuannya.109 Dalam masyarakat Kabupaten Aceh Besar orang tua mempunyai kebiasaan untuk mengawinkan (termasuk mengadakan acara perkawinan). Dalam hal, tidak jarang biaya untuk acara perkawinan anaknya diambil dari mas kawin yang telah diterima yang seharusnya menjadi hak anaknya. Untuk ini, sebagai ganti mas kawin yang telah diambil tersebut kapada anak perempuan diberikan sesuatu benda yang bermanfaat dalam wujud hareuta peunulang. Sebagaimana yang dilakukan oleh JU warga desa Teudayah terhadap anak perempuannya, dimana mas kawinnya dipergunakan untuk mempersiapkan acara resepsi pernikahan anaknya tersebut, kemudian sebagai penggantinya bagi anak perempuan tersebut diberikan tanah sawah miliknya kepada anak perempuannya tersebut, untuk digunakan sebagai modal dalam membina rumah tangga bersama dengan suaminya.110
108
Wawancara dengan Abdurrahman, Mantan Ketua PPISB Unsyiah, Banda Aceh, tanggal 21 November 2013 109 Wawancara dengan ABD, penduduk Desa Lhieb, Seulimeum, tanggal 24 November 2013 110 Wawancara dengan JU, Penduduk Desa Teudayah, Aceh Besar, tanggal 24 November 2013
Universitas Sumatera Utara
62
Pengertian lain sebagai pengganti mas kawin adalah sebagai pihak yang menerima mas kawin, maka orang tua dari si anak perempuan memberikan sesuatu kepada kehidupan keluarga anaknya sekalipun mas kawin tidak diambil oleh orang tua.111 Oleh karena itu di dalam Masyarakat Kabupaten Aceh Besar penentuan mas kawin bagi anak perempuan oleh orang tuanya sangat tergantung atau sangat memperhatikan objek apa saja dan seberapa besar nantinya orang tua dapat memberikan hareuta peunulang. Di sini berarti penentuan mas kawin didasari pada jenis dan kuantitas dari hareuta peunulang yang dapat diberikan.112 5.
Faktor Budaya Tujuan pemberian hareuta peunulang dari aspek budaya ini berkaitan dengan
budaya pemberian hareuta peunulang yang turun-temurun, dimana orang tua yang juga pernah menerima pemberian peunulang maka orang tua tersebut selanjutnya akan memberikan hal yang sama kepada anaknya yang perempuan juga. Sudah menjadi hal yang lumrah dalam masyarakat Aceh Besar pemberian ini sebagai budaya yang baik yang terus dipertahankan sampai dengan sekarang. Sebagaimana yang dilakukan oleh ZU warga desa Lam Ara Tunoeng terhadap anaknya, dia
111
Wawancara dengan Abdurrahman, Mantan Ketua PPISB Unsyiah, Banda Aceh, tanggal 21 November 2013 112 Wawancara dengan Abdurrahman Kaoy, Wakil Ketua MAA, Banda Aceh, tanggal 23 November 2013
Universitas Sumatera Utara
63
memberikan lahan kebun yang sebelumnya juga diberikan oleh orang tua ZU kepadanya disaat melangsungkan perkawinan.113 Tujuan lainnya dari aspek budaya berkaitan dengan hubungan darah, dalam masyarakat Aceh Besar secara emosional anak perempuan lebih dekat dengan orang tuanya dibandingkan dengan anak laki-laki. Selain itu anak laki-laki lebih cenderung mencari nafkah jauh dari rumah, sedangkan anak perempuan tinggal dan bekerja tidak jauh dari rumah, anak perempuan menjadi pengurus dan melayani orang tuanya. Dalam rangka menjaga kondisi ini, maka diusahakan anak perempuan tidak tinggal jauh dari keluarga ayah/ibu. Untuk itu maka kepada anak perempuan yang telah kawin diberikan rumah sebagai objek dari hareuta peunulang.114 Berkaitan dengan ini dalam masyarakat dikenal ungkapan “Ureung inoeng mate ditempat ureung agam mate beuranggapat”. Artinya orang perempuan meninggal di rumah, orang laki-laki meninggal bisa di mana saja. 115 Maksud dari ungkapan ini adalah orang perempuan hendaknya kalau meninggal tidak jauh dari rumah atau lingkungan keluarga dan orang laki-laki tidak ada masalah dan wajar saja kalau meninggal di mana saja, jauh dari lingungan keluarga. Untuk ini maka orang tua merasa berkewajiban untuk menyediakan rumah bagi anak perempuan. Tujuan pemberian hareuta peunulang dari aspek budaya lainnya adalah berkaitan dengan hubungan perkawinan. Dalam hal ini tujuan pengadaan peunulang
113
Wawancara dengan ZUJ, penduduk desa Lam Ara Tunoeng, tanggal 22 November 2013 Abdurrahman, Op. Cit, hal. 29 115 Ibid 114
Universitas Sumatera Utara
64
adalah untuk memberikan kedudukan tertentu bagi isteri dalam keluarga. 116 Dalam suatu keluarga atau rumah tangga di masyarakat Aceh Besar isteri adalah sosok pengatur yang menjadi pengatur kehidupan rumah tangga. Dalam persoalan intern rumah tangga isteri adalah managernya. Isteri sebagai orang yang punya rumah, yang punya wewenang mengatur persoalan intern keluarga sehari-hari. Sehingga, dalam masyarakat Aceh Besar dan masyarakat Aceh lainnya isteri disebut sebagai “po rumoh” (pemilik Rumah).117 Dalam memposisikan dan memperkuat posisi inilah maka kepada anak perempuan yang sudah menjadi isteri seseorang diberikan hareuta peunulang berupa rumah oleh orang tuanya. Dengan berkedudukan sebagai pemilik rumah maka isteri berkuasa mengatur persoalan intern rumah tangga, sekalipun demikian posisi suami tetap, tidak hilang sebagai kepala keluarga. Hannya hak mengatur dan menata rumah tangga ada pada isteri. Kedudukan isteri sebagai pemilik rumah ini, tidak hannya terbatas dalam rumah yang dia terima sebagai objek peunulang saja, tetapi terus melekat pada isteri kemanapun ia dibawa dan di manapun ia ditempatkan oleh suaminya. Seandainya isteri dibawa ke daerah lain dan disediakan rumah lain oleh suaminya, posisi isteri sebagai pemilik rumah dengan wewenang sebagaimana terssebut di atas tetap melekat padanya. 6.
Faktor agama
116
Wawancara dengan D.A, penduduk Desa Peukan Seulimum, Seulimeum, tanggal 25 November 2013 117 Abdurrahman, Op. Cit, hal. 30
Universitas Sumatera Utara
65
Dari aspek agama, tujuan pemberian hareuta peunulang adalah untuk memperkuat hukum /syariat, maksudnya adalah untuk mencegah anak perempuan dalam hal ini isteri yang ditinggal suami melakukan hal-hal yang dilarang agama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.118 Bagi orang-orang yang berada dalam kondisi terjepit atau kondisi sulit seperti sulit memperoleh kebutuhan pangan atau sandang lebih terbuka kemungkinan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat agama guna memenuhi kebutuhan tersebut. Bagi masyarakat Aceh, dalam hal ini masyarakat Aceh Besar yang dikenal sangat Islami sangat menentang hal-hal begitu, apalagi kalau hal itu dilakukan oleh kaum perempuan yang diringgal suami. Syariat Islam telah mengatur secara tegas mengenai hal ini dan masyarakat Aceh sangat berpegang pada hukum /syariat. Masyarakat Aceh sejak dari kecil sudah dibekali dengan ilmu tentang syariat untuk mencegah dilakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sejalan dengan ajaran agama. Untuk memperkuat pelaksanaan syariat ini, maka salah satu usaha lain yang bisa dilakukan adalah membekali seseorang anak dalam hal ini anak perempuan dengan bekal hidup untuk mengantisipasi kemungkinan itu kalau-kalau nantinya ditinggal suami dan tidak ada peninggalan apa-apa. Bekal hidup inilah yang diberikan melalui pemberian hareuta peunulang. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan pemberian hareuta peunulang dalam hal ini adalah untuk memperkuat hukum /syariat.
118
Wawancara dengan Abdurrahman, Mantan Ketua PPISB Unsyiah, Banda Aceh, tanggal 22 November 2013
Universitas Sumatera Utara
66
7.
Faktor Keadilan Dari aspek keadilan tujuan dari pemberian hareuta peunulang adalah untuk
mengimbangi ketetapan hukum waris Islam (faraid) yang berprinsip bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.119 Masyarakat Aceh atau masyarakat Aceh Besar yang secara keseluruhan dapat dikatakan beraga Islam, dan patuh serta taat kepada aturan agama Islam percaya bahwa ketetapan agama mempunyai maksud dan tujuan yang baik, begitu pula larangan dalam agama mempunyai akibat kemudharatan yang memang harus ditaati untuk ditinggalkan120. Ketentuan hukum waris Islam yang memberikan bagian anak laki-laki lebih besar bagiannya dari pada anak perempuan secara keseluruhan ditaati dan dipatuhi, namun melihat kondisi anak laki-laki yang dimiliki oleh keluarga sebagian warga desa Jantho Baro terutama T.I yang memiliki dua anak laki-laki dan satu orang anak perempuan, dimana anak laki-laki keduanya telah memiliki kemampuan secara ekonomi dalam menghidupi kehidupannya sendiri yang masing-masing memiliki pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil dan pengusaha dianggap telah mapan, sementara anak perempuannya yang selama ini membantu keluarga orang tuanya dirumah lebih sebagai pelindung orang tua dan tinggal bersama orang tuanya, ditambah belum memiliki penghasilan atau pekerjaan yang tetap maka sudah sepantasnya diberikan tambahan harta warisan, pemberian selain dari ketentuan 119 120
Wawancara dengan T.I, penduduk Desa Jantho Baru, Jantho, tanggal 24 November 2013 Wawancara dengan Tgk Bahagia, Tokoh Adat, Aceh Besar, Tanggal 20 November 2013
Universitas Sumatera Utara
67
bagian warisan di dalam Hukum Islam diberikan dalam bentuk wasiat, hadiah dan hibah, maka dalam ini orang tua lebih memilih hibah, di dalam masyarakat Aceh Besar hibah di sini bentuk peunulang, sebagai upaya memberikan keadilan terhadap ketentuan bagian anak laki-laki lebih besar dari bagian anak perempuan dalam hal tentuan faraid. Keberadaan lembaga hareuta peunulang yang hingga kini masih dilaksanakan di dalam masyarakat Aceh Besar ini sesuai dengan teori Urf yang digunakan dalam penelitian ini, adat kebiasaan adalah suatu yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus-menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan.121 Lebih lanjut Urf itu sendiri dibagi menjadi dua jenis : 1. Urf Shahih (benar) 2. Urf Fasid (salah, rusak) Urf (adat) Shahih ialah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib. Sebagai mana dalam hal ini pemberian hareuta peunulang yang diberikan kepada anak perempuan yang telah menikah, dalam hal warisan tidak menyalahi aturan syara’, dimana pemberian itu sendiri di lakukan pengontrolan oleh kepala desa dan tetua kampung agar tidak melebihi 1/3 (sepertiga) dari keseluruhan harta yang dimiliki oleh orang tua dan
121
Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, (Medan : Konsentrasi Hukum Islam Program Pasca Sarja USU, 2002), hal. 32
Universitas Sumatera Utara
68
mengedepankan asas keadilan dalam keluarga secara proporsional terhadap bagian waris anak laki-laki dan semua anak dalam keluarga. Urf (adat) Fasid adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berlawanan dengan ketentuan syari’at karena membawa kepada yang menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib.122
122
Ibid, hal. 33-34
Universitas Sumatera Utara