BAB II KATEINAI BORYOUKU DALAM RUMAH TANGGA DI JEPANG
2.1
Pengertian Kateinai Boryouku Secara harfiah kateinai boryouku merupakan berbagai bentuk kekerasan
yang terjadi di dalam sebuah rumah tangga. Jika di lihat dari frase kanji yang membentuk kateinai boryouku
mengandung makna di dalam frase tersebut.
Kateinai boryouku mengandung dua frase kanji yaitu kateinai ( 家 庭 内 ) yang bermakna di dalam rumah tangga, dan boryouku (
暴 力 ) yang bermakna
kekerasan. Di dalam the great japans dictionary terbitan kondansha juga terdapat pengertian kateinai boryouku yaitu kekerasan yang di lakukan anak remaja atau anak di bawah umur terhadap orang tuanya. Pada umumnya kasus kateinai boryouku ini merupakan kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, namun khususnya sejak tahun 1997 kateinai boryouku merujuk pada kasus kekerasan yang di lakukan anak terhadap orang tua, mulai menonjol di dalam kalangan masyarakat dan kemudian pada awal tahun 1980-an istilah kateinai boryouku di pergunakan secara umum. Sebelumnya konsep dan sebutan seperti ini tidak ada karna kasus ini relative baru di dalam masyarakat jepang. Kemungkinan istilah ini dulunya di gunakan kepada kasus kekerasan antara suami-istri atau orang tua-anak yang di dalamnya terkandung arti kekerasan yang di lakukan oleh orang yang kuat
19 Universitas Sumatera Utara
ataupun yang berkuasa terhadap orang yang lemah atau pun di bawah taraf. Pengertian seperti ini jelas sangat berbeda dengan pengertian kateinai boryouku yang sekarang di gunakan, di mana fenomena yang muncul sekarang adalah kateinai boryouku di mana pelaku kekerasan tersebut adalah seorang anak terhadap orang tua, si lemah ( anak) terhadap orang tua (kuat). Pengertian kateinai boryouku yang di gunakan di jepang saat ini adalah seorang anak yang melakukan kekerasan terhadap orang tua ataupun terhadap anggota keluarga yang lain. Dan pengertian yang seperti ini lah yang di gunakan saat ini di jepang. Kekerasan ini juga bermacam-macam bentuknya bisa berupa bentuk kekersan terhadap fisik ataupun penghancuran terhadap barang-barang bahkan pengucapan kata-kata kasar dan tidak etis kepada anggota keluarga, terutama kepada orang yang seharusnya di hargai di dalm sebuah rumah tangga yaitu, ayahibu ataupun kakek nenek dan kakak-abang. Di berbagai kasus tertentu bentuk kekerasan ini sangat kejam dimana sang korban bisa saja mengaalami luka fisik maupun psikologis yang parah, adakalanya kasus ini berlangsung dalam jangka waktu yang panjang umumnya kepada anggota keluarga yang seharusnya di hormati namun lemah dalam fisik, yaitu seorang ibu yang lemah ataupun seorang ibu yang telah lanjut usia, sedangkan kasus kekerasan terhadap ayah jarang sekali terjadi. Namun tetap saja kasus ini merambat terhadap anggota keluarga yang lain yang ingin membela atau menyelamatkan sang korban kekersan dan biasanya kepada kakak perempuan ataupun sang ayah yang rela menerima kekerasan fisik demi menyelamatkan sang korban.
20 Universitas Sumatera Utara
2.2
Jenis-Jenis Kateinai Boryouku Jenis-jenis kateinai boryouku juga di bagi menjadi dua tipe yakni:
2.3.1
Tipe Kekerasan Berdasarkan Aksi Menurut Inamura di dalam kateinai boryouku terdapat berbagai tipe.
Salah satunya tipe yang di lihat dari aksi apa saja yang telah di lakukan si pelaku pada saat kekerasan itu terjadi. a. Kateinai boryoku nomi (kateinai boryouku saja) Perlakuan kekerasan terjadi di dalam rumah, si pelaku melempar dan menghancurkan benda ataupun barang-barang yang ada di dalam rumah, dan hal ini sangat berbanding terbalik dengan sifat pelaku di luar rumah, sehingga sulit menyadari bahwasanya telah melakukan kekerasan di dalam rumah. b.
Kateinai boryouku dan toko kyohi Koto kyohi merupakan penolakan seorang anak untuk pergi ke sekolah
dan latar belakang penolakan ini adalah penyakit kejiwaan yang di derita sang anak. Umunya kateinai boryouku di barengi dengan toko kyohi yang telah ada sebelum kateinai boryouku. Dapat di katakan toko kyohi ini merupakan gejala awal kateinai boryouku ini. Mereka memberontak karna di paksa melakukan sesuatu oleh orang tuadan pemberontakan ini di wujudkan dengan melakukan kateinai boryouku.
21 Universitas Sumatera Utara
c. Kateinai boryouku dan toko kyohi dan hiko Hiko merupakan pelanggaran hukum yang di lakukan anak di bawah umur 20 tahun atau kenakalan remaja. Selain kateinai boryouku dan toko kyohi, pelaku juga melakukan hiko atau kenakalan-kenakalan remaja seperti menguntit, mencuri uang, menginap tanpa seijin orang tua dan sebagainya.
d. Kateinai boryouku dan hiko Pelaku terlebih dahulu melakukan kenakalan, mengabaikan pelajaran dan bolos sekolah, dan ketika orang tua atau anggota keluarga yang lain mengingatkan agar menasehati, dia langsung marah tidak terima dengan nasihat dan melakukan kateinai boryouku terhadap orang yang mengingatkan dan biasanya korban adalah seorang ibu.
2.2.2
Tipe Kateinai Boryouku yang Berdasarkan Seishin Igaku ( Ilmu Penyembuhan Mental) Berdasarkan penelitian psikolog Inamura terhadap para pelaku yang
melakukan konsultasi padanya, membagi lagi tipe kateinai boryouku berdasarkan seishin igaku. Tipe-tipe tersebut adalah sebagai berikut: a.
Shinkeisho gata (tipe neurosis) Dalam kasus ini sang pelaku mengalami atau memiliki penyakit kejiwaan
seperti kyohaku shinkensho atau memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu untunya, fuan shinkensho ( rasa cemas yang berlebihan), kyufusho (ketakutan) dan juga hysteria. Salah satu gejala penyakit ini adalah kateinai boryouku itu 22 Universitas Sumatera Utara
sendiri yang di lakukannya sebagai salah satu cara yang di lakukannya untuk melepaskan diri dari penderitaannya. Isi dari kekerasan bentuk ini beragam, terjadi hampir setiap hari dan berlangsung dalam waktu yang relative panjang. Misalnya pelaku selalu menyerang ibu dengan kata-kata kasar, menedang dan memukul, memaksa ibu untuk berkali kali minta maaf karena cara mengasuh anak dan sikap yang tidak baik, lekas meledak emosinya apabila ibu melakukan kesalahan sekicil apapun terhadapnya.dan sebagainya. b.
Seishinbyo gata (tipe penyakit mental) Meningkatnya impuls-impuls sangat berhubungan dengan ketidak stabilan
emosi yang di sebabkan oleh penyakit mental. Yang di maksud dengan penyakit mental di sini adalah adalah mengarah kepada skizofrenia yang artinya penyakit kejiwaan yang di tandai ketidak acuhan, halusinasi, merasa berkuasa untuk menghukum dan sifat dari tipe kekerasan ini sangat hebat, impulsive dan tak terduga. c.
Ippan gata (tipe umum) Sebagian besar pelaku kekerasan ini berada dalam keadaanke jiwaan yang
mendekati gangguan mental. Jadi,buka gangguan mental yang jelas terlihat. Pelaku memberontak dan merasakan dendam dan benci yang besar kepada urang tua sehingga pada saat meledak menjadi tindak kekerasan yang hebat. Kekerasan ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan beragam.pada umumnya kekerasan ini relative lebih ringan bila di bandingkan dengan tipe yang di sebutkan sebelumnya. 23 Universitas Sumatera Utara
d.
Ikkasei gata (tipe memendam) Penderita ini memendam rasa ingin menyerang dan rasa ingin balas
dendam hingga pada suatu saat perasaan dendam ini dikeluarkan. Akhir-akhir ini banyak anak-anak yang memiliki control diri yang lemah. Apabila mereka berhadapan dengan suatu konflikatau suatu kenyataan yang tidak sesuai dengan yang di harapkan, mereka segera melampiaskan amarahnya kepada orang lain walaupun penyebabnya adalah masalah sepele.
2.3
Karakteristik Kateinai Boryouku
2.3.1
Ibu Sebagai Objek Kateinai Boryouku Orang tua yang menjadi korban kekerasan anak merupakan bukti
bahwa kekerasa anak terhadap orang tua itu ada. Seperti telah di sebutkan sebelumnya, kateinai boryouku yang terjadi di jepang memiliki dua kesamaan yaitu objek kekerasannya adalah anggota keluarga dan pelakunya adalah “anak biasa” berusia remaja yang masi bersekolah yang berasal dari “keluarga biasa”, yang mementingkan pendidikan dan secara ekonomi mampu. Berdasarkan data terahir pada tahun 2005 keseluruhan kasus berjumlah 1275 kasus yang dilaporkan, diantaranya 773 kasus kekerasan terhadap ibu dan 111 kekerasan terhadap ayah dan yang menjadi sorotan utama adalah kasus kekerasan terhadap ibu yang selalu jauh lebih besar daripada kekerasan terhadap ayah. Menurut Futagami, alasan anak melakukan kekerasan terhadap ibu dapat di bagi menjadi tiga hal. Pertama, secara biologis ibu lebih banyak
24 Universitas Sumatera Utara
menghabiskan waktu bersama anak-anak di bandingkan dengan ayah, karena ibu yang membesarkan dan merawat anak sejak lahir dan ayah lebih banyak bekerja di luar. Kedua adanya rasa bergantung anak terhadap ibu. Hal ini berhubungan dengan kondisi minimnya ayah di rumah. Ayah selalu bekerja hingga larut malam atau bekerja keluar kota, sehingga frekuensi untuk bertemu anak sangat sedikit. Dengan kondisi rendahnya frekuensi pertemuan dengan ayah, secara otomatis anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan ibu. Dan ketiga, salah satu alasan kuat seorang anak melakukan kekerasan terhadap ibu, yaitu ketidakberdayaan ibu dan kasih sayng ibu yang berlebihan. Hal ini diperkuat oleh hasil data kuesioner yang di lakukan terhadap anak SD,SMP dan SMU mengenai ibu yang meributkan masalah belajar dan nilai di sekolah dan ibu yang memahami mereka. Berdasarkan pertanyaan yang di ajukan kepada anak-anak mengenai ibu yang meributkan masalah belajar dan nilai, jawaban yang di dapatkan yaitu pada anak SD yang menjawab “iya” hanya sebesar 39,8 persen, sedangkan yang menjawab “tidak” 55,8 persen. Lain halnya pada anak SMP dan SMU, yang menjawab “iya” yaitu sebesar 53 dan 49,8 persen, sedangkan yang menjawab “tidak” hanya 42,8 dan 46<8 persen (soumuchou 1993). Pada anak SMP dan SMU, mereka menyadari ibu mereka meributkan masalah belajar dan nilai sekolah lebih besar daripada yang tidak, karena berhubungan dengan adanya pesaing ketat dalam ujian masuk sekolah menengah maupun perguruan tinggi, yang menuntut ibu untuk memperhatikan pelajaran dan nilai anak di sekolah karena sang ibu mengharapkan anaknya dapat lulus masuk sekolah menengah taupun perguruan tinggi yang bagus. 25 Universitas Sumatera Utara
2.3.2
“Anak Biasa” sebagai Pelaku Kateinai boryouku Seperti yang telah di jelaskan di atas mayoritas objek kateinai
boryouku adalah orang tua, terutama ibu. Dan anak-anak yang melakukan kekersan terhadap orang tua adala mereka yang di kenal sebagai murid baik ataupun di kenal sebagai “anak biasa” di sekolah dan sangat perhatian terhadap yang lain. Maksud dari “anak biasa” adalah anak yang baik, pandai, pendiam, dan tak pernah berulah tidak baik di sekolah maupun di depan public. Menurut Japanese journal of sociological criminology terdapat dua image “anak biasa”, seperti di kutip berikut: 1.
Biasanya, anak yang pendiam, anak yang rajin, dan anak yang tidak bermasalah dengan nilai.
2.
Setidaknya, kebutuhan hidup dan pendidikan anak dalam keluarga terpenuhi Selain anak yang pendiam, rajin dan tak berulah, image “anak biasa”
juga termasuk dalam keluarga menengah ke atas. Menurut Saitou Tamaki, “anak biasa” yang melakukan kateinai boryouku diikuti pula dengan kondisi keluraga yang tidak memiliki figure ayahdan kasih saying ibu yang berlebihan. Memang cukup mengagetkan, anak yang sehari-hari mendapat julukan “biasa” tiba-tiba melakukan hal yang tak terduga. Dalam masyarakat Jepang, pada jenjang usia 15-16 di perkirakan sebagai masa kritis karena tiga alasan. Pertama kedewasaan adalah masa yang penuh dengan tekanan untuk lulus tes masuk, dan merupakan masa bagi generasi muda mengalami ketidakstabilan emosional. Kedua, kenyataan bahwa hamper 90 persen masyarakat jepang meneruskan pendidikan hingga ke tingkat SMU dan
26 Universitas Sumatera Utara
perguruan tinggi membuat generasi muda semakin cemas. Ujian masuk sekolah menengah dan perguruan tinggi merupakan hal yang sangat diperhatiakn dalam pendidikan jepang, karena keberhasilan dalam ujian masuk adalah tahap yang sangat penting agar dapat masuk ke dalam kelompok elit masyarakat jepang, dan dianggap memiliki kemampuan. Hal ini sesuai dengan yang di katakana kiefer dan di kutip oleh lebra, mengen ai system ujian masuk masyarakat jepang berikut ini: Kiefer saw the Japanese examination system as a series of crisis rites through which the child passes from
family-centered
to
peer-group-centered
values rather than as a mechanism for minimazing competition within group. kiefer menilai bahwa system ujian masuk di jepang cenderung sebagai kegiatan penting yang dengan melalui ujian tersebut, seorang anak beralih dari nilai-nilai yang berpusat pada keluarga dari pada sebagai suatu mekanisme untuk mempersempit persaingan dalam sebuah kelompok. Jadi menurut kiefer, ujian masuk sekolah menengah dan perguruan tinggi dipandang sebagai tahap untuk memasuki kelompok baru setelah keluarga, bukan dinilai sebagai ajang untuk saling menjatuhkan para pesaing lain. Dan yang ketiga, anak usia 15-16 tahun memiliki kekuatan yang cukup untuk melakukan kekerasan secara langsung pada orang tu, terutama terhadap ibu, karena secara biologis, ibu yang melahirkan, merawat, dan membesarkan anak; ibu lebih banyak menghabiskan waktu bersamak anak dibanding ayah, ketika ayah bekerja di luar, ibu selalu ada di rumah bersama anak. Dengan kata lain ibu sebagai orang
27 Universitas Sumatera Utara
terdekat bagi anak, sehingga memudahkan anak untuk melampiaskan rasa kesal pada orang terdekat, yaitu ibu. Disamping itu, anak-anak yang melakukan kekerasan terhadap orang tua dapat juga dilihat dari faktor kejiwaan seperti yang telah di diskripsikan di atas.
2.3.2
Kateinai Boryouku yang Terjadi dalam “keluarga biasa”( futsu no katei ) “Anak biasa” yang melakukan kekerasan terhadap orang tua, di
besarkan dalam lingkungan “keluarga biasa”. Maksud dari “keluarga biasa” (futsu no katei) disini adalah keluarga berlatar belakang ekonomi menengah ke atas, mementingkan pendidikan dan tidak terjadi masalah di dalamnya, sebagaimana diungkap oleh futagami berikut. Yang di sebut “ keluarga biasa” adalah kedua orang tua yang berhubungan baik (dengan anak), orang tua yang memperhatikan pendidikan anak dan secara ekonomi mampu. “keluarga biasa” yang berlatar belakanng ekonomi mampu (menengah ke atas) dan memperhatikan anak, didalmnya terjadi kateinai boryouku. Pada tahun 1977, terjadi kateinai boryouku dalam “keluarga biasa” sebesar 61,4 persen. Jumlah ini meningkat pada tahun 1988 dan 1995, yaitu 72,6 persen dan 79,2 persen. Persentase munculnya kateinai boryouku “keluarga biasa” tahun 2001, stabil pada angka 75,5 persen pada tahun sebelumnya 1955, kateinai boryouku
28 Universitas Sumatera Utara
malah terjadi pada keluarga miskin sebesar 72,8 persen, tetapi jumlah ini menurun menjadi 68,2 persen pada tahun 1960.
2.3.4
Kateinai Boryouku yang Terjadi dalam Keluarga Tanpa Ayah atau Ibu kateinai boryouku yang terjadi tanpa ayah ataupun ibu sudah jelas
terjadi di karenakan kurangnya perhatian ataupun kasih sayang orang tua (ayah,ibu) terhadap anak. Yang seharusnya tugas seorang ayah adalah menyatukan keluarga, memberikan saran dan ide, mengajarkan kebudayaan norma-norma dalam masyarakat. Namun, tugas ayah yang seperti ini semakin menghilang. Akibatnya keluarga berantakan, muncul istilah hoteru no kazoku (keluarga hotel), tumbuh orang-orang yang tak punya kesadaran yang dalam akan makna yang baik dan buruk, makin bertambah orang-orang yang tak punya semangat dan egosentris. Tugas seorang ayah takbisa terlaksanakan bila si ayah bukan ayah yang berwibawa atau rippana chichioya. Walaupun ia bersusah payah melaksanakan fungsinya, ia hanya akan di anggap remeh oleh keluarganya. Upaya untuk menciptakan ayah yang terhormat ini di pandang penting, tetapi dalam masyarakat sekarang hal ini bukanlah pekerjaan yang susah sehingga tidak menjadi permasalahan yang perlu di perhatikan sehingga menimbulkan kemungkinan kemungkina terjadinya kateinai boryouku di dalam rumah tangga yang memiliki ayah yang tidak berwibawa ataupun di remehkan, kemudian rumah tangga yang tida memiliki ibu yang sebenarnya. Maksud dari ibu yang sebenarnya
29 Universitas Sumatera Utara
di sini adalah ibu yang melaksanakan tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga yang menjaga dan memperhatikan anak-anak, namun sekarang kebanyakan seorang ibu rumah tangga dalah seorang ibu karir, dimana si ibu lebih banyak ataupun lebih mementingkan pekerjaannya dari pada anak-anaknya, sehingga hal ini menjadi pemicu besar akan terjadinya kateinai boryouku di dalam rumah tangga. Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya pemicu utama kateinai boryouku adalah tidak adanya keharmonisan ataupun ikatan batin (emosional) terhadap sesama anggota keluarga. Dalam posisi ini seorang anak juga tidak akan perduli dengan apa yang terjadi di dalam rumah tangga yang demikian, hal yang sering terjadi pada seorang anak pada posisi keadaan keluarga seperti ini adalah menjadi anak yang tak tau aturan , semena-mena dan tak ada peduli terhadap sesama anggota keluarga(serizawa, op. cit, hal 23). Seperti yang telah di uraikan di atas hubungan dalam keluarga sangat mempengaruhi keadaan keluarga, untuk lebih jelasnya lagi, ada dua faktor utama dan esensial dari kateinai boryouku ini, yaitu faktor fusei ketsujo (kurangnya figure ayah) dan kakansho (campur tangan orang tua, khusunya , ibu yang berlebihan. Tidak hanya itu, ada pula faktor-faktor lain yang berhubungan dengan orang tua-anak. D sini bisa di simpulkan empat tipe utama yang menyangkut hubungan orang tua dan anak yang memungkinkan timbulnya tindakan menyimpang dari seorang anak. 1. Hubungan yang tidak harnonis di antara kedua orang tua 2. Kurangnya figure ayah. Biasanya untuk menutupi hal tersebut, peran ibu membesar dan pada akhirnya ibu menjadi terlalu ikut campur dalam masalah
30 Universitas Sumatera Utara
anak, serta memiliki harapan berlebihan. Hal ini merupakan faktor tipikal mun culnya penyimpangan pada anak. 3. Orang tua yang overreaksi. Yang dimaksud overreaksi adalah orang tua yang telalu campur tangan, menaruh harapan berlebihan tau mencintai secara berlebihan, sehingga justru menyebabkan mereka terlalu ketat dalam peraturan dan control terhadap anak. 4. Orang tua yang apatis dalam pengasuhan anak. Baik ayah maupun ibu tidak peduli terhadap perkembangan anak. Keempat tipe di atas merupakan penyebab dominan dan kerap di temui dalam masalah kekeluargaan di jepang.
2.4
Faktor-faktor Penyebab Munculnya Kekerasan Agar dapat memahami penyebab mengapa seorang anak tega sampai
mampu melakukan kekerasan kepada orang tuanya sendiri, berikut ini merupakan beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut. (1) Harapan berlebihan Fenomena harapan berlebihan kepada anak dapat di karenakan cara mengasuh ayah dan ibu terhadap anaknya. Orang tua manapun juga, khususnya ibu jepang, memiliki harapan
besar
terhadap
anak-anaknya.harapan
ini
memang sudah selayaknya dimiliki oleh setiap orang tua. Akan tetapi yang menjadi masalah disini adalah, apabila harapan itu telah melebihi porsi sewajarnya dan hanya 31 Universitas Sumatera Utara
terkotak pada masalah sistem sekolah dan keberhasilan si anak dalam sistem ujian. Di mana antara para pengamat masalah masyarakat jepang di kenal dengan istilah kyoiku mama atau ibu pendidikan dan shaken jigoku yang bila di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi neraka ujian. Hal ini menggambarkan betapa kerasnya tekanan maupun persaingan di antara anak-anak jepang untuk bisa mendapatkan pendidikan unggul dan terbaik dalam hidupnya. Setiap orang tua menginginkan pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya dan peran orang tua dalam hal pendidikan anak sangat penting . hal ini berdasarkan asumsi yang menyatakan bahwa dengan memberikan pendidikan
yang
baik,
berarti
orang
tua
telah
mempersiapkan kehidupan anak yang lebih baik.hal itu sulit di sangkal. Akan tetapi, di dalam diri si anak akan mengalami stress akibat tekanan yang di lancarkan kepada mereka untuk senantiasa melanjutkan pendidikan ke sekolah unggulan yang sulit untuk dimasuki. Mereka tentu merasa takut apabila tidak bisa memenuhi harapan orang tuanya. Mereka takut gagal. Ketakutan dan kecemasan yang mereka rasakan hamper tidak bisa di pahami oleh orang dewasa, dalam hal ini orang tua mereka sendiri.
32 Universitas Sumatera Utara
Dari sinilah biasanya muncul anak-anak yang bermasalah dengan sekolah, mereka takut untuk pergi ke sekolah yang di kenal dengan sebutan toko kyohi. Bisa ditebak kemudian,
dan
dengan
dukungan
oelh
hasil
penelitian,setelah toko kyohi, biasanya dilanjutkan dengan kateinai boryouku.
(2) Terlalu ikut campur, perlindungan dan kasih sayang berlebihan Perlindungan dan kasih sayang berlebihan di sini bisa di simpulkan bahwa apa yang di anggap oleh orang tua sebagai ungkapan kasih sayang diterima oleh si anak sebagai suatu gangguan karena terlalu berlebihan sifatnya. Mungkin ada baiknya orang tua memberikan sedikit kebebasan kepada anak-anaknya dalam memutuskan suatu masalah. Hal ini penting untuk menumbuhkan sifat mandiri pada anak.
(3) Kekhawatiran Mungkin sedikit sulit dibayangkan bahwa adda orang tua yang tidak yakin dan khawatir dengan kemampuan untuk mengasuh anak. Tetapi hal inilah yang sebagian besar dirasakan oleh para orang tua yang anak-anaknya terlibat masalah kateinai boryouku
33 Universitas Sumatera Utara
(4) Karakteristik ayah yang menonjol Masalah sikap asuh ayah adalah keapatisan, seorang ayah seolah-olah
menghindar
dan
melepas
begitu
saja
tanggung jawab dalam masalah pengasuhan anak. Mereka cenderung bersikap masa bodoh dan tidak mau tau. Bisa di katakan bahwa ikatan batin antara anak dengan ayah tidak kuat. Parahnya sang ayah sangat di sibukkan dengan masalah kantor/pekerjaan, ketika pulang ke rumah mereka hanya ingin istirahat dan tidak ingin di ganggu dengan masalah anak-anak. Mereka menyerahkan sepenuhnya tugas mengasuh kepada istri. Pendapat Keigo Okonogi mengenai chichioya fuzai atau fenomena noneksistensi ayah senada dengan hal ini. Ia mengatakan bahwa kini dalam keluarga-keluarga jepang, suami dan ayah telah hilang kedudukannya sebagai kepada keluarga. Mereka kehilangan kedudukan dan perannya dalam keluarga. Kebanyakan ayah telah menjadi manusia kantoran yang super sibuk dan tak ada waktu luang untuk keluarga. Walaupun secara fisik mereka ada, tetapi secara psikologis mereka tidak dirasakannya keberadaannya. . Menurut hasil penelitian kantor keperdanamentrian, muncul data yang mengungkapkan enam poin latar belakang munculnya kekerasan. Hasil penelitian 34 Universitas Sumatera Utara
ini kurang lebih senada dengan sikap mengasuh ayah dan ibu yang sudah di bahas sebelumnya, menurut psikolog S. Supardi, secara teoritis terdapat tiga jenis pola asuh, yang pertama dominan otoriter, sikap orang tua dalam hal ini tidak bisa di bantah, anak harus patuh dan menurut penuh terhadap orang tua.
2.4.1
Kondisi Kejiwaan Anak Berdasarkan pengamatan inamura, di dalam diri anak-anak yang
melakukan kateinai boryoukuI terdapat beberapa konflik mental. Konflik-konflik tersebut dapat di simpulkan sebagai berikut: (1) Perasaan hancur dan kesadaran diri sebagai korban Pelaku merasa canggung dan serba salah. Mereka juga di penuhi oleh perasaan hancur, rasa cemas dan aseri atau rasa diburu-buru sehingga mereka tidak tahu apa yang sebaiknya di lakukan. Selain itu mereka berfikir bahwa “saya yang sekarang adalah korban” saya berada dalam kondisi yang menyedihkan dan sangat sengasara” mereka berfikir bahwa penyebab semua penderitaan ini adalah orang tua yang salah mengasuh.
(2) Rasa benci terhadap orang tua Seperi yang telah di jelaskan di atas,pelaku sangat putus asamemandang diri sendiri, mereka berfikir bahwa semua ini adalah kesalahan orang tua. Mereka berkeyakinan
35 Universitas Sumatera Utara
dengan
sedikit
berhalusinasi
bahwa
sumber
dari
malapetaka ini adalah orang tua sehingga mereka merasa wajar bila mereka benci kepada orang tua
(3) Pembenaran akan kekerasan Para pelaku menganggap tindak kekerasan yang mereka lakukan adalah benar, oleh karena hal ini di dukung oleh peratusan secara psikologis yang menyatakan bahwa rasa benci kepada orang tua dan kesadaran diri sebagai korban sperti uraian di atas.
(4) Tiadanya rasa takut akan dosa Pelaku tidak memiliki rasa takut akan dosa sehingga pada tahap mengkhawatirkan terhadap apa yang ia lakukan. Indikasi seperti ini menunjukkan bahwa esensi dari kateinai boryouku terletak pada usaha si anak untuk mengikatkan diri pada inosens pribadi yang sampai pada tahap berorienasi hanya kepada satu prinsipdan tidak mau mengubahnya sedikit pun. Dari sudut psikologis si anak, kebanyakan mereka merasakan frustasi dan kekecewaan dalam dirinya. Rasa frustasi
yang
di
alami
ini
penyebab
beragam
kasus,misalnya pada kasus toko kyohi,bila hal ini berlajut, cukup lama, pelaku akan meresakan kecemasan dan aseri
36 Universitas Sumatera Utara
atau rasa diburu-buru. Atau mungkin juga, mereka tetap pergi kesekolah, tetapi mereka tidak merasa puas dengan prestasi di sekolah, tidak percayadengan kemampuannya bisa mengikuti ujian. Ataupun, di sekolah mereka merasa dikucilkan oleh teman-temannya, menerima perlakuan ijime, dan sebagainya. Mereka menghadapi masalahmasalah seperti itu yang menyebabkan frustasi cukup dalam.pada
akhirnya,oleh
karena
keccemasan
dan
keputus asa-an, di dalam diri mereka meningkat sifat ofensif. Sementara itu pada orang tua yang melihatkondisi anaknya seperti itu, merasa sangat khawatir dan berusaha keras untuk turun tangan dalam penyelesaian masalah toko kyohi ini. Mereka berusaha berbagai cara supaya si anak bisa terbebas dari masalah yang di hadapi. Cara-cara tersebut misalnya dengan mengundang guru walikelas ke rumah untuk berdiskusi, atau memanggilteman-temanya kerumah. Dengan kata lain, orang tua melakukan berbagai langkah yang di anggap memaksa si anak kembali ke sekolah. Akan tetapi lantas si anak bukannya meras tertolong dengan tindakan orang tua, melainkan merasa kesal kerena campur tangan orang tua dan akibatnya frustasi yang di alami semakin menjadi. Rasa frustasi tersebut muncul Karen mereka merasa terbebani
37 Universitas Sumatera Utara
dengan harapan orang tua mereka. Mereka merasa gagal untuk memenuhi harapan tersebut. Akibanya, mereka merasa tidak tenang secara mental hingga pada suatu saat, kondisi mental yang tidak tenang tersebut meledak menjadi sebuah tindak kekerasan. Sebenarnya menurut inamura, langkah yang sebaiknya di ambil orang tua adalah tidak terlalu memaksakan anaknya untuk kembali kesekolah. Tindakan yang tergesa-gesa dan tanpa perhitungan akan semakin menambahburuk keadaan saja. Sebaiknya mereka membiarkan anak untuk sementara waktu, biarkan si aank istirahat secara mental, karena mereka sangat membutuhkannya. Jadi, dapat di simpulkan disini, dalam diri si anak itu awalnya mun cul rasa frustasi.hal ini kemudian didukung dengan sifat mereka yang oversensitive, senantiasa berkecil hati dan tidak percaya diri. Maka, walaupun sebenarnya masalahnya tidak besar, mereka memikirkan hal itu sebagai suatu hal yang besar dan penting sekali. Mereka menjadicemas yang berlebihan karenanya. Sementara itu orang tua tidak memahami hal tersebut, malah mereka memperburuk keadaan dengan usaha intervensi untuk menyelesaikan masalah yang di hadapi si anak. Pada umumnya esensi struktur masalah kateinai boryouku muncul dari latar belakng kondisi seperti ini.
38 Universitas Sumatera Utara
Sementara itu, ada faktor yang lain di samping kondisi kejiwaan anak. Faktor tersebut adalah figure dan kedudukan orang tua dalam keluarga.
2.4.2
Figur dan Kedudukan Orang Tua dalam Keluarga Sebagai mana telah di jelaskan pada bab I bahwasanya setiap anggota
keluarga memiliki fungsi-fungsi tertentu, dalam hal ini fungsi orang tua sangat di perhatikan dalam pengembangan dan pembentukan sifat seorang anak dalam rumah tangga. Banyak yang memandang bahwasanya asuhan orang tua terfokus kepada seorang ibu saja, sebagai mana yang telah kita ketahui di bab I seorang ayah juga sangat penting dalam pembentukan sifat seorang anak dalam sebuah rumah tangga. Berikut merupakan sebuah pendapat dari Inamura sehubungan dengan figure ayah terhadap permasalahan kateinai boryouku.
Dari sudut lingkungan rumah tangga yang memicumunculnya kateinai boryouku, ada satu lagi faktor penyebab yang besar. Faktor itu adalah,keberadaan ayah yang memudar di dalam rumah tangga. Dalam psikologis sejak dahulu,ayah dianggap sebagai symbol dari otoritas dan kekuatan. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah bahwa hal tersebut tidak terdapat lagi di dalam rumah tangga. Ayah yang seperti ini, tidak bisa memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua terhadap anaknya, kebanyakan merekahanya tenang dan baik hati tetapi tidak punya spirit, atau ada juga kasus seperti mereka jarang berada di rumah karena pergi berdinas ke tempat lain dalam waktu yang lama. Dengan kata lain, baik psikis maupun psikologis, ayah tidak punya existensi. 39 Universitas Sumatera Utara
Di dalam sebuah rumah tangga, perceraian dan kematian juga bisa menimbulkan fusei ketsujo atau kurangnya figure ayah. Dalam rumah tangga yang ada hanya ada ibu dan anak, atau juga sebaliknya ketika ibu meninggal yang ada hanya ayah dan anak. Kebanyakan kasus yang telah di jelaskan bahwasanya didalam kelurga jepang sang ayah biasanya mendapat kasus tidak adanya existensi di dalam rumah dan biasanya bersifat apatis dalam pengasuhan anak. Begitu juga kasus yang di hadapi seorang ibu adalah biasanya seorang ibu kebanyakan terlalu memanjakan taupun memaksakan kehendak terhadap seorang anak, yang memungkinkan membuat seorang anak merasa stress atau frustasi di mana telah di jelaskan bahwasanya rasa stress dan frustasi dapat memicu terjadinya kateinai boryouku. Ketika seorang ayah ataupun ibu tidak lagi memiliki vigur ataupun kedudukan dalam rumah tangga, sudah dapat di pastikan keadaan rumah tangga itu tidak lagi memiliki hubungan batin yang kuat antara sesama anggota keluarga dan ketika sebuah keluarga tidak memiliki itu, keluarga tersebut rentan akan permasalahan kateinai boryouku.
2.4.3
Pengaruh Norma Agama dan Masyarakat Norma agama dan masyarakat tidak terlepas pengaruhnya dalam
permasalahan kateinai boryouku ini. Sebagai contohnya dalam pengaruh norma agama adalah, di dalam masyarakat korea dan Taiwan yang pengaruh ajaran konfusianismenya yang masih sangat kental, masalah kateinai boryouku dan sejenisnya hamper tidak di temukan, salah satu ajaran yang masi ada sampai sekarang adalah penghormatan terhadap orang yang lebih tua dan kewajiban
40 Universitas Sumatera Utara
seorang anak untuk berbakti kepada orang tua.yang dapat kita simpulkan bahwasanya ajaran tersebut dapat menjadi kekuatan untuk menghentikan dan pengontrol dalam usaha menghindarai segala macam bentuk penganiayaan anak terhadap orang tua. Salah satu contoh yang bisa kita ambil dari jepang sendrir adalah, di daerah Okinawa dimana di daerah ini ajaran konfusianismenya juga kuat dan hidup sampai sekarang, dan kasus kateinai boryouku nyaris tidak di jumpai. Oleh karena itu, dapat di simpulkan bahwa masyarakat yang masi menganut ajaran ataupun norma yang kuat sangat jarang menghadapi permasalahan kateinai boryouku ini. Namun selain di daerah Okinawa Negara jepang telah banyak yang tidak mengikuti ajaran-ajaran agama sehingga sangat memungkinkan terjadinya kateinai boryouku, seorang psikologis Inamura mengemukakan bahwa norma yang bertindak sebagai pengontrol telah pudar di dalam masyarakat jepang. Ia mengkritik kondisi keluarga jepang dewasa ini yang sepertinya tidak ketat dalam pengawasan dan pendidikan moral anak. Teori empirisme yang di pelopori oleh john lock (1632-1704) menyatakan bahwa seorang individu semenjak lahir bahkan semenjak dalam kandungan, telah berinteraksi dengan orang lain. Dan melalui interaksi ini seorang bayi belajar, dan dengan bersamaan dengan proses tersebut,pada bayi timbul pengetahuan bahwa orang-orang di sekitar menginginkannya bertingkah dan berprilaku tertentu dalam keadaan-keadaan tertentu. Teori ini tidak percaya akan adanya sifat pembawaan pada manusia. Seluruh perkembangan hidupnya sejak lahir sampai dewasa semata-mata ditentukan oleh faktor dari luar, yaitu faktor lingkungan hidup dan pendidikan.
41 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan curse of study (kurikulum pendidikan) yang di keluarkan oleh departemen pendidikan jepang di dalam kurikulum SD dan SMP terdapatpendidikan moral sebagai salah satu bidang studi. Tujuan dari pendidikan moral ini adalah:
-
Menghormati martabat manusia dalam kehidupan
-
Menciptakan
kebuyaaan
membangun
kaya
dan
dan
masyarakat
yang
jepang
yang
Negara
yang
demokratis. -
Melatih
manusia
memberikan
konstribusi
kepada
mampu
masyarakat
internasional yang damai -
Menumbuhkan
moralitas
sebagai
pondasi
pemikiran hal-hal baru. Di samping waktu khusus yang di berikan dalam pengajaran pendidikan moral di kelas, standar moral anak juga diharapkan dapat tumbuh dan berkembang melalui seluruh kegiatan di sekolah. Di beberapa sekolah swasta, pendidikan moral ini biasa di gantikan dengan pendidikan Agama.
2.5
Sejarah Kateinai Boryouku Kataeinai boryouku merupakan fenomena yang muncul pada awal
tahun 1980-an. Pada tahun 1980, ada sebuah peristiwa pembunuhan yang sangat mengejutkan public jepang dengan menggunakan pemukul bisbol. Kasus ini mencuat kepermukaan karena menjadi bahan berita utama di media massa pada 42 Universitas Sumatera Utara
saat itu. Yang menjadi tersangka adalah seorang ayah yang berlatar belakang pendidikan tinggi, sementara yang menjadi korban adalah anak laki-lakinya. Berdasarkan penyelidikan, latar belakang pembunuhan itu adalah si anak yang telah lama melakukan kateinai boryouku kepada ayah-ibu. Pada beberapa tahun sebelumnya ada juga kasus pembunuhan yang dilakukan seorang anak SMU pada tahun 1977 dan kasus bunuh diri seorang pelajar SMU setelah dia membunuh neneknya (1980) (shibundo.1981). Kasus kateinai boryouku kebanyakan disertai dengan masalah took kyohi. Oleh karena itu, pada awalnya banyak psikiater yang menangani masalah ini hanya sebagai kasus took kyohi. Dengan kata lain, penanganannyalebih difokuskan ke masalah took kyohi. Bukan ke masalah kekerasan itu sendiri. Pada awal tahun muncul fenomena ini, pada banyak kasus kateinai boryouku dianggap sebagai penyakit jiwa yang di sebut skizofernia. Di bawah ini ada kutipan yang menarik untuk disimak sehubungan dengan hal ini. Hal yang tak bisa dilupakan mengenai kateinai boryouku pada masa awalnya adalah pada beberapa kasusu kateinai boryouku disalahartikan sebagai skizofernia. Bila di lihat dari pandangan umum saat itu, kekerasan anak terhadap orang tua, dalam hal ini melakukakn kekerasa yang mengerikan adalah hal yang sulit di pikirkan secara lazim (Tokyo. Shonyosha.1985). Dari kutipan di atas, bila dikatakan bahwa masyarakat mulanya menganggap kateinai boryouku sebagai suatu hal yang tidak pantas dilakukan oleh seorang anak. Tindakan tersebut sulit di terima akal sehat. Apabila ada anak 43 Universitas Sumatera Utara
yang melakukan itu maka dapat di pastikan bahwa anak itu mengindap kelainan mental. Selanjutnya Inamura menuliskan hal sebagai berikut: Akan tetapi bukankah suatu hal yang aneh jika sebuak tindak kekerasan yang dilakukan seorang anak dianggap sebagai penyakit jiwa, karena bagaimanapun dilihat dari penampilan luar, tidak tampak adanya masalah di pihak orang tua yang mengundang timbulnya kekerasan seperti itu. Terlebih lagi, di dalam diri pelaku tiada rasa berdosa, menginci diri dalam kamar dan menjalani kehidupan tanpa banyak kegiatan, membalikkan siang dengan malam, ekspresinya dan lain-lain amat menyerupai penyakit puberitas. Hal yang seperti ini di pandang sebagai skizofernia. Oleh karenanya anak itu dimasukkan kerumah sakit secara paksa, dan diberikan obat-obatan mentalnya dalam dosis tinggi.
Pada mulanya , kateinai boryouku dianggap sebagai penyakit jiwa yang diderita oleh pelaku. Cara penyembuhannya pun difokuskan kepada si pelaku saja, sehingga mengabaikan orang tua dalam terjadinya kasus ini. Secara logis, memang tindak kekerasan yang di lakukan seorang anak remaja terlihat sebagai suatu hal yang janggal. Apalagi, objek kekerasan itu adalah orang tuanya sendiri. Anggapan ini diperkuat lagi dengan tingkah laku si anak yang seoalah
44 Universitas Sumatera Utara
tidak menyesal dengan perbuatannya. Bahkan tingkah lakunya bertentangan dengan perilaku seorang normal. Mereka menjadikan malam seperti siang dan sebaliknya, mereka cenderung menutup diri dan bersikap apatis. Akan tetapi. Lama kelamaan banyak muncul kasus yang berlawanan dengan anggapan tersebut dan keadaan yang sebenarnya menjadi jelas. Berdasarkan penelitian terhadap kaus-kasus, sedikit demi seddikit pemahaman mengenai fenomena ini dan cara penanganan yang tepat dapat ditemukan. Terutama dengan semakin meningkatnya kasus kateinai boryouku ini, menyebabkan perhatian terhadap masalah ini semakin meningkat, tidak hanya dari para dokter, tetapi juga dari masyarakat umum. Dengan di latar belakangi masalh ini, muncul pula kasus pembunuhan orang tua oleh anaknya, ataupun sebaliknya sehingga menjadi berita sensasional di media massa. Fakta mencengangkan seperti ini amat mengejutkan masyarkat dan menyadarkan mereka bahwa masalah kateinai boryouku bukanlah suatu hal yang sederhana namun perlu penanganan serius dari berbagai pihak. Semenjak saat itu kekerasan “kateinai boryouku” dan istilah ini menjadi popular sampai saat ini. Penetapan konsep dan cara penanggulangan terhadap masalh ini berkembang pesat saat itu. Kateinai boryouku bisa di katakan sebagai fenomena yang muncul dan popular dua dasawarsa terahir. Berdasarkan berbagai referensi dan kenyataan yang ditemukan di Negara-negara eropa-amerika ini tidak dijumpai dalam masyarakatnya. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa fenomena ini adalah masalah yang khas dan cukup menonjol dalam masyarakat jepang.
45 Universitas Sumatera Utara
Selain faktor kondisi rumah tangga, terdapat faktor lain yang cukup penting dalam masalah kateinai boryouku. Faktor tersebut adalah norma masyarakat. Misalanya di Negara Indonesia yang sangat menghargai aturan dan norma saling menghargai sesama terutama menghargai orang yang lebih tua dan kewajiban seorang anak adalah berbakti kepadda orang tua. Maka bisa di simpulkan norma dalam masyarakat dapat menjadi tenaga pengontrol dan pengehenti sehingga munculnya gejala dan fenomena ini dapat di tekan, penangan dan usaha mengatsi kateinai boryouku akan di jelaskan pada BAB III.
2.6
Hal yang Melindungi Kateinai boryouku Peraturan yang melindungi kateinai boryouku di sesuaikan kepada
setiap kasus yang terjadi, di jepang saat ini pemerintah telah menyediakan system pengaduan kekerasan yang terjadi di dalam rumah dan bahkan hampir semua kasus kekerasan dapat di adukan ketempat pengaduan ini, tepat pengaduan ini berupa kantor yang tersebar di seluruh wilayah jepang, bahkan wilayah plosok sekalipun. Kantor pengaduan tersebut bekerja sama dengan pihak kepolisian jepang (khususnya pihak kepolisian di masing-masing wilayah) untuk mendeteksi sebanyak mungkin kasus kekerasan yang terjadi. Dua institusi tersebut melakukan rapat network tahunan untuk evaluasi. Menurut hasil surfing yang banyak di lakukan di berbagai situs menyebutkan, bahkan petugas dari kantor tersebut datang dan melakukan pengamatan secara langsung kerumah atau daerah yang di curigai terjadi kasus kekerasan di dalam rumah tangga. Bukan hanya penanganan, tetapi petugas juga melakukan konseling dan pemulihan terhadap korban
46 Universitas Sumatera Utara
kekerasan tersebut dan dari hasil konseling inilah bisa di ketahui motif-motif kekerasan yang terjadi dan penyebab-penyebab terjadinya kekerasan ini. Seperti yang kita ketahui jika pelaku adalah seorang anak ataupun anggota keluarga lain yang melakukan kekerasan yang di akibatkan kejiwaan, maka pelaku kekerasan ini akan dibawa dan dirawat di rumah sakit. Dan pelaku yang mengidap penyakit kejiwaan ini akan mendapatkan perawatan yang sepantasnya di dapatkan. Jepang juga memberlakukan peraturan yang mengatakan jika anak yang di bawah umur melakukan kekerasa tersebut, anak tersebut tidaklah mendapatkan hukuman seperti orang dewasa yang biasanya mendapatkan hukuman penjara sesuai kekerasan yang dilakukakan. Selain penanganan secara fisik maupun kejiwaan yang dilakukan terhadap korban ataupun pelaku, biasanya untuk sementara waktu sesuai ketentuan yang berlaku dan permintaan korban, pelaku dan korban di pisahkan untuk jangka waktu sesuai hukum dan undang-undang yang berlaku di jepang.
47 Universitas Sumatera Utara