27
BAB II KAJIAN TERHADAP KEABSAHAN PERJANJIAN JUAL BELI BAHAN BAKAR MINYAK ANTARA PT. PRAYASA INDOMITRA SARANA DENGAN PT. BUMA NIAGA PERKASA
A. Kecakapan Bertindak dan Kewenangan Hukum Subyek Perjanjian. Sebagai badan usaha yang didirikan melalui Akta Pendirian Perseroan Terbatas nomor 23 yang diperbuat di hadapan Notaris Nani Fitriya, Sarjana Hukum, Magister Kenotariatan, di Batam dan telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia melalui Surat Keputusan nomor AHU0004247.AH.01.09 TH 2011 tertanggal 18 Agustus 2011, maka dengan demikian PT. Prayasa
Indomitra
Sarana secara sempurna dapat digolongkan sebagai Badan
Hukum, yakni sebagai pembawa atau penyandang hak dan kewajiban dalam hubungan-hubungan Badan
hukum.55 Hal
ini
sejalan
dengan
doktrin
mengenai
Hukum yang mensyaratkan beberapa unsur untuk suatu badan usaha dapat
digolongkan sebagai Badan Hukum, dan PT Prayasa Indomitra Sarana memang didirikan dengan memenuhi unsur-unsur tersebut yang antara lain : adanya harta kekayaan yang terpisah; mempunyai tujuan tertentu; mempunyai kepentingan sendiri; dan adanya organisasi yang teratur.56 Pada dasarnya ketika PT Prayasa Indomitra Sarana didirikan sebagai badan usaha, pada saat yang sama telah terpenuhi dengan serta merta syarat mengenai 55
Jimly Asshiddiqie, Badan Hukum, (http://www.jimly.com/pemikiran.view/14, 6 Juni 2012). R. Ali Rido, Hukum Dagang : Tentang Aspek-Aspek Hukum Dalam Asuransi Udara dan Perkembangan Perseroan Terbatas, (Bandung : Penerbit Remadja Karya, 1984), hlm. 231. 56
27
Universitas Sumatera Utara
28
kecakapan hukum sebagai subyek perjanjian. Konklusi ini didasarkan pada dua hal, yang pertama adalah karena Badan Hukum dalam melakukan tindakannya memerlukan perantaraan natuurlijke persoon yang bertindak untuk dan atas pertanggungan-gugat badan hukum tersebut.57 Hal yang kedua adalah, sebagaimana yang dinyatakan di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang Undang nomor 40 Tahun 2007 bahwa Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris, maka pada prinsipnya Perseroan Terbatas dapat dinyatakan sebagai suatu bentuk kesepakatan yang mengikat antara dua subyek hukum yang pada umumnya adalah dari golongan natuurlijkpersoon. Ketentuan dalam pasal tersebut menegaskan prinsip yang berlaku di dalam Perseroan Terbatas bahwa pada dasarnya Perseroan Terbatas adalah sebagai badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, oleh karenanya memiliki lebih dari satu orang pemegang saham.58 Keberadaan Perseroan Terbatas yang lahir dari sebuah perjanjian dan bertindak melalui perantaraan para natuurlijkepersoon pada kelanjutannya dapat dikorelasikan dengan kuat terhadap syarat kecakapan hukum sebagai subyek perjanjian, dalam arti jika Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata mensyaratkan kecakapan hukum bagi subyek hukum natuurlijkepersoon untuk membuat perjanjian, maka dengan demikian syarat ini secara tidak langsung juga
57
_________, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, (Bandung : Penerbit PT. Alumni Bandung, 2004), hlm. 15 58 Gunawan Widjaja, Hak Individu dan Kolektif Para Pemegang Saham., (Jakarta : Penerbit Forum Sahabat, 2008), hlm. 101.
Universitas Sumatera Utara
29
harus dipenuhi oleh subyek hukum rechtspersoon tersebut di atas melalui para pihak yang mendirikannya ataupun yang mewakilinya, yang dengan demikian dapat juga dinyatakan bahwa syarat kecakapan hukum bagi subyek perjanjian secara umum adalah serupa, yakni sebagaimana yang diisyaratkan oleh Pasal 1329 dan Pasal 1330 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Berbeda dengan kecakapan bertindak, tentang kewenangan hukum di dalamnya terdapat hal yang bersifat khusus yang berlaku terhadap subyek hukum yang bergantung kepada obyek perjanjian. Obyek perjanjian akan menentukan kapasitas dari subyek hukum untuk dapat secara sempurna membuat suatu perjanjian. Jika kecakapan hukum berkaitan dengan kedewasaan dari subyek hukum yang melakukan perbuatan hukum, masalah kewenangan hukum terkait erat dengan kapasitas subyek hukum tersebut yang bertindak dalam hukum.59 Ketidakwenangan hukum lebih merujuk kepada ketidakmampuan khusus (bijzondere ongeschiktheid),60 yakni suatu keadaan dimana undang undang menentukan, bahwa subyek hukum tertentu tidak wenang untuk melakukan tindakan hukum tertentu, meskipun pada azasnya mereka adalah subyek hukum yang cakap bertindak, tetapi untuk hal-hal khusus tertentu mereka dinyatakan tidak wenang.61 Paparan tersebut di atas lebih lanjut dapat diperjelas dengan tegas bahwa tidak cakap adalah mereka yang pada umumnya tidak boleh menutup perjanjian, dan 59
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta : Penerbit PT. Rajagrafindo Persada, 2003), hlm. 127. 60 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia : Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, (Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti), hlm. 113. 61 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 287
Universitas Sumatera Utara
30
sebaliknya tidak wenang dapat dipahami sebagai, mereka yang oleh undang-undang dilarang menutup perjanjian-perjanjian tertentu.62 Sehingga dengan demikian secara a contrario dapat dinyatakan, ketika PT. Prayasa Indomitra Sarana akan membuat perjanjian jual beli bahan bakar minyak, maka selaku subyek hukum harus mampu untuk menempatkan dirinya pada keadaan yang dapat dinyatakan wenang secara hukum, yakni dengan tunduk kepada ketentuan perundang-undangan tentang perniagaan minyak dan gas bumi dengan memenuhi segala sesuatu yang menjadi persyaratannya. 1.
Syarat Kewenangan Hukum Menurut Regulasi Perniagaan Bahan Bakar Minyak. Pemberlakuan Undang Undang nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi pada dasarnya adalah suatu penggambaran mengenai keadaan yang disebut sebagai bijzondere ongeschiktheid. Sebagaimana dinyatakan di dalam undang undang tersebut bahwa kegiatan usaha pembelian, penjualan, ekspor, dan impor minyak bumi dapat dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik swasta, koperasi, usaha kecil dan badan usaha swasta setelah mendapatkan izin usaha dari pemerintah.63 Selanjutnya di dalam hirarki peraturan berikutnya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi juga menegaskan mengenai suatu pembatasan-pembatasan kewenangan
62
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia : Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Op. Cit. hlm. 112 63 Pasal 23 ayat (1), Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang minyak dan Gas Bumi.
Universitas Sumatera Utara
31
hukum terhadap badan usaha yang mana dinyatakan bahwa Badan usaha yang akan melaksanakan kegiatan usaha niaga minyak dan gas bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, bahan bakar lain dan/atau hasil olahan wajib memiliki ijin usaha niaga dari menteri.64 Demikian pula dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Nomor 7 Tahun 2005 tentang Persyaratan dan Pedoman Pelaksanaan Izin Usaha Dalam Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, secara garis besar menentukan beberapa persyaratan administrasi dan tehnis bagi suatu badan usaha untuk memperoleh kewenangan hukum yang dimaksud. Pada proses berikutnya, ketentuan mengenai prosedur permohonan izin usaha niaga umum berserta persyaratannya tersebut di atas mempertautkan beberapa ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang lain diantaranya peraturanperaturan di bidang lingkungan hidup, perdagangan dan industri, yang kesemuanya tersebut terangkai dalam suatu tahapan prosedur yang harus dilewati ketika suatu badan usaha akan mendapatkan kewenangan hukum dalam bentuk izin niaga umum bahan bakar minyak. 2.
Prosedur Pemberian Izin Usaha Perniagaan Bahan Bakar Minyak Seperti yang menjadi ketentuan Pasal 5 Peraturan Menteri Energi dan Sumber
daya Mineral Nomor 7 Tahun 2005, setiap permohonan izin usaha niaga umum bahan bakar minyak terlebih dahulu harus diperlengkapi dengan syarat-syarat
64
Pasal 43, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.
Universitas Sumatera Utara
32
administratif
yang
salah
satunya
adalah
adanya
persetujuan prinsip dari
Pemerintah Daerah mengenai lokasi untuk pembangunan
fasilitas dan sarana
kegiatan usaha. Berdasarkan hal tersebut secara praktis proses pengurusan izin usaha niaga umum bahan bakar minyak dari awal hingga izin usaha diberikan adalah melalui beberapa tahapan proses sebagai berikut : 65 a.
Persetujuan Prinsip dari Pemerintah Kota Batam. Tahap awal dari proses penerbitan izin usaha ini adalah pengajuan
permohonan persetujuan prinsip pemerintah daerah setempat yang dalam hal ini adalah Pemerintahan Kota Batam. Di dalam pengajuannya dilampirkan beberapa salinan dokumen berikut ini : Akta Pendirian Badan Usaha bersama-sama dengan Surat Keputusan Pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia; SIUP dan TDP; beserta Domisili Badan Usaha dan Nomor Pokok Wajib Pajak. Permohonan tersebut kemudian diajukan kepada Walikota Batam dengan melalui Kepala Dinas Industri dan Perdagangan Kota Batam.66 Terhadap permohonan tersebut kemudian diterbitkan Surat Izin Prinsip Perdagangan Bahan Bakar Minyak, surat izin mana digunakan sebagai dasar untuk pengurusan izin-izin berikutnya.67
65
Hasil wawancara dengan Darmawan, Mantan Kepala Departemen Hukum dan Perijinan PT. Putra Kelana Makmur (Perusahaan induk PT. Prayasa Indomitra Sarana), tanggal 5 – 6 Juni 2012. 66 Hasil wawancara dengan Darmawan, Mantan Kepala Departemen Hukum dan Perijinan PT. Putra Kelana Makmur (Perusahaan induk PT. Prayasa Indomitra Sarana), tanggal 5 – 6 Juni 2012. 67 Hasil wawancara dengan Darmawan, Mantan Kepala Departemen Hukum dan Perijinan PT. Putra Kelana Makmur (Perusahaan induk PT. Prayasa Indomitra Sarana), tanggal 5 – 6 Juni 2012.
Universitas Sumatera Utara
33
b. Tanda Daftar Gudang. Sebagaimana yang telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004, bahwa setiap Badan Usaha pemegang izin usaha niaga umum wajib memiliki
dan/atau
menguasai
fasilitas
dan
sarana penyimpanan bahan bakar
minyak,68 maka dengan demikian berdasarkan ketentuan Undang Undang Nomor 11 Tahun 1965 tentang Pergudangan, Badan Usaha juga mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan fasilitas dan sarana penyimpanan bahan bakar minyak yang dikuasai / dimiliki tersebut kepada Pemerintah Daerah setempat.69 Selain kelengkapan syarat-syarat adminsitratif yang harus dipenuhi seperti yang diatur dalam Pasal 5 juncto Pasal 11 Peraturan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Nomor 07 Tahun 2005, setiap Badan Usaha yang akan permohonan izin usaha niaga umum
wajib
mengajukan
memiliki Tanda Daftar Gudang,
yakni surat izin untuk digunakan sebagai penyimpanan / penimbunan barang di ruang tertutup atau gudang.70 Permohonan pendaftaran gudang disampaikan kepada Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Batam, dan setelah terbitnya Surat Tanda Gudang tersebut, melekat kewajiban Badan
Usaha yang memilikinya untuk
menyelenggarakan administrasi pergudangan dan melaporkannya kepada Kepala 68
Pasal 47, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. 69 Pasal 2, Undang Undang tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perubahan Undang Undang Nomor 2 Prp Tahun 1960 tentang Pergudangan menjadi Undang Undang Penetapan, juncto Pasal 2 Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 14 Tahun 2001. 70 Pasal 1 angka 11 Keputusan Walikota Batam Nomor 10 Tahun 2001 Tentang Tata cara Permintaan Surat Tanda Daftar Gudang.
Universitas Sumatera Utara
34
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Batam, selain surat tersebut dipergunakan sebagai prasyarat administratif penerbitan izin niaga umum.71 c.
Angka Pengenal Importir. Seperti yang diketahui, kegiatan usaha niaga umum beberapa di antaranya
adalah menjalankan kegiatan usaha penjualan, pembelian, ekspor dan impor bahan bakar minyak,72 maka dengan demikian untuk mendapatkan izin usaha atas kegiatan bisnis yang demikian tersebut, khususnya dalam menjalankan kegiatan impor bahan bakar minyak, badan usaha yang bersangkutan harus memiliki Angka Pengenal Importir, sebagaimana yang menjadi ketentuan di dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 45/M-DAG/PER/9/2009 juncto Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 20/M-DAG/PER/7/2011. Angka Pengenal Importir ini diperlukan untuk melakukan penataan tertib impor dalam rangka pelaksanaan kebijakan perdagangan luar negeri di bidang impor.73 Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, badan usaha yang akan mengajukan permohonan
izin
usaha
niaga
umum
terlebih dahulu harus
mengajukan
permohonan penerbitan Angka Pengenal Importir Umum kepada Badan Pengusahaan Kawasan Batam.74
71
Pasal 5 angka 11 Keputusan Walikota Batam Nomor 10 Tahun 2001 Tentang Tata cara Permintaan Surat Tanda Daftar Gudang. 72 Pasal 1 angka 16, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. 73 Konsiderans menimbang huruf (a), Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 45/MDAG/PER/9/2009 Tentang Angka Pengenal Impotir. 74 Pasal 3 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 45/M-DAG/PER/9/2009 Tentang Angka Pengenal Importir Juncto Pasal 4B Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 20/MDAG/PER/7/2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45/MDAG/PER/9/2009 Tentang Angka Pengenal Importir.
Universitas Sumatera Utara
35
d. Izin Lingkungan. Sebagai salah satu perusahaan yang karena aktivitas bisnisnya dikategorikan sebagai perusahaan yang wajib memiliki UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup), maka dengan demikian sebelumnya PT. Prasaya Indomitra Sarana wajib untuk memperoleh Izin Lingkungan.75 Seperti yang telah menjadi ketentuan, maka izin lingkungan tersebut beserta upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang terdampak oleh aktivitas bisnis badan usaha diberikan dengan bersandarkan pada rekomendasi UKL-UPL,76 dan juga didasarkan pada ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup seperti yang dimaksudkan oleh peraturan perundang undangan.77 Baku mutu lingkungan hidup tersebut di atas adalah seperti yang dimaksudkan
oleh
Peraturan
Pemerintah
Nomor
41
Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut. e.
Izin Gangguan. Sebagai badan usaha yang dalam menjalankan aktivitas bisnisnya adalah
dengan mendirikan tempat-tempat untuk melakukan usaha yang dijalankan secara
75
Pasal 36 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 76 Pasal 8 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup. 77 Pasal 24 Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup
Universitas Sumatera Utara
36
teratur dalam suatu bidang usaha tertentu,78 yakni bangunan-bangunan tempat usaha mana yang dapat mengakibatkan bahaya, kerugian dan gangguan,79 serta tempat dan aktivitas usaha yang berbahaya bagi kesehatan, ledakan, kebakaran dan keselamatan kerja dan gangguan terhadap lingkungan, diantaranya gangguan fungsi tanah, air tanah, laut dan udara maupun gangguan yang bersumber dari getaran dan/atau kebisingan dan/atau kebauan,80 maka dengan demikian PT. Prayasa Indomitra Sarana wajib memperoleh Izin Gangguan. Izin Gangguan tersebut diterbitkan oleh Kepala Bapedal Batam berdasarkan beberapa parameter yang dimaksudkan dalam peruntukan lokasi kegiatan seperti tercantum di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam. Pertama adalah indeks lokasi yakni dimana tempat usaha tersebut didirikan, yang kedua adalah indeks lingkungan, yaitu di kawasan mana tempat usaha tersebut berada yakni kawasan-kawasan yang sesuai, terakhir adalah Indeks Gangguan yang timbul yang ditentukan oleh besar kecilnya potensi gangguan/resiko yang muncul dari usaha yang dijalankan.81Atas penerbitan izin tersebut, badan usaha wajib membayar retribusi yang besarnya didasarkan pada ketiga parameter tersebut di atas. Parameter Indeks Gangguan dalam pengukurannya berdasarkan berikut ini :
78
Pasal 1 huruf (e) Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1987 Tentang Penertiban Pungutan-Pungutan dan Jangka Waktu Terhadap Pemberian Izin Undang Undang Gangguan. 79 Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Gangguan Staatsblad 1926 nomor 226. 80 Pasal 2 ayat 1, Peraturan Walikota Batam Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Izin Gangguan dan Izin Pembuangan Air Limbah. 81 Pasal 7 Peraturan Walikota Batam Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Izin Gangguan dan Izin Pembuangan Air Limbah.
Universitas Sumatera Utara
37
1) Bahan berbahaya dan beracun yang dihasilkan dan digunakan dalam kegiatan usahanya. 2) Tingkat kebisingan yang dihasilkan dari aktivitas usaha badan usaha, yang harus memenuhi batas maksimal tingkat kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan sekitarnya.82 3) Tingkat getaran yang dihasilkan dari aktivitas usaha badan usaha, yang harus memenuhi batas maksimal tingkat getaran mekanik yang diperbolehkan dari usaha atau kegiatan pada media padat sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan serta keutuhan bangunan.83 4) Tingkat Kebauan yang dihasilkan dari aktivitas usaha dari badan usaha yang bersangkutan harus memenuhi batas maksimal bau dalam udara yang diperbolehkan yang tidak mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan.84
f.
Izin Usaha Niaga Umum Sementara. Setelah beberapa izin dan persetujuan tersebut di atas didapatkan, maka
tahapan berikutnya adalah pengajuan permohonan penerbitan izin usaha niaga umum. Pengajuan permohonan tersebut diajukan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal
82
Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan. 83 Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 49 Tahun 1996 Tentang Baku Tingkat Getaran. 84 Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 50 Tahun 1996 Tentang Baku Tingkat Kebauan.
Universitas Sumatera Utara
38
Minyak dan Gas Bumi dengan dilengkapi oleh beberapa persyaratan administratif dan tehnis.85 Persyaratan administratif yang diminta adalah berupa pemenuhan kelengkapan beberapa dokumen dan surat sebagai berikut : 1) Dokumen-dokumen yang menyangkut legalitas PT. Prayasa Indomitra Sarana sebagai badan hukum dan badan usaha yang antara lain :86 a) Akte pendirian perusahaan dan perubahannya yang telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia. b) Profil Perusahaan (Company Profile). c) Nomor Pokok Wajib Pajak Perusahaan (NPWP). d) Surat Tanda Daftar Perusahaan (TDP). e) Surat Keterangan Domisili Perusahaan. 2) Surat Pernyataan tertulis di atas materai mengenai beberapa hal sebagai berikut :87 a) Surat Pernyataan tentang kesanggupan memenuhi aspek K3 b) Surat Pernyataan Kesanggupan Pengembangan Masyarakat Setempat. c) Surat
Pernyataan
Kesanggupan
Memenuhi
Peraturan
Perundang-
undangan yang berlaku.
85
Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006. Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006. 87 Pasal 5 ayat (1) Juncto Pasal 11 ayat (1) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006. 86
Universitas Sumatera Utara
39
d) Surat Pernyataan Kesanggupan Memenuhi Kewajiban Badan Usaha. e) Surat Pernyataan Kesediaan Dilakukan Inspeksi Lapangan. f)
Surat Pernyataan Kesanggupan Menerima Penunjukkan dan Penugasan dari Menteri Untuk Menyediakan Cadangan Bahan Bakar Minyak Nasional dan pemenuhan Kebutuhan Bahan Bakar Minyak dalam Negeri.
g) Surat Pernyataan tentang Keterangan Fasilitas Niaga yang digunakan pada kegiatan usaha, baik lokasi usaha yang berada di darat, maupun lokasi yang berada di laut. h) Surat Pernyataan Tentang kebenaran dari dokumen dan surat pernyataan dalam persyaratan administratif dan tehnis. 3) Dokumen dan surat yang menjadi bukti atas beberapa perizinan yang disyaratkan harus telah ada dan disertakan di dalam pengajuan izin usaha niaga umum sementara, yang antara lain : a) Surat izin Prinsip Perdagangan Bahan Bakar Minyak. b) Surat Tanda Daftar Gudang c) Angka Pengenal Importir Umum d) Surat Izin Lingkungan e) Surat Izin Gangguan Untuk selanjutnya Persyaratan Tehnis yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut : 88
88
Pasal 5 ayat (2) Juncto Pasal 11 ayat (2) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006.
Universitas Sumatera Utara
40
1) Study Kelayakan Pendahuluan (Preliminary Feasibility Study) 2) Surat Jaminan Dukungan Pendanaan dari Bank. 3) Rencana Sarana Pengelolaan Limbah. 4) Rencana Studi Lingkungan. 5) Rencana pembangunan fasilitas dan sarana niaga dan tehnologi yang digunakan dengan jangka waktu pembangunan paling lama 3 (tiga) tahun (Standard Tehnis Operasi yang Digunakan). 6) Kesepakatan Jaminan Pasokan Komoditas Yang diniagakan. 7) Rencana Standard dan Mutu Komoditas yang diniagakan. 8) Rencana Merk Dagang komoditas yang akan diniagakan. 9) Rencana Wilayah Usaha Niaga Bahan Bakar Minyak (Rencana Penjualan, Pembelian, Ekspor dan Impor Bahan Bakar Minyak). Dirjen Migas kemudian melakukan penelitian dan evaluasi terhadap seluruh data dan dokumen yang menjadi persyaratan tersebut, dan untuk keperluan klarifikasi kesesuaian data-data dengan kinerja perusahaan, maka Badan Usaha diminta untuk mempresentasikan pengelolaan usahanya termasuk program kerja terkait data dan dokumen dalam proses perizinan tersebut maupun pengembangan usaha niaga umum yang akan dijalankan.89 Proses berikutnya adalah dilaksanakan peninjauan lokasi oleh Dirjen Migas bagi keperluan pemeriksaan kesesuaian data dan informasi mengenai kegiatan badan
89
Pasal 12 ayat 1 dan 2 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun
2006.
Universitas Sumatera Utara
41
usaha yang bersangkutan,90 dan setelah penelitian dan evaluasi terhadap data administratif dan tehnis dituntaskan, maka Dirjen Migas dengan mengatasnamakan Menteri akan menerbitkan izin usaha niaga umum sementara kepada badan usaha yang bersangkutan.91 Izin usaha sementara tersebut diberikan untuk masa pemberlakuan paling lama 3 (tiga) tahun,92 dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu maksimal selama 2 (dua) tahun.93 Pada prinsipnya izin usaha sementara tersebut diberikan dengan maksud untuk memberikan kesempatan kepada badan usaha yang bersangkutan memulai menjalankan usahanya dengan tetap melakukan pengurusan izin-izin yang terkait berikutnya sebagaimana disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.94 Adapun beberapa perizinan yang harus didapatkan terkait dengan hal tersebut di atas adalah sebagai berikut : g.
Sertifikat Kelayakan Penggunaan Peralatan dan Sertifikat Kelayakan Penggunaan Instalasi (SKPP – SKPI). Sebagaimana diatur di dalam Pasal 40 ayat (1), (2) dan ayat (6) Undang Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, bahwa PT. Prayasa Indomitra Sarana di dalam menjalankan usahanya memiliki kewajiban
untuk antara lain : 1) Menjamin standard dan mutu kaidah ketehnikan dan menerapkan kaidah ketehnikan tersebut dengan baik. 90
Pasal 12 ayat 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006 Pasal 13 ayat 1 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006 92 Pasal 13 ayat 4 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006 93 Pasal 13 ayat 5 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006 94 Pasal 13 ayat 7 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006 91
Universitas Sumatera Utara
42
2) Menjamin keselamatan dan kesehatan kerja. 3) Menaati segala ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang mengatur perihal keselamatan dan kesehatan pekerja, kondisi dan persyaratan tempat dan lingkungan kerja, dan standard instalasi dan peralatan. Kewajiban tersebut di atas kemudian diperjelas dan diatur melalui Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor Pemeriksaan
06 P/0746/M. PE/1991 tentang
Keselamatan Kerja atas Instalasi, Peralatan dan Tehnik yang
dipergunakan dakam Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi. Di dalam peraturan menteri tersebut ditentukan bahwa terhadap instalasi, peralatan dan tehnik yang dipergunakan dalam kegiatan yang dilakukan di lokasi operasi pengangkutan bahan bakar minyak, di lokasi pelabuhan khusus bahan bakar minyak, di lokasi penjualan dan instalasi / depot pengisian bahan bakar minyak, wajib dilaksanakan pemeriksaan keselamatan kerja.95 Dalam ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri tersebut, proses pemeriksaan keselamatan tersebut dijalankan oleh PT. Biro Klasifikasi Indonesia sebagai perusahaan jasa inspeksi & sertifikasi di bidang migas yang telah mendapatkan surat penunjukkan dari Dirjen Migas sebagai pihak ketiga untuk sertifikasi peralatan dan instalasi. Setelah pemeriksaan keselamatan kerja selesai dijalankan, maka berdasarkan rekomendasi dari PT. Biro Klasifikasi Indonesia, Dirjen Migas akan menerbitkan 95
Pasal 1 angka 3 Juncto Pasal 2 Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 06 P/0746/M. PE/1991 tentang Pemeriksaan Keselamatan Kerja atas Instalasi, Peralatan dan Tehnik yang Dipergunakan dakam Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi.
Universitas Sumatera Utara
43
Sertifikat Kelayakan Penggunaan Peralatan dan Sertifikat Kelayakan Penggunaan Instalasi (SKPP – SKPI) bagi badan usaha yang bersangkutan.96 Selain hal tersebut di atas ditegaskan pula bahwa segala fasilitas dan sarana perniagaan umum bahan bakar minyak hanya boleh dioperasikan setelah mendapatkan Surat Kelayakan Penggunaan Instalasi (SKPI) dan Surat Kelayakan Penggunaan Peralatan (SKPP) dari Dirjen Migas sebagaimana tersebut di atas.97 h. Nomor Induk Kepabeanan (NIK). PT. Prayasa Indomitra Sarana dalam memenuhi persediaan bahan bakar minyak
yang
diperdagangkan
akan
lebih
banyak
melakukan pembelian
minyak secara impor, dengan demikian segala sesuatunya tidak terlepas dari kegiatan kepabeanan. Untuk itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku, PT. Prayasa Indomitra Sarana berkewajiban untuk melakukan registrasi kepabeaanan, yakni menjalankan kegiatan pendaftaran ke Dirjen Bea dan Cukai sebagai pengguna jasa kepabeanan, untuk mendapatkan nomor indentitas kepabeanan.98 Nomor induk kepabeanan adalah nomor identitas yang harus dipergunakan ketika mengakses atau berhubungan dengan sistem kepabeanan, baik yang menggunakan tehnologi informasi maupun secara manual, dan untuk memperolehnya badan usaha yang bersangkutan mengajukan permohonan dan registrasinya melalui Dirjen Bea dan Cukai. i.
Persetujuan Impor Minyak dan Gas Bumi
96
Pasal 6 Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 06 P/0746/M. PE/1991 tentang Pemeriksaan Keselamatan Kerja atas Instalasi, Peralatan dan Tehnik yang Dipergunakan dakam Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi. 97 Pasal 40 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006 98 Pasal 1 angka (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.04/2011 Tentang Registrasi Kepabeanan.
Universitas Sumatera Utara
44
Dalam rangka untuk memberikan dukungan kepada penyediaan bahan bakar minyak,99 serta mempertimbangkan kondisi pasokan dan kebutuhan bahan bakar minyak di dalam negeri,100 maka setiap badan usaha yang akan melakukan impor bahan bakar minyak wajib mendapat persetujuan impor dari Menteri Perdagangan. 101 Sebelum penerbitan surat persetujuan impor tersebut, badan usaha harus mendapatkan surat rekomendasi dari Dirjen Migas mengenai jenis dan jumlah bahan bakar minyak yang dapat dilakukan impor.102 Untuk mendapatkan rekomendasi, badan usaha tersebut mengajukan permohonan kepada Dirjen Migas dengan melampirkan bukti legalitas badan usaha dan informasi mengenai rencana kwantitas bahan bakar minyak yang akan diimpor termasuk jenis dan harga bahan bakar minyak yang akan diimpor tersebut.103 Surat persetujuan impor akan diterbitkan oleh Menteri Perdagangan melalui Dirjen Perdagangan Luar Negeri,
setelah
badan
usaha
yang bersangkutan
mengajukan permohonan persetujuan dengan melampirkan salinan bukti Nomor Pokok Wajib Pajak, Angka Pengenal Importir, Nomor Identitas Kepabeanan dan Surat Rekomendasi Impor Bahan Bakar Minyak dari Dirjen Migas.104 j.
Izin Pelabuhan Khusus
99
Konsiderans Menimbang huruf (b) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 42/M-DAG/PER/9/2009 Tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Minyak dan Gas Bumi. 100 Pasal 3 ayat 1 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 42/MDAG/PER/9/2009 Tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Minyak dan Gas Bumi. 101 Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 42/MDAG/PER/9/2009 Tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Minyak dan Gas Bumi. 102 Pasal 3 ayat 2 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 42/MDAG/PER/9/2009 Tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Minyak dan Gas Bumi Juncto Pasal 38 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006. 103 Hasil wawancara dengan Darmawan, Mantan Kepala Departemen Hukum dan Perijinan PT. Putra Kelana Makmur (Perusahaan induk PT. Prayasa Indomitra Sarana), tanggal 5 – 6 Juni 2012. 104 Pasal 4 ayat 6 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 42/MDAG/PER/9/2009 Tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Minyak dan Gas Bumi.
Universitas Sumatera Utara
45
Izin pelabuhan khusus dibutuhkan kepada badan usaha yang memiliki atau menguasai fasilitas pelabuhan khusus, yakni pelabuhan yang dikelola untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu yang berupa kegiatan perniagaan bahan bakar minyak,105 yang dalam hal pelabuhan tersebut telah siap dipergunakan maka dengan demikian Izin Pelabuhan Khusus ini adalah dalam bentuk izin pengoperasian pelabuhan khusus. Izin pengoperasian tersebut diberikan melalui Menteri Perhubungan dengan persyaratan sebagai berikut :106 1) Kemampuan menjalankan keamanan, ketertiban dan keselamatan pelayaran. 2) Pengelolaan lingkungan 3) Memiliki sistem dan prosedur pelayanan / penanganan loading /unloading. 4) Tersedianya sumber daya manusia di bidang tehnis pengoperasian pelabuhan yang memiliki kualifikasi dan sertifikasi tertentu. k. Regristasi dan Izin Usaha di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Mengingat aktivitas usaha dari PT. Prayasa Indomitra Sarana berpusat di pulau Batam, sedangkan pulau Batam adalah bagian dari kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas yang dikelola oleh Badan Pengusahaan Kawasan Batam, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Pengawasan atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di
105 106
Pasal 1 huruf (5) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 Tentang Kepelabuhan. Pasal 58 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 Tentang Kepelabuhan.
Universitas Sumatera Utara
46
Kawasan yang Telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, maka badan usaha yang bersangkutan tersebut wajib untuk melakukan regristasi perusahaan dan izin usaha kepada Badan Pengusahaan Batam sebelum melakukan aktivitas perniagaan bahan bakar minyak di kawasan Batam. Sejumlah salinan dokumen menyangkut eksistensi dari badan usaha wajib dilampirkan di dalam surat permohonan regristasi perusahaan dan izin usaha tersebut di atas, yang antara lain : SIUP, TDP, TDG, API, NPWP, NIK, Bidang Usaha, Jenis barang yang diperniagakan, domisili perusahaan, hingga informasi mengenai jumlah tenaga kerja.107 Selain beberapa hal tersebut di atas, badan usaha yang bersangkutan juga mempunyai kewajiban untuk melaporkan di dalam lampiran permohonan mengenai Rencana Impor Barang yang dibutuhkan selama setahun, yang di dalamnya mencantumkan uraian dan spesifikasi barang, jumlahnya dan diimpor melalui pelabuhan mana.108 l.
Izin Niaga Umum Tetap. Izin usaha niaga umum yang bersifat tetap dalam prosesnya diajukan sebagai
usulan oleh Dirjen Migas kepada Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral,
setelah semua yang menjadi persyaratan dan kewajiban sebagaimana
tercantum
dalam izin usaha sementara telah tuntas terpenuhi.109 107
Hasil wawancara dengan Darmawan, Mantan Kepala Departemen Hukum dan Perijinan PT. Putra Kelana Makmur (Perusahaan induk PT. Prayasa Indomitra Sarana), tanggal 5 – 6 Juni 2012. 108 Hasil wawancara dengan Darmawan, Mantan Kepala Departemen Hukum dan Perijinan PT. Putra Kelana Makmur (Perusahaan induk PT. Prayasa Indomitra Sarana), tanggal 5 – 6 Juni 2012. 109 Pasal 16 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006
Universitas Sumatera Utara
47
Berikutnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral akan menerbitkan izin usaha niaga umum tetap dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya usulan dari Dirjen Migas tersebut di atas,110 izin usaha mana akan berlaku sampai selama 20 (dua puluh) tahun.111 Izin usaha niaga umum tetap sedikitnya memuat tentang nama badan usaha, jenis usaha yang diberikan dan beberapa kewajiban badan usaha sebagaimana yang telah dilampirkan di
dalam
pengajuan
izin
usaha sementara dengan
ditambah kewajiban-kewajiban sebagai berikut :112 1) Jaminan dan tanggung jawab atas keakuratan dan sistem alat ukur yang digunakan. 2) Jaminan standard mutu hasil produksi sesuai dengan yang ditetapkan oleh Menteri untuk pemasaran dalam negeri. 3) Pelaporan kepada Menteri melalui Dirjen Migas mengenai perubahan fasilitas dan sarana niaga umum yang mengakibatkan penambahan sampai 30% (tiga puluh prosen) dari kapasitas awal dan / atau terjadi diversifikasi produk. 4) Pengajuan permohonan izin perluasan usaha untuk penambahan kapasitas lebih dari 30% (tiga puluh prosen) dari kapasitas awal. 5) Pengajuan permohonan wilayah distribusi niaga kepada Badan Pengatur dalam hal penjualan jenis bahan bakar minyak tertentu. Setelah semua tahapan proses perijinan tersebut di atas tuntas dijalankan, maka melalui penerbitan Izin Usaha Niaga Umum Nomor 05.NW.03.19.00.029 110
Pasal 17 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006 Pasal 20 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006 112 Pasal 18 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006 111
Universitas Sumatera Utara
48
tertanggal 11 Mei 2011 yang diterbitkan oleh Dirjen Migas, PT. Prayasa Indomitra Sarana telah memiliki legalitas untuk dapat menjalankan usaha di bidang perniagaan bahan bakar minyak, dan telah sempurna sebagai subyek perjanjian yang cakap dan wenang secara hukum untuk melakukan perbuatan hukum dalam bentuk membuat perjanjian tentang jual beli bahan bakar minyak. 3.
Tujuan Ditetapkannya Syarat Kecakapan Bertindak dan Kewenangan Hukum Dalam Perjanjian. Menetapkan syarat kecakapan dan kewenangan bertindak menurut hukum
sebagai syarat dalam keabsahan sebuah perjanjian, memiliki tujuan-tujuan yang berdimensi publik dan privat. Dalam arti terdapat maksud untuk memberikan perlindungan hukum terhadap subyek perjanjian maupun perlindungan kepentingan masyarakat secara umum ketika kecakapan dan kewenangan tersebut dinyatakan sebagaimana hukum mewajibkan. Kecakapan bertindak menurut hukum ditetapkan sebagai syarat perjanjian disaat orang-orang tertentu tidak atau belum dapat menyatakan kehendaknya dengan sempurna,
dalam
pengertian orang-orang tersebut belum dapat menyadari
sepenuhmya akibat hukum yang muncul dari pernyataan kehendak yang berlanjut kepada keterikatan dalam perjanjian.113 Syarat kecakapan bertindak menurut hukum diadakan demi untuk melindungi kepentingan si tidak cakap dari kemungkinan akan kerugian yang timbul dari
113
J. Satrio, Op. Cit, hlm. 276
Universitas Sumatera Utara
49
tindakan mereka sendiri,114 suatu perlindungan yang berdimensi privat yang dapat diberikan oleh undang-undang kepada person-person tertentu. Terkhusus mengenai tujuan penetapan syarat kewenangan hukum di dalam Perjanjian tersebut di atas pada prinsipnya terwakili dari tujuan pembentukan beberapa
peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur
tentang
prosedur
permohonan ijin usaha niaga umum, yang apabila secara hirarki perundang-undangan ditarik lebih ke atas maka terdapat tujuan yang lebih besar dan strategis yang ingin dicapai, sebagaimana dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945. Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan gas Bumi, memiliki tujuan untuk mengendalikan pemanfaatan minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam dan sumber daya pembangunan yang bersifat strategis dan vital,115 dengan menjamin penyediaan cadangan strategis minyak bumi bagi kesinambungan penyediaan
bahan
bakar
minyak
dalam
negeri,116
beserta
kelancaran
pendistribusiannya di seluruh wilayah negara kesatuan republik Indonesia, dengan memposisikan bahan bakar minyak tersebut sebagai komoditas vital yang menguasai hajad hidup orang banyak.117
114 115
Ibid, hlm. 291 Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas
Bumi. 116
Pasal 8 ayat 1, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. 117 Pasal 8 ayat 2, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.
Universitas Sumatera Utara
50
Selain tentang pemanfaatan dan distribusi bahan bakar minyak, undang undang tentang Migas tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional, serta mengembangkan dan memperkuat industri dan perdagangan Indonesia,118 yang pada kelanjutannya mampu memberikan andil bagi terciptanya lapangan kerja, perbaikan lingkungan, dan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. 119 Sejalan dengan tujuan tersebut di atas, Undang Undang Nomor 11 tahun 1965 tentang Pergudangan juga memiliki tujuan yang berbasis pada perlindungan kepentingan umum, sebagaimana yang tersirat pada ketentuan di dalamnya yang melarang menyimpan barang-barang penting dalam gudang lebih lama dari pada jangka waktu yang ditetapkan oleh menteri perdagangan demi kelancaran arus distribusi barang-barang. Sebagaimana diketahui, salah satu modus untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat dalam perdagangan adalah menimbun sejumlah barang tertentu ketika barang-barang tersebut diperkirakan akan mengalami kenaikan harga, atau sebagai salah satu cara untuk mempermainkan harga bagi kepentingan segelintir pelaku usaha dan para spekulan. Melalui ketentuan dan pembatasan tersebut di atas, maka akan memberikan dampak yang positif terhadap proteksi kepentingan umum masyarakat akan tata niaga yang adil dan wajar, seperti yang menjadi pertimbangan dari diberlakukannya Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 14 Tahun 2001 tentang Penataan dan 118
Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas
Bumi. 119
Ibid
Universitas Sumatera Utara
51
Pembinaan Pergudangan Kota Batam, bahwa dalam rangka tertib niaga dan kelancaran distribusi barang dan untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen, maka perlu penataan dan pembinaan pergudangan. Demikian pula yang menjadi tujuan dari ketentuan tentang izin lingkungan bagi pelaku usaha niaga umum, semuanya berpangkal dari keyakinan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak azasi setiap warga negara, sehingga dengan demikian sangat memiliki dasar yang kuat jika kemudian undangundang memberikan perlindungan terhadap kemungkinan degradasi kualitas lingkungan hidup yang mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.120 Pada intinya semua tujuan dari peraturan perundang-undangan tersebut saling mengisi dan berkorelasi, dan merupakan upaya untuk memberikan perlindungan terhadap apa yang disebut sebagai “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”,121 dan terhadap semua kewenangan hukum yang diberikan oleh undang-undang kepada PT. Prayasa Indomitra Sarana adalah sebagaian upaya untuk melindungi kepentingan umum yang dalam hal ini adalah kepentingan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketika ijin usaha niaga umum diterbitkan, maka dengan serta merta perlindungan terhadap kepentingan umum mendapatkan jaminan hukum yang
120 121
Konsiderans Menimbang Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009. Pasal 33, Undang Undang Dasar 1945.
Universitas Sumatera Utara
52
setimpal, karena pada saat yang sama hukum mewajibkan kepada badan usaha pemegang ijin usaha niaga umum untuk menjalankan beberapa kewajiban yang lahir sebagai perwujudan dari tujuan pembentukan undang-undang, yang di antaranya adalah :122 a) Kewajiban untuk menjamin ketersediaan bahan bakar minyak secara berkesinambungan pada jaringan distribusi niaganya, dan menjamin harga jual bahan bakar minyak pada tingkat yang wajar. b) Kewajiban untuk menjalankan penugasan / penunjukkan dari Menteri untuk menyediakan cadangan bahan bakar minyak nasional dan pemenuhan kebutuhan bahan bakar minyak di dalam negeri. c) Kewajiban untuk menjamin penyediaan fasilitas dan sarana kegiatan usaha niaga bahan bakar minyak yang memadai dan bertanggung jawab atas penggunaan peralatan, keakuratan dan sistem alat ukur yang digunakan yang memenuhi standard sesuai ketentuan peraturan perundang undangan. d) Kewajiban untuk menjamin dan bertanggung jawab sampai ke tingkat penyalur atas standard mutu bahan bakar minyak sesuai dengan yang ditetapkan oleh menteri, dan mempunyai serta menggunakan merek dagang tertentu yang telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang. e) Kewajiban untuk menunjuk penyalur bahan bakar minyak dengan mengutamakan koperasi, usaha kecil dan / atau badan usaha swasta nasional, serta menjalankan kegiatan penyaluran bahan bakar minyak secara langsung 122
Pasal 34 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006
Universitas Sumatera Utara
53
maksimal 20 % dari kapasitas perniagaan, dan sisanya harus disalurkan melalui para agen penyalur. f) Kewajiban untuk menjamin keselamatan dan kesehatan kerja dan pengelolaan lingkungan hidup serta pengembangan masyarakat setempat. g) Kewajiban sebagai bentuk realisasi fungsi pengaturan dan pengawasan pemerintah dengan menjalankan beberapa kewajiban sebagai berikut : 1) Menyampaikan laporan kepada menteri melalui Dirjen Migas mengenai pelaksanaan aktivitas usaha untuk sedikitnya setiap 3 (tiga) bulan sekali. 2) Melaporkan kepada menteri melalui Dirjen Migas mengenai perubahan fasilitas dan sarana kegiatan usaha yang mengakibatkan penambahan sampai 30 % (tiga puluh prosen) kapasitas awal. 3) Mengajukan
permohonan
penyesuaian
izin
usaha
niaga
untuk
penambahan kapasitas lebih dari 30 % (tiga puluh prosen) dari kapasitas awal. Sehingga dengan demikian, sebagai perjanjian yang lahir dari kewenangan khusus untuk memperjual belikan suatu komoditi yang strategis dan mempunyai andil yang sangat besar terhadap hajad hidup orang banyak, maka perjanjian jual beli tersebut belum cukup hanya ditimbang dari sudut pandang hak-hak dan kewajiban yang bersifat privat. Pada prinsipnya di dalamnya juga menyangkut hak-hak publik dan kewajiban untuk mewujudkan hak-hak publik tersebut. Perwujudan dari hak-hak publik itulah yang sebenarnya menjadi salah satu manfaat dan mashlahat dari perjanjian jual beli bahan bakar minyak secara tidak langsung. Hal tersebut menjadi
Universitas Sumatera Utara
54
sebuah sintesa yang kuat ketika mencermati dari proses lahirnya perjanjian maupun pada akibat hukum terhadap pelanggaran kewajiban-kewajiban untuk mewujudkan hak publik tersebut. Perjanjian tersebut di atas secara proses dilahirkan dari legalisasi kewenangan hukum para pihak, kewenangan mana kemudian menghalalkan barang yang menjadi obyek perjanjian sebagai “hal tertentu” dalam perjanjian dan sekaligus memberikan muatan hukum berupa “kausa yang halal” pada perjanjian yang disepakati tersebut. Apabila kewajiban-kewajiban untuk mewujudkan hak-hak publik tersebut tidak terpenuhi maka dengan serta merta tak akan ada kewenangan hukum yang membawa akibat tak akan pernah ada perjanjian tentang jual beli bahan bakar minyak. Hal yang kurang lebih sama akan terjadi jika pihak yang membuat perjanjian tersebut melakukan pelanggaran terhadap kewajiban untuk mewujudkan hak-hak publik. Pelanggaran-pelanggaran tersebut akan membawa akibat hukum berupa pencabutan izin usaha, yang pada kelanjutannya akan membawa akibat batalnya perjanjian demi hukum oleh karena hilangnya kausa yang halal dalam perjanjian. Pada akhirnya dapat dilihat suatu keterkaitan yang konkrit antara ketentuan dan prosedur birokratis dengan hak dan kewajiban subyek perjanjian yang bersifat privat, dan terhadap pandangan yang disampaikan oleh Herlien Budiono yang menyatakan :123 tujuan dari pernyataan ketidakcakapan ialah perlindungan dari pihak yang tidak cakap, pernyataan yang tidak wenang terutama ditujukan terhadap orang yang tidak wenang dan tujuan darinya ialah perlindungan pihak lainnya atau kepentingan umum; 123
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia : Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Op. Cit. hlm. 113.
Universitas Sumatera Utara
55
Maka dapat dimaknai dengan korelatif terhadap paparan tersebut di atas. 4.
Pencabutan Izin Usaha Niaga Umum Bahan Bakar Minyak. Pencabutan izin usaha dapat dilakukan terhadap badan usaha dengan izin
usaha niaga umum tetap yang melakukan beberapa pelanggaran, yakni tidak dipenuhinya
persyaratan
yang
telah
ditetapkan oleh peraturan yang berlaku,
maupun tidak ditaatinya petunjuk tekhnis dari Dirjen Migas atau intansi yang berwenang sesuai peraturan perundang undangan.124 Tindakan pencabutan izin usaha pada prinsipnya akan dilakukan ketika badan usaha yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban di dalam undang-undang terkait, dan untuk sampai kepada sanksi pencabutan izin usaha, sebelumnya Menteri akan memberikan kesempatan kepada badan usaha yang bersangkutan untuk memperbaiki kinerja dan kepatuhannya terhadap kewajiban yang seharusnya dipenuhi sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.125 Kesempatan yang diberikan tersebut dalam bentuk toleransi terhadap pelanggaran, dengan memberikan sanksi administratif secara bertahap kepada badan usaha yang melanggar, yakni tindakan teguran tertulis, penangguhan kegiatan usaha dan berikutnya adalah pembekuan kegiatan usaha, yang terhadap tiap-tiap tahapan tersebut badan usaha yang bersangkutan akan diberikan kesempatan untuk mematuhi kewajiban yang dilanggar.126
124
Pasal 43 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006. Pasal 44 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006 126 Ibid 125
Universitas Sumatera Utara
56
Pencabutan izin usaha niaga umum akan dilakukan oleh menteri jika dalam tempo enam puluh hari setelah tindakan pembekuan usaha, badan usaha yang bersangkutan tetap tidak berupaya meniadakan pelanggaran dan memenuhi persyaratan dan kewajiban yang ditetapkan
oleh
perundang-undangan yang
berlaku.127 Pencabutan tersebut adalah permanent, artinya badan usaha yang dicabut izin usahanya untuk selamanya tidak akan pernah bisa mendapatkan izin usaha niaga umum, meskipun kembali diajukan terhadap segala kerugian yang
proses permohonan izin dari awal,128 timbul
oleh
dan
tindakan-tindakan administratif
tersebut hingga pencabutan izin usaha adalah menjadi beban dan tanggung jawab badan usaha yang bersangkutan.129 B. Kesepakatan Dalam Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak. Sebagai perusahaan niaga umum yang mempunyai visi mengembangkan kegiatan bisnis untuk memberikan dan meningkatkan profit usaha, yakni dengan menjalankan misi untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak pada dunia industri,130 maka dalam menjalankan usahanya tersebut PT. Prayasa Indomitra Sarana menerapkan strategi marketing yang ekspansif, salah satunya adalah dengan menjaring pelanggan baru, baik yang dilakukan secara head to head positioning maupun dengan cara differentiated positioning, sehingga dengan demikian dalam
127
Ibid Hasil wawancara dengan Darmawan, Mantan Kepala Departemen Hukum dan Perijinan PT. Putra Kelana Makmur (Perusahaan induk PT. Prayasa Indomitra Sarana), tanggal 5 – 6 Juni 2012. 129 Pasal 46 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2006 130 Company Profile PT. Prayasa Indomitra Sarana, (http://www.pims.co.id, 16 Juni 2012) 128
Universitas Sumatera Utara
57
pelaksanaannya secara aktif dilakukan kegiatan pemasaran produk kepada beberapa perusahaan, dan salah satunya adalah PT. Buma Niaga Perkasa.131 Setelah melalui beberapa kali pembicaraan melalui sarana telepon, pada kelanjutannya PT. Buma Niaga Perkasa menunjukkan minat atas produk yang ditawarkan tersebut, dan terhadap hal tersebut kemudian kedua belah pihak menindaklanjutinya dengan mengagendakan pertemuan yang akan dilaksanakan di Kantor Pusat Putra Kelana Makmur Group pada tanggal 18 Juli 2011. Pada tanggal tersebut di atas kedua belah pihak kemudian saling bertemu untuk membicarakan beberapa hal pokok tentang rencana jual beli bahan bakar minyak dengan jenis High Speed Diesel, dengan mana hadir mewakili pihak penjual antara lain, Imaldi selaku Direktur Utama PT. Prayasa Indomitra Sarana, Terek Adenan selaku Direktur Operasional PT. Putra Kelana Makmur Group dan Zikri Kudsi selaku Direktur Business and Development PT. Putra Kelana Makmur Group,132 sedangkan yang hadir mewakili pihak pembeli adalah, Gandhi Irawan selaku Direktur Utama PT. Buma Niaga Perkasa, Arief selaku General Manager PT. Buma Niaga Perkasa, dan Agus selaku Finance Consultant.133
131
Hasil wawancara dengan Imaldi, Direktur Utama PT. Prayasa Indomitra Sarana, pada tanggal 15 – 16 Juni 2012. 132 PT. Putra Kelana Makmur Group adalah perusahaan group yang secara kolektif memiliki bisnis di bidang oil bunkering, shipping agency, marine transportation, logistic service provider, pengoperasian SPBU dan SPBE hingga niaga umum bahan bakar minyak, yang dalam pelaksanaannya berbagai macam bisnis tersebut secara khusus dijalankan oleh beberapa anak perusahaan yang di antaranya adalah PT. Cahaya Perdana Transsalam, PT. Cahaya Nanga Galang Mustika, PT. Putra Kelana Selaras Permai dan seterusnya, yang terhadap perusahaan-perusahaan tersebut PT. Putra Kelana Makmur adalah sebagai mayoritas pemegang saham perseroan, termasuk terhadap PT. Prayasa Indomitra Sarana yang secara khusus menjalankan bisnis perniagaan umum bahan bakar minyak. 133 Hasil wawancara dengan Imaldi, Direktur Utama PT. Prayasa Indomitra Sarana, pada tanggal 15 – 16 Juni 2012.
Universitas Sumatera Utara
58
Pada hari yang sama kedua belah pihak kemudian melakukan on site inspection di lokasi pelabuhan khusus yang dikelola oleh PT. Prayasa Indomitra Sarana, dimana terletak Mini Tanker, Fixed Storage, Floating Storage maupun segala perlengkapan pendukung tehnis operasional lainnya.134 Pada akhirnya setelah tercapainya kesepakatan mengenai hak ikhwal jual beli barang tersebut di atas, antara PT. Prayasa Indomitra Sarana dengan PT. Buma Niaga Perkasa kemudian saling bersepakat untuk membuat Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Nomor : 01-01/SP-DIR/PRAYASA-BNP/VIII/2011, yang baru selesai dibuat dan ditanda tangani pada tanggal 28 Juli 2011. 1.
Lahirnya Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Oleh Kesepakatan Para Pihak. Berdasarkan paparan tersebut di atas pada prinsipnya telah tercapai suatu
kesepakatan mengenai perjanjian, baik dari sudut pandang kronologi lahirnya kesepakatan tersebut maupun dari sudut pandang kesepakatan tertulis yang dibuat oleh kedua belah pihak. Jika kita bersandar pada beberapa teori yang dianut dan norma yang berlaku, penentuan saat lahirnya perjanjian dapat ditelisik dari detail-detail tertentu di dalam proses terwujudnya kesepakatan untuk membuat suatu perjanjian. Penentuan saat lahirnya perjanjian sangatlah penting untuk kepentingan penentuan resiko,
134
Hasil wawancara dengan Imaldi, Direktur Utama PT. Prayasa Indomitra Sarana, pada tanggal 15 – 16 Juni 2012.
Universitas Sumatera Utara
59
kesempatan penarikan kembali penawaran, untuk menentukan saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa dan menentukan tempat terjadinya perjanjian,135 Terjadinya kesepakatan lahir dari suatu proses saling bertautnya pernyataan kehendak para pihak sebagaimana disampaikan satu pihak pada pihak lainnya secara bertimbal balik, dan ketika para pihak tersebut saling bersepakat maka kemudian perjanjian terbentuk.136 Namun demikian yang berikutnya adalah kehendak
menjadi persoalan
kapan bisa dinyatakan bahwa masing-masing pernyataan
tersebut
saling
bertemu
dalam
persesuaian
kehendak
(wilsovereenstemming), dan untuk bisa menjawabnya adalah dengan menilisik bagaimana kronologi proses bertemunya pernyataan kehendak tersebut hingga melahirkan sebuah kesepakatan dengan bersandarkan pada Teori Penerimaan.137 Di dalam Teori Penerimaan diyakini bahwa toesteming terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan,138 jika diilustrasikan dengan urutan yang lengkap dari awal hingga akhir, maka lahirnya perjanjian bukan pada saat pihak yang lain menyatakan akseptasinya, dan bukan pula saat pihak yang lain tersebut mengirimkan akseptasinya, namun adalah pada saat
135
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 180 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 93. 137 Teori Penerimaan pada prinsipnya adalah pengembangan dari teori-teori sebelumnya yang memang memiliki beberapa kelemahan terkhusus ketika penerapannya dibenturkan dengan perkembangan tehnologi informasi saat ini. Teori-teori seperti uitingstheorie dan verzendtheorie pada perkembangannya dikesampingkan, dengan pertimbangan kedua teori tersebut tidak memenuhi asas kepatutan dan kepantasan, dan sebaliknya ontvangsttheorie adalah teori yang dianggap paling memenuhi asas kepatutan dan kepantasan sekalipun tetap memiliki kelemahan. Ibid, hlm. 95-96 138 Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, (Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, 2010). hlm. 31. 136
Universitas Sumatera Utara
60
pernyataan akseptasi tersebut diterima oleh pihak yang memberikan penawaran,139 sehingga dapat dikatakan akan cukup mudah untuk menganalisa kapan sebenarnya sebuah perjanjian lahir jika proses yang mengawalinya terdokumentasi melalui aktivitas korespondensi. Akan tetapi persoalannya adalah, proses yang mengawali terjadinya wilsovereenstemming tersebut dilakukan melalui komunikasi secara lisan dan melalui beberapa pertemuan termasuk on site inspection yang tidak
tercatat
di dalam
notulen, atau dengan kata lain tak ada dokumentasi yang tangible, pernyataan kehendak berupa penawaran maupun akseptasi yang terkonstruksi bersifat intangible.
Hal
ini
menimbulkan
sebuah
keraguan
apakah
cara-cara
mengekspresikan pernyataan kehendak tanpa melalui proses korespondensi yang terdokumentasi dapat dipergunakan untuk menilai apakah telah lahir sebuah perjanjian. Jika merujuk kepada asas konsensualisme di dalam hukum perjanjian, maka pada dasarnya timbulnya suatu perjanjian tak pernah disyaratkan tentang formalitas tertentu, sebagaimana dipahami tentang asas konsensualisme yang mengandung makna, bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.140 Pemahaman penegasan
ketika
asas
konsensualisme
mencermati
pandangan
pada
kelanjutannya
yang
disampaikan
mendapatkan oleh
Subekti
sebagaimana berikut :141 139
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 181-183. Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Op. Cit. hlm. 157. 141 Subekti, Hukum Perdjandjian, Op. Cit, hlm. 16. 140
Universitas Sumatera Utara
61
Artinya asas konsensualitas ialah bahwa pada asasnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya sepakat. Dengan perkataan lain perjanjian itu sudah sah apabila tercapai sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak diperlukan sesuatu formalitas. Pemahaman yang demikian tersebut menggarisbawahi tentang dinafikannya suatu formalitas, dalam pengertian perjanjian telah dapat dianggap tuntas karena persesuaian kehendak atau konsensus semata-mata, jadi dalam hal ini yang ditekankan adalah adanya meeting of mind sebagai inti dari hukum perjanjian.142 Maka dengan demikian, pernyataan kehendak yang mengawali proses terbangunnya meeting of mind secara bertimbal balik, pada prinsipnya tidak digantungkan pada bentuk tertentu, pernyataan suatu penawaran dan pernyataan penerimaannya dapat disampaikan melalui ragam sarana, sebagaimana yang biasa digunakan dan dimengerti dalam lalu lintas pergaulan masyarakat.143 Cukuplah persesuaian kehendak tersebut telah ada tanpa mempersoalkan bagaimana cara penyampaiannya, sama halnya ketika PT. Prayasa Indomitra Sarana menyampaikan penawarannya dengan menggunakan sarana telepon dan PT. Buma Niaga Perkasa menyampaikan akseptasinya secara lisan di dalam suatu pertemuan dengan pihak yang memberikan penawaran, telah dapat dinyatakan setimbang dengan penawaran dan akseptasi yang disampaikan dengan mempergunakan korespondensi tertulis.
142
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hlm. 121-122 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia : Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Op. Cit, hlm. 125-126. 143
Universitas Sumatera Utara
62
Kembali kepada pembahasan tentang tahapan proses terwujudnya perjanjian atas
dasar
pandangan
Teori
Penerimaan, maka dapat diyakini kesepakatan
telah terwujud ketika PT. Prayasa Indomitra Sarana menerima pernyataan akseptasi dari PT. Buma Niaga Perkasa, terlebih lagi pernyataan akseptasi dan penyampaian akseptasi oleh PT. Buma Niaga Perkasa, maupun diterimanya pernyataan akseptasi tersebut oleh PT. Prayasa Indomitra Sarana terjadi dalam satu kerangka momentum yang sama. Sehingga dengan demikian tanpa suatu keraguan dapat disimpulkan bahwa lahirnya perjanjian adalah pada saat kesepakatan antara kedua belah pihak telah tercapai tentang hal ikhwal yang diperjanjikan yakni pada tanggal 18 Juli 2011. 2.
Tanggal Mulai Berlakunya Perjanjian Sebagai Momentum Lahirnya Perjanjian. Keyakinan tentang lahirnya perjanjian tersebut di atas berlainan dengan apa
yang tertulis di dalam perjanjian jual beli, terdapat selisih waktu selama sepuluh hari antara tanggal terjadinya kesepakatan dengan tanggal mulai berlakunya perjanjian menurut perjanjian tertulis tersebut. Merujuk pada apa yang dicantumkan di dalam Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak tersebut di atas, yakni di dalam Pasal 2 ayat 1 Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Nomor : 01-01/SP-DIR/PRAYASA-BNP/VIII/2011 dinyatakan bahwa : “Perjanjian ini berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal ditandatanganinya perjanjian ini sampai dengan tanggal 28 February 2012 dan dalam jangka waktu tersebut dapat dilakukan peninjauan kembali”, dan sebagaimana yang menjadi mukadimah dari perjanjian disebutkan bahwa perjanjian
Universitas Sumatera Utara
63
ditandatangani pada tanggal 28 Juli 2011, tanggal penandatanganan mana disepakati oleh para pihak sebagai saat lahirnya perjanjian tersebut. Berdasarkan hal tersebut di atas maka untuk menentukan lahirnya perjanjian cukuplah didasarkan pada ketentuan tertulis di dalam perjanjian. Suatu pandangan yang mempunyai dasar jika mengingat hukum perjanjian sangat bersifat terbuka, segala hal apapun halal untuk diperjanjikan sepanjang dibuat dengan memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian, termasuk tentang kesepakatan tanggal mulai berlakunya perjanjian. Hal tersebut terilustrasikan di Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa, Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Terdapat tiga hal pokok di dalam isi pasal tersebut terkait dengan hal tersebut di atas yakni :144 a. Terletak pada kalimat “semua perjanjian yang dibuat secara sah” yang menunjukkan asas kebebasan berkontrak, yakni kebebasan untuk menentukan isi yang diperjanjikan termasuk mengenai tanggal mulai berlakunya perjanjian. b. Terletak pada kalimat “berlaku sebagai undang-undang” yang menunjukkan asas kekuatan yang mengikat atau yang disebut asas pacta sunt servanda, yang dengan demikian terdapat kewajiban untuk tunduk dengan apa yang diperjanjikan.
144
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, (Jakarta : Penerbit PT. Rajagrafindo Persada, 2008), hlm. 78
Universitas Sumatera Utara
64
c. Terletak pada kalimat “bagi mereka yang membuatnya” yang menunjukkan asas personalitas. Pemaknaan dari Pasal 1338 ayat (1) tersebut di atas memberikan sandaran legalitas kepada keyakinan bahwa Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak antara PT. Prayasa Indomitra Sarana dengan PT. Buma Niaga Perkasa lahir dan memang mulai berlaku pada tanggal 28 Juli 2011. Namun demikian akan menjadi berbeda jika sesaat sebelum penandatanganan perjanjian salah satu pihak menyatakan membatalkan kesepakatan dengan alasan perjanjian belumlah ada dan mengikat, atau atas dasar kepentingan tertentu salah satu pihak tidak mengakui perjanjian tertulis tersebut sebagai perjanjian yang mengikat dirinya secara hukum. Ketika terjadi penyangkalan terhadap kesepakatan tertulis, maka teori, norma dan azas yang melatar belakangi keyakinan tentang “perjanjian telah lahir saat akseptasi telah diterima oleh pihak yang memberikan penawaran” akan menemukan pembenarannya. Seperti yang menjadi keputusan Hoger Raad 21 Desember 1933, NJ 1934, atas sengketa perdata antara Bosch dengan Maren yang di dalam pertimbangannya menyatakan :145 maka dapatlah dipahami jika kemudian pihak yang dirugikan atas penyangkalan kesepakatan tersebut cukup memiliki alas hak untuk menyatakan
145 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hlm. 169 Bahwa tidak cukup bila pada pulang-pergi terdapat kehendak yang sesuai (cocok) untuk saling mengikatkan diri dan juga tidak cukup bila mereka menyatakan kehendak itu secara lisan atau tulisan, melainkan perlu (nodig) bahwa pernyataan kehendak itu saling mencapai pihak lain (de tegenpartij heft bereikt);
Universitas Sumatera Utara
65
bahwa ikatan perjanjian telah ada semenjak tanggal 18 Juli 2011, meskipun untuk itu tetap harus melalui proses pembuktian di muka hakim. Demikian pula saat salah satu pihak melakukan penyangkalan terhadap perjanjian tertulis yang telah ditandatangani, maka kondisi tersebut dapat mulai dijelaskan dengan mencermati pengertian akta di bawah tangan. Adapun akta di bawah tangan dapat diartikan sebagai tulisan-tulisan tangan yang dianggap akta, akta yang ditanda tangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaran pejabat umum.146 Ketika membaca makna akta di bawah tangan tersebut di atas, dan setelah mencermati bentuk, isi dan bagaimana proses terbentuknya perjanjian jual beli bahan bakar minyak antara kedua belah pihak, maka perjanjian tentang jual beli tersebut dapat digolongkan sebagai akta di bawah tangan, dan sebagaimana diketahui sebagai akta dibawah tangan, perjanjian tersebut berpotensi memiliki kekuatan pembuktian yang lemah. Hal tersebut disebabkan para pihak terhadap siapa akta di bawah tangan itu digunakan, diwajibkan membenarkan atau memungkiri tanda tangannya,147 dan oleh karenanya tanda tangan pada akta di bawah tangan kemungkinannya masih dapat dipungkiri, sehingga akta di bawah tangan itu tidak lagi memiliki kekuatan
146
MU. Sembiring, Tehnik Pembuatan Akta, (Medan : Penerbit Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1997), hlm. 8 147 Pasal 2 Stbl 1867 no. 29, Juncto pasal 289 Rbg, Juncto pasal 1876 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
66
pembuktian lahir, bahkan jika diperluas dalam sudut pandang pembuktian formil dan materiil.148 Terdapat sebuah konswekuensi tertentu jika salah satu pihak melakukan penyangkalan terhadap
perjanjian
tersebut,
beban
pembuktian
diserahkan
kepada pihak yang menyangkal akta (= perjanjian jual beli) tersebut, dan penilaian penyangkalan atas bukti tersebut diserahkan kepada hakim.149 Ketika proses pembuktian tersebut dilakukan maka peristiwa-peristiwa konkrit yang terkait dengan sengketa ataupun yang mengkonstruksi lahirnya perjanjian pasti akan dirangkai dan dikonstatir oleh hakim, dan kemudian untuk menemukan hukum atas peristiwa-peristiwa tersebut hakim akan bersandar kepada perundang-undangan, hukum tak tertulis, putusan desa, yurisprodensi dan ilmu pengetahuan,150 sumber-sumber penemuan hukum mana di dalamnya terkandung tentang teori, norma dan azas yang melatar belakangi keyakinan tentang perjanjian telah lahir saat tercapai kesepakatan. Pada akhirnya adalah sebuah keniscayaan jika kemudian hakim memutuskan bahwa perjanjian tersebut telah ada dan lahir ketika kesepakatan telah tercapai antara kedua belah pihak, yakni saat akseptasi telah diterima oleh pihak yang memberikan penawaran.
148 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Penerbit Liberty, 1988), hlm. 126 149 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia : Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan, (Bandung : Penerbit PT. Refika Aditama, 2008), hlm. 121. 150 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit. hlm. 162
Universitas Sumatera Utara
67
Pembahasan tentang lahirnya perjanjian tersebut di atas membawa pada satu konklusi sementara yang menyatakan apabila tak ada suatu penyangkalan dan pengingkaran terhadap perjanjian jual beli tersebut, maka momentum lahirnya perjanjian tak lain adalah pada tanggal mulai berlakunya perjanjian. Akan tetapi konklusi tersebut harus dikaji kembali dengan lebih mendalam, khususnya apabila dikaitkan dengan unsur-unsur di dalam perjanjian. C. Unsur Essentialia Dalam Perjanjian Jual Beli. Di dalam perjanjian terkandung unsur-unsur essensilia, naturalia, dan unsur accidentalia. Dari ketiga unsur tersebut unsur essentialia paling memiliki andil yang tak tergantikan, karena unsur essentialia adalah merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve oordeel), seperti halnya persetujuan antara pihak dan obyek perjanjian.151 Pengertian unsur essentialia di atas cenderung memberikan pemahaman bahwa syarat keabsahan perjanjian adalah identik dengan unsur essensilia secara keseluruhan apabila mengingat syarat-syarat tersebut mutlak harus dipenuhi dalam membuat perjanjian. Namun ketika mencermati kecakapan hanyalah sebagai pengertian yuridis tehnis yang tidak menyebabkan perjanjian tak dapat dilakukan oleh orang yang tidak cakap oleh karena adanya lembaga perwakilan, dan ketika mengingat kausa yang halal mempunyai fungsi negatif yang baru akan dituntut
151
Mariam Darus Badrulzaman, KUH. Perdata Buku III : Hukum Penjelasan, (Bandung : Penerbit PT. Alumni, 2011), hlm. 99.
Perikatan dengan
Universitas Sumatera Utara
68
ada setelah perjanjian terbentuk,152 maka praktis unsur essentialia hanya diidentikkan dengan syarat adanya kesepakatan dan hal tertentu dalam perjanjian. 1.
Pemahaman Syarat Hal Tertentu Dalam Perjanjian. Mengenai
syarat
kesepakatan
dalam
perjanjian
telah
keterkaitannya dengan unsur essentialia di dalam perjanjian.
cukup
jelas
Demikian pula
dengan adanya hal tertentu dalam perjanjian sebagai syarat, keberadaannya pada intinya membicarakan masalah obyek perjanjian, akan menjadi mustahil apabila suatu perjanjian tak memiliki obyek perjanjian, sehingga kemudian mudah untuk dipahami jika selain kata sepakat adanya hal tertentu adalah juga sebagai unsur essentialia dalam perjanjian. Wirjono Prodjodikoro memaknai hal atau obyek tertentu sebagai berikut :153 “maka object dalam suatu perjanjian dapat diartikan sebagai hal yang diperlakukan oleh subyek itu berupa suatu hal yang penting dalam tujuan yang dimaksudkan dengan membentuk suatu perjanjian, Oleh karena itu, obyek dalam perhubungan hukum perihal perjanjian ialah : hal yang diwajibkan kepada pihak berwajib (debitur), dan hal, terhadap mana pihak-berhak (kreditur) mempunyai hak”. Dengan mana terhadap hal yang penting tersebut yang terhadapnya digantungkan tujuan dari perjanjian dibuat adalah mengenai sebuah kebendaan atau harta benda. Lebih lanjut mengenai hal atau obyek tertentu tersebut dapat dirujuk dari substansi Pasal 1332, 1333, 1334 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.154
152 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 68. 153 Wirjono Prodjodikoro, Azas – Azas Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit Sumur Bandung, 1973), hlm. 21 154 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hlm. 191
Universitas Sumatera Utara
69
Pemahaman hal tertentu dalam perjanjian menurut substansi pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut :155 a) Obyek yang dapat dijadikan pokok perjanjian adalah barang-barang yang bisa
diperdagangkan,
dan
terhadap benda-benda di luar perdagangan
(buiten de handel) adalah benda-benda yang dipergunakan untuk kepentingan umum. b) Obyek yang dapat menjadi pokok perjanjian adalah barang yang haruslah tertentu dan paling sedikit tentang jenisnya, mengenai jumlahnya tak perlu ditentukan terlebih dahulu asal saja kemudian dapat ditentukan. c) Obyek yang dapat dijadikan pokok perjanjian adalah juga barang-barang yang baru akan ada, baik yang bersifat absolut yakni barang-barang milik penjual yang baru akan ada, maupun yang bersifat relatif yakni barang-barang yang menjadi milik orang lain dan akan jatuh di tangan si penjual. Berdasarkan pemahaman tersebut di atas dapat diambil suatu pandangan bahwa, unsur essensilia disamping menyangkut kesepakatan mengenai perjanjian juga mengandung pengertian sebagai pokok perjanjian yang berupa barang-barang yang dapat diperjualbelikan yakni barang-barang yang telah ada maupun yang akan ada yang terhadapnya harus dapat ditentukan jenis dan jumlahnya, dan pandangan yang menyatakan bahwa unsur essensilia yang berupa pemenuhan syarat hal tertentu di dalam perjanjian juga berkontribusi penting bagi keabsahan perjanjian yang bersangkutan. 155
Wirjono Prodjodikoro, Azas – Azas Hukum Perjanjian, Op. Cit, hlm. 22-23
Universitas Sumatera Utara
70
2.
Pemahaman Perjanjian Jual Beli. Untuk memahami hal ikhwal tentang perjanjian jual beli dapat merujuk
kepada pengertian perjanjian jual beli sebagai suatu persetujuan dimana suatu pihak mengikat diri untuk berwajib menyerahkan suatu barang, dan pihak lain berwajib membayar harga yang dimufakati mereka berdua.156 Selain dari pada itu, perjanjian jual beli dapat juga dimaknai sebagai suatu kesepakatan dimana pihak yang satu yakni penjual mengikatkan dirinya kepada pihak yang lain yakni pembeli untuk memindahtangankan suatu benda dalam eigendom dengan memperoleh pembayaran dari orang yang disebut terakhir, sejumlah tertentu berwujud uang.157 Batasan pengertian yang dipaparkan di atas sesuai dengan yang dimaksudkan di dalam Pasal 1457 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
Di
dalam
definisi perjanjian jual beli tersebut pada intinya mengandung beberapa hal pokok yang sangat penting menyangkut perjanjian jual beli yakni sebagai berikut : a) Kesepakatan para pihak mengenai barang dan harga; b) Kewajiban salah satu pihak untuk menyerahkan barang; c) Kewajiban pihak yang lain untuk membayar harga barang; d) Pengalihan hak milik atas barang yang diperjual belikan. Mengenai kesepakatan para pihak, terkhusus yang dikaitkan dengan Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Antara PT. Prayasa Indomitra Sarana Dengan PT. Buma Niaga Perkasa telah diulas dengan cukup terperinci di atas, namun 156
hlm. 17
157
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Persetujuan Tertentu, (Bandung, 1991), RM. Suryodiningrat, Perikatan Perikatan Bersumber Perjanjian, (Bandung, 1996), hlm. 14
Universitas Sumatera Utara
71
demikian ketika dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang berlaku pada perjanjian jual beli ternyata tidak cukup hanya dengan bersepakat tentang sesuatu, akan tetapi harus lebih tegas lagi disebutkan tentang kesepakatan mengenai barang dan harganya sebagaimana yang dinyatakan di dalam Pasal 1458 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, atau dengan kata lain unsur essensi di dalam perjanjian jual beli, selain mengenai kesepakatan itu sendiri juga meliputi mengenai barang dan harga jual belinya. Hal tersebut di atas memberikan suatu penegasan mengenai momentum timbulnya perjanjian jual beli yakni “pada detik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga”.158 Pendapat yang menyatakan demikian tersebut pada
intinya
adalah hal yang mendasar dari perjanjian yang menggunakan title “perjanjian jual beli”, karena sebagai salah satu jenis perjanjian bernama maka oleh undang undang perjanjian jual beli dikonstruksikan dari kesepakatan tentang harga dan barang, hal ini dapat diartikan apabila oleh para pihak dikatakan adanya jual beli tanpa menyebutkan harganya, tetapi ternyata oleh para pihak saling diserahkan suatu benda, maka perbuatan hukum tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai jual beli, akan tetapi perjanjian yang demikian tersebut memenuhi ciri perjanjian bernama lainnya, yakni perjanjian tukar menukar.159 3.
Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Sebagai Perjanjian Dengan Ketetapan Waktu.
158
Subekti, Aneka Perjanjian, Op.Cit. hlm. 2 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 67. 159
Universitas Sumatera Utara
72
Pemaparan tersebut di atas memberikan sandaran bagi kajian mengenai kesepakatan pokok perjanjian. Sebagaimana menjadi pokok Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Nomor : 01-01/SP-DIR/PRAYASA-BNP/VIII/2011, yakni di dalam pasal-pasal berikut : a) Pasal 1 angka 1 yang menyatakan, Perjanjian ini adalah perjanjian tentang jual beli bahan bakar minyak antara PT. Prayasa Indomitra Sarana dan PT. Buma Niaga Perkasa Nomor : 01-01/SP-DIR/PRAYASA-BNP/VIII/2011 tanggal 28 Juli 2011; b) Pasal 1 angka 2 yang menyatakan, di dalam perjanjian ini yang dimaksud dengan bahan bakar minyak yang selanjutnya disingkat BBM adalah bahan bakar minyak non-subsidi jenis solar dengan merek dagang “MGO PRO” sesuai dengan spesifikasi tekhnis yang terdapat pada lampiran I; c) Pasal 3 ayat 2 yang menyatakan, penentuan harga berdasarkan kesepakatan para pihak pada saat transaksi dengan mengacu kepada harga pasar (non subsidi PT. Pertamina) dengan discount khusus yaitu sebesar 5% (lima proses) dari harga pasar PT. Pertamina yang berlaku di wilayah Kalimantan; Maka ketentuan tersebut pada prinsipnya telah memuat kesepakatan tentang pokok perjanjian yang dimaksudkan, yakni tentang barang dan harganya. Akan tetapi di dalam perjanjian tersebut, para pihak tidak secara tegas menyatakan tentang harga barang, karena harga barang belumlah ditentukan. Kesepakatan yang dicapai hanya mengenai harga yang digantungkan kepada penentuan pihak ketiga berdasarkan mekanisme pasar, yakni patokan harga pada saat order disampaikan oleh Pihak Pembeli. Ketentuan mengenai harga bahan bakar minyak di dalam perjanjian jual beli tersebut di atas nampaknya berlawanan dengan prinsip-prinsip mendasar tentang keabsahan perjanjian jual beli seperti yang seperti yang menjadi maksud Pasal 1457 dan 1458 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Pembahasan mengenai definisi
Universitas Sumatera Utara
73
perjanjian jual beli pada halaman 73 sampai dengan halaman 75 telah cukup jelas dan tegas menyatakan bahwa harga barang harus telah ditentukan pada detik tercapainya kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli. Hal ini sejalan dengan pendapat Herlien Budiono bahwa : “Suatu janji untuk melakukan jual beli tanpa menyebutkan harga jual belinya atau harga jual belinya tidak dapat ditentukan, menjadikan perjanjian jual beli demikian nonexistent”.160 Namun demikian jika merujuk pada ketentuan Pasal 1465 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, para pihak yang bersepakat dapat menggunakan syarat tangguh di dalam perjanjian jual beli yang mereka buat. Harga barang tersebut memang harus ditetapkan
oleh
kedua
belah
pihak,
namun
adalah
diperkenankan untuk menyerahkan kepada perkiraan atau penentuan pihak ketiga, dan terhadap perjanjian semacam itu pada hakekatnya adalah suatu perjanjian dengan “syarat tangguh”.161 Undang-undang memperbolehkan jika perjanjian jual beli dibuat dengan tidak mencantumkan harga barang yang akan diperjualbelikan, sepanjang harga barang dalam hal penentuannya diserahkan kepada pihak ketiga. Pengecualian dalam Pasal 1465 tersebut dapat dipergunakan untuk memberikan pembenaran kepada kasus ini mengingat kesepakatan tentang harga barang dalam Pasal 3 ayat 2 perjanjian jual beli bahan bakar minyak tersebut digantungkan kepada mekanisme penentuan harga
160
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 49. 161 Djoko Prakoso dan Bambang Riyadi, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu Di Indonesia, (Jakarta : Penerbit Bina Aksara, 1987), hlm. 35
Universitas Sumatera Utara
74
bahan bakar minyak non subsidi yang selalu dieavaluasi untuk setiap dua minggu sekali oleh PT. Pertamina yang penentuannya dipengaruhi oleh harga yang berlaku di kawasan asia tenggara yang lazim disebut sebagai harga “MOPS” (Mean of Platts Singopare).162 Jika dianggap sebagai suatu perjanjian dengan syarat tangguh maka perjanjian jual beli bahan bakar minyak dapat dimaknai sebagai suatu perjanjian jual beli yang akibat hukum perikatannya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, atau digantungkan dari pada suatu hal yang telah terjadi tetapi tidak diketahui oleh para pihak.163 Namun demikian jika ditelaah pada peristiwa hukum konkritnya, maka kesepakatan tentang harga yang digantungkan pada ketentuan PT. Pertamina di atas tidaklah persis sama dengan yang dimaksudkan oleh Pasal 1263 juncto Pasal 1465 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa pokok penjelasan sebagai berikut : a. Timbulnya perikatan dari perjanjian tersebut digantungkan pada kesepakatan mengenai harga bahan bakar minyak saat purchase order diterbitkan oleh pihak pembeli dengan harga sesuai dengan ketentuan PT. Pertamina. Hal ini tentunya sedikit berbeda dengan maksud Pasal 1465 di atas, yang mana timbulnya perikatan sebagai akibat hukum perjanjian baru bekerja ketika pihak ketiga telah menentukan harga dari barang yang menjadi obyek jual 162
Hasil wawancara dengan Imaldi, Direktur Utama PT. Prayasa Indomitra Sarana, pada tanggal 23 November 2012. 163 J. Satrio, Hukum Perikatan : Perikatan Pada Umumnya, (Bandung : Penerbit Alumni, 1999), hlm. 291
Universitas Sumatera Utara
75
beli, dan terhadap harga barang itulah para pihak kemudian menyepakatinya. Atau dengan kata lain, akibat hukum perjanjian bukan digantungkan pada tindakan pemesanan barang dengan harga yang berlaku saat itu, akan tetapi langsung digantungkan pada tindakan pihak ketiga dalam menentukan harga barang. Timbulnya perikatan dari perjanjian tersebut digantungkan pada peristiwa yang pasti akan terjadi yakni berupa perbuatan hukum pemesanan bahan bakar minyak, dan berapa pun harga bahan bakar minyak yang berlaku pada saat terbitnya purchase order sama sekali tidak menghalangi lahirnya kesepakatan mengenai harganya. Hal ini pun memiliki perbedaan dengan pokok pengertian Pasal 1263 di atas, bahwa perjanjian disebut memiliki syarat tangguh jika digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin akan terjadi tetapi tidak diketahui dengan pasti apakah akan terjadi atau tidak.164 Sehingga dengan demikian terhadap perjanjian jual beli bahan bakar minyak di atas tidaklah dapat disebut sebagai perjanjian dengan syarat tangguh, akan tetapi lebih cenderung mengarah pada ciri-ciri perjanjian dengan ketetapan waktu sebagaimana penjelasan sebagai berikut : a. Di dalam masa berlakunya perjanjian jual beli terjadi suatu peristiwa sebagai mana yang disebutkan dalam perjanjian, dan daya kerja dari perikatan antara kedua belah pihak baru mulai bekerja saat peristiwa tersebut terjadi.165
164
Ibid, hlm. 292 Pemahaman “peristiwa” di dalam perikatan dengan ketentuan waktu tidak hanya sebatas pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar kehendak para pihak seperti peristiwa kematian ataupun peristiwa yang terjadi oleh kehendak pihak di luar perjanjian. Akan tetapi termasuk juga peristiwa 165
Universitas Sumatera Utara
76
b. Peristiwa yang disebutkan di dalam perjanjian pasti akan terjadi hanya saatnya yang belum tertentu, atau peristiwanya pasti akan terjadi dengan waktu yang telah pasti diketahui.166 Jika kembali pada prinsip “harga barang harus disebutkan seketika saat para pihak bersepakat”, maka pembahasan tersebut di atas telah dapat menjelaskan keabsahan perjanjian tersebut di atas dari sudut pandang essensi perjanjian jual beli, dengan mengingat bahwa secara umum setiap perjanjian dapat memperjanjikan suatu syarat yang membawa akibat tertundanya daya kerja perikatan hukum kedua belah pihak, termasuk jika peristiwa sebagai syarat tersebut memberikan konswekuensi tertundanya penentuan harga barang oleh karena peran pihak ketiga (PT. Pertamina) sebagai penentu harga bahan bakar minyak secara nasional. Setelah melalui paparan tersebut di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak antara PT. Prayasa Indomitra Sarana dengan PT. Buma Niaga Perkasa bukanlah perjanjian bersyarat khususnya perjanjian dengan syarat tangguh, akan tetapi lebih sesuai jika disebut sebagai perjanjian dengan ketetapan waktu.
yang terjadi oleh adanya kehendak para pihak dalam perjanjian, sebagai contoh suatu perjanjian sewa menyewa yang digantungkan pada peristiwa pernikahan salah satu pihak dalam perjanjian – Ibid, hlm. 310 – Demikian juga diterangkan dalam Pasal 1269 dan 1270 Kitab Undang Undang Hukum Perdata bahwa pada intinya syarat ketetapan waktu dapat diperjanjikan untuk kepentingan para pihak yang membuat perjanjian, sebagaimana dicontohkan dalam Pasal 139 Kitab Undang Undang Hukum Dagang bahwa kreditur tidak dapat meminta pembayaran sebelum hari pembayaran, dan sebaliknya debitur juga tak dapat memaksa kreditur untuk menerima pembayaran sebelum hari pembayaran jatuh tempo. – R. Soetojo, 58 – suatu pemahaman tentang “peristiwa” yang sama dengan maksud peristiwa pemesanan barang oleh pihak pembeli di perjanjian jual beli bahan bakar minyak tesebut di atas. 166 J. Satrio, Hukum Perikatan : Perikatan Pada Umumnya, Op. Cit. hlm. 309.
Universitas Sumatera Utara
77
4.
Penundaan Daya Kerja Perikatan Hukum Pada Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Perjanjian Jual Beli Bahan
Bakar Minyak antara PT. Prayasa Indomitra Sarana dan PT.
Buma
Niaga
Perkasa adalah perjanjian yang perikatan hukumnya mengalami penundaan sampai dengan terjadinya peristiwa yang disyaratkan ada, maka kemudian menjadi sebuah pertanyaan yang cukup kritis yakni, bilamana sebenarnya perjanjian tersebut dilahirkan. Seperti yang diketahui, pada tanggal 3 Agustus 2011, PT. Buma
Niaga
Perkasa menyampaikan order pembelian bahan bakar minyak jenis high speed diesel kepada PT. Prayasa Indomitra Sarana, dan terhadap pemesanan tersebut selain jenis barang yang dipesan juga dinformasikan mengenai beberapa hal sebagai berikut :167 a) Jumlah barang yang dipesan; b) Harga barang yang dipesan; c) Tempat penyerahan barang; d) Syarat pembayaran; e) Prosedur penyerahan barang dengan menggunakan sistem Cost Insurance Freight; Dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut maka peristiwa yang disyaratkan dalam perjanjian telah terjadi, dalam arti momentum terpenuhinya unsur essentialia dalam perjanjian jual beli adalah ketika daya kerja perikatan hukum dari
167
Order Pembelian Bahan Bakar Minyak Jenis High Speed Diesel, Nomor 00003, Tertanggal 3 Agustus 2011, dari PT. Buma Niaga Perkasa Kepada PT. Prayasa Indomitra Sarana (Lampiran 2).
Universitas Sumatera Utara
78
perjanjian jual beli bahan bakar minyak telah diwujudkan dengan sempurna oleh perbuatan hukum tersebut. Apabila rangkaian perbuatan hukum di atas dikaitkan dengan perbuatanperbuatan hukum yang sebelumnya dilakukan, maka nampaknya proses yang dimaksud Pasal 1457 dan Pasal 1458 Kitab Undang Undang Hukum Perdata telah sempurna dituntaskan ketika PT. Prayasa Indomitra Sarana menerima purchase order dari PT. Buma Niaga Perkasa, bukan pada saat ditandatanganinya perjanjian tertulis tentang jual beli tersebut. Akan tetapi seharusnya penetapan syarat dengan ketetapan waktu dalam perjanjian tersebut dipahami sebagai “penundaan akibat hukum perjanjian” bukan sebagai “momentum awal berlakunya perjanjian”, karena ketetapan waktu memiliki sifat untuk menangguhkan, memutuskan atau bahkan mengakhiri daya kerja perikatan dari suatu perjanjian,168 Perjanjian yang didalamnya ditetapkan mengenai syarat yang melahirkan perikatan hukum dengan ketentuan waktu, pada prinsipnya perjanjiannya sudah lahir pada saat ditutup, tetapi daya kerja dari perikatan yang lahir daripadanya ditangguhkan sampai terpenuhinya peristiwa yang disyaratkan. 169 Pandangan tersebut di atas sekaligus juga menegaskan, bahwa unsur essentialia dari perjanjian jual beli telah terpenuhi pada waktu perjanjian tersebut ditutup, karena pada dasarnya kesepakatan mengenai harga barang telah tercapai pada 168
Mariam Darus Badrulzaman dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : Penerbit Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 45. 169 J. Satrio, Hukum Perikatan : Perikatan Pada Umumnya, Op. Cit, hlm. 311
Universitas Sumatera Utara
79
saat itu. Meskipun harga barang tidak disebutkan, secara prinsip para pihak telah bersepakat mengenai harga yang berlaku – yang ditentukan oleh PT. Pertamina – saat perjanjian ditandatangani oleh para pihak, termasuk jika terdapat kenaikan ataupun penurunan harga barang saat pihak pembeli melakukan pemesanan barang. Proses yang terjadi kemudian terhadap perjanjian jual beli tersebut adalah penegasan mengenai kesepakatan tentang harga barang berdasarkan harga yang ditentukan oleh pihak ketiga – harga yang dapat berubah atau tetap seperti saat perjanjian ditandatangani – berdasarkan surat pemesanan barang, dan momentum terbitnya surat pemesanan barang tersebut adalah sebagai dasar bagi perikatan hukum dalam perjanjian untuk memiliki daya kerjanya secara sempurna. Pada akhirnya memang dapat diambil satu konklusi bahwa momentum lahirnya perjanjian jual beli antara PT. Prayasa Indomitra Sarana dengan PT. Buma Niaga Perkasa adalah tetap saat perjanjian ditandatangani yakni pada tanggal 28 Juli 2011, dengan kondisi perjanjian baru memiliki daya kerjanya adalah ketika purchase order diterbitkan oleh pihak pembeli, yakni pada tanggal 3 Agustus 2011. D. Kausa Yang Halal Di Dalam Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak. Mengenai kausa tersebut dapat mulai dipahami dari ketentuan Pasal 1335 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa, “Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Mengenai pemahaman “sebab yang terlarang” tersebut dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa, “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh
Universitas Sumatera Utara
80
undang-undang, atau apabila berlawananan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Terhadap ketentuan di dalam kedua pasal tersebut dapat dinyatakan bahwa suatu perjanjian “dapat diberi sanksi batal demi hukum”170 apabila perjanjian tersebut dalam keadaan sebagai berikut :171 Tidak mempunyai kausa; Kausanya palsu; Kausanya bertentangan dengan undang-undang; Kausanya bertentangan dengan kesusilaan; dan Kausanya bertentangan dengan ketertiban umum. 1.
Perjanjian Tanpa Kausa Dan Kausanya Palsu Mengenai perjanjian tanpa kausa, dalam pemahamannya dapat dilihat dari
kata “kausa” yang di dalam ilmu hukum mempunyai makna “perlu adanya dasar yang melandasi hubungan hukum di bidang hukum kekayaan”172, dan kemudian bersandar dari pengertian tersebut, maka perjanjian tanpa kausa dapat diartikan perjanjian yang tak memiliki dasar untuk dapat dikatakan sebagai perjanjian yakni suatu perjanjian yang tujuan pembentukannya oleh para pihak yang membuatnya tidak mungkin terlaksana.173 Sedangkan untuk perjanjian yang menggunakan kausa palsu adalah perjanjian yang terjadi
kausa
di dalamnya bukanlah kausa yang sebenarnya, sebagaimana
ketika para pihak memperjanjikan tentang jual beli sesuatu benda yang
170
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 68. 171 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hlm. 196. 172 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 114. 173 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 322
Universitas Sumatera Utara
81
sebenarnya di dalamnya terdapat kausa tentang hubungan hukum hutang piutang antara para pihak yang membuatnya.174
2.
Kausa Terlarang Menurut Undang-Undang Pada intinya undang-undang melarang tentang tiga aspek dari perbuatan
hukum terkait perjanjian yang terbentuk tersebut, yakni larangan yang ditujukan terhadap : Dilakukannya perbuatan hukum yakni perbuatan perjanjiannya; Substansi dari perbuatan hukum yakni tentang prestasi yang wajib dipenuhi para pihak; dan Maksud tujuan dari perbuatan hukum tersebut, yakni motivasi pada satu atau kedua belah pihak yang tampak dari luar.175 Adalah hal terlarang apabila perusahaan manufaktur sebagai end user dari mata rantai perniagaan umum bahan bakar minyak kemudian memperjual belikan minyak solar yang seharusnya hanya dipergunakan bagi keperluannya sendiri. Terhadap perjanjian jual beli yang seperti ini maka dapat dinyatakan batal demi hukum, karena terdapat larangan terhadap perbuatan hukumnya, yakni dibuatnya perjanjian jual beli bahan bakar minyak. Kemudian dari sudut pandang prestasi yang wajib dipenuhi oleh para pihak, jika merujuk pada Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 62/1951 tertanggal 29 Agustus 1951, yang di dalam putusannya perjanjian tentang jual beli truk yang
174
Ibid. hlm. 326 – 327. Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 116. 175
Universitas Sumatera Utara
82
diperbuat oleh para pihak dianggap mempunyai kausa yang tak diizinkan dan oleh karenanya dinyatakan mutlak batal (absoluut nietig) oleh sebab sebagai berikut :176 (i) Kepemilikan pihak penjual atas truk tersebut timbul dari proses jual beli dengan pihak lain yang di dalam perjanjian jual belinya disyaratkan bahwa kendaraan tersebut hanya boleh digunakan untuk perusahaan sendiri dan penjualan kembali harus mendapatkan izin dari Prioriteitscommissie Motor Voer Tuigen Indonesia (sesuai perundang-undangan yang berlaku saat itu); (ii) Penjualan kembali dari truk tersebut tidak dilengkapi dengan izin dari Prioriteitscommissie Motor Voer Tuigen Indonesia; Maka jika PT. Prayasa Indomitra Sarana membuat perjanjian jual beli bahan bakar minyak dengan pihak pembeli yang berada di luar wilayah Indonesia, maka terhadap perjanjian tersebut akan dapat dinyatakan batal demi hukum. Hal ini dikarenakan terdapat larangan terhadap prestasi di dalam perjanjian yang akan diperbuat oleh PT. Prayasa Indomitra Sarana, yakni melakukan eksport bahan bakar minyak tanpa mendapatkan izin dan rekomendaasi dari Dirjen Migas dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia. Lain halnya jika PT. Prayasa Indomitra sarana membuat perjanjian jual beli bahan bakar minyak dengan salah satu perusahaan pelayaran, yang ternyata kemudian oleh pihak pembeli diperjualbelikan kembali kepada pihak ketiga. Terhadap perjanjian jual beli tersebut belum dapat dinyatakan batal, mengingat kausa perjanjian jual beli antara perusahaan pelayaran dengan pihak ketiga bukan kausa / tujuan bersama dari perjanjian jualbeli yang 176
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 333.
Universitas Sumatera Utara
83
dilakukan oleh PT. Prayasa Indomitra Sarana. Hal ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan Herlien Budiono yang menyatakan : “Jika maksud tujuan yang dilarang tidak merupakan maksud tujuan bersama dari para pihak atau jika hanya salah satu pihak yang mempunyai maksud tujuan yang dilarang, perjanjian tersebut dianggap mempunyai kausa yang halal”.177 Perjanjian tersebut baru memiliki kausa yang terlarang jika di dalamnya mempunyai tujuan untuk memasarkan bahan bakar minyak ke perusahaan-perusahaan tertentu melalui perusahaan pelayaran tersebut. Di dalam perjanjian tersebut ditambahkan mengenai kesepakatan kerja sama untuk memasarkan bahan bakar minyak tersebut perusahaan-perusahaan pelayaran lainnya berikut pembagian keuntungannya. Ketika kedua belah pihak menyepakati hal terakhir ini maka dengan demikian telah tercapai apa yang dimaksudkan sebagai kausa terlarang yang merupakan tujuan bersama para pihak, dan atas perjanjian yang demikian ini akan dapat dinyatakan batal demi hukum. 3.
Kausa Terlarang Menurut Kesusilaan dan Ketertiban Umum Memahami kesusilaan sebagai pedoman bagi halalnya sebuah kausa selalu
menemui kesulitan, karena kesusilaan memiliki makna abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda di masing-masing daerah, dan di samping itu penilaian orang mengenai kesusilaan sangatlah dinamis yang selalu berubah-ubah sesuai perkembangan zaman.178 Bahkan Hoge Raad sendiri pernah berubah-ubah pendiriannya ketika menafsirkan “kesusilaan” terkait pelanggaran terhadap nilai-nilai tersebut di dalam persoalan opzet contract atau kopgeldcontract.179 177
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 117. 178 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op Cit. hlm. 340 179 Ibid, hlm. 344
Universitas Sumatera Utara
84
Oleh karenanya cukup tepat bila penentuan ada atau tidak adanya kesusilaan yang baik dari suatu perjanjian adalah diserahkan kepada hakim yang dalam keadaan yang bagaimanapun juga untuk tiap kasus harus mencari pandangan dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan,180 dan jika berpatokan pada pengertian kesusilaan sebagai norma-norma yang tidak tertulis,181 maka cukuplah dapat dinyatakan bahwa sepanjang suatu perjanjian dibuat dengan konsisten terhadap kepatuhan pada norma-norma hukum yang khusus maupun yang bersifat umum, maka perjanjian tersebut telah memiliki apa yang disebut sebagai kausa yang halal. Untuk berikutnya, suatu perjanjian yang memiliki kausa yang bertentangan dengan ketertiban umum adalah jika substansi dan maksud tujuan ditutupnya perjanjian adalah bertentangan dengan azas-azas pokok dari tatanan masyarakat,182 yang pada umumnya berkaitan
dengan
masalah
kepentingan umum, seperti
keamanan negara, keresahan dalam masyarakat, dan lain-lain hal yang menyangkut masalah ketatanegaraan.183 Mencermati uraian tersebut di atas, serta setelah mengkaji mengenai obyek dan tujuan bersama para pihak dalam perjanjian, maka dapat diyakini bahwa perjanjian jual beli bahan bakar minyak tersebut telah memenuhi salah satu syarat keabsahan perjanjian yakni memiliki kausa yang tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan yang baik dan ketertiban umum.
180
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 120-121. 181 Ibid, hlm. 119. 182 Ibid, hlm. 120-121. 183 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara