19
BAB II KAJIAN TEORITIS
A. PRODUKTIVITAS KERJA 1. Konsep Produktivitas Kerja J. T. Sirait (2006:247-252). Produktivitas dapat dipahami secara filosofis. Pernyataan yan digunakan adalah sebagai berikut: ”Produktivittas adalah suatu sikap mental; menciptakan hari ini yang lebih baik dari hari kemarin, dan mengusahakan hari esok yang lebih baik dari hari ini. Sikap mental menuntut kita untuk selalu berusaha membuat kemajuan-kemajuan di segala bidang kehidupan. Orientasinya adalah selalu maju, tak boleh tetap di tempat, selalu berpikir untuk menciptakan kemajuan-kemajuan. Dalam Encylclopedia Britannica (1982:27) diungkapkan bahwa produktivitas dalam bidang ekonomi berarti rasio dari hasil yang dicapai dengan pengorbanan yang dikeluarkan untuk menghasilkan sesuatu. Sedang Nasional Productivity Board (NPB) Singopore merumuskan produktivitas sebagai sikap mental (attitude of mind) yang mempunyai semangat untuk melakukan peningkatan perbaikan. Perwujudan sikap mental tampak dalam berbagai kegiatan, antara lain sebagai berikut: a. Yang berkaitan dengan diri sendiri dapat dilakukan melalui peningkatan: Pengatahuan, keterampilan, disiplin, upaya pribadi, dan kerukunan kerja.
20
b. Yang berkaitan dalam pekerjaan, dapat dilakukan melalui: manajemen dan cara kerja yang baik, penghematan biaya, ketepatan waktu, dan sistem teknologi yang lebih canggih. Suatu pesan yang selalu harus dicamkan oleh setiap orang Indonesia dalam menghadapi era globalisasi adalah ”berjuanglah agar engkau selalu maju berprestasi; begitu engkau berhenti berjuang, orang lain akan berjuang terus dan maju; dan karenanya maka engkau tertinggal di belakang”. Bangsa-bangsa lain berjuang terus untuk maju, maka karena itu kita tidak boleh berhenti berjuang. Dari berbagai jenis faktor produksi, tenaga kerja merupakan faktor produksi yang memegang peranan utama. Dari berbagai permasalahan tenaga kerja, rendahnya produktivitas kerja merupakan salah satu masalah yang cukup pelik. Belum mampunya Indonesia mencukupi semua kebutuhan dalam negeri dengan hasil produksinya sendiri dan rendahnya tingkat kualitas hasil produksi merupakan indikasi rendahnya tingkat produktivitas, yang pada gilirannya akan mempengaruhi penerimaan negara karena tidak mampu bersaing baik dipasar dalam maupun luar negeri. Tinggi rendahnya produktivitas ternyata dipengaruhi oleh banyak faktor, mulai dari sikap, disiplin karyawan sampai pada manajemen dan teknologi. Oleh karena itu, produktivitas perlu ditingkatkan melalui pengelolaan
yang
terpadu
menyangkut
pembentukan
sikap
mental,
perbaikan sistem, pendidikan dan latihan, serta peningkatan gizi/nutrisi.
21
Produktivitas sering diartikan sebagai kemampuan seperangkat sumber-sumber ekonomi untuk menghasilkan sesuatu atau perbandingan antara pengorbanan (input) dengan penghasil (output). Semakin kecil pengorbanan yang diperlukan untuk mencapai suatu target
penghasilan
(output)
dikatakan
sebagai
kegiatan
produktif,
sebaliknya makin tinggi input yang diperlukan untuk mencapai penghasilan tertentu dikatakan kurang produktif. Produktivitas kerja seorang karyawan biasanya terwujud sebagai prestasi karyawan tersebut di lingkungan kerjanya. Dari sisi lain, produktivitas pada dasarnya adalah suatu sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Peningkatan produktivitas merupakan pengertian relatif, melukiskan keadaan saat ini yang lebih baik dibanding dengan keadaan masa lalu atau keadaan di tempat lain (http://cokrominoto.blogetery.com/tag/produktivitas/) Indeks produktivitas (IP) adalah perbandingan jumlah produksi (output) dengan sumber daya yang digunakan (input) Output IP = ------------Input
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan produktivitas a. Pendidikan dan Latihan
22
Pendidikan membentuk dan menambah pengetahuan seseorang untuk mengerjakan sesuatu dengan lebih cepat dan tepat, sedangkan latihan membentuk dan meningkatkan keterampilan kerja. Semakin tinggi tingkat pendidikan
dan
latihan
seseorang,
semakin
tinggi
pula
tingkat
produktifitasnya. Rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia dewasa ini merupakan indikasi rendahnya produktivitas angkatan kerja di Indonesia. Dengan demikian, peningkatan kualitas pendidikan dan program-program latihan kerja merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang tingggi memungkinkan dia untuk bekerja lebih produktif daripada orang lain yang tingkat pendidikannya rendah. Hal ini dikarenakan orang yang berpendidikan tinggi memiliki cakrawala atau pandangan yang lebih luas sehingga mampu untuk bekerja atau mendapatkan lapangan kerja. b. Gizi dan Kesehatan Makanan merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi dalam rangka kelangsungan hidup. Untuk menjaga kesehatan diperlukan makanan yang mengandung gizi yang cukup. Seseorang yang dalam keadaan sehat atau kuat jasmani/badan dan rohani/jiwa akan dapat berkonsentrasi dengan baik dalam pekerjaannya. Dengan makanan yang mengandung gizi cukup akan membuat seseorang tidak cepat lelah dalam bekerja. Sebaliknya jika makanan
yang dimakan
oleh
seseorang
pekerja kurang memenuhi
23
persyaratan gizi, akan menyebabkan pekerja cepat lelah, sehingga produktivitas menjadi menurun atau rendah. c. Motivasi/Kemauan Motivasi merupakan proses untuk mempengaruhi seseorang agar mau melakukan sesuatu. Menurut Goal Theory : P = f (M); dimana: P = Performance, M = motivation. Produktivitas/prestasi seseorang tergantung pada motivasi orang tersebut terhadap pekerjaan yang dilakukan. Semakin tinggi motivasi seseorang untuk melakukan pekerjaan, semakin tinggi pula tingkat produktivitasnya. Menurut Expectancy Theory :
P=MxA Dimana: P = performance M = motivation A = ability
Semakin tinggi motivasi seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan, semakin tinggi pula tingkat produktivitasnya dengan anggapan bahwa kemampuan orang tersebut tidak berubah. d. Kesempatan Kerja Kesempatan kerja dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Dalam pengertian mikro, kesempatan kerja berarti: -
adanya kesempatan untuk bekerja;
-
pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan dan keterampilan pekerja (the right man on the right place);
24
-
adanya kesempatan untuk mengembangkan diri, yang akan dapat menjadikan pekerja menjadi lebih kreatif. Keterampilan dan produktivitas seseorang berkembang melalui dan
di dalam pekerjaan. Keterampilan tertentu yang tidak diterapkan dalam jangka waktu cukup lama dapat menurun atau menghilang sama sekali. Sebaliknya keterampilan yang diterapkan secara terus menerus dapat berkembang. Peningkatan produktivitas dalam masyarakat erat kaitannya dengan upaya-upaya perluasan kesempatan kerja yang menjamin bahwa setiap orang yang ingin bekerja memperoleh pekerjaan sesuai dengan kemampuannya. Rendahnya produktivitas kerja seseorang sering diakibatkan oleh kesalahan penempatan dalam pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan dan keterampilannya. Bentuk kesalahan dalam penempatan itu ada dua jenis dan keduanya merupakan pengangguran terselubung dipandang dari segi produktivitas adalah sebagai berikut: 1) Menempatkan seseorang dalam pekerjaan di luar kemampuannya, baik karena
pendidikannya
yang
terlalu
rendah
atau
karena
bidang
pendidikan dan pengalaman yang berlainan. 2) Menempatkan
seseorang
yang
pendidikannya
cukup
tinggi
dan
pengalamannya cukup banyak dalam pekerjaan yang tidak menuntut persyaratan pendidikan dan pengalaman sebanyak itu. Penempatan yang salah ini disebabkan oleh empat hal adalah sebagai berikut:
25
1) Kelemahan
manajemen
atau
pimpinan
yang
kurang
mengetahui
gambaran tugas yang sebenarnya dan kemampuan bawahannya di lingkungan kerja. Aspek ini bersifat mikro dan menyangkut tugas manajemen. 2) Ketidakseimbangan pasar tenaga kerja. Aspek ini bersifat makro dan menuntut perlu adanya perencanaan tenaga kerja yang terpadu dengan perencanaan pembangunan, pendidikan, dan latihan. 3) Kemampuan Manajerial Pimpinan Prinsip manajemen
adalah peningkatan
efisiensi. Sumber-sumber
digunakan secara maksimal, termasuk tenaga kerja sendiri. Penggunaan sumber-sumber tersebut dikendalikan secara efisien dan efektif. Manajemen personalia menyangkut soal-soal penggunaan yang optimal dari sumber tenaga kerja manusia dalam perusahaan. Contoh: a) Perencanaan tenaga yang menyangkut jumlah yang dibutuhkan saat ini maupun masa mendatang, jenis keterampilan yang diperlukan, cara-cara penerimaan tenaga baru, dan rencana penempatan mereka. b) Dengan menempatkan setiap orang pada pekerjaan yang paling sesuai dengan keahlian dan keteramilannya. c) Menyusun organisasi dan prosedur kerja serta diskripsi pekerjaan untuk memperlancar pelaksanaan pekerjaan bagi karyawan secara individu atau kelompok.
26
d) Meningkatkan hubungan manusiawi antara pengusaha dan pekerja, antar sesama pekerja, yang dapat mendorong setiap karyawan secara individu atau kelompok meningkatkan produktivitas kerjanya. e) Menyediakan sistem insentif, baik melalui sistem pengupahan maupun imbalan/penghargaan khusus atas prestasi kerja. f) Melengkapi
sarana-sarana
kerja
dan
meningkatkan
kondisi
lingkungan kerja yang mendorong pekerja untuk bekerja lebih giat. g) Menyelenggarakan program latihan, baik di dalam maupun luar perusahaan untuk dapat meningkatkan produktivitas kerja setiap karyawan. 4) Kebijaksanaan Pemerintah Usaha
peningkatan
produktivitas
sangat
sensitif
terhadap
kebijaksanaan pemerintah di bidang produksi, investasi, perizinan usaha, teknologi, moneter, fiskal, distribusi, dan lain- lain. 3. Produktivitas Kerja Guru Mulyasa, berkaitan
(2007:
dengan
134) Produktivitas
keseluruhan
proses
dalam
dunia pendidikan
perencanaan,
penataan,
dan
pendayagunaan sumber daya untuk merealisasikan tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Alan
Thomas
(1971:12-23)
menyatakan
bahwa
produktivitas
pendidikan mencakup tiga fungsi, yaitu: a. The Administrator Production Function (PFI); yaitu fungsi manajerial yang berkaitan dengan berbagai pelayanan untuk kebutuhan peserta
27
didik dan guru. Masukan diidentifikasi diantaranya adalah adanya perlengkapan pembelajaran ruangan, buku dan kualifikasi pendidik yang menungkinkan tercapainya pelaksanaan pendidikan secara efektif. b. The Psychologist’s Production Function (PPF); yaitu fungsi behavioral yang keluarannya merujuk pada fungsi pelayanan yang dapat mengubah perilaku peserta didik dalam kemampuan kognitif, keterampilan, dan sikap. c. The Economic Production function (EPF); yaitu fungsi ekonomi yang keluarannya diidentifkasi sebagai lulusan yang memiliki kompetensi tinggi, sehingga ketika bekerja dapat memperoleh penghasilan tinggi melebihi biaya pendidikan yang telah dikeluarkan. Uraian tersebut menunjukkan bahwa produktivitas pendidikan disekolah dapat ditinjau dari sudut administrasi, psikologis, dan ekonomis. Dalam hal ini Engkoswara (Dadang S et.al 2009:12) mengemukakan bahwa efektivitas dan efisiensi merupakan ciri produktivitas pendidikan sebagai suatu
kriteria
atau
ukuran
produktivitas
pendidikan.
Produktivitas
pendidikan dapat dilihat dari output pendidikan yang berupa prestasi serta proses pendidikan yang berupa suasana pendidikan. Prestasi dapat dilihat dari masukan yang merata, jumlah tamatan yang banyak, mutu tamatan yang tinggi, relevansi yang tinggi, dan dari sisi ekonomi yang berupa penyelenggaraan penghasilan. Sedangkan proses atau suasana tampak dalam kegairahan belajar, dan semangat kerja yang tinggi, serta kepercayaan dari berbagai pihak.
28
Sejalan dengan penelitian yang akan dilakukan, maka produktivitas kerja guru sangat dipengaruhi oleh kelengkapan administrasi mengajar atau kinerja pembelajaran, jumlah kehadiran guru, jumlah tatap muka di kelas, motivasi
kerja,
peningkatan
tanggung
jawab,
peningkatan
prestasi,
keinginan untuk berkembang, adanya perbaikan gagasan, cerdas dan dapat belajar dengan cepat, mantap secara emosional, dan mutu hubungan antar personil yang baik. Bila produktivitas kerja guru meningkat, maka dipastikan produktivitas lulusan juga akan meningkat.
B. KEPEMIMPINAN 1. Konsep kepemimpinan Setiap penulis literatur kepemimpinan
pada umumnya mengajukan
pengertian tersendiri tentang kepemimpinan. Locke (Oteng Sutisna, 1989: 300) melukiskan kepemimpinan secara umum sebagai suatu proses membujuk (inducing) orang lain menuju pencapaian sasaran atau tujuan bersama. Definisi ini mencakup tiga elemen berikut : Pertama, Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi (relational concept). Kepemimpinan hanya ada dalam proses relasi dengan orang lain (para pengikut). Apabila tidak ada pengikut, maka tidak ada kepemimpinan. Tersirat dalam definisi ini adalah premis bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan berelasi dengan para pengikut mereka. Dalam kaca mata teori perilaku (behavioural theory), kepemimpinan dideskripsikan dengan sejauhmana pemimpin berperilaku.
29
Analisisnya mencakup perilaku pemimpin dan efek perilaku pemimpin terhadap produktifitas dan kepuasaan kerja staf atau bawahan. Kedua,
Kepemimpinan
merupakan
suatu
proses.
Agar
bisa
memimpin, pemimpin harus melakukan sesuatu, seperti telah diobservasi oleh
John
Gardner
(1986-1988)
kepemimpinan
lebih
dari
sekedar
menduduki suatu otoritas, kendati posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan, namun sekedar menduduki posisi itu tidak menandai seseorang untuk menjadi
pemimpin. Lebih jauh Razik
& Swanson (Sergiovani, 1995) menjelaskan bahwa dalam pandangan budaya, aspek-aspek
budaya organisasi merupakan hal-hal yang bisa
dihitung untuk pencapaian tujuan yang dibuat. Budaya diterjemahkan sebagai kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, artifak, dan berbagai tradisi organisasi yang telah dianut secara bersama oleh para anggota organisasi. Dalam hal ini kepemimpinan merupakan suatu hal yang melekat dengan budaya itu sendiri. Ketiga, Kepemimpinan harus membujuk orang lain untuk mengambil tindakan.Pemimpin membujuk pengikutnya melalui berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukum, restrukturisasi organisasi,
dan
mengkomunikasikan
visi.
Apabila
kita
mencermati
kekuasaan yang dimiliki seseorang di dalam organisasi, kekuasaan tersebut dapat mengarahkan perilaku dan interaksi manusia di dalam organsasi. Razik & Swanson (Sergiovani, 1995) mendefiniskan kekuasaan dalam
30
konteks kepemimpinan sebagai kekuatan untuk menentukan arah perilaku yang diharapkan dalam situasi interaksi manusia. Berdasarkan penjelasan tersebut, bahwa kepemimpinan selalu melibatkan unsur pemimpin, pengikut, dan konteks. Ketiadaan salah satu dari ketiga unsur tersebut akan menghilangkan esensi pemimpin itu sendiri. Dan pemimpin yang efektif dalam hubungannya dengan bawahan adalah pemimpin yang mampu meyakinkan mereka bahwa kepentingan pribadi dari bawahan adalah visi pemimpin, serta mampu meyakinkan bahwa
mereka mempunyai andil dalam
mengimplementasikannya. Kepemimpinan merupakan upaya untuk menggerakkan berbagai sumber daya melalui SDM untuk mencapai tujuan dan perubahan zaman akan selalu mempengaruhi sasaran-sasaran yang harus dicapai oleh organisasi, karenanya harus diketahui dengan akurat, bagaimana sebagai pemimpin pendidikan yang berada dalam lingkungan system terbuka harus memimpin. 2. Prinsip Kepemimpinan Kepala Sekolah Kepemimpinan akan ada dimanapun dan kapanpun selama organisasi berdiri. Demikian halnya dengan kepemimpinan pendidikan itu akan selalu ada selama lembaga pendidikan tetap eksis. Tentu saja model kepemimpinan di suatu lembaga akan variatif sesuai dengan konteks organiasi. Oteng Sutisna (1987:301) menyebutkan kepemimpinan merupakan fungsi yang meliputi (a) pemimpin, (b) pengikut, dan (c) situasi lain. Tiga point inilah yang paling utama yang akan membedakan antara kepemimpinan di lembaga pendidikan dengan kepemimpinan di organisasi lainnya. Kepemimpinan di lembaga pendidikan akan sangat
31
dipengaruhi oleh konteks pendidikan sebagai bagian dari karakteristik organisasi pendidikan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebagai pimpinan dalam lembaga pendidikan mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membawa dan mengelola segala sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan pendidikan. Upaya untuk memberdayakan segala sumber daya yang dimiliki oleh lembaga pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan inilah yang dinamakan dengan manajemen pendidikan, yang merupakan bagian dari administrasi pendidikan secara keseluruhan. 3. Gaya Kepemimpinan Veithzal Rivai (2004: 64), “Gaya” artinya sikap, gerakan, tingkah laku, sikap yang elok, gerak-gerik yang bagus, kekuatan kesanggupan untuk berbuat baik. Sedangkan gaya kepemimpinan adalah sekumpulan ciri yang digunakan pimpinan untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai atau dapat pula dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan oleh seorang pemimpin, Antoni (http://cokrominoto.blogetery.com/tag/kepemimpinan/) Gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari tindakan seorang pemimpin, baik yang tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahannya. Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah, keterampilan, sifat, dan sikap yang mendasari perilaku seseorang. Gaya kepemimpinan yang menunjukkan, secara langsung maupun tidak
32
langsung, tentang keyakinan seorang pimpinan terhadap kemampuan bawahannya. Artinya, gaya kepemimpinan adalah perilaku dan strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah, keterampilan, sifat, sikap, yang sering diterapkan seorang pemimpin ketika ia mencoba mempengaruhi kinerja bawahannya. Antoni
(http://cokrominoto.blogetery.com/tag/kepemimpinan/)
Sehingga gaya kepemimpinan yang paling tepat adalah suatu gaya yang dapat memaksimumkan produktivitas, kepuasan kerja, pertumbuhan, dan mudah menyesuaikan dengan segala situasi. Gaya kepemimpinan merupakan dasar dalam mengklasifikasikan tipe kepemimpinan. Gaya kepemimpinan memiliki tiga pola dasar yaitu yang mementingkan pelaksanaan tugas, yang mementingkan hubungan kerja sama, dan yang mementingkan hasil yang dapat dicapai. Pada
tahun
1930-an
ada
yang
berpendapat
bahwa
gaya
kepemimpinan sebagai suatu rangkaian kesatuan yang didasarkan pada derajat pembagian kekuasaan dan pengaruh antara pimpinan dan bawahan. Dalam
rangkaian
kepemimpinan
tersebut
dasar,
yaitu
dapat
dapat
diidentifikasi
mengatakan,
menjual,
empat
konsultasi,
gaya dan
bergabung. Mengatakan adalah gaya kepemimpinan otokratis, sedangkan bergabung adalah gaya kepemimpinan demokratis. Menurut pendapat ini gaya kepemimpinan demokratis bukanlah pendekatan kepemimpinan yang terbaik dalam semua situasi, mereka lebih menyarankan penggunaan semua gaya, mulai dari mengatakan sampai bergabung.
33
Untuk menentukan gaya yang paling efektif dalam menghadapi keadaan tertentu maka perlu mempertimbangkan kekuatan yang ada tiga unsur, yaitu diri pemimpin, bawahan, dan situasi secara menyeluruh. Pada
tahun
1960-an
berkembang
teori
kepemimpinan
yang
dinamakan “pola manajerial”. Kepemimpinan dipengaruhi oleh dua perhatian
manajerial
yang
mendasar,
yaitu
perhatian
terhadap
produksi/tugas dan perhatian terhadap manusia. Menurut teori ini ada empat gaya
dasar
kepemimpinan:
gaya
(1)
manajemen
tugas,
pemimpin
menunjukkan perhatian tinggi, terhadap produksi tetapi perhatian rendah terhadap
manusia,
(2)
gaya
manajemen
country
club,
pemimpin
memperlihatkan perhatian yang tinggi terhadap manusia tetapi perhatian rendah terhadap produksi, (3) gaya manajemen miskin, pemimpin tidak terlalu menunjukkan perhatian, baik terhadap produksi maupun manusia, (4) gaya manajemen tim, pemimpin menunjukakan perhatian tinggi baik terhadap produksi maupun terhadap manusia. Menurut teori ini gaya manajemen tim, yang pada dasarnya sama dengan gaya demokratis merupakan gaya kepemimpinan yang terbaik untuk semua orang dalam segala situasi. Tabel 2.1. Gaya Dasar Kepemimpinan Gaya Dasar Kepemimpinan Manajemen Manajemen Manajemen Manajemen
Tugas Country Club Miskin Tim
Sumber: Veithzal Rivai, (2004: 67)
Perhatian
Manajerial
Produksi
Manusia
Tinggi Rendah Rendah Tinggi
Rendah Tinggi Rendah Tinggi
34
Sementara itu menurut Contingency Theory Leadership menyatakan bahwa ada kaitan antara gaya kepemimpinan dengan situasi tertentu yang dipersyaratkan. Menurut teori ini seorang pemimpin akan efektif jika gaya kepemimpinannya sesuai dengan situasi yang terjadi. Pendekatan ini menyarankan
bahwa
diperlukan
dua
perangkat
perilaku
untuk
kepemimpinan yang efektif yaitu perilaku tugas dan perilaku hubungan. Dengan kedua perangkat ini maka kemungkinan akan melahirkan empat gaya kepemimpinan, yaitu: (1) mengarahkan, gaya kepemimpinan ini perilaku tugas tinggi, perilaku hubungan rendah, (2) menjual, perilaku tugas maupun perilaku hubungan sama tinggi, (3) ikut serta, perilaku tugas rendah sedangkan perilaku hubungan tinggi, (4) mendelegasikan, baik perilaku tugas maupun perilaku hubungan sama rendah, yang dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 2.2. Perangkat Perilaku Kepemimpinan Gaya Kepemimpinan
Perilaku Tugas
Hubungan
Menyatakan
Tinggi
Rendah
Menjual
Tinggi
Tinggi
Ikut serta
Rendah
Tinggi
Mendelegasikan
Rendah
Rendah
Sumber: Veithzal Rivai, (2004: 68) Sedangkan pakar manajemen modern berpendapat bahwa gaya kepemimpinan yang tepat adalah suatu gaya yang dapat menyatukan tiga variabel situasional, yaitu hubungan pimpinan dan anggota, struktur tugas,
35
serta
posisi
kekuasaan,
sehingga
dapat
dikatakan
bahwa
gaya
kepemimpinan yang terbaik adalah posisi kekuasaan itu moderat. Path-Goal Model sepaham dengan pendapat di atas, bahwa suksesnya seorang pemimpin tergantung pada kemampuannya dalam menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan lingkungan dan karakteristik individual bawahannya. Sedangkan pengembangan baru dari teori ini yang dapat dikatakan sebagai kalangan moderat, menggambarkan bahwa ada empat tipe atau gaya kepemimpinan: (1) mengarahkan, gaya ini sama dengan gaya otokratis, jadi bawahan mengetahui secara persis apa yang diharapkan dari mereka, (2) mendukung, pemimpin bersifat ramah terhadap bawahan, (3) berpartisipasi, pemimpin bertanya dan menggunakan saran bawahan, (4) berorientasi pada tugas, pemimpin menyusun serangkaian tujuan yang menantang untuk bawahannya. Meskipun demikian diakui bahwa dalam manajemen modern, gaya kepemimpinan yang paling tepat untuk dikembangkan adalah gaya kepemimpinan yang partisipatif atau fasilitatif, serta involvement-oriented style yang berpusat pada komitmen dan keterlibatan pegawai. Akhirnya, gaya kepemimpinan dibagi dalam dua dimensi yaitu dimensi tugas dan dimensi manusia. Dimensi tugas disebut gaya kepemimpinan otokratis, sedangkan dimensi manusia, berhubungan dengan istilah “mendukung berorientasi pada bawahan dan berujung pada tipe kepemimpinan bebas kendali, sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini:
36
Tabel 2.3. Dimensi Gaya Kepemimpinan Dimensi Kepemimpinan Tugas
Sebutan
Orientasi
Ujung
Mengarahkan
Produk
Otokratis
Manusia
Mendukung
Bawahan
Bebas kendali
Sumber: Veithzal Rivai, (2004: 69) Seorang
pemimpin
yang
efektif
harus
menggunakan
gaya
kepemimpinan yang berbeda dalam situasi yang berbeda, jadi tidak tergantung pada satu pendekatan untuk semua situasi. Pandangan ini mensyaratkan agar seorang pemimpin mampu membedakan gaya-gaya kepemimpinan, membedakan situasi, menentukan gaya yang sesuai untuk situasi tertentu serta mampu menggunakan gaya tersebut secara benar. Dengan demikian berdasarkan uraian di atas konseptual gaya kepemimpinan didefinisikan sebagai perilaku strategi, yang merupakan hasil kombinasi dari falsafah, keterampilan, sifat, sikap, yang sering diterapkan seorang pemimpin dalam berinteraksi dengan orang lain, dalam mengambil keputusan, dan dalam melaksanakan kegiatan pengendalian. 4. Kepemimpinan Pendidikan a. Pengertian Kepemimpina Pendidikan Azis Wahab (2008:132). Kepemimpinan pendidikan mengandung dua pengertian, ialah “pendidikan“ yang mengandung arti dalam lapangan apa dan di mana kepemimpinan itu berlangsung, sekaligus menjelaskan pula sifat atau ciri-ciri yang harus dimiliki oleh kepemimpinan. Sedangkan pengertian “kepemimpinan“ bersifat universal, berlaku dan terdapat
37
berbagai bidang kegiatan hidup manusia. Oleh karena itu, maka sebelum dibahas pengertian kepemimpinan yang khusus menjurus kepada bidang pendidikan, maka pengertian kepemimpinan yang bersifat universal harus dipahami terlebih dahulu. Secara umum definisi kepemimpinan dapat dirumuskan sebagai berikut, kepemimpinan berarti kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh seseorang
untuk
mempengaruhi,
mendorong,
mengajak,
menuntun,
menggerakan, mengarahkan, dan kalau perlu memaksa orang atau kelompok agar menerima pengaruh tersebut dan selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu tercapainya suatu tujuan tertentu telah ditetapkan. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang pengertian kepemimpinan akan dikemukakan beberapa definisi kepemimpinan menurut beberapa ahli, yakni: o Kepemimpinan adalah proses pengaruh kegiatan-kegiatan kelompok yang diorganisir menuju kepada penentuan dan pencapaian tujuan Ralp M. Stogdill (Azis Wahab, 2008: 132) o Kepemimpinan merupakan motor atau daya penggerak dari pada semua sumber-sumber, plat yang tersedia bagi suatu organisasi Sondang P. Siagian (1985:6) o Kepemimpinan dalam organisasi berarti penggunaan kekuasaan dan pembuatan keputusan-keputusan Robert Dubin (Azis Wahab, 2008: 132). o Kepemimpinan
adalah
individu
di
dalam
kelompok
yang
memberikan tugas pengarahan pengorganisasian yang relevan dengan kegiatan-kegiatan kelompok Fred E. Fiedler (Azis Wahab, 2008: 132).
38
o Leadership is any contribution to the establishment and attainment of group purpose Kimball Wiles (Azis Wahab, 2008: 133) o Dua definisi dari Carter V Good adalah the ability and readness to inspire, guide, direck, or manage others. And the role of interest and objectives of a group, to grow up recognizing and accepting the interpreter as spokesman. Dari definisi-definisi tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kepemimpinan itu adalah satu kualitas kegiatan-kegiatan kerja dan interaksi di dalam situasi kelompok. Kepemimpinan merupakan sumbangan dari seseorang di dalam situasi-situasi kerja sama. Kepemimpinan dan kelompok adalah merupakan dua hal yang dapat di pisahkan antara yang satu dengan yang lain. Tak ada kelompok tanpa adanya kepemimpinan, dan sebaliknya kepemimpinan hanya ada dalam situasi intern kelompok. Seseorang tidak dapat dikatakan pemimpin jika ia berada di luar kelompoknya harus berada di dalam suatu kelompok di mana ia memainkan peranan-peranan kegiatan-kegiatan kepemimpinannya Dari
pernyataan
di
atas,
dapat
diambil
kesimpulan
bahwa
kepemimpinan pendidikan adalah suatu kualitas kegiatan-kegiatan dan integrasi
di
dalam
situasi
pendidikan.
Kepemimpinan
pendidikan
merupakan kemampuan untuk menggerakan pelaksana pendidikan, sehingga tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien.
39
b.
Fungsi Kepemimpinan Pendidikan Azis Wahab (2008:133) fungsi utama pemimpin pendidikan adalah
kelompok untuk belajar memutuskan dan bekerja, antara lain: 1) Pemimpin membantu terciptanya suasana persaudaraa, kerja sama, dengan penuh rasa kebebasan. 2) Pemimpin membantu kelompok untuk mengorganisir diri yaitu ikut serta dalam memberikan rangsangan dan bantuan kepada kelompok dalam menetapkan dan menjelaskan tujuan. 3) Pemimpin membantu kelompok dalam menetapkan prosedur kerja, yaitu membantu kelompok dalam menganalisis situasi untuk kemudian menetapkan prosedur mana yang paling praktis dan efektif. 4) Pemimpin bertanggung jawab dalam mengambil keputusan bersama dengan kelompok. Pemimpin memberi kesempatan kepada kelompok untuk belajar dari pengalaman. Pemimpin mempunyai tanggung jawab untuk melatih kelompok menyadari proses dan isi pekerjaan yang dilakukan dan berani menilai hasilnya secara jujur dan objektif. 5) Pemimpin
bertanggung
jawab
dalam
mengembangkan
dan
mempertahankan eksistensi organisasi. c. Tipe-Tipe Kepemimpinan Pendidikan Azis Wahab (2008: 134). Konsep seorang pemimpin pendidikan tentang kepemimpinan dari kekuasaan yang memproyeksikan diri dalam bentuk sikap memimpin, tingkah laku, dan sifat kegiatan pemimpin yang dikembangkan dalam lembaga pendidikannya akan mempengaruhi situasi kerja semangat kerja anggota-anggota staf, sifat hubungan kemanusiaan
40
diantara sesamanya, dan akan mempengaruhi kualitas hasil kerja yang mungkin dapat dicapai oleh lembaga pendidikan tersebut. Berdasarkan konsep, sifat, sikap, dan cara-cara pemimpin tersebut melakukan dan mengembangkan kegiatan kepemimpinan dalam lingkungan kerja
yang
dipimpinnya,
maka
kepemimpinan
pendidikan
dapat
diklasifikasikan ke dalam empat tipe, yaitu: 1) Tipe otoriter Tipe kepemimpinan otoriter disebut juga tipe kepemimpinan ”authoritarian”. Dalam kepemimpinan yang otoriter, pemimpin bertindak sebagai
diktator
terhadap
anggota-anggota
kelompoknya.
Baginya
memimpin adalah menggerakan dan memaksa kelompok. Kekuasaan pemimpin yang otoriter hanya dibatasi oleh undang-undang. Penafsirannya sebagai pemimpin tadak lain adalah menunjukkan dan memberi perintah. Kewajiban bawahan atau anggota hanyalah mengikuti dan menjalankan perintah dan tidak bolah membantah atau mengajukan saran. Mereka harus patuh dan setia kepada pemimpin secara mutlak. Pemimpin yang otoriter tidak menghendaki rapat atau musyawarah. Berkumpul atau rapat hanyalah berarti untuk menyampaikan instruksiinstruksi. Setiap perbedaan di antara anggota kelompoknya diartikan sebagai kelicikan, pembangkangan, atau pelanggaran disiplin terhadap perintah atau instruksi yang telah diberikan. Dalam tindakan dan perbuatannya ia tidak dapat diganggu gugat. Inisiatif dan daya fikir anggota
41
semua dibatasi, sehingga tidak diberikan kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Pengawasan
bagi
pemimpin
yang
otoriter
hanyalah
berarti
mengontrol, apakah segala perintah yang telah diberikan dtaati atau dijalankan dengan baik oleh anggotanya. Mereka melaksanakan inspeksi: mencari kesalahan dan meneliti orang-orang yang tidak taat, dan tidak percaya kepada si pemimpin, kemudian orang-orang semacam itu diancam dengan hukuman, dipindahkan atau dipecat dari jabatan, dan sebagainya. Sebaliknya, oranag-orang yang berlaku taat dan patuh serta dapat menyenangkan
pribadinya,
menjadi
anak
emas
dan
bahkan
diberi
pemimpin
tidak
penghargaan. 2) Tipe Laissez-faire Dalam
tipe
kepemimpinan
ini
sebenarnya
memberikan kepemimpinannya, dia membiarkan bawahannya berbuat sekehendaknya. Pemimpin sama sekali tidak memberikan kontrol dan koreksi terhadap pekerjaan bawahannya. Pembagian tugas dan kerja sama diserahkan sepenuhnya kepada bawahannya tanpa petunjuk atai saran-saran dari pemimpin. Kekuasaan dan tanggung jawab bersimpang siur, berserakan secara tidak merata di antara anggota kelompok. Dengan demikian mudah terjadi kekacauan-kekacauan dan bentrokan-bentrokan. Tingkat keberhasilan organisasi atau lembaga semata-mata disebabkan karena kesadaran dan dedikasi beberapa anggota kelompok,
dan
bukan
karena
pengaruh
dari
pemimpin.
Struktur
42
organisasinya tidak jelas dan kabur, segala kegiatan tersebut dilakukan tanpa rencana dan tanpa pengawasan dari pimpinan. 3) Tipe Demokratis Pemimpin yang bertipe demokratis menafsirkan kepemimpinannya bukan sebagi diktator, melainkan sebagi pemimpin di tengah-tengah anggota kelomponya. Hubungan dengan anggota-anggota kelompok bukan sebagai majikan terhadap buruhnya, melainkan sebagai kakak terhadap saudara-saudaranya.
Pemimpin
yang
demokratis
selalu
berusaha
menstimulasi anggota-anggotanya agar bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan bersama. Dalam tindakan dan usaha-usahanya ia selalu berpangkal
pada
kepentingan
dan
kebutuhan
kelompoknya
dan
mempertimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya. Dalam melaksanakan tugasnya, ia mau menerima dan bahkan mengharapkan pendapat dan saran-saran dari kelomponya. Juga kritik-kritik yang membangun dari para anggota diterima sebagai umpan balik dan dijadikan bahan pertimbangan dalam tindakan-tindakan selanjutnya. Ia mempunyai kepercayaan pula pada anggota-anggotanya bahwa mereka mempunyai kesanggupan bekerja dengan baik dan bertanggungjawab. Pemimpin selalu berusaha memupuk rasa kekeluargaan dan persatuan. Ia selalu
berusaha
membangun
semangat
anggota
kelompok
dalam
menjalankan dan mengembangkan daya kerjanya. Disamping itu, ia juga memberikan kesempatan kepada anggota kelompoknya agar mempunyai
43
kecakapan memimpin dengan jalan mendelegasikan sebagian kekuasaan dan sebagian tanggungjawabnya. 4) Tipe pseudo-demokratis Tipe ini disebut juga demokratis semu atau manipulasi diplomatik. Pemipin yang bertipe pseudo-demokratis hanya tampaknya saja bersikap demokratis padahal sebenarnya dia bersikap otokratis. Misalnya jika ia mempunyai ide-ide, pikran, konsep-konsep yang ingin diterapkan di lembaga
yang
dipimpinnya,
maka
hal
tersebut
didiskusikan
dan
dimusyawarahkan dengan bawahannya, tetapi situasi diatur dan diciptakan sedemikian rupa sehingga pada akhirnya bawahan didesak agar menerima ide/pikiran/konsep tersebut sebagai keputusan bersama. Jadi, dengan uraian singkat di atas pemimpin menganggap dirinya sebagai pemimpin yang demokratis, tetapi sebenarnya ia adalah, pemimpin yang memanipulasi demokrasi, menganut demokrasi semu dan lebih mengarah kepada kegiatan pemimpin yang otoriter dalam bentuk yang halus, samar-samar, dan yang yakin dilaksanakan tanpa disadari bahwa tindakan itu bukan tindakan pemimpin yang demokratis. d. Syarat-syarat Kepemimpinan Pendidikan Azis W (2008:136). Pemimpin pendidikan untuk memangku jabatan yang dapat melaksanakan tugas-tugasnya dan memainkan peranannya sebagai pemimpin yang baik dan sukses, maka dituntut beberapa persyaratan jasmani, rohani, dan moralitas yang baik, bahkan persyaratan sosial ekonomis yang layak. Akan tetapi pada bagian ini yang akan
44
dikemukakan hanyalah persyaratan-persyaratan kepribadian dari seorang pemimpin yang baik. Persyaratan-persyaratan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Rendah hati dan sederhana 2) Bersifat suka menolong 3) Sabar dan memiliki kestabilan emosi 4) Percaya kepada diri sendiri 5) Jujur, adil dan dapat dipercaya 6) Keahlian dalam jabatan Seorang pemimpin juga harus mempunyai keterampilan yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin pendidikan. Keterampilan-keterampilan tersebut adalah: 1) Keterampilan dalam memimpin: pemimpin harus menguasai cara-cara kepemimpinan,
memiliki
keterampilan
memimpin
supaya
dapat
bertindak sebagi seorang, pemimpin yang baik. Untuk hal itu antara alin ia harus menguasai bagaimana caranya: menyusun rencana bersama, mengajak anggota berpartisipasi, memberi batasan kepada anggota kelompok, memupuk ”morale” kelompok, bersama-sama membuat keputusan, menghindarkan ”working on the group” dan warking for the group dan mengembangkan ”working within the group”, membagi dan menyerahkan tanggungjawab, dan sebagainya. Untuk memperoleh keterampilan di atas perlu pengalaman, dan karena itu pemimpin harus benar-benar banyak bergaul, bekerja sama, dan berkomunikasi dengan
45
orang yang dipimpinnya. Yang penting jangan hanya tahu, tetapi harus dapat melaksanakan. 2) Keterampilan dalam hubungan insani: Hubungan insani adalah hubungan antar manusia. Ada dua macam hubungan yang biasa kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari: (1) hubungan fungsional atau hubungan formal, yaitu hubungan karena tugas resmi atau pekerjaan resmi; (2) hubungan pribadi atau informal atau hubungan personal, ialah hubungan yang tidak didasarkan atau tugas resmi atau pekerjaan, tetapi lebih bersifat kekeluargaan. Seorang pemimpin harus terampil dalam melaksanakan hubungan-hubungan tersebut di atas, jangan sampai mencampuradukan antara hubungan fungsional dan hubungan personal. Yang menjadi inti dalam hubungan ini, apakah itu hubungan fungsional atau hubungan personal, adalah saling menghargai bawahan. 3) Keterampilan dalam proses kelompok: Setiap anggota kelompok mempunyai perbedaan, ada yang lebih ada yang kurang, tetapi dalam kelompok mereka harus dapat bekerja sama. Maksud utama dari proses kelompok ialah bagaimana meningkatkan partisipasi anggota-anggota kelompok setinggi-tingginya sehingga potensi yang dimiliki para anggota dapat diefektifkan secara maksimal. Inti dari proses kelompok adalah hubungan insani dan tanggung jawab bersama. Pemimpin harus jadi penengah, pendamai, moderator dan bukan manjadi hakim. 4) Keterampilan dalam administrasi personel: Administrasi personel mencakup sagala usaha untuk menggunakan kahlian dan kesanggupan
46
yang dimiliki oleh petugas-petugas sacara efektif dan efisien. Kegiatan dalam administrasi personel ialah: seleksi, pengangkatan, penempatan, penugasan, orientasi, pengawasan; bimbingan dan pengembangan serta kesejahteraan. Menemukan yang paling penting dari kegiatan di atas ialah kegiatan seleksi dalam memilih orang yang paling sesuai dengan tugas dan pekerjaannya yang berpedoman pada ”the right man in the right place”. 5) Keterampilan dalam menilai: Penilaian atau evaluasi ialah suatu usaha untuk mengetahui sampai di mana suatu kegiatan sudah dicapai. Yang dinilai biasanya ialah; hasil kerja, cara kerja dan orang yang mengerjakannya.
Adapun
teknik
dan
prosedur
evaluasi
ialah:
menentukan tujuan penilaian, menetapkan norma/ukuran yang akan dinilai. Mengumpulkan data-data yang dapat diolah menurut kriteria yang ditentukan, pengolahan data, dan menyimpulkan hasil penilaian. Melalui evaluasi, guru dapat dibantu dalam menilai pekerjaannya sendiri, mengetahui kekurangan dan kelebihannya. Selain guru, personel lainnya perlu dievaluasi seperti petugas (karyawan) tata usaha, petugas BK, dan sebagainya, untuk mengetahui kemajuan atau kekurangannya. e. Sistem Kepemimpinan Orang Papua J.R. Mansoben (Koentjaraningrat, 1994: 384). Dalam kebinekaan kebudayaan-kebudayaan di Irian Jaya terdapat pula kebinekaan dalam organisasi sosial, dan khususnya dalam system-sistem kepemimpinanya. Dari karangankarangan etnografi mengenai kebudayaan suka-suku bangsa di Irian Jaya dapat
47
disusun suatu tipologi mengenai system kepemimpinan tradisional yang dapat dibagi ke dalam 4 tipe, yairu (1) tipe pria berwibawa, (2) tipe raja, (3) tipe kepala klen, dan (4) tipe campuran antara ketiga tipe tersebut di atas. Untuk menyusun suatu pengarang telah meminjam model tipologi yang dikembangkan oleh MD. Sahlins dalam karangannya Poor Man, Rich Man, Big Man, Chief (1963). Dalam karangan itu Sahlins mengajukan suatu model analisis politik tradisional di daerah kepulauan Oseania, yang berbentuk suatu kontinuum
dengan
dua
kutub.
Pada
satu
kutub
terdapat
sistem
kepemimpinan yang disebut big man, yang dalam bahasa Indonesia sebaiknya kita terjemahkan dengan pria berwibawa. Pada ujung kutub yang lain terdapat sistem kepemimpinan yang disebut chief atau "raja". Menurut Sahlins, perbedaan pokok dari kedua sistem kepemimpinan tersebut terletak pada cara memperoleh kekuasaan. Jika pada sistem kepemimpinan pria berwibawa posisi atau kedudukan pemimpin diperoleh melalui achievement, atau upaya pencapaian, maka kedudukan pemimpin pada sistem kepemimpinan raja diperoleh melalui ascribement atau pewarisan. Selanjutnya, dalam karangan yang sama. Sahlins berpendapat bahwa penduduk daerah kebudayaan Melanesia hanya mengenai satu saja tipe kepemimpinan pria berwibawa. Sebaliknya, penduduk daerah Polinesia hanya mengenal tipe kepemimpinan raja. Pernyataan Sahlins ini tentu saja tidak benar, karena dari hasil-hasil studi para ahli antropologi lain di daerah Oseania, terbukti di daerah kebudayaan Melanesia kepemimpinan raja (seperti pada orang Grokolo, orang Mekeo, orang Buin, dan orang Trobriand di Papua
48
Niugini) ada juga; sementara di Irian Jaya tipe ini terdapat pula di antara penduduk Irian Jaya bagian barat, yaitu orang Kaimana, orang Fakfak, dan penduduk Kepulauan Raja Ampat. Apabila kita menerapkan model kontinuum yang diajukan oleh Sahlins terhadap data etnografi tentang penduduk Irian Jaya, khususnya data tentang sistem kepemimpinan tradisionalnya, maka penduduk Irian Jaya dapat kita golongkan juga ke dalam 4 tipe masyarakat seperti yang tersebut di atas. Di bawah ini akan dibuat suatu deskripsi umum tentang ke-4 tipe kepemimpinan tersebut, dan masyarakat pendukungnya. 1) Kepemimpinan Pria Berwibawa Ciri umum dari tipe masyarakat dengan sistem kepemimpinan pria berwibawa seperti telah disebutkan di atas adalah kedudukan pemimpin yang diperoleh melalui upaya pencapaian. Sumber kekuasaan dalam tipe kepemimpinan ini adalah kemampuan pribadi seseorang yang terwujud nyata dalam keberhasilan ekonomi (kaya), kepandaian berdiplomasi dan berpidato; keberanian memimpin perang, memiliki tubuh yang besar dan tegap, serta memiliki sifat murah hati. Ciri lain dari tipe kepemimpinan ini ialah bahwa seluruh kekuasaan dijalankan oleh pemimpin sejati itu secara otonomi tunggal. contoh masyarakat yang mendukung tipe ini di Irian Jaya adalah orang Muyu, orang Ngalum, orang Dani, orang Asmat, orang Mek, dan orang Maibrat. 2) Sistem Kepemimpinan Raja
49
Tipe masyarakat yang kedua, yaitu yang mendukung sistem kepemimpinan Raja bercirikan pewarisan kedudukan pemimpin dari orangtua kepada anak pria yang sulung, akan tetapi bila anak itu tidak mampu mewarisinya karena ia tidak memenuhi syarat-syarat yang dituntut untuk jabatan tersebut, maka salah seorang adiknya atau seorang saudara ayahnya yang memenuhi syarat-syarat kepemimpinannya dapat memperoleh kedudukan tersebut. Dengan demikian hak kekuasaan selalu dipertahankan dan diwariskan di dalam rangka kelompok kekerabatan besar, seperti klen, melalui sistem pewarisan. Ciri lain yang sangat penting dalam sistem kepemimpinan adalah adanya birokrasi. Bentuk dari birokrasi ini adalah seperti yang oleh Max Weber disebut birokrasi tradisional, yang berperan sebagai mesin politik, yakni lembaga yang menjalankan pemerintahan. Di dalamnya terdapat pembagian tugas yang jelas kepada para pembantu yang berperan sebagai mempunyai
tugas
tertentu,
seperti
mengurus
pegawai. Tiap pegawai masalah-masalah
yang
berhubungan dengan upacara ritual, yang menangani masalah perekonomian (memungut pajak dan upeti), atau yang mengurs masalah keamanan. Jabatan-jabatan itu biasanya diwariskan juga di dalam klen, sama seperti halnya jabatan pemimpin pucuknya. Asas keabsahan disini adalah keturunan, yang diperkuat oleh mitologi dan religi. Masyarakat pendukung tipe kepemimpinan raja di Irian Jaya terdapat di Kepulauan Raja Ampat, daerah Semenanjung Onim (Fakfak), dan di daerah Kaimana. Kalau kita perhatikan letak daerah-daerah tempat terdapat tipe kepemimpinan raja, maka daerah-daerah itu berada di sebelah barat dan barat-daya
50
Irian Jaya. Dengan demikian daerah-daerah itu merupakan daerah lintas budaya antara kebudayaaan Maluku di satu pihak, dan kebudayaan-kebudayaan Irian di pihak lain. Penduduk di daerah lintas budaya tersebut dalam sejarah telah lama. mempunyai hubungan perdagangan dengan penduduk di Kepulauan Maluku, yang terletak
di
sebelah
baratnya.
Melalui
hubungan
itu
terjadilah
proses
pengambilalihan unsur-unsur kebudayaan tertentu, termasuk unsur sistem kepemimpinan oleh penduduk daerah lintas budaya itu dari penduduk Kepulauan Maluku. Unsur-unsur kebudayaan yang diambil alih itu kemudian diolah sesuai dengan kebudayaan setempat, dan dibudayakan menjadi pranata sendiri, seperti yang diuraikan dalam karangan-karangan etnografi Pouwer, Lochem, Cator (Koentjaraningrat, 1994: 386). Itulah sebabnya kerajaan-kerajaan di Irian Jaya mirip benar dengan bentuk serta susunan dari beberapa kesultanan di Kepulauan
Maluku,
terutama
di
Ternate
dan
Tidore,
Fraassen
(Koentjaraningrat, 1994: 387). 3) Tipe Kepemimpinan Kepala Klen Tipe masyarakat yang ketiga, yaitu masyarakat yang menganut sistem kepemimpinan kepala klen, terdapat pada penduduk yang diam di Teluk Jayapura (yaitu orang Tobati, orang Enggros, orang Kayabatu, orang Nafri), penduduk danau Sentani, dan penduduk daerah Genyem. Sistem kepemimpinan Kepala Klen mirip dengan sistem kepemimpinan raja dalam hal prinsip pewarisan kekuasaan. Walaupun demikian, kedua sistem itu tidak dapat digolongkan ke dalam tipe yang sama, karena tipe pemimpin raja lebih mengacu kepada bentuk
51
kerajaan, dengan ruang lingkup kekuasaan yang lebih luas sifatnya, yang meliputi wilayah kekuasaan yang lebih luas, serta dengan jumlah klen yang lebih besar. Seorang kepala klen hanya memiliki kekuasaan yang terbatas pada satu atau beberapa orang cabang klen saja, dan wilayah kekuasaan biasanya terbatas pada wilayah yang ditempati cabang-cabang klen di dalam klennya sendiri Chowing (1979: 66,67). Untuk memperlihatkan perbedaan tersebut di bawah ini diberikan sebuah contoh. Di dalam bentuk kepemimpinan raja, seperti path kerajaan Sailolof, Raja Ampat, kekuasaan Raja Sailolof meliputi suatu wilayah yang terdiri dari seluruh bagian selatan Pulau Salawati, sebagian Pulau Batanta, dan sebagian pantai Irian antara Selat Sele sampai daerah Kalabra. Di dalam wilayah itu terdapat kampung-kampung yang terdiri dari berbagai klen yang berlainan, dengan bahasa
yang
berlainan
pula
(Mansoben
1982).
Sebaliknya,
dalam
kepemimpinan kepala klen, seperti kepala kampung Tobati di Jayapura, kekuasaannya hanya terbatas di kampung Tobati sendiri, yang penduduknya terdiri dari beberapa cabang klen, yang semua berasal dari klen yang sama Galls (Koentjaraningrat, 1994: 387). Sistem pewarisan kekuasaan pada tipe kepemimpinan raja maupun kepala klen bersifat kelompok kekerabatan menurut hirarki, yang ada kalanya disebut juga conical clan. Ciri utama dari sifat demikian ialah cabangcabang klen dan individu dalam masyarakat ditempatkan menurut tata urut senioritas keturunan dan kelahiran. Hal ini berarti bahwa kedudukan pemimpin selalu berada pada cabang klen yang paling senior (yaitu cabang klen
52
nenek moyang pendiri), dengan jabatan yang dipegang oleh anak sulung dari pemimpin sebelumnya. Pada penduduk Tobati kedudukan kepala klen yang memakai gelar "Harsori", misalnya, selalu dipegang oleh seorang anggota cabang klen Hamadi. Berbeda dengan para pemimpin tipe raja, yang memakai gelar "raja" atau"Kapitan Laut", seperti dibagian barat dan barat-daya Irian Jaya, yang berfokus pada perdagangan, maka para pemimpin tipe kepala klen di sebelah timur-laut Irian Jaya menggunakan gelar-gelar seperti ”Harsori”, "Ondoforo", dan "Hemang", dengan orientasi kepada upacara keagamaan Galis & Lamster: (Koentjaraningrat, 1994: 387). 4) Tipe Kepemimpinan Campuran Tipe yang keempat dalam sistem kepemimpinan tradisional di Irian Jaya adalah tipe yang bersifat campuran antara tipe kepemimpinan pria berwibawa, tipe kepemimpinan raja, dan tipe kepemimpinan kepala klen. Pada tipe kepemimpinan yang keempat ini terdapat individu-individu yang tampil sebagai pemimpin atas dasar kemampuannya sendiri, atau atas dasar keturunan. Masyarakat yang memiliki tipe kepemimpinan campuran antara tipe raja, kepala klen, dan pria berwibawa itu terdapat di pantai Teluk Cendrawasih dan pantai utara Kepala Burung, seperti pada orang Waropen, Biak, dan Meyah. Suatu contoh untuk melukiskan tipe kepemimpinan campuran kami ambit dari masyarakat Biak. Dalam masyarakat Biak ada dua tipe kepemimpinan yang dapat dibedakan berdasarkan cara memperoleh kekuasaan. Tipe pertama adalah
53
tipe yang mirip tipe raja atau kepala klen. Kedudukan pemimpin di sini biasanya diwariskan kepada anak sulung, dan selalu berada dalam cabang klen atau klen senior keturunan nenek-moyang pendiri kampung. Seorang pemimpin di sini disebut "Mansem Mnu" , atau ”Tuan Tanah".Ia bertindak sebagai pemutus kata akhir dalam hal-hal yang bersifat intern, yaitu masalah-masalah yang menyangkut kesejahteraan serta kestabilan sosial warga kampung, maupun yang bersifat ekstern, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan pihak luar. Perbedaan
antara
tipe
kepemimpinan
Mansern
mnu
dengan
tipe
kepemimpinan raja atau kepala klen yang terdapat pada masyarakat lain di Irian Jaya, ialah bahwa di Biak tidak dikenal sistem birokrasi. Dengan demikian diferensiasi tugas kepemimpinan kepada pegawai-pegawai yang kedudukannya juga diwariskan dalam klen atau cabang klen, tidak ada di Biak. Di samping bentuk kepemimpinan yang berdasarkan warisan, di daerah Kepulauan Biak-Numfor ada bentuk kepemimpinan lain yang berdasarkan upaya pencapaian. Para pemimpinnya adalah orang-orang yang berani dan berhasil memimpin perang, memiliki kecakapan untuk mengatur dan memimpin perdagangan. Orang-orang yang tampil sebagai pemimpin politik karena berhasil memimpin perang (Kamma 1976) adalah orang-orang yang memiliki perpaduan sifat-sifat agresif dan berani, pandai mengatur strategi perang, serta memiliki kemampuan untuk menarik banyak pengikut. Para pemimpin perang ini disebut Mambri, atau "Panglima Perang". Berbeda dengan mansern mnu yang
54
kekuasaannya hanya terbatas di dalam kampungnya sendiri, kekuasaan seorang mambri diakui oleh warga kampung-kampung lain pula. Bentuk kepemimpinan politik lain yang juga dikenal oleh orang Biak yang berdasarkan pencapaian, erat berkaitan dengan sistem perdagangan, yang di daerah ini dikenal sebagai sistem manibob (teman). Dalam perdagangan istilah itu berarti "teman dagang". Dalam perdagangan tradisional orang Biak ada individu-individu yang mempunyai teman atau partner dagang di luar kampungnya sendiri, baik pulau dikawasan Kepulauan Biak-Numfor maupun di luar daerah itu, seperti di Pulau Yapen, di daerah pantai Waropen, pantai Wandamen, Kepala Burung, bahkan di Kepulauan Raja Ampat. Melalui manibob, terjadilah perdagangan yang melibatkan penduduk dari satu kampung dengan kampung lain. Dengan demikian ia bertindak sebagai perantara dalam memimpin ekspedisi-ekspedisi perdagangan, sehingga ia dapat tampil sebagai pemimpin dalam masyarakatnya. Karena itu seorang manibob dapat memanipulasikan peranannya sebagai perantara dalam perdagangan untuk mencapai kedudukan sebagai pemimpin politik. Kecuali kedua macam pemimpin yang bersifat pencapaian itu, di daerah kebudayaan Biak-Numfor terdapat pemimpin-pemimpin yang disebut konor, yaitu orang-orang yang menggunakan mitologi tentang koreri (kehidupan abadi) sebagai alat untuk mengabsahkan kedudukan dan kekuasaannya. Pada umumnya mereka menamakan diri konor, atau utusan Mansern Manggundi (tokoh nenek-moyang dalam mite koreri), yang datang untuk
mempersiapkan
55
kedatangan kembali Mansern Manggundi dalam masyarakat manusia untuk membawa kekayaan, kesejahteraan, dan kehidupan abadi kepada orang Biak. Penampilan seorang sebagai konor biasanya diawali dengan suatu pengalaman yang luar biasa, misalnya sembuh dari sakit tanpa pengobatan atau bermimpi bertemu dengan Mansern Manggundi. Pengalaman yang luar biasa itu kemudian disusul dengan kemampuannya menyembuhkan orang sakit, yang meyakinkan masyarakat bahwa ia benar-benar utusan Mansern Manggundi. Keyakinan itu akan memudahkannya untuk membangkitkan semangat orang banyak dan mengerahkan massa untuk melaksanakan keinginannya yang merupakan pesan Mansern Manggundi. Pelaksanaan kemauan sang konor seringkali disertai sanksi-sanksi berat terhadap para pembangkang. Pengerahan massa yang efektif dengan sanksi-sanksi berat menyebabkan bahwa kekuasaannya yang semula hanya bersifat gerakan sosial yang bertujuan memurnikan nilai-nilai budaya setempat untuk mempercepat kedatangan Mansern Manggundi, kemudian berubah menjadi gerakan sosial yang anti pengaruh asing. Gerakan-gerakan sosial seperti itu, yang dalam ilmu sosiologi dan antropologi sosial disebut gerakan mesianik, terdapat di berbagai tempat di dunia, antara lain di daerah kebudayaan Melanesia. Penjelasan-penjelasan di atas menunjukkan bahwa masyarakat yang mengenal tipe kepemimpinan campuran memiliki dua tipe pemimpin, yaitu: (1) individu-individu yang berperan sebagai pemimpin apabila masyarakat berada dalam kondisi yang relatif aman dan tenteram, yaitu para pemimpin yang disebut
56
mansern mnu, yang memperoleh kekuasaan melalui warisan; (2) tipe pemimpinpemimpin yang tampil sebagai pemimpin berdlasarkan kemampuan pribadi. Mereka yang tersebut terakhir biasanya tampil apabila masyarakat berada dalam suatu kondisi tertentu yang menuntut penampilan mereka, seperti pada saat terjadi perang, ketika muncul mambri, yakni orang-orang yang berani memimpin perang; pada waktu terjadi krisis ekonomi, dengan munculnya pemimpin perdagangan, yaitu ,manibob; dan pada waktu terjadi dekadensi nilai-nilai budaya, dengan tampilnya konor. Keterangan di atas menunjukkan bahwa kebinekaan kebudayaan di Irian Jaya tidak hanya terwujud dalam kebinekaan bahasa, mata pencaharian hidup, kesenian, dan upacara-upacara religi saja, melainkan juga dalam unsur organisasi sosial.
C. KONSEP PENDIDIKAN 1. Definisi Maha Luas a. Pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Pendidikan
adalah
segala
situasi
hidup
yang
mempengaruhi
pertumbuhan individu. b. Karakteristik khusus 1) Masa pendidikan. Pendidikan berlangsung seumur hidup dalam setiap saat selama ada pengaruh lingkungan.
57
2) Lingkungan
Pendidikan.
Pendidikan
berlangsung
dalam
segala
lingkungan hidup, baik yang khusus diciptakan untuk kepentingan pendidikan maupun yang ada dengan sendirinya. 3) Bentuk Kegiatan. Terentang dari bentuk-bentuk yang misterius atau tak disengaja sampai dengan terprogram. Pendidikan berbentuk segala macam pengalaman belajar dalam hidup. Pendidikan berlangsung dalam beraneka ragam bentuk, pola, dan lembaga. Pendidikan dapat terjadi sembarang, kapan dan dimana pun dalam hidup. Pendidikan lebih berorientasi pada peserta didik. 4) Tujuan. Tujuan pendidikan terkandung dalam setiap pengalaman belajar, tidak ditentukan dari luar. Tujuan pendidikan adalah pertumbuhan. Tujuan pendidikan adalah tidak terbatas. Tujuan pendidikan adalah sama dengan tujuan hidup. c. Pendukung. Kaum Humanis Romantik. 1) Kaum Humanis Romantik (seperti: John Holt, William Glasser, Jonathan Kozol, Charles E. Silberman, Herbert Kohl, Neil Postman, Charles Weingartner, George Leonard, Carl Roger, Ivan Illich, dan sebagainya), dan kaum Pragmatik (seperti: John Dewey, William Heard Kilpatrick, dan sebagainya) cenderung mendefenisikan pendidikan dalam arti maha luas, dan mengecam praktek pendidikan di sekolah yang diselenggarakan dalam zamannya. Pada umumnya mereka mengecam praktek pendidikan di sekolah karena di sekolah berlangsung dehumanisasi, yaitu proses pengikisan martabat kemanusiaan. Sekolah terasing dari kehidupan nyata. Pola
58
hubungan guru dengan murid dalam otoriter, sehingga kurang berlangsung perkembangan individu secara optimal. 2) Kecaman yang radikal datang dari Ivan Illich, yang dituangkan dalam Deschooling Society (Masyarakat Tanpa Sekolah). Ivan Illich mempunyai gagasan yang terang-terangan mengutuk pendidikan yang dilembagakan dalam bentuk sekolah. Dalam kecamannya itu, Ivan Illich yakin bahwa sekolah-sekolah dengan sendirinya menjadi tidak memadai, dan hanya mendorong kepada mengasingkan siswa dari hidup. Selanjutnya dia yakin bahwa tujuan peniadaan sekolah dalam masyarakat akan menjamin siswa dapat memperoleh kebebasan dalam belajar, tanpa harus memperjuangkan untuk memperolehnya
dari masyarakat. Setiap orang
harus dijamin kepribadiannya dalam belajar, dengan harapan dia akan menerima kewajiban membantu orang lain untuk tumbuh sesuai dengan kepribadiannya. Ivan Illich berpendapat bahwa suatu sistem pendidikan yang baik harus mempunyai tiga tujuan, yaitu: (1) memberi kesempatan kepada semua orang untuk bebas dan mudah memperoleh sumber belajar pada setiap saat; (2) memungkinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dapat dengan mudah melakukannya, demikian pula bagi yang ingin mendapatkannya; dan (3) menjamin tersedianya masukan umum yang berkenaan dengan pendidikan. Akhirnya dia yakin, dan tidak lebih dari empat-mungkin bahkan tiga-jalur belajar yang berbeda, yang berisi sumber yang diperlukan untuk belajar yang sebenarnya. Anak tumbuh dalam sebuah dunia benda, dikelilingi oleh
59
orang-orang yang tampil sebagai contoh-contoh keterampilan, dan nilainilai. Anak menghadapi kawan-kawan yang menantangnya untuk bernalar, bersaing, bekerja sama, dan memperoleh pengertian; dan apabila anak beruntung, dia tampil untuk diperhadapkan dengan anak yang lebih tua yang berpengalaman, yang mampu membimbing. Benda-benda, contoh-contoh, kawan-kawan sebaya, dan orang-orang yang lebih tua adalah empat macam sumber belajar, yang masing-masing memerlukan cara pengelolaan yang berbeda-beda, agar dapat menjamin bahwa setiap orang mempunyai keleluasaan memanfaatkannya. Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang menyelenggarakan pengajaran berdasarkan suatu kurikulum wajib, yang harus disajikan guru agar anak usia tertentu menguasainya, tidak diperlukan karena akan mematikan kebebasan anak dalam belajar. Sekolah dengan pengaturan yang sangat ketat dalam waktu, tempat, bentuk kegiatan, dan tujuan belajar bukan merupakan pendidikan yang baik, karena mengekang kebebasan. 2. Definisi Sempit a. Pendidikan
adalah
sekolah.
Pendidikan
adalah
pengajaran
yang
diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak
dan
remaja
yang
diserahkan
kepadanya
agar
mempunyai
kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubunganhubungan dan tugas-tugas sosial mereka.
60
b. Karakteristik Khusus 1) Masa pendidikan. Pendidikan berlangsung dalam waktu terbatas, yaitu masa anak dan remaja. 2) Lingkungan Pendidikan. Pendidikan berlangsung dalam lingkungan pendidikan
yang
diciptakan
khusus
untuk
menyelenggarakan
pendidikan. Secara teknis pendidikan berlangsung di kelas. 3) Bentuk Kegiatan. Isi pendidikan tersusun secara terprogram dalam bentuk kurikulum. Kegiatan pendidikan lebih berorientasi pada kegiatan guru sehingga guru mempunyai peranan yang sentral dan menentukan. Kegiatan pendidkan terjadwal, tertentu waktu dan tempatnya. 4) Tujuan. Tujuan pendidikan ditentukan oleh pihak luar. Tujuan pendidikan
terbatas
pada
pengembangan
kemampuan-kemampuan
tertentu. Tujuan pendidikan adalah mempersiapkan hidup. c. Pendukung. Kaum Behavioris. 1) Kaum Behavioris (misalnya: B.Watson, B.F. Skinner, Lester Frank Ward, dan sebagainya) cenderung mendefinisikan pendidikan dalam arti sempit. Sekurang-kurangnya mereka mempunyai pandangan yang optimis terhadap peranan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan, dan pesimis atau meragukan peranan pendidikan dalam bentuk-bentuk pengalaman belajar dalam hidup yang tidak dilembagakan. Mereka mempunyai keyakinan yang sangat kuat tentang masa depan rakayasa pengubahan tingkah laku. Sekolah hendaknya dirancang seperti halnya dengan para insinyur yang bekerja merancang sebuah mesin yang canggih. Sekolah
61
sebagai lembaga berlangsungnya proses rekayasa perubahan tingkah laku didasarkan pada kurikulum yang dirancang secara ilmiah dan bentuk-bentuk kegiatannya
harus
diorganisasikan
dengan
penuh
perhatian
dan
dilaksanakan dengan penuh disiplin. Selanjutnya ada tiga prinsip utama yang
mendasari
sekolah
dalam
menyelenggarakan
proses
rekayasa
pengubahan tingkah laku. Ketiga prinsip tersebut yaitu: (1) pembentukan pola tingkah laku seseorang sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan; (2) pendidikan di sekolah merupakan rekayasa perubahan pola tingkah laku yang terprogram secara cermat; dan (3) masa depan sekolah sebagai lembaga perekayasa pola tingkah laku yang terprogram adalah cerah karena mempunyai peranan yang besar dalam mencapai kemajuan. Serng pula dikemukakan bahwa sekolah adalah agen dari instrumen vital dalam pembangunan untuk mencapai kemajuan. Optimisme kaum Behavioris tentang sekolah antara lain dikemukakan oleh John B. Watson, seorang peletak dasar ajaran Behaviorisme modern, sebagai berikut: ”Berilah saya selusin anak yang sehat, kondisi badannya baik, dan dunia diri pribadiku yang terarah kepada upaya mendidik mereka dan saya akan jamin untuk memilih anak yang mana pun dan melatihnya menjadi seorang specialis apa pun yang saya akan pilih, apakah dokter, ahli hukum, seniman, saudagar, dan bahkan menjadi pengemis dan pencuri, tak perduli bakatnya, minatnya, kecenderungannya, kemampuannya, pekerjaan dan keturunan rasnya” Edward J.Powell (Redjah M, 2002: 9). Pernyataan ini mengandung makna bahwa pengaruh lingkungan dalam bentuk latihan atau ajaran terhadap pembentukan kemampuankemampuan
seseorang
sangat
menentukan
dan
dengan
demikian
mengajarkan paham determinisme lingkungan. B.F. Skinner, salah seorang
62
pakar Behaviorisme terkemuka, meletakan dasar pada determinisme lingkungan dalam teori pendidikan. Skinner dalam Beyond Freedom and Dignity
antara
lain
menyatakan:
”Pengaruh-pengaruh
lingkungan
membentuk kita seperti apa yang ada sekarang ini”. Dia juga menyatakan bahwa kta dikontrol oleh lingkungan kita, dan sebagian besar lingkungan membentuk kita seperti apa yang dapat kita capai sekarang ini. Meskipun demikian, kita selalu dapat mempengaruhi kita. Kita sekaligus dikontrol dan pengontrol. Pada akhirnya kita mencapai keadaan yang lebih baik apabila kita memahami hal tersebut, dan perilaku kita aktif mengikutinya. Hal ini mengandung arti perlunya teknologi pengubahan tingkah laku manusia. Oleh karena itu penggunaan prinsip-prinsip rekayasa tingkah laku dalam pendidikan harus diupayakan secara ilmiah, seperti yang dilakukan dalam rekayasa sebuah mesin yang canggih. Dengan demikian pengajaran di sekolah haruslah dikelola secara terprogram berdasarkan prinsip-prinsip dan prosedur ilmiah. Sehubungan dengan hal itu, guru mempunyai peranan yang menentukan di dalam mengarahkan proses belajar, tetapi berperanan pula di dalam merancang dan mengontrol proses belajar. Apabilah guru dapat melaksanakannya
secara
efektif
dan
efisien
di
dalam
merekayasa
pengajaran di sekolah, maka dengan sendirinya akan berlangsung proses belajar yang efektif dan efisien sehingga pada akhirnya terwujudlah pola tingkah laku yang diharapkan. Apabilah sekolah mampu berfungsi sebagai lembaga rekayasa pengubahan pola tingkah laku yang ampuh, maka sekolah mempunyai kedudukan dan peranan yang menentukan di dalam memacu
63
kemajuan masyarakat modern. Dengan demikian masa depan keberadaan sekolah dalam masyarakat modern menjadi kuat karena akan mampu mempersiapkan tenaga-tenaga yang diperlukan dalam mempertahankan dan mengembangkan masyarakat modern. 2) Optimisme kaum Behaviorisme terhadap keberadaan dan peranan sekolah dalam masyarakat modern tidak terlepas dari optimisme yang kuat terhadap ilmu dan teknologi di dalam membangun masyarakat modern. Mereka adalah penganut paham scientisme yang mempunyai kepercayaan kuat terhadap keampuhan ilmu dan teknologi bagi pembangunan kehidupan manusia yang lebih baik. Ilmu dan teknologi sebagai lingkungan yang diciptakan dan kontrol oleh manusia merupakan kekuatan dalam masyarakat yang mempunyai pengaruh besar dalam membangun dunia modern. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai kaitan yang erat dengan ilmu dan teknologi, baik dalam struktur maupun misinya. Sekolal meruakan lingkungan buatan manusia yang diciptakan dan dikontrol dalam bentuk rekayasa pengubahan pola tingkahlaku berdasarkan prinsip-prinsip kerja ilmiah dan teknologi, dengan misi melaksanakan dan mengembangkan semangat dan kosep-konsep ilmu dan teknologi dalam diri individu sehingga menghasilkan tenaga-tenaga berkompetensi atau berkemampuan kerja produktif. Dengan demikian sekolah sebagai lingkungan buatan manusia yang diperlukan di dalam membangun masyarakat, menuju kehidupan yang lebih baik. Optimisme terhadap peranan sekolah dalam
64
pendidikan dinyatakan pula oleh Lester Frank Ward (Redjah M, 2002: 10) yang antara lain menyatakan: ”Setiap anak dilahirkan di dunia, hendaknya dipandang oleh masyarakat ibarat bahan mentah yang harus diolah dalam pabrik. Alam tidak dapat diandalkan untuk mengembangkan kemampuan individu. Pengembangan kemampuan individu harus direncanakan dan sebagian besar rencana tersebut harus dilaksanakan dalam suatu sekolah yang baik.” 3. Definisi Alternatif atau Luas Terbatas a. Pendidikan
adalah
usaha
sadar
yang
dilakukan
oleh
keluarga,
masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang. Pendidikan adalah pengalaman-pengalaman belajar terprogram dalam bentuk pendidikan formal, non-formal, dan informal di sekolah, dan luar sekolah, yang berlangsung seumur hidup yang bertujuan optimalisasi pertimbangan kemampuan-kemampuan individu, agar dikemudian hari dapat memainkan peranan hidup secara tepat. b. Karakteristik khusus 1) Masa Pendidikan. Pendidikan berlangsung seumur hidup, yang kegiatankegiatannya tidak berlangsung sembarang, tetapi pada saat-saat tertentu. 2) Lingkungan Pendidikan. Pendidikan belangsung dalam sebagian dari lingkungan hidup. Pendidikan tidak berlangsung dalam lingkungan hidup yang tergelar dengan sendirinya. Lingkungan alam sekitar yang di alami
65
tidak merupakan lingkungan pendidikan. Pendidikan hanya berlangsung dalam lingkungan hidup kultural. 3) Bentuk Kegiatan. Pendidikan dapat berbentuk pendidikan formal, pendidikan informal, dan pendidikan non-formal. Kegiatan pendidikan dapat berbentuk bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan. Pendidikan selalu merupakan usaha sadar yang tercakup di dalamnya usaha pengelolaan pendidikan, baik dalam bentuk pengelolaan pendidikan nasional maupun satuan
pendidikan,
Pendidikan
serta
berorientasi
usaha kepada
melaksanakan komunikasi
kegiatan
pendidikan.
pendidik-peserta
didik.
Kegiatan pendidikan berbentuk kegiatan belajar mengajar. c. Tujuan.
Tujuan
pendidikan
merupakan
perpaduan
tujuan-tujuan
pendidikan yang bersifat pengembangan kemampuan-kemampuan pribadi secara optimal dengan tujuan-tujuan sosial yang bersifat manusia seutuhnya yang dapat memainkan peranannya sebagai warga dalam berbagai lingkungan persekutuan hidup dan kelompok sosial. Tujuan pendidikan mencakup tujuan-tujuan setiap jenis kegiatan pendidikan (bimbingan, pengajaran, dan latihan), tujuan-tujuan satuan pendidikan sekolah dan luar sekolah, dan tujuan-tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan adalah sebagaian dari tujuan hidup yang bersifat menunjang terhadap pencapaian tujuan-tujuan hidup. d.
Pendukung. Kaum Humanis Realistik dan Relisme Kritis.
1) Kaum Humanis Realistik (misalnya: Edgar Faure, Felipe Herrera, Federick Cahmpion Ward, dan sebagainya) dan juga kaum Realisme Kritis
66
(Stella van Petten Henderson, Immanuel Kant, Pestalozzi, dan sebagainya) cenderung menjawab pertanyaan apakah pendidikan dalam bentuk definisi alternatif. Mereka cenderung mengambil jalan tengah dari tarik-menarik dari definisi pendidikan yang maha luas dengan yang sempit. Edgar Faure sebagai
ketua
sebuah
Komisi
Internasional
untuk
Pengembangan
Pendidikan dari Unesco merumuskan makna pendidikan dalam kerangka gagasan pendidikan seumur hidup (lifelong education), dan masyarakat yang terus belajar (learning society). Dengan mempergunakan pendekatan dialektis, Edgar Faure merumuskan makna pendidikan sebagai usaha memaksimalkan (maksimalisasi) peranan pengajaran di sekolah dan pendidikan di luar sekolah. Pendidikan adalah menjadikan pengajaran di sekolah makin bersifat kegiatan belajar, dan pendidikan di luar sekolah makin terprogram dan produktif, untuk menuju tercapainya manusia seutuhnya
dengan
segala
kekayaan
kepribadiannya,
cara-cara
mengutarakannya yang kompleks dan dalam segala kewajibannya sebagai perorangan, anggota keluarga dan anggota masyarakat, sebagai penduduk dan penghasil atau penemu teknik-teknik dan pemimpin yang kreatif, serta masyarakat yang terus belajar, yaitu masyarakat yang anggotanya tidak lagi asyik mencari pengetahuan sekali saja untuk selama-lamanya sepanjang hidupnya, tetapi harus belajar membangun suatu sosok pengetahuan untuk seumur hidup yang senantiasa berkembang yaitu belajar untuk hidup. Gambaran tentang pemaduan dan maksimalisasi peranan pendidikan sekolah dan luar sekolah dalam menuju tercapainya manusia seutuhnya dan
67
masyarakat yang terus belajar, antara lain dapat kita ikuti kutipan dari laporan Komisi Internasional untuk Pengembangan Pendidikan, sebagai berikut: “Revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi, arus informasi yang membanjiri manusia, adanya jaringan-jaringan media komunikasi ukuran raksasa, bersama-sama dengan banyak faktor ekonomi dan sosial lainnya, telah banyak mengubah sistem pendidikan tradisional, mengemukakan kelemahan-kelemahan bentuk pengajaran tertentu dan kekuatan-kekuatan sistem lainnya, memperluas ruang lingkup kegiatan belajar sendiri dan mempertinggi nilai sikap aktif dan sadar dalam mencari ilmu. Prestise pengajaran yang berdasarkan refleksi terus meningkat. Masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan dan pengajaran murid dari segala umur, termasuk orang dewasa, memaksa kita menggunakan sejumlah besar bentuk pengajaran luar sekolah. Pendidikan luar sekolah mencakup pilihan kemungkinan yang luas, yang seyogianya digunakan secara produktif oleh semua negara. Meremehkannya adalah pandangan atau sikap masa lalu, dan pendidik yang progresif tidak boleh bersikap demikian. Namun sekolah-sekolah yaitu gedung-gedung yang didirikan untuk memberikan pendidikan secara sistematis kepada generasi yang sedang tumbuh, sekarang dan juga dimasa yang akan datang, tetap merupakan faktor yang menentukan dalam melatih seseorang ikut menyumbang pembangunan masyarakat dan ikut serta aktif dalam kehidupan, melatih orang-orang yang betul-betul siap untuk bekerja. Terutama dalam masyarakat modern diperlukan pengetahuan yang sistematis, kecakapan dan keterampilan untuk mengolah sejumlah besar informasi yang diterimanya melalui saluran yang lebih besar jumlahnya dan makin banyak macamnya. Pengetahuan ilmiah, dan ide-ide yang dianggap sebagai sari apa yang umum dan asasi dalam benda dan fenomena dan terutama pula sistem pengetahuan serta metode yang memungkinkan individu membentuk interpretasi mereka sendiri tentang arus informasi yang dahsyat ini dan mengasimilasikannya secara positif, hampir selalu memerlukan pendidikan yang teratur, yang diberikan oleh lembaga-lembaga pendidikan yang dipolakan dengan baik“. Edgar Faure (Redjah 1980:13). 2) Pendekatan dialektis dalam merumuskan makna pendidikan dapat pula kita temukan dalam Introduction to Philosophy of Education dari Stella van Petten Henderson. Dalam bukunya, Henderson mencoba memadukan
68
pengertian pendidikan sebagai pengembangan potensi-potensi yang terdapat dalam diri seseorang, dan pendidikan sebagai warisan sosial dari generasi tua
kepada
generasi
muda.
Dalam
semangat
dialektis,
Henderson
mendefinisikan pendidikan sebagai berikut: “... Pendidikan sebagai suatu proses pertumbuhan dan perkembangan berarti sebagai suatu hasil interaksi seseorang individu dengan lingkungannya baik fisik maupun sosial, mulai dari lahir sampai akhir hayatnya sebagai suatu proses dimana pewarisan sosial merupakan sebagian dari lingkungan sosial menjadi suatu alat yang dipergunakan untuk perkembangan dari pribadi-pribadi sebaik dan sebanyak mungkin, laki-laki dan wanita yang hendak meningkatkan kesejahteraan manusia, ...“ Henderson (Redjah 1959: 14).
Selanjutnya dikemukakan: “...untuk membimbing pertumbuhan anak laki-laki dan anak perempuan mencapai perkembangan manusia sempurna yang diperlukan untuk kemajuan sosial, mereka harus mengalami pelatihan, pengajaran, dan inspirasi. Pelatihan bertujuan untuk membentuk kebiasaan. ...“Pengajaran bertujuan membantu murid memperoleh pengetahuan dan dengan demikian mengembagkan inteligensinya. Warisan sosial harus disalurkan melalui suatu cara sedemikian rupa sehingga mendorong pertumbuhan inteligensi. Tetapi pembentukan kebiasaan dan pengajaran saja masih belum cukup. Kecenderungan-kecenderungan menggunakan inteligensi dan kemampuan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial harus dikembangkan. Oleh karena itu inspirasi harus merupakan bagian dari pendidikan. Emosi-emosi kita adalah dasar tingkahlaku kita dan pengembangannya yang memadai adalah salah satu bagian yang penting dalam pendidikan. Anak-anak harus tumbuh menjadi orang-orang dewasa yang menghendaki kesejahteraan orang lain di samping kesejahteraan sendiri, jika kemajuan sosial melalui usaha-usaha bersama harus menjadi suatu kenyataan.“ Henderson (Redjah, 2002: 15).
Dengan demikian dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jika pendidikan dikaitkan dengan keberadaan dan hakikat manusia, maka pendidikan
merupakan
pembentukan
kepribadian
manusia,
yaitu
69
mengembangkan manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila, dan makhluk beragama.
D. HAKIKAT KEBUDAYAAN 1.
Beberapa Rumusan Kebudayaan Tilaar (2002:95). Mencari jawaban atas pertanyaan: apakah hakikat
kebudayaan, bukan maksudnya kita akan memasuki suatu diskusi ilmiah yang berkepanjangan untuk mencari definisi mengenai apakah kebudayaan itu. Dalam kalangan akademik memang pertanyaan ini sangat mengusik dan menarik para pakar antropologi bahkan juga dalam bidang filsafat kebudayaan. Pakar antropologi A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn dalam makalahnya yang termasyhur “culture: a Critical Review of Concepts and Definition”
yang
terbit
pada
tahun
1952
telah
menganalisis
dan
menklasifikasi 179 definisi mengenai kebudayaan. Tentunya kita tidak perlu menganalisis lebih lanjut mahakarya kedua pakar tersebut. Yang penting pada kita ialah tidak ada suatu definisi yang sempurna dan akan memberikan kepuasan kepada semua pakar. Bahkan ada yang berpendapat bahwa apakah dia seorang filosof kebudayaan apakah seorang pakar antropologi kedua-duanya menghadapi masalah yang sama ialah mencoba mencari jawaban mengenai hakikat kebudayaan. Bakker misalnya, dalam bukunya Filsafat Kebudayaan (1984) juga mencari jawaban terhadap hakikat kebudayaan. Sebelumnya dua paar terkenal Beals dan Hoyer dalam bukunya An Introduction to Anthropology (1959) juga bertanya mengenai apa hakikat kebudayaan. Bahkan lebih dini lagi seorang pakar antropologi
70
terkenal Kroeber di dalam bukunya The Nature of Culture yang terbit pada tahun 1952 juga mencari jawaban terhadap hakikat kebudayaan. Apabilah disimak berbagai usaha para pakar untuk mencari jawaban terhadap
pertanyaan
apakah
hakikat
kebudayaan
itu,
maka
dapat
disimpulkan bahwa inti dari setiap kebudayaan ialah manusia. Dengan kata lain kebudayaan adalah khas insani. Hanya manusia yang berbudaya dan membudaya. Tidak mengherankan apabila usaha untuk mencari jawaban terhadap hakikat kebudayaan akan mampir dalam pertanyaan mengenai hakikat manusia. Barangkali di sinilah terletak afinitas antara pendidikan dan kebudayaan. Kedua-duanya merupakan khas insani oleh sebab itu pendidikan dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Afinitas mengenai pendidikan dan kebudayaan misalnya dapat kita lihat di dalam rumusan Ernest Cassirer mengenai manusia sebagi animal simbolikum. Hanya manusialah yang mengenal dan memanfaatkan simbolsimbol di dalam kelanjutan kehidupannya. Simbol-simbol itu dapat kita lihat di dalam kebudayaan manusia. Seorang antropologi, Leslie White, menyatakan bahwa kebudayaan dilestarikan dan dikembangkan melalui simbol-simbol. Semua tingkah-laku manusia terdiri dari, dan tergantung pada simbol-simbol tersebut. Tingkah-laku manusia adalah tingkah-laku simbolik. Memang simbol-simbol adalah bentuk universal dari kemanusiaan Adalah cukup menarik pendapat Beals dan Hoyer yang telah disinggung sebelumnya. Menurut kedua ahli ini kebudayaan diturunkan kepada generasi penerus lewat proses belajar melalui melihat, dan meniru
71
tingkah-laku orang lain. Namun demikian kebudayaan itu sendiri bukanlah tingkah-laku. Yang dipelajari adalah cara bertindak (the ways of behaving). Cara bertindak manusia di dalam lingkungan kebudayaan tertentu mengikuti pola-pola ideal atau pola-pola budaya. Ruth Benedict mengatakan hal ini sebagai pola-pola kebudayaan (patterns of culture). Di dalam kaitan ini sangat menarik rumusan pakar yang mengatakan bahwa kebudayaan merupakan suatu proses dinamis yaitu penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani. Tetapi apakah benar nilai-nilai itu yang diturunkan atau dipelajari oleh generasi penerus? Yang diturunkan ialah bukan tingkah-laku tetapi cara-cara bertingkah-laku. Pengertian ini penting oleh sebab manusia sebagai animal simbolikum bukan hanya meniru seperti seekor monyet atau simpanse yang meniru cara-cara atau kelakuan manusia, tetapi yang dipelajari oleh manusia adalah cara-cara bertingkah-laku dan bukan sekedar meniru saja. Di sini terletak peranan akal budi manusia di dalam mencitakan, menertibkan dan mengelola nilai-nilai insani tersebut. Dalam
perumusan
mengenai
hakikat
kebudayaan
para
pakar
antropologi berusaha untuk menerangkan adanya berjenis-jenis kebudayaan. Pada mulanya para pakar tersebut, yang dikenal sebagai pakar etnologi, beranggapan bahwa kebudayaan manusia berkembang dari bentuk primitive kepada bentuk yang modern. Pendapat evolusionisme ini telah lama ditinggalkan dan pada umumnya antropologi budaya mengenal relativisme budaya. Hal ini berarti bahwa perbedaan di dalam berbagai kebudayaan adalah kompleksitasnya bukan tinggi-rendah derajatnya. Setiap kebudayaan
72
itu unik dan terus berkembang. Tdak ada suatu kebudayaan yang statis. Selain itu, dalam setiap kebudayaan terdapat unsure-unsur universal yang berlaku untuk setiap anggotanya, dan ada pula unsure-unsur kekhususan yang dianut oleh segelincir anggota. Rumusan ini telah dikemukakan oleh Ralph Linton (1945) di dalam bukunya yang terkenal The Cultural Background of Personality. Rumusan Edward B. Tylor Tilaar (2002: 98) . Sebagai titik tolak analisis mengenai hakikat kebudayaan yang dapat digunakan sebagai titik tolak untuk mengerti hakikat pendidikan, penulis mengambil rumusan pelopor antropologi modern, Edward B. Tylor dalam bukunya Primitive Culture yang terbit tahun 1871. Definisi Tylor mengenai budaya sebagai berikut: “Budaya atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagi masyarakat.” Definisi yang sedrhana ini memberikan beberapa hal yang perlu kita simak lebih lanjut yang kiranya bermanfaat sebagai kerangka untuk menyimak keterkaitan antara proses pendidikan dan proses pembudayaan. 1. Kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang kompleks. Hal ini berarti bahwa kebudayaan merupakan suatu kesatuan dan bukan junlah dari bagian-bagian.Keseluruhannya mempunyai pola-pola atau desain tertentu yang unik. Setiap kebudayaan mempunyai mozaik yang spesifik.
73
2. Kebudayaan merupakan suatu prestasi kreasi manusia yang a material artinya
berupa
bentuk-bentuk
prestasi
psikologis
seperti
ilmu
pengetahuan, kepercayaan, seni dan sebagainya. 3. Kebudayaan dapat pula berbentuk fisik seperti hasil seni, terbentuknya kelompok-kelompok keluarga. 4. Kebudayaan dapat pula berbentuk kelakuan-kelakuan yang terarah seperti hukum, adat-istiadat yang berkesinambungan. 5. Kebudayaan merupakan suatu realitas yang objektif, yang dapat dilihat. 6. Kebudayaan diperoleh dari lingkungan. 7. Kebudayaan tidak berwujud dalam kehidupan manusia yang soliter atau terasing tetapi yang hidup di dalam suatu masyarakat tertentu. Selain butir-butir tersebut, definisi Tylor juga memberikan penekanan kepada
factor
manusia
yang
memperoleh
nilai-nilai
tersebut
dari
masyarakatnya. Hal ini berarti betapa pentingnya masyarakat manusia di dalam perkembangan manusia itu sendiri. Selain itu, definisi Tylor juga menyebut berbagai kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakatnya. Dalam kaitan ini manusia bukan sekedar pasif memperoleh nilai-nilai serta kebiasaan tersebut tetapi juga sikapnya yang kreatif dan reaktif. Begitu pula Redcliffe-Brown dan Malinowsky melihat sifat fungsional dari kebudayaan termasuk di dalamnya proses pendidikan. Rumusan Tylor juga menunjukkan tidak adanya perbedaan antara kebudayaan (culture) dan peradaban (civilization). Kesamaan arti ini pula jaga dianut oleh Koentjaraningrat. Mengenai kesamaan dan perbedaan arti
74
kedua istilah ini telah diuraikan pada bagian awal. Beberapa ahli memberikan perbedaan antara kedua pengertian tersebut. Ada yang memberikan arti peradaban sebagai nilai-nilai halus di dalam kebudayaan, termasuk kemujuan teknologi, tatakrama dan sebagainya. Dalam rumusan Tylor juga ditekankan betapa pentingnya peranan nilai-nilai di dalam kebudayaan. Tidak dapat kita menggambarkan kebudayaan tanpa nilai-nilai. Apa yang terjadi dalam praksis pendidikan kita dewasa ini ialah nilai-nilai dianggap sebagai sesuatu yang taken for granted. Dengan demikian kadang-kadang secara tidak sadar telah mrnghiraukan keberadaan nilai-nilai budaya yang kompleks tersebut dan direduksi misalnya kepada nilai-nilai teknologi belaka. Selama Orde Baru kita lihat nilai-nilai luhur Pancasila yang hidup dan berkembang di dalam kebudayaan Indonesia telah direduksi menjadi pengetahuan mengenai nilainilai yang terlepas satu dengan yang lain. Akibatnya kita lihat Pancasila lebih merupakan pengetahuan dari pada penghayatan serta perwujudan nilai-nilai tersebut di dalam kehidupan bersama. Pendidikan telah dilepaskan dari kaitannya yang hakiki dengan kebudayaan. Sedangkan pendidikan
sendiri
adalah
suatu
hal
yang
normative
sebagaimana
kebudayaan itu sendiri adalah normative. Apakah implikasi rumusan Tylor tentang budaya yang dapat kita petik dalam usaha kita untuk mempunyai pengertian yang lebih jelas mengenai hakikat kebudayaan? Ada tiga hal yang patut dicatat yaitu: 1). Adanya keteraturan dalam hidup bermasyarakat.
75
2). Adanya proses pemanusiaan. 3). Di dalam proses pemanusiaan itu terdapat suatu visi tentang kehidupan. Adanya keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat bukan berarti bahwa kehidupan individu hanyalah sekedar skrup di dalam kehidupan bersama masyarakat. Di sini dapat terjadi peranan Negara yang sangat dominant seperti di Negara totaliter. Sedangkan yang diperlukan ialah adanya kebebasan individu yang bertanggung jawab dalam mengikuti keteraturan dalam hidup bermasyarakat. Hal ini berarti bahwa kesadaran dan tunduk kepada hukum yang berlaku merupakan syarat yang diperlukan dlam suatu kehidupan yang berketeraturan. Adanya kehidupan yang teratur merupakan dasar kehidupan demokrasi. Demokrasi bukan berarti anarki tetapi kebebasan setiap individu untuk berpendapat, bersepakat, dan berbeda pendapat.Proses demokrasi adalah proses yang mengakui hak dan tanggung jawab setiap manusia. Itulah esensi dari keteraturan dalam hidup bermasyarakat. Kebudayaan merupakan suatu proses pemanusiaan artinya di dalam kehidupan berbudaya terjadi perubahan, perkembangan, motivasi. Di dalam proses pemanusiaan tersebut yang penting bukan hanya prosedur dan teknologi tetapi juga jangan dilupakan isi atau materi dari perubahan dan perkembangan. Setiap proses pemanusiaan selalu didasarkan kepada suatu visi mengenai tujuan proses tersebut. Proses pemanusiaan diarahkan kepada apa yang pantas diinginkan (desirable). Apa yang pantas dilaksanakan. Sikap
76
tersebut akan berlawanan dengan sikap fanatisme dan dogmatisme yang tidak mengakui adanya perbedaan pendapat dan usaha untuk mencari kesepakatan. Hidup demikian adalah hidup yang diarahkan kepada sesuatu yang desirable. Kesimpulan apakah yang dapat kita tarik dari jalan pemikiran tersebut? Pertama-tama kita lihat bahwa kebudayaan memberikan petunjuk atau menjadi pengarah dari proses humanisasi. Kebudayaan memberi arah bagi perkembangan pribadi dalam bentuk struktur, dinamika yang ada dan arah dari kebudayaan tersebut di dalam lingkungan sesama manusia. Selanjtnya kita lihat bahwa kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang kompleks dan tidak dapat direduksi hanya dalam satu atau beberapa nilai saja misalnya nilai iptek, atau kepercayaan saja, atau seni saja, tetapi merupakan
suatu
Mengabaikan
kompleks
beberapa
nilai
dari
nilai-nilai
kebudayaan
sebagai pada
keseluruhan.
gilirannya
akan
menghasilkan suatu proses pemanusiaan yang kurang lengkap. Melihat kepada nilai-nilai kebudayaan yang beragam, kompleks dan terintegrasi, maka proses pendidikan tidak dapat dilihat dari satu titik pandang saja tetapi harus menggunakan pandangan yang multidisipliner seperti filsafat, antropologi, sosiologi, biologi, psikologi, dan seterusnya. Dengan demikian, pendekatan reduksionisme mengenai pendidikan yang tidak
melihat
proses
pendidikan
sebagai
suatu
aspek
kebudayaan,
merupakan suatu pendekatan yang keliru. Pendidikan yang terlepas dari kebudayaan dengan demikian bertentangan dengan hakikat kebudayaan.
77
Telah kita lihat bahwa kebudayaan adalah normatif karena diarahkan oleh suatu kompleks niai-nilai yang diakui bersama di dalam suatu masyarakat. Proses pendidikan dengan sendirinya adalah suatu proses yang normatif, bukan buta-nilai. Apabila telah kita bicarakan mengenai adanya keteraturan di dalam kebudayaan, adanya suatu proses humanisasi dan visi, maka keseluruhan komponen-komponen
tersebut
merupakan
suatu
keseluruhan
yang
terintegrasi dan saling kait-mengait. Proses pendidikan sebagai suatu proses kebudayaan haruslah melihat peserta didik bukan sebagai suatu entiti yang terpecah-pecah tetapi sebagai individu yang menyeluruh atau sebagai seorang manusia seutuhnya. Pandangan Ki Hadjar Dewantara Tilaar, (2002: 93) Dalam upaya kita untuk mengetahui hakikat kebudayaan, pada tempatnya apabila kita mengkaji pandangan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pembangunan Pendidikan Nasional, tentang konsepnya mengenai kebudayaan nasional. Konsep Ki Hadjar Dewantara tersebut dikenal sebagai teori Trikon. Menurut Ki Hadjar Dewantara, kebudayaan berarti buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat yaitu alam dan zaman (kodrat dan masyarakat). Dalam perjuangan tersebut terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertip dan damai. Rumusan tersebut mengandung beberapa hal penting yaitu: 1) Kebudayaan
78
selalu bersifat kebangsaan (nasional) dan mewujudkan sifat atau watak kepribadian bangsa. Inilah sifat kemerdekaan kebangsaan dalam arti kultural; 2) Tiap-tiap kebudayaan menunjukkan keindahan dan tingginya adat kemanusiaan pada hidup masing-masing bangsa yang memilikinya. Keluhuran dan kehalusan hidup manusia tersebut selalu dipakainya sebagai ukuran; 3) Tiap-tiap kebudayaan sebagai buah kemenangan manusia terhadap kekuatan alam dan zaman selalu memudahkan dan melancarkan hidupnya serta memberi alat-alat baru untuk meneruskan kemajuan hidup dan memudahkan serta memajukan dan mempertinggi taraf kehidupan. Bagaimana usaha manusia mengembangkan kebudayaannya? Ki Hadjar Dewantara mengemukakan hal-hal sebagai berikut: 1) Pemeliharaan kebudayaan haruslah termaksud memajukan dan menyesuaikan kebudayaan dengan pergantian alam dan zaman; 2) Oleh karena isolasi, kebudayaan akan mengalami kemunduran dan matinya hubungan kebudayaan dengan kodrat dan masyarakat; 3) Pembaruan kebudayaan mengharuskan adanya hubungan dengan kebudayaan lain yang dapat mengembangkan atau memperkaya kebudayaan sendiri; 4) Kemajuan kebudayaan harus berupa lanjutan langsung dari kebudayaan sendiri (kontinuitas), menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi) dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian di dalam lingkungan kebudayaan dunia (konsentrisitas). Inilah yang dikenal sebagai teori Trikon yang terkenal itu. Bagaimanakah pembinaan kebudayaan nasional Indonesia menurut Ki Hadjar Dewantara? Beliau mengemukakan sebagai berikut: 1) Adanya
79
kesatuan alam dan zaman kesatuan sejarah dahulu dan sekarang, maka kesatuan kebudayaan Indonesia hanyalah merupakan soal waktu dalam perwujudannya.
2)
Sebagai
bahan
untuk
membangun
kebudayaan
kebangsaan Indonesia diperlukan sari-sari dan puncak-puncak kebudayaan yang terdapat di seluruh daerah Indonesia untuk dijadikan sebagai modal isinya. 3) Dari luar lingkungan kebangsaan perlu diambil bahan-bahan yang dapat mengembangkan dan memperkaya kebudayaan kita sendiri. 4) Di dalam memasukan bahan-bahan, baik kebudayaan daerah kebudayaan asing perlu selalu diingat syarat-syarat Trikon dari perkembangan kebudayaan. 5) Dalam rangka kemerdekaan bangsa tidak cukup hanya berupa kemerdekaan politik, tetapi juga kesanggupan dan kemampuan mewujudkan kemerdekaan kebudayaan bangsa yaitu kekhususan dan kepribadian dalam segala sifat hidup dan penghidupannya di atas dasar adab kemanusiaan yang luas, luhur dan dalam. Rumusan penjelasan Pasal 32 UUD 1945 mengenai kebudayaan dijiwai oleh konsep pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Penjelasan pasal 32 tersebut berbunyi: ”Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak
bahan-bahan
baru
dari
kebudayaan
asing
yang
dapat
memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
80
Apakah makna rumusan hakikat kebudayaan, termasuk hakikat kebudayaan nasional, terhadap proses pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara Apakah kita lihat Perguruan Taman Siswa. Maka perguruan tersebut merupakan perwujudan dari hakikat kebudayaan menurut konsep Bapak Pendidikan Nasional tersebut. Oleh sebab itu, Ki Hadjar Dewantara mengintrodusir berdasarkan
kembali
hidup
konsep
sistem
kekeluargaan
untuk
among
dan
paguron
mempersatukan
yang
pengajaran
pengetahuan dengan pengajaran budi pekerti. Sistem tersebut diambil dari sejarah kebudayaan bangsa yang dahulu bernama sistem Asrama, kemudian pada zaman Islam menjelma menjadi Pondok Pesantren. Pandangan yang integralistik mengenai kebudayaan tersebut melihat proses pengajaran dan sebagai suatu konsep yang utuh. Pendidikan sebagai konsep kebudayaan bukan saja memajukan kecerdasan batin, juga untuk melancarkan kehidupan pada umumnya. Dewantara menyatakan bahwa memang seyogianya pendidikan akal harus dibangun setinggi-tingginya, sedalam-dalamnya dan selebar-lebarnya agar peserta-didik dapat membangun perikehidupannya lahir batin sebaik-baiknya. Apa yang terjadi dengan pranata sosial yang kita sebut sekolah dalam masyarakat kita dewasa ini? Ternayata pranata sosial sekolah telah diisolasikan dari keseluruhan kebudayaan dan telah diarahkan kepada pencapaian
kemampuan
intelektual
semata-mata.
Dengan
demikian
pendidikan kita telah terisolasi dari kebudayaan sehingga menghasilkan peserta-didik yang berakal tetapi belum tentu bermoral. Rupa-rupanya
81
sistem pondok yang berdasarkan hidup kekeluargaan yang mempersatukan antara proses pendidikan dan proses kehidupan bermasyarakat sangat sesuai dengan rumusan pendidikan seperti John Dewey yang sebagaimana telah kita lihat tidak mencari tujuan pendidikan di luar proses pendidikan itu sendiri. Dengan demikian pendidikan mempunyai arti atau hakikat di dalam proses pendidikan itu sendiri sebagai proses kebudayaan dan pembudayaan. Dengan demikian antara pendidikan dan kebudayaan tidak ada garis pemisah bahkan merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi di dalam proses pemanusiaan. Rupa-rupanya era reformasi yang menginginkan terwujudnya suatu sistem pendidikan nasional harus menemukan kembali pendidikan nasional Indonesia dan bukan tumbuh dan berkembang di dalam budaya Indonesia dan bukan tumbuh dan berkembang di atas kosep kehidupan yang asing dari masyarakat kita. Persepsi kita mengenai hakikat kebudayaan akan kita tutup dengan suatu rumusan yang banyak-sedikitnya bersamaan dengan apa yang telah diuraikan. Rumusan Koetjaraningrat dapat kita simak dan dapat kita manfaatkan untuk menjaring afinitas hakikat pendidikan dan hakikat kebudayaan.
Koentjaraningrat
merumuskan
kebudayaan
sebagai
”keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.” Rumusan Koentjaraningrat mengenai hakikat kebudayaan tersebut menunjukkan dengan jelas afinitas hakikat pendidikan di dalam kebudayaan.
82
2. Kebudayaan Indonesia sebagai Dasar Pengembangan Identitas Bangsa Indonesia
Dalam teori simbolik mengenai bangsa maupun neodarwinisme tampak dengan jelas peranan simbol seperti bahasa dalam mengikat persatuan suatu komunitas. Dalam sejarah perkembangan kebangkitan kebangsaan Indonesia peranan bahasa dan kebudayaan mendapat perhatian yang besar dari perintis kemerdekaan kita. Sejak Budi Utomo sampai kepada Manifesto Politik para pelajar dan mahasiswa Indonesia di Belanda tahun 1925, Kongres Kebudayaan I di Solo serta Kongres Pemuda I tahun 1926 menunjukkan betapa pentingnya peranan budaya termasuk bahasa di dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Memang sangat sukar untuk merumuskan dengan t e p a t h u b u n g a n antara etnis, bangsa, kebudayaan. Namun demikian sudah kita lihat salah satu unsur yang mengikat etnis adalah simbol seperti bahasa. Selanjutnya suatu bangsa lahir dari suatu komunitas etnis. Marilah kita lihat lebih lanjut sekali lagi mengenai apa yang disebut bangsa dan kapan suatu bangsa itu lahir. Sangat terkenal rumusan mengenai bangsa yang dikemukakan oleh Josef Stalin pada tahun 1913: ”Nationality is a historically constituted, stable community of people, formed on the basis of a common language, territory, economic life, and psychological make up manifested in a common calture”. Sebagai suatu definisi kerja, rumusan tersebut di atas dapat memberikan gambaran mengenai apa bangsa itu meskipun menimbulkan berbagai tafsiran misalnya nasionalitas juga menunjukkan negara. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ada perbedaan antara negara dan bangsa. Seperti yang telah dijelaskan di depan, bangsa lahir dari suatu komunitas etnis. Komunitas etnis dapat dirumuskan sebagai berikut:
83
“A collectivity within a larger society having real or putative common ancestry, memories of a shared historical past, and a cultural focus on one or more symbolic elements defined as the epitome of their people- hood”. Dari kedua definisi mengenai bangsa serta etnis tersebut di atas kita lihat peranan bahasa atau dialek, agama, kekeluargaan, sejarah.,. kesamaan nenek moyang, kesamaan tempat lahir dan tempat tinggal. merupakan hal-hal yang menunjukkan kesatuan suatu komunitas. Dari kedua komunitas yang di atas sangat penting peranan kesadaran akan kesatuan .Tanpa kesadaran akan kesatuan serta persatuan kelompok tidak mungkin dikembangkan identitas kelompok dalam hal etnis maupun pada tingkat yang lebih luas kelompok bangsa. Dalam Kongres Kebudayaan I serta kongres-kongres selanjutnya demikian pula di dalam Kongres Pemuda I dan II tampak dengan jelas keinginan suku Jawa dan keinginan pemuda-pemuda Indonesia lainnya untuk bersatu. Elemen-elemen kebudayaan yang dapat mempersatukan mereka itu antara lain adalah bahasa. Tidak mengherankan apabila salah satu keputusan penting di dalam Kongres Pemuda II ialah satu bangsa Indonesia yang mempunyai bahasa persatuan bahasa Indonesia. Sudah kita lihat betapa peranan kebudayaan di dalam melahirkan identitas komunitas baik di dalam komunitas etnis maupun di dalam komunitas bangsa Indonesia. Tetapi apakah kebudayaan Indonesia? Di muka telah diuraikan betapa sulit untuk merumuskan kebudayaan Indonesia karena menurut pendapat penulis kebudayaan Indonesia merupakan suatu proses pembentukan terus-menerus tanpa akhir. Namun demikian rumusan mengenai kebudayaan manusia bukan hanya merupakan suatu rumusan yang berkaitan
84
dengan bangsa Indonesia tetapi juga berkaitan dengan negara Indonesia. Oleh
sebab
negara
merupakan
suatu
organisasi
kekuasaan,
maka
kebudayaan Indonesia diatur melalui UUD. Bab XIII mengenai pendidikan dan kebudayaan dalam UUD dirumuskan sebagai berikut: Pasal 32 Ayat (1): Negara memajukan kebudayaan Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Melihat kepada kenyataan akan pluralisme bangsa Indonesia, terjadi polemik mengenai apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan kebudayaan Indonesia. Salah seorang penggagas mengenai pasal ini ialah Ki Hajar Dewantara.
Beliau
mengatakan
bahwa
kebudayaan
sebagai
bentuk
kemampuan manusia untuk menggampangkan hidupnya dan memperbesar hasil hidupnya dan oleh sebab itu manusia harus meninggikan pikiran, rasa, dan kemauannya. Usaha ini dapat dicapai melalui pendidikan. Dengan upaya
pendidikan
dapat
dipersatukan
kepentingan-kepentingan
yang
beranekawarna dari rakyat yang beranekaragam tanpa memperkosa sifat-sifat kedaerahan. Dengan demikian persatuan Indonesia dapat tumbuh kuat dan sempurna karena berjalan secara seimbang, bersifat patut, runtut dan harmonis. Berdasarkan pemikiran ini dapat kita mengerti penjelasan pasal mengenai kebudayaan nasional sebagai buah usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya. Di dalam penjelasan Pasal itu disebutkan kebudayaan lama dan asli sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Memang pada awal kemerdekaan
85
kebudayaan nasional belum ada bahkan hingga sekarang kita masih tetap di dalam proses membangun kebudayaan nasional itu. Ada beberapa hal penting yang dikemukakan di UUD: 1) Negara memajukan kebudayaan nasional. Hal ini berarti negara yang memiliki kekuasaan mempunyai togas untuk memajukan kebudayaan nasional namun menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan budayanya. Di dalam hal ini negara mengakui akan budaya masing-masing etnis. Puncak-puncak kebudayaan etnis dapat disumbangkan sebagai budaya nasional. 2) Di dalam perkembangan peradaban dunia dewasa atau di dalam era globalisasi negara wajib memajukan kebudayaan nasional Indonesia agar supaya tidak tenggelam di dalam arus pusaran globalisasi yang dapat mengganggu identitas bangsa Indonesia. 3) Negara menghormati akan bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Hal ini berarti bahasa daerah diberikan tempat yang wajar di dalam perkembangannya sebagai kekayaan kebudayaan nasional. Di dalam hal ini diakui akan keberadaan etnisitas karena bahasa daerah merupakan salah satu ciri utama dalam eksistensi suku bangsa di Indonesia. Sangat
menarik
hasil
penelitian
Nunus
Supardi
mengenai
penyelenggaraan kongres kebudayaan sejak tahun 1918 sampai 2003. Banyak masalah kebudayaan yang telah dikupas yang bersifat sukuisme sampai kepada masalah-masalah nasional bahkan global dalam kongres tahun 2003. Aspek kehidupan yang dibahas semakin meluas bukan hanya dalam bidang kebudayaan dalam arti sempit tetapi juga hal-hal yang berkenaan dengan
86
masalah ekonomi dan politik telah dibahas di dalam kongres yang terakhir. Diakui banyak hasil kongres yang tidak dapat dilaksanakan karena tidak menukik kepada masalah yang nyata. Namun demikian Nunus Supardi mencatat 40 masalah yang telah dibicarakan, ada yang telah direalisasikan tetapi banyak pula yang belum menemui kenyataannya. Hal-hal yang telah berhasil dirumuskan dan dilaksanakan antara lain perlunya didirikan sekolah-sekolah kerajinan mendirikan fakultas sastra dan filsafat, berdirinya akademi kesenian seperti ASRI ATNI, ISI, IKJ. Demikian pula telah didirikan lemabag kebudayaan Indonesia pada tahun 1948 serta Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Demikian pula telah didirikan pendidikan penterjemah seperti di Universitas Nasional Jakarta. Hal-hal yang belum dilaksanakan antara lain belum didirikan Biro penterjemah sebagaimana yang dilaksanakan di Jepang pada zaman Meiji pertangahan abad ke-19. Demikian pula belum dapat direalisasikan terbentuknya Kementrian kebudayaan yang telah diputuskan dalam tahun 1948. Bahkan suatu hal yang mengkwatirkan ialah dipisahkannya urusan kebudayaan dari Departemen Pendidikan sejak Era Reformasi. Seperti kita lihat pemikiran founding fathers kita mengenai hubungan yang mendasar antara pendidikan dan kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara. Pemisahan urusan kebudayaan dari Departemen Pendidikan Nasional dan digabungkan ke dalam Departemen Kebudayaan dan Pariwisata telah mendegradasikan kebudayaan dari tempatnya yang mulia yaitu telah mendegradasikan kebudayaan sebagai komoditi untuk dijual di dalam kegiatan pariwisata. Hal tersebut tentunya sangat merugikan dai dalam pengembangan
87
identitas nasional yang didasarkan kepada budaya nasional. Ada beberapa hal menarik lainnya dalam rekomendasi Kongres di Bukittinggi tahun 2003. Seperti telah dijelaskan Kongres Kebudayaan meliputi berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia termasuk saran-saran dalam bidang pendidikan, mengenai konflik dan kekerasan, perekonomian nasional, perkembangan demokrasi, peranan pemuka agama untuk mencegah manipulasi agama sebagai alat pertentangan, serta pengembangan maupun pembakuan bahasa Indonesia sebagai perwujudan daya cipta
dan
disiplin
dalam
berbahasa.
Demikian
pula
Kongres
merekomendasikan kontrol terhadap tayangan TV dan publikasi yang merusak budi pekerti yang terbentuk dalam keluarga, pendidikan dan masyarakat. Menjelang Kongres Kebudayaan V di Bukit didahului dengan pertemuan pra-kongres di Bali yang antara memberikan perhatian kepada kearifan lokal untuk dijadikan landasan moral berbangsa. Mengenai pendidikan, pertemuan budaya merumuskan mengenai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang bangsa yang berarti membuat bangsa siap hidup dalam budaya modern dan wahana yang perlu disiapkan adalah suatu sistem pendidikan nasional yang berwawasan budaya. Selanjutnya membangun masyarakat multikultur merupakan keniscayaan namun tidak dapat begitu saja dapat dilaksanakan secara otoriter. Kebijakan tersebut hendaknya diupayakan secara sistematis, pragmatis, terpadu dan berkesinambungan. Di dalam pertemuan budaya di Manado pada tahun 2002 dirumuskan mengenai konsep kebudayaan nasional dalam korelasinya dengan entitas budaya local dalam
88
membangun kehidupan bangsa dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Strategi pembangunan kebudayaan sebagai landasan kekuatan bangsa Indonesia hendaknya menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat yang menonjolkan kemajemukan dan kekhasan setiap entitas lokal dan bukan penyamarataan pola pikir dan tindakan budaya untuk seluruh Indonesia. Kongres kebudayaan telah berkembang melahirkan kepedulian terhadap unsur-unsur budaya lainnya. Tercatat beberapa jenis kongres bahasa daerah seperti Kongres Bahasa Sunda, yang pertama dilaksanakan pada tahun 1924 di Bandung, Kongres Bahasa Jawa I yang diselenggarakan pada tahun 1924 di Yogyakarta. Selanjutnya telah diadakan Kongres Bahasa Bali I pada tahun 1981 dan yang ke-V pada tahun 2001. Untuk pengembangan bahasa nasional, bahasa Indonesia, telah diadakan Kongres Bahasa Indonesia I pada tahun 1938 di Solo dan yang ke-VIII diselenggarakan pada tahun 2003 di Jakarta. Selanjutnya telah diadakan Kongres Sejarah Nasional I pada tahun 1997 di Yogyakarta dan yang terakhir Kongres Sejarah Nasional ke-VII di Jakarta pada tahun 2001. Kongres Kesenian Indonesia diadakan pada tahun 1995 dan yang ke-II diselenggarakan pada tahun 2005. Demikianlah berbagai upaya yang telah diselenggarakan oleh b a n g s a Indonesia sebelum dan sesudah proklamasi dalam rangka membangun identitas bangsa Indonesia. 3. Budaya Lokal Mulana
Janah
(http://mulana.culture.com/budayalokal.htm).
Berbicara mengenai budaya artinya kita berbicara mengenai kehidupan, tingkah laku, peradaban dan lain sebagainya. Karena budaya adalah sesuatu
89
yang melekat dalam kehidupan manusia. Tentu saja jika kita memahami budaya maka kita akan mendapati perbedaan-perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh budaya bangsa Indonesia jelas berbeda dengan budaya bangsa-bangsa barat. Oleh karena itu, ciri dari budaya itu sendiri bersifat elastis dan ruang lingkupnya sangat integral meliputi immaterial dan material. Bila
berkaca
pada
sejarah
gerakan
pembebasan
melawan
imperialisme yang dimulai sejak awal abab XX yang lalu dan mencapai puncaknya pada dekade 40-an dan 50-an, dan setelah bangsa-bangsa non Eropa mencapai kemerdekaannya, maka mulailah bangsa-bangsa tersebut mencurahkan perhatiannya untuk melakukan pembangunan dalam negeri masing-masing dengan melakukan perbaikan di bidang pertanian, pendirian industri-industri nasional, dan berusaha menciptakan keadilan sosial yang merata. Di
antara
hal-hal
penting
berkenaan
dengan
pembangunan
masyarakat yang sadar budaya, adalah usaha untuk melindungi budaya masyarakat dari kepribadian lokal dan nasional dari bahaya westernisasi yang di bungkus oleh barat dalam bentuk imperialisme budaya. Sehingga yang kita saksikan, adalah banyak tercerabutnya budaya yang dimiliki oleh bangsa ini, dan hal ini patut menjadi perenungan kita bersama. Faktor yang paling penting dalam memahami budaya bangsa agar rakyat Indonesia tidak kehilangan
identitas
sebagai
bangsa
yang
kaya
akan
budaya.
Realitas yang kita saksikan saat ini, ketika budaya lokal yang di miliki oleh
90
masing-masing daerah di seluruh nusantara, daerah-daerah tersebut mempunyai kekayaan budaya yang luar biasa, tetapi justru faktanya menunjukan, semakin tergerusnya budaya lokal oleh kehadiran budaya barat, sehingga budaya yang kita miliki sedikit demi sedikit semakin pudar dan tidak bisa dilindungi bahkan bisa jadi menghilang. Hampir bisa dipastikan, dibeberapa daerah di nusantara, masyarakat yang mengapresiasi dan mencintai budaya lokal bisa dihitung dengan jari. Padahal budaya lokal tersebut kalau dikembangkan bisa menjadi tempat untuk mencurahkan segala bentuk pengembangan diri, karenanya merupakan usaha mengusung karya cipta (pengelohan, pengerahan dan pengarahan alam) manusia dengan kekuatan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, imajinasi dan fakultasfakultas ruhaniyyah lainnya). Namun tentunya jangan sampai terjadi dengan alasan budaya pemerintah
atau para pengelola negeri
membiarkan segala bentuk
kebodohan hanya untuk menggasak kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Hal ini bisa kita lihat betapa bangsa ini di tengah kemajuan ibu kota yang serba gemerlap, ternyata bila kita melihat saudara kita yang ada di Papua atau di Irian Jaya mereka masih saja di biarkan seperti yang kita saksikan dilayar Televisi yang mempertontonkan kebodohan bangsanya sendiri dengan hanya memakai koteka dan yang sejenisnya dengan alasan melestarikan budaya. Oleh karena itu budaya dalam konteks ini harus di pahami sebagai sesuatu yang mendatangkan hidup lebih baik lagi. 4. Keadaan Sosial Budaya Papua
91
John RG Djopari (1995: 47). Mengenai kebudayaan penduduk atau kultur masyarakat di Irian Barat dapat dikatakan beraneka ragam, beberapa suku mempunyai kebudayaan yang cukup tinggi dan mengagumkan yaitu suku-suku di pantai selatan Irian yang kini lebih dikenal dengan suku “asmat”. Kelompok suku ini terkenal karena memiliki kehebatan dari segi ukir dan tari. Budaya penduduk Irian yang beraneka ragam itu dapat ditandai oleh jumlah bahasa local khususnya di Irian Barat. Berdasarkan hasil penelitian dari suamiistri Barr dari Summer Institute of Linguistics (SIL) pada tahun 1978 ada 224 bahasa local di Irian Barat, dimana jumlah itu akan terus meningkat mengingat penelitian ini masih terus dilakukan. Bahasa di Irian Barat digolongkan kedalam kelompok bahasa Melanesia dan diklasifikasikan ke dalam 31 kelompok bahasa yaitu: Tobati, Kwime, Sewan, kauwerawet, Pauwi, Ambai, Turu, Wondama, Roon, Hatam, Arfak, Karon, Kapaur, Wausiran, Mimika, Kapauku, Moni, Ingkipulu, Pesechem, Teliformin, Awin, Mandobo, Auyu, Sohur, Boazi, Klader, Komoron, Jab, Marind-anim, Jenan, dan Serki. Jumlah pemakai bahasa tersebut di atas sangat bervariasi mulai dari puluhan orang sampai puluhan ribu orang. Secara tradisional tipe pemukiman masyarakat Irian Barat dapat dibagi ke dalam 4 (empat) kelompok dimana setiap tipe mempunyai corak kehidupan social-ekonomi dan budaya tersendiri. Pertama, Penduduk pesisir pantai; Penduduk ini mata pencaharian utama sebagai nelayan disamping berkebun dan meramu sagu yang disesuaikan dengan lingkungan pemukimannya itu. Komunikasi dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka.
92
Kedua, Penduduk pedalaman yang mendiami dataran rendah; mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menangkap ikan di sungai, berburu di hutan di sekeliling lingkungannya. Mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang aliran sungai. Adat-istiadat mereka ketat dan selalu mencurigai pendatang baru. Ketiga,Penduduk pegunungan yang mendiami lembah; mereka bercocok tanam, dan memelihara babi sebagai ternak utama, kadangkala mereka berburu dan memetik hasil hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok dengan penampilan yang ramah bila dibandingkan dengan penduduk tipe 2. Adat-istiadat dijalankan secara ketat dengan “pesta babi” sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam mencari keseimbangan social melalui “perang suku” yang dapat diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi sepak bola. Sifat curiga terhadap orang asing ada, tetapi tidak seketat penduduk tipe 2. Keempat, Penduduk pegunungan yang mendiami lereng-lereng gunung; melihat kepada tempat pemukimannya yang tetap di lereng-lereng gunung, memberi kesan pada kita bahwa mereka ini menempati tempat yang strategis terhadap jangkauan musuh dimana sedini mungkin
selalu
mendeteksi
setiap
makhluk
hidup
yang
mendekati
pemukimannya. Adat-istiadat mereka sangat ketat, sebagian masih “kanibal” hingga kini, dan bunuh diri merupakan tindakan terpuji bila melanggar adapt karena akan menghindarkan bencana dari seluruh kelompok masyarakatnya.
93
Perang suku merupakan aktivitas untuk mencari keseimbangan social, dan curiga pada orang asing cukup tinggi juga. Pada waktu Belanda meninggalkan Irian Barat, posisi-posisi baik di bidang pemerintahan, pembangunan (dinas-jawatan) baik sebagai pimpinan tinggi maupun pimpinan menengah diserahterimakan pada putra daerah (orang Papua/Irian Barat) sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Juga seluruh rumah dan harta termasuk gedung dan tanah milik orang Belanda itu diserahkan kepada kenalan mereka orang Papua (pembantu dan teman sekerja) untuk dimiliki, karena mereka tidak bisa menjualnya dan juga tidak ada pembeli pada masa itu. Belanda juga meninggalkan ekses konflik antara suku-suku besar sebagai akibat dari aktivitas politik yaitu pertentangan antara “Elit pro-Papua” dan “Elit pro-Indonesia” yang ditandai dengan pertentangan antara “suku Biak lawan suku Serui, suku Tanah Merah-Jayapura lawan suku Serui” sekalipun dalam hal ini tidak semua orang Biak itu pro-Papua, tidak semua orang Serui itu pro-Indonesia dan tidak semua orang Tanah Merah-Jayapura itu pro-Papua dan pro-Indonesia. Berdasarkan pengalaman Belanda di Indonesia atau Hindia-Belanda dalam kemerdekaan tahun 1945, maka Belanda di dalam menjajah Irian Barat sangat hati-hati sekali dalam meningkatkan kehidupan masyarakat di berbagai bidang, dan Belanda sengaja memperlambat perkembangan di Irian Barat/New Guinea sesuai dengan permintaan dan kebutuhan orang-orang Irian Barat. Katakanlah bahwa ini suatu bentuk “etis-politik gaya baru”. Termasuk di
94
dalamnya usaha untuk membentuk “nasionalisme Papua”. Cara Belanda yang demikian itu menyebabkan orang-orang Irian Jaya tidak merasa bahwa mereka sedang dijajah, sebab mereka hidup dalam suatu keadaan perekonomian yang baik dan tidak merasakan adanya penderitaan dan tekanan dari Belanda. E. KOMITMEN PERSONIL Komitmen adalah sebuah bentuk integrasi secara total dari seseorang terhadap sesuatu atau pekerjaan tertentu dengan melibatkan keseluruhan aspek diri. Dalam komitmen terdapat dua unsur pokok yaitu usaha dan waktu, artinya komitmen itu tidak terjadi karena kata-kata dan perbuatan sementara. Usaha artinya komitmen diperlihatkan dengan sejumlah usaha yang
tinggi
dari
seseorang
untuk
melaksanakan
pekerjaan
dan
mempertahankan kualitas dari pekerjaan tersebut. Waktu artinya bahwa komitmen diukur oleh waktu yang dipergunakan oleh seseorang dalam memegang teguh amanah dengan tujuan yang hendak dicapai. 1. Komitmen Organisasi Seperti topik lain dalam prilaku organisasi, variasi definisi dan ukuran komitmen organisasi sangat luas. Sebagai sikap, komitmen organisasi paling sering didefinisikan sebagai (1) keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; (2) keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi; dan (3) keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses
95
berkelanjutan di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan. Sikap komitmen organisasi ditentukan menurut variabel orang (usia, kedudukan dalam organisasi, dan disposisi seperti efektivitas positif atau negatif, atau atribusi kontrol internal atau eksternal) dan organisasi (desain pekerjaan, nilai, dukungan, dan gaya kepemimpinan penyelia). Bahkan faktor non-organisasi, seperti adanya alternatif lain setelah memutuskan untuk bergabung dengan organisasi, akan mempengaruhi komitmen selanjutnya. Dikarenakan lingkungan baru dimana banyak organisasi tidak menunjukkan
komitmen
terhadap
karyawannya,
penelitian
terbaru
menunjukkan bahwa komitmen karier pada diri karyawan merupakan penengah antara persepsi dan praktik kebijakan perusahan dan komitmen organisasi. Misalnya meskipun karyawan menerima dukungan dari penyelia, mereka juga perlu memiliki komitmen atas kariernya, misalnya dalam teknik dan pemasaran agar memiliki komitmen organisasi yang tinggi. Dikarenakan komitmen organisasi bersifat multidimensi, maka terdapat perkembangan dukungan untuk tiga model komponen yang diajukan oleh Meyer dan Allen (Sopiah, 2008: 179) Ketiga dimensi tersebut adalah: 1. Komitmen
afektif
adalah
keterikatan
emosional
identifikasi, dan keterlibatan dalam organisasi.
karyawan,
96
2. Komitmen kelanjutan adalah komitmen berdasarkan kerugian yang berhubungan dengan keluarnya karyawan dari organisasi. Hal ini mungkin karena kehilangan senioritas atas promosi atau benefit. 3. Komitmen normatif adalah perasaan wajib untuk tetap berada dalam organisasi
karena
memang
harus
begitu;
tindakan
tersebut
merupakan hal benar yang harus dilakukan. Penelitian tersebut mendukung konsep tiga komponen dari komitmen organisasi. Hal tersebut juga secara umum terjadi dalam wilayah antarbudaya. 2. Hasil Komitmen Organisasi Seperti halnya kepuasan kerja, terdapat hasil komitmen organisasi. Ringkasan peneltian dari dulu sampai sekarang menunjukkaan hubungan yang positif antara komitmen organisasi dan hasil yang diinginkan seperti kinerja tinggi, tingkat pergantian karyawan yang rendah, dan tingkat ketidakhadiran yang rendah. Juga terdapat bukti bahwa komitmen karyawan berhubungan dengan hasil lain yang diinginkan, seperti persepsi iklim organisasi yang hangat dan mendukung dan menjadi anggota tim yang baik yang siap membantu. Seperti kepuasan terdapat beberapa studi yang tidak menunjukkan hubungan yang kuat antara variabel komitmen dan hasil dan dimana terdapat pengaruh sedang antara komitmen organisasi dan kinerja. Sebagai contoh, sebuah studi menemukan hubungan yang lebih kuat antara komitmen organisasi dan kinerja untuk orang dengan kebutuhan finansial rendah dari pada orang dengan kebutuhan finansial tinggi, dan studi lain
97
menunjukkan bahwa semakin tinggi posisi karyawan dalam pekerjaannya dan dalam organisasi tempat mereka bekerja, semakin kurang dampak komitmen pada kinerja. Studi juga menunjukkan bahwa komitmen pada penyelia lebih berhubungan dengan kinerja daripada komitmen pada organisasi.
Studi
tersebut
dan
studi-studi
lainnya
mengindikasikan
kompleksnya sebuah sikap, seperti komitmen. Akan tetapi, sebagai kesimpulan, banyak peneliti sependapat bahwa sikap komitmen organisasi dibandingkan dengan kepuasan kerja adalah prediktor yang lebih baik dari variabel hasil yang diinginkan dan dengan demikian pantas menerima perhatian manajemen. 3. Pedoman untuk Meningkatkan Komitmen Organisasi Seperti diindikasikan dalam pembahasan awal komitmen, manajemen menghadapi situasi paradoks: “Pada satu sisi, fokus pada kerja tim, pemberdayaan, dan organisasi yang lebih datar hanya meningkatkan motivasi diri pada karyawan yang memiliki komitmen; di sisi lain, kondisi lingkungan mengurangi komitmen karyawan.” Berikut ini, Dessler (Sopiah, 2008: 159) memberikan pedoman khusus untuk mengimplementasikan sistem manajemen yang mungkin membantu memecahkan masalah dan meningkatkan komitmen organisasi pada diri karyawan: 1. Berkomitmen pada nilai utama manusia. Membuat aturan tertulis, memekerjakan manajer yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi. 2. Memperjelas dan mengkomunikasikan misi anda. Memperjelas misi dan ideologi; berkarisma; menggunakan praktik perekrutan berdasarkan nilai; menekankan orientasi berdasarkan nilai strs dan pelatihan; membentuk tradisi.
98
3. Menjamin keadilan organisasi. Memiliki prosedur penyampaian keluhan yang komprehensif; menyediakan komunikasi dua-arah yang ekstensif. 4. Menciptakan rasa komunitas. Membangun homogenitas berdasarkan nilai; keadilan; menekankan kerja sama; saling mendukung, dan kerja tim; berkumpul bersama. 5. Mendukung perkembangan karyawan. Melakukan aktualisasi; memberikan pekerjaan menantang pada tahun pertama; memajukan dan memberdayakan; mempromosikan dari dalam; menyediakan aktivitas perkembangan; menyediakan keamanan kepada karyawan tanpa jaminan. 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Komitmen Organisasi Komitmen karyawan pada organisasi tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses yang cukup panjang dan bertahap. Komitmen karyawan pada organisasi juga ditentukan oleh sejumlah faktor. Misalnya, Steers (1985) mengidentifikasi ada tiga faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu: (1) Ciri pribadi pekerja, termasuk masa jabatannya dalam organisasi, dan variasi kebutuhan dan keinginan yang berbeda dari tiap karyawan; (2) Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan rekan sekerja; dan (3) Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi di masa lampau dan cara pekerja-pekerja lain mengutarakan dan membicarakan perasaannya mengenai organisasi. David (Sopiah, 2008: 163) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada oragnisasi, yaitu: 1. Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, kepribadian, dan lain-lain.
99
2. Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan dalam pekerjaan, konflik peran dalam pekerjaan, tingkat kesulitan dalam pekerjaan, dan lain-lain. 3. Karakteristk struktur, misalnya besar/kecilnya organisasi, bentuk organisasi seperti sentralisasi atau desntralisasi, kehadiran serikat pekerja dan tingakat komitmen pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan. 4. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja karyawan sangat berpengaruh terhadap tingkat komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan yang baru beberapa tahun bekerja dan karyawan yang sudah puluhan tahun bekerja dalam organisasi tentu memiliki tingkat komitmen yang berlainan. Stum (Sopiah, 2008: 164) mengemukakan ada 5 faktor yang berpengaruh terhadap komitmen organisasi: (1) budaya keterbukaan, (2) kepuasan
kerja,
(3)
kesempatan
personal
untuk
berkembang,
(5)
penghargaan kerja yang sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan Young et.al (1998) mengemukakan ada 8 faktor yang secara positif berpengaruh terhadap kimitmen organisasi: (1) kepuasan terhadap promosi, (2) karakteristik
pekerjaan,
(3)
komunikasi,
(4)
kepuasan
terhadap
kepemimpinan, (5) pertukaran ekstrinsik, (6) pertukaran instrinsik, (7) imbalan intrinsik, dan (8) imbalan ekstrinsik.
100
Steers dan Porter (Sopiah, 2008: 164) mengemukakan ada sejumlah faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu: 1. Faktor personal yang meliputi job expectations, psychological contract, job choice factors, karakteristik personal. Keseluruhan faktor ini akan membentuk komitmen awal. 2. Faktor organisasi, meliputi initial works experinces, job scope, supervision, goal consistency organizational. Semua faktor itu akan membentuk atau memunculkan tanggung jawab. 3. Non-organizational factors, yang meliputi availability of alternative jobs. Faktor yang bukan berasal dari dalam organisasi, misalnya ada tidaknya alternatif pekerjaan lain. Jika ada dan lebih baik, tentu karyawan akan meninggalkannya. Dengan demikian dari kajian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi adalah faktor personal, faktor organisasi, dan faktor yang bukan dari dalam organisasi. 5. Pengukuran Komitmen Organisasional Mowday, et.al. (Sopiah, 2008: 165) mengemukakan: "which has dominated operationalisation of the concept and has stood for over three decades, organizational commitment has three component: (1) "a strong belief in and acceptance of organizational goals and values (IDENTIFICATION); (2) a willingness to exert considerable efforts on behalf of the organization (INVOLVEMENT); dan (3) a strong desire to maintain membership in the organisation (LOYALTY)".
101
Komponen komitmen organisasional terdiri dari tiga yaitu: (1) suatu keyakinan yang kuat pada dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai organisasi (identifikasi); (2) suatu kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh guna kepentingan organisasi (keterlibatan); dan (3) suatu keinginan yang kuat untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi (kesetiaan). Sementara Meyer et.al (Sopiah, 2008: 165) mengemukakan komponen komitmen organisasional sebagai "this model identifies three distinct components of organizational commitment": (1) "affective commitment" seperti kasih sayang karyawan, identifikasi dan keterlibatan dalam organisasi. Komitmen efektif ini menunjukkan ikatan emosional dan pengidentifikasian serta keterlibatan anggota terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi; (2) "continuance commitment" (komitmen kontinyu) yaitu komitmen yang didasarkan atas pertimbangan biaya atau kerugian yang harus ditanggung jika keluar dari organisasinya. Dengan perkataan lain, karena mereka membutuhkan bersama dengan organisasi; dan (3) "normative commitment" (komitmen normatif) yaitu suatu komitmen yang dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial yang merasakan adanya keharusan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Dalam penelitian ini, konsep yang akan digunakan untuk mengukur komitmen organisasional mengacu pada Meyer & Alien (1990) yang mengklasifikasikan komitmen organisasional menjadi tiga komponen, yaitu: (1) komitmen afektif; (2) komitmen kontinyu atau rasional, dan (3). komitmen normatif, karena ketiga komponen komitmen organisasional ini merupakan sikap dan perilaku karyawan yang dapat diamati dan diukur serta lebih aplikatif untuk
102
mendekati pemecahan masalah komitmen organisasional yang dihadapi tenaga pendidik (guru) yang dijadikan objek dan sasaran penelitian. F. KAJIAN TERDAHAULU YANG RELEVAN Penelitian tentang gaya kepemimpinan pendidikan berbasis budaya lokal dan komitmen personil kaitannya dengan produktivitas kerja guru, telah banyak dilakukan sesuai dengan ruang lingkup kajian yang dijadikan acuan oleh peneliti. Penelitian yang dilakukan Eva El Risalati (2004:) tentang hubungan tingkat kesejahteran dengan produktivitas kerja guru pada Madrasah Aliyah di Kota Bandung, menyatakan bahwa: “Tingkat kesejahteran finansial maupun non-finansial sangat berpengaruh terhadap produktivitas kerja guru pada Madrasah Aliyah di Kota Bandung. Atau terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kesejahteraan finansial maupun non-finansial dengan produktivitas kerja guru. Hasil penelitian Yahya M (2004) dalam penelitiannya mengenai pengaruh gaya kepemimpinan terhadap produktivitas kerja pegawai, hasil penelitian mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan manusia bila dikorelasikan dengan produktivitas kerja pegawai, sangat tinggi pengaruhnya atau terdapat pengaruh yang signifikan. Nani Hartini, (2006) dalam penelitian tentang produktivitas kerja dosen Universitas Pasundan Bandung, hasil penelitiannya mengemukakan terdapat pengaruh antara kinerja dosen terhadap produktivitas kerja, dan iklim organisasi dengan produktivitas kerja ada pengaruh yang signifikan.
103
G. KESIMPULAN KAJIAN TEORI Dari keseluruhan uraian kajian teori di atas dapat disimpulkan bahwa, produktivitas kerja pada dasarnya adalah suatu sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Peningkatan produktivitas kerja merupakan pengertian relatif, melukiskan keadaan saat ini yang lebih baik dibanding dengan keadaan masa lalu atau keadaan di tempat lain. Kepemimpinan merupakan kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh seseorang untuk mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakan, mengarahkan, dan kalau perlu memaksa orang atau kelompok agar menerima pengaruh tersebut dan selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu tercapainya suatu tujuan tertantu yang telah ditetapkan. Gaya kepemimpinan adalah sekumpulan ciri yang digunakan pimpinan untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai, atau dapat pula dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan oleh seorang pemimpin. Budaya artinya kita berbicara mengenai kehidupan, tingkah laku, peradaban, ciri khas, dan lain sebagainya. Karena budaya adalah sesuatu yang melekat dalam kehidupan manusia. Tentu saja jika kita memahami budaya maka kita akan mendapati perbedaan-perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Budaya lokal merupakan wujud dari budaya nasional,
104
sehingga budaya lokal adalah tingkah laku, peradaban yang mencirikhas kedaerahan tempat individu atau kelompok itu berada. Komitmen merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan. Gaya kepemimpinan pendidikan berbasis budaya local merupakan factor yang mempengaruhi produktivitas kerja guru untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Begitu juga dengan komitmen para personil, komitmen yang kuat dari personil akan berpengaruh pada produktivitas kerja. Artinya apabila ada komitmen yang kuat dari para personil maka akan ada kerja sama antara pimpinan dan bawahan dalam menciptakan suasana kerja yang kondusif dan akan meningkatkan produktivitas kerja yang maksimal yang telah disepakati bersama.