BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Konsep Kualitas 2.1 Konsep Umum Pelayanan 2.1.1 Pengertian Pelayanan Berkaitan dengan pelayanan, ada dua istilah yang perlu diketahui, yaitu melayani dan pelayanan. Pengertian melayani adalah “membantu menyiapkan (mengurus apa yang diperlukan seseorang)”. Sedangkan pengertian pelayanan adalah “usaha melayani kebutuhan orang lain”, Powerwadarminta (dalam Sutopo dan Suryanto, 2003:8). Pelayanan pada dasarnya adalah kegiatan yang ditawarkan oleh organisasi atau perorangan kepada konsumen (customer/yang dilayani), yang bersifat tidak berwujud dan tidak dapat memiliki. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Morman dalam (Sutopo dan Suryanto, 2003:8), mengenai karakteristik tentang pelayanan, sebagai berikut: 1) Pelayanan bersifat tidak dapat diraba, pelayanan sangat berlawanan sifatnya dengan barang jadi; 2) Pelayanan itu kenyataannya terdiri dari tindakan nyata dan merupakan pengaruh yang sifatnya adalah tindakan sosial; 3) Produksi dan konsumsi dari pelayanan tidak dapat dipisahkan secara nyata, karena pada umumnya kejadiannya bersamaan dan terjadi ditempat yang sama. Karakteristik tersebut dapat menjadi dasar bagaimana memberikan pelayanan yang terbaik. Pengertian yang lebih luas juga disampaikan oleh Daviddou dan Utal (dalam Sutopo dan Suryanto, 2003:9), mengemukakan bahwa pelayanan merupakan usaha apa saja yang mempertinggi kepuasan pelanggan (whatever enhances customer satisfaction). Berkaitan
dengan hal tersebut, Kolter (dalam Lupliyoadi, 2001:158), mengemukakan bahwa pencapaian kepuasan pelanggan melalui kualitas pelayanan dapat ditingkatkan dengan beberapa pendekatan sebagai berikut: 1) Memperkecil kesenjangan-kesenjangan yang tarjadi antara pihak manajemen dan pelanggan. Misalnya, melakukan penelitian dengan metode customer focus yang mengerdarkan kuisioner dalam beberapa periode, untuk mengetahui persepsi pelayanan menurut pelanggan. Demikian juga penelitian dengan metode pengamatan bagi pegawai perusahaan tentang pelaksanaan pelayanan. 2) Perusahaan harus mampu membangun komitmen bersama untuk menciptakan visi di dalam perbaikan proses pelayanan. Yang termasuk di dalamnya adalah memperbaiki cara berfikir, kemampuan, dan pengetahuan dan semua sumber daya manusia yang ada. Misalnya dengan metode brainstormin dan management by walking around untuk mempertahankan komitmen pelanggan internal (pegawai). 3) Memberi kesempan pada pelanggan untuk menyampaikan keluhan. Dengan membentuk complaint and suggestion system, misalnya dengan hotline bebas pulsa. 4) Mengembangkan dan menerapkan accountable, proactive, dan partnership marketing sesuai dengan situasi pemasaran. Perusahaan menghubungi pelanggan setelah proses pelayanan terjadi untuk mengetahui kepuasan dan harapan pelanggan (accountable). Perusahaan menghubungi pelanggan dari waktu ke waktu untuk mengetahui perkembangan pelayanannya (proactive). Sedangkan partnership marketing adalah pendekatan dimana perusahaan membangun kedekatan dengan pelanggan yang bermanfaat untuk meningkatkan citra dan posisi perusahaan di pasar. Walaupun pendapat tersebut lebih difokuskan pada perusahaan dengan orientasi pada pencapaian keuntungan maksimum, tetapi menurt pandangan penulis pendekatan ini dapat
pula diterapkan pada lembag publik, termasuk puskesmas guna meningkatkan kepuasan dan guna jasa puskesmas. Menurut keputusan MENPAN Nomor 81 tahun1992 yang dimaksud pelayanan adalah pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat dan daerah, dilingkungan BUMN/BUMD dalam bentuk barang dan jasa, baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah dapat berupa fisik, non fisik maupun administratif. Berdasarkan fungsi pemerintah dalam melakukan pelayanan umum (publik) terdapat tiga fungsi pelayanan, yaitu environmental service, development service dan protective service. Pelayanan yang diberikan oleh pemerintah juga dapat dibedakan berdasarkan siapa yang dapat menikmati atau memperoleh dampak dari suatu layanan, baik seseorang secara individu maupun kelompok atau kolektif. Untuk itu perlu disampaikan bahwa konsep barang layanan pada dasarnaya terdiri dari jeni barang layanan privat (private goods) dan barang layanan yang dinikmati secara kolektif (public goods). Perhatian pemerintah terhadap perbaikan pelayanan kepada masyarakat, sebenarnya sudah diatur dalam beberapa pedoman, antara lain adalah keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor 81 tahun 1993 yang mengetengahkan sendi-sendi pelayanan seperti: a. Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan. b.
Kejelasan dan kepastian, adanya kejelasan dan kepastian mengenai: 1) Prosedur/tata cara pelayanan umum; 2) Persyaratan-persyaratan umum, baik teknis maupun administratif;
3) Unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum; 4) Rincian biaya/tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya; 5) Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum; 6) Hak dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima layanan umum berdasarkan bukti-bukti penenrima permohonan/kelengkapannya sebagai alat untuk memastikan mulai dari proses pelayanan umum hingga ke penyelesaiannya. c. Keamanan, dalam arti bahwa proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hokum; d. Keterbukaan, dalam arti prosedur/tata cara, persyaratan satuan kerja pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya dan hal-hal yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta. e. Efisien, dalam arti 1) Persyaratan pelayanan umum dibatasi hanya pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberikan; 2) Dicegah adanya pengulangan kelengkapan persyaratan pada konteks yang sama, dalam hal proses pelayanannya, kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instanasi pemerintah lain yang terkait. f. Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar dan memperhatikan: 1) Nilai barang atau jasa pelayanan umum/tidak menuntut biaya yang tinggi diluar kewajaran; 2) Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum;
3) Ketentuan perundang-undangan yang berlaku. g. Keadilan yang merata dalam arti cukup/jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil; h. Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan; 2.1.2 Komitmen pelayanan Pedoman untuk mencapai kesuksesan dalam memperkenalkan inisiatif pelayanan dengan menggunakan indikator pelayanan seperti diuraikan diatas memerlukan komitmen dari semua komponen/aparatur birokrasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dukungan dan komitmen yang dimaksud (dalam Sutopo dan Suryanto, 2003:20-21), sebagai berikut: a. Kejelasan Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat (pelanggan) diperlukan kejelasan terhadap semua hal yang berkaitan dengan system dan prosedur pelayanan menurut ketentuan yang berlaku pada organisasi pemerintah (pusat, propinsi, kabupaten/kota dan instansi pemerintah lainnya), sehingga masyarakat (pelanggan) dapat mengerti hak dan kewajibannya untuk mendapatkan pelayanan yang prima dari aparatur birokrasi. b. Konsistensi Aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dituntut agar konsisten dalam menerapkan atau melaksanakan aturan (pelayanan), sehingga kesan yang selama ini berkembang di masyarakat bahwa birokrasi sangat identik dengan “berbelitbelit, biaya mahal dan waktu yang lama” dapat ditepis, sehingga pada gilirannya akan merebut hati masyarakat. Untuk itu, janganlah menunjukan atau memperkenalkan ketidak konsistenan antara system dan prosedur pelayanan yang berlaku dengan kenyataan dan pandangan masyarakat.
c. Komunikasi Katakana kepada masyarakat (pelanggan) bahwa system dan prosedur pelayanan yang saya sampaikan merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga masyarakat tidak perlu berpresepsi negatif pada aparatur birokrasi yang memberikan pelayanan. Perhatikan aspek-aspek psikologis yang dialami oleh pelanggan dan pelayan. d. Komitmen Bahwa dalam mengimplementasikan pelayanan prima pada masyarakat diperlukan komitmen yang kuat, mulai dari mangambil keputusan sampai pada pelaksanaan keputusan, sehingga pelayanan prima kepada masyarakat dapat dilihat seperti dalam sebuah orkes simphoni. Dalam orkes simphoni semua pemain mempunyai komitmen yang kuat, mulai dari tampilan pemainnya sampai pada nada dan iramanya, sehingga hasil yang ditunjukkan dapat menyenangkan hati semua orang. Orientasi pada pelayanan menunjuk pada seberapa banyak energy birokrasi dimanfaatkan untuk penyelenggaraan pelayanan publik. System pemberian pelayanan yang baik dapat dilihat dari besarnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh birokrasi secara efektif didayagunakan untuk melayani kepentingan pengguna jasa. Idealnya, segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki oleh aparat birokrasi hanya dicurahkan atau dikonsentrasikan untuk melayani kebutuhan dan kepentingan pengguna jasa. Kemempuan dan sumber daya dari aparat birokrasi sangat diperlukan agar orientasi pada pelayanan dapat dicapai. Contohnya adalah masalah penyediaan waktu kerja aparat benar-benar berorientasi pada pemberian pelayanan kepada masyarakat. Aparat birokrasi yang ideal adalah aparat birokrasi yang tidak dibebani oleh tugas-tugas kantor lain di luar tugas pelayanan kepada masyarakat. Aparat pelayanan yang ideal juga seharusnya tidak memiliki kegiatan atau pekerjaan lain, seperti pekerjaan sambilan di luar pekerjaan kantor yang dapat mengganggu tugas-tugas penyelenggaraan pelayanan. Kualitas pelayanan aparat birokrasi akan dapat
maksimal apabila seluruh waktu dan konsentrasi aparat benar-benar tercurah untuk melayani masyarakat pengguna jasa. Kondisi pelayanan yang ideal diatas dalam realitasnya sangat sulit untuk diwujudkan dalam birokrasi, karena adanya ketidakjelasan pembagian wewenang, inkonsistensi pembagian kerja, serta sikap pimpinan kantor yang sewenag-wenang dalam memberikan tugas kepada aparat bawahan tanpa memperhatikan aspek sifat pekerjaan, urgensi pekerjaan, dan dampak pemberian tugas terhadap kualitas pemberian pelayanan pada masyarakat. Halhal tersebut merupakn beberapa faktor penyebab sulitnya aparat birokrasi berkonsentrasi secara penuh pada tugas-tugas pelayanan masyarakat. Aparat birokrasi sering kali meninggalkan tugas-tugas pelayanan dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk tugastugas di luar tugas pelayanan. Kondisi tersebut membuat pelayanan kepada masyarakat menjadi terganggu. Dari penjelasan tersebut, terdapat 3 (tiga) variabel yang dianggap relevan dan dominan, yaitu profesionalisme, kepemimpinan dan kewenangan diskresi dengan harapan bahwa perbaikan manajemen pelayanan dapat dilakukan setelah mengetahui varian serta elemen-elemen dari masing-masing variabel, sebagai berikut: 1) Profesionalisme Istilah dari profesionalisme berasal dari kata professio,yang dalam bahasa inggris professio memiliki arti sebagai berikut : “A vocation or occupation requiring advanced training in some liberal art or science and usually involving mental rather than manual work, as teaching engineering, writing, etc”, Webster Dictionary (dalam tangkilisan, 2005:225). Dari kata profesional tersebut lahir arti professional quality, status, etc yang secara komprehensif memiliki arti lapangan kerja tertentu yang diduduki oleh orang yang memiliki kemampuan tertentu pula. Demikian juga dengan yang dikatakan oleh Korten
dan
Alfonso
(dalam
Tangkilisan,
2005:232),
mengemukakan
bahwa
profesionalisme adalah kecocokan (fitness) antara kemampuan yang dimiliki oleh birokrasi (bureaucratic-competence) dengan kebutuhan tugas (task-requirement). 2) Kepemimpinan Seorang pemimpin yang mempunyai visi sudah barang tentu akan mampu mengelola organisasi dan segala sumber daya yang mendukung, oleh karena itu pemimpin yang efektif harus mempunyai agenda dalam mencapai tujuan organisasi, menghadapi tantangan dan kemungkinan yang akan terjadi dan mewujudkan keinginan dengan visi yang baru
serta mengkomunikasikannya dan mengajak orang lain bersatu untuk
mencapai tujuan baru dengan menggunakan sumber daya dan energi seefisien mungkin. Naas (dalam Tangkilisan, 2005:223), mengemukakan tiga model kepemimpinan yakni: a. Autocratic and hierarchical leadership, kepemimpinan yang bersifat top down, autokratis. Model ini dapat menyebabkan organisasi menjadi anomie atau membuat anggota organisasi kehilangan percaya diri dan merasa kerdil serta kehilangan motivasi dalam organisasi. b. Participatory leadership, yakni pemimpin yang bersifat partisipatif, membagi pengambilan keputusan dan pertanggung jawaban ke bawah, dan membentuk tim antar tim yang efektif untuk meningkatkan skill dan kemampuan individu. c. Value-based leadership, kepemimpinan yang didasarkan atas hubungan nilaiyang solid dan terintegrasi di antara sesama anggota dan pemimpinnya. Di samping itu, Davis (dalam Tangkilisan, 2005:237), mengikhtisarkan empat cirri utama yang memiliki pengaruh terhadap kesuksesan pemimpin yaitu: a. Kecerdasan (intelligence) b. Kedewasaan dan hubungan social c. Motivasi dan dorongan berprestasi d. Sikap hubungan manusiawi
3) Kewenangan diskresi Dwiyanto (dalam Tangkilisan, 2005:243), mengemukakan bahwa diskresi adalah suatu langkah yang ditempuh oleh administrator untuk menyelesaikan kasus tertentu yang tidak atau belum diatur dalam regulasi yang baku. Konteks tersebut, diskresi dapat berarti suatu bentuk kelonggaran pelayanan yang diberikan oleh administrator kepada pengguna jasa. Pertimbangan melakukan diskresi adalah realitas bahwa suatu kebijakan atau peraturan tidak mungkin mampu merespon banyak aspek dan kepentingan semua pihak sebagai akibat adanya keterbatasan prediksi para aktor atau stakeholders dalam proses merumuskan kebijakan atau peraturan.
2.2 Konsep Kualitas Layanan Kata kualitas mengandung banyak defenisi dan makna karena orang yang berbeda akan mengartikannya secara berlainan, seperti kesesuaian dengan persyaratan atau tuntutan, kecocokan untuk pemakaian perbaikan berkelanjutan, bebas dari kerusakan atau cacat, pemenuhan kebutuhan pelanggan, melakukan segala sesuatu yang membahagiakan. Dalam perspektif TQM (Total Quality Management) kualitas dipandang secara lebih luas, yaitu tidak hanya aspek hasil yang ditekankan, tetapi juga meliputi proses, lingkungan dan manusia. Hal ini jelas tampak dalam defenisi yang dirumuskan oleh Goeth dan Davis (dalam Tjiptono, 2000:51) bahwa kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Sebaliknya, menurut Kuncoro dan Lukman (1999:9) definisi kualitas bervariasi dari yang kontroversional hingga kepada yang lebih strategik. Definisi konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung suatu produk, seperti : 1. performansi (performance) ; 2. keandalan (reliability) ; 3. mudah dalam penggunaan (ease of use) ; 4.
estetika (esthetics), dan sebagainya. Oleh karena itu, kualitas pada prinsipnya adalah untuk menjaga janji pelanggan agar pihak yang dilayani merasa puas dan diungkapkan. Aparatur memiliki tingkatan kinerja tertentu dalam memberikan layanan, sedangkan masyarakat memiliki espektasi tentang kualitas layanan yang diinginkan. Kualitas layanan, dengan demikian, didefinisikan sebagai hasil persepsi dari perbandingan antara harapan pelanggan (penerima layanan) dengan kinerja aktual pemberi layanan. Dari pengertian ini terdapat dua unsur utama dalam kualitas layanan, yaitu expected service (layanan yang diinginkan) dan perceived service (layanan yang dirasakan). Apabila layanan yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas layanan yang dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika layanan yang diterima melampaui harapan pelanggan maka kualitas layanan dipersepsikan sebagai kualitas ideal. Sebaliknya, jika kualitas layanan yang diterima lebih rendah, maka akan dipersepsikan buruk atau tidak memuaskan (Gronroos, dalam Hakim, 2005). Kualitas pelayanan pada prinsipnya sangat berkaitan dengan tingkat kepuasan yang dirasakan oleh konsumen dan jika ditinjau dari sudut produsen berkaitan dengan fisik, fungsi, dan sifat suatu produk bersangkutan yang dapat memenuhi selera dan kebutuhan konsumen. Sehubungan dengan itu, Zeithami (dalam Ridwan, 2002:35-36), mengemukakan bahwa tolak ukur kualitas pelayanan dapat diukur oleh 5 sub variabel (dimensi), yaitu: 1) tangibles (berwujud); 2) reliability (keandalan); 3) responsiveness (keresponsivan); 4) competence (pengetahuan dan keterampilan) serta 5) courtesy (perilaku). Menurut Ma’moeri (1989:13), bahwa pelayanan umum akan dapat terlaksana dengan baik dan memuaskan apabila didukung oleh beberapa faktor antara lain, kesadaran para pimpinan dan pelaksana, adanya aturan yang memadai, organisasi dengan mekanisme sistem yang dinamis, pendapatan pegawai yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, kemampuan
dan
keterampilan
yang
sesuai
dengan
tugas/pekerjaan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan dan tersedianya sarana pelayanan sesuai dengan jenis dan bentuk pekerjaan. Keenam faktor pendukung itu mempunyai bobot sama kecuali faktor kesadaran yang berbobot lebih tinggi dari yang lain. Kelemahan salah satu factor akan berakibat pada hasil pelaksanaan tugas/pekerjaan pelayanan yang tidak memenuhi keinginan semua pihak, baik manajemen maupun pihak yang dilayani. Kesadaran pegawai pada segala tingkat terhadap tugas/pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, membawa dampak yang sangat positif terhadap organisasi dan tugas/pekerjaan itu sendiri. Ia akan menjadi sumber kesungguhan dan disiplin dalam melaksanakan tugas, sehingga hasil dapat diharapkan memnuhi standar yang telah ditetapkan baik dalam perwujudan standar pelaksanaan (performance’s standard) maupun standar operasional (operational’s standard). Pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai memerlukan adanya keterampilan guna melaksanakan tugas/pekerjaan yang pada umumnya menggunakan empat unsure, yaitu otot, saraf, perasaan dan pikiran dengan bobot berbeda sesuai dengan jenis tugas/pekerjaan yang diberikan. Dalam bidang pelayanan, yang menonjol dan paling cepat dirasakan oleh orangorang yang menerima layanan adalah keterampilan pelaksanaan tugasnya. Mereka inilah yang akan membawa penilaian terhadap baik buruknya layanan. Setiap pimpinan suatu institusi publik menghendaki agar tercapai suatu pelayanan jasa yang unggul (service excellence), yaitu sikap atau cara karyawan dalam melayani masyarakat pelanggan secara memuaskan. Menurut Kotler (dalam Hakim, 2005) terdapat lima factor determinan yang menentukan kualitas layanan yang diberikan, yaitu: a) Kehandalan, kemampuan untuk memberikan jasa yang dijanjikan tepat pada waktunya; b) Responsive, kemauan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat; c) Keyakinan, kemampuan untuk menimbulkan kepercayaan pada diri pelanggan melalui perilaku ramah dan sopan;
d) Empati, kepedulian atau kemampuan untuk memberikan perhatian pribadi pada pelanggan; e) Berwujud, mengacu pada fasilitas fisik, yaitu kemampuan dalam menyediakan peralatan, personil, dan media komunikasi yang dibutuhkan pelanggan. Gambaran teoritis sebagaimana di kemukakan di atas menunjukan bahwa kualitas Layanan bukan hanya persoalan pelayanan yang cepat, akan tetapi bagaimana pelayanan itu dapat diterima baik oleh pihak yang dilayani dan pihak yang melayani, artinya tinggkat kepuasaan yang menentukan. Oleh karena itu, penting artinya bila kualitas layanan dipahami dengan benar oleh perangkat unit kerja. Karena system atau petunjuk proseduran sebagaimana yang telah ditetapkan pemerintah, masih lebih birokratis, sehingga kemungkinan tidak berdasarkan selera konsumen. Inggris ketika menerapkan model pemerintahan wirausaha (entrepreneurial government) dimasa pemerintahan Margaret Teacher, melakukan perombakan system birokrasi. Kemampuan dan keberanian tersebut, dapat dinikmati ketika kepemimpinannya pada periode ke II (Obsorne dan Gabler, 2003:8). Hal ini dimaksudkan idiologi birokratis yang diterapkan di Negara Inggris, membuat Negara tersebut tidak bias berkembang,bahkan korupsi semakin tinggi. Dengan perubahan ideology pemerintahan yang lebih berorientasi pada kewirausahaan, sehingga pelayanan yang ada dimasyarakat semakin membaik serta Inggris mengalami kemajuan yang pesat. Ini artinya, kualitas pelayanan kepada masyarakat bisa berjalan dengan baik apabila system birokrasi atau pelayanan yang ada di lembaga pemerintahan didasarkan pada kemauan pelanggan/masyarakat, sehingga akan ditemukan tingkat kepuasan bagi pihak yang dilayani. Menurut Gaspersz (dalam Kuncoro dan Lukman, 1999:146) pada dasarnya system kualitas modern dapat dicirikan oleh lima karakteristik, yaitu sebagai berikut:
1) System kualitas modern berorientasi pada pelanggan yang berarti produk-produk didesain sesuai dengan keinginan pelanggan melalui suatu riset pasar kemudian diproduksi dengan baik dan benar sehinggga memenuhi spesifikasi desain yang pada akhirnya memberikan pelayanan purnajual kepada pelanggan. 2) System kualitas modern dicirikan oleh adanya partisipasi aktif yang dipimpin oleh manajemen puncak dalam proses peningkatan kualitas secara terus-menerus. 3) System kualitas modern dicirikan oleh adanya pemahaman dari setiap orang terhadap tanggung jawab spesifik untuk kualitas. 4) System kualitas modern dicirikan oleh adanya aktivitas yang berorientasi pada tindakan pencegahan kerusakan, tidak berfokus pada upaya untuk mendeteksi kerusakan saja. 5) System kualitas modern dicirikan oleh adanya suatu filosofi yang menganggap bahwa kualitas merupakan jalan hidup. Kualitas memiliki hubungan yang sangat erat dengan kepuasan pelanggan, yaitu kualitas memberikan suatu dorongan kepada pelanggan untuk menjalani ikatan hubungan yang kuat dengan perusahaan. Dalam jangka panjang ikatan seperti ini memungkinkan perusahaan untuk memahami dengan seksama harapan pelanggan serta kebutuhan mereka. Dengan demikian, perusahaan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan, yang pada gilirannya kepuasan pelanggan dapat menciptakan kesetiaan atau loyalitas pelanggan kepada perusahaan yang memberikan kualitas yang memuaskan.