BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep Kebijakan Publik 1. Kebijakan Publik Istilah kebijakan publik sebenarnya telah sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Pada dasarnya banyak batasan atau definisi mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan publik. Salah satu definisi yang diberikan oleh Robert Eyestone dalam Budi Winarno (2007: 15) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “hubungan antara unit pemerintah dengan lingkungannya”. Banyak pihak beranggapan bahwa definisi tersebut masih terlalu luas untuk dipahami, karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup banyak hal. Thomas
R
Dye
sebagaimana
dikutip
Islamy
(2009:19)
mendefinisikan kebijakan publik sebagai “ is whatever government choose to do or not to do” (apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan). Definisi ini menekankan bahwa kebijakan publik adalah mengenai perwujudan “tindakan” dan bukan merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat publik semata. Di samping itu pilihan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai pengaruh (dampak) yang sama dengan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu. Terdapat beberapa ahli yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam merespon suatu 14
15
krisis atau masalah publik. Parker sebagaimana disunting Abdul Wahab (2011: 46) memberikan batasan bahwa kebijakan publik adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pemerintah pada periode tertentu dalam hubungan dengan suatu subyek atau tanggapan atas suatu krisis. Begitupun dengan Chandler dan Planoyang dikutip Tangkilisan (2003 :1) menyatakan bahwa pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus-menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Hal senada juga diungkapkan Woll (Tangkilisan 2003:2) menyebutkan bahwa kebijakan publik ialah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. David
Easton
sebagaimana
dikutip
Agustino
(2008:19)
memberikan definisi kebijakan publik sebagai “ the autorative allocation of values for the whole society”. Definisi ini menegaskan bahwa hanya pemilik otoritas dalam sistem politik (pemerintah) yang secara sah dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya dan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai. Hal ini disebabkan karena pemerintah
16
termasuk ke dalam “authorities in a political system” yaitu para penguasa dalam sistem politik yang terlibat dalam urusan sistem politik sehari-hari dan mempunyai tanggung jawab dalam suatu masalah tertentu dimana pada suatu titik mereka diminta untuk mengambil keputusan di kemudian hari kelak diterima serta mengikat sebagian besar anggota masyarakat selama waktu tertentu. Menurut James E Anderson sebagaimana disunting Budi Winarno (2008 : 20-21) memberikan definisi tentang kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, di mana implikasi dari kebijakan tersebut adalah: 1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakantindakan yang berorientasi pada tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah; 3) kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan; 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa. Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian “tindakan” (nyata/bukan suatu kehendak) yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang
17
berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik atau demi kepentingan publik. Kebijakan untuk melakukan sesuatu biasanya tertuang dalam ketentuan-ketentuan atau peraturan perundangundangan yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat dan memaksa. 2. Implementasi Kebijakan Publik Sebaik apapun kebijakan publik yang telah dibuat hanya kan menjadi sia-sia jika tidak ada upaya untuk mengimplementasikannya karena tidak akan membawa dampak atau tujuan yang diinginkan. Maka dari itu implementasi kebijakan merupakan salah satu tahapan krusial dalam proses kebijakan publik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Edwards III yang disuntingHaedar Akib (2008 :2) bahwa tanpa adanya implementasi yang efektif maka keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan. Begitupun dengan Chief J.O. Udoji yang menyatakan bahwa dalam proses kebijakan publik, implementasi kebijakan adalah sesuatu yang penting,
bahkan
jauh
kebijakan.Implementasi
lebih kebijakan
penting
daripada
merupakan
pembuatan
jembatan
yang
menghubungkan formulasi kebijakan dengan hasil (outcome) kebijakan yang diharapkan (Nurhajadmo,2008:216). Menurut Samodera Wibawa, tahap implementasi kebijakan dapat dicirikan dan dibedakan dengan tahap pembuatan kebijakan. Pembuatan
18
kebijakan di satu sisi merupakan proses yang memiliki logika bottom-up, dalam arti proses kebijakan diawali dengan penyampaian aspirasi, permintaan atau dukungan dari masyarakat. Sedangkan implementasi kebijakan di sisi lain di dalamnya memiliki logika top-down, dalam arti penurunan alternatif kebijakan yang abstrak atau makro menjadi tindakan konkrit atau mikro (Haedar Akib, 2008:2). Ripley dan Franklin sebagaimana dikutip Budi Winarno (2007:145) berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undangundang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit) atau suatu jenis iuran yang nyata (tangible output). Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah. Implementasi mencakup tindakan-tindakan
(tanpa
tindakan-tindakan)
oleh
berbagai
aktor,
khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk membuat program berjalan. Van Meter dan Van Horn sebagaimana dikutip Agustino (2008: 139) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan dalam kebijakan.
19
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi adalah proses mewujudkan kebijakan publik dari kebijakan yang bersifat abstrak (tertuang dalam suatu ketentuan atau peraturan perundangan) ke dalam bentuk yang lebih konkrit yaitu berupa tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sehingga memperoleh hasil atau dampak yang diharapkan. Implementasi kebijakan publik pada dasarnya bukanlah proses yang sederhana, akan tetapi merupakan proses yang cukup rumit dan sulit. Eugene Bardach seorang ahli studi kebijakan sebagaimana dikutip Agustino
(2008:
138)
menggambarkan
kesulitan
dalam
proses
implementasi kebijakan dengan pendapatnya sebagai berikut : “…adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya, dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk dan cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka anggap klien”. Suharno (2010 : 187) juga mengungkapkan bahwa dalam implementasi kebijakan publik meski telah melalui tahap rekomendasi yang merupakan prosedur yang relatif kompleks, tidak selalu menjamin kebijakan tersebut dapat berhasil dalam penerapannya. Keberhasilan kebijakan publik sangat terkait dengan beberapa aspek, diantaranya; pertimbangan pembuat kebijakan, komitmen dan konsistensi para pelaksana kebijakan, dan perilaku sasaran. Keadaan ini setidaknya memberikan gambaran bahwa terdapat faktor ataupun variabel-variabel
20
tertentu yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan publik. Banyak ahli mencoba merumuskan berbagai macam variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan publik. Edward III sebagaimana disunting (Suharno, 2010 : 188-190) mengajukan empat variabel atau faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu : a. Komunikasi Untuk
menjamin
keberhasilan
implementasi
kebijakan,
pelaksana harus mengetahui betul apa yang harus dilakulakannya berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan tersebut. Selain itu kelompok sasaran juga harus diinformasikan mengenai apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan. Ini penting untuk menghindari adanya resistensi dari kelompok sasaran. b. Faktor sumberdaya Tanpa sumberdaya yang memadai, tentu implementasi kebijakan tidak akan berjalan secara optimal. Sumber daya dapat berupa sumber daya manusia, yakni kompetensi implementor dan sumber daya finansial. c. Faktor Disposisi Disposisi yang dimaksud di sini adalah menyangkut watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti ; kejujuran, komitmen, dsb. Disposisi yang dimiliki oleh implementor menjadi salah
21
satu
variabel penting dalam implementasi kebijakan. Apabila
implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik sebagaimana diharapkan oleh pembuat kebijakan. d. Struktur Birokrasi, Birokrasi
merupakan
mengimplementasikan
struktur
kebijakan.
organisasi
Dia memiliki
yang
bertugas
pengaruh
yang
signifikan terhadap implementasi kebijakan. Untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan diperlukan sebuah Standard Operational
Procedure
(SOP)
sebagai
pedoman
bagi
setiap
implementor kebijakan. Adapun hubungan diantara variabel-variabel tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Komunikasi
Sumber Daya Implementasi Disposisi
Struktur Birokrasi Sumber: Agustino (2008:150) Gambar 1. Pendekatan Implementasi kebijakan George C Edward III
22
Dari gambar nomor 1 setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan keterkaitan diantara variabel-variabel sehingga pada akhirnya
memiliki
pengaruh
terhadap
keberhasilan
implementasi
kebijakan. Sebagai contoh, komunikasi yang baik merupakan faktor penting dalam kegiatan penyediaan sumber daya, pemilihan birokrasi, serta menetapkan disposisi seperti apa yang diharapkan dalam rangka mengimplementasikan suatu kebijakan. Tidak jauh berbeda dengan apa yang diajukan oleh Edward III, Donald Van Meter dan Carl Van Horn yang dikutip Suharno (2010: 195196) mengajukan enam variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu: a. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur, karena ketidakjelasan standar dan sasaran kebijakan berpotensi untuk menimbulkan interpretasi yang akhirnya berimplikasi pada sulitnya implementasi kebijakan. b. Sumber daya yang memadai baik sumber daya manusia maupun sumber daya non- manusia diperlukan guna mendukung implementasi kebijakan. c. Hubungan antarorganisasi diperlukan guna mengembangkan jalinan hubungan kerjasama yang sinergis diperlukan antar instansi terkait untuk mendukung implementasi kebijakan. d. Karakteristik agen pelaksana yang meliputi struktur birokrasi, normanorma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi kebijakan.
23
e. Kondisi sosial, politik dan ekonomi yang mencakup sumber daya lingkungan,
yang dapat mendukung keberhasilan implementasi
kebijakan; sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan (mendukung atau menolak); bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan. f. Disposisi implementor yang mencakup tiga hal penting, yaitu : 1) respon implementor terhadap kebijakan yang berimplikasi pada kemauan untuk melaksanakan kebijakan; 2) kognisi, yaitu pemahaman terhadap kebijakan; 3) intensitas disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang dimiliki implementor. Adapun hubungan diantara variabel-variabel tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Standar dan Tujuan
Aktivitas Implementasi & Komunikasi antarorganisasi
Karakteristik agen pelaksana
Kebijakan Publik
Disposisi Pelaksana
Kinerja Kebijakan Publik
Standar dan Tujuan Kondisi Ekonomi, sosial & Politik
Sumber : Agustino ( 2008:144) Gambar 2. Pendekatan Implementasi kebijakan Van Metter dan Van Horn
24
Merilee S. Grindle sebagaimana dikutip oleh Suharno (2010: 190191) menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh dua variabel besar, yaitu variabel isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi kebijakan (context of implementation). Variabel isi kebijakan meliputi beberapa hal, diantaranya: 1) Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan; 2) Jenis manfaat yang akan diterima oleh target groups, tentunya sebuah kebijakan akan lebih bermanfaat jika sesuai dengan kebutuhan target groups; 3) Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; 4) Apakah institusi/ implementor sebuah program sudah tepat; 5) apakah sebuah kebijakan telah menyebut implementornya dengan rinci; 6) Apakah sebuah program didukung oleh sumber daya (finansial maupun kompetensi implementor) yang memadai. Sedangkan variabel lingkungan implementasi kebijakan meliputi tiga aspek yaitu: 1) Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; 2) karakteristik institusi rejim yang yang berkuasa; 3) Tingkat kepatuhan dan resposivitas kelompok sasaran.
25
Tujuan-Tujuan Kebijakan
Kegiatan implementasi dipengaruhi :
a. Content of Policy
Pihak yang kepentingannya dipengaruhi Jenis manfaat yang bisa diperoleh Jangkauan perubahan yang diharapkan Letak pengambilan keputusan Pelaksana-Pelaksana program Sumber-sumber yang dapat disediakan
Tujuan tercapai?
Program-program aksi dan proyekproyek tertentu dirancang dan dibiayai
Hasil akhir a. Dampak terhadap masyarakat, perseorangan maupun kelompok b. Tingkat perubahan dan penerimaannya
b. Context Implementation
Kekuasaan, kepentingan dan strategi dari para aktor yang terlibat Karakteristik rejim Konsistensi dan daya tanggap
Program dijalankan sesuai rancangan?
Pengukuran Keberhasilan
Sumber : Abdul Wahab (2008: 180) Gambar 3. Pendekatan Implementasi kebijakan Miriam S Grindle
Menurut Mazmanian dan Sabastier (Suharno, 2010 : 191-194) ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yakni karakteristik masalah, karakteristik kebijakan, dan variabel lingkungan. Karakteristik masalah meliputi beberapa faktor berikut: 1) Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan; 2) Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran; 3) Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi; 4) cakupan perilaku yang diharapkan. Karakteristik kebijakan mencakup beberapa hal, yaitu : 1) kejelasan isi kebijakan; 2) Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan
26
teoritis; 3) besarnya alokasi sumberdaya financial terhadap kebijkan tersebut; 4) seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar institusi pelaksana; 5) kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana; 6) tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan; dan 7) seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan. Sedangkan variabel lingkungan meliputi beberapa faktor, yaitu: 1) Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi; 2) dukungan publik terhadap sebuah kebijakan; 3) Sikap dari kelompok pemilih (constituenty group); dan 4) tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor. Mudah tidaknya masalah dikendalikan 1. Dukungan teori dan teknologi 2. Keragaman Perilaku dan kelompok sasaran 3. Tingkat Perubahan perilaku yang dikehendaki
Kemampuan kebijakan untuk menstruktur proses implementasi 1. Kejelasan dan konsistensi tujuan 2. Dipergunakannya teori kausal 3. Ketepatan alokasi sumberdana 4. Keterpaduan hirarki anatar lembaga pelaksana 5. Aturan pelaksana dari lembaga pelaksana 6. perekrutan pejabat pelaksana 7. Keterbukaan pada pihak luar
1. 2. 3. 4. 5.
Variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi Kondisi sosio-Ekonomi dan Teknologi Dukungan Publik Sikap dan sumberdaya dari konstituen Dukungan pejabat yang lebih tinggi komitmen dan keterampilan implementaor
Tahapan dalam proses implementasi kebijakan outputkebij akan dari lembaga pelaksana
Sumber
Kepatuhan target untuk mematuhi output kebijakan
Hasil nyata output kebijakan
Diterimanya hasil tersebut
Revisi UndangUndang
: Agustino (2008 : 149)
Gambar 4. Pendekatan Implementasi kebijakan Publik Mazmanian & Sabatier
27
3. Evaluasi Implementasi Kebijakan Publik Evaluasi kebijakan merupakan proses terakhir dalam tahapan kebijakan publik. Menurut Budi Winarno ( 2009 : 226) secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup subtansi, implementasi dan dampak. Maka dalam hal ini evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan. Anderson (Paskarina, 2007 : 7) mengungkapkan bahwa evaluasi kebijakan menekankan pada estimasi atau pengukuran dari suatu kebijakan, termasuk juga materi, implementasi, pencapaian tujuan, dan dampak dari kebijakan tersebut, bahkan evaluasi juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan, sehingga hasil pengkajian tersebut dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan apakah kebijakan tersebut akan dilanjutkan, diubah, diperkuat atau diakhiri. Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa evaluasi implementasi kebijakan publik merupakan suatu upaya untuk mengukur, menilai, serta mengindentifikasi faktor-faktor yang
28
mempengaruhi berhasil atau tidaknya suatu kebijakan dalam lingkup yang lebih umum atau keseluruhan dari tahapan kebijakan publik. Terdapat tiga pendekatan besar dalam evaluasi kebijakan (Suharno, 2010 : 243-246). Pendekatan-pendekatan tersebut diantaranya evaluasi semu, evaluasi formal, dan evaluasi keputusan teoritis. Selanjutnya masing-masing pendekatan dijelaskan sebagai berikut : Evaluasi semu (pseudo evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid tentang hasil kebijakan, tanpa mempersoalkan lebih jauh tentang nilai dan manfaat dari hasil kebijakan tersebut bagi individu, kelompok sasaran dan masyarakat dalam skala luas. Asumsi pendekatan ini adalah bahwa nilai atau manfaat suatu hasil kebijakan akan terbukti dengan sendirinya serta akan diukur dan dirasakan secara langsung baik oleh individu, kelompok maupun masyarakat. Evaluasi formal (formal evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid tentang hasil kebijakan dengan tetap melakukan evaluasi atas hasil tersebut berdasarkan tujuan kebijakan yang telah ditetapkan dan diumumkan
secara
formal
oleh
pembuat
kebijakan
dan
tenaga
administratif kebijakan. Pendekatan ini berasumsi bahwa tujuan dan target yang telah diumumkan secara formal merupakan ukuran yang paling tepat untuk mengevaluasi manfaat atau nilai suatu kebijakan. Pendekatan ini terbagi ke dalam empat varian diantaranya meliputi; 1) Evaluasi
29
perkembangan, 2) Evaluasi Proses retrospektif, 3) Evaluasi Hasil Retrospektif, dan 4) Evaluasi eksperimental. Sedangkan
evaluasi
keputusan
teoritis
(decision-theorretic
evaluation) adalah evaluasi yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan akuntabel tentang hasil kebijakan, yang dinilai secara eksplisit oleh para pelaku kebijakan. Evaluasi ini bertujuan untuk menghubungkan antara hasil kebijakan dengan nilai-nilai dari pelakunya kebijakan tersebut. Pendekatan ini terbagi ke dalam 2 varian, yaitu penilaian evaluabilitas (evaluability assessment) dan analisis utilitas multi atribut. Adapun dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan evaluasi formal dengan mengambil varian pendekatan evaluasi proses retrospektif yaitu berupa pemantuan atau evaluasi setelah suatu kebijakan dilaksanakan pada jangka waktu tertentu. Evaluasi ini mendasarkan pada informasi yang telah ada tentang kebijakan yang berjalan, yang berhubungan langsung dengan hasil output dan dampak kebijakan. B. Konsep Tentang Tata Ruang 1. Penataan Ruang Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun2007 tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa penataan ruang adalahsuatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang danpengendalian pemanfaatan ruang, dimana kegiatannya meliputi kegiatanpengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang.Disebutkan dalam
30
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun2007 dan Penjelasannya bahwa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas : a. Keterpaduan adalah bahwa penataan ruang diselengarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan, antara lain adalah Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. b. Keserasian, keselarasan dan keseimbangan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan. c. Keberlanjutan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang. d. Keberdayaan dan keberhasilgunaan dalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas.
31
e. Keterbukaan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang. f. Kebersamaan dan kemitraan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan
dengan
melibatkan
seluruh
pemangku
kepentingan. g. Perlindungan kepentingan umum adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. h. Kepastian hukum dan keadilan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan berlandaskan hukum / ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum i. Akuntabilitas adalah bahwa penyelenggaraan penataan ruang dapat dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya, maupun hasilnya. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 disebutkan bahwa penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan : a. mewujudkan
keharmonisan
lingkungan buatan;
antara
lingkungan
alam
dan
32
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c. terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negative terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Mengenai rencana tata ruang yang penyusunannya dilakukan pemerintah pada hakikatnya dapat pula digambarkan sebagai penjabaran dari instrumen kebijakan Tata Guna Tanah, yang harus merupakan pelaksanaan rencana tata ruang. Rencana Tata Guna Tanah harus diserasikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, sehingga penggunaan tanah sesuai dengan tujuan penataan ruang. Rencana Umum Tata Ruang secara hirarki terdiri atas : Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten / Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten memuat : a. tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten b.
rencana struktur ruang wilayah kabupaten yang meliputi sistem
c. perkotaan di wilayahnya yang terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten d.
rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan lindung kabupaten dan kawasan budi daya kabupaten
e. penetapan kawasan strategis kabupaten f. arahan
pemanfaatan
ruang
wilayah kabupaten yang berisi
indikasi program utama jangka menengah lima tahunan
33
g. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten berlaku mutatis mutandis untuk perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan ketentuan tambahan, yaitu : a. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau b. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka non hijau c. rencana penyediaan dan pemanfaatan
prasarana dan sarana
jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah. Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan mempunyai jangka waktu selama 20 tahun yang ditinjau kembali dalam 5 tahun. Dalam kaitan dengan wilayah perencanaan Kawasan Perkotaan, maka karakteristik (potensi dan masalah) dan arahan kebijakan pembangunan kawasan menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DIY dapat dijelaskan sebagai berikut : 1). Karakteristik (potensi dan masalah) yang dominan pada Kawasan Tumbuh Cepat, meliputi: a. Aglomerasi obyek dan berpotensi sebagai fasilitas wisata utama di DIY. b. Aglomerasi penduduk dan kegiatan dari Kota Yogyakarta.
34
c. Pertumbuhan dan pergerakan penduduk yang tinggi, sejalan dengan perkembangan sektor sekunder dan tersier yang memerlukan ruang. d. Kesuburan tanah tinggi dengan ketersediaan air dan sarana pertanian yang mencukupi, yang dipadukan dengan kapasitas sumber daya manusia yang tinggi, merupakan kawasan pertanian tanaman pangan lahan basah yang mempunyai tingkat produktivitas tinggi. e. Bagian atas dari wilayah Kabupaten Sleman merupakan wilayah cepat berkembang, yang merupakan gerbang barat Kota Yogyakarta. f. Konflik
pemanfaatan
ruang
yang
cenderung
mengakibatkan
kerusakankualitas lingkungan hidup yang disebabkan oleh terjadinya negasi antar bentuk penggunaan, diskordinasi keruangan serta dampak pencemaran. g. Tingkat pertumbuhan bangunan dan infrastruktur fisik yang tinggi di Kawasan
perencanaan
disertai
dengan
konversi
lahan pertanian
produksi tinggi ke lahan non pertanian. Arahan kebijaksanaan pokok bagi pengembangan kawasan strategis pada dasarnya mengacu pada kepentingan sektor/sub sektor atau permasalahan yang mendesak penanganannya. Dalam konteks karakteristik (potensi dan masalah) Kawasan Tumbuh Cepat, maka arahan kebijaksanaan pengembangan pada kawasan tersebut meliputi: 1) Pelestarian fungsi lindung pada kawasan resapan air, untuk menjaga tatanan hidrologi di kawasan ini. 2) Pengembangan budidaya pertanian lahan basah, perikanan,
35
peternakan, industri parawisata dan pemukiman yang punya resiko minimum terhadap penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya air, 3) Pengembalian fungsi lindung pada kawasan resapan yang telah mengalami penurunan fungsi, baik sebagai proses budidaya manusia maupun alam. 4) Pengarahan
sebaran
penduduk
dan
kegiatannya
serta
penyesuaian rasio pengusahaan tanah pertanian per kepala keluarga. 5) Pelestarian obyek/benda cagar budaya dan pemanfaatannya secara bijaksana. 6) Pelestarian
fungsi lindung pada wilayah sempadan sungai
sebagai penampung luapan aliran bahaya Merapi. 7) Pelestrian fungsi lindung pada wilayah sekitar sempadan mata air. Kebijaksanaan pembangunan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman mencakup; a) Kebijaksanaan pengelolaan kawasan budidaya, sebagai bagian wilayah yang dialokasikan untuk mewadahi fungsi pertambangan, militer, industri, perdagangan, Kebijaksanaan
pariwisata,
permukiman
dan
pertanian;
b)
pengembangan kota-kota, menurut tata jenjang
pusat-pusat pelayanan pada konstelasi tingkat kabupaten, kota-kota di wilayah kabupaten Sleman, sebagai berikut:
36
a) Hirarki I :
Kota Sleman (ibukota kabupaten)
b) Hirarki II :
Kota Tempel, Pakem, Ngaglik, Depok, Kalasan,
Gamping, Godean c) Hirarki III
:
Kota Mlati, Prambanan, Berbah, Minggir,
Moyudan, Seyegan, Turi, Cangkringan, Ngemplak. Kebijaksanaan pengembangan kota-kota di Kabupaten Sleman menurut jangkauan pusat-pusat pelayanan, dibedakan atas jangkauan tingkat regional (kabupaten), sub regional (beberapa kecamatan) dan lokal (kecamatan). Kebijaksanaan pengembangan kota-kota di Kabupaten Sleman juga menurut fungsi pusat-pusat pelayanan yang mencakup fungsi pemerintahan, pusat perdagangan dan pelayanan sosial, pusat pariwisata, pusat industri, pusat pendidikan dan pusat perhubungan.
Dalam
sistem
prasarana
wilayah,
prasarana
transportasi yang dikembangkan meliputi sistem transportasi jalan raya, kereta api dan transportasi udara. Pertimbangan utama dalam penataan ruang meliputi pertimbangan
normatif,
pertimbangan
fungsional
dan
pertimbangan fisik. Perwujudan pertimbangan tersebut bersifat spasial
(keruangan)
dan
a-spasial
(bukan
keruangan).
Pertimbangan spasial pemanfaatan ruang menggunakan analisis map ovelaping peta kesesuaian lahan dan pola penggunaan lahan eksisting.
37
Pertimbangan a-spasial rencana tata ruang Kecamatan Ngaglik ditinjau berdasarkan peluang pengembangan sektor ekonomi berdasarkan nilai PDRB Kecamatan Ngaglik. Skenario pengembangan tata ruang terkait dengan sektor potensial yang diperoleh dari hasil analisis SWOT. Arahan kebijakan ini didasarkan pada pengembangan sektor basis perekonomian yang ada di Kecamatan Ngaglik. Berdasarkan hasil analisis LQ pada laporan sebelumnya dapat diidentifikasi adanya 4 (empat) sektor basis
yaitu
sektor
pertanian,
peternakan
dan
perikanan,
Dalam ruang lingkup perizinan, izin (vergunning)
dijelaskan
perdagangan dan jasa serta perindustrian. C. Konsep Tentang Perizinan 1. Pengertian perizinan
sebagai perkenaan atau izin dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki. Menurut Sjachran Basah, izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
38
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh E. Utrecht, beliau mengatakan bahwa bila pembuat peraturan umumnya tidak melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan masing-masing hal konkret, keputusan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin. Izin yang dimaksud suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan ketentuan larangan peratura perundangundangan . Bagir Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundangundangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilanggar, (Ridwan HR, 2007: 207). N.M.Spelt dan J.B.J.M ten Berge membagi pengertian perizinan dalam arti luas dan dalam arti sempit, yaitu sebagai berikut : “Izin merupakan salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untukmengemudikan tingkah laku para warga. Izin ialah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuanketentuan larangan perundangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenaan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya. Ini adalah paparan luas dari pengertian izin. Izin dalam arti sempit adalah pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalang-halangi keadaan-keadaan yang buruk. Tujuannya ialah
39
mengatur tindakan-tindankan yang oleh undang-undang tidak seluruhnya dianggap tercela, namun dimana ia menginginkan dapat melakukan pengawasan sekadarnya. Hal yang pokok pada izin dalam pengertian sempit ini adalah bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang dipersangkutkan dengan perkenan dapat diteliti, dibenarkan dalam batasbatas tertentu dai tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah hanya pada memberi perkenan dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, tetapi agar tindakan-tindakan yang diperkenankan dilakukan dengan cara tertentu (dicantumkan dalam ketentuan-ketentuan)”, (Adrian Sutedi, 2011: 170-171).
Berdasarkan paparan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa izin adalah instrumen yuridis berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, prosedur, dan persyaratan tertentu yang digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi para warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkan guna mencapai suatu tujuan konkret. Izin yang ditangani oleh Dinas Pengendalian Pertanahan
Daerah Kabupaten Sleman merupakan
pengertian izin dalam arti sempit. 2. Fungsi dan Tujuan Pemberian izin Izin dapat difungsikan sebagai instrumen pengendali dan instrumen untuk mewujudkan masyarakat yang adil dam makmur, sebagaimana yang diamanatkan dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, penataan dan pengaturan izin ini sudah semestinya dilakukan dengan sebaik-baiknya. Menurut Andrian Sutedi (2011:193 ) fungsi pemberian izin dapat dibagi menjadi dua (2) yaitu: “Ketentuan tentang perizinan mempunyai fungsi sebagai penertib dan sebagai pengatur. Sebagai penertib dimaksudkan agar izin atau setiap izin atau tempat tempat usaha, bangunan dan bentuk kegiatan masyarakat lainnya tidak bertentangan satu sama lain, sehingga ketertiban dalam setiap segi kehidupan masyarakat terwujud.Sebagai fungsi mengatur dimaksud
40
agar perizinan yang ada dapat dilaksanakan sesuai dengan peruntukkannya, sehingga terdapat penyalahgunaan izin yang telah diberikan, dengan kata lain, fungsi pengaturan ini dapat disebut juga sebagai fungsi yang dimiliki oleh pemerintah”
3.Jenis perizinan Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Sleman 19 tahun 2001 pasal 4 Izin peruntukan penggunaan tanah terdiri atas: a. Izin Lokasi Izin lokasi adalah izin peruntukan penggunaan tanah yang wajib dimiliki perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal, yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modal, dengan batasan keluasan sebagai berikut: 1). untuk usaha pertanian > 25 Ha, 2). untuk usaha non pertanian > 1 Ha. b. Izin Pemanfaatan Tanah Izin pemanfaatan tanah adalah izin peruntukan penggunaan tanah yang wajib dimiliki orang pribadi dan atau badan yang akan melaksanakan kegiatan dan atau kegiatan yang mengakibatkan perubahan peruntukan tanah pada bangunan/usaha yang dilakukan, dengan batasan keluasan sebagai berikut: 1) untuk usaha pertanian <= 25 Ha, 2) untuk usaha non pertanian <= 1 Ha 3) untuk kegiatan bidang sosial dan keagamaan tanpa batasan keluasan
41
c. Izin Perubahan Penggunaan Tanah Izin perubahan penggunaan tanah adalah izin peruntukan penggunaan tanah yang wajib dimiliki orang pribadi yang akan mengubah peruntukan tanah pertanian menjadi non pertanian guna pembangnan rumah tempat tinggal pribadi/perseorangan, dengan ukuran seluasluasnya 5.000 m2 (lima ribu meter persegi). Diberikan secara bertahap per-600 m2, untuk keluasan lebih dari 600 m2 dengan rekomendasi luas bangunan dan lahan terkena sempadan (SKTLB) dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan (DPUP). d. Izin Konsolidasi Tanah Izin konsolidasi tanah adalah izin peruntukan penggunaan tanah yang wajib dimiliki kumpulan orang pribadi dan atau badan yang akan melaksanakan penataan kembali penguasaan tanah, penggunaan tanah, dan usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan guna meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam, dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat/pemilik tanah pada lokasi tersebut untuk kepentingan umum sesuai tata ruang e. Izin Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Izin penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum adalah izin peruntukan penggunaan tanah yang diperlukan oleh instansi pemerintah
yang akan
melaksanakan pengadaan
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
tanah
guna
42
D. Izin Peruntukan Penggunaan Tanah Terhadap Pemanfaatan Tanah Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman No 19 Tahun 2001 Tentang Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah. 1. Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah Berdasarkan Ketentuan Umum Pasal 1 huruf f Izin Peruntukan Penggunaan Tanah adalah pemberian izin atas penggunaan tanah kepada orang pribadi atau badan dalam rangka kegiatan pembangunan fisik dan atau untuk keperluan lain yang berdampak pada struktur ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan sesuai dengan rencana tata ruang.
Huruf g.
Kawasan Khusus adalah wilayah tertentu yang mempunyai fungsi tertentu dan ditetapkan oleh Bupati dengan persetujuan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Huruf p Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban retribusi dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan retribusi. 2. Ketentuan Perizinan Berdasarkan Pasal 2 Setiap orang pribadi dan atau badan yang menggunakan tanah untuk kegiatan pembangunan fisik dan atau untuk keperluan lain yang berdampak pada struktur ekonomi, sosial budaya dan lingkungan wajib memperoleh izin peruntukan penggunaan tanah dari Bupati. Pasal 3 Tanah yang dapat ditunjuk dalam izin peruntukan penggunaan tanah adalah tanah yang menurut rencana tata ruang yang
43
berlaku diperuntukan bagi kegiatan pembangunan fisik dan atau untuk keperluan lain yang berdampak pada struktur ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Pasal 4 Izin peruntukan penggunaan tanah terdiri atas: a. Izin Lokasi, b. Izin pemanfaatan tanah, c. Izin perubahan penggunaan tanah, d. Izin konsolidasi tanah, dan e. Izin penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum 3. Jenis jenis izin peruntukkan penggunaan tanah Berdasarkan Paragraf 1 Pasal 5 Izin Lokasi adalah izin peruntukan penggunaan tanah yang wajib dimiliki perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal, yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modal, dengan batasan keluasan sebagai berikut: a. untuk usaha pertanian > 25 Ha, b. untuk usaha non pertanian > 1 Pada paragraf 2 pasal 11 ayat (1) Izin Pemanfaatan Tanah adalah untuk izin peruntukkan penggunaan tanah yang wajib dimiliki orang pribadi dan atau badan yang akan melaksanakan kegiatan dan atau badan yang akan melaksanakan kegiatan dan atau kegiatan yang akan mengakibatkan perubahan peruntukkan tanah pada bangunan atau usaha yang akan dilakukan, dengan batasan keluasan sebagai berikut : a. untuk usaha pertanian = 25 ha b. bukan non pertanian = 1 ha
44
c. untuk kegiatan bidang sosial dan keagamaan tanpa ada batasan keluasan Pada paragraf 3 Pasal 16 Perubahan Perizinan Penggunaan Tanah adalah izin peruntukkan penggunaan tanah yang wajib dimiliki orang atau pribadi yang akan mengubah peruntukkan tanah pertanian menjadi non pertanian guna pembangunan rumah tempat tinggal pribadi/ perseorangan, dengan seluas luas 5000 m2 (lima meter persegi). Pada paragraph 4 Pasal 19 Izin Konsilidasi tanah adalah izin perunukkan penggunaan tanah yang dimiliki kumpulan orang atau pribadi dan atau badan yang akan melaksanakan penataan kembali penguasaan tanah, penggunaan tanah dan usaha
pengadaan
tanah
untuk
kepentingan
pembangunan
guna
meningkatkan kualitas lingkungan dan memelihara sumber daya alam, dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat/ pemilik tanah pada lokasi tersebut untuk kepentingan umum adalah untuk izin peruntukkan penggunaan tanah yang diperlukan oleh instansi pemerintah yang akan melaksanakan pengadaan tanah guna pelakasanaan pembangunan untuk kepentingan umum. 4. Pelakasanaan izin peruntukkan penggunaan tanah Berdasarkan paragraph 6 pada pasal 24 ayat (1) Selambatlambatnya 1 tahun setelah masa izin lokasi, dan atau izin pemanfaatan tanah dan atau izin perubahan penggunaan tanahlah yang memegang izin wajib melaksanakan kegiatan pembangunan yang dimohonkan dalam izin lokasi dan atau izin pemanfaatan tanah dan atau izin perubahan
45
penggunaan tanah. Pada Pasal 24 ayat (2) pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2) dikenakan setiap bulan selama ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum terpenuhi. 5. Izin peruntukkan penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang yang bersifat strategis dan berdampak pada
kepentingan
umum. Bagian ketiga berdasarkan pada pasal 25 ayat (1) izin peruntukkan penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, bersifat strategis dan berdampak penting bagi kepentingan umum dapat diberikan setelah ada persetujuan dari DPRD. Pasal 25 ayat (2) izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diberikan untuk peruntukkan penggunaan tanah seluas luasnya 3 Ha (Hektar) .pasal 26 dalam memberikanizin peruntukkan tanah penggunaan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wajib berasaskan keterbukaan, persamaan, keadilan,dan dilindungi hukum dengan mengutamakan kepentingan masyarakat golongan ekonomi lemah. Pasal 27 berdasarkan asas pemberian perizinan sebagaimana dimaksudkan pada pasal 26 Pemerintah Daerah wajib memperhatikan prinsip prinsip: a. Harus
member
manfaat
yang
sebesar
besarnya
bagi
kemakmuran rakyat b. Mendorong pertumuhan kegiatan ekonomi dan, c. Tidak merugikan kepentingan masyarakat, khususnya golongan ekonomi lemah dan pemerintah Daerah.
46
6. Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah dalam Kawasan Khusus. Berdasarkan Pasal 28 Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah dalam kawasan khusus dapat diberikan berdasarkan pertimbangan a. Aspek rencana tata ruang b. Aspek penguasaan tanah yang meliputi perolehan hak, pemidahan hak dan penggunaan tanah, c. Aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan d. Keterkaitan dang fungsi kawasan 7. Tata Cara pemberian Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Izin peruntukkan penggunaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dimohonkan secara tertulis kepada Bupati. Pasal 29 ayat (2) Permohonan izin sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilampirkan persyaratan teknis dan adminitratif sesuai dengan izin peruntukkan penggunaan tanah. Ayat (3) ketentuan lebih lanjut tentang cara pemberian izin peruntukkan penggunaan tanah diatur oleh Bupati. 8. Ketentuan Pidana Berdasarkan pada Pasal 57 ayat (1) wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban sehingga merugikan keuangan daerah diancam pidana kurungan selama lamanya 6 bulan atau denda sebanyak 4 kali retribusi terutang. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran. Pasal 58 ayat (1) setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ayat (2) tindakan pidana sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) adalah pelanggaran.
47