15
BAB II KAJIAN TEORI
A. Tinjauan tentang Polisi Lalu Lintas 1.
Pengertian Polisi Polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan, memberikan perlindungan, dan menciptakan ketertiban masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, polisi diartikan: 1) sebagai badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar undang-undang dsb.), dan 2) anggota dari badan pemerintahan (pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan, dsb.). Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia atau disebut dengan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 1 Ayat (1) disebutkan bahwa, “Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundangundangan.” Selanjutnya Pasal 5 Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa: 1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. 2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
16
Sadjijono mengemukakan bahwa polisi adalah organ atau lembaga pemerintah yang ada dalam negara (Sadjijono, 2008: 53). Istilah kepolisian sebagai organ dan juga sebagai fungsi. Polisi sebagai organ, yakni suatu lembaga pemerintah yang terorganisasi dan terstruktur dalam ketatanegaraan yang oleh undang-undang diberi tugas dan wewenang dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan kepolisian. Sebagai fungsi menunjuk pada tugas dan wewenang yang diberikan oleh undang-undang yakni fungsi preventif dan fungsi represif. Polisi lalu lintas merupakan unsur pelaksana yang bertugas menyelenggarakan tugas kepolisian mencakup penjagaan, pengaturan, pengawalan dan patroli, pendidikan masyarakat dan rekayasa lalu lintas, registrasi dan identifikasi pengemudi atau kendaraan bermotor, penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum dalam bidang lalu lintas guna memelihara keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas (repository.usu.ac.id,2013). Pembagian wilayah Kepolisian Republik Indonesia (Polri) pada dasarnya didasarkan dan disesuaikan atas wilayah administrasi pemerintahan sipil. Komando pusat berada di Markas Besar Polri (Mabes) di Jakarta. Pada umumnya struktur komando Polri dari pusat ke daerah adalah: a.
Pusat Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri)
b.
Wilayah Provinsi Kepolisian Daerah (Polda)
c.
Wilayah Kabupaten dan Kota 1) Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes)
17
2) Kepolisian Resor Kota (Polresta) 3) Kepolisian Resor Kabupaten (Polres) d.
Tingkat kecamatan 1)
Kepolisian Sektor Kota (Polsekta)
2)
Kepolisian Sektor (Polsek) Menurut Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Sektor Pasal 1 angka (5) disebutkan bahwa, Kepolisian Resort yang selanjutnya disingkan Polres adalah pelaksana tugas dan wewenang Polri di wilayah kabupaten/kota yang berada di bawah Kapolda. Sedangkan dalam Pasal 1 angka (20) disebutkan bahwa, Satuan Lalu Lintas yang selanjutnya disingkat Satlantas adalah unsur pelaksana tugas pokok fungsi lalu lintas pada tingkat Polres yang berada di bawah Kapolres. Sesuai dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian kedudukan polres berada di ibukota kabupaten/kota di daerah hukum masing-masing. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian disebutkan bahwa, Polres terdiri dari: a. Tipe Metropolitan;
18
b. Tipe Polrestabes; c. Tipe Polresta; dan d. Tipe Polres. Tugas polres adalah menyelenggarakan tugas pokok Polri dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dan melaksanakan tugas-tugas Polri lainnya dalam daerah hukum Polres, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan Pasal 6 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Polres menyelenggarakan fungsi: a. pemberian pelayanan kepolisian kepada masyarakat, dalam bentuk penerimaan dan penanganan laporan/pengaduan, pemberian bantuan dan pertolongan termasuk pengamanan kegiatan masyarakat dan instansi pemerintah, dan pelayanan surat izin/keterangan, serta pelayanan pengaduan atas tindakan anggota Polri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; b. pelaksanaan fungsi intelijen dalam bidang keamanan guna terselenggaranya deteksi dini (early detection) dan peringatan dini (early warning); c. penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, fungsi identifikasi dan fungsi laboratorium forensik lapangan dalam rangka penegakan hukum, serta pembinaan, koordinasi, dan pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS); d. pembinaan masyarakat, yang meliputi pemberdayaan masyarakat melalui perpolisian masyarakat, pembinaan dan pengembangan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan, terjalinnya hubungan
19
antara Polri dengan masyarakat, koordinasi dan pengawasan kepolisian khusus; e. pelaksanaan fungsi Sabhara, meliputi kegiatan pengaturan, penjagaan pengawalan, patroli (Turjawali) serta pengamanan kegiatan masyarakat dan pemerintah, termasuk penindakan tindak pidana ringan (Tipiring), pengamanan unjuk rasa dan pengendalian massa, serta pengamanan objek vital, pariwisata dan Very Important Person (VIP); f. pelaksanaan fungsi lalu lintas, meliputi kegiatan Turjawali lalu lintas, termasuk penindakan pelanggaran dan penyidikan kecelakaan lalu lintas serta registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dalam rangka penegakan hukum dan pembinaan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas; g. pelaksanaan fungsi kepolisian perairan, meliputi kegiatan patroli perairan, penanganan pertama terhadap tindak pidana perairan, pencarian dan penyelamatan kecelakaan di wilayah perairan, pembinaan masyarakat perairan dalam rangka pencegahan kejahatan, dan pemeliharaan keamanan di wilayah perairan; dan h. pelaksanaan fungsi-fungsi lain, peraturan perundang-undangan
sesuai
dengan
ketentuan
Polres memiliki beberapa unsur pelaksana tugas pokok yang berada di bawah Kapolres. Salah satu unsur pelaksana tugas pokok adalah Satlantas. 2.
Tugas dan Fungsi Polisi Lalu Lintas Satlantas bertugas melaksanakan Turjawali lalu lintas, pendidikan masyarakat lalu lintas (Dikmaslantas), pelayanan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi, penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum di bidang lalu lintas. Satlantas sesuai dengan Pasal 59 ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Pada Tingkat
Kepolisian
menyelenggarakan fungsi, yaitu:
Resort
dan Kepolisian
Polres
20
a. pembinaan lalu lintas kepolisian; b. pembinaan partisipasi masyarakat melalui kerja sama lintas sektoral, Dikmaslantas, dan pengkajian masalah di bidang lalu lintas; c. pelaksanaan operasi kepolisian bidang lalu lintas dalam rangka penegakan hukum dan keamanan, keselamatan, ketertiban, kelancaran lalu lintas (Kamseltibcarlantas); d. pelayanan administrasi registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor serta pengemudi; e. pelaksanaan patroli jalan raya dan penindakan pelanggaran serta penanganan kecelakaan lalu lintas dalam rangka penegakan hukum, serta menjamin Kamseltibcarlantas di jalan raya; f. pengamanan dan penyelamatan masyarakat pengguna jalan; dan g. perawatan dan pemeliharaan peralatan dan kendaraan. Berdasarkan Pasal 62 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Polres Satlantas dalam melaksanakan tugas dibantu oleh: a. Urusan Pembinaan Operasional (Urbinopsnal), yang bertugas melaksanakan pembinaan lalu lintas, melakukan kerja sama lintas sektoral, pengkajian masalah di bidang lalu lintas, pelaksanaan operasi kepolisian bidang lalu lintas dalam rangka penegakan hukum dan Kamseltibcarlantas, perawatan dan pemeliharaan peralatan dan kendaraan; b. Urusan Administrasi dan Ketatausahaan (Urmintu), yang bertugas menyelenggarakan kegiatan administrasi dan ketatausahaan; c. Unit Pengaturan, Penjagaan, Pengawalan dan Patroli (Unitturjawali), yang bertugas melaksanakan kegiatan Turjawali dan penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas dalam rangka penegakan hukum; d. Unit Pendidikan Masyarakat dan Rekayasa (Unitdikyasa), yang bertugas melakukan pembinaan partisipasi masyarakat dan Dikmaslantas;
21
e. Unit Registrasi dan Identifikasi (Unitregident), yang bertugas melayani administrasi registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor serta pengemudi; dan f. Unit Kecelakaan (Unitlaka), yang bertugas menangani kecelakaan lalu lintas dalam rangka penegakan hukum.
Polantas merupakan bagian dari Polri yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mencapai ketentraman terutama yang menyangkut lalu lintas. Pelayanan kepada masyarakat dalam bidang lalu lintas akan berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat karena dalam kehidupan masyarakat yang modern seperti saat ini lalu lintas merupakan faktor utama pendukung produktivitas. Banyaknya masalah atau gangguan dalam lalu lintas seperti kecelakaan lalu lintas, kemacetan, maupun tindak pidana yang berkaitan dengan kendaraan bermotor merupakan permasalahan yang mengganggu masyarakat. Terkait dengan pelayanan tersebut, adapun visi dan misi dari polisi lalu lintas yaitu: a.
Visi Polisi Lalu Lintas Menjamin tegaknya hukum di jalan yang bercirikan perlindungan, pengayoman, pelayanan masyarakat yang demokratis sehingga terwujudnya keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas (Dit Lantas Polda D.I. Yogyakarta, 2012).
b.
Misi Polisi Lalu Lintas Mewujudkan masyarakat pemakai jalan memahami dan yakin kepada Polantas sebagai pelindung, pengayoman dan pelayanan masyarakat bidang lalu lintas, penegakan hukum lalu lintas, pengkajian masalah lalu lintas, registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi (Dit Lantas Polda D.I. Yogyakarta, 2012). Unit Lalu Lintas (Unitlantas) merupakan unsur pelaksana tugas
pokok yang bertugas melaksanakan Turjawali bidang lalu lintas,
22
penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum di bidang lalu lintas pada tingkat Kepolisian Sektor. Unitlantas dipimpin oleh Kanitlantas merupakan unsur pelaksana tugas pokok di bawah Kapolsek yang bertanggung jawab kepada Kapolsek dan dalam pelaksanaan seharihari berada di bawah kendali Wakapolsek (Wakil Kepala Kepolisian Sektor). Sesuai dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 23 Tahun 2010 Pasal 120 ayat (3), dalam melaksanakan tugasnya Unitlantas menyelenggarakan fungsi: a. pembinaan partisipasi masyarakat di bidang lalu lintas melalui kerja sama lintas sektoral dan Dikmaslantas; b. pelaksanaan Turjawali lalu lintas dalam rangka Kamseltibcarlantas; dan c. pelaksanaan penindakan pelanggaran serta penanganan kecelakaan lalu lintas dalam rangka penegakan hukum.
B. Tinjauan tentang Siswa Siswa adalah murid (terutama pada tingkat sekolah dasar dan menengah) (KBBI, 2005: 1077). Siswa/Siswi merupakan istilah bagi peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan tertentu
(Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Angka (4)). Sekolah menengah pertama (SMP) adalah jenjang pendidikan dasar pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus sekolah dasar. Sekolah menengah pertama ini ditempuh dalam waktu 3 tahun seperti pada tingkat sekolah menengah atas atau sekolah menengah kejuruan. Saat ini SMP tidak
23
lagi menggunakan istilah kelas 1, 2 , dan 3 tetapi kelas 7, 8, dan 9. Bagi siswa kelas 9 diwajibkan mengikuti Ujian Nasional yang mempengaruhi kelulusan siswa. Bagi siswa yang mampu lulus ujian nasional sekolah menengah pertama dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas atau sekolah menengah kejuruan, sedangkan bagi siswa yang belum lulus ujian dapat mengulang ujian nasional tahun berikutnya atau mengikuti program paket. Pada umumnya usia siswa sekolah menengah pertama berusia 13-15 tahun. Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni sekolah dasar 6 tahun dan sekolah menengah pertama (atau sederajat) 3 tahun. Pemerintah juga mengupayakan agar pendidikan dasar minimal 9 tahun ini dapat terselenggara dengan gratis secara menyeluruh. Dengan demikian akan mendorong tercapainya salah satu tujuan nasional Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekolah menengah pertama diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan sekolah menengah pertama negeri di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota, sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, sekolah menengah pertama negeri merupakan unit pelaksana teknis dinas pendidikan kabupaten/kota.
24
Sekolah menengah Atas (disingkat SMA;bahasa Inggris; Senior High School), adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (sederajat) (Wikipedia Bahasa Indonesia, 2014). Sekolah ini ditempuh dalam waktu tiga tahun, mulai dari kelas 10 sampai kelas 12. Pelajar SMA umumnya berusia 16-18 tahun. SMA tidak termasuk program wajib belajar pemerintah, sebab pemerintah hanya mewajibkan pendidikan dasar yaitu SD dan SMP. Meskipun sejak tahun 2005 telah mulai diberlakukan program wajib belajar 12 tahun yang mengikutsertakan SMA di beberapa daerah, contohnya di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. SMA diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan SMA negeri di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah Kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural SMA negeri merupakan unit pelaksana teknis dinas pendidikan kabupaten/kota.
C. Tinjauan tentang Upaya Menanggulangi Pelanggaran 1.
Pengertian Pelanggaran Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia memuat pembagian atas tindak pidana yaitu buku Kedua mengatur tentang kejahatan dan buku Ketiga mengatur tentang pelanggaran. Setiap
25
perbuatan yang bertentangan dengan buku Kedua disebut kejahatan dan perbuatan yang bertentangan dengan buku Ketiga disebut sebagai pelanggaran. Antara kejahatan dengan pelanggaran tersebut pada hakekatnya tidak ada perbedaan yang tegas karena keduanya sama-sama delik atau merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Namun jika dilihat dari hukuman yang diterima orang yang melakukan kejahatan dan pelanggaran tentu saja berbeda, kejahatan diancam dengan hukuman yang jauh lebih berat daripada pelanggaran. Pelanggaran adalah perbuatan (perkara) melanggar, tindak pidana yang lebih ringan dari kejahatan (KBBI, 2005: 1634). Sedangkan kejahatan adalah perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis (KBBI, 2005: 450). Pembagian tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaan ditegaskan dalam Memorie van Toelichting. Kejahatan adalah “delik hukum” yakni peristiwa yang berlawanan atau bertentangan dengan asasasas hukum yang hidup dalam keyakinan manusia dan terlepas dari undang-undang, sedangkan pelanggaran adalah delik “undang-undang” yakni peristiwa yang untuk kepentingan umum dinyatakan oleh undangundang sebagai hal yang terlarang (G.W. Bawengan, 1973: 3). Menurut Utrecht yang dikutip oleh G.W. Bawengan menjelaskan bahwa kejahatan adalah perbuatan karena sifatnya bertentangan dengan ketertiban hukum sedangkan pelanggaran adalah perbuatan yang oleh undang-undang dicap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan
26
ketertiban
hukum.
Sebagai
contoh,
pembunuhan,
pencurian,
pemerkosaan, penganiayaan dan sebagainya, sebelum menjelma ke dalam KUHP telah lama ada, yaitu tersebut dalam 10 perintah Tuhan yang diterima oleh Nabi Musa. Perbuatan-perbuatan tersebut selain dicap sebagai sebuah kejahatan juga menimbulkan reaksi dari masyarakat terhadap pelakunya. Contoh tersebut hanya sebuah norma agama, namun keyakinan untuk jangan membunuh atau mencuri bukan saja dimiliki oleh sebuah agama tertentu, tetapi hidup juga dalam keyakinan setiap manusia (G.W. Bawengan, 1973: 4). Sedangkan
contoh
lain
adalah
pelanggaran
lalu
lintas
sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009. Pengemudi yang mengendarai kendaraan bermotor tanpa memiliki SIM ditetapkan undang-undang sebagai sebuah pelanggaran karena melanggar Pasal 77 Ayat (1), padahal reaksi orang lain tidak selalu negatif terhadap orang yang tidak memiliki SIM. Namun, karena kepemilikan SIM dianggap sebagai bukti registrasi dan identifikasi seseorang yang telah memenuhi
persyaratan
administrasi,
sehat
jasmani
dan
rohani,
memahami peraturan lalu lintas dan terampil mengemudikan kendaraan bermotor sehingga seseorang yang memiliki SIM dianggap layak mengemudikan kendaraan bermotor dan tidak membahayakan atau mengganggu ketertiban masyarakat. Secara prinsip perbedaan kejahatan dengan pelanggaran yaitu:
27
a. Kejahatan sanksi hukumnya berupa pidana penjara, sedangkan pelanggaran berupa pidana kurungan. b. Percobaan dalam melakukan kejahatan akan dikenai hukuman, sedangkan pada pelanggaran percobaan melakukan pelanggaran tidak dihukum. c. Tenggang waktu daluarsa bagi kejahatan lebih lama dari pada pelanggaran. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran adalah tindak pidana yang lebih ringan dari kejahatan dan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang. 2.
Upaya Menanggulangi Pelanggaran Sebelum
menguraikan
bagaimana
menanggulangi
suatu
pelanggaran perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai tindak pidana. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan dipidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut (Bambang Poernomo, 1985: 130). Tindak pidana merupakan perbuatan yang melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana bagi yang melanggar. Sanksi yang dijatuhkan misalnya dapat berupa pidana penjara, pidana kurungan, dan denda. Tindak pidana baik merupakan kejahatan maupun pelanggaran pada hakekatnya melekat pada kehidupan dinamis masyarakat yang antara lain menyangkut aspek sosial budaya, ekonomi, ideologi, politik,
28
dan kemampuan atau efektifitas aparat negara serta masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut dalam menanggulangi tindak pidana hendaknya dilakukan secara menyeluruh dan dinamis mengikuti kehidupan masyarakat yang kompleks yaitu dengan upaya preventif, maupun represif. Menurut G.W. Bawengan di dalam upaya menanggulangi tindak pidana dapat dilakukan dengan tindakan preventif maupun represif. Tindakan preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah agar tidak terjadi suatu tindak kejahatan maupun pelanggaran, sedangkan tindakan represif adalah tindakan untuk memberantas adanya tindak pidana. Melihat dari pengertian kedua tindakan tersebut sulit untuk dipisah-pisahkan karena keduanya saling berkaitan. Tindakan represif sendiri memiliki ciri-ciri preventif, maksudnya tindakan represif terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana dengan pemberian sanksi pidana akan mempengaruhi orang lain untuk tidak melakukan tindak pidana (G.W. Bawengan, 1977: 197). Menurut Bambang Poernomo tindakan hukum pencegahan (preventif) adalah tindakan untuk melancarkan berlakunya hukum pada waktu sebelum terjadinya perubahan melanggar hukum secara riil. Penegakan hukum preventif adalah tindakan yang bersifat pencegahan oleh petugas hukum baik dengan menggunakan sarana hukum maupun sarana bukan hukum (sosiologis, psikologis, kriminologis, dan lain-lain). Dengan kata lain tindakan preventif merupakan pencegahan terhadap
29
tindak pidana kejahatan ataupun pelanggaran sehingga orang tersebut langsung mendapat sentuhan tentang arti pentingnya taat terhadap hukum bagi kepentingan masyarakat (Bambang Poernomo, 1988: 88). Bambang Poernomo juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan tindakan represif. Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sesudah terjadinya pelanggaran hukum. Tindakan represif adalah tindakan petugas hukum terhadap perbuatan
seseorang
sesudah
Penanggulangan tindak
terjadinya
pelangaran
hukum.
pidana secara represif dilakukan untuk
menghukum pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Hukuman tersebut dapat berupa penjara atau denda atau bahkan keduanya (Bambang Poernomo, 1988: 90). Di lingkungan Polri istilah penanggulangan diartikan sebagai suatu usaha, tindakan maupun kegiatan untuk mencegah dan menindak suatu kejahatan dan pelanggaran. Selain itu untuk memelihara dan meningkatkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Penanggulangan dapat meliputi 2 usaha yaitu: usaha pencegahan dan pembinaan, usaha penindakan. Oleh karena itu penanggulangan dapat dimaksudkan sebagai segala tindakan yang terkait pada segi preventif maupun represif dalam upaya meniadakan gangguan terhadap kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) (Nurdjana, 2009: 28). Tindakan preventif merupakan tindakan pencegahan agar tidak terjadi
pelanggaran
norma-norma
yang
berlaku
yaitu
dengan
30
mengusahakan agar faktor niat dan kesempatan tidak bertemu sehingga situasi kamtibmas tetap terkendali. Sedangkan tindakan represif merupakan tindakan yang dimulai dari penyelidikan, penindakan (pemanggilan,
penangkapan,
penggeledahan,
dan
penyitaan),
pemeriksaan, dan penyerahan perkara penuntut umum untuk dihadapkan di sidang pengadilan (Nurdjana, 2009: 28-29). Upaya penanggulangan tindak pidana baik kejahatan maupun pelanggaran secara preventif dan represif merupakan bagian dari politik kriminil secara umum. Politik kriminal artinya mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif penanggulangan yang efektif dalam menanggulangi masalah kejahatan dan pelanggaran. Politik kriminal dalam arti sempit diartikan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Sedangkan politik kriminal dalam arti yang lebih luas merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Dalam arti yang paling luas merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundangundangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dalam masyarakat (Sudarto, 1986: 114). Menurut Barda Nawawi upaya untuk menangulangi tindak pidana dapat ditempuh dengan dua pendekatan yaitu pendekatan integral antara kebijakan penal dan non penal serta pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan sanksi pidana.
31
a.
Pendekatan integral antara kebijakan penal dan non-penal Upaya nyata untuk menanggulangi tindak pidana (politik kriminil) dapat ditempuh dengan memadukan antara sarana penal (hukum pidana) dengan sarana non-penal. Kegiatan utama dalam upaya ini adalah mengintegrasikan dan mengharmoniskan kebijakan penal dan non-penal tersebut ke arah penekanan atau pengurangan faktor-faktor yang potensial untuk terjadinya tindak pidana. Dengan upaya ini diharapkan social defance planning dapat berhasil dan mewujudkan tercapainya tujuan kebijakan sosial. Usaha-usaha non-penal penal ini meliputi bidang yang cukup luas dari seluruh sektor kebijakan sosial atau pembangunan nasional. Usaha-usaha non-penal yang dapat dilakukan misalnya dengan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab masyarakat; penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan
moral
dan
agama;
meningkatkan
usaha-usaha
kesejahteraan anak dan remaja; serta kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara berkala oleh polisi dan aparat keamanan lainnya (Muladi dan Barda Nawawi, 1992: 159). Adanya
sarana
non-penal
tersebut
akan
memberikan
pengaruh preventif terhadap adanya tindak pidana (kejahatan dan pelanggaran) karena mampu memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu. Oleh karena itu, apabila dicermati dari segi politik kriminil seluruh upaya non-penal tersebut memiliki peran yang strategis
32
karena merupakan upaya preventif dalam mencegah terjadinya tindak pidana sehingga perlu diintensifkan dan diefektifkan. Kegagalan dalam menggarap posisi strategis itu justru akan berakibat fatal bagi usaha penanggulangan tindak pidana. b.
Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan sanksi pidana Kebijakan kriminil dalam penggunaan sarana penal (hukum pidana) menyangkut permasalahan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya dikenakan bagi si pelanggar. Hal tersebut harus berorientasi pada kebijakan (policy aoriented approach) (Barda Nawawi, 2010: 36). Berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan itu, Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral tentang perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana yang sering disebut masalah kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut: 1) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menaggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat; 2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atau warga masyarakat; 3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost benefit princiole);
33
4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) (Barda Nawawi, 2010: 36-37). 3.
Hambatan Dalam Menanggulangi Pelanggaran Polisi terus berupaya menanggulangi berbagai bentuk tindak pidana baik kejahatan maupun pelanggaran termasuk pelanggaran lalu lintas. Hal tersebut untuk melindungi, menciptakan keamanan dan juga ketertiban di dalam masyarakat. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terkadang polisi mengalami kendala-kendala sehingga menghambat proses penanggulangan tindak pidana. Menurut Anton Tabah hambatan yang dialami oleh polisi antara lain: a. Belum memadainya mutu profesionalisme kepolisian di tubuh Polri, terutama apabila dihadapkan pada tugas-tugas dalam penyelidikan dan penyidikan. Kurangnya profesionalisme ini mengakibatkan polisi sering ragu-ragu dalam bertindak padahal profesionalisme itu sangat melekat pada fungsi dan tugas polisi. b. Lemahnya mutu dan kemampuan managerial Polri. Hal ini berakibat lemah dalam proses pengambilan keputusan dan lemah dalam mengantisipasi berbagai kendala yang dihadapi termasuk dalam menempatkan skala prioritas dan selektifitas. c. Instrumen hukum yang belum memadai. Maksudnya bahwa KUHP dan berbagai perundang-undangan banyak yang kurang antisipatif terhadap perkembangan yang terjadi. d. Sarana dan prasarana yang sangat minim. Maksudnya bahwa dari berbagai peralatan vital sampai peralatan pendukung, polisi masih dihadapkan pada kekurangan yang sangat serius. Termasuk biaya operasional. Hal ini sangat mempengaruhi kinerja dan profesionalisme polisi. e. Sumber daya manusia yang belum memadahi. f. Kesadaran dan disiplin masyarakat yang masih rendah. Hal ini mempengaruhi mekanisme penegakan hukum dalam masyarakat (Banurusman, 1995: 78).
34
D. Tinjauan tentang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 26 Mei 2009 yang kemudian disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 22 Juni 2009. Undang-undang ini lebih luas cakupannya dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 karena merupakan pengembangan yang signifikan dilihat dari jumlah clausul yang diaturnya, yakni yang sebelumnya terdiri dari 16 bab dan 74 pasal, menjadi 22 bab dan 326 pasal. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 menyebutkan bahwa untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, transportasi memiliki posisi yang penting dan strategis dalam pembangunan bangsa yang berwawasan lingkungan dan hal ini harus tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh sektor dan wilayah. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara. Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 ini melihat bahwa lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum. Selanjutnya di dalam batang tubuh di jelaskan bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh Undang-Undang ini adalah: terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan modal
35
angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa; terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Undang-undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar melalui: kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di Jalan; kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 secara tegas mengatur tentang pengemudi yang merupakan bagian dari lalu lintas. Berdasarkan Pasal 77 Ayat (1) setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib memiliki surat Izin Mengemudi (SIM) sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan. SIM adalah bukti registrasi dan identifikasi yang diberikan oleh Polri kepada seseorang yang telah memenuhi persyaratan administrasi, sehat jasmani dan rohani, memahami peraturan lalu lintas dan terampil mengemudikan kendaraan bermotor. SIM berfungsi sebagai: a.
Bukti kompetensi mengemudi;
b.
Registrasi pengemudi kendaraan bermotor yang memuat identitas lengkap pengemudi; dan
36
c.
Media untuk mendukung kegiatan penyelidikan, penyidikan, dan identifikasi forensik kepolisian. Adapun jenis SIM yang terdapat di Indonesia adalah SIM kendaraan
bermotor perseorangan dan SIM kendaraan bermotor umum. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 80 SIM untuk kendaraan bermotor perseorangan digolongkan menjadi: a.
b.
c.
d. e.
Surat Izin Mengemudi A berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; Surat Izin Mengemudi B I berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; Surat Izin Mengemudi B II berlaku untuk mengemudikan Kendaraan alat berat, Kendaraan penarik, atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram; Surat Izin Mengemudi C berlaku untuk mengemudikan Sepeda Motor; dan Surat Izin Mengemudi D berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus bagi penyandang cacat.
Sedangkan SIM untuk kendaraan bermotor umum sesuai Pasal 82 digolongkan menjadi: a. Surat Izin Mengemudi A Umum berlaku untuk mengemudikan kendaraan bermotor umum dan barang dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; b. Surat Izin Mengemudi B I Umum berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang umum dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; dan c. Surat Izin Mengemudi B II Umum berlaku untuk mengemudikan Kendaraan penarik atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau gandengan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram.
37
Untuk medapatkan SIM, calon pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan maupun belajar sendiri. Dalam Pasal 81 dijelaskan mengenai persyaratan seseorang untuk mendapatkan SIM. (1) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, setiap orang harus memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian. (2) Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut: a. usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D; b. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I; dan c. usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II. (3) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk; b. pengisian formulir permohonan; dan c. rumusan sidik jari. (4) Syarat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. sehat jasmani dengan surat keterangan dari dokter; dan b. sehat rohani dengan surat lulus tes psikologis. (5) Syarat lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. ujian teori; b. ujian praktik; dan/atau c. ujian keterampilan melalui simulator. (6) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan mengajukan permohonan: a. Surat Izin Mengemudi B I harus memiliki Surat Izin Mengemudi A sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan; dan b. Surat Izin Mengemudi B II harus memiliki Surat Izin Mengemudi B I sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan.
E. Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Istilah yang dipakai HIR adalah perkara rol, ketentuan tentang acara pemeriksaan biasa berlaku pula pada pemeriksaan cepat dengan kekecualian tertentu (Andi Hamzah, 2010: 246). Hal itu dapat dibaca dalam Pasal 210 KUHAP yang mengatakan bahwa ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian
38
Kedua, dan Bagian Ketiga bab ini (Bab 16) tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan paragraf ini. Pemeriksaan cepat dibagi dua menurut KUHAP, pertama Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan yaitu termasuk delik yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan. Kedua Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan yaitu termasuk pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan. Jadi, pelanggaran lalu lintas jalan diberlakukan pemeriksaan cepat. Penjelasan Pasal 211 KUHAP memberi uraian tentang apa yang dimaksud dengan “perkara pelanggaran tertentu” sebagai beriku: 1.
Mempergunakan
jalan
dengan
cara
yang
dapat
merintangi,
membahayakan ketertiban atau keamanan lalu lintas, atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan. 2.
Mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan surat izin mengemudi (SIM), surat tanda nomor kendaraan (STNK), surat tanda uji kendaraan yang sah, atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan atau ia dapat memperlihatkannya, tetapi masa berlakunya sudah kedaluwarsa.
3.
Membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan oleh orang yang tidak memiliki SIM.
39
4.
Tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan tentang penomoran, penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan kendaraan, dan syarat penggandengan kendaraan lain.
5.
Membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa dilengkapi plat tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan STNK.
6.
Pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pengatur lalu lintas jalan dan/atau isyarat alat pengatur lalu lintas jalan, rambu-rambu atau tanda yang ada di permukaan jalan.
7.
Pelanggaran terhadap ketentuan ukuran dan muatan yang diizinkan, cara menaikkan dan menurunkan penumpang, dan/atau cara memuat dan membongkar barang.
8.
Pelanggaran terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang diperbolehkan beroperasi di jalan tertentu. Beberapa hal yang diberlakukan dalam pemeriksaan perkara
pelanggaran lalu lintas jalan adalah sebagai berikut: 1.
Pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal.
2.
Untuk perakara pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan berita acara pemeriksaan sesuai dengan Pasal 212 KUHAP.
3.
Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang, hal ini berdasarkan Pasal 213 KUHAP.
4.
Pemeriksaan dapat dilakukan tanpa hadirnya terdakwa atau wakilnya (verstek atau putusan in absentia). Ini diatur dalam Pasal 214 KUHAP.
40
5.
Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa
perampasan
kemerdekaan,
terdakwa
dapat
mengajukan
perlawanan, hal ini berdasarkan Pasal 214 ayat (4) KUHAP. 6.
Berdasarkan Pasal 214 ayat (5) KUHAP disebutkan bahwa, dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu.