BAB II KAJIAN TEORI
A. Gulma Siam (Cromolaena Odorata) Gulma siam (Chromolaena odorata L.) sebelumnya dikenal sebagai Eupatorium odoratum L adalah tanaman semak perintis. Chromolaena odorata telah menjadi salah satu tanaman invasif terestrial terburuk di daerah tropis yang lembab dan subtropis selama abad terakhir (Zacharides, dkk. 2009: 130). Gulma ini memiliki rasio pertumbuhan yang sangat cepat (dapat mencapai 20 mm per hari) begitu pula dengan produksi bijinya. Di daerah topis contohnya Afrika dan Asia, gulma siam menjadi gulma utama perkebunan kelapa, karet, tembakau dan tebu. Beberapa area pertanian di Asia Tenggara bahkan ditinggalkan akibat inflasi gulma siam yang menekan pertumbuhan padang rumput dan panen. Gulma siam juga diketahui memiliki kemampuan alelopati (Anonim, 2003: 1). Chromolaena odorata termasuk dalam famili Asteracae. Klasifikasi gulma siam menurut Pink (2004) dalam Damayanti (2012 : 5) adalah : Kingdom : Plantae Phylum
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Asterales
Famili
: Asteraceae
Genus
: Chromolaena
Spesies
: Chromolaena odorata L.
8
Gulma siam memiliki rentang hidup minimum sekitar sepuluh tahun. Di daerah terbuka, dapat membentuk semak belukar yang lebat hingga 2 m dan akan tumbuh lebih tinggi jika tumbuh merambat pada vegetasi yang lain. (Anonim, 2003: 1). 1. Morfologi Gulma Siam Gulma siam merupakan gulma yang tangguh karena batangnya yang keras, berkayu dan perakarnnya kuat dan dalam. Selain itu gulma siam menghasilkan biji yang banyak dan mudah tersebar dengan bantuan angin karena adanya rambut palpus (Suprihatin, 2013).
Gambar 2.1 Gulma siam (Chromolaena odorata) (Sumber : dokumentasi pribadi) Gulma siam memiliki batang yang tegak, berkayu, ditumbuhi rambut-rambut halus, bercorak garis-garis membujur yang paralel, tingginya mencapai 100-200 cm, bercabang-cabang dan susunan daun berhadapan. Pangkal daun agak membulat dan ujung tumpul, tepinya bergerigi, mempunyai tulang daun tiga sampai lima, permukaannya
9
berbulu pendek dan kaku, ukuran panjang daun 7,5 -10 cm, lebarnya 2,5 5 cm dan panjang tangkai daun 1 - 2 cm. Tumbuhan ini mempunyai bunga majemuk berbentuk malai rata (Corymbus) yaitu kepala bunga kira-kira berada pada satu bidang, lebarnya 6 - 15 cm, terbentuk di ujung tunas atau dari ketiak daun teratas (Suprihatin, 2013).
Gambar 2.2 Bunga gulma siam (Chromolaena odorata) (Sumber : dokumentasi pribadi) Daun gulma siam berbentuk panah, dengan panjang 50-120 mm dan lebar 30-70 mm, dengan tiga karakteristik vena dalam pola “garpu rumput”. Nama “odorata” menunjukkan daun yang memancarkan bau tajam bila diremas. Bunga tabung yang berkelompok 10-35, berwarna merah muda pucat sampai ungu muda, dengan panjang 10 mm, yang dapat ditemukan pada ujung cabang. Benih gulma siam berwarna gelap, dengan panjang 45 mm, tipis, dan berbentuk persegi panjang, dilengkapi dengan parasut rambut putih yang akan berubah menjadi cokelat sebagai tanda benih telah mengering. Sistem akar berserat dan umumnya mencapai kedalaman 30 cm (Anonim, 2003: 1).
10
2. Periode Pertumbuhan Gulma Siam Gulma siam adalah spesies abadi, karena mampu hidup selama lebih dari satu tahun. Hal ini dikarenakan gulma siam mampu beradaptasi dengan baik pada iklim tropis basah sampai kering. Gulma siam dapat mati saat musim kemarau (Mei-Oktober) ketika hampir tidak ada hujan turun. Namun, akar tetap hidup dan vegetasi tumbuh kembali selama musim hujan (November-Maret) (Anonim, 2003: 2). Benih gulma siam berkecambah selama musim hujan. Benih yang telah berkecambah di awal musim hujan, akan berbunga selama musim berbunga pada bulan Juni-Juli. Pembentukan bunga pada gulma siam dipicu oleh siang yang panjang. Buah-buahan matang dan berjatuhan pada beberapa bulan setelah berbunga (Anonim, 2003: 2).
Gambar 2.3 Kalender pertumbuhan gulma siam (Chromolaena odorata) (sumber : Anonim, 2003: 2) 3. Penyebaran Gulma Siam Gulma siam menyebar sebagian besar melalui banyaknya biji yang diproduksi dalam jumlah jutaan. Pada saat biji gulma siam masak, maka tumbuhan mengering. Pada saat itu biji pecah dan terbang terbawa angin.
11
Kira-kira satu bulan setelah awal musim hujan, potongan batang, cabang dan pangkal batang bertunas kembali. Biji-biji yang jatuh ke tanah juga mulai berkecambah sehingga dalam waktu dua bulan berikutnya kecambah dan tunas-tunas telah terlihat mendominasi area (Prawiradiputra, 2007: 47). Biji gulma siam sangat ringan dan memiliki rambut biji, sehingga mudah terbawa angin pada jarak pendek (Anonim, 2003: 2). 4. Ekologi Gulma Siam Gulma siam dapat tumbuh baik di daerah tropis dan subtropis. Menurut FAO (2006) dalam Prawiradiputra (2007: 47), gulma siam dapat tumbuh pada ketinggian 1000 – 2800 m dpl, tetapi di Indonesia banyak ditemukan di dataran rendah (0 – 500 m dpl). Gulma siam dapat tumbuh pada kebanyakan jenis tanah, namun paling baik pada jenis tanah yang memiliki drainase baik di bawah sinar matahari penuh. Sebagai tanaman invasif, gulma siam mampu tumbuh subur di daerah yang terganggu (banyak aktivitas manusia) seperti padang rumput, perkebunan, pinggir jalan, dan tepi sungai (Anonim, 2003: 2).
B. Rhizosfer Akar tanaman merupakan habitat yang baik bagi pertumbuhan mikroba. Interaksi antara bakteri dan akar tanaman akan meningkatkan ketersediaan hara bagi keduanya. Permukaan akar tanaman disebut rhizoplane. Sedangkan rhizosfer adalah selapis tanah yang menyelimuti permukaan akar tanaman yang masih dipengaruhi oleh aktivitas akar (Soemarno, 2010: 4). Saat ini, rizosfer
12
memiliki definisi yang lebih luas yaitu sebagai volume tanah yang dipengaruhi oleh kehadiran akar tanaman. Perubahan tanah dapat terjadi secara biologis, kimia atau fisik di alam. Hal ini memberikan definisi yang lebih luas, bahwa ukuran rizosfer juga meningkat dari zona sempit memanjang <1-2 mm dari permukaan akar, serta memperpanjang > 10-20 mm dalam kasus beberapa nutrisi seluler dan air, atau untuk jarak yang lebih besar untuk senyawa volatil dilepaskan dari akar (Gregory P, 2006: 216). Pengelupasan kulit akar juga memberikan banyak bahan organik baru. Zat-zat ini merupakan makanan organisme dan menyebabkan lingkungan aktivitas biologi dekat akar menjadi kuat dalam area tersebut yang dinamakan “rhizosphere” (Foth, Hendry D. 1995: 274). Menurut Gregory P (2006: 216) berbagai macam senyawa karbon dilepaskan dari akar hidup ke tanah melalui beberapa mekanisme yaitu : 1. Eksudasi berat molekul, senyawa yang larut dalam air, seperti glukosa, yang hilang pasif tanpa keterlibatan aktivitas metabolik tanaman. 2. Sekresi senyawa dengan berat molekul yang lebih tinggi, seperti lendir polisakarida dan enzim, yang melibatkan proses metabolisme akar. 3. Lysates dilepaskan dari sel akar yang terkelupas. 4. Gas seperti CO2, etilen dan hidrogen sianida. Berbagai macam organisme yang menempati rhizosfer, sebagian besar adalah bakteri yang menguntungkan. Koloni bakteri dapat dalam bentuk lapisan tipis yang selalu ada disekitar akar. Akar menyediakan makanan untuk mikroorganisme yang berada dalam rhizosfer (Foth, Henry D. 1995: 274).
13
Adanya berbagai senyawa yang menstimulir pertumbuhan mikroba, menyebabkan jumlah mikroba di lingkungan rhizosfer sangat tinggi. Perbandingan jumlah mikroba dalam rhizosfer (R) dengan tanah bukan rhizosfer (S) yang disebut nisbah R/S, sering digunakan sebagai indeks kesuburan tanah. Semakin subur tanah, maka indeks R/S semakin kecil, yang menandakan nutrisi dalam tanah bukan rhizosfer juga tercukupi (subur). Sebaliknya semakin tidak subur tanah, maka indeks R/S semakin besar, yang menandakan nutrisi cukup hanya di lingkungan rhizosfer yang berasal dari bahan organik yang dikeluarkan akar, sedang di tanah non-rhizosfer nutrisi tidak mencukupi (tidak subur) (Soemarno, 2010: 4). Selain mikroflora dan mikrofauna, akar tanaman juga merupakan rumah berbagai mesofauna termasuk nematoda, serangga, dan cacing tanah. Nematoda parasit tanaman memiliki banyak peran dalam interaksi terhadap akar, akan tetapi nematoda non-parasitik juga berperan dalam interaksi akar dan tanah. Seperti protozoa, banyak nematoda pemakan bakteri dan jamur di rhizosfer, memiliki kontribusi yang signifikan terhadap N dalam siklus daur ulang N di dalam tanah. Sebagai contoh, Ferris et al . (1997) dalam Gregory Peter J (2006: 183) menguraikan bahwa rasio N dari delapan isolat Nematoda predator yang diisolasi dari sampel tanah lahan pertanian, memerikan nilai rasio 5,16 – 6,83 (rerata 5,89) setelah diamati selama 48 jam. Hasil ini lebih besar dibandingkan hasil isolasi enam jenis bakteri yang hanya memberikan nilai rasio rerata 4,12. Sementara populasi dan proporsi spesies nematoda individu berubah dengan waktu di lapangan, Ferris et al. (1997)
14
memperkirakan bahwa komunitas nematoda memberikan kontribusi masingmasing 0,28 , 0,98 dan 1,38 kg N ha - 1 pada bulan April, Mei, dan Juni (Gregory Peter J, 2006: 183). Perkembangan sistem perakaran dipengaruhi oleh faktor dalam (hereditas) dan faktor luar (lingkungan). Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi sistem perakaran adalah kelembapan tanah, suhu tanah, kesuburan tanah, keasaman tanah, aerasi tanah, hambatan mekanis tanah, kompetisi, dan interaksi perakaran (Titiek Islami dan Wani Hadi U, 1995: 135).
C. Bentuk Lahan Wilayah karst umumnya terbentuk dari batu gamping dan dicirikan oleh drainase di bawah tanah. Pelarutan batu gamping oleh air hujan menyebabkan terjadinya lubang-lubang kecil dan meluas ke bawah membentuk dolin, sehingga bagian permukaan kekurangan air. Daerah karst merupakan daerah berbukit-bukit dengan mayoritas jenis tanahnya berupa latosol atau tanah lempung yang memiliki kedalaman tanah minim (rata-rata < 50 cm) (Sudihardjo, dkk. 2006: 1). Berdasarkan klasifikasi karst tersebut kawasan karst Gunungsewu termasuk tipe holokarst tropik dan relatif terbuka (sedikit vegetasi). Kenampakan eksokarst nampak masih dapat diamati seperti lapies, dolin, uvala, lembah kering, tower dan cone karst, sedangkan kenampakan endokarst seperti goa, sungai bawah tanah juga banyak dijumpai. Kawasan karst di Kabupaten Gunungkidul memiliki karakteritik yang spesifik, unik, spektakuler dan non renewable ecosystem serta decoratif landscape resourcess
15
dengan fragilitas tinggi terhadap risiko kerusakan lingkungan. Potensi kesesuaian lahan di kawasan karst sangat terbatas peruntukannya karena pembatas ketersediaan air, tanah dan medan, satuan medan (Worosuprojo Suratman,2008: 1-2). Lahan pantai berpasir merupakan lahan marginal yang memiliki produktivitas rendah. Hal ini disebabkan karena faktor pembatas yang berupa kemampuan tanah memegang dan menyimpan air rendah, infiltrasi dan evaporasi tinggi, kesuburan dan bahan organik sangat rendah, dan efisiensi penggunaan air rendah. Produktivitas tanah dipengaruhi oleh kandungan C organik, KPK, tekstur dan warna. Tanah pasir dicirikan bertekstur pasir, struktur berbutir, konsistensi lepas, porositas tinggi, sehingga daya sangga air dan pupuk sangat rendah, miskin hara dan kurang mendukung pertumbuhan tanaman, kandungan hara rendah, kemampuan menukar kation rendah, suhu tanah di siang hari sangat tinggi, kecepatan angin dan laju evaporasi sangat tinggi. Tekstur tanah pasir ini sangat berpengaruh pada status dan distribusi air, sehingga berpengaruh pada sistem perakaran, kedalaman akar, hara dan pH (Yuwono, 2009: 139). Lahan pantai berpasir merupakan tanah yang mengandung lempung, debu, dan zat hara yang sangat minim. Akibatnya tanah pasir mudah mengalirkan air, sekitar 150 cm per jam. Kemampuan tanah pasir menyimpan air sangat rendah, 1,6-3 % dari total air yang tersedia. Angin di kawasan pantai selatan sangat tinggi sekitar 50 km/jam sehingga dengan mudah dapat mencabut akar dan merobohkan tanaman. Angin yang kencang juga dapat membawa partikel-
16
partikel garam yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Suhu di kawasan pantai sangat panas pada siang hari sehingga menyebabkan proses penguapan sangat tinggi (Prapto dalam Saputro, 2015: 3-4). Bentuk lahan vulkanis adalah bentuk lahan hasil kegiatan gunung berapi yang tersusun dari bahan gunung api yang sudah keluar ke permukaan bumi (ekstrusi) maupun yang membeku dalam permukaan bumi (intrusi). Bentuk lahan hasil bentukan asal vulkanis, terdapat berbagai jenis yang berkaitan dengan kegunungapian (vulkanisme). Vulkanisme adalah semua fenomena yang berkaitan dengan proses gerakan magma dari dalam bumi menuju ke permukaaan bumi yang menghasilkan bentuk lahan cenderung positif. Salah satu keuntungan dari adanya lahan vulkanis adalah abu vulkanis yang dikeluarkan gunung api saat terjadi erupsi dapat menyuburkan tanah karena banyak mengandung unsur hara tanaman (Treman, 2014: 41).
D. Nematoda Nematoda atau cacing gilik adalah cacing tanpa segmentasi dengan ujung meruncing biasanya berdiameter 1/500 inch (50 µm) dan panjang 1/20 inch (1 µm). Nematoda memiliki kepala dan ekor dengan sistem saraf pusat dan sistem reproduksi yang sudah berkembang dengan baik dengan sistem pencernaan yang lengkap, sehingga mereka dianggap binatang yang paling primitif. Ukuran tubuh cukup kecil untuk berada di sebagian besar pori-pori tanah dan agregat tanah. Nematoda diklasifikasikan dalam filum hewan Nemata dan terkenal karena menyebabkan penyakit pada tanaman dan hewan, tetapi
17
mereka juga mempunyai peran penting dalam tanah dan ekologi tanaman. Nematoda adalah organisme akuatik sehingga mereka membutuhkan kelembaban tanah yang memadai untuk bergerak di dalam tanah (Hoorman, 2011: 2).
Gambar 2.4 Morfologi nematoda (sumber : https://smartsite.ucdavis.edu diakses tanggal 11/12/16 pukul 11:54 WIB)
Nematoda cenderung lebih umum di tanah kasar bertekstur. Nematoda bergerak dalam film air dengan besaran film (50 µm) ruang pori-pori dan di lahan yang telah dikelola dapat bergerak dengan mesopori (30 sampai 100 µm). Nematoda termasuk mesofauna karena mereka memiliki ukuran (0,1 sampai 2 mm) lebih besar daripada mikrofauna (protozoa , < 0,1 mm). Nematoda dan protozoa adalah makanan untuk predator tingkat yang lebih tinggi termasuk nematoda predator, microarthropods tanah, dan serangga tanah. Mereka juga terparasit oleh bakteri dan jamur (Hoorman, 2011: 3).
18
Nematoda dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok fungsional berdasarkan kebiasaan makan mereka, yang sering dapat disimpulkan dari struktur mulut mereka. Di tanah pertanian, kelompok yang paling umum dari nematoda adalah nematoda pemakan bakteri, pemakan jamur, parasit tanaman, predator, dan omnivora. Nematoda predator memakan protozoa dan nematoda tanah lainnya. Omnivora memakan makanan yang berbeda tergantung pada kondisi lingkungan dan ketersediaan pangan; misalnya, nematoda omnivora bisa predator, tetapi dengan tidak adanya sumber makanan utama mereka, mereka dapat memakan jamur atau bakteri (Ugarte C dan Ed Z. 2014). Nematoda dibagi menjadi lima kelompok besar berdasarkan pada cara makan mereka dengan empat kelompok pertama yang hidup bebas (Hoorman, 2011 : 3) : a. Bacterial feeders (pemakan bakteri) mengkonsumsi bakteri melalui stoma, yaitu sebuah saluran terbuka besar. b. Fungal feeders (pemakan jamur) memakan jamur dengan menusuk dinding sel jamur menggunakan stilet ramping kecil untuk menghisap isi internal. c. Predatory nematodes (nematoda predator) memakan semua jenis nematoda dan protozoa yang menggunakan stylet untuk makan mikroorganisme kecil atau menempel pada kutikula nematoda yang lebih besar, menggores bagian tubuh internal mangsa sampai dapat dicerna.
19
d. Omnivores nematodes memakan berbagai organisme termasuk bakteri, jamur, protozoa, nematoda lain dan akar dan mungkin memiliki jenis makanan yang berbeda pada setiap tahap kehidupan. e. Root feeders (pemakan akar) adalah nematoda parasit tanaman, memakan akar dan dengan demikian tidak hidup bebas di tanah karena mereka tinggal di dalam atau di luar akar tanaman, tergantung pada akar tanaman untuk sumber makanan.
Gambar 2.5 Nematoda dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok makan yang berbeda berdasarkan pada struktur mulut mereka : (a) pemakan bakteri, (b) pemakan jamur, (c) pemakan tanaman, (d) predator, (e) omnivora. Gambar oleh : Ed Zaborski, University of Illinois Nematoda terkonsentrasi di dekat kelompok mangsanya. Bacterial feeeders berlimpah dekat akar dimana bakteri berkumpul; Fungal feeders yang dekat biomassa jamur; Root feeders terkonsentrasi di sekitar akar tanaman yang tak terjaga atau rentan. Sedangkan nematoda predator lebih cenderung melimpah di tanah dengan tingginya jumlah nematoda (Hoorman, 2011: 3). Kehidupan hewan tanah sangat tergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis hewan tanah di suatu daerah sangat ditentukan keadaan daerah itu. Dengan perkataan lain keberadaan dan
20
kepadatan populasi suatu jenis hewan tanah di suatu daerah sangat tergantung dari faktor lingkungan, yaitu lingkungan biotik dan abiotik (Suin, 2012). Senada dengan hal tersebut, dalam kehidupannya nematoda tidak dapat memaksakan diri menembus tanah seperti yang dilakukan cacing tanah, tetapi harus berbelok-belok melalui rongga-rongga tanah yang telah tersedia, meluncur sepanjang film air yang terdapat pada permukaan butir-butir tanah (Dropkin H Victor, 1992: 48). Nematoda hidup dalam aluran yang bersambungan yang luas dan rapat. Nematoda bergerak di antara pori-pori dengan diameter 20-30 mikron atau lebih. Pori - pori yang terdapat pada tanah lapisan atas keadaannya baik yaitu menempati 50 - 60 % dari volume total, tetapi dalam tanah bagian bawah yang padat hanya terdapat pori-pori 25 - 30 % dari volume lapisan tanah tersebut. Apabila pori - pori tanah terbuka dan tertutup selama daur musim, maka populasi nematoda akan mengikuti perubahan lingkungan (Dropkin H Victor, 1992: 50). Selain itu, nematoda tidak dapat mengendalikan suhu tubuhnya. dengan demikian aktivitasnya sangat tergantung oleh suhu tanah. di bawah suhu 10 derajat celcius, nematoda tidak begitu aktif dan umumnya tidak merupakan ancaman untuk tumbuhan (Dropkin H Victor, 1992: 58-59). Seperti protozoa, nematoda penting dalam mineralisasi atau melepaskan, N dalam bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Ketika nematoda makan bakteri atau jamur, amonium (NH4+) dilepaskan karena bakteri dan jamur mengandung lebih banyak N dari yang nematoda butuhkan. Dengan
21
kepadatan nematoda yang rendah mampu merangsang laju pertumbuhan populasi bakteri (Hoorman, 2011: 3). Nematoda dapat mengontrol keseimbangan populasi antara bakteri, jamur dan
komposisi
spesies
komunitas
mikroba.
Nematoda
membantu
mendistribusikan bakteri dan jamur melalui tanah dan di sepanjang akar dengan membawa mikroba hidup dan aktif pada permukaan tubuh mereka dan dalam sistem pencernaan mereka. Beberapa nematoda menyebabkan penyakit sementara nematoda lain mengkonsumsi organisme penyebab penyakit, seperti nematoda pemakan akar (root feeders), atau mencegah akses mereka ke akar dan beberapa nematoda mungkin menjadi agen bio-kontrol potensial (Hoorman, 2011: 3).
E. Kerangka Berpikir Cromolaena odorata (Gulma Siam) adalah tumbuhan gulma yang mampu hidup di lingkungan yang kering, dengan sebaran yang luas dan adaptasi yang sangat baik terhadap lingkungan sekitarnya. Selayaknya semua tanaman, setiap tanaman pasti memiliki akar untuk menyerap nutrisi dari dalam tanah, sama dengan gulma siam ini, ketika sudah tumbuh di suatu lingkungan dia juga akan membentuk akar dan keunikan dari akar gulma siam ini adalah karena akarnya yang dalam dan menyebar. Akar gulma siam akan mengeluarkan eksudat akar yang akan menarik organisme sekitarnya untuk datang dan melalukan aktivitas (interaksi) antar organisme tanah sehingga mengakibatkan perubahan kondisi tanah, dan seiring besarnya tanaman maka sistem perakarannya juga akan
22
semakin luas dan rhizosfer yang terbentuk semakin luas. Hal ini tentu akan mempengaruhi organisme di sekitar tanaman tersebut, yang meliputi mesofauna, mikrofauna, dan makrofauna tanah, salah satunya adalah nematoda. Nematoda penting dalam mineralisasi, atau melepaskan, N dalam bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Ketika nematoda makan bakteri atau jamur, amonium (NH4+) dilepaskan karena bakteri dan jamur mengandung lebih banyak N dari yang nematoda butuhkan. Dengan kepadatan nematoda yang rendah mampu merangsang laju pertumbuhan populasi bakteri. Oleh karena itu, penelitian tentang struktur komunitas nematoda yang ada pada lingkungan rizosfer gulma siam perlu dilakukan karena nematoda juga mempunyai peranan penting dalam ekologi tanah. Bagan alur kerangka berpikir dalam penelitian diuraikan pada Gambar 2.6 berikut.
23
Gambar 2.6 Kerangka berpikir penelitian
24