BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Tanaman Manggis Tanaman manggis adalah salah satu buah asli negara tropik yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi. Manggis di luar negeri dikenal sebagai ―Queen of Fruits‖ dan ―The Finest Fruit of Tropis‖, karena memiliki keistimewaan dari warna kulit, daging, buah dan mempunyai rasa yang unik yaitu manis, asam serta menyegarkan. Selain itu, manggis juga memiliki nilai gizi yang tinggi. Salah satu nilai gizinya adalah sebagai sumber vitamin dan mineral yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia (Supiyanti, Wulansari, dan Kusmita, 2010). Manggis merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari hutan tropis yang teduh di kawasan Asia Tenggara. Buah yang mendapat julukan ―ratu buah‖ memiliki banyak sekali manfaat. Kandungan senyawa yang terdapat dalam kulit buah manggis, yaitu flavonoid dan tanin. Senyawa golongan flavonoid dan tanin pada umumnya memiliki aktivitas antioksidan (Rahmawati, 2011). Menurut Prihatman, (2000) dalam Nugroho, (2002) manggis merupakan salah satu buah unggulan Indonesia yang memiliki peluang ekspor yang menjanjikan. Dari tahun ke tahun permintaan manggis meningkat seiring dengan kebutuhan konsumen terhadap buah yang mendapat julukan ratu buah (Queen of Fruits). 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Manggis Manggis termasuk tanaman tahunan yang masa hidupnya dapat mencapai puluhan tahun. Susunan tubuh tanaman manggis terdiri atas organ vegetatif dan generatif. Organ vegetatif tanaman manggis meliputi akar, batang, dan daun yang berfungsi sebagai alat pengambil, pengangkut, pengolah, pengedar, dan penyimpanan makanan. Batang tanaman manggis berbentuk pohon berkayu, tumbuh tegak ke atas hingga mencapai 25 meter atau lebih. Kulit batangnya tidak rata dan berwarna kecoklatan. Percabangan tanaman umumnya simetris membentuk tajuk yang
4
rimbun dan rindang. Daun manggis berbentuk bulat telur sampai bulat panjang, tumbuhnya tunggal dan bertangkai pendek sekali tanpa daun penumpu. Struktur helai daun tebal dengan permukaan sebelah atas berwarna hijau mengkilap, sedangkan permukaan bawah warnanya kekuning-kuningan. Organ generatif tanaman manggis terdiri atas bunga, buah, kulit buah dan biji. Bunga manggis muncul dari ujung ranting, berpasangan dengan tangkainya yang pendek, tebal dan teratur. Struktur bunga manggis memiliki empat kelopak yang tersusun dalam dua pasang. Mahkota bunga terdapat empat helai, berwarna hijau kekuningan dengan warna merah pada pinggirnya. Benang sarinya banyak dan bakal buahnya mempunyai 4-8 ruang dengan 4-8 kuping kepala putik yang tidak pernah rontok sampai stadium buahnya matang. Bakal buah manggis berbentuk bulat, mengandung 1-3 bakal biji yang mampu tumbuh berkembang menjadi biji normal. Bunga manggis mempunyai alat kelamin jantan dan betina atau disebut bunga sempurna, namun benang sarinya berukuran kecil dan mengering, hingga tidak mampu membuahi sel telur. Oleh sebab itu, meskipun manggis berbunga sempurna sering disebut hanya berbunga betina saja. Buah manggis berbentuk bulat dan berjuring, sewaktu masih muda permukaan kulit buah berwarna hijau, namun setelah matang berubah menjadi ungu kemerahmerahan atau merah muda. Pada bagian ujung buah terdapat juring berbebtuk bintang sekaligus menunjukkan ciri dari jumlah segmen daging buah. Kulit buah manggis ukurannya tebal mencapai proposi sepertiga bagian dari buahnya. Kulit buahnya mengandung getah yang warnanya kuning dan cita rasanya pahit. Warna daging buah putih bersih dan cita rasanya sedikit asam sehingga digemari masyarakat luas. Biji manggis berbentuk bulat agak pipih dan berkeping dua (Rukmana, 1995). Di indonesia manggis mempunyai berbagai macam nama lokal seperti manggu (Jawa barat), manggus (Lampung), manggusto (Sulawesi Utara), manggista (Sumatera Barat) (Rusnasbuah, 2007 dalam Hadriyono, 2011).
5
Gambar 2.1.(a) Tanaman Manggis; (b) Buah dan Kulit Manggis (Miryanti, Sapei, Budiono dan Indra, 2011). Taksonomi tanaman manggis menurut (Verheij, 1997 dalam Hadriyono, 2011) adalah sebagai berikut : Kingdom Devisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Plantae : Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledonaceae : Guttiferales : Guttiferae : Garcinia : Garcinia mangostana L
2.1.2 Manfaat Kulit Buah Manggis Manggis merupakan tanaman yang seluruh bagian tanamannya dapat dimanfaatkan, mulai dari daging buah, kulit buah, daun, batang dan akar. Kulit manggis yang dahulu hanya dibuang saja ternyata menyimpan sebuah harapan untuk dikembangkan sebagai kandidat obat. Secara tradisional buah manggis digunakan untuk mengobati diare, radang amandel, keputihan, disentri, wasir, dan borok. Selain itu juga dipakai sebagai peluruh dahak dan sakit gigi. Sedangkan kulit buah digunakan untuk mengobati sariawan, disentri, nyeri urat, sembelit dan kulit batang digunakan untuk mengatasi nyeri perut dan akar untuk mengatasi haid yang tidak teratur (Anonim, 2013). Manfaat utama kulit manggis adalah sebagai antioksidan (Heyne, 1987 dalam Hadriyono, 2011). Menurut Silalahi, 2002 dalam Hadriyono, 2011 mengatakan bahwa sifat antioksidan pada manggis melebihi vitamin E dan vitamin C.
6
1.1.3 Kandungan Kimia dalam Kulit Buah Manggis Secara umum, kandungan kimia yang terdapat dalam kulit manggis adalah xanthone, mangostin, garsinon, flavonoid, dan tanin (Miryanti, Sapei, Budiono dan Indra, 2011). Penilaian mutu buah secara kimia dilakukan dengan mengukur kandungan pati, kandungan gula, keasaman, protein, vitamin dan mineral (Sjaifullah, 1996 dalam Hadriyono, 2011). Kandungan kimia buah manggis tidak dipengaruhi oleh ukuran maupun penampilan buahnya. Kandungan kimia buah yang berukuran kecil hampir sama dengan buah yang berukuran besar. Demikian pula kandungan kimia buah yang mulus hampir sama dengan buah yang burik (Satuhu, 1999 dalam Hadriyono, 2011). Perbandingan kadar gula-asam merupakan salah satu penentu mutu buah manggis. Umumnya rasa buah manggis ditentukan oleh adanya perpaduan rasa manis dan rasa asam dengan perbandingan yang tepat (Sjaifullah, 1996 dalam Hadriyono, 2011). Buah manggis yang dikehendaki konsumen, rasanya manis (kadar gula 18,5%), sedikit asam (kadar asam 0,4%) dengan kadar getah dan air sedikit (Hadisustrisno, 2002 dalam Hadriyono, 2011). Hasil penelitian Sastrodiharjo, 1980 menunjukkan bahwa keasaman daging buah manggis pada permulaan pertumbuhan terus meningkat seiring dengan bertambahnya umur buah, keasaman mencapai tingkat maksimum, selanjutnya keasaman menurun. Manggis merupakan tumbuhan yang berasal dari daerah Asia Tenggara meliputi Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar, Vietnam dan Kamboja. Secara umum, orang hanya mengkonsumsi buahnya saja dan cenderung membuang kulit buah manggis tersebut padahal di dalam kulit buah manggis kaya akan senyawa kimia yang bersifat sebagai antioksidan antara lain antosianin, xanton, tanin dan asam fenolat (Hartanto, 2011). Kemampuan antioksidan manggis melebihi vitamin C dan E yang selama ini dikenal sebagai antioksidan yang paling efektif. Diduga keterlibatan oksigen reaktif menjadi penyebab terjadinya mutasi terutama dalam bentuk radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekul yang mempunyai elektron tidak berpasangan
7
pada kulit terluarnya sehingga sangat reaktif dan dapat merusak komponenkomponen sel termasuk asam deoksiribonukleat (DNA) (Hartanto, 2011). Buah manggis merupakan buah yang mempunyai banyak keunggulan dibandingkan buah lainnya. Bagian kulit buah manggis dapat dimanfaatkan sebagai penghasil zat warna alami yang dapat digunakan sebagai pewarna makanan, juga dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan, antidiare, antikanker. Penampilan kulit buah manggis yang berwarna ungu menunjukkan ada pewarna alami yang terkandung di dalamnya. Salah satu senyawa flavonoid yang terkandung dalam kulit buah manggis adalah antosianin. Antosianin diketahui dapat berfungsi sebagai antioksidan (Jordheim, 2007 dalam Supiyanti, Wulansari, dan Kusmita, 2010). 1.2
Senyawa Flavonoid
1.2.1 Klasifikasi Flavonoid Flavonoid termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktivitas sebagai obat. Pigmen/zat warna yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan seperti zat warna merah, ungu, biru, kuning dan hijau tergolong senyawa flavonoid (Achmad, 1986). Flavonoid dalam tubuh manusia berfungsi sebagai antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Senyawa flavonoid adalah senyawasenyawa polifenol yang memiliki 15 atom karbon C6-C3-C6, terdiri dari dua cincin benzena yang dihubungkan menjadi satu oleh rantai linier yang terdiri dari tiga atom karbon (Miryanti, Sapei, Budiono dan Indra, 2011).
Gambar 2.2 Kerangka dasar senyawa flavonoid (Miryanti, Sapei, Budiono dan Indra, 2011). Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yakni 1,3-diarilpropan atau flavonoid, 1,2-diarilpropan atau isoflavonoid, dan 1,1-diarilpropan atau neoflavonoid.
8
Flavonoid
Isoflavonoid
Neoflavonoid
Gambar 2.3. Kerangka struktur flavonoid (Achmad, 1986) Istilah flavonoid yang diberikan untuk senyawa-senyawa fenol ini berasal dari kata flavon, yakni nama dari salah satu jenis flavonoid yang terbesar jumlahnya dan juga lazim ditemukan. Senyawa-senyawa flavon ini mempunyai kerangka 2-fenilkroman, dimana posisi orto dari cincin A dan atom karbon yang terikat pada cincin B dari 1,3-diarilpropan dihubungkan oleh jembatan oksigen, sehingga membentuk suatu cincin heterosiklik yang baru (cincin C). Senyawa-senyawa flavonoid terdiri dari beberapa jenis, bergantung pada tingkat oksidasi dari rantai propan dan system 1,3-diarilpropan. Dalam hal ini, flavan mempunyai tingkat oksidasi yang terendah sehingga senyawa ini dianggap sebagai senyawa induk dalam tatanama senyawa-senyawa turunan flavon. Berdasarkan struktur dasarnya maka ada beberapa jenis flavonoid yang dikenal, diantaranya : khalkon, auron, flavonon, dihidrovavonol, flavonol, antosianin, katekin (flavan 3-ol), flavan 3,4 diol, dan proantosianin. Beberapa jenis flavonoid lainnya, sebagai berikut :
Gambar 2.4. Klasifikasi flavonoid (Achmad,1986).
9
Flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan hijau, seperti pada akar, daun, kulit, kayu, benang sari, bunga, buah dan biji buah. Sedangkan pada hewan hanya dijumpai pada kelenjar bau berang-berang, sekresi lebah (propolis) dan dalam sayap kupu-kupu (Harborne, 1987 dalam Nugrahaningtyas, Matsjeh, Wahyuni, 2005). 2.2.2 Identifikasi Flavonoid Sebagian besar senyawa flavonoida alam ditemukan dalam bentuk glikosida, dimana unit flavonoida terikat pada suatu gula. Glikosida adalah kombinasi antara suatu gula dan suatu alkohol yang saling berikatan melalui ikatan glikosida. Pada prinsipnya, ikatan glikosida terbentuk apabila gugus hidroksil dari alkohol beradisi kepada gugus karbonil dari gula, sama seperti adisi alkohol kepada aldehida yang dikatalisa oleh asam menghasilkan suatu asetal. Pada hidrolisa oleh asam, suatu glikosida terurai kembali atas komponenkomponennya menghasilkan gula dan alkohol yang sebanding dan alkohol yang dihasilkan ini disebut aglikon. Flavonoida dapat ditemukan sebagai mono-, diatau triglikosida dimana satu, dua atau tiga gugus hidroksil dalam molekul flavonoid terikat oleh gula. Poliglikosida larut dalam air dan sedikit larut dalam pelarut organik seperti eter, benzen, kloroform dan aseton (Lenny, 2006). Senyawa-senyawa flavonoid terdapat dalam semua bagian tumbuhan tinggi, seperti bunga, daun, ranting, buah, kayu, kulit kayu, dan akar. Akan tetapi, senyawa flavonoid tertentu seringkali terkonsentrasi dalam suatu jaringan tertentu, misalnya antosianidin adalah zat warna dari bunga, buah dan daun. Sebagian besar dari flavonoid alam ditemukan dalam glikosida, dimana unit flavonoid terikat pada suatu gula. Suatu glikosida adalah kombinasi antara suatu gula dan suatu alkohol yang saling berikatan melalui ikatan glikosida. Pada prinsipnya, ikatan glikosida terbentuk apabila gugus hidroksil dari alkohol beradisi kepada gugus karbonil dari gula, sama seperti adisi alkohol kepada aldehida yang dikatalisa oleh asam menghasilkan suatu asetal (Achmad, 1986). Flavonoid pada sejumlah tumbuhan obat dilaporkan memiliki sifat antibakteri, antiinflamasi, antialergi, antimutagenik, antiviral, antineoplastik dan antitrombotik (Supriyati dan Sutjipto, 2006 dalam Marlina 2008). Flavonoid juga
10
telah dipergunakan untuk antihiperglekimia. Satyanarayana (2006) dalam Marlina (2008) menyatakan senyawa yang digunakan untuk antihiperglekimia adalah flavonoid, triterpenoid dan alkaloid. Selain untuk antihiperglekimia flavonoid juga merupakan senyawa bioaktif yang berguna sebagai antioksidan. Flavonoid yang terdapat dalam sayuran, teh dan minuman anggur dapat mengurangi radikal bebas (Tuminah, 2000 dalam Marlina, 2008). Salah satu komponen flavonoid dari tumbuh-tumbuhan yang dapat berfungsi sebagai antioksidan adalah zat warna alami yang disebut antosianin, yang merupakan salah satu zat antioksidan yang mampu mencegah berbagai jenis kerusakan akibat oxidative stress (Jawi, 2007 dalam Marlina, 2008). 2.2.3 Kelarutan Flavonoid Penggolongan dalam tumbuhan terdapat sebagai campuran, seringkali terdiri atas flavonoid yang berbeda golongan. Penggolongan jenis flavonoid didasarkan pada sifat kelarutan dan reaksi warna. Flavonoid merupakan senyawa polar karena memiliki sejumlah gugus hidroksil yang tidak tersubtitusi. Pelarut polar seperti etanol, metanol, etilasetat, atau campuran dari pelarut tersebut dapat digunakan untuk mengekstrak flavonoid dari jaringan tumbuhan (Rijke, 2005 dalam Akbar, 2010). 1.3
Antioksidan Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang dapat mendonorkan satu atau
lebih atom hidrogen. Menurut Schuler (1990) dalam Nuraini, (2007), antioksidan merupakan senyawa yang mampu menghambat atau mencegah terjadinya oksidasi. Senyawa antioksidan biasanya digunakan untuk mencegah kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh senyawa radikal bebas. Zat oksidan atau lebih dikenal senyawa radikal bebas merupakan atom atau molekul yang sifatnya sangat tidak stabil (mempunyai satu atau lebih elektron tanpa pasangan), sehingga untuk memperoleh pasangan elektron senyawa ini sangat reaktif dan merusak jaringan. Dengan adanya senyawa antioksidan, oksidan atau senyawa radikal bebas yang tadinya sangat tidak stabil dan bersifat merusak sel tubuh dapat menjadi stabil dan kerusakan sel tubuh dapat dicegah.
11
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan.
Senyawa
ini
memiliki
berat
molekul
kecil,
tetapi
mampu
menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegahnya terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat mencegah reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya kerusakan sel dapat dihambat (Winarsi, 2007 dalam Ningtyas, 2010). Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid dalam konsentrasi yang lebih rendah dari substrat yang dapat dioksidasi. Antioksidan bereaksi dengan radikal bebas sehingga mengurangi kapasitas radikal bebas untuk menimbulkan kerusakan. Dalam bahan pangan antioksidan banyak terdapat pada sayur-sayuran dan buah-buahan, yang salah satunya adalah manggis (DeMan, 1997 dalam Hadriyono, 2011). Antioksidan adalah senyawa yang dapat digunakan untuk melindungi bahan pangan melalui perlambatan kerusakan, ketengikan atau perubahan warna yang disebabkan oleh oksidasi. Antioksidan mampu bertindak sebagai penyumbang radikal hidrogen atau dapat bertindak sebagai akseptor radikal bebas sehingga dapat menunda tahap inisiasi pembentukan radikal bebas. Beberapa
penelitian
menunjukkan
bahwa
kulit
buah
manggis
mengandung senyawa yang memiliki aktivitas farmakologi dan antioksidan. Senyawa tersebut diantaranya flavonoid, tanin dan xanton (Ho et al, 2002; Jung, 2006; Moongkarndi, 2004; Weecharangsan, 2006 dalam Dungir, Katja dan Kamu, 2012). Berdasarkan sumber perolehannya, ada dua macam antioksidan, yaitu antioksidan alami dan antioksidan buatan (sintetik) (Dalimartha dan Soedibyo, 1999 dalam Kuncahyo dan Sunardi, 2007). 2.3.1
Antioksidan Alami Antioksidan alami adalah antioksidan yang diperoleh secara alami yang
yang sudah ada dalam bahan pangan, baik yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan maupun yang diisolasi dari sumber alami yang tidak dapat dimakan dan digunakan sebagai bahan tambahan makanan (Lestari, 2012).
12
Antioksidan alami banyak terdapat dalam tanaman pada seluruh bagian dari tanaman seperti akar, daun, bunga, biji, batang dan sebagainya. Senyawasenyawa yang umumnya terkandung dalam antioksidan alami adalah fenol, polifenol, dan yang paling umum adalah flavonoid (flavonol, isoflavon, flavon, katekin, flavonon), turunan asam sinamat, tokoferol, dan asam organik polifungsi. (Nuraini, 2007). 2.3.2 Antioksidan Sintetis Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan untuk makanan, ada lima antioksidan yang penggunaannya meluas dan menyebar diseluruh dunia, yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propil galat, Tert-Butil Hidoksi Quinon (TBHQ) dan tokoferol. BHA memiliki kemampuan antioksidan (carry through, kemampuan antioksidan baik dilihat dari ketahanannya terhadap tahap-tahap pengelolaan maupun stabilitasnya pada produk akhir) yang baik pada lemak hewan dalam sistem makanan panggang, namun relatif tidak efektif pada minyak tanaman. BHA bersifat larut lemak dan tidak larut air, berbentuk padat putih dan dijual dalam bentuk tablet atau serpih, bersifat volatil sehingga berguna untuk penambahan ke materi pengemas (Buck., 1991 dalam Akarui., 2011). TBHQ dikenal sebagai antioksidan paling efektif untuk lemak dan minyak, khususnya minyak tanaman karena memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada
penggorengan
tetapi
rendah
pada
pembakaran.
Bila
TBHQ
direkomendasikan dengan BHA yang memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada pemanggangan akan memberikan kegunaan yang lebih luas . TBHQ dikenal berbentuk bubuk putih sampai coklat terang, mempunyai kelarutan cukup pada lemak dan minyak, tidak membentuk kompleks warna dengan Fe dan Cu tetapi dapat berubah pink dengan adanya basa (Buck., 1991 dalam Akarui., 2011 ). 2.3.3 Manfaat Antioksidan (Gordon, 1990 dalam Nuraini, 2007) menjelaskan sesuai mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksiden primer.
13
Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk yang lebih stabil. Inisiasi : R* + AH Propagasi : ROO* + AH
RH + A* ROOH + A*
Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida (Gordon, 1990 dalam Nuraini, 2007). Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi. Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru (Gordon, 1990 dalam Nuraini, 2007). 2.4 Radikal Bebas Radikal bebas adalah atom atau gugus apa saja yang memiliki satu atau lebih elektron tidak berpasangan. Karena jumlah elektron ganjil, maka tidak semua elektron dapat berpasangan. Suatu radikal bebas dapat bermuatan positif atau negatif, maka spesies semacam ini sangat reaktif karena adanya elektron yang tidak berpasangan. Sumber radikal bebas dapat berasal dari dalam tubuh kita sendiri (endogen) yang terbentuk sebagai sisa proses metabolisme (proses pembakaran), protein, karbohidrat dan lemak yang kita konsumsi. Radikal bebas dapat pula diperoleh luar tubuh (eksogen) yang berasal dari polusi udara, asap kendaraan, berbagai bahan kimia, makanan yang telah hangus (Miryanti, Sapei, Budiono, dan Indra, 2011). Radikal bebas adalah senyawa kimia yang memiliki satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya, sehingga dapat menyerang senyawa-senyawa lain seperti DNA, membran lipid, dan protein. Radikal ini akan
14
merebut elektron dari molekul lain yang ada disekitarnya untuk menstabilkan diri, sehingga spesies kimia ini sering dihubungkan dengan terjadinya kerusakan sel, kerusakan jaringan dan proses penuaan (Halliwell dan Gutteridge, 1999 dalam Ningtyas, 2010). Radikal bebas pada umumnya berasal dari molekul oksigen yang secara kimia strukturnya mengalami perubahan akibat dari aktifitas lingkungan seperti beberapa diantaranya adalah merokok, polusi udara, radiasi dan masih banyak lagi. Radikal bebas yang masuk kedalam tubuh berusaha mencuri elektron yang terdapat pada molekul lain seperti sel dan DNA. Pencurian elektron ini terjadi jika radikal bebas mampu merusak sel dan DNA, jika tubuh hanya memiliki sedikit antioksidan maka radikal bebas akan lebih mudah merusak sel dan DNA. 2.5 Metode DPPH Untuk melakukan uji aktivitas antioksidan, dikenal metode DPPH (difenilpikril hidrazil). Zat ini berperan sebagai electron scavenger (penangkap elektron) atau hydrogen radical scavenger (penangkap radikal hidrogen bebas). Jika suatu senyawa antioksidan direaksikan dengan zat ini maka senyawa antioksidan tersebut akan menetralkan radikal bebas dari DPPH. Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan dengan inkubasi DPPH dengan ekstrak antioksidan selama 30 menit sehingga menghasilkan larutan yang berwarna kuning kemudian dilakukan pengukuran panjang gelombang pada 517 nm. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : (DPPH.) + (H—A) → DPPH — H + (A.) Ungu
Kuning
H-A adalah senyawa antioksidan yang akan diuji. Pemeriksaan antioksidan dalam penelitian dilakukan dengan metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil). Uji kimia ini telah digunakan secara luas pada penelitian fitokimia untuk menguji aktivitas penangkap radikal dari ekstrak atau senyawa murni. DPPH adalah suatu radikal stabil yang mengandung nitrogen organik, berwarna ungu gelap dengan absorbansi yang kuat pada panjang gelombang maksimum 517 nm. Setelah bereaksi dengan antioksidan warna
15
larutan akan berkurang dan berubah menjadi kuning. Perubahan warna ini dapat diukur secara spektrofotometri (Reynertson, 2007 dalam Ningtyas, 2010). Aktivitas antioksidan diperoleh dari nilai absorbansi yang selanjutnya akan digunakan untuk menghitung persentase inhibisi 50% (IC50) yang menyatakan konsentrasi senyawa antioksidan yang menyebabkan 50% dari DPPH kehilangan karakter radikal bebasnya. Semakin tinggi kadar senyawa antioksidan dalam sampel maka akan semakin rendah nilai IC50. Beberapa penelitian melaporkan bahwa ekstrak etilasetat memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar dibandingkan dengan ekstrak n-heksan, ekstrak air dan ekstrak metanol. Salah satunya adalah ekstrak etilasetat pada rimpang jeringau memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar dibandingkan dengan ekstrak lainnya (Saman, 2013). Uji aktivitas antioksidan DPPH berdasarkan reaksi penangkapan radikal DPPH oleh senyawa antioksidan melalui mekanisme donasi atom hidrogen sehingga akan dihasilkan DPPH-H (bentuk non radikal) dan menyebabkan terjadinya penurunan intensitas warna ungu dari DPPH (Windono dkk, 2004 dalam Utomo, Suprijono dan Risdianto, 2008).
DPPH
antioksidan
DPPH-H
Gambar 2.5. Reaksi Penangkapan Radikal oleh DPPH (Molyneux, 2004 dalam Utomo, Suprijono dan Risdianto, 2008 ). 2.6 Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair dengan bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi 16
merupakan proses pemisahan suatu bahan dari campurannya, ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Ekstraksi menggunakan pelarut didasarkan pada kelarutan komponen terhadap komponen lain dalam campuran (Suyitno, 1989 dalam Ningtyas, 2010). Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Teknik ekstraksi yang tepat berbeda untuk masing-masing bahan. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur kandungan bahan dan jenis senyawa yang ingin didapat (Nielsen, 2003 dalam Nuraini, 2007). 2.6.1 Maserasi Maserasi merupakan proses penyarian senyawa kimia secara sederhana dengan cara merendam simplisia atau tumbuhan pada suhu kamar dengan menggunakan pelarut yang sesuai sehingga bahan menjadi lunak dan larut. Penyarian zat-zat berkhasiat dari simplisia, baik simplisia dengan zat khasiat yang tidak tahan pemanasan. Ekstraksi dilakukan berulang-ulang kali sehingga sampel terekstraksi secara sempurna yang ditandai dengan pelarut pada sampel berwarna bening. Sampel yang direndam dengan pelarut tadi disaring untuk mendapat maseratnya (Syaputro, 2011). 2.6.2 Prinsip Maserasi Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai pada temperatur kamar, terlindung dari cahaya. Cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Hamdani, 2011). 2.7
Kromatografi Di tahun 1903 Tswett menemukan teknik kromatografi. Teknik ini
bermanfaat
sebagai
cara
untuk
menguraikan
suatu
campuran.
Dalam
kromatografi, komponen-komponen terdistribusi dalam dua fase. Salah satu fase adalah fase diam. Transfer massa antara fase bergerak dan fase diam terjadi bila
17
molekul-molekul campuran serap pada permukaan partikel-partikel atau terserap di dalam pori-pori partikel atau terbagi ke dalam sejumlah cairan yang terikat pada permukaan atau di dalam pori. Ini adalah sorpsi (penyerapan). Laju perpindahan suatu molekul zat terlarut tertentu di dalam kolom atau lapisan tipis zat penyerap secara langsung berhubungan dengan bagian molekul-molekul tersebut diantara fase bergerak dan fase diam (Khopkar, 2003). 2.7.1 Pengertian Kromatografi Kromatografi adalah proses melewatkan sampel melalui suatu kolom, perbedaan
kemampuan
adsorpsi
terhadap
zat-zat
yang
sangat
mirip
mempengaruhi resolusi zat terlarut dan menghasilkan apa yang disebut kromatogram (Khopkar, 2003). Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari 2 fase atau lebih, salah satu diantaranya, bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan diantaranya zat-zat itu menunjukan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion. 2.7.2 Kromatografi Lapis Tipis Teknik ini dikembangkan tahun 1938 oleh Ismailoff dan Schraiber. Adsorben dilapiskan pada lempeng kaca yang bertindak sebagai penunjang fase diam. Fase bergerak akan merayap sepanjang fase diam dan terbentuklah kromatogram. Biasanya yang sering digunakan sebagai materi pelapisnya adalah silika gel, tapi kadangkala bubuk selulosa dan tanah diatome, kieselguhr juga dapat digunakan (Khopkar, 2003). Kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk memisahkan berbagai senyawa seperti ion-ion anorganik, kompleks senyawa-senyawa organik dengan anorganik, dan senyawa-senyawa organik baik yang terdapat di alam dan senyawa-senyawa organik sintetik. Kelebihan penggunaan kromatografi lapis tipis dibandingkan dengan kromatografi kertas ialah karena dapat dihasilkannya pemisahan yang lebih sempurna, kepekaan yang lebih tinggi, dan dapat dilaksanakan dengan lebih cepat (Adnan, 1997).
18
2.7.3 Pengertian Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi lapis tipis atau KLT merupakan kromatografi adsorbsi dan adsorben bertindak sebagai fase stasioner. Empat macam adsorben yang umum dipakai ialah silika gel (asam silikat), alumina (aluminum oxyde), kieselguhr (diatomeous earth), dan selulosa. Dari keempat jenis adsorben tersebut, yang paling banyak dipakai ialah silika gel dan masing-masing terdiri dari beberapa jenis yang mempunyai nama perdagangan bermacam-macam. 1.
Silika Gel Silika gel merupakan adsorben yang paling banyak dipakai dalam
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan karena itu sering digunakan pada percobaan pertama. Senyawa netral yang mempunyai gugusan sampai tiga, pasti dapat dipisahkan pada lapisan yang diaktifkan dengan memakai pelarut organik atau campuran yang normal. 2.
Alumina (Al2O3) Penggunaan alumina dalam Kromatografi Lapis Tipis (KLT), yang semula
diperkenalkan oleh peneliti dari Cekoslowakia, tidak sesering silika gel. Sebenarnya alumina
netral mempunyai
kemampuan untuk memisahkan
bermacam-macam senyawa, seperti terpena, alkaloid, steroid, dan senyawasenyawa alisiklik, alifatik, serta aromatik. Sebagai adsorben alumina tidak mengandung zat perekat, mempunyai sedikit sifat alkalis dan dapat digunakan baik tanpa maupun dengan aktivasi. 3.
Kieselguhr Kieselguhr merupakan adsorben yang lebih lemah dari silika gel dan
alumina, oleh karena itu lebih cocok untuk memisahkan senyawa-senyawa polar (Adnan, 1997). 2.7.4
Perhitungan Rf Ada beberapa faktor yang menentukan harga Rf yaitu :
1) Pelarut, disebabkan pentingnya koefisien partisi, maka perubahan-perubahan yang sangat kecil dalam komposisi pelarut dapat menyebabkan perubahanperubahan harga Rf.
19
2) Suhu, perubahan dalam suhu merubah koefisien partisi dan juga kecepatan aliran. 3) Ukuran dari bejana, volume dari bejana mempengaruhi homogenitas dari atmosfer jadi mempengaruhi kecepatan penguapan dari komponen-komponen pelarut dari kertas. Jika bejana besar digunakan, ada tendensi perambatan lebih lama, seperti perubahan komposisi pelarut sepanjang kertas, maka koefisien partisi akan berubah juga. Dua faktor yaitu penguapan dan kompisisi mempengaruhi harga Rf. 4) Kertas, pengaruh utama kertas pada harga Rf timbul dari perubahan ion dan serapan, yang berbeda untuk macam-macam kertas. Kertas mempengaruhi kecepatan aliran juga mempengaruhi kesetimbangan partisi. 5) Sifat dari campuran, berbagai senyawa mengalami partisi diantara volumevolume yang sama dari fasa tetap dan bergerak. Rf = Faktor Retardasi atau Faktor Retensi. Harga Rf dihitung sebagai jarak yang ditempuh oleh komponen dibagi dengan jarak yang ditempuh eluen. Pemisahan dihentikan sebelum semua fasa gerak melewati seluruh permukaan fasa diam. Jarak yang ditempuh oleh komponen Rf = Jarak yang ditempuh oleh pelarut 2.7.5 Kromatografi Kolom Kromatografi kolom adalah kromatografi yang menggunakan kolom sebagai alat untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran. Prinsip kerjanya didasarkan pada absorbsi komponen-komponen campuran dengan afinitas berbeda terhadap permukaan fase diam. Absorben bertindak sebagai fase diam dan fase geraknya adalah cairan yang mengalir membawa komponen campuran sepanjang kolom. Sampel yang mempunyai afinitas besar terhadap absorben akan secara selektif tertahan dan afinitasnya paling kecil akan mengikuti aliran pelarut. Kromatografi kolom bertujuan untuk mengisolasi komponen sampel dari campurannya.
20
Cara penggunaan kromatografi kolom, yaitu : 1. Sampel yang dilarutkan dalam sedikit pelarut, dituangkan melalui atas kolom
dan dibiarkan mengalir ke dalam adsorben (bahan penyerap).
2. Komponen dalam sampel diadsorbsi dari larutan secara kuantitatif oleh bahan 3.
penyerap berupa pita sempit pada permukaan atas kolom.
Dengan
penambahan
pelarut
secara
terus
menerus,
masing-masing
komponen
akan bergerak turun melalui kolom dan akan terbentuk pita yang
setiap zona
berisi satu macam komponen.
4. Setiap zona yang keluar kolom dapat ditampung dengan sempurna sebelum
zona yang lain keluar kolom.
Dalam proses pemisahan dengan kromatografi kolom, adsorben silika gel harus senantiasa basah karena, jika dibiarkan kering, kolom yang terbentuk dari silika gel bisa retak, sehingga proses pemisahan zat tidak berjalan optimal. Selain itu, kondisi yang senantiasa basah berperan untuk memudahkan proses elusi (larutan melewati kolom) dalam kolom (Marin, 2011 dalam Idrus, 2012). 2.8
Spektrofotometri Infra Red (IR) Konsep radiasi infra merah diajukan pertama kali oleh Sir William
Herschel (tahun 1800) melalui percobaannya mendispersikan radiasi matahari dengan prisma. Ternyata pada daerah sesudah sinar merah menunjukkan adanya kenaikan temperatur tertinggi yang berarti pada daerah panjang gelombang radiasi tersebut banyak kalori (energi tinggi). Daerah spektrum tersebut selanjutnya disebut infrared (IR, di seberang atau di luar merah) (Mulja, 1995). Spektrofotometri Infrared atau Inframerah merupakan suatu metode yang mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada pada daerah panjang gelombang 0,75 – 1.000 µm atau pada Bilangan Gelombang 13.000 – 10 cm-1. Daerah spektra spektroskopi inframerah dibagi ke dalam tiga kisaran, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2.1: Daerah IR dekat IR tengah IR jauh
Panjang gelombang (µm) 0,78-2,5 2,5-50 50-1000
Bilangan gelombang (cm-1) 12.500-4.000 4.000-200 200-10
21
Daerah yang paling banyak digunakan untuk berbagai keperluan praktis adalah 4000-690 cm-1. Daerah ini biasa disebut sebagai daerah IR tengah. Spektroskopi IR juga digunakan untuk penentuan struktur, khususnya senyawa organik dan juga untuk analisis kuantitatif (Khopkar, 2003).
22