1
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
A. Kajian Teoretis 1.
Hakikat Lompat Tinggi
a. Pengertian Lompat Tinggi Jenis olahraga lompat tinggi merupakan bagian dari nomor lompat pada cabang olahraga atletik. Dalam cabang olahraga atletik secara garis besar terdapat empat unsur gerak yang mendasarinya, yakni jalan, lari, lompat, dan lempar. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Adi, dkk. (2008: 4) bahwa atletik (athletics) adalah induk dari olahraga dan merupakan sekumpulan olahraga yang meliputi jalan, lari, lempar, dan lompat, yang menjadi aktivitas tertua dalam peradaban manusia. Terkait dengan unsur gerak lompat, maka nomor lompat yang selalu dilombakan ialah loncat galah (pole vault), lompat tinggi (high jump), lompat jauh (long jump), dan lompat jangkit (triple jump). Akan tetapi, pada penulisan ini, hanya akan memfokuskan pada lompat tinggi khususnya lompat tinggi gaya guling perut (straddle style). Definisi lompat tinggi menurut Adi, dkk. (2008: 40) ialah salah satu nomor atletik lompat yang memperagakan keterampilan melompati mistar/palang pada ketinggian tertentu. Ketinggian lompatan yang dicapai tergantung pada kemampuan peloncat dalam mengubah gerakan lari awalan menjadi gerakan bersudut pada saat menumpu, sehingga gerakan maju ke depan menjadi gerakan ke atas. Sehubungan dengan itu, Tamat dan Mirman (2008: 2.59) mengemukakan 6
2
tujuan lompat tinggi, yakni memproyeksikan berat badan si pelompat di udara dengan kecepatan bergerak ke depan secara maksimal. Jika kita melihat karakteristik dari nomor lompat jauh ini, terdapat beberapa syarat yang perlu dipenuhi bagi seorang pelompat untuk menjadi pelompat yang baik. Tamat dan Mirman (2008: 2.59) mengemukakan tiga syarat, yakni: (1) postur tubuh yang memungkinkan; (2) ada bakat sebagai pelompat; dan (3) latihan sistematis yang mengakibatkan pengendalian bentuk gerakan yang tepat. Ketiga syarat di atas dianggap tepat karena seseorang pelompat tinggi akan lebih mampu melompat tinggi bila memiliki postur tubuh yang tinggi pula. Artinya, sesorang yang berpostur tinggi akan lebih mudah melewati/melompati ukuran tertentu bila dibandingkan dengan seseorang tang berpostur pendek. Akan tetapi, kepemilikan postur tubuh yang tinggi tidak menjamin menghasilkan lompatan yang tinggi apabila ia tidak memiliki bakat melompat. Artinya, untuk menjadi seorang pelompat yang baik, faktor bakat dapat mempengaruhi. Bakat ialah suatu potensi yang dibawa sejak lahir. Bagaimana seseorang mampu melompat dengan baik jika bakatnya bukan sebagai pelompat. Namun, berkembangtidaknya suatu bakat tergantung faktor latihan. Dengan proses latihan yang disusun secara sistematis dan terprogram, memungkinkan bakat yang dimiliki seseorang akan dapat berkembang dengan baik. Dan tidak menutup kemungkinan ia akan menjadi seorang pelompat tinggi yang berprestasi.
3
b. Gaya-Gaya dalam Lompat Tinggi Untuk perlombaan nomot lompat tinggi, terdapat beberapa gaya yang sering dugunakan. Gaya lompat tinggi dimaksud dapat dimanfaatkan seorang pelompat sesuai selera dan kebiasaan si pelompat. Seorang pelompat tidak harus menguasai semua gaya, sebab penguasaan semua gaya lompat tinggi belum tentu menjamin menjadi seorang pelompat tinggi yang baik. Memiliki satu atau dua jenis gaya yang dikuasai, sudah dapat dianggap cukup asalakan gaya tersebut benar-benar ditekuni dengan baik. Namun, akan lebih baik lagi kalau seorang pelompat tinggi dapat menguasai semua gaya dalam lompat tinggi. Gaya-gaya dalam lompat tinggi yang dikemukakan oleh Adi, dkk., (2008: 42-43); serta Tamat dan Mirman, (2008: 2.59-2.30) sebagai berikut: (a) gaya guling perut (straddle); (b) gaya guling sisi (western roll); (c) gaya gunting (scissors); dan (d) gaya guling punggung (fosbury flop). c. Gerak Dasar Lompat Tinggi Telah diuraikan sebelumnya bahwa terdapat empat gaya lompat tinggi. Namun, untuk jenjang sekolah dasar (SD), hanya satu gaya saja yang diambil sebagai materi ajar, yakni lompat tinggi gaya guling perut (Tamat dan Mirman, 2008: 2.60). Pernyataan ini sesuai dengan pedoman yang tertuang dalam Standar Isi pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Hal ini mengingat tingkat kesulitan gerak pada gaya ini dianggap lebih rendah dibandingkan dengan gayagaya lainnya. Di samping itu, kemungkinan resiko cedera lebih kecil, termasuk juga tidak membutuhkan alat yang lebih memadai, misalnya matras. Jadi
4
walaupun tidak menggunakan matras, pelaksanaan gaya ini bagi siswa SD masih dapat dilakukan. Untuk dapat melakukan lompat tinggi yang baik diperlukan tahapantahapan atau gerak dasar. Tamat dan Mirman (2008: 2.60-2.2.61) dan Sunarsih, dkk., (2007: 72-73) mengemukakan empat tahapan gerakan dan cara pelaksanaannya dalam lompat tinggi gaya guling perut, yakni sebagai berikut. 1) Awalan Melakukan awalan pada lompat tinggi dimaksudkan untuk membangkitkan daya gerak, dari gerak mendarat/horizontal ke arah vertikal. Dalam melakukan lompat tinggi, yang harus diperhatikan oleh si pelompat ialah pada tiga langkah terakhir, yaitu langkah harus panjang dan cepat, sedangkan badan agak condong ke belakang. Cara melakukan awalan agar lebih mudah ialah: a) Apabila kaki tolakan adalah kaki kiri, pengambilan awalan dari samping kiri. Sebaliknya, apabila menggunakan tolakan dengan kaki kanan, pengambilan awalan dari samping kanan. b) Jarak antara kaki tolakan dengan mistar kira-kira setengah lengan. c) Dari tempat tolakan ke tempat permulaan, dimulai dengan melakukan awalan jalan, lari, dan melakukan tiga, lima, atau tujuh langkah dan setersunya, kemudian menekan untuk melewati ketinggian mistar. d) Arah lari sedikit menyerong dari permukaan depan matras pendaratan. e) Sudut awalan dari tempat tolakan ke tempat permulaan kira-kira 300 – 450. f) Langkah dari tempat awalan ke tempat tolakan harus tepat dan pada langkah terakhir harus panjang dan cepat.
5
2) Tolakan atau tumpuan Tolakan adalah perpindahan gerak dari kecepatan horizontal ke arah vertikal yang harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Caranya ialah pada waktu akan menolak/bertumpu, si pelompat pada tiga atau lima langkah terakhir harus sudah mempersiapkan kakinya untuk melakukan tolakan yang sekuat-kuatnya, sehingga dapat mengangkat tubuhnya melayang ke atas. Tolakan dimulai dari tumit, terus ke telapak kaki, dan berakhir pada ujung jari kaki yang dilakukan dengan cepat dan tepat. Ketika titik berat badan berada di atas kaki tolakan, secepat mungkin pergelangan kaki di tolak lurus ke atas, badan dicondongkan ke belakang hingga berat badan berada pada kaki belakang (kaki ayun). Kaki ayun dengan lutut agak dibengkokkan, bersiap-siap untuk berayun ke depan atas mistar. Kedua lengan diayunkan ke depan atas diteruskan ke belakang atas untuk membawa persendian bahu ke atas, hingga seluruh tubuh akan terangkat melayang melewati mistar. 3) Sikap badan di atas mistar Sikap badan di atas mistar berhubungan dengan sudut awalan pada waktu akan melakukan lompatan/tolakan. Jadi, sikap badan di atas mistar dibentuk mulai dari saat lepasnya kaki tolak sampai melayang di atas mistar. Sikap badan di atas mistar pada gaya guling perut adalah: a) Pada saat kaki ayun melewati mistar dan berada pada titik yang tinggi, secepatnya badan berbalik sampai perut menghadap mistar. b) Kaki tolakan segera dilipat pada lututnya, ke samping, ke atas, dan ke belakang.
6
c) Kepala ditundukkan ke bawah mistar, sehingga pundak lebih rendah dari pinggul. d) Posisi badan pada waktu di atas mistar, tidur telungkup terus berguling, serta badan dan kepala diturunkan. e) Pada saat badan mulai turun, lutut segera diluruskan ke belakang. 4) Sikap mendarat Sikap mendarat yaitu sikap jatuh setelah melewati mistar. Tetapi sebenarnya bukan merupakan unsur yang menentukan dalam lompat tinggi, sebab tugas si pelompat dapat dikatakan selesai jika ia telah melewati mistar. Hanya saja, guna menghindari kecelakaan ketika mendarat, sebaiknya harus mendarat sebaik mungkin. Cara mendarat yang baik adalah: a) Jika tempat pendaratan di pasir, yang mendarat lebih dahulu ialah kaki ayun (misalnya kaki kanan) kemudian lompat tinggi gaya guling perut, bertumpu pada pundak bahu kanan. Atau dapat pula menggunakan bantuan dengan kedua tangan. b) Jika pendaratan terbuat dari matras, posisi jatuh lebih dahulu ialah sisi bahu atau punggung. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa lompat tinggi adalah keterampilan melompati mistar/palang pada ketinggian tertentu. Untuk dapat melakukan lompat tinggi dengan baik diperlukan penguasaan teknik dasarnya. Teknik dasar dimaksud adalah teknik awalan, tolakan, sikap badan di atas mistar, dan mendarat. Ketika melakukan lompat tinggi, gaya-gaya yang dapat dilakukan
7
ialah gaya guling perut (straddle), gaya guling sisi (western roll), gaya gunting (scissors), dan (d) gaya guling punggung (fosbury flop).
2. Materi Tolak Peluru di SD Cabang olahraga atletik yang dibelajarkan di SD berorientasi pada pengembangan keterampilan gerak dasar, peningkatan kebugaran jasmani, pengembangan watak dan emosional dan pola budaya hidup sehat. Pada siswa kelas VI, salah satu bagian dari cabang olahraga atletik yang dibelajarkan pada tingkat ini ialah lompat tinggi sebagaimana tertuang dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar yang tertuang dalam kurikulum sekolah. Standar kompetensi yang dimaksudkan di atas berbunyi: “Mempraktikkan berbagai gerak dasar ke dalam permainan dan olahraga dengan peraturan yang dimodifikasi, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya”, sedangkan kompetensi dasarnya berbunyi “Mempraktikkan pengembangan koordinasi beberapa nomor teknik dasar atletik dengan peraturan yang dimodifikasi, serta nilai sportivitas, percaya diri dan kejujuran” (Kurikulum SDN 2 Lawonu Kecamatan Tilango Tahun Pelajaran 2011/2012) Berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi di atas, maka indikator yang dikembangkan oleh peneliti adalah siswa dapat melakukan gerak dasar lompat tinggi dengan baik. Inilah yang menjadi dasar peneliti dalam menetapkan judul penelitian.
8
3. Hakikat Strategi Pembelajaran Modifikasi a. Konsep Strategi Pembelajaran Istilah strategi pembelajaran berasal kata “strategi” dan “pembelajaran”. Sebelum membahas tentang strategi, terlebih dahulu akan dibahas mengenai pembelajaran. Istilah pembelajaran merupakan hasil perpaduan antara belajar dan mengajar atau yang biasa disebut dengan belajar-mengajar, namun dapam tulisan ini, penulis memakai istilah “pembelajaran”. Konsep pembelajaran menurut Corey adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondosi khusus yang dapat menghasilkan respon. Sedangkan konsep mengajar menurut Burton ialah upaya memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar (dalam Sagala, 2009: 61). Pembelajaran merupakan hubungan interaksi antara guru dan siswa serta lingkungannya yang dilakukan untuk mencapai target tertentu. Pembelajaran memerlukan suasana yang kondunsif demi tercapainya kondisi pembelajaran yang dinamis, berkesan, dan menyenangkan. Pada pasal 1 Ketentuan Umum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Sehubungan dengan pembelajaran Penjasorkes, tugas utama dalam menyelenggarakan pengajaran adalah membantu siswa untuk menjalani proses pertumbuhan, baik yang berkenaan dengan keterampilan fisik maupun dalam
9
aspek sikap dan pengetahuannya. Cara terbaik untuk memahami perubahan tersebut ialah dengan menyimak dan mengamati perubahan yang terjadi. Tujuan akhir dilaksanakan kegiatan pembelajaran Penjasorkes adalah untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Hasil belajar dapat ditingkatkan melalui usaha sadar yang dilakukan secara sistematis mengarah kepada perubahan yang positif yang kemudian disebut dengan proses belajar. Sebagai akibat dari proses belajar, maka yang akan terjadi ialah output atau yang disebut dengan hasil belajar. Sudjana (2010: 22) menyatakan hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar. Selanjutnya Dimyati dan Mudjiono (2009: 3) menjelaskan bahwa hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Warsito (dalam Depdiknas, 2006: 125) mengemukakan bahwa hasil dari kegiatan belajar ditandai dengan adanya perubahan perilaku ke arah positif yang relatif permanen pada diri orang yang belajar. Rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan intruksional, menggunakan klasifikasi Bloom (dalam Abdullah dan Manadji, 1994: 15; Sudjana, 2010: 22) secara garis besar membagi tiga ranah antara lain: ranah kognitif, afektif, dan psikomotoris. Selanjutnya Gagne (dalam Sudjana, 2010: 22) membagi lima macam kemampuan hasil belajar antara lain: (a) hasil belajar intelektual merupakan hasil belajar terpenting dari sistem lingsikolastik; (b) strategi kognitif yaitu mengatur cara belajar dan berfikir seseorang dalam arti seluas-luasnya termaksuk kemampuan memecahkan masalah; (c) sikap dan nilai, berhubungan dengan arah intensitas emosional dimiliki seseorang sebagaimana
10
disimpulkan dari kecenderungan bertingkah laku terhadap orang dan kejadian; (d) informasi verbal, pengetahuan dalam arti informasi dan fakta; dan (e) keterampilan motorik, yaitu kecakapan yang berfungsi untuk lingkungan hidup serta memprestasikan konsep dan lambang. Hasil belajar yang diperoleh dapat diukur melalui kemajuan yang diperoleh siswa setelah belajar dengan sungguh-sungguh. Melalui proses belajar seseorang siswa berusaha mengumpulkan pengalaman berupa pengetahuan, kecakapan, keterampilan dan penyesuian tingkah laku. Hasil belajar tampak terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang dapat diamati dan diukur melalui perubahan sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya (Hamalik, 2006: 155). Berdasarkan konsepsi hasil belajar yang diuraikan di atas, maka hasil belajar Penjasorkes, olahraga dan kesehatan juga mencakup 3 (tiga) ranah. Hal ini senada bahwa sasaran kompetensi dalam Penjasorkes, olahraga dan kesehatan mencakup kognitif, afektif, dan psikomotor (Lutan, 2002: 20). Hasil belajar pada aspek kognitif menyangkut pengetahuan tentang fakta, konsep, dan lebih penting lagi adalah penalaran dan kemampuan memecahkan masalah. Aspek afektif mencakup sifat-sifat psikologis yang menjadi unsur kepribadian yang kokoh, tidak hanya tentang sikap sebagai kesiapan berbuat yang perlu dikembangkan, tetapi yang lebih penting di antaranya adalah konsep diri dan komponen kepribadian lainnya, seperti intelegensia emosional dan watak. Aspek psikomotorik mencakup aspek kebugaran jasmani dan perseptual motorik, dalam artian bahwa kemampuan
11
serta keterampilan gerak/motorik siswa akan terbentuk setelah terlibat dalam proses pembelajaran. Departemen Agama RI (2006: 19) menyatakan, hasil belajar psikomotorik merupakan ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Jadi, pembelajaran merupakan interaksi antara guru dan siswa serta lingkungannya yang dilakukan untuk mencapai target tertentu. Guru bertindak sebagai pengajar dan siswa sebagai pebelajar (yang melakukan proses belajar). Dengan adanya proses belajar tersebut menghasilkan output yang selanjutnya disebut hasil belajar, yang berarti perubahan perilaku secara positif serta kemampuan yang dimiliki siswa dari suatu interaksi tindak belajar dan mengajar yang berupa hasil belajar intelektual, strategi kognitif, sikap dan nilai, inovasi verbal, dan hasil belajar motorik. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Untuk mengefektifkan proses pembelajaran, diperlukan strategi dalam pelaksanaannya. Strategi pembelajaran menurut Lutan (2002: 47) adalah siasat untuk menggiatkan partisipasi siswa dalam melaksanakan tugas-tugas ajar. Selanjutnya menurut Gerlach dkk (dalam Uno, 2004: 2) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran merupakan cara-cara yang dipilih untuk menyampaikan metode pembelajaran dalam lingkungan pembelajaran tertentu. Selanjutnya Gropper menyatakan bahwa strategi pembelajaran merupakan pemilihan atas beberapa jenis latihan tertentu yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin
12
dicapai, di mana setiap langkah yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta didik dalam kegiatan belajarnya harus dapat dipraktekkan (dalam Uno, 2004: 2). Strategi pembelajaran menurut Dajamarah dan Zain (2010: 5) diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru dan siswa dalam perwujudan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Selanjutnya, menurut Uno (2010: 2) bahwa strategi pembelajaran adalah cara-cara yang akan dipilih dan digunakan
oleh
seorang
pengajar
(guru)
untuk
menyampaikan
materi
pembelajaran sehingga akan memudahkan siswa menerima dan memahami materi pembelajaran, yang pada akhirnya tujuan pembelajaran dapat dikuasainya di akhir kegiatan belajar. Merujuk pada pengertian strategi pembelajaran, Slameto (dalam Riyanto, 2010: 132) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran mencakup jawaban atas pertanyaan sebagai berikut: (1) Siapa melakukan apa dan menggunakan alat apa dalam proses pembelajaran. Kegiatan ini menyangkut peranan sumber, penggunaan
bahan,
dan
alat-alat
bantu
pembelajaran;
(2)
Bagaimana
melaksanakan tugas pembelajaran yang telah didefinisikan (hasil analisis) sehingga tugas tersebut dapat memberikan hasil yang optimal. Kegiatan ini menyangkut metode dan teknik pembelajaran; (3) Kapan dan di mana kegiatan pembelajaran dilaksanakan serta berapa lama kegiatan tersebut dilaksanakan. Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami bahwa strategi pembelajaran adalah suatu cara atau siasat yang dipilih oleh guru untuk menyampaikan metode pembelajaran dalam lingkungan pembelajaran tertentu guna mencapai tujuan pembelajaran.
13
b. Konsep Pembelajaran Modifikasi Persoalan yang sering ditemui dalam pembelajaran Penjasorkes ialah kurangnya minat dan aktivitas siswa sebagai akibat kebosanan yang ditimbulkan oleh adanya sebuah proses pembelajaran yang menekankan pada bentuk aktivitas cabang olahraga yang sebenarnya (standar baku). Hal ini terjadi akibat kurangnya kreatifitas seorang guru dalam meracang suatu pembelajaran yang efektif dan efisien serta menyenangkan. Semestinya membelajaran suatu cabang olahraga jangan hanya terpaku pada konteks yang sebenarnya (peraturan baku) melainkan juga perlu adanya suatu penyederhanaan atau rekayasa pembelajaran menjadi hal yang baru dengan mempertimbangkan karakteristik siswa, materi, dan lingkungan belajar. Tujuannya ialah agar siswa dapat menyesuaikan dengan baik terhadap tugas ajar yang diberikan oleh guru sehingga motivasi serta kegembiraan akan timbul pada diri siswa. Oleh karena itu, strategi modifikasi patut diterapkan dalam pembelajaran sebagai langkah alternatif menanggulangi permasalah seperti di atas. Pembelajaran modifikasi merupakan sebuah terobosan yang dianggap mampu mengatasi segala persoalan yang ditemui dalam proses pembelajaran, termasuk pembelajaran lompat tinggi pada mata pelajaran Penjasorkes, olahraga dan kesehatan (Penjasorkes), baik di tingkat SD, SMP, dan SMA, bahkan di Perguruan Tinggi sekalipun. Dengan pembelajaran modifikasi dipastikan dapat merangsang motivasi dan aktivitas belajar siswa yang lebih baik. Lutan (2002: 80) mengemukakan bahwa salah satu teknik untuk memotivasi siswa dalam belajar adalah dengan memodifikasi cabang olahraga,
14
misalnya tinggi jaringan diperendah, luas lapangan diperkecil, jumlah pemain dikurangi, bisa juga bola yang digunakan lebih besar ukurannya dan ringan, atau sebaliknya lebih kecil ukurannya. Melihat esensi dari modifikasi ini, kreativitas dan inovatif seorang guru dalam memodifikasi pembelajaran Penjasorkes sangat penting. Sehubungan dengan itu, Lutan (dalam Husdarta, 2009: 179) menyatakan, modifikasi dalam mata pelajaran Penjasorkes diperlukan, dengan tujuan agar: (a) siswa memperoleh kepuasan dalam mengikuti pelajaran, (b) meningkatkan kemungkinan keberhasilan dalam berpartisipasi, dan (c) siswa dapat melakukan pola gerak secara benar. Salah satu situs internet dituliskan, modifikasi adalah suatu perubahan dari suatu yang ada menjadi hal baru. Modifikasi merupakan salah satu alternatif dalam menyelesaikan permasalahan yang di hadapai guru dalam pembelajaran Penjasorkes. Modifikasi ini bisa dilakukan pada materi-materi permainan bola besar maupun olahraga bukan permainan (dalam Bachtiar, 2008). Selanjutnya, situs yang lain dikemukakan bahwa modifikasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh para guru agar proses pembelajaran dapat mencerminkan DAP (Developentally Appropriate Practice). Artinya bahwa tugas ajar yang disampaikan harus memerhatikan perubahan kemampuan atau kondisi anak, dan dapat
membantu
mendorong
ke
arah
perubahan
tersebut
(http://pojokpenjas.blogspot.com/2008/12/modifikasi-pembelajaranpendidikan.html). Pada
dasarnya,
esensi
modifikasi
adalah
menganalisis
sekaligus
mengembangkan materi pelajaran dengan cara meruntunkannya dalam bentuk
15
aktivitas belajar yang potensial sehingga dapat memperlancar siswa dalam belajarnya. Cara ini dimaksudkan untuk menuntun, mengarahkan, dan membelajarkan siswa yang tadinya tidak bisa menjadi bisa, yang tadinya kurang terampil menjadi lebih terampil. Cara-cara guru memodifikasi pembelajaran akan tercermin dari aktivitas pembelajarannya yang diberikan guru mulai awal hingga akhir pelajaran Berdasarkan deskripsi pembelajaran modifikasi di atas, dapat disimpulkan, modifikasi dalam pembelajaran Penjasorkes merupakan langkah efektif dalam upaya meningkatkan keterampilan gerak, motivasi, dan kegemaran siswa. Memodifikasi
pembelajaran
dapat
dilakukan
dengan
merekayasa
atau
menyederhanakan sarana dan prasarana belajar termasuk peraturannya menjadi sesuatu yang baru dengan tujuan untuk meningkatkan aktivitas gerak siswa. Ketentuan yang harus dipertimbangkan dalam memodifikasi pembelajaran adalah seorang guru harus mempertimbangkan kakrakteristik dan kemampuan siswa, materi, serta lingkungan belajar. Berdasarkan pengertian strategi pembelajaran dan konsep pembelajaran modifikasi, maka strategi pembelajaran modifikasi adalah suatu cara atau siasat seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran melalui pendekatan modifikasi dengan tujuan untuk mencapai tujuan pembelajaran. 4.
Pembelajaran Lompat Tinggi dengan Modifikasi Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, modifikasi pembelajaran
merupakan rekayasa pembelajaran menjadi pembelajaran yang sifatnya sederhana. Tujuannya ialah untuk memudahkan siswa dalam melakukan proses belajar.
16
Dalam suasana bermain atletik lompat tinggi, gerak lompat itu sendiri bukan menjadi masalah teknis yang pokok tujuan utamanya adalah untuk membuat pengalaman yang banyak menekankan keterampilan gerak dominan, sebab pada gerak dominan itu menjadi prasyarat bagi pengembangan pembelajaran lompat (Saputra, 2002: 71-72). Dengan demikian, agar memudahkan siswa dalam belajar lompat tinggi, dilakukan modifikasi alat. Saputra (2002: 5) mengatakan bahwa pelaksaanan pembelajaran atletik dapat memanfaatkan alat-alat yang sederhana. Oleh karena itu, alat yang dimodifikasi dalam pembelajaran lompat tinggi ini ialah berupa tempat pendaratan seperti kasur atau bolsak; palang (rintangan yang dilompati) seperti tali rapia, karet yang terbuat dari ban dalam sepeda, dos (kardus), atau bahan sejenisnya yang tidak membahayakan siswa; dan ukuran ketinggian rintangan. Proses belajar lompat tinggi melalui beberapa modifikasi di atas dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut: (a) siswa dilatih dengan melompati kardus yang telah dipajang, (b) selanjutnya, siswa dilatih melompat tinggi menggunakan tali elastis, (c) ketinggian lompatan diawali dengan ukuran yang masih rendah kemudian dinaikkan secara bertahap. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan siswa mempelajari gerak dasar lompat tinggi. Selain itu, memberikan keberanian siswa untuk melakukan aktivitas melompat. Termasuk juga mencegah terjadinya kejenuhan dalam beraktivitas, dan menghilangkan prasangka bahwa belajar lompat tinggi tidak menarik.
17
B. Hipotesis Tindakan Hipotesis tindakan dalam penelitian ini ialah: “Jika strategi pembelajaran modifikasi diterapkan dalam pembelajaran, maka kemampuan gerak dasar lompat tinggi siswa kelas V SDN 2 Lawonu Kecamatan Tilango, akan meningkat”. C. Indikator Kinerja Indikator keberhasilan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah: “Jika kemampuan siswa (20 orang) terhadap gerak dasar lompat lompat tinggi telah meningkat dari 9 orang atau sebesar 45% menjadi 16 orang atau sebesar 80%, maka penelitian tindakan kelas ini dinyatakan selesai”.