BAB II KAJIAN PUSTAKA,KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka 1. Landasan Teori a. Teori Legitimasi (Legitimacy Theory) Legitimasi dapat dianggap sebagai menyamakan persepsi atau asumsi bahwa tindakan yang dilakukan oleh suatu entitas adalah merupakan tindakan yang diinginkan, pantas ataupun sesuai dengan sistem norma, nilai, kepercayaan dan definisi yang dikembangkan secara sosial (Suchman, 1995 dalam Kirana, 2009).Legitimasi dianggap penting bagi perusahaan dikarenakan legitimasi masyarakat kepada perusahaan menjadi faktor yang strategis bagi perkembangan perusahaan ke depan. O’Donovan (2009) berpendapat legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Dengan demikian legitimasi memiliki manfaat untuk mendukung keberlangsungan hidup suatu perusaha.Legitimasi merupakan sistem pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada keberpihakan terhadap masyarakat (society), pemerintah individu dan kelompok masyarakat, Operasi perusahaan harus sesuai dengan harapan dari masyarakat.
Fitriyani (2012) menyatakan legitimasi
dapat diperoleh manakala terdapat kesesuaian antara keberadaan perusahaan tidak mengganggu atau sesuai (congruent) dengan eksistensi 11
12
sistem nilai yang ada dalam masyarakat dan lingkungan. Ketika terjadi pergeseran yang menuju ketidaksesuaian, maka pada saat itu legitimasi perusahaan dapat terancam Dasar pemikiran teori ini adalah organisasi atau perusahaan akan terus berlanjut keberadaannya jika masyarakat menyadari bahwa organisasi beroperasi untuk sistem nilai yang sepadan dengan sistem nilai masyarakat itu sendiri. Teori legitimasi menganjurkan perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat. Perusahaan menggunakan laporan tahunan mereka untuk menggambarkan kesan tanggung jawab lingkungan,sehingga mereka diterima oleh masyarakat b. Teori sinyal (Signalling Theory) Teori sinyal digunakan secara luas untuk menempatkan masalah asimetri informasi dipasar (Moris, dalam Subramaniam, 2009). Teori sinyal
mengemukakan
tentang
bagaimana
seharusnya
perusahaan
memberikan sinyal-sinyal pada pengguna laporan keuangan. Teori ini menekankan kepada pentingnya informasi dikeluarkan oleh perusahaan terhadap keputusan investasi pihak di luar perusahaan. Informasi merupakan catatan penting suatu perusahaan baik di masa lalu, saat ini maupun di masa yang akan datang. Teori sinyal menunjukkan adanya asimetris informasi anatara
13
manajemen perusahaan dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan informasi tersebut dan mengemukakan tentang bagaimana perusahaan memberikan sinyal sinyal kepada pengguna laporan keuangan 2. Landasan Umum tentang perpajakan a. Pengertian pajak Pajak
memiliki
berbagai
definisi,
yang
pada
hakikatnya
mempunyai pengertian yang sama. Berdasar Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 pasal 1 dimana: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Beberapa pengertian pajak yang dikemukakan para ahli adalah sebagai berikut: Definisi Pajak menurut Nigthtingale dalam Wirawan dan Rudi (2009:1), adalah sebagai berikut: A Compulsory contribution, imposed by Government, and while tax payers many receive nothing indentifiable in return for their contribution, they nevertheless have the benefit of living in a relative by educated, healthy and save society. Dari definisi diatas, pajak sebagai iuran wajib yang ditetapkan pemerintah dan wajib tidak
memperoleh kontra prestasi langsung, akan tetapi memperoleh
manfaat kehidupan yang relative aman, sejahtera dan berpendidikan.
14
Definisi Pajak menurut Andriani dalam Wirawan dan Rudi (2009:2), menyatakan: Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintah. Definisi Pajak menurut Rochmat Soemitro dalam Wirawan dan Rudi (2009:2), menyatakan: Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membayar pengeluaran-pengeluaran umum. Menurut Wirawan dan Rudi (2009:3), dari 3 (tiga) pengertian pajak yang disebutkan di atas, dapat ditarik kesimpulan, terdapat 5 (lima) unsur dalam pengertian pajak: 1. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang. 2. Sifatnya dapat dipaksakan. 3. Tidak ada kontra prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak. 4. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 5. Pajak
digunakan
untuk
membiayai
pemerintah, baik pembangunan maupun rutin.
pengeluaran-pengeluaran
15
B. Kepatuhan Wajib Pajak Setiap Wajib Pajak harus aktif memenuhi kewajiban perpajakannya mulai dari mendaftarkan diri, mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan jujur, baik dan benar. Walaupun sudah tersedia ancaman hukuman administratif maupun ancaman hukum pidana bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya, akan tetapi kenyataannya masih banyak Wajib Pajak yang tidak atau belum sepenuhnya memenuhi kewajibannya. Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. a.Jenis-jenis kepatuhan Menurut Wirawan B. Ilyas dan Rudi Suhartono (2009:120), jenis-jenis kepatuhan
dibedakan benjadi dua, yaitu:
a) Kepatuhan Formal, yaitu suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan. Misalnya ketentuan tentang batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan). b) Kepatuhan Material, yaitu suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif atau hakekat
memenuhi
semua ketentuan material
perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal. b. Syarat-syarat Menjadi Wajib Pajak Patuh Berdasarkan Undang-Undang No. 6 tahu 1983 yang telah diubah terakhir Undang- Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata
16
Cara Perpajakan disebutkan bahwa “Batas waktu penyampaian SPT Tahunan Wajib Pajak Badan adalah paling lambat 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak”. Menurut Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP550/PJ/2000 adalah Wajib Pajak yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai Wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud Nomor 544/KMK.04/2000 tentang kriteria Wajib Pajak yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Kriteria menurut Direktorat Jenderal Pajak tersebut adalah sebagai berikut : a) Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 2 (dua) tahun terakhir. b) Dalam tahun terakhir penyampaian SPT Masa yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut. c) SPT Masa yang terlambat itu disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa pajak berikutnya. d) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak kecuali telah memperoleh izin pajak kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak dan tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan STPnya diterbitkan untuk 2 (dua) masa pajak terakhir.
17
e) Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir. f) Dalam hal laporan keuangan di audit oleh akuntan publik atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan harus dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau dengan pendapat wajar dengan pengecualian sepanjang pengecualian tersebut tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. Laporan audit harus : 1. Disusun dalam bentuk panjang (long form report) 2. Menyajikan rekonsiliasi laba rugi kommersial dan fiskal. g) Kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. h) Tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan STP yang diterbitkan untuk 2 (dua) masa pajak terakhir. i) Dalam hal laporan keuangan Wajib Pajak tidak diaudit oleh akuntan publik, maka wajib pajak harus mengajukan permohonan tertulis paling lambat 3 bulan sebelum tahun buku berakhir, untuk dapat ditetapkan sebagai WP Patuh sepanjang memenuhi syarat pada huruf a sampai huruf e, ditambah syarat : 1. Dalam 2 (dua) tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan dimaksud dalam pasal 28 UU KUP dan 2. Apabila dalam 2 (dua) tahun terakhir terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan pajak, maka koreksi fiskal untuk setiap jenis pajak yang terutang tidak lebih dari 10%.
18
Dirjen Pajak menetapkan Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan sebagai Wajib Pajak Patuh setiap bulan Januari. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Dirjen Pajak berwenang secara jabatan (ex-officio) menetapkan status Wajib Pajak Patuh tanda permohonan Wajib Pajak sepanjang Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut memenuhi persyaratan huruf a sampai dengan e di atas. Penetapan WP Patuh berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun. 3. Kewajiban Wajib Pajak Patuh Menurut Peraturan Perpajakan, apabila seseorang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak (WP) atau Pengusaha Kena Pajak (PKP) berarti orang tersebut sudah termasuk warga negara yang baik dan bila telah melakukan pembayaran pajak dengan tertib maka termasuk salah seorang warga Negara yang sadar akan pajak, sebab uang pajak tersebut digunakan untuk pembangunan
dan
pembangunan
tersebut
akan
meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Kewajiban yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak setelah terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak dan memiliki NPWP adalah melakukan pembayaran dan melaporkan pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya. Selain itu Wajib Pajak juga memiliki kewajiban untuk memungut atau memotong dan menyetorkan pajak atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada pihak lainnya. Selain Pajak Penghasilan, bagi pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak juga memiliki kewajiban dibidang PPN dan PPnBM.
19
Berkenaan dengan telah diperolehnya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PPKP) tersebut perlu diketahui ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk dilaksanakan oleh Wajib Pajak, yaitu kewajiban sehubungan dengan Pajak Penghasilan (PPh), Wirawan & Rudi (2009): Pembayaran Masa 1) Pajak Penghasilan Pasal 25 Setiap Bulan Wajib Pajak harus melakukan angsuran bulanan yang maksudnya agar pada akhir tahun pajak beban pajak tidak terlalu berat. Angsuran bulanan harus dibayar selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya. 2) Pajak Penghasilan Pasal 21 (Pajak Penghasilan Karyawan) Jika perusahaan Wajib Pajak membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau sebagai imbalan atas jasa kepada karyawan, maka Wajib Pajak berkewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan itu sebelum dibayarkan kepada yang bersangkutan. Pajak yang telah dipotong oleh Wajib Pajak tersebut harus disetor ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
20
Catatan : Apabila tanggal dimaksud jatuh pada hari libur, maka pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
Keterlambatan
pembayaran akan dikenakan denda sebesar 2% (dua persen) sebulan dan bagian dari bulan (meskipun hanya 1 hari) dihitung 1 (satu) bulan penuh. 3) Pelaporan Apabila Wajib Pajak sudah membayar angsuran Pajak Penghasilan, maka Wajib Pajak harus melaporkan pembayaran itu ke Kantor Pelayanan Pajak yaitu sebagai berikut : a) Pajak Penghasilan Pasal 25 selamba-lambatnya tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya. b) Pajak Penghasilan Pasal 21 selambat-lambatnya tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya. Catatan : Apabila batas waktu pelaporan sebagaimana tersebut di atas jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Keterlambatan melapor akan dikenakan sanksi berupa denda administrasi sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah). a. Surat
Pemberitahuan
(SPT)
Tahunan
Pajak
Penghasilan
(Badan/Orang Pribadi/Pasal 21) Setelah tahun pajak berakhir, Wajib Pajak harus mengambil SPT (Surat Pemberitahuan) Tahun Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh)
21
ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Surat Pemberitahuan Tahunan harus diisi dengan benar, lengkap, jelas, ditandatangani, dan disampaikan kembali ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat tanggal 31 Maret setelah akhir tahun takwim. Dalam hal ini tahun buku tidak sama dengan tahun
takwim.
Surat
Pemberitahuan
Tahunan
paling
lambat
disampaikan 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir. Apabila terjadi keterlambatan pelaporan
Surat
Pemberitahuan
Tahunan
Pajak
Penghasilan, maka Wajib Pajak akan dikenakan sanksi Administrasi berupa denda sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah). Untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik, Wajib Pajak sebaiknya melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan sebelum tanggal jatuh temponya. 4 . Pencabutan Wajib pajak Patuh Surat Penetapan Wajib pajak Patuh dicabut oleh Kepala Kantor Wilayah setelah mempertimbangkan usulan Kepala Kantor Pelayanan Pajak, dalam hal memenuhi kriteria pembatalan antara lain : 1. Terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan. 2. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk semua jenis pajak. 3. Dalam hal Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa tidak lebih dari 3 (tiga) masa pajak, terdapat penyampaian SPT Masa
22
yang lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya. 4. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa untuk 2 (dua) masa pajak aau lebih berturut-turut untuk semua jenis pajak, atau 5. Dalam suatu masa pajak, ternyata tidak memenuhi kriteria tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sejak masa pajak yang bersangkutan. C. Pemeriksaan Pajak a. Pengertian Pemeriksaan Pajak Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.Secara
filosofis pemeriksaan pajak hanya dilakukan dalam kondisi tertentu, misalnya
Wajib
Pajak
mengajukan
permohonan
restitusi,
Surat
Pemberitahuan Tahunan menyatakan rugi tetapi tidak lebih bayar, dan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak (dilaksanakan secara sampling) atau untuk memperoleh data yang diperlukan Direktur Jenderal Pajak. Waktu dilakukan pemeriksaan pajak, baik Wajib Pajak maupun pemeriksa pajak diwajibkan memenuhi aturan perilaku tertentu agar tujuan pemeriksaan dapat dicapai. Kepada pemeriksa pajak, dilengkapi dengan Surat Perintah
23
Pemeriksaan Pajak (SPPP) serta tanda Pengenal yang wajib diperlihatkan kepada Wajib Pajak. b.Tujuan Pemeriksaan Pajak Tujuan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dalam tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tentang tujuan Pemeriksaan adalah untuk: 1. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan,hal ini dapat di lakukan dalam hal Wajib Pajak. 2. Menyampaikan surat pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar
,termasuk
yang
telah
di
berikan
pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak 3. Menyampaikan surat pemberitahuan yang menyatakan rugi 4. Tidak menyampaikan atau menyampaikan surat pemberitahuan tetapi melampaui jangka waktu yang telah di tetapkan dalam surat teguran 5. Melakukanpenggabungan,peleburan,pemekaran,likuidasi,pemb ubaran,atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya 6. Menyampaikan surat ppemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil analisis resiko (Risk based Selection) mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan Wajib Pajak
24
yang tidak di penuhi sesuai ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
c.Jenis Pemeriksaan Pemeriksaan yang di lakukan oleh pegawai Direktorat Pajak, baik yang bertujuan menguji kepatuhan WP maupun Tujuan Lain adalah :
1. Pemeriksaan Rutin, yaitu pemeriksaan yang bersifat rutin dilakukan terhadap Wajib Pajak (WP) sehubungan dengan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan. 2. Pemeriksaan Kriteria Seleksi, yaitu pemeriksaan yang dilakukan terhadap WP yang terpilih berdasarkan skor resiko ketidakpatuhan secara komputerisasi dengan memperhatikan variabel-variabel tertentu.. 3. Pemeriksaan Khusus, a) pemeriksaan yang dilakukan terhadap WP sehubungan dengan adanya inforrnasi, data, laporan atau pengaduan. b) Pemeriksaan berdasarkan hasil analisa resiko yang menunjukkan ketidakpatuhan wajib pajak sehingga merugikan penerimaan pajak. 4. Pemeriksaan WP Lokasi, yaitu pemeriksaan yang dilakukan atas cabang perwakilan, pabrik dan atau tempat usaha dari WP Domisili 5. Pemeriksaan Tahun Berjalan, yaitu pemeriksaan terhadap WP yang dilakukan dalam tahun berjalan untuk jenis-jenis pajak
25
tertentu atau seluruh jenis pajak dan atau untuk mengumpulkan data dan atau keterangan untuk tujuan tertentu 6. Pemeriksaan Bukti Permulaan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah tejadi tindak pidana dibidang perpajakan 7. Pemeriksaan Terintegrasi, yaitu pemeriksaan terkoordinasi dari dua atau lebih unit pemeriksaan terhadap beberapa WP yang memiliki hubungan kepemilikan, penguasaan, pengelolaan, usaha dan atau financial 8. Pemeriksaan untuk Tujuan Penagihan Pajak (Delinquency Audit), yaitu pemeriksaan yang dilaksanakan untuk mendapatkan data mengenai harta WP/Penanggung Pajak yang merupakan bbjek sita sehubungan dengan tunggakan pajak sesuai dengan Undang-undang Penagihan dengan Surat Paksa.
d.Jangka Waktu Pemeriksaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dalam jangka waktu Pemeriksaan yang meliputi: 1. jangka waktu pengujian; dan jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan. 2. Dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lama 6 (enam) bulan, yang dihitung sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan
26
disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. 3. Dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lama 4 (empat) bulan, yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. 4. Jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling lama 2 (dua) bulan, yang dihitung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota yang telah dewasa dari Wajib Pajak sampai dengan tanggal LHP.
27
e . Hak-hak Wajib pajak dalam Pemeriksaan Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Wajib Pajak berhak: 1. Meminta kepada PemeriksaPajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2 2. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan 3. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan 4. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan 5. Menerima SPHP 6. Menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan 7. Mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan, dalam hal masih terdapat hasil Pemeriksaan yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan
28
8. Memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melalui pengisian Kuesioner Pemeriksaan
f. Hasil Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
harus diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui
penyampaian
SPHP
yang
dilampiri
dengan
daftar
temuan
hasil Pemeriksaan.
1. SPHP dan daftar temuan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pemeriksa Pajak secara langsung atau melalui faksimili. 2. Dalam hal SPHP disampaikan secara langsung dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak untuk menerima SPHP, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat penolakan menerima SPHP. 3. Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat penolakan menerima SPHP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemeriksa Pajak membuat berita acara penolakan menerima SPHP yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak.
29
D. Penerimaan Pajak Penghasilan Badan Perhitungan PPh Badan adalah perhitungan PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan di luar penghasilan tertentu yang telah dikenakan PPh final. Laporan keuangan merupakan dasar bagi wajib pajak untuk menghitung PPh yang terutang, sekaligus sebagai dasar untuk mengisi SPT Tahunan PPh Badan tahun yang bersangkutan. a.Perhitungan PPh Terutang WP Badan Sesuai ketentuan Pasal 16 UU PPh, untuk enghitung PPh yang terutang untuk Wajib Pajak Badan adalah : 1. Tarif Pasal 17 x Penghasilan Kena Pajak 2. Penghasilan Kena Pajak dihitung : Penghasilan
neto
dikurangi
kompensasi
kerugian
tahun
sebelumnya (apabila tahun-tahun sebelumnya wajib pajak yang bersangkutan mengalami kerugian). 3. Penghasilan neto dihitung : Keseluruhan penghasilan (diluar penghasilan tertentu yang dikenakan PPh final) dikurangi dengan biaya yang diperkenankan oleh UU PPh (biaya fiskal) sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) UU PPh (diluar biaya yang terkait dengan penghasilan terntentu yang dikenakan PPh final).
30
b.Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan Sesuai dengan Pasal 17 UU PPh, tarif umum untuk menghitung PPh yang terutang dibedakan antara Wajib Pajak Orang Pribadi dengan Wajib Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Tarif PPh Badan sesuai Pasal 17 UU PPh sebagai berikut: Berlaku mulai tahun 2009: 1. Tarif tunggal sebesar 28% tahun 2009, dan sebesar 25% tahun 2010. 2. Khusus WP perusahaan terbuka (go public) Ayat 2b disebutkan penurunan tariff sebesar 5% lebih rendah apabila minimal 40% saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam PP 81 Tahun 2007 jo Permenkeu No. 238/PMK.03/2008 3. Khusus WP Badan dengan peredaran bruto Diberikan pengurangan tarif sebesar 50% hanya atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto s.d Rp. 4,8 milyar. Sehingga yang mendapat fasilitas hanya WP Badan yang peredaran brutonya setahun s.d Rp. 50 milyar, dan fasilitas pengurangan tariff sebesar 50% diberikan jumah terbatas yaitu hanya atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto Rp. 4,8 milyar. c.Pembayaran PPh Badan Sesuai dengan perhitungan PPh yang terutang baru diketahui pada akhir tahun pajak, maka seharusnya pembayaran PPh tersebut baru dilakukan
31
pada akhir tahun. Namun ternyata menurut UU PPh pembayaran PPh atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak badan tidak harus menunggu pada akhir tahun pajak, tetapi dapat juga dilakukan pembayaran pada tahun berjalan, Wirawan & Rudi (2009:129). 1. Pada saat penerimaan penghasilan Cara pembayaran ini sesuai dengan asas “pay as you earn” yaitu bayarlah pajak pada saat anda menerima penghasilan sehingga pembayaran tersebut tidak terasa. Jumlah PPh yang dipotong ini merupakan pembayaran dimuka (kredit
pajak)
dan dapat
diperhitungkan dengan PPh yang terutang pada akhir tahun. Adapun jenis pembayaran yang dipotong pihak lain adalah PPh Ps 22, PPh Ps 23, dan PPh Ps 24. 2. Pembayaran angsuran secara bulanan atau PPh Pasal 25 Jumlah PPh Ps 25 merupakan pembayaran dimuka (kredit pajak) dan dapat diperhitungkan dengan PPh yang terutang pada tahun yang bersangkutan. Besarnya PPh Ps 25 dihitung berdasarkan perhitungan PPh tahun pajak sebelumnya, dengan pertimbangan bahwa penghasilan tahun sekarang relative hampir sama dengan tahun pajak sebelumnya, kecuali dalam keadaan tertentu. 3. Pembayaran kekurangan PPh akhir tahun (PPh Ps 29) Pada akhir tahun pajak, WP menghitung PPh yang terutang atas pengasilan yang diterima selama 1 tahun. PPh yang terutang
32
tersebut dikurangi dengan PPh yang telah di potong pihak lain (PPh Ps 22, PPh Ps 23, PPh Ps 24) dan PPh Ps 25. Apabila terjadi kekurangan pembayaran PPh yang terutang disebut PPh Ps 29, dan paling lambat dibayar tangga 25 bulan ketiga setelah akhir tahun pajak. Mulai tahun 2008 disetor paling lambat sebelum batas waktu SPT Tahunan disampaikan. Namun apabilan terjadi kelebihan pembayaran PPh yang terutang maka WP berhak mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) atau meminta kelebihan pembayaran pajak tersebut untuk pembayaran jenis pajak yang lainnya. d. Sanksi dan Denda Keterlambatan Melapor dan Membayar Pajak Penghasilan Pasal 29 Wajib Pajak yang lalai berupa lambat atau bahkan tidak menyampaikan
Surat
Pemberitahuan
(SPT)
baik
Surat
Pemberitahuan masa maupun Surat Pemberitahuan Tahunan akan dikenakan sanksi baik itu sanksi administratif berupa denda maupun sanksi pidana. Bagi Wajib Pajak yang terambat menyampaikan atau membayar Surat Pemberitahuan Masa dikenakan sanksi administratif Rp.50.000,00 dan untuk Surat Pemberitahuan
Tahunan
sebesar
Rp.100.000,00.Kekurangan
pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan harus dibayar lunas paling lambat tanggal 25 bulan ketiga setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum
33
Surat Pemberitahuan itu disampaikan. Keterlambatan membayar atau menyetor pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan Direktorat Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran paling lama 12 bulan. Dalam hal ini Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak, juga dikenakan bunga sebesar 2% per bulan dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.Selain sanksi administratif, sanksi pidana juga dapat dikenakan sesuai dengan Undang-Undang No. 28 tahun 2007 yang merupakan pembaharuan dari Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 pasal 38 Ketentuan Umum Perpajakan yaitu untuk mereka yang.Tidak menyampaikan
Surat
Pemberitahuan,
menyampaikan
Surat
Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar karena kealpaan Wajib Pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang bayar.Untuk tindakan yang sama, namun karena sengaja (bukan alpa) maka sanksi pidana dikenakan berupa penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda
34
setinggi-tingginya 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar (pasal 39 UU KUP). E. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk melihat hubungan antara tingkat kepatuhan penyampaian SPT Wajib Pajak Badan dan penagihan pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan badan. Dalam melakukan penelirian ini, peneliti juga berpedoman dari penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya. Zakiyah M Syahab dan Hantoro Arief Gisijanto (2009) melakukan penelitian yang membahas tentang pengaruh penagihan pajak dan surat paksa pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan badan. Variabel independennya adalah penagihan pajak, surat paksa pajak, dan variabel dependennya adalah penerimaan pajak penghasilan badan. Hasil penelitian menunjukan penagihan pajak disetiap KPP Pratama Kanwil DJP Jakarta Pusat secara umum sudah dilakukan sesuai dengan prosedur dan tata cara tindakan penagihan, surat paksa pajak juga secara umum masih rendah. Dalam kurun waktu selama lima tahun yaitu tahun 2003 sampai dengan 2007, jumlah penerimaan pajak penghasilan badan di KPP Pratama Kanwil DJP Jakarta Pusat terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Penagihan pajak dan surat paksa pajak baik secara parsial maupun secara simultan berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan pajak penghasilan badan.
35
Asri Fika Agusti dan Vinola Herawati (2009) melakukan penelitian yang membahas tentang Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan Terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Yang Dimoderasi Oleh Pemeriksaan Pajak Pada KPP Pratama. Variabel independennya adalah Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan , Pemeriksaan Pajak, dan Variabel dependennya adalah Peningkatan Penerimaan Pajak Pada KPP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara individual variabel Tingkat Kepatuhan
Wajib Pajak Badan
mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Pada KPP, sedangkan Pemeriksaan Pajak tidak berpengaruh terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak
Pada KPP. Secara simultan Tingkat
Kepatuhan Wajib Pajak Badan dan Pemeriksaan Pajak tidak mempunyai pengaruh terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Pada KPP. Euprasia Susy Suhendra (2010) dalam penelitiannya yang membahas mengenai pengaruh tingkat kepatuhan wajib pajak badan terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan badan. Variabel independennya adalah Tingkat Kepatuhan Wajib Badan, Pemeriksaan Pajak, Pajak penghasilan terutang, dan variabel dependennya adalah peningkatan penerimaan pajak penghasilan badan. Hasil penelitian menunjukan tingkat kepatuhan wajib pajak yang diukur dari jumlah Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang disampaikan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan badan pada KPP. Pemeriksaan pajak yang diukur dari jumlah SPT yang diperiksa tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan badan pada KPP. Pajak penghasilan terutang yang diukur dari
36
jumlah PPH Terutang yang dibayarkan wajib pajak berpengaruhsignifikan terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan badan pada KPP. Maria M. Ratna Sari dan Ni Nyoman Afriyanti (2010) melakukan penelitian mengenai pengaruh kepatuhan wajib pajak dan pemeriksaan pajak terhadap penerimaan PPh Pasal 25/29 wajib pajak badan pada KPP Pratama Denpasar Timur. Variabel independennya adalah kepatuhan wajib pajak, pemeriksaan pajak, dan variabel dependennya adalah penerimaan PPh pasal 25/29 wajib pajak badan. Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa kepatuhan wajib pajak dan pemeriksaan pajak secara simultan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PPh pasal 25/29 wajib pajak badan, dan kepatuhan wajib pajak dan pemeriksaan pajak secara parsial berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PPh pasal 25/29 wajib pajak badan. Deni Astuti anwar (2013) melakukan penelitian mengenai tingkat kepatuhan wajib pajak badan dan penagihan pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan bdan pada KPP madya tangerang.Variable Independenya adalah kepatuhan wajib pajak,penagihan wajib pajak dan variable Dependen nya adalah penerimaan pajak penghasilan badan.Hasil penelitian ini bahwa.Secara parsial tingkat kepatuhan wajib pajak badan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak penghasilan badan dan Secara parsial penagihan pajak tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak penghasilan badan,dan Secara simultan tingkat kepatuhan wajib pajak badan dan penagihan pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak penghasilan badan.
37
Adapun penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini dapat dilihat ditabel berikut ini: Tabel 2.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu No
Peneliti
Judul
1
Zakiah M Syahab dan Hantoro Arief Gisijanto,( 2009)
Pengaruh Penagihan Pajak dan Surat Paksa Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Badan(KPP Pratama Kanwil DJP Jakarta Pusat)
Variable X1 : Penagihan Pajak X2 : Surat Paksa Pajak Y: Penerimaan Pajak Penghasilan Badan
2
Asri Fika Agusti dan Vinola Herawati, (2009)
Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan Terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Yang Dimoderasi Oleh Pemeriksaan Pajak Pada KPP Pratama
Euprasia Susy Suhendra
a.Penagihan Pajak dan Surat Paksa secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Badan b. Penagihan Pajak dan Surat Paksa secara Simultan berpengaruh signifikan terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan badan.
X1: Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan
a. Tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan berpengaruh positif terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak pada KPP
X2 : Pemeriksaan Pajak
b. Pemeriksaan Pajak tidak berpengaruh terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Pada KPP
Y: Peningkatan Penerimaan Pajak Pada KPP
3
Hasil
Pengaruh Tingkat Kepatuhan X1 : Tingkat Wajib Pajak Badan Terhadap Kepatuhan Peningkatan Penerimaan Wajib Pajak
c. Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan dan Pemeriksaan Pajak tidak berpengaruh terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak pada KPP a. Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan
38
(2010)
Pajak Penghasilan Badan
Badan X2 : Pemeriksaan Pajak X3 : Pajak Penghasilan Terutang Y: Peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Badan
4
Maria M. Ratna Sari dan Ni Nyoman Afriyanti, (2010)
Pengaruh Kepatuhan Wajib Pajak dan Pemeriksaan Pajak Terhadap Penerimaan PPh Pasal 25/29 Wajib Pajak Badan Pada KPP Pratama Denpasar Timur
X1 : Kepatuhan Wajib Pajak Badan X2 : Pemeriksaan Pajak
Badan b. Pemeriksaan Pajak tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Badan c. PPh Terutang berpengaruh signifikan terhadap peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Badan d. Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan, Pemeriksaan Pajak dan Pajak Penghasilan Terutang secara simultan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Badan. Kepatuhan wajib pajak dan pemeriksaan pajak baik secara simultan maupun parsial berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PPh Pasal 25/29 Wajib Pajak Badan
Y: Penerimaan PPh Ps.25/29 WP Badan
5
Dhenny Astuti Anwar, (2013)
Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan dan Penagihan Pajak Terhadap Penerimanaan Pajak Penghasilan Badan Pada KPP Madya Tangerang
X1 : Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan X2 : Penagihan Pajak Y:
a. Secara parsial tingkat kepatuhan wajib pajak badan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak penghasilan badan b. Secara parsial penagihan pajak tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak penghasilan
39
Penerimaan Pajak Penghasilan Badan
badan c. Secara simultan tingkat kepatuhan wajib pajak badan dan penagihan pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak penghasilan.
F. Rerangka Pemikiran dan pengembangan Hipotesis.
Gambar 2.1 Rerangka Pemikiran Variable Independent Kepatuhan Wajib Pajak Ha1
Variable Dependent Penerimaan pajak Penghasilan
Ha2 Pemeriksaan Wajib Pajak
40
1. Pengaruh Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan
Menurut Undang-Undang 16, Tahun 2000, batas waktu penyampaian SPT masa paling lambat dua puluh hari setelah akhir masa pajak, sedangkan batas waktu penyampaian SPT tahunan paling lambat tiga bulan setelah akhir tahun pajak. Undang-Undang Nomor 16, Tahun 2000 kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 28, Tahun 2007 dengan perubahan batas waktu penyampaian SPT tahunan paling lambat empat bulan setelah akhir tahun pajak khusus bagi wajib pajak badan. Pemahaman wajib pajak terhadap peraturan perpajakan yang berlaku sangatlah penting guna dapat melaksanakan dan memenuhi kewajibannya di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan perpajakan. Dalam Yosi (2010) ditunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan dan kuat antara kepatuhan wajib pajak orang pribadi dengan penerimaan pajak penghasilan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Barat.Dapat dirumuskan hipotesisnya: Ha1: Kepatuhan wajib pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak. 2. Pengaruh Pemeriksaan Pajak terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan
Menurut Oktivani (2009), pemeriksaan pajak berpengaruh pada penerimaan pajak. Hal ini berarti bahwa pemeriksaan pajak merupakan instrumen penting untuk menentukan tingkat kepatuhan wajib pajak, baik formal maupun material, yang memiliki tujuan untuk menguji dan meningkatkan penerimaan pajak.Dapat dirumuskan hipotesisnya. Ha2:Pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak