BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak Bumi dan Bangunan dikenakan atas bumi dan bangunan. Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 1, yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi (tanah), perairan (perairan pedalaman maupun laut di wilayah Republik Indonesia dan tubuh bumi yang terletak di bawahnya/bagian bumi yang terletak di bawah permukaan bumi maupun di bawah dasar laut) yang dapat diusahakan. Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan perairan yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau tempat usaha. Adapun definisi Pajak Bumi dan Bangunan menurut Munawir (1997:286) adalah pajak tidak langsung yang dipungut oleh pemerintah pusat, namun hasil penerimaannya diarahkan kepada tujuan untuk kepentingan masyarakat di daerah yang bersangkutan dengan letak objek pajak tersebut sehingga sebagian besar hasil penerimaan tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Definisi Pajak Bumi dan Bangunan menurut Mardiasmo (2008:320) adalah iuran yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada pemerintah daerah dan sisanya untuk pemerintah pusat yang akan digunakan untuk pelaksanaan pembangunan daerah. Berdasarkan definisi di atas, maka Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak atas bumi dan bangunan yang pelaksanaannya dilakukan oleh aparat atau petugas pungut pajak yang telah ditunjuk oleh pemerintah pusat, dimana 9
pelaksanaannya dilakukan secara periodik dalam arti bahwa pungutan tersebut dilakukan setiap satu tahun sekali terhadap wajib pajak yang memiliki atau menikmati bumi dan bangunan. 2.1.2 Subjek dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Yang menjadi subjek Pajak Bumi dan Bangunan (Rachmat Soemitro dan Zainal Musttaqin, 2001:17) adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan bangunan. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan belum tentu merupakan wajib pajak, subjek pajak baru merupakan wajib pajak jika mempunyai objek Pajak Bumi dan Bangunan yang dikenakan pajak. Mempunyai objek pajak yang dikenakan pajak, hal ini berarti mempunyai hak atas objek yang dikenakan pajak, memiliki, menguasai atau memperoleh manfaat dari objek kena pajak. Orang atau badan yang mempunyai hak, memiliki, menguasai atau mendapat manfaat dari bangunan yang nilai jual kena pajaknya kurang dari Rp 8.000.000,- (berdasarkan ketentuan Undang-undang No.12 tahun 1994) tetap merupakan subjek pajak tetapi bukan merupakan wajib pajak. Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 yaitu Undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 3 Ayat 1 disebutkan bahwa orang/badan yang mempunyai hak, memiliki, menguasai atau memperoleh manfaat dari objek pajak yaitu tanah dan atau bangunan yang dibebankan dari Pajak Bumi dan Bangunan tidak dikenakan pajak sehingga bukan merupakan wajib pajak. Mardiasmo (2008:320) menjelaskan bahwa subjek pajak adalah
10
orang atau badan usaha yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan, sehingga subjek pajak tersebut menjadi wajib Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam hal subjek pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak objek pajak sedangkan perawatannya dikuasakan kepada orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai wajib pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak namun penunjukkan tersebut bukan merupakan bukti kepemilikan. Objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah benda yang tidak bergerak yaitu berupa bumi dan/atau bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia, sedangkan bangunan adalah suatu konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan (Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, 2008:175). Termasuk dalam pengertian bangunan adalah : 1) Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut 2) Jalan tol 3) Kolam renang 4) Pagar mewah 5) Tempat olahraga 6) Galangan kapal, dermaga
11
7) Taman mewah 8) Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak 9) Fasilitas lain yang memberikan manfaat Dalam menentukan klasifikasi bangunan juga perlu memperhatikan beberapa faktor (Erly Suandy, 2006:355), yaitu : 1) Bahan yang digunakan 2) Rekayasa 3) Letak 4) Kondisi lingkungan Kategori atau klasifikasi bumi (tanah) dan bangunan mempunyai kedudukan penting dalam Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan. Tanah dalam hal ini dapat dikategorikan ke dalam : 1) Tanah sawah 2) Tanah kebun 3) Tanah industri 4) Tanah perkotaan/perkantoran 5) Tanah peternakan 6) Tanah perkebunan 7) Tanah perikanan Selain kategori tersebut, juga harus diperhatikan faktor-faktor yang menentukan klasifikasi tanah, yaitu : 1) Letak tanah 2) Peruntukkan tanah
12
3) Manfaat tanah 4) Kondisi lingkungan Adapun objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (Erly Suandy, 2006:355) adalah : 1) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang nyata-nyata tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. 2) Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu. 3) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah yang pengembalaannya dikuasai oleh desa dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak. 4) Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsultan berdasarkan atas perlakuan timbal balik. 5) Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) untuk setiap daerah kabupaten/kota, ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan pertimbangan pendapatan pemerintah daerah setempat. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 201/KMK.04/2000 tentang penyesuaian besarnya NJOPTKP sebagai dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan yang telah diatur, yaitu sebagai berikut:
13
1) Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) 2) Setiap wajib pajak diberikan NJOPTKP 3) Besarnya NJOPTKP untuk setiap daerah kabupaten atau kota ditetapkan oleh kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapatan pemerintah daerah 4) Sesuai Keputusan Menteri Keuangan mulai Tahun 2001 bahwa besarnya NJOPTKP ditetapkan secara nasional setinggi-tingginya Rp 12.000.000,untuk setiap wajib pajak 2.1.3 Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sebelum menentukan Dasar Pengenaan Pajak dan menghitung besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Terhutang perlu dipahami terlebih dahulu pengertian NJOP. Pengertian NJOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undangundang Nomor 12 Tahun 1983 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru atau Nilai Jual Objek Pajak Pengganti (Waluyo, 2009:160). Besarnya NJOP tersebut digunakan sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan yang ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya. Mardiasmo (2008:321) menyatakan tarif sebagai besarnya persentase yang dikenakan atas Pajak Bumi dan Bangunan terhadap objek pajak tertentu.
14
Penetapan besarnya tarif mengalami beberapa perubahan peraturan seperti Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 1985, Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 1997, Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2000. Besarnya persentase Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) adalah : 1) Sebesar 40% dari NJOP a) Objek pajak perkebunan b) Objek pajak kehutanan c) Objek pajak lainnya, apabila NJOP sama atau lebih besar dari Rp 1.000.000.000,2) Sebesar 20% dari NJOP a) Objek pajak pertambangan b) Objek pajak lainnya, apabila NJOP kurang dari Rp 1.000.000.000,Jadi besarnya pajak terhutang dihitung sebagai berikut : NJKP = 20% x (NJOP - NJOPTKP) 3) Besarnya pajak terhutang = tarif pajak x NJKP = 0.5% x persentase NJKP (NJOP - NJOPTKP) 2.1.4 Tahun Pajak, Saat dan Tempat Yang Menentukan Pajak Terhutang Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 8 dinyatakan bahwa tahun pajak untuk Pajak Bumi dan Bangunan adalah sama dengan tahun takwim atau tahun kalender yaitu keadaan pada tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Jadi saat yang menentukan pajak terhutang adalah pada tanggal 1 Januari.
15
Tempat menentukan pajak terhutang adalah : 1) Untuk wilayah Jakarta, Pajak Bumi dan Bangunan yang terhutang yaitu di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2) Untuk daerah lain, di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II atau Kotamadya, Daerah Tingkat II sebagai tempat objek pajak berada. 2.1.5
Pendaftaran, Pendataan dan Penetapan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pendaftaran, pendataan dan penetapan pajak terhutang Pajak Bumi dan
Bangunan (Zain dan Hidayat, 2001:273) dalam rangka pendataan objek pajak maka subjek pajak yang memiliki atau mempunyai hak, menguasai atau memperoleh manfaat atas objek Pajak Bumi dan Bangunan, wajib mendaftarkan objek pajak dengan mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dan menyerahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak. SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap dan tepat waktu serta ditandatangani dan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak selambat-lambatnya 30 hari setelah SPOP diterima oleh objek pajak. Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam hal sebagai berikut : 1) Apabila SPOP tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dan telah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran. 2) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak. 16
2.1.6 Instansi yang Terlibat dalam Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Dalam pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan melibatkan tiga instansi yang terkait, yaitu : 1) Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB) KPPBB di wilayah kabupaten atau kotamadya bertugas melaksanakan pandataan objek pajak, menetapkan pajak terhutang, menerbitkan formulir-formulir yang digunakan dalam memungut Pajak Bumi dan Bangunan dan melimpahkan kepada tiap-tiap Pemerintah Daerah Tingkat II atau Kotamadya. 2) Pemerintah Tingkat II atau Kotamadya Melalui Dinas Pendapatan Daerah melaksanakan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan dan mendistribusikan formulir tersebut kepada masingmasing kecamatan di wilayah bersangkutan. 3) Tempat Pembayaran atau Bank Bank yang ditunjuk menerima pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan dari wajib pajak maupun petugas pungut, dimana hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dilimpahkan kembali kepada Kantor Pelayanan Pajak di wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Pemerintah Daerah Tingkat II melalui Dinas Pendapatan merupakan salah satu instansi yang diberikan wewenang untuk melaksanakan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan. 2.1.7 Pengertian Sistem Sistem adalah sesuatu yang memiliki bagian-bagian yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu melalui tiga tahapan yaitu input,
17
proses dan output (Nugroho Widjajanto, 2001:2). Bagian-bagian itu disebut subsistem atau disebut juga prosedur. Subsistem merupakan bagian-bagian yang saling berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Krismiaji (2002:1) menjelaskan bahwa sistem adalah suatu rangkaian komponen yang dikoordinasikan untuk mencapai serangkaian tujuan. Sesuai dengan definisi tersebut, sebuah sistem memiliki tiga karakteristik, yaitu (1) komponen, atau sesuatu yang dapat dilihat, didengar atau dirasakan; (2) proses, yaitu kegiatan untuk mengkoordinasikan komponen yang terlibat dalam sebuah sistem; (3) tujuan, yaitu sasaran akhir yang ingin dicapai dari ketiga koordinasi komponen tersebut. Sedangkan pengertian sistem menurut Mulyadi (2001:2) bahwa sistem pada dasarnya adalah sekelompok unsur yang erat berhubungan satu dengan yang lainnya, yang berfungsi bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. Dari definisi tersebut, dapat dirinci lebih lanjut pengertian umum mengenai sistem, yaitu sebagai berikut : 1) Setiap sistem terdiri dari unsur-unsur. Adapun unsur-unsur dari suatu sistem terdiri atas subsistem yang lebih kecil yang terdiri dari kelompok unsur yang membentuk subsistem tersebut. 2) Unsur-unsur
tersebut
merupakan
bagian
terpadu
sistem
yang
bersangkutan. Unsur-unsur sistem berhubungan erat dengan yang lainnya dan sifat serta kerjasama antar unsur sistem tersebut mempunyai bentuk tertentu. 3) Unsur sistem tersebut bekerjasama untuk mencapai tujuan sistem. 4) Suatu sistem merupakan bagian dari sistem lain yang lebih besar.
18
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem adalah suatu kerangka dari prosedur-prosedur yang diciptakan secara terpadu untuk mencapai tujuan tertentu dari serangkaian kegiatan yang dilakukan perusahaan secara rutin. Pendekatan sistem pada dasarnya memberikan banyak manfaat dalam memahami lingkungan. Pendekatan sistem berusaha menjelaskan sesuatu dipandang dari sudut pandang sistem, yang berusaha menemukan struktur unsur yang membentuk sistem tersebut dan dengan memahami struktur sistem dan proses sistem, individu akan dapat menjelaskan mengapa tujuan suatu sistem tidak dapat tercapai. 2.1.8 Sistem Akuntansi Pendapatan Dalam konteks laporan kinerja keuangan, pendapatan operasional merupakan salah satu komponen penting dalam menentukan kinerja keuangan. Aktivitas operasi mengacu kepada aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh suatu entitas agar dapat mencapai tujuan pokoknya. Pendapatan yang timbul dari aktivitas operasi dapat dibedakan dari pendapatan yang timbul dari pemilikan aktiva atau pendanaan suatu entitas. Menurut Indra Bastian & Gatot Soepriyanto (2003:82) pendapatan adalah arus masuk bruto manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas/kegiatan operasi entitas pemerintah selama satu periode yang mengakibatkan kenaikan ekuitas dan bukan berasal dari pinjaman yang harus dikembalikan. Pendapatan hanya terdiri dari arus masuk manfaat ekonomi yang diterima oleh entitas pemerintah untuk dirinya sendiri. Jumlah yang ditagih untuk dan atau atas nama pihak ketiga bukan merupakan pendapatan karena tidak
19
menghasilkan manfaat ekonomi bagi entitas peserta yang tidak mengakibatkan naiknya ekuitas. Pendapatan dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu : 1) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah semua pendapatan yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Kelompok PAD diklasifikasikan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu : a) Pajak Daerah, meliputi pajak hotel dan restoran, pajak hiburan, pajak reklame dan pajak penerangan jalan. b) Retribusi Daerah, meliputi retribusi pelayanan kesehatan, retribusi parkir, retribusi pelayanan sampah, retribusi terminal, retribusi ijin trayek, retribusi ijin usaha hotel wisata, retribusi ijin usaha hotel melati dan pondok wisata, retribusi lain sesuai dengan kondisi di daerah. c) Bagian laba perusahaan daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, meliputi bagian laba Bank Pembangunan Daerah, bagian laba perusahaan daerah dan hasil investasi pada pihak ketiga. d) Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yaitu semua PAD yang bukan berasal dari pajak, retribusi dan laba usaha daerah, antara lain hasil penjualan barang milik daerah, penerimaan jasa giro, penerimaan ganti rugi alat kekayaan/daerah.
20
2) Dana perimbangan adalah semua pendapatan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Kelompok dana perimbangan ini yaitu : a) Bagi hasil dari pajak, meliputi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh). b) Bagi hasil bukan pajak, meliputi pemberian hak atas tanah negara, penerimaan iuran eksplorasi. c) Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana perimbangan dalam rangka untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. d) Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana perimbangan dalam rangka untuk membiayai kebutuhan tertentu. e) Dana perimbangan dari propinsi adalah dana perimbangan dalam pemerintah kabupaten/kota yang berasal dari pemerintah propinsi. 3) Lain-lain pendapatan yang sah adalah pendapatan yang bukan berasal dari PAD maupun dana perimbangan. Adapun tujuan dari penyusunan prosedur pendapatan secara umum antara lain : 1) Untuk memberikan prosedur yang baku atas aktivitas yang berkaitan dengan perolehan informasi mengenai pendapatan dari pengakuan sampai proses pencatatannya.
21
2) Memberikan informasi yang tepat maupun prediktif mengenai jumlah pendapatan yang dimiliki oleh pemerintah daerah, sehingga dapat diperhitungkan seberapa besar dana yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan pemerintah daerah seperti yang dianggarkan. Menurut Indra Bastian dan Gatot Soepriyanto (2003:84) aktivitas pengendalian sistem akuntansi pendapatan yaitu : 1) Penggunaan Surat Tanda Setoran (STS) yang telah diotorisasi dan diperiksa oleh fungsi penerimaan untuk setiap penyetoran pendapatan pajak. 2) Pengecekan secara acak setiap Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) yang masuk untuk menentukan apakah nilai yang tertera sama dengan nilai uang yang disetorkan. 3) Pengecekan apakah setiap pencatatan atas transaksi pendapatan telah dilandasi bukti pendukung yang lengkap. Aktivitas ini untuk menjamin asersi keberadaan, keterjadian, hak dan kewajiban serta penilaian transaksi pendapatan. 4) Pengecekan secara independen posting transaksi-transaksi pendapatan ke dalam catatan akuntansi. Unit pelaksana pekerjaan pada sistem akuntansi pendapatan sama dengan unit pelaksana pekerjaan pada sistem penerimaan kas. Hal ini terjadi karena mayoritas transaksi yang terjadi adalah secara kas dan hanya beberapa saja yang merupakan transaksi non kas. Apabila transaksi non kas yang terjadi, maka fungsi atau sistem yang berlaku adalah sistem akuntansi piutang unit yang terkait dalam
22
prosedur penerimaan dan penyetoran kas untuk bagian sistem penerimaan dana perimbangan (Indra Bastian dan Gatot Soepriyanto, 2003:61) antara lain : 1) Bank Menerima transfer dari Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), mengkredit rekening kas daerah dan mengirim rekening koran kas daerah. 2) Biro atau Bagian Keuangan Mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) kepada KPKN. 3) KPKN Menerbitkan surat perintah membayar dan memerintahkan kepada bank untuk melakukan transfer ke rekening kas daerah pada bank yang ditunjuk oleh kas daerah. 4) Kas Daerah (Kasda) Kantor atau bagian ini berfungsi untuk menerima setoran kas (rekening koran) dari KPKN melalui bank. Menurut Indra Bastian dan Gatot Soepriyanto (2003:62), dokumen dan formulir yang digunakan dalam prosedur penerimaan dan penyetoran kas pada bagian sistem penerimaan dan perimbangan adalah : 1) SPP Formulir
ini
digunakan
oleh
Biro
Keuangan
(propinsi)/bagian
(kabupaten/kota) untuk meminta KPKN melakukan pembayaran kepada propinsi/kabupaten/kota.
23
2) Surat Perintah Membayar (SPM) Dokumen ini digunakan untuk memberitahukan adanya transfer ke rekening kas daerah. 3) Rekening Koran (RK) Dokumen ini digunakan untuk memberitahukan adanya transfer ke rekening kas daerah. 2.1.9 Sistem Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Setiap
pembayaran
harus
dibukukan
ke
KPKN
dalam
rangka
memperlancar serta mempermudah pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. 1) Sistem Untuk dapat menciptakan sistem tersebut di atas, tidaklah mudah karena masih ada beberapa kendala, antara lain : a) Kondisi dan situasi masing-masing wilayah berbeda. b) Jumlah wajib Pajak Bumi dan Bangunan sangat besar. c) Terbatasnya sarana dan prasarana yang ada pada masing-masing Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Menyadari arti penting suatu sistem pembayaran dalam mencapai tujuan yaitu meningkatkan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di masa mendatang, maka diciptakan sistem tempat pembayaran. 2) Sistem Tempat Pembayaran (Sistep) Pembayaran dapat dilakukan melalui : a) Bank atau kantor pos dan giro yang tercantum pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
24
b) Petugas pungut PBB kelurahan/desa yang ditunjuk resmi. c) Khusus untuk wilayah daerah khusus Ibukota Jakarta, pembayaran PBB dapat dilakukan secara online di bank-bank yang telah ditunjuk. Pembayaran harus dilakukan sekaligus (tidak diperkenankan mencicil dalam pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan). 3) Pokok-pokok Ketetapan Sistem a) Hanya ada satu tempat pembayaran untuk setiap wilayah pembayaran PBB tertentu sebagaimana tercantum dalam SPPT. b) Pembayaran PBB hanya dapat dilakukan dalam satu kali pembayaran atau sekaligus dalam arti jumlah pajak tidak dapat diangsur. c) Penyampaian SPPT untuk satu wilayah pemerintahan tertentu, penyampaiannya kepada wajib pajak dilakukan secara serentak atau dalam periode tertentu, sehingga tanggal jatuh tempo pembayaran PBB seragam yaitu 1 (satu) tanggal jatuh tempo. d) Penerbitan SPPT susulan atas penemuan objek baru, tanggal jatuh temponya ditetapkan dalam satuan bulan. Contoh : SPPT yang diterbitkan tanggal 1 Juli sampai dengan 31 Juli, dianggap diterima oleh wajib pajak pada tanggal 31 Juli, dengan masa pembayaran mulai tanggal 1 Agustus sampai dengan tanggal 1 Januari (6 bulan). Jadi tanggal jatuh tempo adalah 31 Januari. e) Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan yang terlambat dari tanggal jatuh tempo akan dikenakan denda administrasi sebesar 2% untuk setiap bulan selama 24 bulan dengan memperhatikan :
25
(1) Keputusan Dirjen Pajak No. 14/PAJAK.6/1990 tanggal 21 Februari 1990 tentang Penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP). (2) Keputusan Dirjen Pajak No. 15/PAJAK.6/1992 tanggal 25 April 1992 tentang Pelaksanaan Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan. f)
Surat Tanda Terima Sementara (STTS) harus sudah tersedia di tempat pembayaran sebelum SPPT diterima wajib pajak.
g) Untuk semua sektor PBB harus diterbitkan SPPT. h) Dalam satu wilayah Daerah Tingkat II hanya ada satu bank atau kantor pos. i)
Bangunan Tidak Kena Pajak (BTKP) dihitung persatuan bangunan, kecuali ada aturan khusus. Contoh : Kompleks pertokoan yang terdiri dari beberapa unit bangunan yang dikelola oleh suatu badan, BTKP-nya dihitung sekali saja.
j)
Pembuatan buku induk Pajak Bumi dan Bangunan, SPPT, STTS, satuannya adalah desa atau kelurahan.
k) Nomor seri dibuat urut perdesa atau kelurahan. l)
Wajib pajak tidak dibenarkan pindah tempat pembayaran diluar yang telah ditentukan dalam SPPT.
m) Tempat pembayaran berada di dalam wilayah daerah yang bersangkutan agar dapat dijangkau dengan mudah oleh wajib pajak. n) Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan harus didukung dengan adanya fasilitas komputer.
26
2.2
Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 2 Tahun 1990 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-undang No. 25 Tahun 1990 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang sekarang diganti menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Undang-undang Otonomi Daerah, dalam implementasinya otonomi daerah membutuhkan SDM yang profesional, sarana dan prasarana yang memadai, kabupaten/kota sebagai daerah otonomi memikul beban tugas dan tanggung jawab yang sangat berat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Sejalan dengan semakin derasnya tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintah yang baik (good governance), transparansi, akuntabilitas dan aparatur yang bersih bebas KKN, maka dengan semangat otonomi daerah perlu diawali dengan penyempurnaan kelembagaan dalam lingkungan pemerintahan melalui pembentukan organisasi dan tata kerja yang sesuai dengan kebutuhan yaitu Dinas Pendapatan Daerah sebagai bagian dari pemerintah daerah yang bertugas menjalankan birokrasi dalam penerimaan pendapatan daerah. Dinas Pendapatan Daerah adalah unit pelaksana teknis di bidang pendapatan yang melaksanakan pemungutan pajak, retribusi daerah, lain-lain pendapatan daerah, membantu menyebarkan SPPT Pajak Bumi dan Bangunan, serta sebagai kolektor Pajak Bumi dan Bangunan. Pemungutan pajak, retribusi dan lain-lain pendapatan daerah adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari pendaftaran, pandataan, memperhitungkan, menetapkan pembukuan, melakukan
27
penagihan atas tunggakan sampai dengan melakukan penyitaan dan pelelangan. Selain itu juga melakukan pembinaan, pengawasan, pengendalian, pemeriksaan, serta pelaporan PAD dan PBB secara rutin dan berkala. Dinas Pendapatan Daerah dalam melaksanakan tugasnya disamping sebagai koordinator pengelola pendapatan juga sebagai pengelola secara langsung beberapa jenis sumber PAD yang merupakan tugas utama Dinas Pendapatan Daerah, antara lain pajak hotel dan restoran, pajak hiburan, pajak pengambilan bahan galian golongan C, ijin reklame, pajak reklame, retribusi tempat rekreasi dan olahraga, retribusi pasar, retribusi pasar grosir dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah dan sumbangan pihak ketiga. Sumber-sumber Pendapatan Daerah Tingkat II, yaitu : 1) Pos Pajak Daerah a) Pajak Hotel dan Restoran b) Pajak Parkir c) Pajak Hiburan d) Pajak Reklame e) Pajak Penerangan Jalan f)
Pajak Pengambilan Bahan Golongan C
2) Pos Retribusi Daerah a) Retribusi Pelayanan Kesehatan b) Retribusi Pelayanan Sampah c) Retribusi Pengadaan Cetak KTP/KK d) Retribusi Parkir di tempat jalan umum
28
e) Retribusi Pasar f)
Retribusi Terminal
g) Retribusi Tempat Khusus Parkir h) Retribusi Tempat Rekreasi i)
Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan
j)
Retribusi Ijin Proyek
3) Pos Laba Usaha Daerah 4) Pos Pendapatan Lain-lain a) Jasa Giro b) Sumbangan Pihak Ketiga c) Hasil Penjualan Milik Daerah d) Penerimaan denda keterlambatan proyek dan penjualan dokumen lelang e) Hasil Sewa Aset 5) Pos Bagi Hasil Pajak a) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) b) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 6) Pos Bagi Hasil Bukan Pajak a) Iuran Hasil Tanah b) Pemberian Hak atas Tanah Negara
29
7) Bagian Sumbangan dan Bantuan a) Pos Sumbangan (1) Ganjaran (2) Subsidi b) Pos Bantuan (1) Bantuan Daerah Tingkat II (2) Bantuan Penunjang Jalan (3) Bantuan Pembangunan (4) Bantuan Penghijauan Berdasarkan perincian sumber-sumber Pendapatan Daerah Tingkat II di atas, maka diketahui bahwa Pajak Bumi dan Bangunan merupakan bagian dari pos bagi hasil pajak. 2.2.1 Peranan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sebagai Pendapatan Daerah dan Pengelolaannya Penggunaan hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan diarahkan pada tujuan untuk kepentingan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, sebagian besar hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan diserahkan kepada pemerintah daerah sebagai pendapatan daerah dan harus dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Penyerahan kepada pemerintah daerah tersebut mempunyai tujuan agar dapat merangsang masyarakat yang mempunyai objek pajak untuk memenuhi kewajiban membayar pajak mereka
sekaligus
menanamkan
sifat
pembiayaan negara.
30
kegotong-royongan
rakyat
dalam
Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1985 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menetapkan sebagai berikut : 1) Bahwa 10% dari hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah bagian penerimaan bagi pemerintah pusat dan harus disetor sepenuhnya ke kas negara. 2) Sedangkan yang 90% dari hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan merupakan bagian penerimaan untuk pemerintah daerah setelah dikurangi dengan biaya untuk melakukan pemungutan sebesar 10% dari 90% tersebut, kemudian dibagi lagi untuk Pemerintah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II dengan pembagian sebagai berikut : a) Pemerintah Daerah Tingkat I = 20% b) Pemerintah Daerah Tingkat II = 80% Berdasarkan pembagian tersebut di atas, maka bagian dari masing-masing penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut : a) Pemerintah Pusat
= 10%
b) Biaya Pemungutan
= 9%
c) Pemerintah Daerah Tingkat I
= 16,2%
d) Pemerintah Daerah Tingkat II
= 64,8%
Jumlah Penerimaan PBB
100%
Mulai
tahun
1994,
berdasarkan
Keputusan
Menteri
Keuangan
No.83/KMK.04/1994, 10% bagian pemerintah pusat dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten/kota. Pengelolaan dari hasil Penerimaan Pajak
31
Bumi dan Bangunan tersebut didistribusikan ke daerah pedesaan dan sisanya digunakan untuk proyek pembangunan di daerah kabupaten. 2.2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Cok Agung Sudirgantara (2006), meneliti tentang kesesuaian pelaksanaan sistem pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di Kota Denpasar dengan Undangundang No.12 Tahun 1994. Variabel penelitian yang digunakan yaitu Pajak Bumi dan Bangunan dan sistem pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan dengan menggunakan teknik analisis kualitatif deskriptif komparatif. Metode penentuan sampel dengan purposive sampling dengan menggunakan 30 responden masingmasing dari aparat perpajakan yang ikut terlibat dan mengetahui tentang pelaksanaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Denpasar yang meliputi Kepala Sub Dinas Penagihan, Kepala Seksi Penagihan, Petugas Pungut dan Sedahan Kota Denpasar. Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pelaksanaan sistem pemungutan yang dilakukan oleh fiskus atau aparat perpajakan pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Denpasar telah sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku yaitu Undang-undang No. 12 tahun 1994. Hal ini didasarkan pada jawaban responden yang memiliki nilai rata-rata skor jawaban 3.850 dan 4.950 dengan cronbach alpha 0,9330 lebih besar dari 0,6 yang menunjukkan data tersebut reliabel. I Putu Adi Purwanta (2005), meneliti tentang efektivitas penerapan sistem pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan dalam rangka meningkatkan pendapatan Daerah Kabupaten Tabanan. Variabel penelitian yang digunakan yaitu sistem pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan dan pendapatan daerah dengan teknik
32
analisis kuantitatif. Metode penentuan sampel dengan quota sampling yaitu menentukan sampel dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah quota yang diinginkan dengan 30 responden yang melibatkan petugas pungut PBB, wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan. Hasil penelitiannya menunjukkan penerapan sistem pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah Kabupaten Tabanan adalah efektif. Hal ini didasarkan pada jawaban responden yang memiliki nilai rata-rata skor jawaban 135 dan 166 dengan cronbach alpha 0,914 lebih besar dari 0,6 yang menunjukkan data tersebut reliabel. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Cok Agung Sudirgantara (2006) dan I Putu Adi Purwanta (2005) yaitu pada lokasi penelitian yang dilakukan, dimana penelitiannya dilakukan pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Denpasar dan Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Tabanan, sedangkan penelitian ini dilakukan pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Gianyar. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Cok Agung Sudirgantara (2006) dan I Putu Adi Purwanta (2005) yaitu sama-sama meneliti objek Pajak Bumi dan Bangunan.
33