BAB II KAJIAN PUSTAKA
Untuk memberikan gambaran awal tentang kajian "peliggunaan bahasa Indonesia dalam wacana politik", pada bab ini dipaparkan berbagailhal yang bergayut. Bagian ini diawali dengan menentukan tempat atau posisi pendekatan penelitian ini berpijak, yakni "pendekatan kritis" dalam dikotomi "deskriptif' dan "kritis". Untuk itu perlu jugs dike, mukakan pendekatan dalam kajian bahasa secara dikotomis, yakni (1) dikotomi "filosofislogis" dan "dekriptif-etnografis", (2) dikotomi "formalisme" dan "fungsionalisme", (3) serta dikotomi "sistemik" dan "kontekstual". Bagian kedua berupa paparan tentang kajian terhadap fenomena bahasa politik. Paparan ini meliputi (1) penjelasan istilah bahasa politik, (2) peran bahasa politik dalam komunikasi politik, (3) dua hal penting dalam kajian bahasa politik, yakni (a) bahasa dan kekuasaan, dan (b) bahasa dan ideologi, (4) tiga paradigma dalam kajian bahasa politik, Alan (a) paradigma "empirisme-positivisme" yang memandang bahasa dan wacana se.13agai refleksi mental kognitif yang tanpa distorsi, (b) paradigma "fenomenologis" yang memandang bahasa dan wacana diatur oleh pengucapan yang bertujuan dari individuindividu merdeka yang memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud wacana itu, dan (c) paradigma "pascastrulcturalisine" yang memandang bahasa dan wacana amat berkaitan dengan tindak dan praksis politik vidu sering bertindak di bawah kesacIA,an.
43
amat determinatif di mana indi-
44 Bagian ketiga berupa paparan tentang hakikat linguistik sebagai "pisau bedah" fenomena komunikasi. Paparan itu meliputi (1) pengaruh teori kritis dalam bidang ilmuilmu sosial dan filsafat terhadap kajian bahasa, yakni teori kritis aliran Frankfurt, (2) linguistik fungsional-sistemik Halliday (1978), yakni konsep Halliday tentang "bahasa sebagai semiotika sosial", (3) linguistik kritis, khususnya pandangan Fowler (1985; 1986; 1996) tentang linguistik sebagai instrumen memahami sesuatu yang lain, dan (4) analisis wacana kritis, khususnya pandangan Fairclough (1985; 1989; dan 1995) tentang tiga dimensi analisis wacana, yakni (a) analisis teks, (b) analisis praksis wacana, dan (c) analisis praksis sosiokultural. Bagian keempat berupa paparan tentang beberapa kajian atau penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Kajian yang dikemukakan meliputi (1) kajian Pabotinggi (1993 dan 1996), (2) kajian Anderson (1966), (3) kajian Rakhmat (1993), (4) kajian Hooker (1990), (5) kajian van Langenberg (1990), (6) kajian Heryanto (1992 dan 1996), (7) kajian Dhakidae (1992), (8) kajian Farid (1994), dan (9) kajian Tampubolon (1998). Kajian-kajian tersebut terpusat pada satu masalah pokok, yakni hubungan bahasa dengan ideologi dan kekuasaan. 2.1 Pendekatan "Deskriptift dan "Kritis" dalam Kajian Bahasa I-talk:43y (1977:37), Leech (1983:46), dan Oetomo (1987:164) melihat pengkajian bth Aing dilakukan para pakar dapat diidentifikasikan ke dalam dua kelompok besar v e an masing-masingnya didasari oleh sudut pandang yang saling beroposisi. Dikotomi r "filosofis-Iceis" x "deskriptif-etnografis" (Halliday), "formalisme" x "fungsionalisme" (Leech), dan "sistemik" dan "kontekstual" (Oetomo) dikembangkan dari landasan filosofis yang berbeda. Pandangan "filosofis-logis", misalnya, lebih mengaitkan bahasa de-
45 ngan bidang filsafat. Dalam perspelctif ini, gramatika dipandang sebagai bagian dari logfka. Pandarigan "deskriptif-etnografis" lebih mengaitkan bahasa dengan bidang antropologi-budaya. Dalam perpelctif ini, gramatika dipandang sebagai bagian dari kebudayaan. Kedua pandangan atau pendekatan tersebut masing-masing memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang membedakannya dari pendekatan lainnya (Sutjaja, 1990:60). Pendekatan "filosofis-logis" memiliki enam karakteristik, yakni (1) penekanan pada segi analogi, (2) ciri preskriptif atau normatif, (3) keterkaitan makna dengan kebenaran
(truth),
(4)
bahasa sebagai pikiran, (5) bahasa sebagai aturan atau kaidah, dan (6) penekanan pada analisis formal atas kalimat. Pendekatan "formalisme" dan "sistemik" memiliki penjelasan yang senada dengan pendekatan "filosofis-logic". Pendekatan "deskriptif-etnografis" memiliki enam karakteristik yang beroposisi dengan pendekatan filosofis-logis, yakni (1) penekanan pada segi anomali, (2) ciri pemerian (deskriptif), (3) keterkaitan makna dengan fungsi retorika, (4) bahasa sebagai tindakan, (5) bahasa sebagai pilihan atau sumber
(resource),
dan (6) penekanan pada tafsir (in-
terpretasi) kalimat semantik alas wacaria. Pendekatan "fungsionalisme" dan "kontekstual" memiliki penjelasan yang senada dengan pendekatan "deskriptif-etnografis". Kajian linguistik generatif-transformasi dari Chomsky merupakan salah satu contoh bidang kajian yang menggunakan pendekatan filosofis-logis. Pada peringkat filosofis, Chomsky beranjak dari filsafat rasionalisme yang mengutamakan penyusunan teori terlebih dahulu berdasarkan konsep-konsep
a priori
yang dikandung dalam pikiran. Dalam
pandangan linguistik ini, bahasa diatur oleh kaidah-kaidah yang pengkajiannya dapat dilakukan terlepas dari konteks sosialnya. Istilah konteks yang dimunculkan dalam linguistik ini mengacu kepada konteks linguistik, bukan konteks social.
46 Kajian linguistik aliran London adalah contoh kajian yang lebih menggunakan pendekatan deskriptif-etnografis. Halliday dipandang memiliki saham yang besar dalam pengembangan aliran "neo-Firthian". Ancangan Halliday dinamakan dengan ancangan fungsional karena orientasi pengembangan pandangan kebahasaan Halliday selalu dikaitkan dengan unsur tautan situasi atau sosial, seperti: penutur, tempat, waktu, pokok bahasan, dan sebagainya. Ancangan fungsional Halliday banyak diwarnai oleh gagasan-gaasan Malinowski mengenai keterkaitan unsur fungsi sosial dalam bahasa. Pernyataan Malinowskki bahwa "the utterances become comprehensible only in the context of the whole way of life of which they .form part' (Sampson, 1980:225) sangat mempengaruhi gagasan Halliday. Catatan penting dari Oetomo perlu dikemukakan bahwa dikotomi dua peringkat dalam kajian bahasa itu sering hanya pada tataran konseptual. Dalam pandangan Oetomo (1987:164) ada kalanya terjadi penekanan yang berlebihan terhadap satu peringkat atas peringkat yang lainnya. Sebuah kajian bahasa mungkin raja lebih condong ke peringkat sistemik atau ke peringkat kontekstual. Tidak ada pengkajian bahasa antara dua peringkat itu yang saling tidak menyapa. Kajian bahasa dalam pengelompokan di atas--menurut pandangan peneliti—lebih berupa kajian yang semata-mata bersifat "deskriptif' yang menganggap bahasa sematamata sebagai alat komunikasi yang netial. Kelompok pertama dalam penggolongan di atas lebih memandang bahasa sebagai iefleksi kategori-kategori mental kognitif manusia yang dianggap sebagai salah satu unsur alaminya. Bahasa dipahami sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang terpisahkan dan subjek sebagai penyampai pernyataan. Kelompok kedua lebih memandang perkaitan antara bahasa dan tindakan
47 sosial. Dalam pandangan kelompok ini, bahasa yang digunakan oleh pemakainya sematamata "cermin" dari dunia sosialnya. Bentuk bahasa hadir untuk memenuhi kebutuhan komunikasi sesuai dengan fungsi yang diemban bahasa. Beberapa tokoh linguistik aliran kritis, seperti Fowler (1985; 1986, 1996)), Fairclough (1988, 1989, 1995), Kress (1985), van Dijk (1985), Birch (1996), dan Wodak (1996) memandang bahwa fenomena komunikasi dan interaksi yang "nyata" lebih banyak diwarnai oleh adanya fenomena-fenomena "ketidakteraturan", "kesenjangan", "ketidakseimbangan", "perekayasaan", dan "ketidaknetralan" dari isu-isu ketidakadilan dalam gender, politik, ras, media massa, kekuasaan, dan komunikasi lintas budaya. Wacana yang lahir lebih banyak berkutat dengan persoalan sosial politik dan jauh meninggalkan wacana-wacana akademis yang "ideal". Menurut van Dijk (1985:7) fitur-fitur wacana hanyalah menjadi "gejala" (symptoms) dari persoalan-persoalan yang lebih besar, seperti: ketidakadilan, perbedaan kelas, gender, rasisme, kekuasaan, dan dominasi yang melibatkan lebih dari sekedar teks daft tuturan. Atas dasar itu, tokoh-tokoh linguistik kritis memandang bahwa lebih relevan membuat dikotomi kajian bahasa menjadi kelompok "deskriptif' di satu pihak dan kelompok "kritis" di lain pihak, seperti dilakukan oleh Fairclough (1985) yang memaparkan perbandingan pendekatan "deskriptif' dan "kritis" dalam analisis wacana dan Fairclough (1989) yang memaparkan dikotomi "deskriptif' dan "kritis" dalam linguistik, sosiolinguistik, pragmatik, dan analisis wacana, serta analisis percakapan. Dikotomi ini akan dipaparkaii secara lebih mendetail pada bagian selanjutuva. Meskipun "linguistik kritis" itu sebenarnya berakar dari kelompok "fungsional Halliday", namun dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini menunjukkan suatu aliran
48 linguistik yang "khas". Paling tidak ada dua catatan yang dapat dikemukakan. Pertama, menonjolnya pengaruh Foucault dan Derrida, tokoh-tokoh aliran pascastrulcturalisme dan pascamodernisme Prancis, khususnya terhadap analisis wacana kritis Fairclough, mengakibatkan kelompok aliran "kritis" ini sudah jauh berkembang dan aliran induknya. Kedua, dalam aplikasi analisisnya, aliran "kritis" tidak semata-mata mengadopsi alat-alat linguistik Halliday, khususnya yang berhubungan dengan fungsi-fungsi ideasional dan interaksional, tetapi juga mendayagunakan alat linguistik dart kelompok linguistik lainnya, seperti teori tindak ujaran Searle dan analisis percakapan Grice. Menurut Fairclough (1989) nama bidang kajian bahasa yang bertujuan "deskriptif" selama ini memperoleh hak-hak yang amat istimewa sampai-sampai nama deskriptif itu tidak dicantumkan dalam nama bidang kajiannya itu. Dart dikotomi ini, muncullah bi dang kajian seperti: linguistik (deskriptif) x linguistik kritis, sosiolinguistik (deskriptif) x .sosiolinguistik kritis, pragmatik (deskriptif) x pragmatik kritis, dan analisis wacana (deskriptif) x analisis wacana kritis. Aliran kritis ini banyak berkembang dan memperoleh pengakuan di Inggris Raya, Australia, dan Eropa Kontinental, seperti Belanda, (bekas) Jerman Barat, dan Spanyol. 2.1.1 "Deskriptir dan "Kritis" dalam Linguistik Menurut Fairclough (1989:6) istilah "linguistik" selama ini digunakan secara ambigu dalam arus besar kajian bahasa. Di satu pihak linguistik kadang-kadang mengacu kepada seluruh kancah studi bahasa dalam disiplin atademis linguistik. Di lain pihak, linguistik kadang-kadang mengacu hanya kepada kancah disipiin yang memperoleh status yang sangat istimewa, yakni linguistik "yang sebenarnya" (linguistics proper), yakni studi gramatika dalam pengertian yang bias yang di dalamnya terdapat bidang-bidang fonologi,
49 morfologi, sintaksis, dan semantik. Dalam perspektif deskriptif ini, linguistik cenderung semata-mata dimaknai theory of grammar, sebuah konsepsi yang cukup sempit tentang kajian bahasa. Dalam pandangan Fairclough (1989:7) hal itu adalah sebuah fakta yang paradok, yakni linguistik hanya memiliki sedikit perhatian pada tuturan dan tulisan yang aktual. Arus besar linguistik lebih tertarik pada ciri-ciri bahasa sebagai sesuatu yang bersifat potensial, sebuah sistem, sebuah kompetensi yang abstrak daripada tertarik kepada kegiatan mendeskripsikan praksis bahasa aktual. Pandangan yang sistemik seperti ini menurut Fairclough (1989) sangat dipengaruhi oleh dua asumsi tentang bahasa yang dikemukakan oleh Saussure, yakni (1) bahasa dari komunitas tertentu dapat untuk seluruh tujuan-tujuan praktis, dan (2) studi bahasa seharusnya sinkronik daripada historis. Dalam pandangan "kritis", dua asumsi dan Saussure itu dan mengabaikan praksis bahasa dengan mengisolasikannya dari acuan sosial dan historis amatlah tidak mungkin. Arus besar linguistik yang ada merupakan sebuah cara mengkaji bahasa yang "asosial" yang tidak pernah berbicara tentang hubungan timbal balik antara bahasa dan kekuasaan & ideologi. Kritik terhadap arus besar linguistik proper yang mengabaikan praksis bahasa ini yang menjadi fokus kajian linguistik "kritis". 2.1.2 "Deskriptir dan "Kritis" dalam Sosiolinguistik Menurut Fairclough (1989:7) beberapa praktisi melihat sosiolinguistik sebagai pelengkap linguistics proper, sosiolinguistik mengkaji penggunaan bahasa, linguistik mengkaji sistem bahasa. Arus besar sosiolinguistik berhasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sistematis antara variasi dalam bentuk linguistik (fonologis, morfoloeis, dan sintaktis) dan variabel-variabel sosial, antara lain: strata sosial, relasi sosial, perbedaan latar sosial. Apa yang ada dalam bentuk bahasa dapat ditemukan gejalanya di ma-
50 syarakat. Konsep yang bernuansa "atomisme logis" itu dapat ditemukan antara lain dalam Chaika (1982), Grimsaw (1981), dan Wardhaugh (1986). Sosiolinguistik yang berkembang amat dipengaruhi konsepsi ilmu sosial dalam tradisi positivisme. Karya-karya Labov (1972), Chesire (1982), Milroy (1982; 1987a; 1987b), dan Romaine (1994) memperkuat pendapat itu. Dari tradisi ini dapat dilihat bahwa variasi sosiolinguistis dalam masyarakat tertentu cenderung dilihat ke dalam seperangkat fakta yang dapat diobservasi dan diperikan dengan menggunakan metode analogi dari ilmu-ilmu alam. Menurut Fairclough (1989:8) sosiolinguistik selama ini amat kuat dalam pertanyaan tentang what, yakni pertanyaan tentang "apa variasi itu", tetapi amat lemah dalam pertanyaan "mengapa" dan "bagaimana". Beberapa pertanyaan yang hams mendapat jawaban sosiolinguistik dalam pandangan Fairclough antara lain: (1) mengapa fakta-fakta yang ada keadaannya seperti itu, (2) bagaimana relasi kekuasaan (power) muncul untuk mengatur manusia, (3) bagaimana relasi kekuasaan itu ditopang, (4) bagaimana relasirelasi kekuasaan itu diubah untuk keuntungan kelompok tertentu yang mendominasi. Pertanyaan-pertanyaan yang bempa "mengapa" dan "bagaimana" terhadap sosiolinguistik ini hams diwujudkan dalam langkah eksplanasi yang nyata. Pertanyaan "mengapa" dan "bagaimana" itu menjadi fokus kajian sosiolinguistik "kritis". 2.1.3 "Deskriptir dan "Kritis" dalam Pragmatik Menurut Fairclough (1989:9) pragmatik dibedakan ke dalam dua aliran kajian yang bersumber dari tradisi yang berbeda. Pertama, pragmatik, dari tradisi Eropa-Kontinental, dalam pengertian yang luas yang berarti "ilmu penggunaan bahasa". Sernentara itu, menurut tradisi Anglo-Amerika, pragmatik dipergunakan dalam pengertian yang lebih sempit, yakni pragmatik hanya sebagai satu dari sejumlah subdisiplin yang berhubungan
51 dengan penggunaan bahasa, meliputi sosiolinguistik dan psikolinguistik. Pragmatik "kritis" yang berkembang lebih mengacu kepada pragmatik dalam tradisi Eropa-Kontinental. Oleh karena itu, wajar jika aliran ini tumbuh subur di negara-negara seperti Prancis, Austria, Belanda, dan Jerman. Pragmatik Anglo-Amerika yang umumnya diasosiasikan dengan teori "tindak ujaran" Austin dan Searle, melihat bahasa sebagai bentuk tindakan. Konsep "bahasa sebagai bentuk tindakan" ini juga dipergunakan dalam pandangan kritis. Dalam pandangan Fairclough (1989:9) konsep "bahasa sebagai bentuk tindakan" menurut tradisi AngloAmerika ini memiliki kelemahan, yakni sifatnya yang "individualisme". Tindakan individu dipahami secara atomis berasal semata-mata dari individu unik yang merdeka. Tindakan sering dikonseptualisasikan ke dalam istilah "strategi" yang diadopsi oleh penutur individu untuk mencapai tujuan atau maksudnya. Individu memiliki "kemerdekaan" dalam menentukan strategi itu. Konsep yang seperti ini hanya sesuai dengan interaksi kerja sama yang memiliki prinsip kesetaraan dan kesejajaran antarpartisipan. Konsep pragmatik aliran Anglo-Amerika tidak pernah menyentuh dimensi "pertarungan sosial" (social struggle) yang nyata dalam ketidaksetaraan hubungan kekuasaan antarpartisipan. Komunikasi yang "nyata" lebih banyak diwamai adanya ketidaksetaraan atau ketidaksimetrisan kekuasaan antarpartisipan yang terlibat. Dimensi inilah yang kemudian menjadi fokus garapan pragmatik kritis. Selain itu, dalam tradisi tradisi AngloAmerika, pragmatik terbatas menggarap ujaran-ujaran individu tunggal, misalnya percakapan telepon daripada wacaria leas yang nyata, misalnya wacana gender, wacana rasisme, wacana media massa, wacana politik, dan sebagainya. Garapan yang diabaikan dalam tradisi Anglo-Amerika itulah yang menjadi fokus garapan pragmatik kritis ini.
52 Pandangan lain yang dikritik oleh pragmatik kritis adalah keberadaan pragmatik Anglo-Amerika yang hanya dilihat sebagai level "pelengkap" dari linguistics proper yang menganggap kajian intinya adalah gramatika dan semantik. Konteks sosial memang diakui dalam pragmatik Anglo-Amerika, tetapi ditangkap dan dipahami kurang lebih sebagai sebuah "keadilan" seperti pandangan deskriptif pada umumnya. Konteks sosial tidak ditangkap sebagai "sesuatu" yang amat determinatif yang amat menguasai dan menentukan perilaku individu secara total. Sebaliknya, dalam pandangan pragmatik kritis, konteks sosial itu bersifat determinatif terhadap individu-individu itu. 2.1.4 "Deskriptif' dan "Kritis" dalam Analisis Wacana Beberapa konsep dasar analisis wacana dan analisis percakapan yang juga diklaim oleh pandangan kritis adalah sebagai berikut. Pertama, analisis wacana diakui sebagai bidang "lintas disiplin" barn dari berbagai disiplin, antara lain: linguistik, sosiologi, antropologi, dan psikologi kognitif Kedua, analisis percakapan bekerja dengan sampel percakapan nyata yang diperluas. Satu perhatian pokoknya adalah bagaimana struktur sosial hadir dan diproduksi dalam tindakan sehari-hari, tidak hanya sebagai kepemilikan struktur makro masyarakat yang abstrak. Dalam pandangan kritis, analisis percakapan memiliki kelemahan dalam membuat hubungan antara struktur "mikro" percakapan dan struktur makro institusi sosial dan masyarakat. Menurut Fairclough (1989) analisis percakapan memberikan dua pencitraan yang agak "tidak masuk akal" terhadap percakapan sebagai keterampilan sosial yang munch dalain "oakum" sosial. Pertama, analisis percakapan rnemberikan status istirnewa kepada percakapan santai (casual conversation) antarpartisipan yang memiliki hubungan yang setara atau hubungan yang koordinatif sebagai fokus kajiannya, tetapi kurang mem-
53 perhatikan percakapan yang memiliki hubungan yang tidak setara. Dalam percakapan melalui telepon, misalnya, pengaruh struktur institusional dan masyarakat memang kurang tampak atau terbukti. Kedua, analisis percakapan menganggap percakapan sebagai kepandaian aktor sosial yang memproduksinya. Akibat pandangan ini, peneliti hanya akan mengkaji perspektif aktor saja. Keadaan analisis yang actor oriented seperti itu agak disangsikan kemampuannya dalam menjawab peranan dan keberadaan struktur sosial dan institusional yang lebih luas yang amat determinatif, yang amat berpengaruh terhadap keberadaan aktor sebagai pembentuk wacana. Untuk mengungkap dimensi struktur sosial yang determinatif itu diperlukan analisis wacana dan percakapan yang bersifat "kritis". Kritikan lain dari pandangan "kritis" terhadap analisis wacana yang bersifat deskriptif adalah keberadaan "interpretasi lokal" dalam menafsirkan sebuah wacana. Dalam pandangan deskriptif, ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam prinsip lokalitas ini. Pertama, prinsip ini memberikan tuntunan kepada analis wacana untuk tidakmenciptakan konteks yang lebih luas dari yang diperlukan agar dapat memperoleh interpretasi yang paling mendekati maksud aslinya. Kedua, prinsip ini memberi petunjuk kepada analis wacana bahwa pengalaman seseorang tentang peristivva yang semacam akan memberikan suatu harapan yang memudahkan menganalisis wacana. Analisis seperti ini amat disangsikan kemampuannya untuk menggali dimensi ideologi dan kekuasaan dalam praksis wt atm (Fairclough, 1989:12). Dalam pandangan kritis, keberadaan sebuah teks bahasa tidak dapat terlepas dari pengaruh konteks sosiokultural dan institusional yang amat deterrniAtif Untuk menaartelsis'nya diperlukan prinsip interpretasi yang tidak hanya bersiKat
tetapi julp. interpretasi global" untuk mengungkap dimensi ideologi dan ke-
VuasaNryangoehentukan kelahiran dan bentuk wacana (Fairclough, 1989:27).
54 2.2 Kajian terhadap Bahasa Politik 2.2.1 Istilah "Bahasa Politik" Sebagai istilah "bahasa politik" sering ditumpangtindihkan dengan "bahasa birokrasi". Anderson (1966; 1990) sudah menggunakan istilah bahasa politik yang diambil dari penelitiannya terhadap pidato-pidato Presiden Soekarno pada tahun-tahun terakhir runtuhnya Orde Lama dan permulaan Orde Baru. Pandangan senada dalam menerapkan istilah bahasa politik juga ditemukan dalam tulisan Hooker (1990). Demikian juga, Anwar (1989:55--56) juga memiliki perspektif yang sama dengan mengatakan bahwa bahasa-bahasa slogan atau propaganda, bahasa pidato pejabat pemerintah, dan bahasa penataran merupakan bahasa politik, yaitu bahasa yang digunakan sebagai alat politik. Dalam konteks yang lebih terns, penggunaan bahasa politik dapat juga diperhatikan dalam pidato-pidato pemimpin partai politik. Dengan demikian, istilah "bahasa politik" digunakan untuk mengacu kepada pemakaian bahasa oleh agen pemerintah dan agen partai politik dalam menggerakkan masyarakat banyak. Di pihak lain, beberapa peneliti, seperti Charrow (1982) dan Dhakidae (1996), meskipun mengambil objek pengamatan yang sama, mereka memberi nama bahasa politik di atas dengan nama "bahasa birokrasi". Charrow, misalnya, mendefinisikan bahasa birokrasi dengan "suatu variasi--dalam hal ini bahasa Inggris--yang ditemukan dalam dckumen--kurang sering dalam pidato-pidato lisan--yang berasal dari agen-agen atau wakil-wakil pemerintah yang memiliki kekuatan status negara federal dan negara bagian di belakangnya" (Charrow, 1982:82--83). Sementara au, Dhakidae (1996:247) mengangkat istilah bahasa birokrasi dalam kaitannya dengan bahasa pemerintah, baik siaran pers, konperensi pers, dan pidato-pidato pejabat. Dalam pandangan Dhakidae, bahasa
55 birokrasi memiliki karakteristik, yaitu (1) tipenya dapat dipersingkat menjadi bahasa jargon pembangunan, (2) bahasa-nya sarat dengan muatan nada-nada ideologis dalam arti yang sangat luas, dan (3) gaya bahasanya menampilkan latar belakang etnis dan kultur para pemakainya. Dengan demikian, bahasa pidato pejabat yang penuh dengan jargon pembangunan dan nada ideologis yang memiliki kekuatan mengatur masyarakat dinamakan bahasa birokrasi. Meskipun pembedaan wujud dan makna kedua istilah di atas--bahasa politik dan bahasa birokrasi--sering mengalami kesulitan, dalam tulisan ini perlu ditegaskan duduk persoalannya. Pertama, dari segi nuansa maknanya, kedua istilah tersebut memiliki perbedaan. Bahasa politik lebih berkaitan dengan bahasa untuk pengaturan masyarakat secara umum yang memiliki keberagaman latar belakang sosial budaya dengan menggunakan piranti ideologi dan kekuasaan yang terwujud dalam bahasa, sedangkan bahasa birokrasi lebih berkaitan dengan bahasa untuk pengaturan institusiinstitusi yang lebih bawah secara hirarkhis. Kedua, dari lingkup keluasannya, bahasa politik memiliki lingkup yang lebih leas daripada bahasa birokrasi. Atas dasar itu, istilah bahasa politik dan bahasa birokrasi dalam penelitian ini, disatukan ke dalam satu istilah yang lebih luas, yakni "bahasa politik". Penyatuan kedua istilah di atas ke dalam bahasa politik secara implisit ternyata dapat ditemukan pada pendapat dua pakar linguistik terapan, Maher dan Rokosz (1992: 231) yang di dalam salah satu artikelnya is merumuskan "in addition to the legal and medical contexts, professional of institutionaliz-ed language use, as described above, may also be observed in business negotiations, office exchanges, public professional gatherings, classroom discourse, bureaucratic: political language use, scientific reporting of re-
56 search, etc." Dalam pandangan peneliti, penggunaan garis miring antara kata bureaucratic danpolitical menunjukkan dua penafsiran, yakni (1) garis miring bermakria hatau' yang berarti bahasa politik dapat disamakan dengan bahasa birokrasi atau (2) garis miring bermakna 'clan' yang berarti bahwa bahasa politik dan bahasa birokrasi adalah dua variasi bahasa yang memiliki makna yang berbeda. Agaknya, Maher & Rokosz pun mengalami "kebimbangan" untuk membedakan kedua istilah tersebut. Paparan di atas masih belum memberikan informasi tentang hakikat bahasa politik karena masih belum memberikan paparan tentang "hakikat politik". Orwell (1946) secara tegas mengklaim bahwa "dalam usia kita tidak ada yang berada di luar masalah politik, semua isu adalah isu politic" (Thomas & Wareing, 1999:32). Orwell memberikan makna politik dari pengertian yang luas. Gee (1999:2) memaknai politik dengan "segala sesuatu dan di mana saja interaksi dan hubungan timbal balik sosial manusia memiliki implikasi kepada bagaimana barang-barang sosial' (social goods) itu didistribusikan atau bagaimana seharusnya didistribusikan". Yang dimaksud dengan "barang-barang sosial" adalah segala sesuatu yang dipercayai kelompok masyarakat dapat menjadi sumber kekuasaan, status, dan nilai (Gee, 1999:2). Contoh "barang-barang sosial" itu antara lain: kemampuan akademis, uang, kontrol, kepemilikan, kemampuan verbal, "penampakan", usia, kebijaksanaan, pengetahuan, teknologi, kemahirwacanaan, moralitas, dan pengetahuan umum atau akal sehat. Senada dengan pandangan Gee (1999) tentang "barang-barang sosial" yang menjadi sumber kekuasaan, Jones & Wareing (1999) merumuskan bahwa politik berkaitan dengan kekuasaan yang meliputi kekuasaan untuk (1) membuat keputusan, (2) mengontrol sumber penghasilan, (3) mengontrol perilaku orang lain, dan bahkan (4) mengontrol
57 nilai-nilai yang dipercayai oleh orang lain itu. Sama dengan Orwell, Gee (1999) dan Jones & Wareing (1999) memandang politik dari pengertian yang bias. Tidak ada tempat dalam kehidupan sehari-hari yang tidak berkaitan dengan masalah politik. Dari pengertian yang sempit, politik dikaitkan dengan "segala sesuatu dan di mana saja interaksi dan hubungan timbal balik antara politisi dan masyarakat". Pandangan seperti ini dapat ditemukan dalam Mueller (1980), Cross (1986), Bosmajian (1986), dan Safire (1986). Penelitian-penelitian ini terpusat kepada bagaimana karakteristik bahasa yang dihasilkan oleh para politisi dalam menjalankan aktivitas politiknya. Istilah politik dalam penelitian ini mengacu kepada pengertian sempit. 2.2.2 Bahasa, Komunikasi, dan Politik Politik bertalian dengan masalah pengaturan masyarakat secara berkekuasaan dan untuk ini diperlukan pengoraanisasian rakyat banyak. Untuk menguasai jalan pikiran orang banyak diperlukan alat komunikasi yang dapat menjangkau semua lapisan masyarakat (Anwar, 1984:58). Pendapat tersebut memberikan pemahaman bahwa bahasa mendapat tempat yang sangat stiategis dalam bidang politik. Bahasa bukan hanya sekedar alat komunikasi, akan tetapi bahasa menjalankan fungsi-fungsi regulatif yang sangat kompleks. Proses politik bukan hanya persoalan "praksis kerja", mengatur orang banyak atas pembagian tugas yang sudah dirinci, tetapi juga "praksis komunikasi", bagaimana mendayagunakan bahasa sebagai alat komunikasi politik yang dapat menjangkau kepada seluruh masyarakat yang memiliki latar belakang yang relatif beragam. Dalam konteks proses-proses sosial, politik, dan kultural, bahasa digunakan untuk mengontrol atau mengendalikan masyarakat melalui pengontrolan makna. Berkait dengan pernyataan ini, Birch (1996:68) secara tegas berpendapat sebagai berikut.
58 "Dimana ada kontrol, di situ terdapat konflik, dan di mana ada konflik di situ selalu politik_ Tidak ada tindak komunikasi, tidak ada masalah yang tampaknya sederhana dan innocent dapat melarikan diri dari politik. Semua komunikasi selalu berkonsekuensi, dalam pengertian bahwa komunikasi selalu memiliki signifikansi di balik bentuk dan struktumya bagi masyarakat dan institusi yang terlibat dalam penyusunan dan penafsiran, tidak hanya pada tindak komunikatif itu sendiri, tetapi juga konsekuensi dari tindak itu."
Dan pendapat Birch di atas dapat ditarik pemahaman bahwa komunikasi selalu berkaitan dengan aktivitas yang memiliki kepentingan dan dimotivasi oleh hasrat tertentu. Komunikasi juga diletakkan dalam perjumpaan (encounters) khusus yang melibatkan partisipan atau orang lain, konteks khusus, dan kerangka-kerangka diskursif khusus. Dan rumusan di atas, menurut Birch (1996:69), dapat diperoleh pemahaman bahwa komunikasi akan selalu berkaitan erat dengan pertanyaan (1) bagaimana komunikasi itu diletakkan, (2) mengapa komunikasi itu diletakkan, (3) di mana komunikasi itu diletakkan, (4) kapan komunikasi itu diletakkan, (5) siapa dan dengan siapa yang meletakkan komunikasi itu, dan (6) untuk apa komunikasi itu diletakkan. Semua pertanyaan itu berkaitan dengan proses komunikasi yang bersifat dinamis dan dialektis dalam konteks historis. Ditegaskan oleh Birch (1996:69) bahwa semua komunikasi diletakkan dalam perjumpaan tertentu, dalam konteks tertentu, dan dalam kerangka diskursif tertentu. Kajian terhadap fenomena komunikasi yang bersifat dinamis itu tidak hanya tertarik pada "apa" komunikasi itu, tetapi kepada "mengapa" komunikasi itu bermakna. Kajian terhadap komunikasi tidak hanya tertarik kepada "apa" makna teks bahasa, tetapi lebih tertarik pada "bagaimana" makna wacana dalam konteks kultural yang lebih luas. Untuk mencapai tujuan kajian itu, pandangan terhadap komunikasi haruslah berangkat dari enam asumsi yang dipaparkan Birch (1996:69) sebagai berikut. Pertama, komunikasi selalu politik sebelum bentuk linguistiknya. Sebelum bentuk-bentuk linguistik itu lahir, kendala-kendala politik, sosial, kultural, dan ideologi akan
59 menentukan pilihan bahasanya. Dalam proses memilih itu, terdapat bentuk-bentuk linguistik yang diistimewakan dan diprioritaskan, sebaliknya ada bentuk-bentuk yang dikemudiankan dan dibuang. Kedua, komunikasi akan selalu motivated, interested, dan situated. Bentuk-bentuk linguistik yang dipilih digunakan untuk mengontrol dan mengarahkan orang lain, membuat makna tentang realitas, mengelompokkan sesuatu dalam realitas, dan sebagainya. Tindak komunikasi selalu bersifat emansipatoris. Tindak komunikasi disusun tidak hanya untuk menginformasikan atau secara sederhana mengatakan sesuatu, tetapi dimotivasi untuk menyempurnakan sesuatu. Jika demikian, komunikasi selalu melibatkan orang lain dalam perjumpaan tertentu. Ketiga, komunikasi selalu strategi. Tindak komunikasi selalu berkaitan dengan "siasat" untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sebelum menjadi bentuk-bentuk linguistik, terdapat pergulatan strategi yang berkait dengan politik, ideologi, kultural, dan sosial dalam menentukan pilihan bahasa yang dimunculkan. Karena itu, tidak ada tindak komunikasi yang tidak berupa strategi. Keempat, komunikasi selalu terjadi dalam perjumpaan dan interaksi tertentu. Tindak komunikasi selalu melibatkan orang lain sebagai bagian dan partisipan komunikasi dengan memanfaatkan bentuk-bentuk linguistik. Dalam komunikasi akan terjadi pertukaran makna antarpartisipan. Oleh karena itu, komunikasi selalu berkaitan dengan interaksi antarpartisipan dalam konteks-konteks tertentu. Kelima, komunikasi selalu berkaitan dengan nilai. Bentuk-bentuk linguistil. yang dipilih akan berkaitan dengan nilai-nilai yang dikembangkan sepanjang waktu. Nilai-nilai itu berkaitan dengan: kekuasaan, subordinasi, gender, solidaritas, dan sebagainya yang
60 tidak bersifat given. Birch (1996:69) menegaskan bahwa nilai-nilai itu selalu hasil dari konflik dan perebutan kekuasaan di atas ketidakberdayaan dan proses-proses penaturalisasian dan penanaman. Keenam, komunikasi selalu bersifat bergantung (contingent). Tindak komunikasi selalu "bergantung" pada cara-cara kelompok, institusi, masyarakat, dan individu memberikan nilai kepada makna-makna tertentu. Dengan demikian, makna selalu berkembang sepanjang waktu. Makna bukanlah sesuatu yang alamiah, tetapi dibangun dalam proses-proses sosial dan politik. Tidak ada makna yang bersifat tunggal, tetapi makna akan selalu bersifat jamak. Enam asumsi kajian komunikasi dari Birch di atas itu sangat cocok menjadi titik tolak dalam kajian terhadap komunikasi politik. Kata-kata kunci dalam komunikasi, seperti "kendala dalam pilihan bentuk linguistis", "motivated, interested, situated", "strategi", "petjumpaan", "nilai", dan "sifat bergantung" dalam karakteristik pokok dalam komunikasi politik. Dalam penelitian ini, enam asumsi Birch di atas juga menjadi titik tolak kajian pembahasan terhadap bahasa politik. Dengan demikian, dalam persoalan politik, komunikasi yang dihasilkan adalah komunikasi yang "tidak ideal" atau "tidak normal", dimana terdapat ketidaksejajaran kekuasaan antara orang pertama (politisi) dan orang kedua (masyarakat awam). Dengan kekuasaan yang dimiliki, para politisi selalu mendayagunakan bahasa untuk kepentingan politik tertentu. Akhirnya, muncul banyak fenomena di mana masyarakat awam sering berbuat kekeliruan, kesalahan, ketidakmampuan, dan ketidaktepatan dalam menafsirkan wacana politik yang dihasilkan oleh para politisi itu. Untuk fenomena seperti ini, Mueller (1980:105) memunculkan istilah "komunikasi terkendala" (constrained communication),
61 yakni komunikasi antara pemerintah (goverment) dan masyarakat awam (public) dan komunikasi publik berkenaan dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan yang sering terjadi bias sistematik untuk kepentingan pemerintah dan pribadi yang membuat sulitnya menemukan pemahaman terhadap komunikasi itu. Dalam kasus wacana politik bahasa Indonesia, fenomena "komunikasi terkendala" itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan politik di Indonesia. Adanya "komunikasi terkendala" itu mungkin saja membuat masyarakat menjadi frustasi. Masih adakah tempat dan kesempatan bagi masyarakat banyak (public) yang notabene objek politik dapat memahami bahasa politik itu? Untuk menjawabnya, perlu juga disimak sebuah pendapat klasik tentang beberapa rambu-rambu bahasa politik bagi para politisi itu agar bahasanya mudah dipahami oleh publik seperti pernah dikemukakan George Orwell pada pertengahan tahun 1940-an. Orwell menyarankan sejumlah kaidah penggunaan bahasa yang seharusnya diikuti oleh para politisi, seluruh pembicara, dan penulis demi kepentingan komunikasi yang jelas, jujur, dan dapat dipahami (Orwell, 1986: 71; Jones & Wareing, 1999:39). Kaidah penggunaan bahasa politik dari Orwell tersebut dipaparkan sebagai berikut. Pertama, jangan menggunakan metafora, simile, atau gaya bahasa lainnya yang sudah usang yang tidak memberikan pencerahan terhadap pemahaman terhadap sesuatu. Menurut Jones dan Wareing (1999:39), kaidah pertama ini adalah peringatan terhadap penggunaan frasa tertentu yang disebut dengan pre-constructed phrases. Frasa-frasa ini umumnya berasosiasi dengan konstruksi linguistic yang penggunaannya diulang-ulang. Dalam persoalan ini, Jones dan Wareing (1999:38) berpendapat bahwa pengulangan frasa tertentu dapat menambah ke arah penyusunan ide-ide yang tampaknya menjadi suatu
62 "pengetahuan umum" atau "akal sehat" (common sense), sebagai bagian dan proses konstruksi ideologi. Orwell mengingatkan bahwa penggunaan frasa tertentu yang berlebihan membuat frasa itu menjadi tidak bermakna. Dengan demikian, penggunaan frasa yang seperti ini tidak membantu penerima memahami konsep tertentu yang sedang dibicarakan, bahkan dapat mematikan masyarakat untuk dapat berpikir secara jelas. Kedua, jangan menggunakan kata yang panjang sementara ada kata yang pendek yang dapat digunakan. Dalam bahasa Inggris, kata yang panjang akan memberikan kesan formal dan bermartabat meskipun kedua kata yang panjang dan pendek itu hanya memiliki sedikit perbedaan makna. Dalam pandangan Jones dan Wareing (1999:40) kata-kata panjang itu sering didayagunakan oleh para politisi untuk tujuan-tujuan (1) menunjukkan autoritas dan superioritasnya, serta (2) mempengaruhi, mengintimidasi, mempesonakan, atau membingungkan peneritna. Ketiga, jika memungkinkan memotong sebuah kata tambahan yang tidak perlu, potonglah kata itu. Teknik lain yang dapat membuat apa yang dikatakan terdengar lebih impresif dan intimidatif serta memiliki pengaruh pada sukarnya sebuah kata untuk dipahami adalah menggunakan kata-kata tambahan atau kata-kata yang tidak perlu (Jones & Wareing, 1999:40). Keempat, jangan menggunakan kalimat pasifjika Anda dapat menggunakan aktif. Menurut Jones dan Wareing (1999:40) penggunaan konstruksi kalimat aktif biasanya lebih langsung dan informatif, sementara itu konstruksi pasif tampak lebih formal dan lebih berhelit yang sering memberikan informasi yang kurang sehingga lebih sukar untuk dipahami. Dalam kalimat aktif, agen cenderung dimunculkan secara langsung dan eksplisit, dalam pasif agen sering dikemudiankan, bahkan sering tidak muncul dalam kalimat.
63 Kelima, jangan menggunakan frasa bahasa asing, kata ilmiah, atau jargon jika Anda dapat menyampaikannya dalam bahasa sehari-hari. Menurut Jones dan Wareing (1999:41) masyarakat menggunakan frasa bahasa asing, kata-kata ilmiah, dan jargon untuk berbagai alasan, baik alasan yang baik maupun alasan jelek. Jika komunikasi itu bertujuan untuk menginformasikan sesuatu secara jelas kepada masyarakat luas, pilihan kata sehari-hari seharusnya menjadi pertimbangan utama bagi penutur. Pilihan kata yang bernuansa prestisius umumnya lebih bersifat afektif daripada informatif. Keenam, langgar kaidah-kaidah itu segera daripada mengatakan sesuatu yang kejam sama sekali. Menurut Jones dan Wareing (1999:41) satu penafsiran dari pernyataan Orwell itu adalah bahwa kaidah-kaidah di atas dilaksanakan dengan gaya: bagaimana sesuatu dikatakan daripada apa yang dikatakan. Akan tetapi, untuk tujuan hidup seharihari, apa yang dikatakan adalah sesuatu yang penting. Sebuah pidato yang diikuti dengan kaidah lima yang pertama, tetapi untuk tujuan penindasan dan korupsi jelas tidak diharapkan mematuhi kaidah lima pertama. Oleh karena itu, menurut Jones dan Wareing (1999: 41), pidato yang seperti itu akan menyakitkan hati Orwell daripada orang yang melanggar lima kaidah yang pertama, tetapi mendukung persamaan dan kebebasan. 2.2.3 Dua Hal Penting dalam Kajian Bahasa Politik Bahasa politik selalu dikaitkan dengan "kekuasaan" dan "ideologi". Hubungan bahasa dan kekuasaan dapat diperhatikan antara lain pada tulisan-tulisan Fowler (1985), Seidel (1985), Anderson (1990), Heryanto (1996), van Dijk (1985), Pabotinggi (1996), serta Hayashi & Hayashi (1995). Hubungan bahasa dan ideologi dapat diperhatikan antara lain pada tulisan-tulisan: Kress (1985), Sykes (1985), Lee (1992), Langenberg (1996), Baik & Shim (1995), dan Fairclough (1995).
64 2.2.3.1 Bahasa dan Kekuasaaan Kekuasaan adalah konsep yang sungguh-sungguh abstrak, tetapi secara tidak terbatas kekuasaan ini sangat penting mempengaruhi kehidupan manusia sehari-hari. Kekuasaan, menurut Fowler (1985:61) adalah kemampuan (ability) yang dimiliki seseorang, lembaga atau institusi dalam mengontrol perilaku dan kehidupan material orang lain. Kekuasaan adalah persoalan hubungan timbal batik antara "penguasa" dan "terkuasai". Misalnya, hubungan timbal balik antara: orang tua x anak-anaknya, bos atau juragan x pekerja, dokter x pasien, pemerintah x masyarakat, tuan rumah x abdi, dan sebagainya. Sementara itu, dalam pandangan Fairclough (1995:1) kekuasaan secara konseptual memiliki dua makna, yaitu (1) ketidaksimetrisan antarpartisipan dalam peristiwa-peristiwa wacana (discourse events), dan (2) ketidaksamaan kapasitas dalam mengontrol bagaimana sebuah teks diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi dalam konteks-konteks sosial budaya tertentu. Pandangan Fowler (1985) memfokuskan pada peran "penguasa", sementara Fairclough (1995) menekankan hubungan antarpartisipan yang ada, yaitu "penguasa" dan "terkuasa". Dengan demikian, dua pandangan di atas menurut hemat kami sating melengkapi satu dengan lainnya. Kekuasaan tidak terpisahkan dan interaksi sosial dan memperoleh maknanya dalam interaksi sosial itu. Beberapa pakar seperti Thorne, Kramane, dan Henley (1983), misalnya, menumuskan bahwa kekuasaan merupakan maujud relasi yang muncul ketika seseorang dibandingkan dengan anggota lainnya yang terlibat dalam interaksi sosial (Hayashi dan Hayashi, 1995:199). Relasi-relasi kekuasaan itu akan amat tampak dalant penggunaan bahasa. Gumperz (1982:6--7) mengklaim bahwa penggunaan kode linguistik yang berbeda menciptakan dan menjaga batas-batas kekuasaan, status, dan peran secara
65 halus serta spesialisasi pekerjaan yang membuat susunan kehidupan sosial kita. Bahasa adalah cara-cara yang biasa dan efektif untuk melaksanakan kekuasaan, bahasa digunakan untuk mengendalikan dan menjaga sumber-sumber sosial, bahkan memperoleh sumber-sumber sosial seseorang. Pandangan tentang "kekuasaan" di atas memberikan pemahaman adanya sebuah "kelas sosial" dan "status sosial" pada partisipan yang terlibat. Secara eksplisit, oleh Guy (1988) kajian kekuasaan dikaitkan dengan kajian bahasa dan kelas sosial. Sementara itu Coates (1995), Cameron (1995), Wolmark (1995) , Swann dan Graddol (1995), dan Caldas-Coulthard (1995) mengkaji kekuasaan dari perspektif gender. Hayashi dan Hayashi (1995) mengkaji kekuasaan dari perspektif unsur serapan bahasa Inggris dalam wacana bahasa Jepang. Penguasa berarti partisipan yang memiliki kelas dan status sosial yang lebih tinggi daripada "terkuasa" yang memiliki kelas dan status sosial yang lebih rendah. Penguasa memiliki kemungkinan yang lebih banyak daripada terkuasa. Perbedaan kekuasaan mengakibatkan perbedaan dalam karakteristik bahasa yang dipilihnya, baik dalam pilihan fonologi, gramatika, maupun leksikal. Rumus umum kekuasaan yang memiliki hubungan timbal balik yang tidak simetris ditawarkan oleh Fowler (1985:61), yaitu "X lebih berkuasa daripada 'Y atau X memiliki kekuasaan di atas Y". Muncullah idiom-idiom, seperti: "older than", "stronger than", dan "richer than". Hubungan yang tidak simetris tampak pada hubungan antara: orang tua dan anak, juragan dan pekerja, dokter dan pasien, pemerintah dan warga negara, dan pewawancara dan pelamar kerja. Satu catatan kritis dikemukakan bahwa hubungan timbal balik kekuasaan itu tidak alamiah dan tidak objektif, hubungan itu adalah artifisial, realitas antarsubjek yang dikonstruksi secara sosial (Fowler, 1985:61).
66 Bahasa merupakan mekanisme utama dalam proses konstruksi sosial. Bahasa digunakan sebagai instrumen konsolidasi dan manipulasi konsep-konsep serta hubungan timbal balik untuk menjalankan kekuasaan dan kontrol itu. Paparan tersebut menegaskan ciri bahasa sebagai praksis sosial (social practice). Pandangan ini, menurut Fairclough (1989:22) mengimplikasikan tiga hal, yakni (1) bahwa bahasa adalah bagian dari masyarakat, bukan di luarnya, (2) bahwa bahasa adalah sebuah proses sosial, dan (3) bahwa bahasa adalah proses yang dikondisikan secara sosial oleh bagian dari masyarakat lainnya yang nonlinguistik. Bahasa tidak hanya digunakan untuk mengeksploitasi keberadaan autoritas dan hak-hak istimewa dengan cara yang jelas, penggunaan bahasa secara terusmenerus mengangkat status dan peran. Penggunaan bahasa untuk praksis sosial, menurut Fairclough (1995:2) dilakukan melalui pilihan kata, metafora, gramatika, presuposisi dan implikatur percakapan, konvensi kesopanan, sistem pengambilan giliran, struktur generik, dan gaya tuturan. Oleh karena itu, untuk melihat kekuasaan dari penguasa, kita dapat menganalisis aspek-aspek linguistik seperti disarankan oleh Fairclough (1995) tersebut. Persoalan hubungan bahasa dan kekuasaan tidak dapat dilepaskan dengan politik. Hal ini sesuai dengan rumusan Seidel (1985:44) yang menyatakan bahwa "the case with political discourse, since the theory and practice of politics and political talk is seen to be primarily concerned with power." Sebaliknya, seperti dirumuskan Wareing (1999:11) satu cara kita dapat melihat bagaimana kekuasaan itu bekerja dalam masyarakat adalah melalui politik. Politik adalah penguasaan terhadap orang banyak dan alat yang efektif untuk digunakan adalah bahasa. Dengan demikian, dalam wacana politik akan terjadi dominasi simbol-simbol kebahasaan dari partisipan yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi atau besar kepada partisipan yang dikuasai, dari "penguasa" terhadap "terkuasai",
67 atau terjadi subordinasi terhadap partisipan yang berada pada posisi rendah oleh partisipan yang lebih tinggi yang memegang kendali. Menurut Habermas, bahasa dipercayai sebagai alat untuk dominasi dan kekuasaan (Latif & Ibrahim, 1996:15). Bahasa dapat membuat orang lain menjadi "hitam" atau "putih", atau yang lainnya. Begitu kuatnya pengaruh bahasa, Baudrillard dengan tegas menyatakan "the real monopoly is never that of technical means, but of speech" (Latif & Ibrahim, 1996:15). Bahasa memiliki kekuatan yang mahadahsyat untuk mengontrol perilaku individu atau masyarakat. Seseorang yang terampil dalam mendayagunakan
dan
merekayasa
kekuatan
bahasa
memiliki
peluang
untuk
menggerakkan orang lain; demikian juga sebaliknya. Dan rumusan bahwa salah satu sifat bahasa adalah "language is human" (Bolinger, 1981:2) maka peranan manusia menjadi pusat dari semua yang berhubungan dengan hubungan bahasa kekuasaan. Manusialah yang dipercayai memiliki simbol-simbol kebahasaan yang unik itu, bahkan mungkin "aneh" yang dapat digunakan untuk mengatur orang lain. Bolinger (1980:68) menyatakan bahwa "guns don't kill people, people kill people" bukan senjata yang membunuh orang, tetapi manusia sendirilah yang membunuh orang'. Yang dimaksud "alat membunuh" dalam pemikiran Bolinger tentunya adalah "bahasa". Melalui bahasa yang digunakannya manusia dapat membuat selamat orang lain; sebaliknya, dengan bahasanya pula manusia dapat membuat celaka orang lain. Dengan demikian terdapat hubungan timbal balik yang tidak simetris (asymmetrical relationship) antarpartisipan da:am komunikasi yang dim'. ati kekuasaan. Partisipan yang satu menguasai dan mengendalikan yang lain, demikian juga sebaliknya partisipan yang satu dikuasai dan dikendalikan oleh orang lain.
68 Bahasa adalah medium untuk dominasi dan kekuasaan. Pendapat Habermas tersebut memberikan pemahaman betapa kuatnya peranan bahasa dalam kehidupan berkekuasaan itu. Bahasa bukan hanya sekedar sebagai alat komunikasi antara individu satu dengan lainnya, antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya, lebih dan itu bahasa sering dimanfaatkan sebagai alat untuk menunjukkan adanya kekuatan-kekuatan tertentu, baik oleh perseorangan, masyarakat, organisasi kemasyarakatan, pemegang kekuasaan, dan sebagainya. Dalam konteks ini, bahasa bukan sebagai alat komunikasi yang netral. Dalam kajiannya tentang "bahasa, kekuasaan, dan emansipasi di Afrika Selatan", de Kadt (1993) mengklasifikasikan "kekuasaan linguistik" ke dalam dua tipe meskipun dengan tanpa batas yang jelas, yakni (1) kekuasaan yang jelas (the overt power), dan (2) kekuasaan yang samar (the covert power) (Hayashi dan Hayashi, 1995:199). Kekuasaan yang jelas dibagi lagi menjadi dua subtipe, yakni (a) kekuasaan pragmatis (the pragmatic power), dan (b) kekuasaan simbolis (the simbolic power). "Kekuasaan pragmatis" bahasa didasarkan pada dominasi komunikatif dan urusan pragmatis dari kaidah wacana, yakni kaidah who speaks what to whom in what situation, in what ways, and with what linguistic codes. Tipe kekuasaan seperti ini berasal dan struktur sosial hirarkhis yang menentukan peran dan status seseorang dalam konteks tertentu dan melibatkan bentuk "konstitutif' bahasa. "Kekuasaan simbolis" bahasa merupakan sebuah interpretif dan melibatkan penghargaan dan prestise. Dalam wacana bahasa Jepang yang mengandung kata serapan bahasa Inggris, misalnya, kekuasaan simbolis akan mengontrol pernbaca melalui etnosimbobs kebudayaan barat, seperti modernitas, kernajuan, dan kecanggihan. Masih berhubungan dengan jenis kekuasaan, dalam penelitiannya terhadap "kekuasaan dan pengaruhnya dari perspektif organisasional", Handy (1993) mengamati ada-
69 nya lima sumber kekuasaan yang prinsip, yakni (1) fisik, (2) sumber daya, (3) posisi, (4) kepakaran, dan (5) personal (Shaw, 1997:189). Kekuasaan "fisik" adalah kekuasaan yang dimiliki individu karena unsur fisiknya yang kuat. Kekuasaan ini umumnya kurang terhormat dan oleh karena itu biasanya kekuasaan ini digunakan sebagai usaha terakhir. Kekuasaan "sumber daya" adalah kekuasaan yang berasal dari pengendalian sumberdaya yang bernilai. Meskipun kekuasaan ini sering identik dengan aspek material, tetapi tidak selalu hams berupa material. Kekuasaan "posisi" atau kekuasaan "institusional" adalah kekuasaan yang dimiliki karena posisi seseorang dalam masyarakat. Kekuasaan ini disebut juga kekuasaan "hukum" atau kekuasaan "legitimasi". Kekuasaan "pakar" adalah kekuasaan yang dimiliki karena kepakaran seseorang. Kekuasaan ini dapat bersifat relatif. Seseorang dinamakan pakar di kelompoknya, sebaliknya is mungkin bukan pakar di kelompok lainnya. Kekuasaan "personal" adalah kekuasaan yang dimiliki seseorang karena karisma atau popularitas. Kekuasaan ini muncul mungkin saja akibat kepemilikan kekuasaan lainnya. Seorang pakar, misalnya, dapat mendatangkan karisma atau popularitas karena kepakarannya itu. Sementara itu, dalam kajiannya tentang "hubungan wacana dan kekuasaan", Fakelough (1989) membaginya menjadi dua, yakni (1) kekuasaan " dalam" wacana, dan (2) kekuasaan "di belakang" wacana. Kekuasaan "dalam" wacana berkenaan dengan wacana sebagai "tempat" hubungan-hubungan kekuasaan dilaksanakan dan diperankan secara aktual. Fairclough (1989:43) memberikan contoh untuk kasus pertama ini, misalnya (1) kekuasaan dalam wacana lisan bersemuka (ace-to-face), (2) kekuasaan dalam wacana lintas budaya yang partisipannya memiliki kelompok etnis berbeda, serta (3) kekuasaan tersembunyi dalam wacana media massa.
70 Kekuasaan "di belakang" wacana memindahkan fokus kepada bagaimana urutanurutan wacana sebagai dimensi urutan sosial dari institusi sosial atau masyarakat disusun dan diangkat lewat hubungan kekuasaan. Fairclough (1989:55--68) memberikan contoh untuk kasus kedua ini misalnya (1) pembeclaan dialek ke dalam "standar" dan "nonstandar", (2) konvensi yang diasosiasikan dengan tipe wacana tertentu, (3) wacana ujian ginaekologis, dan (4) kendala jalan masuk ke wacana dalam sebuah urutan wacana. Fairclough (1989:68--76) menegaskan bahwa kekuasaan itu tidak pernah pasti "dipegang" oleh satu orang atau kelompok sosial karena kekuasaan hanya dapat dimenangkan dan dijalankan di dalam perjuangan sosial dan melalui perjuangan sosial pula yang mungkin saja dapat kalah. Hal ini reievan dengan pendapat Fowler bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang alamiah, tetapi artifisial dan harus diperjuangkan dalam perebutan sosial. Kekuasaan "dalam" wacana mengandung pengertian bahwa wacana adalah situs perjuangan kekuasaan, sementara dalam kekuasaan "di belakang" wacana mengandung pengertian bahwa wacana adalah sesuatu yang dipertaruhkan dalam perjuangan kekuasaan untuk mengendalikan urutan-urutan wacana yang membenarkan atau menyokong kekuasaan. Untuk menyokongnya dapat melalui penguasaan pengetahuan dan kepercayaan, hubungan sosial, dan identitas sosial. Sebagai akhir dari uraian "bahasa dan kekuasaan" ini perlu dikemukakan tiga tipe mekanisme untuk menguasai kekuasaan, seperti dikemukakan Fairclough (1989:75) adalah sebagai berikut. Pertama, tipe-tipe praksis dan wacana yang diikuti secara universal dan perlu diterima secara universal pula, karena tidal; ada alternatif lain yang tampak yang mungkin dapat diterima. Tipe pertama ini umumnya sudah dibangun ke dalam "diri masyarakat" yang diserasikan dengan dimensi pengetahuan dan kepercayaan, hubungan-
71 hubungan sosial, serta identitas sosial. Kedua, koordinasi dapat diadakan dalam melaksanakan kekuasaan dalam cara atau kebiasaan yang sebagian besar tersembunyi, sebagai "kekuasaan di belakang wacana. Mekanisme seperti ini disebut dengan "inkulkasi". Ketiga, koordinasi dapat dicapai melalui proses komunikasi rasional dan debat. Mekanisme seperti ini disebut dengan "komunikasi". 2.2.3.2 Bahasa dan Ideologi Ideologi, seperti dikatakan oleh Dale (1986), adalah sebuah "bunglon" konseptual (Burbules, 1992:7) sehingga rentangan malcnanya juga bervariasi. Makna ideologi juga diwarnai oleh lingkungan teoretisnya. Banyak catatan tentang ideologi memfokuskan pada akibat, khususnya kapasitas ideologi dalam memunculkan atau menekan kepentirgan politik tertentu sehingga mereka gagal dalam memberikan penjelasan terhadap pertanyaan yang lebih fundamental "mengapa masyarakat berangkulant dengan ideologi". Dalam pandangan Geertz ideologi adalah sistem kultural yang merepresentasikan sebuah versi dunia yang membantu masyarakat memaknai lingkungan sekitarnya (Burbules, 1992:7). Karena fungsinya yang penting dalam memaknai lingkungan sekitarnya, ideologi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Dalam realisasinya, ideologi yang dimiliki individu atau kelompok dapat tampak secara eksplisit dan dapat pula bersifat implisit. Istilah "ideologi" sering digunakan untuk menyalahkan atau menuduh suatu komunitas atau kelompok masyarakat yang memegang teori realitas yang palsu atau menyimpang (Fowler, 1986:17). Perspektif ideologi seperti ini lazim muncul dalam dunia politik. Rumusan itu memberikan kesan bahwa ideologi memiliki wajah dan sifat yang angker, kejam, kotor, tidak ilmiah, dan makna negatif lainnya. Penggunaan kata ideologi
72 dalam sinyalemen Fowler di atas telah mengalami peyoratif. Secara semantis, makna ideologi jauh lebih bias dari pengertian tersebut. Makna kata ideologi terentang dari ujung yang paling netral, seperti 'sistem ide' atau 'pandangan dunia' (worldview) sampai kepada konsep "berpihak" yang diperjuangkan oleh kelompok tertentu, seperti 'kesadaran palsu' atau 'ide-ide dominan kelas penguasa' (ruling class). Thomas dan Wareing (1999:192), misalnya, mengartikan ideologi dengan rumusan yang amat singkat, yakni "seperangkat atau pola-pola kepercayaan". Sementara itu Beard (2000:118) merumuskan ideologi dengan "seperangkat ide atau nilai yang dipegang oleh kelompok atau individu". Kedua pendapat itu memiliki kesamaan perspektif yang nonpeyoratif, yakni ideologi sebagai seperangkat ide, nilai, kepercayaan yang dipegang oleh kelompok atau individu. Sebagai terminologis, ideologi merupakan konsep yang mengatasi atau melingkupi bentuk-bentuk pengetahuan yang dihubungkan secara timbal balik dengan struktur kelas, konflik kelas, kepentingan kelas, modus produksi dan struktur ekonomi, dan dengan bentuk-bentuk pengetahuan dalam praksis-praksis sosial tertentu (Kress, 1985:29). Ideologi berkenaan dengan bentuk-bentuk pengetahuan yang dominan dan oposisional sekaligus dalam masyarakat tertentu. Ideologi berkenaan dengan strategi akomodatif. Ideologi berkenaan dengan pengetahuan yang diambil dari posisi historis dan posisi sosial penggunanya. Menurut Magnis-Suseno (1992:230) istilah ideologi dipergunakan dalam banyak arti, namun pada hakikatnya semua arti itu dapat dikeinbalikan pada salah satu atau kombinasi dari tiga arti ideologi berikut. Pertama, arti ideologi sebagai 'kesadaran palsu'. Kata ideologi ini memiliki konotasi negatif, sebagai claim yang tidak wajar, atau sebagai teori
73 yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang memprogandakannya. Minimal ideologi dianggap sebagai sistem berpikir yang sudah terkena distorsi,apakah disadari atau tidak. Biasanya "ideologi" sekaligus dilihat sebagai sarana kelas/kelompok yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya secara tidak wajar. Kedua, ideologi dalam arti yang netral. Pakar filsafat seperti Noerhadi (1989:53), misalnya, memberikan batasan pengertian ideologi dengan "gagasan dan nilai-nilai yang ingin dioperasionalisasikan, dengan demikian ada gerak yang bertolak dari gagasan dan nilai-nilai". Dalam pengertian kedua ini, ideologi merupakan keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap-sikap dasar rohani sebuah gerakan, kelompok sosial atau kebudayaan. Nilai ideologi dipandang dari isinya, kalau isinya baik ideologinya juga baik, kalau isinya buruk ideologinya juga buruk. Pengertian kedua ini banyak dipakai dalam analisis ilmu-ilmu sosial dan filsafat. Ketiga, ideologi sebagai keyakinan yang tidak ilmiah. Arti ketiga ini sebenarnya berharap "netral", tetapi sebenarnya bemada negatif juga karena memuat sindiran bahwa "ideologi-ideologi" itu tidak rasional, di luar hal nalar, jadi merupakan hal kepercayaan dan keyakinan subjektif semata-mata, tanpa kebenaran, tanpa kemungkinan untuk mempertanggungjawabkannya secara objektif. Dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial berhaluan positivistik, misalnya, segala pemikiran yang tidak dapat diverifikasi secara matematislogis, empiris, atau melalui prinsip logiko-hipotetiko-verifikatif disebut ideologi. Ideologi identik dengan sesuatu yang irasional. Dengan demikian, segala penilaian etis dan moral, anggapan-anggapan normatif, begitu pula
dan panam-paham metafisik serta
keagamaan atau filsafat sejarah termasuk ideologi. Penggunaan kata ideologi dalam makna ketiga ini berbau ideologis.
74 Kajian terhadap hubungan bahasa dan ideologi tidak dapat dilepaskan dari kajian tentang bahasa/wacana dan kekuasaan (Kress, 1985; Fowler, 1985,1986; Fairclough, 1989, 1995), bahasa dan perspektif (Lee, 1992), bahasa, kebudayaan, dan pandangan dunia (Hill, 1988). Ideologi sexing dikaitkan dan diidentikkan dengan sesuatu yang menjadi "pengetahuan umum" atau "akal sehat" (common-sense). Fairclough (1989:107), misalnya, menegaskan bahwa akal sehat kewacanaan adalah ideologis dengan kekuasaan yang menyumbang kepada penopangan hubungan kekuasaan yang tidak sejajar, baik langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi, ideologi tidaklah menjadi sifat keakalsehatan. Ideologi tertentu memperoleh statusnya dalam kandah perebutan ideologis yang mengambil bentuk-bentuk perjuangan linguistik dalam institusi sosiai antara tipe-tipe wacana yang berbeda secara ideologis. Dengan demikian, ideologi bukanlah sesuatu yang alamiah yang langsung "ada" dan langsung "jadi", tetapi melalui proses perjuangan. Sebuah wacana yang dominan merupakan subjek untuk proses naturalisasi tempat sebuah wacana muncul untuk mengalahkan ideologi dan kepentingan tertentu dan selanjutnya menjadi akal sehat dalam praksis institusi. Isu-isu ideologi dan kekuasaan juga banyak mendapat perhatian dalam penelitian bahasa dan wacana media massa. Fowler (1985), misalnya, meneliti tempat ideologi dalam wacana penyiaran televisi. Demikian juga, Fairclough (1995) banyak meneliti aspek ideologi dalam hubungannya dengan wacana media massa di Inggris. Sementara itu, Baik dan Shim (1995) meneliti ideologi dalam hubungannya dengan bahasa dan kebudayaan dalain buku paket bahasa Inggris di Korea Selatan. Dalam pemikiran Fairclough (1989; 1995), persoalan ideologi dan kekuasaan merupakan "puncak" dari penelitian analisis wacana (kritis). Menurut Fairclough analisis
75 wacana kritis memiliki tiga dimensi analisis, yaitu (1) analisis teks bahasa, yang memfokuskan pada bahasa tekstual yang sebenarnya, misalnya: kosakata, kalimat, kohesi, dan level makro struktur teks, (2) analisis praksis wacana, yang mengkaji bagaimana sebuah teks dihasilkan, ditafsirkan, dan didistribusikan, serta urutan wacana, dan (3) analisis praksis sosiokultural, yang memfokuskan hubungan praksis kewacanaan dengan masyarakat, institusi, dan kebudayaan, terutama hubungan antara wacana dengan dimensidimensi ideologi dan kekuasaan (Bell, 1995:29). Ideologi juga tidak dapat dilepaskan dan kajian perspektivitas. Menurut Lee (1992:ix) hakikat hubungan antara bahasa, perspektif, dan ideologi adalah sebuah pertanyaan yang sudah lama menggerakkan perhatian para pendengar, bukan saja linguis, melainkan juga filsuf, antropolog, sosiolog, psikolog, ahli semiotik, ahli teori komunikasi, dan ahli teori sastra. Mereka amat menyadari bahwa keberagaman social dan institusional ditetapkan dan diabadikan melalui keberagaman penggunaan linguistik, cara-cara berbicara (ways of speaking) dan cara-cara melihat (ways of seeing) yang berbeda. Nosi wacana adalah cara-cara berbicara dan cara-cara melihat itu. Dalam pandangan Lee (1992) wacana didefinisikan secara simultan dalam "terminologis formal", yakni karakteristik leksikal dan gramatikal, dan dalam "terminologis semantis", yakni sebuah gugusan tipe-tipe makna yang sistematis yang merefleksikan cara-cara membuat makna tertentu tentang dunia. Ideologi juga berkaitan erat dengan kajian bahasa, kebudayaan, dan pandangan dunia. Persoalan ini dikaji dalam disiplin antropologi budaya. Hubungan antara bahasa, kebudayaan, dan pandangan dunia, menurut Hill (1988:14) dapat dilacak asal miiasal intelektualnya dalam "hipotesis Whorr, yakni sebuah teori atau lebih tepatnya hipotesis
76 yang dikemukakan oleh Benjamin L. Whorf yang berbunyi bahwa "bentuk-bentuk makna tercipta dalam pola-pola sintaktis, morfologis, dan fonologis bahasa yang dapat berubahubah lebih kurang tanpa batas dan bentuk-bentuk itu (yang merupakan reifikasi dunia) adalah mediator yang amat kuat bagi pemahaman manusia yang seharusnya dalam gilirannya mengambil rentangan bentuk-bentuk yang lebih kurang tidak terbatas. Pandangan di atas berakar pada pokok pikiran von Humboldt dalam tradisi filsafat Hegelian yang menegaskan bahwa nosi bahasa sebagai perwujudan sebuah pandangan dunia atau weltanschauung yang menengahi antara hakikat realitas dan pemahaman manusia. Perlu ditambahkan di sini bahwa teori tentang "pandangan dunia" dalam antropologi, menurut Hill (1988:25) meliputi paling tidak dua bagian, yakni (1) pandangan dunia berkenaan dengan sistem-sistem adaptasi kultural, dan (2) pandangan dunia berkenaan dengan sistem-sistem pengetahuan kultural. Terdapat dua pandangan dalam hipotesis Whorf. Pertama, pandangan versi kuat yang disebut dengan "determinisme linguistik", yakni sebuah hipotesis yang mengusulkan bahwa bentuk-bentuk bahasa ada sebelum bentuk-bentuk pengetahuan dan pemahaman dan determinatif dari bentuk-bentuk pengetahuan dan pemahaman itu. Manusia tidak dapat membayangkan sebuah jenis pengetahuan yang tidak dikodekan dalam bahasanya. Kedua, pandangan versi lemah yang disebut dengan "relativitas linguistik", yang menyarankan bahwa tidak ada a priori kendala makna tempat bahasa manusia mungkin saja dikodekan, dan kode-kode itu akan membentuk pemahaman yang tidak reflektif oleh penutur sebuah bahasa. Dalam perkembangan selanjutnya, hipotesis versi lemahlah yang mendapatkan tempat dalam kajian-kajian hubungan antara bahasa, kebudayaan, dan pandangan dunia.
77 Dalam praksisnya, ideologi memperoleh artikulasi secara sangat jelas dalam bahasa. Ideologi mendapatkan tempat artikulasi yang sangat leas dalam praksis-praksis sosial yang berbeda. Oleh karena itu, cara yang tepat untuk memeriksa atau menguji struktur ideologi adalah melalui pemeriksaan terhadap bahasa. Para linguis kritis amat percaya bahwa struktur-struktur linguistik dimanfaatkan untuk mengemukakan ideologinya, secara sadar atau secara tidak sadar. Sebaliknya, bentuk-bentuk bahasa dapat dijelaskan melalui analisis kerja ideologi dalam masyarakat. Karena itu, Fairciough (1995:25) menyarankan agar hubungan bahasa dan ideologi seharusnya dikonseptualisasikan dalam kerangka penelitian wacana dan perubahan sosial budaya. Persoalan bahasa dan ideologi bukan persoalan linguistik an sick. Penelitian hubungan bahasa dan ideologi akan "basah kuyup" oleh konteks situasi dan konteks budaya yang melatari. Isi ideologi dalam wacana diekspresikan dalam bentuk linguistik dalam dua cara (Kress, 1985:31). Pertama, ideologi sebagai "tanda" (sign) ditentukan melalui seleksi yang dibuat oleh pembicara atau penults. Tanda-tanda ini dapat dilihat pada pilihan proses leksikal, ketransitifan, modalitas, sintaksis, metafora, dan sebagainya. Cara pertama ini disebut juga dengan indeks aktivitas ideologis (index of ideological activity). Kedua, ideologi sebagai "ekspresi isi" diungkapkan melalui bentuk linguistik dalam konteks bentuk-bentuk lainnya dalam teks. Dalam cara kedua ini, ideologi muncul dalam beberapa level, yaitu (1) level leksikal, dan (2) level gramatikal-sintaktik (Kress, 1995:30). Ekspresi ideologi dalam level leksikal, misalnya, dapat diungkapkan melalui pilihan proses leksikal dan metafora. Ekspresi ideologi claim level gramatikal-sintaktik, misalnya, dapat diungkapkan melalui penggunaan klausa aktif-pasif, modalitas, ketransitifan klausa atau kalimat, dan nominalisasi.
78 Persoalan ideologi dan kekuasaan dalam bahasa banyak mendapat perhatian pada era pascastrukturalisme setelah timbulnya kesadaran akan hakikat bahasa sebagai praksis sosial. Maraknya kesenjangan komunikasi dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik, isu-isu ideologi dan kekuasaan langsung menjadi pusat perhatian. Wacana bukan lagi menjadi sesuatu yang netral yang vakum sosial. Wacana adalah situs perjuangan dan perebutan sosial. Persoalan-persoalan seperti gender, autoritas, ras, profesionalisme, dan ilmu memiliki wilayah wacana tertentu dan memiliki karakteristik tertentu yang menimbulkan adanya ketidaksimetrisan hubungan antarpartisipan. 2.2.4 Tiga Paradigma dalam Kajian Bahasa Politik Menurut Hikam (1996:77) apabila disepakati bahwa sebagian tindakan manusia, termasuk tindakan-tindakan politik, dilakukan lewat dan dipengaruhi oleh penggunaan dan artikulasi kebahasaan, maka sudah sewajarnya apabila bahasa menempati posisi penting dalam telaah ilmu sosial. Beberapa ilmu-ilmu sosial, seperti: sosiologi, teori komunikasi massa, dan ilmu politik, misalnya, akhir-akhir ini semakin intens menggali dimensi kebahasaan dalam kajian-kajiannya. Terdapat tiga paradigma dalam kajian bahasa dan praktik kebahasaan dalam konteks sosial-politik, yakni (1) empirisme-positivisme, (2) fenomenologi, dan (3) pascastrukturalisme yang ketiganya memiliki dasar asumsi, landasan filosofis, metodologi, dan praktik analisis yang berbeda. 2.2.4.1 Paradigma Empirisme-Positivisme Menurut Hikam (1996:78) pemahaman empirisme-positivisme tentang bahasa dan kaitannya dengan kegiatan sosial dan politik, secara genealogis dapat dilacak mulai dari Aristoteles yang kemudian memperoleh rumusannya secara lebih sistematik dan berpengaruh luas di kalangan ilmiah oleh kelompok Lingkaran Wina atau Lingkungan Wina.
79 Dalam pandangan ini, bahasa-dimengerti sebagai refleksi kategori mental-kognitif manusia yang dianggap sebagai salah satu unsur lainnya. Beberapa nama, seperti Russel, Wittgenstein, dan Ayer dan Lingkungan Wina memiliki kesamaan pandangan bahwa bahasa bahasa dilihat sebagai alat bagi analisis terhadap realitas dan diarahkan untuk membongkar rahasia-rahasia secara empiris. Kajian ini lahir memang sebagai reaksi dari filsafat idealisme yang amat mendewakan ide. Da-lam pandangan Moore, misalnya, idealisme bertentangan dengan akal sehat (Bertens, 1987:134). Menurutnya, filsafat harus berpihak pada akal sehat dan alatnya adalah analisis. Bagi Moore, analisis sesungguhnya sama artinya dengan pembeberan pengertian, eksplisitasi, parafrase, berkata dengan kata lain. Bahkan, analisis bahasa melulu bersifat kritik terhadap bahasa yang dipergunakan dalam filsafat. Bahasa yang menjadi pusat kritikan dalam hal ini adalah bahasa filsafat kaum idealis yang dalam pemikiran Moore memiliki banyak kelemahan. Kelemahan-kelemahan itu antara lain (1) kekaburan arti (vagueness), (2) kemaknagandaan (ambiguity), dan (3) ketidakterangan atau ketersiratan (inexplicitness), yang membuat banyak istilah atau ungkapan itu menjadi tidak bermalcna. Beberapa teori yang berlandaskan empirisme-positivisme, seperti teori gambar (picture theory) dan positivisme logis, misalnya, memandang bahasa sebagai "jembatan" antara manusia dengan objek di luarnya. Menurut "teori gambar", bahasa seolah-olah mencerminkan dunia. Apa yang ada dalam bahasa dapat dilacak pada realitas dunia. Inti pemikiran teori dari Wittgenstein ini adalah bahwa realitas harus diselidiki, bukan secara langsung, melainkan lewat bahasa (Bertens, 1987:135; Mustansyir, 1987;54). Sebagaimana bahasa dapat diasalkan kepada unsur-unsur terakhir atau atom-atom logis, demikian pula realitas dapat direduksikan kepada fakta-fakta atomic. Setiap atom logis dalam baha-
80 sa sesuai dengan suatu fakta atomis dalam realitas. Suatu ucapan atomis atau atom logis "melukiskan" suatu fakta logis, sama seperti suatu gambar memperlihatkan relasi tertentu antara benda-benda yang digambarkan. Dalam pandangan ini, tampak jelas adanya pemisahan antara "subjek" dan "objek", antara "pemikiran" dan "realitas". Masih dalam alur yang sama teori "positivisme logis" berpandangan bahwa suatu ucapan yang bukan bahasa tautologi (bahasa logika dan matematika), hanya bermakna jika terdapat sesuatu dalam realitas yang menjadikan ucapan itu benar atau tidak benar (Bertens, 1987:136). Untuk itu berlaku prinsip verifikasi. Sebuah ucapan yang bermakna harus dapat diverifikasikan ke dalam realitas. Ayer, pelopor positivisme logis, misalnya, berpendapat bahwa realitas pada dasarnya dapat disamakan dengan data-data inderawi (sense-data)
(Bertens, 1987:136). Oleh karena itu, positivisme logis berpandangan
bahwa semua ucapan metafisis, etis, estetis, religius, dan sebagainya termasuk ucapan yang tidak bermakna karena prinsip verifikasi tidak mungkin dipakai. Dua teori di atas memberikan pemahaman bahwa pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala dan distorsi, sejauh is dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaktis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Hikam (1996:78) konsekuensinya dalam analisis wacana, orang tidak perlu lagi mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari suatu pernyataan. Yang penting dalam suatu analisis bahasa dan wacana adalah menentukan apakah pernyataan itu di!ontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Pemisahan antara subjek dan objek inilah yang menjadi pusat kritikan yang selanjutnya melahirkan pemahaman tandingan, terutama oleh pengikut fenomenologi.
81 2.2.4.2 Paradigma Fenomenologis Menurut Hikam (1996:80) dalam perspelctif fenomenologi ini bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka serta terpisahkan dari sujek sebagai penyampai pesan. Fenomenologi justru menganggap peran subjek sangat sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosial. Selanjutnya, menurut Hikam, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana, termasuk maksud-maksud yang tidak transparan dan memerlukan interpretasi. Bahasa dan wacana justru diatur dan dihidupkan oleh pengucapanpengucapan yang bertujuan. Pandangan ini bersifat actor oriented. Setiap tindakan berbahasa hakikatnya adalah "penciptaa.n makna", yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari si pembicara. Pandangan fenomenologi seperti di atas dapat dilihat akarnya pada karya-karya, antara lain Husserl, Merleau-Ponty, Ricoeur, Heidegger, dan Levinas. Sebagian besar dari nama-nama itu adalah para pemikir dari Prancis tempat berkembang suburnya fenomenologi. Pandangan ini lahir sebagai reaksi atas filsafat eksistensialisme yang juga berkembang amat pesat di Eropa, khususnya Prancis. Menurut Bertens (1985:354) pemikiran Merleau-Ponty tentang bahasa berkaitan erat dengan pendirian teoretisnya tentang "tubuh". Konsep "tubuh" erat kaitannya dengan "persepsi". Ia menolak pandangan realisme dan idealisme, dua pendirian yang ekstrem, tentang "persepsi". Bagi realisme, persepsi merupakan suatu kejadian objelctif saja. Realisme memutuskan pertalian erat antara "subjek yang mempersepsi dengan dunia yang dipersepsi". Sebaliknya, oleh idealisme dunia diasalkan kepada subjek. Persepsi dianggap sebagai suatu bentuk pemikiran yang kabur, pemikiran yang kurang sempuma. Dalam pandangan Bertens, realisme dan idea-
82 lisme jatuh ke dalam kekhilafan dasar yang sama, yaitu tidak mengakui subjektivitas sebagai "berada dalam dunia". Menurut Bertens (1985:351) kaitan persepsi dan tubuh mudah dimengertib sebab persepsi selalu melibatkan tubuh: persepsi berlangsung dalam dan melalui tubuh. Dalam persepsi, yakni dalam hubungan subjek dengan dunia, tubuh ternyata memainkan peranan sebagai subjek. Tubuh adalah subjek persepsi, atau dalam istilah Merleau-Ponty disebut dengan konsep "tubuh-subjek". Tubuh bukan merupakan semacam alat yang dipakai oleh subjek.Tubuh dan subjek bukan merupakan dua hal, tetapi tubuh sendiri adalah subjek. Tubuh melibatkan kita dalam dunia dan merupakan perspektif kita dalam dunia. Tubuh memberi makna sebagai sesuatu yang khas bagi manusia. Bertingkah laku sebagai manusia berarti menampilkan makna. Pada Merleau-Ponty, bahasa tidak dipandang sebagai suatu fakta yang pada dasarnya berfungsi di luar manusia dan lepas dari manusia. Akan tetapi, bahasa sungguh-sungguh bersatu padu dengan manusia yang bertutur atau menulis (Bertens, 1985:354). Pandangan ini tentu saja-berkonfrontasi dengan aliran empirisme dan intelektualisme. Bagi empirisme, bahasa tidak lain dari sejumlah fenomena fisiologis yang berlangsung menurut hukum-hukum kausal. Bahasa merupakan suatu proses yang bersifat mekanistis melulu. Pandangan ini bersumber pada teori stimulus dan respon. Munculnya kata-kata disebabkan pengaruh stimulus tertentu atas organisme. Makna kata-kata melekat pada rangsangan-rangsangan tersebut. Sebaliknya, bagi intelektualisme, bahasa dipandang sebagai sistem tanda yang bertujuan untuk menyarnpaikan pemikiran batin seseorang kepada orang lain dan dalam proses itu tidak ada pengaruh apa pun dari sarana komunikasi atas pemikiran. Yang penting bukan subjek yang berbicara, tetapi subjek yang berpikir. Satu-
83 satunya sumber makna adalah pemikiran, sedangkan perkataan itu hanyalah gejala sampingan. Bahasa tidak meresapi, tetapi hanya mengiringi pemikiran. Menurut Bertens (1985:354) kedua pandangan di atas pada hakikatnya mempunyai pendirian dasar yang sama, yaitu mereka tidak menerima bahwa kata itu sendiri mempunyai makna. Hal itu karena kedua pandangan itu, melepaskan hubungan yang hidup antara bahasa dan subjek yang berbicara. Padahal, bahasa tidak pernah terlepas dad subjek yang berbicara. Bahasa selalu berlangsung dalam rangka tingkah laku. Dalam pandangan Merleau-Ponty, kata-kata itu sendiri sungguh-sungguh mempunyai makna. Pikiran atau makna tidak mendahului perkataan, tetapi terjelma dalam perkataan itu sendiri. Perkataan dan pikiran tidak mungkin dapat dipisahkan, seperti juga tubuh tidak dapat dipisahkan dari jiwa. Pikiran mendapat kepenuhannya karena terjelma dalam perkataan. Bahasa merupakan "inkarnasi" atau penjelmaan bagi pikiran. Berbicara atau menggunakan bahasa merupakan salah satu bentuk ekspresi. Bahasa hanya mungkin karena tingkah laku manusia bersifat ekspresif. Dalam ekspresi itu manusia mengatasi -dirinya. Maka dari itu, bahasa menyatakan transendensi yang menandai eksistensi manusia. Dengan berbicara manusia mengatasi taraf badani belaka. Merleau-Ponty membuat dikotomi yang cukup terkenal, yakni parole parlee dan parole parlante (Bertens, 1985:356). Parole parlee adalah bahasa yang sudah menjadi milik bersama suatu masyarakat. Bahasa dalam pengertian ini meliputi endapan makna yang disampaikan dad satu manusia ke manusia lain, dari satu angkatan kepada angkatan berikutnya, dart satu generasi ke generasi lainnya. Parole parlente adalah bahasa yang asli yang mencetuskan makna baru. Bahasa ini sanggup mengatakan sesuatu yang belum pernah dikatakan. Parole parlee hanya mungkin karena masih ada parole parlante.
84 Masih satu jalur dengan Merleau-Ponty, Ricoeur juga menekankan pentingnya peranan subjek dalam mengungkap realitas. Ajaran filsafatnya bernama "filsafat kehendak", yang terdiri atas tiga jilid. Menurut Ricoeur manusia selalu terbentur pada oposisi antara kebebasan dan keniscayaan; selalu ada hubungan timbal balik antara yang dike hendaki dan yang tidak dikehendaki. Dan yang tidak dikehendaki itu harus dimengerti dengan bertitik tolak dari subjek, sebab unsur yang pertama ialah bahwa saya mengerti diri saya sebagai "saya berkehendak" (Bertens, 1985:443). Dalam mewujudkan secara konkret terhadap kehendak, Ricoeur membedakan tiga tahap, yakni memutuskan, melakukan, dan menyetujui (Bertens, 1985:444). Tahap pertama meliputi proyek atau rancangan, pilihan, dan motivasi. Tahap kedua yang merupakan tahapan paling fundamental adalah tahapan "saya menggerakkan tubuh saya". Tahap ketiga dipahami sebagai tahap "menerima", membuat sesuatu menjadi miliknya sendiri. Tiga tahap kehendak itu memberikan pemahaman bahwa keberadaan subjek adalah sesuatu yang sentral, subjek yang menyadari, subjek yang berkehendak, subjek yang tidak dapat dipisahkan dari objek. Ricoeur menolak secara tegas setiap konsepsi dualistis tentang manusia, artinya setiap konsepsi yang memandang manusia sebagai keduaan yang terdiri atas tubuh dan jiwa tanpa menghiraukan kesatuannya. Peranan sentral subjek dalam pemikiran Ricoeur itu juga dapat dilihat pada tahap menyetujui. Dalam pandangan Ricoeur, "menyetujui" itu menyangkut faktor yang tidak dikehendaki yang dapat disebut keniscayaan. Bukan keniscayaan yang berhadapan dengan manusia secara objektif, melainkan keniscayaan yang melekat pada subjektivitasnya (Berens, 1985:444; Bertens, 1987:6). Dalam kerangka epistemologi fenomenologi, kunci pokok dalam mencari perkaitan antara bahasa dan tindakan sosial adalah intersubjektivitas karena lewat hubungan
85 inilah pembentukan makna, termasuk di dalamnya pembentukan kenyataan sosial terusmenerus dilakukan oleh anggota masyarakat (Hikam, 1996:80). Bagi mereka, wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dan subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Secara tegas Ricoeur mengemukakan bahwa untuk memahami si pencipta lebih baik daripada is memahami clirinya sendiri adalah dengan cara menampilkan kekuatan-kekuatan pengungkapan yang tersirat dalam wacana melampaui cakrawala keberadaannya (Hikam, 1996:81). Dalam memandang komunikasi, fenomenologi sering mengandaikan sebuah komunikasi yang ideal yang memenuhi beberapa syarat pragmatik universal. Proses komunikasi hanya akan berhasil apabila syarat-syaratnya terpenuhi, antara lain: keterpahaman secara kognitif, kebenaran pernyataan, kejujuran dari pembicara dan pendengar, dan kesesuaian dengan basis-basis normatif para pembicara (Hikarn, 1996:82). Meskipun menggunakan nama "universal", agaknya syarat tidak berlaku pada masyarakat secara umum. Syarat-syarat pragmatik universal itu, tampaknya hanya cocok dengan komunikasi dalam masyarakat rasional dan telah dewasa. Akan tetapi, dalam masyarakat yang penuh dengan ketimpangan dan krisis sosial, ekonomi, politik, dan life world komunikasi yang terjadi dalam masyarakat sering distortif dan semu. Kesentralan posisi subjek untuk memahami realitas sosial dalam paradigma fenomenologi di atas tidak lepas dan kritik. Menurut Shapiro, fenomenologi yang menekankan pentingnya kesadaran dalam proses wacana ternyata masih kurang sensitif terhadap proses produksi dan reproduksi makna yarw terjadi secara histol is maupun institusional, baik lewat praksis di mana para penciptanya berada, maupun lewat pemberian kontekskonteks bagi para pemerhati, penafsir, analis yang antara lain bertugas memberi makna
86 terhadap pengucapan atau perilaku (Hikam, 1996:83). Terdapat dimensi kekuasaan yang sering tersembunyi di batik proses pembentukan wacana yang tidak tersentuh oleh paradigma fenomenologi. Kelemahan dalam memahami wacana secara historis dan institusional ini yang kemudian diperbaiki dan menjadi fokus kajian dalam paradigma pascamodernisme dan pascastrukturalisme. 2.2.4.3 Paradigma Pascastrukturalisme Istilah pascastrukturalisme dan pascamodernisme sering digunakan secara turnpang tindih. Menurut Agger (1991:112), pascastrukturalisme yang dikaitkan dengan nama seorang feminis Prancis, Jacques Derrida, merupakan teori pengetahuan dan bahasa, sedangkan pascamodernisme yang dikaitkan dengan beberapa nama, seperti Foucault, Barthes, Lyotard, dan Baudrillard merupakan teori tentang masyarakat, kebudayaan, dan sejarah. Teori-teori Derrida amat mempengaruhi pemikiran dalam kritik dan teori sastra, serta analisis kebudayaan. Metodologinya yang terkenal, yakni dekonstruksi, bermaksud mengadakan pembongkaran terhadap metafisika. Semua harus dibongkar meskipun itu sudah memperoleh predikat "akal sehat". Pandangan seperti ini banyak dimanfaatkan dalam kajian bahasa yang berparadigma kritis, seperti Fowler, Birch, dan Fairclough. Pandangannya tentang teks banyak berpengaruh terhadap pandangan para kelompok kritis dalam kajian kebahasaan. Dalam pandangan Derrida, setiap "teks" atau "tenunan" menunjuk kepada suatu jaringan teks-teks lain; setiap bagian dalam suatu diskursus menunjuk kepada bagian-bagian lain (Bertens, 1985:494). Kata-kata menunjuk kepada kata-kata lain. Derrida mengaunakan kata "teks" itu daiam arti yang jauh lehh luas daripada arti yang biasa. Menurut Derrida segala sesuatu yang "ada" mempunyai "status teks". Segala sesuatu yang ada ditandai tekstualitas. Tidak ada sesuatu di luar teks. Jika
87 fenomenologi dulu asyik berbicara tentang intersubjektivitas, Derrida sekarang berbicara tentang tekstualitas karena suatu teks tidak pernah terisolasi, tetapi selalu berkaitan dengan teks-teks lain. Menurut Derrida setiap teks adalah sebuah "daerah yang dipeijuangkan" (a contested terrain) dalam pengertian bahwa yang muncul dalam struktur lahir tidak dapat dipahami tanpa referensi kepada persembunyian dan kontekstualisasi makna yang berlangsung secara simultan dengan markah makna teks (Agger, 1991:112). Derrida menekankan bahwa setiap teks menyembunyikan konflik antara suara autoritas yang berbeda (teks dan subjek). Persembunyian dan kontekstualisasi mungkin saja dipandang sebagai "asumsi-asumsi" yang membuat setiap teks dalam dugaan ketika akan dipahami. Akan tetapi, asumsi-asumsi itu ditekan sehingga perhatian pembaca dialihkan dari asumsiasumsi itu. Memproduksi makna hanya dapat dilaksanakan dalam referensi makna-makna lainnya yang berhadapan. Dengan demikian, kita tidak pernah dapat menetapkan makna yang stabil melalui usaha korespondensi antara bahasa dengan dunia yang dibicarakan melalui bahasa. Dalam banyak karangannya, Derrida bersama dengan para pemikir maclz2b Frankfurt menyerang aliran positivisme. Sementara itu, dari pandangan Foucault yang perlu dikemukan pada bagian ini berhubungan dengan wacana atau diskursus (discourse) dan "kuasa" (power), serta ilmu sosial. Dalam pandangan Foucault, wacana selalu berhubungan dengan "kesatuan". Kesatuan suatu diskursus berpangkal pada kesatuan-kesatuan yang ada dan menganggapnya sebagai suatu kurnpulan pernyataan-pernyataan. Foucault tidak mengandaikan hanwa di belakang pernyataan-pernyataan itu terdapat intensi seorang pengarang yang mengakibatkan kesatuan itu (Bertens, 1985:482). Ada berbagai relasi yang mungkin antara beberapa
88 pernyataan atau antara beberapa kelompok pernyataan. Foucault lebih senang berbicara tentang "bentuk diskursif' daripada tentang "ilmu", "teori", dan sebagainya. Untuk mengungkapnya seseorang hams menyelidiki aturan-aturan pembentukannya. Dalam rangka menyelidiki diskursus-diskursus Foucault menggunakan tiga konsep yang saling berkaitan, yakni: positivitas, apriori historis, dan arsip (Bertens, 1985:482). "Positivitas" suatu diskursus atau ilmu adalah apa yang menandai kesatuan diskursus itu dalam suatu periode tertentu sehingga kita dapat mengatakan bahwa dua pengarang berbicara tentang hal yang sama atau sebaliknya dua pengarang berbicara tentang hal yang berlainan. Positivitas merupakan suatu "lingkup komunikasi" antarpengarang. "Apriori historis" berhubungan erat dengan positivitas. Apa yang memungkinkan suatu positivitas oleh Foucault disebut "apriori historis", yaitu keseluruhan syarat-syarat atau aturan-aturan yang menentukan suatu diskursus. Syarat-syarat dan aturan-aturan itu tidak datang dari luar, tetapi menentukan diskursus dari dalam, menentukan perwujudan diskursus itu sendiri. "Arsip" adalah sistem pemyataan-pernyataan yang dihasilkan oleh pelbagai positivitas sesuai dengan apriori historis masing-masing. Arsip adalah sistem pembentukan dan transformasi pernyataan-pemyataan. Dalam konteks ini, arsip dimaknai secara aktif, tidak semata-mata sebagai endapan dokumen seperti yang dimaknai oleh masyarakat pada umumnya, tetapi "arsip" juga memungkinkan timbulnya pernyataan-pernyataan. Setiap diskursus ditentukan oleh apriori historis. Tidak ada diskursus yang statusnya berdiri sendiri tanpa memiliki relasi dengan diskursus lainnva. Masalah "kuasa" menjadi tema terpenting dalam pemikiran Foucault (Bertens, 1985:486). Foucault mengkritik penjelasan hakikat "kuasa" dari pendapat-pendapat sebe-
89 lumnya. Ilmu sejarah, misalnya, sexing berbicara tentang kuasa, tetapi yang dibahas adalah orang-orang yang berkuasa seperti raja-raja dan panglima-panglima atau tentang lembaga-lembaga yang memiliki kuasa seperti negara, parlemen, dan gereja. Mereka kurang mempelajari mekanisme-mekanisme kuasa atau strategi kuasa. Foucault ingin menganalisis strategi kuasa yang faktual. Foucault tidak menyajikan suatu metafisika tentang kuasa (pertanyaan tentang apakah kekuasaan itu), tetapi yang ingin disajikannya adalah mikrofisika tentang kuasa (pertanyaan tentang bagaimana berfungsinya kuasa pada suatu bidang yang tertentu). Kekuasaan, menurut Foucault, sama dengan serba banyak relasi kuasa yang bekerja di salah satu tempat atau waktu. Beberapa pokok pikiran Foucault (dalam Bertens, 1985:487-490) tentang kuasa sebagai berikut. Pertama, kuasa bukanlah milik melainkan fungsi. Dalam pandangan Foucault kuasa tidak dimiliki, tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana banyak posisi yang secara strategic berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran. Kedua, kuasa tidak dapat dilokalisasi, tetapi terdapat di mana-mana. Dalam pandangan Foucault di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu dengan yang lainnya dan dengan dunia, di situ pun kuasa sedang bekerja. Ketiga, kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Dalam pandangan Foucault kuasa tidak bersifat subjektif Kuasa tidak dapat dilihat dari perspektif dialelctis bahwa seseorang menguasai orang lain. Kuasa juga tidak bekerja dengan cara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Kuasa dapat memproduksi realitas; kuasa memproduksi lingkup objek-objek dan ritus-ritus kebenaran. Keempat, kuasa tidak bersifat destruktif melainkan produktif. Kuasa itu produktif; kuasa
90 itu memungkinkan segala sesuatu. Hanya melalui analisis yang berpangkal pada kuasa sebagai kekuatan yang positif dan produktif dapat mengubah sesuatu dalam tatanan sosiopolitik yang faktual. Hanya saja, Foucault sangat menolak anarkhisme. Dal= pandangannya tentang ilmu sosial, Foucault berpendapat bahwa teori sosial pascamodern akan mengamati dunia sosial dari perspektif kelas, ras, gender, dan afiliasi kelompok lainnya (Agger, 1991:116). Teori sosial ini akan menolak klaim totalitas tentang narasi besar seperti Marxisme yang berusaha untuk mengidentifikasikan aksial prinsip struktur yang menjelaskan semua cara fenomena sosial yang berbeda. Pascamodem adalah antireduksionis dan bersifat pluralis, baik dalam prioritas penyebabnya maupun politiknya yang lebih bersifat liberal daripada radikal. Pascamodern tidak percaya dengan radikal dan radikalisme, lebih memilih tersedianya pengetahuan yang tidak hanya bagi sebuah tempat pusat pengetahuan tetapi juga kepada masyarakat yang menggunakan dunia dari perspektif pengalaman mereka yang tidak dapat diperkecil lagi. Menurut Foucault pengetahuan harus dilacak dari wacana atau praksis yang berbeda di mana kerangka pengetahuan diformulasikan dari dalam mereka itu (Agger, 1991: 116). Para sosiolog ilmu mengakui bahwa pandangan Foucault tentang wacana dan praksis seperti nosi paradigma dalam pandangan Kuhn meskipun Foucault lebih menggunakan pengalaman sehari-hari dan bahasa biasa (sehari-hari) dalam mendefinisikan parameter pengetahuan paradigmatik itu. Foucault sudah memberikan kontribusi empiris secara langsung kepada ilmu sosial ketika dia mengkaji wacana atau praksis penjara (1977) dan seksualitas (1978) dengan menawarkan laporan yang kaya dan beragam tentang bagaimana modus pengetahuan dan praksis itu diangkat secara historis melalui cara wacana yang sudah dibuat secara problematis. Meskipun terpengaruh oleh Marxisme, teori Fou-
91 cault menolak analisis kelas Marxis sebagai dualita_s sederhana. Bahkan, dia berpendapat bahwa kekuasaan potensial dapat dijumpai di mana raja. Teori sosial pascamodern memandang bahwa semua pengetahuan dikontekstualisasikan oleh hakikat historis dan kebudayaannya. Ilmu sosial menjadi laporan pengalaman sosial dari perspektif ganda wacana atau praksis daripada penjelajahan kumulatif yang lebih besar yang dilakukan untuk inferensi prinsip umum struktur dan organisasi sosial. Seperti pascastrukturalisme, teori pascamodernisme menolak proyek ilmu sosial universal, kembali kepada modus pengetahuan tertentu yang didefinisikan oleh keserbaragaman posisi subjek dalam masyarakat (Agger, 1991:117). Dalam pandangan Foucault, wacana adalah cara-cara mengangkat pengetahuan bersama-sama dengan praksis sosial, bentuk-bentuk subjektivitas dan relasi kekuasaan yang melekat seperti dalam pengetahuan dan relasi di antara mereka (Weedon, 1987: 108). Wacana lebih dari sekedar cara-cara berpikir dan memproduksi makna. Wacana merupakan hakikat "tubuh" kehidupan, ketidaksadaran dan kesadaran pikiran, serta kehidupan emosional subjek yang dicari. Teori Foucault menekankan aspek historis. Aspek historis dari pandangan Foucault ini sangat mempengaruhi pandanganpandangan Fair-dough (1985; 1989; 1995) tentang analisis wacana kritis. Dalam pandangan pascastrukturalisme, bahasa dipahami bukan lagi sebagai medium netral yang berada di luar pembicara, seperti yang diyakini oleh kaum empirispositivis dan fenomenolog. Bahasa sebagai representasi berperan pula dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu, terna-tema wacana tertentu, maupun stiateai-strateai di dalamnya (Hikam, 1996:83-84). Bila dikaitkan dengan wacana politik, menurut Shapiro, bahasa tidak lagi alat atau medium "netral" seperti dipahami oleh kaum empiris, melain-
92 kan merupakan representasi dalam dirinya sendiri dan hubungan-hubungan politis dan merupakan ruang bagi penggelaran kekuasan-kekuasaan tertentu (Hikam, 1996:84). Di kalangan kaum pascastrukturalis, teori yang demikian disebut sebagai penghampiran "diskursif-praksis" (discursive-practice). Menurut pandangan diskursif-praksis, dalam proses wacana subjek tidak senantiasa menyadari sepenuhnya atau tidak dalam pengendalian mutlak atas apa yang mereka lakukan (Hikam, 1996:84). Diskursif-praksis dapat dipahami sebagai proses produksi dan reproduksi wacana-wacana yang merupakan perkaitan rumit antara tanda-tanda dan praksis yang pada gilirannya mengatur pula eksistensi dan reproduksi sosial. Wacana adalah apa yang memberikan perbedaan-perbedaan substantif terhadap individu-individu sebagai anggota suatu kelompok, kelas sosial, atau himpunan-himpunan sosial lainnya. Teori "diskursif-praksis" tentang wacana amat sensitif terhadap peran yang dimainkan oleh kuasa-kuasa di dalamnya. Menurut Foucault, kuasa dianggap senantiasa berada dalam setiap proses wacana dan is memberikan batasan-batasan tentang apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai di dalamnya, topik apa yang dibicarakan, dan norma-norma serta elaborasi konsep-konsep dan teori-teori apa yang bisa dan sah untuk dipakai (Hikam, 1996:85). Teori ini menolak beberapa asumsi dasar yang sudah dilontarkan oleh paradigma sebelumnya, yakni empirisme-positivisme maupun fenomenologi meskipun beberapa asumsi yang ada juga dipertahankan. Yang ditolak dari empirisme-positivisme adalah pandangannya tentang bahasa sebagai alat kognitif manusia yang bersifat netrai, sedangkan yang dipertahankan adalah proposisi kaum empires yang menganggap setiap pernyataan adalah data yang mandiri atau wilayah praksis otonom yang bisa diterangkan menurut levelnya sendiri. Yang ditolak dari fenomenologi
93 adalah kemandirian sibjek sebagai aktor dalam wacana, sebaliknya yang diterima adalah konsep "jangkar hermeneutika" di mana is memberikan penekanan terhadap "nilai" dari setiap pemyataan dalam rangka mewaspadai muatan-muatan politik yang terpisah pada subjek dan jenis-jenisnya, pada objek-objek wacana, serta hubungan-hubungan yang berkaitan dalam transasksi wacana. Dan ketiga paradigma kajian bahasa dan politik di atas, agaknya teori "diskursifpraksis" yang berinduk pada paradima pascastrukturalisme akan membuka lebih banyak kemungkinan bagi analisis terhadap wacana serta kaitannya dengan praksis politik. Salah satu keunggulan teori ini adalah kepekaannya terhadap keberadaan kuasa pada setiap proses wacana. Dasar berpijaknya adalah bahwa dalam praksis politik jangan mengharapkan terjadi komunikasi yang ideal, di mana antarpartisipan dalam komunikasi memiliki status dan kedudukan yang sama dalam ikut menentukan bentuk wacana sehingga terdapat pembagian kekuasaan yang adil antarpartisipan itu. Sebaliknya, dalam praksis politik, fenomena kesenjangan komunikasi atau komunikasi terkendala adalah suatu fenomena komunikasi yang tidal( dapat terhindarkan. Bahkan, sejak awitl kita sudah berangkat dari asumsi bahwa dalam politik, kesenjangan komunikasi itu selalu terjadi. Dalam kaitannya dengan upaya emansipatoris, sebagai salah satu hakikat penelitian kritis, teori ini akan membantu menunjukkan bukan raja bagaimana makna diproduksi dan direproduksi dalam wacana, tetapi juga bagaimana suatu wacana-tandingan (counter-discourse) dibuat dan ditampilkan (Hikam, 1996:86). Kuasa dalam dirinya senantiasa juga mengandaikar; perlawanan (resistance). Munculnya wacana-wacana pLsetan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, adalah salah satu bentuk adanya wacana tandingan terhadap wacana resmi yang menghegemoni kehidupan social politik masyara-
94 kat. Teori ini juga akan membuka banyak kemungkinan dalam melakukan eksplorasi yang jauh dalam rangka interpretasi makna yang di dalamnya melibatkan pula prosesproses hegemoni dan hegemoni-tandingan (counter-hegemony). 2.3 Pokok-Pokok Pikiran Kritis Pra-Analisis Wacana Kritis AWK mendapatkan banyak pengaruh dari aliran-aliran yang sudah berkembang sebelumnya, baik ilmu sosial maupun ilmu bahasa. Aliran-aliran itu meliputi (1) ilmu sosial kritis aliran Frankfurt, (2) 1 inguistik fungsi onal-si stem ik Halliday (1988; 1978), (3) linguistik kritis Fowler (1985; 1986; 1996). 2.3.1 Teori Kritis: Teori sebagai Praksis dan Emansipatif Pendekatan kritis dalam kajian kebahasaan banyak dipengaruhi dan mendapat inspirasinya dari teori-teori kritis dal am ilmu-ilmu sosial, khususnya filsafat dan sosi ologi meskipun salah seorang tokoh analisis wacana kritis, Fairclough (1995), tidak mengakui adanya pengaruh itu. Teori kritis termasuk ke aliran filsafat neomarxisme--aliran yang pada hakikatnya hanya terbatas pada lingkungan akademik--meskipun oleh kaum Marxis sendiri teori kritis dianggap "murtad" karena jauh meninggalkan paradigma Marxisme. Aliran neomarxisme menolak penyempitan ajaran Karl Marx yang dilakukan oleh Friedrich Engels. Pendekatan kritis dalam pengkajian ilmu-ilmu sosial tidak terlepas dari nama-nama, seperti: Adorno, Horkheimer, Marcuse, Freidrich Pollock, Lowenthal, Benjamin, dan Habermas, dari kelompok aliran Frankfurt. Ajaran yang dipraktikkan oleh aliran Frankfurt dikenal dengan nama "teori kritis masyarakat" atau "teori kritis". Maksud dari teori ini ialah mernbebaskan manusia dari pernanipulasian para teknokrat modern. Menurut Bertens (1983:182) kata "kritis" mengandung dua pengertian. Pertama, kritis terhadap ajaran di bidang sosial yang terdApat pada saat itu, termasuk marxisme or-
95 todoks. Semua ajaran di bidang sosial haruslah dikritisi tanpa kecuali. Kedua, kritis terhadap keadaan masyarakat pada saat itu yang tertindas oleh industri yang selanjutnya sangat memerlukan perubahan yang radikal. Banyak masyarakat yang tidak merasa tertindas oleh kemajuan industri. Mereka merasa menerima begitu saja kemajuan industri itu. Tokoh-tokoh kritis membuat penggolongan ilmu ke dalam dua kelompok, yakni (1) teori tradisional dan (2) teori kritis. Teori kritis lahir dalam rangka menjawab kelemahan-kelemahan "teori tradisional". Menurut Horkheimer, filsafat dan teori-teori tradisional membatasi din pada penggambaran sebuah "dunia" atau "kenyataan" yang objektif, jadi yang ada lepas dari kita, padanya pengertian kita harus menyesuaikan diri (MagnisSuseno, 1992:178). Teori seakan-akan mau melihat apa yang ada, seakan-akan kita sendiri tidak terlibat di dalamnya. Melihat adalah kegiatan dalam distansi, kegiatan dari pihak pengamat yang abstain, dari sudut pihak ketiga. Oleh Horkheimer, teori tradisional seperti ini disebut bersifat "kontemplatif' dan "afirmatif'. Dengan demikian, teori tradisional bersifat ideologic, sebaliknya teori yang "sebenarnya" mesti bersifat kritis yang memiliki sifat-sifat upraksis" dan "emansipatif'. Dalam pandangan tradisional, teori adalah suatu keseluruhan ucapan-ucapan bidang keahlian tertentu yang disusun sedemikian rupa sehingga semua ucapan itu dapat diturunkan dari sejumlah ucapan dasar (Bertens, 1983:182). Dalam kacamata tradisional, ilmu pengetahuan tentang manusia dan masyarakat menganggap ilmu pengetahuan alam sebagai modelnya meskipun mereka mengakui bahwa sistematisitasnya masih amat kurang dalam melihat persoaian-persoalan kernasyarakatan yang terlalu kompleks. Kelemahan pandangan tradisional di alas ialah bahwa mereka memisahkan begitu saja "pemikiran" dari "aksi". Yang dipentingkan oleh teori tradisional hanyalah menyusun
96 suatu sistem prinsip-prinsip yang melukiskan dunia. Mereka menekankan pengetahuan murni, tetapi kurang memperhatikan aksi. Aktivitas dalam konteks teori tradisional dibatasi pada penguasaan teknologis dunia, tetapi aktivitas serupa itu jauh berbeda dengan "praksis". Dalam bahasa Yunani, praksis berarti 'tindakan yang membebaskan'. Menurut van Melsen (1985:14) istilah praksis menunjuk kepada segala perbuatan manusia dalam arti paling luas, termasuk juga penerapan dan penggunaan ilmu pengetahuan teoretis. Kata "praktik" yang sering dipakai sebagai lawan kata "teori" mempunyai arti yang terlalu sempit. Dalam paradigma marxis, kata praksis tidak dipakai sejauh bertentangan dengan teori (seperti yang sering terjadi dalam pemikiran Barat sejak Aristoteles), tetapi dalam praksis justru diandaikan suatu hubungan dialektis antara aksi di satu pihak dan unsurunsur teoretis di lain pihak. Jadi, praksis tidak sama dengan aksi begitu saja. Menurut Bertens (1983:183) praksis adalah aktivitas revolusioner, aktivitas yang mengubah relasirelasi antarmanusia, tetapi tidak dengan cara buta, melainkan berdasarkan pengertian teoretis. Dengan demikian, teori kritis adalah teori dengan maksud praksis. Para pelopor "teori kritis" mengajarkan teori secara beragam. Mereka memunculkan tema-tema yang berbeda meskipun masih berada dalam satu orientasi, yaitu pemberontakan terhadap marxisme-ortodoks dan positivisme. Meskipun begitu, Agger (1991) dan Magnis-Suseno (1992) berpendapat bahwa terdapat benang merah dan ajaran-ajaran aliran Frankfurt ini. Dalam teori kritis paling tidak ada tiga ajaran pokok yang saling berhubungan, yakni (1) teori kritis sebagai teori pembebasan, (2) teori kritis sebagai teori emansipatoris, dan (3) teori kritis sebagai teori peneerahan. Ajaran pertama—teori kritis sebagai teori pembebasan—bertujuan membebaskan manusia dan manipulasi. Teori kritis lahir dalam rangka membebaskan manusia dari pe-
97 manipulasian para telmokrat modem (Magnis-Su.seno, 1992:160). Realitas dalam masyarakat industri modem banyak terjadi pengisapan dan penindasan. Dunia induslri hanya menciptakan suatu kebudayaan yang membanggakan pembangunan fisik, tetapi tidak dapat mengisi kekosongan manusiawi. Menurut Agger (1991) keadaan itu semua karena dunia industri dibangun dari akar tradisi positivisme. Kaum kritis mengajak kita mengembangkan modus kesadaran dan kognisi yang akan memecahkan identifikasi realitas dan rasionalitas, memandang fakta sosial bukan sebagai kendala-kendala yang tidak dapat dielakkan bagi kebebasan manusia, tetapi sebagai seperangkat sejarah yang dapat diubah. Ajaran kedua—teori kritis sebagai teori emansipatoris—mengajak manusia untuk mau mengubah lingkungan yang menindasnya. Ciri khas teori kritis ialah bahwa teori itu tidak bersifat "kontemplatif' saja dan tidak bermaksud untuk menjadi lamunan beberapa filsuf yang jauh dan hidup masyarakat yang nyata. Menurut Magnis-Suseno (1992:162) teori kritis memandang diri sebagai pewaris cita-cita Karl Marx sebagai teori yang menjadi "emansipatoris": teori itu mau mengembalikan kemerdekaan dan masa depan manusia. Teori kritis tidakhanya mau "menjelaskan", "mempertimbangkan", "merefleksikan", "mengkategorikan", dan "menata", melainkan juga mau "mengubah". Yang akan diubah oleh teori kritis bukanlah filsafat, melainkan pemberangusan manusia oleh hasil pekerjaannya sendiri. Dalam konteks ini, Habermas menegaskan bahwa teori kritis membuat transformasi dan "paradigma kesadaran" ke arah "paradigma komunikasi" yang memungkinkan dapat dilakukannya strategi-strategi kritik ideologi, pembangunan masvarakat, dan peinbentukan gerakan sosial menjadi berkembang (Agger, 1991). Perlu juga dikemukakan di sini bahwa Horkheimer dan Adorno dengan tegas menolak segala aktivisme revolusioner
98 (Magnis-Suseno, 1992:167). Revolusi hanya akan mengembalikan represi pada taraf yang lebih menakutkan. Ajaran ketiga--teori kritis sebagai teori pencerahan--bertujuan memberikan pencerahan dan dominasi "akal sehat" dalam kehidupan manusia. Menurut MagnisSuseno (1992:165), teori yang kritis mau menciptakan kesadaran
teori kritis pada
hakikatnya mau menjadi Aufklarung atau pencerahan. Teori kritis akan menyingkap segala tabir yang menutup kenyataan yang tidak manusiawi terhadap kesadaran kits. Dalam pemikiran Magnis-Suseno, dalam masyarakat industri kontradiksi-kontradiksi, frustasi-frustasi, dan penindasan-penindasan tidak lagi tampak (Magnis-Suseno, 1992: 166). Semua segi hidup masyarakat berkongkalikong menimbulkan kesan bahwa semuanya baik adanya, semua kebutuhan dapat dipuaskan, semuanya efisien, produktif, lancar, dan bermanfaat, semuanya tampak bersifat rasional. Teori kritis mau mencoba membuka irasionalitas itu. Dalam pengertian teori kritis, menurut Magnis Suseno (1991) produksi itu sebenarnya tidak untuk memenuhi kebutuhan manusia, melainkan kebutuhan manusialah yang diciptakan, dimanipulasikan demi produksi. 2.3.2 Linguistik Fungsional-Sistemik Halliday: Bahasa sebagai Semiotik Sosial Dalam banyak tulisannya, Halliday selalu mengemukakan konsep "bahasa sebagai semiotik sosial" yang menjadi inti pandangaannya tentang kajian bahasa. Pandangan Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial bahasa, yaitu fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana perkembangannya (Halliday, 1977; 1978; Halliday & Hasan, 1985). Bahasa sebagai salah sate dari sejumlah sistem makna yang lain (seperti sistem tradisi, sistem mata pencaharian, dan sistem sopan santun) secara bersama-sama membentuk budaya manusia.
99 Dalam berbagai pandangannya, Halliday selalu menegaskan bahwa bahasa adalah produk proses sosial. Seorang anak yang belajar bahasa dalam waktu yang sama belajar sesuatu yang lain melalui bahasa, yakni membangun gambaran realitas di sekitar dan di dalamnya. Tidak ada fenomena bahasa yang vakum sosial, tetapi is selalu berhubungan erat dengan aspek-aspek sosial. Dalam proses sosial ini, menurut Halliday (1978:1) konstruk realitas tidak dapat dipisahkan dari konstruk sistem semantic di mana realitas itu dikodekan. Halliday (1978:1) selanjutnya juga merumuskan bahwa "langauge is a shared meaning potential, at once both a part of experience and an intersubjective interpretation of experience. "Dalam komunikasi, berdasarkan pengalaman yang dimilikinya yang bersifat intersubjektif itu, masingmasing partisipan akan menafsirkan teks yang ada. Dalam level yang amat konkret, bahasa tidak berisi kata-kata, klausa-klausa, atau kalimat-kalimat, tetapi bahasa berisi "teks" atau "wacana", yakni pertukaran makna (exchange of meaning) dalam konteks interpersonal. Konteks tempat makna itu dipertukarkan sama sekali bukan tanpa nilai sosial. Konteks tuturan itu sendiri sebuah konstruk semiotis yang memiliki sebuah bentuk yang memungkinkan partisipan memprediksikan fitur-fitur register yang berlaku untuk memahami orang lain. Melalui tindakan makna (act of meaning) sehari-hari, masyarakat memerankan struktur sosial, menegaskan status dan peran yang dimilikinya, serta menetapkan dan mentransmisikan sistem nilai dan pengetahuan yang dibagi. Kajian bahasa sebagai semiotika sosial dalam pandangan Halliday (1977:13-41; 1978:108-126) mencakup sub-sub kajian tentang: (1) teks, (2) konteks situasi,
(3) register, (4) kode, (5) sistem linguistik, dan (6) struktur sosial. Secara singkat, kajian tersebut dipaparkan sebagai berikut. 100 2.2.3.1 Teks Teks merupakari bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi (Halliday dan Hasan, 1992:13). Teks adalah contoh interaksi linguistik tempat masyarakat secara aktual menggunakan bahasa, apa saja yang dikatakan atau ditulis, dalam "konteks yang operasional" yang dibedakan dari "konteks kutipan" seperti kata-kata yang didaftar dalam kamus (Halliday, 1978:109).Teks berkaitan dengan apa yang secara aktual "dilakukan", "dimaknai", dan "dikatakan" oleh masyarakat dalam situasi yang nyata (Halliday, 1978:40). Dalam rumusan lain, Halliday berpendapat bahwa teks adalah suatu pilihan semantis (semantic choice) dalam konteks sosial, suatu cara pengungkapan makna melalui bahasa lisan atau tulis (Sutjaja, 1990:74). Dengan demikian, semua bahasa hidup yang mengambil bagian tertentu dalam konteks situasi dapat dinamakan teks. Beberapa catatan penting berkaitan dengan teks perlu dikemukakan. Pertama, teks pada hakikatnya sebuah unit semantis. Teks adalah sebuah konsep semantis. Menurut Halliday (1978:135) kualitas tekstur tidak didefinisikan oleh ukuran. Meskipun terdapat pengertian teks sebagai sesuatu di atas kalimat, dalam pandangan Halliday hal ini secara esensial salah tunjuk pada kualitas teks. Ditegaskan oleh Halliday (1978:135) dalam kenyataannya kalimat-kalimat itu lebih merupakan "realisasi teks" daripada merupakan sebuah teks itu sendiri. Sebuah teks adalah unit semantis yang "tidak tersusun" dari kalimatkalimat atau klausa, tetapi "direalisasikan" dalam kalimat-kalimat. Kedua, teks dapat memproyeksikan makna pada level yang lebih tinggi. Menurut Halliday (1978:138) sebuah teks selain dapat direalisasikan dalam level-level sistem li-
nguistik yang lebih rendah (seperti sistem leksikogramatis dan fonologis) juga merupakan realisasi dan level yang lebih tinggi dari interpretasi, kesastraan, sosiologis, psikoanalitis,
101 dan sebagainya yang dimiliki oleh teks itu. Level-level yang lebih rendah ini memiliki kekuatan untuk memproyeksikan makna pada level yang lebih tinggi, yang oleh Halliday diberi istilah "latar depan" (foregrounded) (Halliday, 1978:138). Ketiga, teks pada hakikatnya sebuah proses sosiosemantis. Halliday (1978:139) berpendapat bahwa dalam arti yang sangat umum sebuah teks adalah sebuah peristiwa sosiologis, sebuah perjumpaan semiotis melalui makna-makna yang berupa sistem sosial yang sedang dipertukarkan. Anggota-anggota individu adalah seorang "pemakna". Menurut Halliday (1978:139), melalui tindak-tindak pemaknaan antara individu bersama pemakna individu lainnya, realitas sosial diciptakan, dijaga dalam urutan yang baik, dan secara terus-menerus disusun dan dimodifikasi. Fitur esensial sebuah teks adalah adanya interaksi. Dalam pertukaran makna itu terjadi perjuangan semantis (semantic contest) antara individu-individu yang terlibat. Karena sifatnya yang "perjuangan" itu, makna akan selalu bersifat ganda, tidak ada makna yang bersifat "tunggal" begitu saja. Keempat, situasi merupakan faktor penentu teks. Menurut Halliday (1978:141) makna diciptakan oleh sistem sosial dan dipertukarkan oleh anggota-anggota masyarakat dalam bentuk teks. Makna tidak diciptakan dalam keadaan terisolasi dari lingkungannya. Bahkan, secara tegas dirumuskan oleh Halliday bahwa makna adalah sistem sosial. Perubahan dalam sistem sosial akan direfleksikan dalam teks. Situasi akan menentukan bentuk dan makna teks. 2.3.2.2 Konteks Situasi Situasi adalah lingkungan tempat teks datang pada kehidupan (Halliday, 1978: 109). Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks diucapkan. Suatu pemerian yang lengkap perlu diberikan
102 perian tentang latar belakang budayanya secara keseluruhan, bukan hanya hal yang sedang terjadi, tetapi juga sejarah budaya secara keseluruhan yang ada di belakang para pemeran dan kegiatan yang terjadi. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya diperlukan pemahaman akan konteks situasi dan konteks budayanya. Dalam pandangan Halliday, konteks situasi terdiri atas tiga unsur, yaitu (1) medan wacana , (2) pelibat wacana, dan (3) sarana wacana (Halliday, 1978:110). Jones et al. (1989:258) memandang medan wacana (field of discourse) sebagai konteks situasi yang mengacu kepada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar institusional tempat satuan-satuan bahasa itu muncul. Pertanyaan umum yang dapat dimunculkan dalam menganalisis medan wacana adalah what is going on. Dalam medan wacana terdapat tiga hal yang perlu di ungkap, yakni (1) ranah pengalaman, (2) tujuan jangka pendek, dan (3) tujuan jangka panjang (Butt et aL, 1995:130). Ranah pengalaman adalah persoalan ketransitifan yang mempertanyakan apa yang terjadi dengan seluruh "proses", "partisipan", dan "keadaan". Tujuan jangka pendek bersifat amat konkret yang mengacu kepada tujuan yang-harus segera dicapai dalam produksi teks. Tujuan jangka panjang adalah tujuan yang lebih abstrak yang mengacu kepada tempat teks dalam skema suatu persoalan yang lebi h besar. Jones et al. (1989:258) memandang pelibat wacana (tenor of discourse) sebagai konteks situasi yang mengacu kepada hakikat hubungan timbal balik antarpartisipan termasuk pernahaman peran dan statusnya dalam konteks sosial dan linguistis. Pertanyaan umum yang dapat dimunculkan dalam menganalisis pelibat wacana adalah who is taking part. Dalam pelibat wacana terdapat tiga hal yang perlu diungkap, yakni (1) peran agen atau masyarakat, (2) status sosial, dan (3) jarak sosial (Butt et al., 1995:130). Peran,
103 status, dan jarak sosial dapat bersifat sementara dan dapat pula bersifat permanen. Peran agen atau masyarakat adalah peran-peran yang dijalankan oleh penutur dan penerima. Status adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang lain, sejajar atau tidak. Yang terakhir, jarak sosial mengukur seberapa baik partisipan mengenal partisipan lainnya, apakah berbicara secara akrab atau memiliki jarak. Jarak sosial merupakan konstruk afektif. Holmes (1989:205) membedakan jarak sosial menjadi tiga, yakni (1) intimates (teman dekat dan akrab), (2)friends (teman atau kolega biasa), dan (3) strangers kenalan jauh dan tamu). Jarak sosial akan menentukan pilihan kode komunikatifnya. Jones et al. (1989:258) memandang sarana wacana adalah konteks situasi yang mengacu kepada bagian bahasa yang sedang dimainkan dalam situasi termasuk saluran yang dipilih, apakah lisan atau tulisan. Pertanyaan umum yang dapat dimunculkan dalam menganalisis sarana wacana adalah what's role assigned to language. Dalam sarana wacana terdapat lima hal yang perlu diungkap, yakni (1) peran bahasa, (2) tipe interaksi, (3) medium, (4) saluran, dan (5) modus retoris (Butt et al., 1995: 131). Peran bahasa dapat bersifat konstitutif dan dapat juga bersifat penyokong atau tambahan (ancillary). Peran konstitutif terjadi jika bahasa sebagai aktivitas keseluruhan. Peran penyokong terjadi jika bahasa membantu aktivitas lainnya. Tipe interaksi mengacu kepada apakah teks itu diucapkan oleh satu orang (monologis) atau diucapkan dengan partisipan lainnya (dialogis). Medium berkaitan dengan apakah teks itu berupa lisan, tulisan, atau isyarat. Saluran berkaitan dengan bagairriana teks itu dapat diterima, mungkin saja fonis atau grafis, atau visual. Modus retoris mengacu kepada "perasaan" teks secara keseluruhan, mungkin saja persuasif, kesastraan, pengajaran, mantra, dan sebagainya.
104 2.3.2.3 Register Istilah register kali pertama digunakan dalam pengertian 'keberagaman teks'. Register merupakan konsep semantis yang dapat didefinisikan sebagai suatu susunan makna yang dihubungkan secara khusus dengan susunan situasi tertentu dan medan, pelibat, dan sarana (Halliday dan Hasan, 1992:53). Register adalah variasi semantis di mana sebuah teks dipandang sebagai contoh (Halliday, 1978:110). Sementara itu, Richards, Platt, dan Platt (1992:312) mengartikan register dengan dua rumusan. Pertama, register disamakan dengan gaya (style), yakni variasi dalam tuturan atau tulisan seseorang. Gaya umumnya bervariasi dari yang bersifat akrab sampai formal menurut tipe situasi, orang atau pribadi yang dituju, lokasi, topik yang didiskusikan, dan sebagainya. Kedua, register adalah variasi tuturan yang digunakan oleh kelompok tertentu yang biasanya memiliki pekerjaan yang sama atau kepentingan yang sama. Register dapat diketahui dan karakteristik leksikogramatis dan fonologis yang secara khusus menyertai atau menyatakan makna-makna tertentu.
bentuk leksikon, gramatis, dan
fonologis tertentu menjadi penunjuk suatu register tertentu. Register politik, misalnya, memiliki karakteristik yang membedakan dengan register akademik. 2.3.2.4 Kode Istilah kode yang digunakan dalam teori ini senada dengan kode yang digunakan dalam kajian-kajian Bernstein. Kode merupakan prinsip organisasi semiotik yang mengatur pilihan makna oleh penutur dan penafsiran pendengar (Halliday, 1977:22). Dalam kajian sosiolinguistik dan kedwibahasaan misahiya, kode digunakan unalk meinberikan nama umum kepada semua penggunaan ragam, dialek, dan bahasa dalam komunikasi. Kode berada di atas sistem linguistik. Menurut Halliday (1978:111) kode diaktualisasikan
105 dalam bahasa melalui register. Kode menentukan orientasi semantis penutur dalam konteks sosial tertentu. Bernstein (1971) membagi penggunaan kode bahasa atas dua golongan utama, yaitu (1) kode lengkap dan (2) kode terbatas. Menurut Wardhaugh (1986:317) menggunakan kode lengkap berarti (1) menggunakan aturan gramatika yang akurat dan kalimat yang akan mengatur apa yang dikatakan, (2) menggunakan kalimat-kalimat kompleks dengan menerapkan rentangan piranti-piranti konjungsi dan subordinasi, (3) menerapkan preposisi untuk menunjukkan hubungan-hubungan waktu dan logis, (4) menunjukkan keseringan menggunakan pronomina orang pertama tunggal (/), (5) menggunakan dengan seksama rentangan ajektiva dan adverbial secara luas, serta (6) menyediakan ucapanucapan yang memenuhi syarat. Dalam kode lengkap emosi cenderung untuk dikuasai dan rasionalitas dijadikan ukuran penggunaan bahasa. Sebaliknya, kode ringkas kurang memperhatikan unsur-unsur intelektual dan rasionalitas. Menurut Wardhaugh (1986:317) menggunakan kode ringkas berarti (1) menggunakan kalimat yang secara gramatikal sederhana dan pendek serta bentuk kalimat yang miskin dan tidak lengkap, (2) menggunakan sedikit konjungsi yang sederhana dan diulang-ulang„ (3) menggunakan sedikit subordinasi, cenderung ke arah presentasi informasi yang dilepaskan, (4) menggunakan ajektif dan adverbial secara kaku dan terbatas, (5) j arang menggunakan subjek pronomina impersonal, (6) mengacaukan alasan dan kesimpulan, (7) sering memunculkan permohonan sirkularitas "simpatik" (misalnya: You know), (8) sering menggunakan idiom, serta (9) menggunakan sebuah bahasa dengan makr.a implisit. Kode ini lebih bersifat menyederhanakan jalan pikiran, menekankan emosi dan bukan menekannya.
106 2.3.2.5 Sistem Linguistik Sistem linguistik terdiri atas tiga tingkatan, yaitu semantik, leksikogramatikal, dan fonologis dengan menempatkan sistem semantik menjadi "perhatian utama" dalam konteks sosiolinguistik (Halliday, 1978:111). Penekanan pada aspek semantik ini memberikan pengertian bahwa kajian semiotik sosial ini lebih berupa kajian "fungsional" daripada "kognitif". Dalam pandangan fungsional, sistem semantik berkaitan dengan tiga fungsi, yaitu ideasional, interpersonal, dan tekstual. Komponen ideasional mengacu pada kekuatan makna penutur sebagai pengamat (Halliday, 1978:112). Hal ini merupakan fungsi isi bahasa atau bahasa sebagai "about something". Komponen ini menginformasikan bahwa melalui bahasa seorang penutur menyandikan atau mengkodekan pengalaman kulturalnya dan pengalaman indivi du sebagai anggota kebudayaan tertentu. Dalam komponen ideasional, bahasa memiliki fungsi representasi. Bahasa digunakan untuk mengkodekan pengalaman manusia tentang dunia. Bahasa digunakan untuk membawa gambaran realitas. Komponen interpersonal mengacu pada kekuatan makna penutur sebagai "penyelundup yang ikut campur" (Halliday, 1978:112). Hal ini merupakan fungsi partisipasi bahasa
atau
bahasa
sebagai
"doing
something".
Komponen
interpersonal
menginformasikan bahwa penutur "menyelundupkan" dirinya ke dalam konteks situasi, baik dalam rangka ekspresi sikap dan keputusan yang dimilikinya maupun mencoba mempengaruhi sikap dan perilaku orang lain. Dalam komponen interpersonal, bahasa memiliki fungsi interpersonal. Bahasa digunakan untuk mengkodekan interaksi dan menunjukkan
bagaimana
kita
mendapatkan
proposisi-proposisi
itu.
mengkodekan makna-makna tentang sikap, interaksi, dan hubungan timbal balik.
Bahasa
107 Komponen tekstual mengacu pada kekuatan pembentukan teks (text-forming) penutur yang membuat teks bahasa menjadi relevan (Halliday, 1978:112). Komponen tekstual menyediakan tekstur yang membuat perbedaan antara bahasa yang diperlakukan bebas konteks dengan bahasa yang dioperasionalkan dalam lingkungan konteks situasi. Dalam komponen tekstual, bahasa memiliki fungsi tekstual. Bahasa digunakan untuk mengorganisasikan makna-makna pengalaman dan inter-personal kita ke dalam bentuk yang linear dan koheren. 2.3.2.6 Struktur Sosial Dalam pandangan Halliday (1978:113-114) struktur sosial disangkutkan ke dalam teori sosiolinguistik atas dasar tiga titik pijak hubungan, yakni (1) hubungan struktur sosial dengan konteks sosial, (2) hubungan struktur sosial dengan pola-pola hubungan sosial, dan (3) hububungan struktur sosial dengan kelas atau hirarki sosial. Struktur sosial menetapkan dan memberikan arti kepada berbagai jenis konteks sosial tempat makna-makna itu dipertukarkan (Halliday, 1978). Kelompok sosial dan jaringan komunikasi yang berbeda sangat menentukan bentuk-bentuk karakteristik konteks situasi. Sebagai contoh, hubungan antara status dan peran pelibat (tenor) secara jelas akan menghasilkan struktur sosial tertentu, dapat berupa struktur sosial yang koordinatif-egalitarian atau subordinatifberjenjang. Pola-pola linguistik yang digunakan sebagai sarana retoris menunjukkan ciri sarana wacana yang diasosiasikan dengan "strategi". Melalui perwujudannya dalam jenis-jenis hubungan peran dalam sistem keluarga, misalnya, struktur sosial akan menentukan berbagai pola-pola hubungan keluarga. Dal= hubungan keluarga, struktur sosial juga akan mengatur makna dan ragam-ragam makna dalam konteks-konteks sosial yang tersedia (given social contexts). Struktur sosial yang
109 hami sesuatu yang lain. Dengan demikian, sebuah linguistik instrumental memiliki relevansi karakteristik dengan tujuan yang akan digunakan. Dalam linguistik instrumental, dengan demikian, juga mempelajari hakikat bahasa sebagai fenomena keseluruhan. Oleh karena itu, menurut Halliday (1978:36), tidak ada konflik atau kontradiksi antara "linguistik instrumental" dengan "linguistik autonom". Linguistik instrumental adalah kajian bahasa untuk memahami sesuatu yang lain, misalnya sistem sosial. Linguistik autonom adalah kajian bahasa untuk memahami sistem linguistik itu sendiri. Fowler (1979) sudah merumuskan sebuah analisis wacana publik, yakni sebuah analisis yang dirancang untuk (1) memperoleh atau menemukan ideologi yang dikodekan secara implisit di belakang proposisi yang jelas (overt propositions), dan (2) mengamati ideologi secara khusus dalam konteks pembentukan sosial (Fowler, 1996:3). Piranti-piranti untuk menganalisisnya adalah seleksi gabungan dari kategori deskriptif yang sesuai dengan tujuannya, khususnya struktur-struktur yang diidentifikasikan Halliday sebagai ideasional dan interpersonal. Linguistik kritis juga mengambil tradisi linguistik lainnya, misalnya saat menganalisis tindak-tindak ujaran dan transformasi. Dalam perkembangannya, linguistik kritis banyak mengalami hambatan, khususnya dalam persoalan pengakuan status keilmuannya. Dalam hubungannya dengan linguistik autonom, seperti gramatika generatif-transformatif, linguistik kritis dipandang bukan sebagai linguistik (Fowler, 1995:5). Dalam kancah linguistik fungsional yang lebih liberal yang mengizinkan aplikasi dan penyesuaian teori untuk persyaratan aplikasi itu, linguistik krAis adalah praksis yang sat) dan logis yang tidal: memerlukan bairvaic pembelaan tertentu (Fowler, 1996:5). Dengan demikian, linguistik fungsional tidak hanya menvediakan tiang penyokong teoretis untuk linguistik kritis, tetapi juga menawarkan suasana inte-
110 lektual dan politis pendukung untuk pelaksanaan serta pengembangan linguistik kritis. Untuk tujuan linguistik kritis, buku An Introduction to Functional Grammar (Halliday, 1985; 1994) menawarkan kurang lebih dari yang diperlukan meskipun linguistik kritis tidak memerlukan seluruh detail. Jika saja daerah metodologis tertentu kurang dapat diacu atau kurang relevan dibedah dengan linguistik fungsional, linguis kritis akan memanfaatkan piranti dari model lain. Senada dengan pandangan ilmu sosial kritis, ilmu bahasa yang nonkritis oleh para linguis kritis disebut ilmu bahasa tradisional. Menurut Steiner (1985), teori linguistik (strukturalis) tradisional telah memberikan klaim penjelasan tentang proses-proses komunikasi, tetapi usaha yang dilakukannya bersifat "sekilas" pada komunikasi aktual dan interaksi kultural di tengah masyarakat (Birch, 1996:64--65). Mereka sering melupakan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan (1) mengapa penutur atau penulis berkeinginan berbicara atau menulis, (2) apa yang mereka inginkan dari berbicara atau menulis, dan (3) bagaimana mereka berbicara atau menulis. Dengan mengkOnsentrasikan pemahaman pada sistem bahasa (longue) sebagai sistem yang otonom daripada mengkonsentrasikan dalam wacana bahasa aktual sebagai bagian struktur dan proses sosial, linguistik telah gagal untuk menjawab "bagaimana" makna teks (Birch, 1996:65). Analisis teks dalam linguistik tradisional berpendapat bahwa (1) struktur bahasa-entah bagaimana--dapat dipisahkan dari penggunaan bahasa dan (2) komunitas bahasa tertentu memiliki gramatika bahasa tertentu yang ada sebelum proses-proses sosial (preexits cocral processes) (Birch, 1996:67). Pendapat tersebut secara tersirat berakar dari pandangan empirisme dan positivisme logis dalam kajian bahasa yang sangat diagungagungkan oleh kelompok pemikir Lingkaran Wina. Implikasi dari pandangan itu adalah
111 bahwa (1) bahasa itu ada terpisah dan masyarakat penggunanya, dan (2) bahasa serta penggunaannya dalam masyarakat secara relatif ad hoc dan sering arbitraris dalam proses pembuatan maknanya. Menurut Birch (1996:67--68) terdapat persoalan dalam pandangan tradisional di atas sebab bentuk-bentuk bahasa yang kita gunakan tidaklah secara bebas dipilih. Individu sering berada dalam situasi yang terkendala oleh struktur sosial yang melingkupinya. Pandangan senada juga dapat ditemukan dalam Fowler (1986) dan Fairclough (1989). Sebelum menentukan pilihan kata atau kalimat tertentu, misalnya, penutur mesti berpikir untuk memilih kata-kata yang cocok sesuai dengan konteks lokal, bahkan konteks global. Dalam budaya Jawa, misalnya, sangatlah tidak tepat memilih bentuk kalimat aktif untuk tujuan imperatif. Terdapat faktor di luar dirinya yang bersifat determinatif, unsur yang ikut menentukan pilihan bahasanya. 2.3.3.1 Pengertian Istilah Linguistik kritis merupakan kajian ilmu bahasa yang bertujuan mengungkap hubungan antara kekuasaan tersembunyi (hidden power) dan proses-proses ideologis yang muncul dalam teks-teks lisan atau tulisan (Crystal, 1991:90). Analisis linguistik belaka diyakini tidak dapat rnengungkapkan signifikansi kritis. Menurut Fowler (1986:6) hanya analisis kritis yang merealisasikan "teks sebagai modus wacana" serta memperlakukan teks sebagai wacana yang akan dapat melakukannya. Linguistik kritis mengajak membicarakan arah teori bahasa dalam fungsi yang penuh dan dinamik dalam konteks-konteks historis, sosial, dan retoris. Dalam hubungannya dengan makna struktur linguistik, sesuatu yang amat fundamental dalam pandangan Fowler adalah terdapatnya fungsi hubungan antara konstruksi
112 tekstual dengan kondisi-kondisi sosial, institusional, dan ideologis dalam proses-proses produksi serta resepsinya. Struktur-struktur linguistik digunakan untuk mensistematisasikan dan mentransformasikan realitas. Oleh karena itu, dimensi-diniensi sejarah, struktur sosial, dan ideologi adalah sumber utama pengetahuan dan hipotesis dalam kerangka kerja kritisisme linguistik (Fowler, 1986:8). Linguistik kritis amat relevan dipergunakan untuk menganalisis fenomena komunikasi yang penuh dengan kesenjangan, yakni adanya ketidaksetaraan hubungan antarpartisipan, misalnya komunikasi dalam politik, hubungan antara atasan dan bawahan, komunikasi dalam wacana media massa, serta hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam politik gender. Menurut Fowler (1996:5) model linguistik ini sangat memperhatikan penggunaan analisis linguistik untuk membongkar misrepresentasi dan diskriminasi dalam berbagai modus wacana publik. Topik-topik yang diteliti meliputi masalah-masalah, seperti: (1) seksisme, (2) rasisme, (3) ketidaksamaan dan ketidakadilan dalam pendidikan, pekeijaan, pengadilan, dan sebagainya, (4) perang, (5) senjata nuklir dan kekuatan nuklir, (6) strategi politik, dan (7) praksis komersial. Menurut Fowler (1986:37) kritisisme linguistis memiliki dua tujuan. Pertama, kritisisme bertujuan "demistifikasi" (demystification), yakni demonstrasi praksis terhadap bahasa yang digunakan dengan menghadirkan konsep-konsep parsial. Demonstrasi ini diarahkan kepada bahasa yang tampak tidak berdosa (innocent) dan alamiah. Kedua, kritisisme bertujuan "pengujian diri" (self-examination) dan "ketajaman perhatian" (alertness) untuk menembus wacana yang kita miliki yang memungkinkan kita ke arah "refleksi" serta mengizinkan kita untuk memberantasnya atau melawannya. Dalam rumusan lain, secara umum, menurut Fowler (1996:5), linguistik kritis bertujuan untuk "defamili-
113 arisasi" (defamiliarisation) dan "pemunculan kesadaran" (consciousnessraising). Konsep defamiliarisasi dioposisikan dengan konsep "pembiasaan" (habitualization). Menurut Fowler (1986:8) istilah pembiasaan didasarkan pada prinsip solid dalam psikologi makna. Sebuah makna menjadi "mapan" dalam pikiran anggota masyarakat sampai-sampai makna itu dikodekan dalam bentuk-bentuk ekspresi yang konvensional yang sering digunakan dan sangat dikenal dalam kehidupan sehari-hari. Fowler menunjukkan bagaimana praksis kritis linguistik dapat memecahkan pengkodean konvensional dan mempromosikan suatu "defamiliarisasi" agar selanjutnya muncul sebuah kesadaran akan begitu dahsyatnya kekuatan struktur linguistik itu. 2.3.3.2 Beberapa Pokok Pikiran Beberapa pokok pikiran yang penting dikemukakan sebagai berikut. Pokok pikiran pertama--pilihan bahasa dan kendala nonlinguistis--membawa kepada pemahaman bahwa bentuk-bentuk bahasa digunakan individu tidak secara bebas dapat dipilih. Menurut Birch (1996:67) pilihan bahasa dibuat menurut seperangkat kendala-kendala politis, sosial, kultural, danideologi. Implikasinya adalah bahwa masyarakat dapat dimanipulasikan, dikehendaki dalam aturan yang baik, dan dinilai peranan dan status bawahan serta atasan melalui sistem strategi-strategi sosial yang melibatkan aspek-aspek: kekuasaan, aturan, subordinasi, solidaritas, kohesi, antagonisme, kesenangan, dan sebagainya yang semuanya merupakan bagian in-tegral dan sistem kontrol terhadap masyarakat. Menurut Menz (1988) makna dan nilai pilihan bahasa bukan menjadi milik individu yang unik tetapi diproduksi dalam perjuangan komunikatif (communicative straggle) dan interaksi aktual yang ditentukan secara ideologis dan dimotivasi secara politis (Birch, 1996:65). Dengan demikian, aktor yang memproduksi bahasa bukanlah individu yang
114 "merdeka", tetapi is merupakan individu yang diatur oleh dimensi-dimensi sosiokultural dan institusional yang determinatif yang sering berlangsung secara bawah sadar. Pokok pikiran kedua--teks sebagai realisasi modus wacana--membawa kepada pemahaman bahwa teks adalah hasil dari banyak "tangan". Fowler (1986) berpendapat bahwa teks merupakan realisasi sebuah modus wacana. Yang terjadi dalam teks biasanya lebih dari satu modus. Sebuah teks bukan hanya karya individual. Teks yang dihasilkan mungkin saja berasal dari wacana praada yang semua berakar pada kondisi-kondisi sosial, ekonomi, politis, dan ideologis yang terletak jauh di balik kesadaran dan kontrol penulis atau pengarangnya. Sebuah teks yang lahir mungkin saja hasil suatu perjuangan di antara tangan-tangan penghasil wacana itu. Dengan demikian, kajian bahasa hakikatnya adalah kajian kewacanaan yang bersifat historis. Sistem bahasa merupakan bagian yang integral dari struktur dan proses sosial. Sebuah wacana tidak dapat terlepas dari dimensi kesejarahan. Kajian terhadap teks bahasa bukan semata-mata untuk kajian teks itu sendiri yang amat terbatas, akan tetapi kajian teks adalah kajian kewacanaan dengan mengikutsertakan dimensi politis, ideologis, dan kultural tentang bagaimana masyarakat dan institusi membuat makna melalui teks. Pokok pikiran ketiga--bahasa sebagai alat mengklasifikasi pengalaman dunia yang bersifat kompleks dan membingungkan--membawa kepada pemahaman bahwa manusia selalu berhubungan dengan aktivitas "mengklasifikasikan" dan "mengkategorisasikan" realitas. Menghadapi dunianya yang kompleks, manusia melakukan "proses kategorisasi" sebagai bagian dari strategi umum untuk menyederhanakan dan mengatr: dunianya itu. Menurut Fowler (1986:19) bahasa adalah "bagian tengah" proses sosial dan merupakan medium efisien dalam pengkodean kategori-kategori sosial. Fowler ingin menun-
115 jukkan bahwa struktur bahasa yang dipilih dalam komunikasi tertentu menciptakan sebuah jaringan makna yang mendorong ke arah sebuah perspektif yang sedang dihadirkan dalam komunikasi itu. Jaringan makna merupakan teori atau ideologi penuturnya yang bukan berupa kategori alamiah, tetapi lebih merupa-kan kategori kultural. Masyarakat haruslah berkesadaran dan berpikir kritis dalam menghadapi kategori-kategori kultural. Fowler (1986:18) menunjukkan bahwa banyak kata yang digunakan manusia sehari-hari adalah "distorsi", mereka itu lebih merupakan interpretasi atau representasi daripada refleksi. Implikasi dari penggunaan kata-kata tersebut akan membuat masyarakat begitu percaya bahwa teorinya tentang cara dunia bekerja adalah "refleksi alamiah" dari cara dunia bekerja, bukan sebagai refleksi kulturalnya. Dalam pandangan Fowler (1986: 27) kode linguistik tidak merefleksikan realitas secara netral. Kode linguistik menginterpretasikan, mengorganisasikan, dan mengklasifikasikan subjek-subjek wacana. Wacana membentuk teori tentang bagaimana dunia itu disusun yang sering disebut dengan "pandangan dunia" atau "ideologi". Pokok pikiran keempat—penyusunan teks dan keberadaan konteks—membawa kepada pemahaman bahwa teks dan konteks itu dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Tiga aspek makna dan bentuk kalimat yang perlu diungkap sebelum menganalisis struktur teks yang lebih besar, yakni (1) tindak ujaran, (2) modalitas, dan (3) deiksis. Dalam persoalan "tindak ujaran", kalimat-kalimat yang digunakan tidak hanya membawa proposisi, tetapi juga menampilkan tindak ujaran, yakni sebuah tuturar. (utterance) yang ciipandan2 sebagai unit funasional dalam komunikasi. Modalitas adalah jaminan atau komitmen seorang penutur untuk membuktikan atau menjamin proposisinya itu. Dari modalitas akan tampak apakah penutur itu yakin, memihak, ragu, dan sebagainya. Deiksis
116 adalah sesuatu yang mengacu kepada orientasi isi kalimat dalam hubungannya dengan waktu, tempat, dan partisipan personal. Bagian-bagian deiksis kalimat menempatkan proposisi dalam dunia nyata yang sedang kita komunikasikan. Dari kalimat yang ada kemudian disusun sebuah teks. Dalam konteks ini, Fowler (1986:6) merumuskan bahwa penyusunan teks tidak hanya menjalankan kalimat dengan makna-makna individu yang dimilikinya serta kaidah bagi struktur-struktur ekspresi maknamakna yang mungkin, tetapi juga dalam teks kalimat-kalimat itu dihubungkan satu dengan yang lainnya melalui jaringan yang kompleks dari pertalian-pertalian yang melibatkan sejumlah bagian-bagian struktur Bahasa yang berbeda, seperti kosakata, pronomina, penghilangan sintaktis, dan sebagainya. Jika hal itu dijalankan, menurut Fowler (1986:60), sebuah teks dapat dianggap sebagai sebuah "kon-iunikasi yang pantas" (sensible communication) sesuai dengan harapan pembaca atau penerima. Tiga persyaratan diharapkan terpenuhi dalam penyusunan teks, yakni kohesi, progresi, dan tematisasi (Fowler, 1986:61). Pertama, teks-teks diorganisasikan dalam hubungannya dengan harapan-harapan pembaca, seperti: teks itu koheren, terdiri atas satu topik, dan tidak terjadi lompatan yang tidak diharapkan dari subjek satu ke subjek yang lain, yang disebut dengan "kohesi". Kedua, kita mengharapkan teks-teks itu tidak mengulang-ulang pokok persoalan yang sama secara tetap, tetapi selalu menghadirkan perkembangan argumen atau naratif Kita selalu menginterpretasikan pasangan kalimat yang berhubungan secara logis atau kronologis. Kita mengharapkan proposisi dalam sebuah teks yang kohesif disusun dalam rangka membuat urutan ide-ide yang "progresif'. Ketiga, kita mengharapkan organisasi teks menggambarkan perhatian kepada bagian isinya yang sangat penting, yaitu "terra".
117 Ditegaskan oleh Fowler (1986:70), dalam komunikasi yang nyata, baik lisan maupun tulisan, masyarakat melakukannya lebih daripada hanya sekedar mentransmisikan "proposisi yang netral" kepada orang lain dalam teks-teks yang dibentuk dengan kepantasan (sensibly formed texts). Bahasa mereka memikul "strukturasi ekstra" yang merefleksikan tujuan pribadinya dalam komunikasi, status, dan relasi sosial mereka, serta esensi latar dalam bahasa yang digunakan. Sebuah teks dipandang secara dinamis sebagai komunikasi interpersonal dalam konteks. Fowler (1986:85) membedakan konsep "teks" dan "wacana". Melihat bahasa sebagai teks membawa kita kepada kajian keseluruhan unit-unit komunikasi yang dilihat sebagai struktur sintaktis dan semantis yang koheren. Teks adalah "medium" wacana. Menurut Fowler (1986:86) wacana adalah keseluruhan proses interaksi linguistis yang rum it antara masyarakat yang menghasilkan teks dan masyarakat yang memahami teks. Oleh karena itu, untuk mengkaji.bahasa sebagai wacana kita perlu memperhatikan beberapa hal, yakni (1) tahap-tahap struktur yang menghubungkannya dengan partisipan dalam komunikasi, (2) tindakan yang mereka munculkan melalui teks yang dihasilkan, dan (3) konteks dalam wacana yang dibangun. Semua faktor "ekstralinguistik" itu direfleksikan secara sistematis ke dalam struktur kalimat yang dihasilkan penutur. Pokok pikiran kelima—makna dan pandangan dunia--membawa kepada pemabaman akan keberadaan makna sosial dalam memaknai dunia. Bahasa berperan penting dalam penyusunan klasifikasi pengalaman penutur atau dalam pandangan Halliday banasa memiliki fungsi pengalaman atau ideasional (Fowler, 1986:147). Berkitan dengan pengklasifikasian ini, perlu dikemukakan dua jenis makna yang dapat dimasuki penutur, yakni (1) makna alamiah (natural meaning), dan (2) makna sosial (social meaning).
108 menjunjung tinggi egalitarianisme (hubungan kesetaraan) akan berpengaruh bagi terciptanya hubungan sejajar dalam keluarga. Sebaliknya, struktur sosial yang hirarkisvertikal akan mengondisi terciptanya hubungan antaranggota keluarga yang menjunjung prinsip hirarkis sesuai dengan status dan peran yang diembannya. Struktur sosial masuk melalui pengaruh hirarki sosial. Menurut Halliday (1978) struktur sosial hadir dalam bentuk-bentuk interaksi semiotik dan menjadi nyata melalui "keganjilan" dan "kekacauan" dalarn sistem semantik. Sekarang dalam linguistik tampak muncul adanya fenomena kekaburan dalam bahasa yang merupakan bagian dari ekspresi dinamis dan tegangan sistem sosial (Halliday, 1978). Kekaburan dipilih untuk mewujudkan
ketaksaan,
pertentangan
atau
kebencian,
ketidaksempurnaan,
ketidaksamaan, serta perubahan sistem sosial dan struktur sosial. 2.3.3 Linguistik Kritis: Bahasa sebagai Instrumen Memahami Realitas Linguistik kritis lahir dari tulisan-tulisan dalam Language and Control (Fowler et al., 1979) yang di dalamnya berisi sejumlah deskripsi linguistik instrumental. Istilah "linguistik instrumental" dimunculkan sebagai penjabaran pandangan Halliday tentang konsep "instrumental" dalam linguistik fungsional sistemik. Dalam pandangan Fowler (1996), istilah fungsional dalam linguistik fungsional memiliki dua pengertian. Pertama, linguistik fungsional berangkat dari premis bahwa bentuk bahasa merespon fungsi-fungsi penggunaan bahasa. Kedua, linguistik fungsional berangkat dari asumsi bahwa linguistik, seperti juga bahasa, memiliki fungsi-fungsi berbeda, tugas-tugas berbeda, dan sebagainya. Dengan demikian, bentuk linguistik akan merespon fungs'-fungsi linguistik itu. Dalam wawancara dengan Herman Parret, Halliday (1978) menerima pandangan bahwa linguistik itu menjadi "linguistik instrumental", yakni kajian bahasa untuk mema-
119 annya (Fowler, 1986:149). Kita harus lebih berpikir bahwa fungsi ideasional menyediakan sebuah repertoar perspektif untuk sejumlah modus wacana tempat penutur berpartisipasi. Sebuah bahasa mewujudkan banyak cara untuk melihat dunia, bukan satu cara. Penutur seharusnya tidak akan terjerat dalam satu sistem kepercayaan. Kita mungkin memperhatikan gaya yang berbeda dalam diri penutur. Semua itu merupakan produk pilihan struktur linguistik yang diulang secara teratur. Sifat keteraturan itu menetapkan variasi atau register wacana tertentu, seperti wacana hukum, tulisan ilmiah, jurnalisme populer, wacana politik, fiksi roman, dan sebagainya, atau lebih spesifik gaya pengarang atau aliran penulis. Masalah perbedaan stilistis atau register berkoreIasi dengan keadaan sosial dan ideologic yang membawa perbedaan signifikansi ideasional. Dengan demikian, gaya linguistis yang berbeda dari pidato politik, misalnya, mengimplikasikan perpektif tertentu tentang topik yang disuguhkan. Dan paparan di atas dapat ditegaskan bahwa kajian kebahasaan seharusnya berupa kajian proses-proses komunikatif dan kultural. Wacana bukan hanya dipandang sebagai penggunaan bahasa di atas kalimat atau klausa semata-mata, tetapi wacana adalah penggunaan bahasa yang berupa interaksi dan pertukaran, wacana adalah tentang masyarakat dan institusi, wacana adalah tentang kekuasaan, status, dan pengendalian, wacana adalah proses konstruksi sosial. Teori bahasa selalu teori ideologi. Teori bahasa selalu mengorganisasikan penyajian realitas sosial. Struktur-struktur linguistik digunakan untuk mensistematisasikan, mentransformasikan realitas. Dalam bentuk lain, struktur linguistik sexing mengaburkari analisis realitas. Struktur linguistik juga berfungsi untuk mengatur ide dan perilaku orang lain, untuk mengklasifikasikan dan menggolongkan masyarakat, peristiwa, dan objek-objek yang dapat menegaskan status institusional dan personal.
120 2.4 Analisis Wacana Kritis: Tiga Dimensi Wacana secara Simultan 2.4.1 Awal Perkembangan Menurut van Dijk (1985:4) perkembangan analisis wacana pada tahun 1970-an menunjukkan dua kecenderungan. Di satu pihak, analisis struktural teks atau analisis percakapan menjadi kajian bahasa yang abstrak dan jauh terlepas dari penggunaan bahasa yang aktual seperti dilakukan oleh tatabahasa kalimat sebelumnya. Di lain pihak, kajian bahasa dalam konteks sosial mengambil perhatian kepada contoh-contoh penggunaan bahasa dan komunikasi yang agak sepele dan hampir tidak kritis. Perkembangan modelmodel pemrosesan wacana dalam bidang psikologi dan inteligensi buatan yang begitu gandrung dalam memahami wacana dari kacamata proses kognitif individu. Arus besar dalam analisis wacana ini sibuk menganalisis kaidah, perpindahan, dan strategi tuturan sehari-hari dengan konteks sosial yang amat terbatas. Masalah-masalah yang dikaji jauh terpisah dari persoalan dan kepentingan sosiopolitis yang amat determinatif yang melingkupi kehidupan kita sehari-hari. Pam analis wacana semakin menyadari akan begitu beragamnya pilihan dan keluasan objek atau kancah penelitian linguistis, yakni penggunaan bahasa yang aktual dalam konteks sosialnya. Paradigma psikologi dan inteligensi buatan disangsikan keakuratannya dalam menganalisis wacana yang carat dengan berbagai fitur konteks sosial yang luas, seperti: gender, status, kekuasaan, etnisitas, peran, dan latar institusi. Analisis wacana yang diharapkan adalah kajian bahasa terhadap penggunaan bahasa yang nyata, oleh penutur yang nyata, dalam situasi yang r►yata. Analisis wacana ini mendapat pengamh dari teori linguistik kritis, teori sosial kritis aliran Frankfurt, dan teori pascastrukturalisme yang berkembang di Prancis. Analisis wacana ini kemudian mendapat sebutan analisis wacana
121 kritis. Dalam pandangan kritis, fitur-fitur wacana lebih dipandang hanya sebagai "gejala" dari persoalan-persoalan yang lebih besar, seperti: ketidaksamaan, perbedaan kelas, seksisme, rasisme, kekuasaan, dan dominasi subjek daripada sekedar teks dan tuturan. Dite. gaskan oleh van Dijk (1985:7) bahwa wacana memainkan peranan yang penting sekali dalam perumusan ideologis, reproduksi komunikatif, dan prosedur penentuan sosial dan politisnya, serta dalam manajemen institusi dan representasi isu-isu sosial itu. Dan perspektif yang berbeda, Fairclough (1989; 1995) memandang bahwa pemahaman terhadap wacana selama ini lebih banyak didominasi oleh paradigma deskriptif yang bersifat nonkritis. Fenomena wacana semata-mata dipandang sebagai unit linguistis yang lebih besar daripada klausa atau kalimat. Dengan demikian masih banyak dimensi kewacanaan yang belum terkuak dari pandangan deskriptif tersebut. Crystal (1985:96), misalnya, mengartikan wacana dengan suatu rangkaian sinambung bahasa, khususnva lisan, yang lebih lnas daripada kalimat. Richards, Platt, & Platt (1992:111) berpandangan bahwa wacana merupakan istilah umum untuk contoh penggunaan bahasa, yaitu bahasa yang diproduksi sebagai hasil sebuah tindak komunikasi. Wacana mengacu kepada kepada unit-unit bahasa yang lebih besar, seperti paragraf, percakapan, dan wawancara. Stubbs (1983:10) mengartikan wacana merupakan organisasi bahasa di atas kalimat atau di atas klausa; dengan perkataan lain unit-unit linguistik yang lebih besar daripada kalimat atau klausa, seperti pertukaran-pertukaran percakapan atau teks-teks tertulis. Masih dalam alur yang sama, menurut Kridalaksana ( i 984:208) wacana adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertrwgi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat lengkap.
122 Empat rumusan yang ditampilkan tersebut memandang wacana lebih sebagai unit linguistis yang lebih besar daripada kalimat atau klausa. Berkaitan dengan pandangan deskriptif terhadap wacana, beberapa catatan dipaparkan oleh Fairclough (1995) sebagai berikut. Pertama, wacana dalam pandangan deskriptif terhalang dalam dimensi penjelasan (explanation) tentang bagaimana praksispraksis diskursif--misalnya wawancara, pidato, dialog, dan sebagainya—dibentuk secara sosial atau bagaimana pengaruh sosialnya (Fairclough, 1995:23). Sebuah wacana selalu berkaitan dengan produksi, konsumsi, dan distribusi teks-teks bahasa yang sangat dipengaruhi oleh konteks lokal (konteks situasi) maupun global (konteks budaya). Kedua, prinsip interpretasi terhadap wacana yang salah satunya menggunakan prinsip lokalitas sangat tidak memadai. Prinsip lokalitas adalah tuntunan kepada pendengar, pembaca, dan analis wacana untuk tidak menciptakan konteks yang lebih luas dan yang diperlukan•agar dapat diperoleh penafsiran yang paling mendekati maksud asli yang diberikan oleh penyampai pesan. Prinsip lokalitas itu sangat bergantung kepada pendengar, penerima, atau penganalisis dalam menggunakan pengetahuan tentang latar belakang (background knowledge). Prinsip lokalitas disangsikan keakuratannya dalam me'nafsirkan wacana yang dipandang sebagai praksis sosial. Wacana sebagai praksis sosiokultural memerlukan kerangka penjelasan global dengan mengikutsertakan kondisikondisi sosial, politik, ideologi, dan institusi yang bersifat determinatif dalam menentukan pembentukan sebuah wacana. Untuk melonakapi dan menyempumakan pandangan deskriptif di etas, Fairclough (1995) mengusulkan pengertian wacana secara komprehensif dari pandangan kritis. Wacana adalah penggunaan bahasa yang dipahami sebagai praksis sosial (Fairclough, 1989:
20; 1995:135). Wacana—dan banyak contoh praksis diskursif tertentu—dalam pandangan- - Fairclough harus dilihat secara simultan sebagai (1) teks-teks bahasa, baik lisan atau tulisan, (2) praksis kewacanaan, yaitu produksi teks dan interpretasi teks, (3) praksis sosiokultural, yaitu perubahan-perubahan masyarakat, institusi, kebudayaan, dan sebagainya yang menentukan bentuk dan makna sebuah wacana. Ketiga unsur wacana itu menurut Fairclough (1995:98) disebut dengan dimensi wacana. Menganalisis sebuah wacana secara "kritis" hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana tersebut secara integral. 2.4.2 Pengertian Wacana Dua istilah digunakan secara bergantian dalam analisis wacana, yakni "teks" dan "wacana". Menurut Kress (1985) istilah "teks" dan "wacana" cenderung digunakan tanpa pembedaan yang jelas. Diskusi-diskusi dengan dasar atau tujuan yang lebih sosiologis cenderung menggunakan istilah "wacana". Kajian wacana lebih menekankan pada persoalan "isi", "fungsi", dan "makna sosial" dan penggunaan bahasa. Sementara itu, diskusidiskusi dengan dasar atau tujuan yang lebih linguistis cenderung menggunakan istilah "teks" (Kress, 1985!27). Kajian teks lebih menekankan pada persoalan "materialitas", "bentuk", dan "struktur bahasa". Pembedaan yang sama juga dilakukan oleh Brunner & Graefen (Wodak, 1996:13). Istilah wacana berakar pada sosiologi, sementara istilah teks berakar pada filologi dan sastra. Menurut Brunner & Graefen, wacana dipahami sebagai unit-unit dan bentuk-bentuk tuturan dan interaksi yang menjadi bagian dari perilaku linguistis sehari-hari, tetapi danac muncul secara sama dalarn lingkungan institusional (Wodalc 1996:13). Wacana memerlukan kehadiran bersama dan penutur dan pendengar (interaksi face to face), tetapi ini dapat dikurangi ke arah kehadiran bersama yang temporal (misalnya dalam tele-
124 pon). Dalam konteks teori perilaku linguistis, adalah penting menentukan "teks", perilaku linguistis itu yang materinya dibuat dalam teks, dipisahkan dari situasi tuturan yang umum hanya sebagai perilaku reseptif pembaca--dasar umumnya dipahami dalam makna sistematis, bukan makna historis. Dalam teks, perilaku ujaran memikul kualitas pengetahuan dalam melayani transmisi serta disimpan untuk penggunaan sesudahnya dalam bentuk tertulis yang konstitutif untuk penggunaan istilah sehari-hari. Dari rumusan di atas, "teks" lebih dipandang sebagai fenomena linguistis yang berdiri sendiri dan terpisah dari situasi tuturan. Sementara itu, wacana merupakan "teks" yang berada dalam situasi tuturan atau mengutip pendapat van Dijk (Wodak, 1996:14) wacana adalah "teks dalam konteks". Dalam wacana terkandung makna konteks yang lebih bias. Wodak (1996), misalnya, merumuskan wacana sebagai totalitas interaksi dalam ranah tertentu (misalnya wacana medis). Rumusan itu mengaitkan teks dengan institusi tertentu. Hal senada terdapat dalam van Dijk di mana is memahami wacana sebagai bentuk tertentu dari penggunaan bahasa dan sebagai bentuk tertentu interaksi sosial yang diinterpretasikan sebagai peristiwa komunikatif dalam situasi sosial (Wodak, 1996:14). Senada dengan rumusan Wodak, Kress (1985) berpendapat bahwa setiap institusi sosial menghasilkan cara-cara atau modus-modus bertutur tertentu tentang area kehidupan sosial tertentu yang berhubungan dengan tempat dan hakikat institusi tertentu. Wacana berkenaan dengan bahasa yang tidak netral, dalam pengertian bahwa bentuk-bentuk sintaktis tertentu akan berkorelasi dengan wacana tertentu. Terdapat pandangan bahwa pembaca hanya memiliki seciikit kekuasaan karena pembaca sama sekali tidak berteori. Kress (1985) menguraikan apa yang disebut oleh kelompok pascastrukturalis sebagai posisi yang berhubungan dengan pembaca serta penulis wacana sebagai berikut.
125 Wacana adalah seperangkat pernyataan yang diorganisasikan secara sistematis Yang memberikan sejumlah ekspresi makna dan nilai institusi....Sebuah wacana menyediakan seperangkat pemyataanpernyataan yang mungkin tentang area yang ada dan mengorganisasikan serta memberikan struktur kepada cam di mana topik, objek, dan proses tertentu dibicarakan (Fowler, 1996:7).
Seperti sudah dipaparkan sebelumnya, untuk tujuan analisis wacana kritis, wacana dipandang sebagai penggunaan bahasa dalam lisan dan tulisan sebagai bentuk praksis sosial (Fairclough, 1995:62). Fairclough juga menagunakan istilah "teks" sebagai bagian dari konsep "wacana". Teks adalah bahasa tulisan atau lisan dan diproduksi dalam sebuah peristiwa diskursif (Fairclough, 1995:135). Wacana berkaitan dengan penggunaan bahasa yang ditentukan secara sosial. Fairclough (1989:29) menggunakan istilah wacana yang mengacu kepada tindakan kewacanaan (discoursal action), kepada tuturan dan tulisan yang aktual. Istilah "tindakan kewacanaan" itu relevan dengan pandangan Wodak (1996: 16) tentang "wacana sebagai tindakan", dalam pengertian bahwa sebuah "tuturan" bukanlab semata-mata sebuah proses intelektual atau proses kognitif, tetapi lebih merupakan bagian dari suatu tindakan atau sebuah bentuk kehidupan. Yang menjadi pertanyaan "bagaimana hubungan antara teks dan konteks tersebut". Memerikan wacana sebagai praksis sosial, menurut Fairclough (1995) mengimplikasikan "hubungan dialektis" antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang melingkupinya: peristiwa diskursif "dibentuk" oleh konteks sosial, sebaliknya juga "membentuk" konteks sosial itu t. Wacana itu "dikuasai" secara sosial (socially constituted) dan "dikondisikan" secara sosial (socially conditioned). Untuk tujuan analisis laths, wacana dalam pandangan Fairclough (1995:98) harus dilihat dari tiga dimensi wacana secara simultan, yakni (1) teks-teks bahasa, baik lisan atau tulisan, (2) I) Mengutip pendapat Pecheux, yang dimaksud dengan "proses diskursif' adalah sistem dari berbagai relasi substitusi, parafrasa, sinonimi, dan metonimi antarsimbol (signifiers) (Seidel, 1985:47). Fairclough (1992) banyak menggunakan istilah "peristiwa diskursif' (discursive event) yang mengandung anti 'contoh penggunaan bahasa, seperti teks yang dianalisis dan dipandang sebagai praksis sosial.
126 praksis kewacanaan, yakni produksi dan interpretasi teks, dan (3) praksis sosiokultural, yakni konteks masyarakat, institusi, dan kebudayaan yang menentukan bentuk dan makna sebuah wacana. Dengan demikian, menganalisis sebuah wacana secara kritis pada haki katnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana tersebut. Ketiganya merupakan satu ke satuan yang integral yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. 2.4.3 Beberapa Pokok Pikiran "Kritis" dalam Analisis Wacana Kritis 2.4.3.1 Dominasi Satu Bentukan Ideologis Diskursif dalam setiap Institusi Menurut Fairclough (1985; 1995) setiap institusi sosial berisi "cara-cara berbicara" dan "cara-cara melihat" yang dalam terminologis Fairclough disebut "bentukan ideologisdiskursif' (ideological-discursive formations), disingkat BID. Biasanya hanya ada satu BID yang dominan, sementara itu BID yang lain berada pada posisi tersubordinasi dan terhegemoni. Setiap institusi sosial memiliki norma-norma wacana yang dilekatkan dalam "norma-norma ideologis" (ideological norms) dan disimbolkan oleh "normanorma ideologisnya". Subjek institusi dikonstruksikan menurut norma-norma sebuah BID di mana posisi subjek yang mendu-k ng ideologis itu mungkin saja "tidak sadar". BID yang dominan itu selalu menaturalisasikan ideologisnya kepada kelompok I lainnya agar tampak sebagai suatu "akal sehat" yang tampak nonideologis. Proses-proses naturalisasi ini berjalan sedemikian rupa sehingga anggota komunitas sudah tidak mera 1 sakan dan menganggap yang dinaturalisasikan itu sebagai suatu kebenaran yang secara akal sehat tidak perlu lagi dikritisi. Rumusan ini relevan dengan pandangan kaum sosiolegi kritis aliran Frankfurt yang sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya. Dalarn rangka 1 membongkar naturalisasi (denaturalifation), analisis wacana haruslah mengadopsi "tujuantujuan kritis", dan bukan tujuan deskriptif. Untuk itu analisis wacana memerlukan
127 kerangka penjelasan "global" yang kontras dengan kerangka penjelasan "lokal" yang deskriptif yang kurang memiliki kekuatan eksplanasi. Melalui proses denaturalisasi ini akan dapat diketahui dua hal, yakni (1) bagaimana struktur sosial menentukan kepemilikan wacana, dan (2) bagaimana wacana menentukan struktur sosial. 2.4.3.2 Terdapatnya Hubungan Dialektis antara Struktur Mikro dan Makro Pendekatan kritis memiliki dasar teoretis dalam memandang hubungan timbal balik antara peristiwa "mikro" (peristiwa verbal) dan struktur-struktur "makro" yang mengondisikan dan menghasilkan peristiwa mikro. Oleh karena itu, pendekatan kritis menolak penghalang yang "kaku" antara kajian mikro (tempat kajian wacana merupakan bagian di dalamnya) dan kajian makro. Dengan dialektis antara makro dan mikro dalam kajiannya, analisis wacana kritis akan dapat mengungkap naturalisasi-naturalisasi yang terjadi serta membuat secara jelas determinasi-determinasi sosial dan penganth wacana bagi . partisipan. Dalam konteks ini, menurut Fairclough (1985), partisipan haruslah memiliki dasar pengetahuan (knowledge base) yang mencakup empat dimensi, yakni (1) pengetahuan tentang kode-kode bahasa, (2) pengetahuan tentang prinsip-prinsip serta normanorma penggunaan bahasa, (3) pengetahuan tentang situasi, dan (4) pengetahuan tentang dunia. Dalam pandangan Fairclough, empat dimensi itu memasukkan "elemenelemen ideologis". Menurut Fairclough (1985) asumsi-asumsi yang menjadi dasar dipakainya pendekatan kritis dalam analisis wacana adalah (1) interaksi verbal sebagai modus aksi dan seperti modus aksi sosial lainnya mempersyaratkan rentangan "struktur" yang direfleksikan dalam dasar pengetahuan yang meliputi struktur sosial, tipe-tipe situasional, kode-kode bahasa, norma-norma penggunaan bahasa, dan (2) struktur-struktur itu tidak
128 hanya dipersyarati oleh aksi dan memerlukan kondisi untuk aksi, tetapi juga memproduksi aksi, atau aksi mereproduksi struktur yang dalam istilah Giddens disebut dengan dualitas struktur. Perbedaan antara satu teks dengan teks lainnya menunjukkan bahwa (1) keteraturan interaksi bergantung pada pengetahuan latar belakang yang diterima begitu saja (taken-for-granted), dan (2) keteraturan interaksi juga bergantung pada pengetahuan latar belakang dalam menggolongkan "representasi ideologis" yang dinaturalisasikan, yakni representasi ideologis yang dilihat sebagai "akal sehat" yang nonideologis. 2.4.3.3 Tujuan Kritis dan Naturatisasi Menurut Fairclough (1985; 1995), tujuan kritis dalam analisis wacana dapat dirumuskan dari jawaban terhadap banyak pertanyaan, antara lain (1) "bagaimana masyarakat bisa menjadi tidak sadar tentang bagaimana cara-cara berbicara mereka yang ditentukan secara sosial", (2) "apa pengaruh-pengaruh sosial yang dapat ditimbulkan mereka", (3) "konsepsi subjek sosial apa saja yang membuat halangan kesadaran berimplikasi", (4) "bagaimana naturalisasi ideologi itu terjadi", (5) "bagaimana naturalisasi itu dibenarkan", (6) "apa yang menentukan tingkat naturalisasi dalam kasus-kasus tertentu, dan (7) "bagaimana mungkin mengubah tingkat naturalisasi itu?". Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu dapat diperoleh dari pengintegrasian analisis mikro dan makro secara dialektis. Dalam pandangan Fairclough, integrasi mikro dan makro dapat terjadi jika memfokuskan pada "institusi sosial" sebagai poros kajian antara level struktur tertinggi, yaitu "formasi sosial" dengan level yang sangat konkret, yaitu tindakan sosial tertentu. 2.4.3.4 Tiga Kritikan terhadap Analisis Wacatla Deskriptif Tiga hal yang begitu dipercayai dalam analisis wacana yang bersifat deskriptif menjadi pusat kritikan analisis wacana yang bersifat kritis, yakni (1) konsep tentang pe-
129 ngetahuan latar belakang (background knowledge), disingkat PLB, (2) adopsi model penjelasan lokal yang didorong tujuan (goal driven), dan (3) pengabaian aspek kekuasaan dalam wacana. a. Kritikan terhadap Konsep "Pengetahuan Latar Belakang" Dalam mengkritik hal pertama, menurut Fairciough, PLB mereduksikan aspekaspek "materi latar belakang" yang dipergunakan dalam interaksi, seperti kepercayaan, nilai, ideologi, dan juga pengetahuan yang biasa disebut dengan "pengetahuan". Secara terminologis, "pengetahuan" mengimplikasikan fakta-fakta yang diketahui, fakta yang dikodekan dalam proposisi yang secara terus terang dan secara transparan dihubungkan dengan materi-materi latar belakang. Sebaliknya, "ideologi" menyangkut representasi dunia dari perspektif kepentingan tertentu. Dengan demikian, hubungan antara proposisi dan fakta tidak jelas, tetapi dimediasikan oleh aktivitas representasional. Ideologi tidak dapat direduksikan menjadi pengetahuan tanpa distorsi. Jika pengetahuan adalah "fakta", ideologi adalah "kepercayaan-kepercayaan" atau b. Kritikan terhadap Interaksi yang Berorientasi pada Tujuan Dalam mengkritik hal kedua, menurut Fairciough, model penjelasan interaksi yang berorientasi pada tujuan cenderung melebih-lebihkan keluasan tindakan di bawah kontrol subjek secara sadar. Subjek memiliki kekuasaan yang amat besar dalam menentukan arah interaksi. Padahal, tipe interaksi tertentu amat ditentukan oleh fungsi sosial atas dasar tujuannya. Individu sering berada pada keadaan"bawah sadar" dalam menjalarkan aktivitas sosialnya. Individu berada dalam determinasi konteks-kon-teks sosial yang melingkupinya. Dengan demikian, amatlah jelas bahwa terdapat hubungan antara wacana dengan faktor-faktor determinannya.
130 c. Kritikan terhadap Pengabaian Aspek Kekuasaan Dalam mengkritik hal ketiga, menurut Fairclough, aspek kekuasaan dan status amat menentukan secara amat menonjol terhadap "cam berbicara" dan "cara melihat" dalam wacana. Adanya kekuasaan dan status memungkinkan terjadinya komunikasi yang tidak sederajat atau terjadi kesenjangan komunikasi. Dua paradigma dalam pandangan deskriptif, yaitu "prinsip kerjasama" Grice dan "pengambilan giliran" dari kajian etnometodologi hanya relevan untuk mengkaji kerjasama yang sederajat menjadi pola dasar interaksi verbal yang bersifat umum, dengan mengabaikan perjumpaan yang tidak sederajat serta kedudukan kekuasaan dan status. Persoalan perjumpaan yang tidak sama atau per bandingan antara interaksi sejajar dan tidak sejajar, variabilitas dan relativitas norma-norma interaksi mungkin menjadi penting. Ada kemungkinan dan kendala percakapan kerjasama antara yang sederajat akibat dari kekuasaan itu. Percakapan-percakapan seperti itu tidak terjadi secara bebas, terlepas dan institusi, subjek, latar, dan sebagainya, tetapi berada dalam determinasi. Jawaban untuk itu semua dapat dicari dalam distribusi dan pelaksanaan kekuasaan dalam institusi sosial. 2.4.4 Prosedur Analisis Wacana Kritis Menurut Fairclough (1995:97) metode analisis wacana meliputi (1) metode "pemerian" teks-teks bahasa, baik lisan maupun tulisan, (2) metode "penafsiran" hubungan antara proses menghasilkan dan menafsirkan proses-proses diskursif dan teks-teks bahasa, dan (3) metode "penjelasan" hubungan antara proses-proses diskursif dan proses-proses sosiokuhural. Langkah pemerian, penafsiran, dan penjelasan merupakan prosedur AWK yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. AW sebelumnya dalam pandangan kritis ini menerapkan dua metode, yakni pemerian dan penafsiran.
131 2.4.4.1 Pemerian Teks-Teks Bahasa Metode pemerian digunakan untuk membedah kepemilikan teks-teks bahasa yang di dalamnya tersembunyi ideologi dan kekuasaan. Dalam penerapannya, AWK banyak memanfaatkan piranti linguistik yang disarankan dalam linguistik fungsional-sistemik Halliday (1985) dan linguistik kritis Fowler (1986). Dalam pandangan Fairclough (1989), tahap pemerian ini berupa analisis terhadap tiga piranti linguistik, yakni (1) kosakata, (2) gramatika, dan (3) strruktur tekstual. a. Kajian Kosakata Kajian kosakata mencakup kajian terhadap tiga nilai kosakata, yakni (1) nilai pengalaman, (2) nilai relasional, dan (3) nilai ekspresif. Lima hal yang berhubungan dengan nilai pengalaman, yakni (a) pola klasifikasi, (b) kata yang secara ideologis diperjuangkan, (c) proses-proses leksikal, (d) relasi makna, dan (e) metafora dipaparkan berikut. Pertama, pola klasifikasi merupakan sebuah cara tertentu untuk membagi beberapa aspek realitas yang mengandalkan sebuah representasi ideologis tertentu. Dad pengklasifikasian ini, sejumlah kosakata berada pada sisi ideologis "kanan", sementara kosakata lainnya berada di sisi ideologis "kid". Kedua, terdapat kata-kata tertentu yang diperjuangkan melalui suatu pertarungan ideologis. Dalam teks, sering muncul kata-kata tertentu yang dominan, selalu muncul, dan dinaturalisasikan kepada pembaca. Kata-kata tersebut selalu diulang-ulang dalam berbagai peristiwa tutur. Kata-kata seperti ini rnemperoleh hak dan perlakuan yang istimewa. Katakata yang diperjuangkan ini umumnya simbol dad institusi tertentu. Ketiga, istilah proses leksikal diambil dari pendapat Fowler (1985:69). Proses leksikal berkenaan dengan tersedianya kosakata dalam wacana ke-lompok social tertentu
132 yang merefleksikan dan mengekspresikan kepentingan kelompok itu. Terdapat tiga macam proses leksikal, yakni (1) leksikalisasi atau wording menurut istilah Fairclough (1989), (2) kelebihan leksikal (overlexicalization) atau overwording, dan (3) kekurangan leksikal (underlexicalization). Leksikalisasi terjadi jika kita yang dipilih itu merefleksikan satu konsep secara tepat. Kelebihan leksikal tersedia jika tersedia terlalu banyak kata untuk merefleksikan satu konsep. Kekurangan leksikal terjadi jika terdapat halangan memilih kata yang tepat yang dapat mewakili satu konsep. Keempat, tiga macam relasi makna, yakni sinonimi, antonimi, dan hiponimi dipercayai memiliki dimensi ideologis tertentu. Sinonimi adalah kata-kata yang memiliki makna yang sama atau hampir sama. Antonimi adalah kata-kata yang memiliki makna yang berlawanan. Hiponimi adalah makna kata tertentu yang tercakup dalam makna kata lainnya. Pemilihan terhadap relasi makna tertentu yang menonjol mengandung makna ideologis tertentu. Kelima, pilihan terhadap metafora tertentu mengandung signifikansi ideologis tertentu. Terdapat tiga macam metafora, yakni (1) metafora nominatif, (2) metafora predikatif, dan (3) metafora kalimat. Pada metafora nominatif, lambang kiasnya hanya terdapat pada nomina kalimat, baik nomina subjektif maupun nomina objektif. Pada metafora predikatif, lambang kiasnya hanya terdapat dalam predikat kalimat. Pada metafora kalimat, seluruh lambang kias yang dipakai terdapat pada seluruh komponen dalam kalimat metafori s. Aspek kedna yang dimiliki kosakata adalah nilai relasional. Tiga hal yang berhubungan dengan nilai ini adalah (1) ekspresi eufemistik, dan (2) pilihan kata-kata "formal", dan (3) pilihan kata-kata "informal".
133 Pertama, eufemistik adalah ekspresi kebahasaan yang memperhalus realitas yang sebenarnya. Ekspresi eufemistis digunakan untuk menghindari nilai edukatif Ekspresi eufemistis sering disalahgunakan dalam wacana politik untuk menutupi kekurangan. Kedua, pilihan terhadap kata-kata "formal"ditunjukkan melalui pilihan kosakata asing dan kosakata ilmiah yang dapat mendatangkan kesan formal. Pilihan kosakata seperti ini akan menciptakan kesan keknasaan, posisi, dan status. Ketiga, pilihan terhadap kata-kata "informal" ditunjukkan melalui pilihan kosakata sehari-hari yang amat mudah dipahami oleh pendengarnya. Kosakata informal sering dipilih untuk menciptakan aspek-aspek solidaritas, kesantunan, dan ekspresi afektif. Aspek ketiga yang dimiliki kosakata adalah nilai ekspresif. Dua hal yang berhubungan dengan nilai ini adalah "evaluasi positif' dan "negatif'. Penutur sering memunculkan evaluasinya terhadap realitas secara implisit melalui kosakata ini. Perbedaan antara tipe wacana dalam nilai-nilai ekspresif dari berbagai kosakata memiliki signifikan secara ideologis. Seorang penutur mengekspresikan evalnasi melalui penggambaran atau penarikan pola klasifikasi.Terdapat fakta bahwa nilai-nilai ekspresif tertentu dapat diacukan kepada pola klasifikasi yang memperlihatkan perbedaan secara ideologis. b. Kajian Gramatika Kajian ini mencakup kajian terhadap tiga aspek gramatika, yakni (1) nilai pengalaman, (2) nilai relasional, dan (3) nilai ekspresif.Terdapat empat aspek yang dikaji dalam kepemilikan nilai pengalaman gramatika, yakni (a) ketransitifan, (b) nominalisasi, (c) kalimat aktif-pasif, dan (d) kalirnat positif-negatif. Pertama, teori ketransitifan bersumber dari fungsi representasi bahasa. Halliday (1985:101) memandang bahwa kepemilikan fundamental bahasa memungkinkan manusia
134 membangun gambaran mental realitas, membuat makna dari pengalaman apa yang terjadi di sekitarnya dan di dalamnya. Halliday menekankan pada pentingnya klausa karena klausalah yang sangat berperan dalam perwujudan berbagai macam proses itu. Terdapat tiga jenis proses utama dalam sistem ketransitifan, yakni (1) proses material, (2) proses mental atau proyeksi, dan (3) proses relasi (Halliday, 1985; Butt et al., 1995). Proses-proses material adalah proses-proses melakukan (Halliday, 1985:103). Proses-proses ini mengekspresikan nosi bahwa beberapa maujud melakukan sesuatu yang mungkin saja dilakukan kepada beberapa maujud lainnya. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan kepada proses ini adalah "what did X do?" atau "what happened to X" (Butt et al., 1995:47). Proses material melibatkan proses perbuatan (doing), proses kejadian (happening), dan proses perilaku (behavioral). Partisipan yang terlibat dalam proses perbuatan dan kejadian adalah "aktor" atau "agen" dan "goal". Proses material dapat diekspresikan dalam ujaran aktif atau pasif. Partisipan yang terlibat dalam proses perilaku adalah pemerilaku (behaver). Proses mental atau proses proyeksi adalah proses yang melibatkan proses perasaan (sensing), pemikiran (thinking), dan penglihatan (perceiving) (Halliday, 1985:107). HaIliday juga menambah tiga subtipe proses mental, yakni (1) persepsi (melihat, mendengar, dan sebagainya), (2) afeksi (menyukai, takut, dan sebagainya), dan (3) kognisi (berpikir, mengetahui, memahami, dan sebagainya) (Halliday, 1985:111). Partisipan dalam proses ini dapat terdiri atas "pengindera" dan "fenomena". Selain itu, partisipan dalam proses ini dapat berupa "pelapor" atau "pengucap" dan "yang dilaporkan". Proses-proses relasional dicirikan dengan keterkaitan antara partisipan dengan identitas dan periannya. Partisipan dalam proses ini dapat berupa "penyandang" (carrier)
135 dan "atribut", "teridentifikasi" dan "pengidentifikasi", serta "eksisten". Terdapat sebuah catatan penting dikemukakan Halliday (1985:112) bahwa setiap bahasa mengakomodasikan sejumlah "cara-cara menjadi" (ways of being) yang berbeda yang diekspresikan ke dalam jenis-jenis proses relasional yang berbeda dalam klausa. Setiap bahasa memiliki kekhasan dalam proses relasional ini. Fairclough (1989:120) mengemukakan bahwa ketika seseorang memberikan representasi secara tekstual tindakan, peristiwa, dan keadaan sering terdapat pilihan antara tipe-tipe proses dan partisipan yang berbeda dan seleksi yang dibuat dapat memiliki signifikansi secara ideologis. Seseorang yang menonjolkan proses tindakan memiliki signifikansi ideologis yang berbeda dengan yang menonjolkan proses mental. Kedua, nominalisasi adalah proses gramatikal dalam pembentukan nomina dari jenis kata yang lain, biasanya verba atau ajektif (Richards, Crystal, 1992:246; Platt, & Platt, 1992:246). Dalam gramatika transformasi klasik, nominalisasi adalah derivasi dari sebuah frasa nomina dari sebuah klausa yang mendasari. Istilah nominalisasi juga digunakan dalam klasifikasi klausa-klausa relatif (Crystal, 1991:233). Satu catatan penting dikemukakan oleh Fairclough (1989) bahwa pilihan terhadap nominalisasi tertentu mengandung signifikansi ideologis tertentu. Ketiga, alctifdan pasif adalah persoalan voice, yakni bagaimana cara-cara sebuah bahasa mengekspresikan hubungan antara frasa verba dan frasa nomina, serta pelbagai hal yang diasosiasikan dengan hubungan itu (Richards, Platt, & Platt, 1992:401). Dua buah kalimat mungkin raja berbeda dalam voice- nya meskipun memiliki makna dasar yang sama. Hal ini berkaitan dengan perubahan dalam penekanan sesuai dengan pertimbangan tertentu. Dalam praktiknya, sebuah kalimat mungkin lebih sesuai (appropriate)
136 atau lebih pantas dibandingkan dengan kalimat yang lain untuk situasi tertentu. Penutur mungkin saja menggunakan kalimat pasiftanpa agen (agentless passive), misalnya dalam kalimat The fence has been damaged Kalimat seperti ini umumnya digunakan ketika penutur atau penulis tidak mengetahui atau tidak mengharapkan keadaan penyebabnya atau ketika penyebabnya terlalu jelas untuk dikemukakan. Kalimat pasiftanpa agen membiarkan kausalitas dan ketidakjelasan agen (Fairclough,1989:125). Dalam beberapa kasus hal ini mungkin saja untuk menghindari pengulangan yang tidak perlu. Keempat, pada umumnya, nilai pengalaman diekspresikan dalam kalimat positif Pada kasus tertentu, nilai pengalaman dikemukakan dalam kalimat negatif. Pendayagunaan kalimat negasi merupakan fenomena yang cukup menarik. Dalam suatu bahasa, negasi mendukung fungsi yang amat penting. Fungsi utama negasi ialah menyangkal atau mengingkari pernyataan lawan hicara atau pembicara yang dianggap keliru oleh pembicara itu sendiri. Fairclough (1989:125) berpendapat bahwa negasi secara jelas memiliki nilai pengalaman sebagai cam dagar yang kita miliki dalam membedakan apa yang bukan kasus dan apa yang memang benar-benar merupakan kasus dalam realitas. Negasi adalah cara yang sangat bermakna dalam memperebutkan elemen-elemen konteks antarteks (Fairclough, 1989:154). Pertanyaan penting yang dimunculkan adalah "apa motivasi penulis menggunakan asersi negatifjika is dapat mengungkapkan persoalan yang sama dalam asersi positif'. Menurut Fairclough, penulis secara jelas menggunakan negatif sebagai sebuah cara untuk mengambil isu secara implisit yang sesuai dengan asersi-asersi positif. Negasi yang digunakan untuk rnengungkapkan realitas dapat menialankan uga fungsi, yakni (1) negasi "yang sesungguhnya", (2) negasi "yang manipulatif', dan (3) negasi " yang ideologis".
1:37 Nilai kedua yang dimiliki gramatika adalah nilai relasional. Nilai ini berhubungan dengan cara bagaimana gramatika mengkodekan isyarat relasi hubungan sosial timbal batik yang diperankan penghasil teks. Terdapat tiga aspek yang dikaji, yakni (1) modusmodus kalimat, (2) modalitas, dan (3) pronomina person& Pertama, modus kalimat berkaitan dengan cara bagaimana kalimat itu diekspresikan kepada mitra bicara. Terdapat tiga cara, yakni ( I ) deklaratif, (2) interogatif, dan (3) imperatif Tiga modus kalimat itu menempatkan subjek secara berbeda. Dalam ekspresi deklaratif, posisi subjek penutur adalah sebagai pemberi informasi, sebaliknya posisi petutur sebagai penerima informasi. Dalam ekspresi interogatif, penutur dalam posisi menanyakan sesuatu kepada petutur, sebaliknya petutur berposisi sebagai penyedia informasi. Dalam ekspresi imperatif, posisi penutur adalah meminta atau memerintahkan sesuatu kepada petutur, sebaliknya petutur secara ideal berposisi sebagai pelaku yang tunduk. Menurut Fairclough (1989:126) ketidaksimetrisan sistematis dalam pembagian modus antarpartisipan menjadi penunjuk dalam hubungan partisipan itu. Bertanya, misalnya, pada umumnya berkaitan dengan posisi kekuasaan. Bertanya dapat menjadi "tindakan" atau "informasi", dan dapat juga sebagai pemberian informasi. Deklaratif selain berarti pemberian informasi, dapat juga berarti perintah. Bertanya selain berarti permintaan informasi, dapat juga bernilai perintah. Catatan penting dikemukakan oleh Fairclough (1989) bahwa modus kalimat dalam penggunaan yang sebenarnya itu jauh lebih rumit dari yang digambarkan di atas. Dua alasan dikemukakan, yakni (i ) tidak aria hubungan satu antara modus kalimat dan pernosisian subjek, dan (2) terdapat posisi subjek yang Iebih banyak dan beragam daripada yang sudah diidentifikasikan selama ini.
138 Kedua, modalitas relasional adalah persoalan autoritas satu partisipan dalam hu bungan dengan partisipan lainnya. Modalitas mempergunakan autoritas penulis atau penutur. Dalam bahasa Indonesia, kajian yang mendalam tentang modalitas dalam bahasa Indonesia sudah dilaksanakan oleh Alwi (1991). Hasil penelitian Alwi menunjukkan bahwa terdapat empat golongan besar modalitas, yakni (1) modalitas intensional, (2) modalitas epistemik, (3) modalitas deontik, dan (4) modalitas dinamik. Modalitas intensional berkaitan dengan fungsi instrumental. Bahasa digunakan untuk menyatakan sikap pembicara sehubungan dengan peristiwa nonaktual yang diungkapkannya. Bagi mitra bicara, menurut Alwi (1991:36), hal itu berarti bahwa apa yang di utarakan pembicara itu merupakan dorongan untuk mengaktualisasikan peristiwa yang bersangkutan. Atas dasar itu, melalui tuturan yang dikemukakannya, seseorang dapat menyatakan 'keinginan', 'harapan', 'ajakan', 'pembiaran' dan spermintantf. Modalitas epistemik menurut pandangan Palmer (1974) merupakan peni lai an penutur terhadap kemungkinan dan keperluan bahwa sesuatu itu demikian atau tidak demikian (Alwi, 1991:90). Modalitas epistemik mengandung makna epistemik. Makna ini muncul jika suatu bentuk menyatakan pengetahuan, keyakinan, kepercayaan, atau pendapat pembicara tentang proposisi yang diungkapkannya itu. Sikap pembicara yang didasari oleh kekurangtahuan atau kekurangyakinan terhadap kebenaran proposisi dapat digambarkan sebagai 'kemungkinan', 'keteramalan', 'keharusan', atau 'kepastian'. Modalitas deontik berhubungan dengan kewajiban. Sikap pembicara terhadap peristiwa pada modalitas deor1tik didasarkan pada kaidah sosial, baik yang berupa kewenangan pribadi atau kewenangan resmi (Alwi, 1991:163). Dalam modalitas deontik terkandung makna bahwa pembicara sebagai sumber deontik mengharuskan, mengizinkan,
139 dan melarang terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan. Modalitas ini mengandung makna 'perintah', 'izin', dan 'larangan'. Modalitas dinamik mempersoalkan sikap pembicara terhadap aktualisasi peristiwa yang ditentukan oleh perikeadaan yang lebih bersifat empiris. Yang dijadikan tolok ukur oleh pembicara dalam modalitas dinamik adalah hukum alam, sementara itu dalam modalitas deontik adalah kaidah sosial (Alwi, 1991:233). Modalitas dinamik berciri objektif. Dalam modalitas dinamik terkandung makna "mampu atau sanggup". Ketiga, pronomina persona berkenaan dengan kehadiran diri, yakni bagaimana penutur menghadirkan dirinya di hadapan mitra bicara. Pronomina persona adalah seperangkat pronomina yang merepresentasikan kategori gramatikal dan persona. Strategi kehadiran din berkenaan dengan pronomina persona pertama. Penggunaan pronomina persona berkaitan dengan hubungan antara kekuasaan dan solidaritas. Untuk menunjukkan kekuasaannya, pembicara dalam suatu bahasa biasanya dapat menggunakan kata atau bentuk kata tertentu. Cara yang sangat umum dilakukan untuk menunjukkan kekuasaan dan solidaritas ialah memilih kata yang tepat untuk memanggil mitra bicara serta menggunakan kata-kata tertentu pula. Nilai ketiga yang dimiliki gramatika adalah nilai ekspresif. Nilai ekspresif gramatika ditunjukkan oleh modalitas ekspresif. Modalitas menjadi ekspresif jika modalitas adalah persoalan autoritas penutur atau penulis yang berkenaan dengan kebenaran atau kemungkinan representasi realitas. Dalam modalitas ekspresif terkandung makna 'kemungkinan', 'izin', 'kepastian', 'kewajiban', termasuk juga 'ketidakmurwkinar.'. Menurut Fairclough (1989:129) kepentingan ideologis dalam tuntutan terhadap "autentisitas" atau "pengetahuan" dibuktikan melalui bentuk-bentuk modalitas.
140 c. Kajian Struktur Teks Fitur-fitur formal pada level tekstual berkaitan dengan kepemilikan organisasi formal dari keseluruhan teks. Dua persoalan yang perlu dianalisis dalam struktur teks adalah (1) konvensi interaksional yang digunakan, dan (2) penataan serta pengurutaan teks. Dua persoalan yang dikaji dari aspek konvensi interaksional adalah (a) pengelolaan gilir-tutur, dan (b) pengontrolan antarpartisipan. Pertama, salah satu asumsi ideologis dalam dialog dapat dikenali dari pengelolaan gilir tutur (turn-taking). Pengelolaan gilir tutur, menurut Fairclough (1989:134) bergantung pada hakikat sistem gilir tutur yang berjalan dan hubungan kekuasaan antarpartisipan. Dalam percakapan informal yang sejajar, misalnya, gilir tutur dikelola melalui negosiasi antarpartisipan dengan dasar pergantian tutur sesuai rumus atau ketentuan tertentu. Setiap partisipan memiliki hak dan kewajiban yang sama, misalnya, hak untuk menyeleksi penutur lainnya, hak untuk menyeleksi mereka sendiri, hak untuk melanjutkan pembicaraan. Satu catatan dikemukakan oleh Fairclough (1989:134) bahwa percakapan informal antarpartisipan yang sejajar memiliki arti yang besar dan mobilisasi kekuasaan sebagai bentuk ideal dari interaksi sosial, tetapi pemunculannya dalam masyarakat aktual yang terbagi ke dalam kelas dan kekuasaan itu sangat terbatas. Dalam dialog antarpartisipan yang tidak sejajar, hak dan kewajiban gilir tutur jugs tidak sejajar. Kedua, satu asumsi ideologis lain dalam dialog dapat dikenali dari "cara-cara partisipan mengontrol kontribusi partisipan lainnya". Partisipan yang memiliki kekuasaan yang besar akan memaksa kontnbusinya kepada partisipan yang memiliki kekuasaan yang lebih kecil. Terdapat empat piranti utama,yakni (1) interupsi, (2) penegasan (enforcing explicitness), (3) pengontrolan topik, dan (4) formulasi (Fairclough, 1989:135).
141 "Interupsi" terjadi jika seorang partisipan memulai suatu tuturan selama penutur lainnya sedang bertutur. Dengan interupsi, seorang partisipan dapat mengontrol kontribusi penutur lainnya. Dengan interupsi pula, seorang partisipan dapat menghentikan kontribusi penutur lainnya, dapat menghentikan pengulangan informasi, atau menghen tikan pemberian informasi yang tidak relevan, dan sebagainya. Penegasan terjadi jika seorang meminta orang lain untuk memperjelas tuturannya. Ketaksann dan ambivalensi sering menjadi piranti yang bermanfaat bagi partisipan yang memiliki kekuasaan yang kurang dalam menghadapi kekuasaan itu. Partisipan memiliki kekuatan untuk membuat agar makna yang muncul tidak taksa. Cara lain yang sering digunakan oleh partisipan yang memiliki kekuasaan yang kecil adalah dengan diam. Pengontrolan topik terjadi jika seorang penutur menggunakan cara tertentu untuk mengarahkan javvaban penutur lainnya. Sebuah topik atau pokok persoalan dari suatu interaksi mungkin saja ditentukan dan dikontrol oleh partisipan yang memiliki kekuasaan yang lebih besar. Pengontrolan topik oleh seorang partisipan seperti itu sering muncul dalam dialog. Piranti lain yang digunakan untuk mengontrol mitra tutur adalah formulasi. Menurut Fairclough (1989:136), piranti ini dapat ditempuh dengan dua cara, yakni (1) peru musan kembali (rewording), dan (2) perumusan (wording). Yang pertama dilakukan dengan merumuskan kembali apa yang sudah dia katakan atau yang dikatakan orang lain. Yang kedua dilakukan dengan rnerumuskan apa yang mungkin dianggap kelanjutan dan apa yang sudah dikatakan atau apa yamg dtimplikasikan dari apa yang sudah dikatakan. Formulasi ini memiliki tujuan untuk (1) mengecek pemahaman, (2) mengontrol cara pemahaman, dan (3) membatasi pilihan-pilihan partisipan untuk kontribusi berikutnya.
142 Persoalan kedua yang dikaji dalam struktur teks adalah pengurutan teks. Sebuah teks memiliki struk tur yang mungkin saja dibentuk dari elemen-elemen yang dapat dira malkan dalam urutan yang dapat diramalkan (Fairclough, 1989:137). Teks kampanye misalnya, seharusnya dibentuk dari elemen-elemen: latar belakang partai itu didirikan, personil-personil yang menjadi jaminan dalam partai, program-program partai, kelebihan-kelebihan partai, dan harapan pada pemilih untuk memilih partai tersebut. Laporan berita kecelakaan akan melibatkan elemen-elemen: apa yang terjadi, apa penyebabnya, apa yang sudah dilakukan, apa pengaruh langsung dari kecelakaan itu, dan apa konsekuensi jangka panjang dari kecelakaan itu. Catatan penting dikemukakan oleh Fairclough (1989:137) bahwa urutan elemen-elemen yang muncul terutama sekali tidak selalu logic, elemen tunggal dapat muncul dalam lebih dari satu tempat dalam teks. Harapan partisipan tentang struktur interaksi sosial tempat partisipan terlibat atau struktur teks yang sedang dibacanya adalah faktor penting dalam interpretasi. 2.4.4.2 Penafsiran Praksis-Praksis Wacana Menurut Fairclough (1989:140) hubungan antara teks dan struktur sosial itu bersifat tidak langsung dan dimediasikan/ditengahi sesuatu, yakni (1) teks ditengahi oleh proses wacana, dan (2) teks ditengahi oleh konteks sosiokultural. Mediasi pertama berkaitan dengan tahap interpretasi, sedangkan mediasi kedua berkaitan dengan tahap eksplanasi yang dipaparkan pada bagian berikutnya. Nilai ciri-ciri tekstual menjadi nyata. beroperasi secara sosial jika teks itu dilekatkan dalam interaksi sosial tempat teks itu diproduksi dan ditarsirkan. Proses wacana seperti itu dan kebergantungannya pada asumsi latar
belakang (bagian dari sumber partisipan) merupakan urusan prosedur interpretasi dalam membuka selubung wacana atau "demistifikasi".
143 Metode penafsiran digunakan untuk menguak hubungan antara produksi dan interpretasi proses-proses diskursif. Tahap ini sangat berkaitan dengan urutan-urutan wacana (orders of discourse)2, yaitu totalitas praksis-praksis diskursif sebuah institusi dan hubungan antara praksis-praksis itu. Pertanyaan pokok dalam analisis ini adalah bagaimana penghasil dan penafsir teks bahasa menggunakan sumber-sumber yang tersedia secara sosial yang membangun urutan wacana (Fairclough, 1995:10). Menurut Fairclough (1989) interpretasi dihasilkan melalui kombinasi "apa yang ada dalam teks" dengan "apa yang ada dalam penafsir ". Dari sudut pandang penafsir teks, fitur-fitur formal teks merupakan "petunjuk" atau "isyarat" (cue) yang menggerakkan elemen-elemen "sumber atau bahan-bahan partisipan" (member's resources)3penafsir di mana penafsiran itu dihasilkan melalui saling mempengaruhi secara dialektis antara "petunjuk" dan "bahan-bahan partisipan" itu. Dua hal yang menjadi lahan interpretasi yang memiliki kedudukan "setara" adalah (1) interpretasi teks, dan (2) interpretasi konteks (Fairclough, 1989:142). Dalam menginterpretasi teks ada empat level ranah interpretasi, yakni (a) bentuk lahir tuturan, (b) makna ujaran, (c) koherensi lokal, dan (d) struktur teks serta poin. Sementara itu, dalam menginterpretasi konteks ada dua level interpretasi, yakni (a) konteks situasional, dan (b) konteks antartekstual. Dalam menginterpretasi konteks, tidak ada per-
2) Istilah orders of discourse banyak dipergunakan oleh Fairclough (1989; i995; 1996). Istilah ini diambil dari pandangan Foucault dalam pengertian 'seperangkat konvensi yang diasosiasikan dengan institusi tertenttf. Orders of discourse dibentak secara ideologis oleh hubmgan kelamsaan dalam institusi sosial dan dalani masyarakat secara keseluruhan. 3) Istilah "sumber partisipan" (member's resources) dipergunakan Fairclouh (1989) untuk menggantikan "pengetahuan latar belakang" (backgroud knowledge) yang lazim dipergunakan dalam analisis wacana yang bersifat deskriptif. Menurut Fairclough„ istilah "pengetahuan latar belakang" terlalu sempit, menyesatkan, dan tidak sepenuhnya akurat dalam mereduksikan materi latar belakang, seperti kepercayaan, nilai, penge tahuan, dan ideologi. Istilah yang terakhir, ideologi, tidak dapat direduksikan menjad i "pengetahuan".
144 bedaan antara produser dan penafsir dalam melahirkan interpretasi situasi dan konteks antarteks wacana (Fairclough, 1989). Tiga hal yang menjadi fokus kajian dalam interpretasi konteks, yakni (1) hubungan konteks situasi dengan tipe wacana, (2) hubungan konteks antartekstual dengan presuposisi, dan (3) tindak ujaran. a. Hubungan Konteks Situasi dengan Tipe Wacana Fokus pertama berkaitan dengan bagaimana penginterpretasi memasuki interpretasi konteks situasional serta cara yang menentukan tipe wacana yang tepat. Menurut Fairclough (1989:143) empat pertanyaan penting yang dapat diajukan sebagai pemandu interpretasi fokus pertama ini adalah (1) apa yang sedang berlangsung?, (2) siapa saja _yang terlibat?, (3) dalam hubungan yang seperti apa?, dan (4)peran apa saja yang dimaniki? bahasa?. Pertanyaan pertama masih dibagi ke dalam sub-sub pertanyaan: aktivitas apa yang terjach, topik apa yang dipilih, dun apa maksud wacana du. Aspek "aktivitas" berkaitan dengan kegiatan mengidentifikasi situasi sebagai seperangkat tipe-tipe aktivitas, atau kategori aktivitas yang berbeda yang diakui sebagai berbeda dalam urutan sosial tertentu dalam institusi tertentu. Aspek "topik" berhubungan dengan pilihan pokok masalah yang dimunculkan dalam wacana. Topik tidak selalu dapat diprediksi secara mekanis. Tipe aktivitas juga diasosiasikan dengan "maksud-maksud" yang diakui dalam institusi tertentu. Situasi pertama ini berkaitan dengan aspek contents dalam tipe wacana. Pertanyaan kedua tentang "siapa saja yang terlibat" berkaitan dengan pertanyaan tentarg posisi subjek yang dibedakan menurut tine situasi. Satu catatan dikemukakan bahwa posisi subjek adalah bersifat multidimensional, subjek memerankan lebih dari satu peran sekaligus. Seorang penutur dalam kenyataannya juga seorang pendengar, demikian
145 pula sebaliknya. Dalam wacana is dapat menjadi speaker, addressee, hearer, overhearer, spokesperson, dan sebagainya. Situasi kedua ini berkaitan dengan aspek subjects dalam tipe wacana. Pertanyaan ketiga tentang "dalam hubungan apa saja" itu berkaitan dengan pertanyaan tentang hubungan kekuasaan, jarak sosial, dan sebagainya. Kita melihat posisi subjek dalam persoalan secara lebih dinamis, bagaimana hubungan kekuasaan, jarak sosial, dan sebagainya disusun dan dibuat dalam situasi. Situasi ketiga ini berkaitan dengan aspek relations dalam tipe wacana. Pertanyaan keempat tentang "peran bahasa" akan berbicara tentang kedudukan bahasa dalam genre-nya. Bahasa yang dipergunakan tidak hanya menentukan genre-nya, tetapi juga chanel-nya, bahasa lisan atau tulisan. Situasi keempat ini berkaitan dengan aspek connections dalam tipe wacana. Koneksi ditentukan oleh peran bahasa dalam situasi yang berlangsung. b. Hubungan Konteks Antarteks dengan Pranggapan Fokus kedua dalam interpretasi konteks adalah mencari hubungan antara konteks antarteks dan praanggapan. Dalam pandangan Fairclough (1989:152) wacana dan teks muncul dalam "sejarah" yang dimilikinya. Mereka kepunyaan dari "seperangkat sejarah". Menginterpretasikan konteks antarteks adalah persoalan menentukan seperangkat kepemilikan teks, yakni apa yang dapat diambil sebagai dasar bersama (common ground) untuk partisipan atau apa yang dipraanggapkan (presupposed). Praanuapan dalam teks dapat menjalankar, fangsinya secara ''sungguh-sunRaur, dapat pula "manipulatif'. Praanggapan juga dapat mempunyai fungsi ''ideologic" ketika mereka berpandangan bahwa karakter "pengetahuan umum" atau "akal sehat" itu mela-
146 yani "kekuasaan". Sebuah praanggapan kadang-kadang tidak diambil dari teks tertentu, tetapi pembaca dapat memanfaatkan "pengetahuan latar belakangnya". Dalam hubungan antarteks, teks pada hakikatnya "selalu dialogis" dalam hubungannya dengan teks-teks lainnya. Tidak ada teks yang "ada" tanpa memiliki hubungan dengan teks-teks lainnya. Ini relevan dengan konsep "keantartekstualan" (intertextuulity). Konsep ini membawa kita kepada cara pandang bahwa wacana dan teks berada pada perspektif historis, yang kontras dengan posisi kajian bahasa yang lebih umum yang melihat teks sebagai sesuatu yang dapat dianalisis tanpa referensi teks-teks lainnya, memisahkan teks dari konteks historisnya. c. Tindak Ujaran Tindak ujaran merupakan tuturan yang berupa unit fungsional dalam komunikasi. Makna tindak ujaran menekankan pada kekuatan pratzmatik ujaran. kemampuannya tidak hanya mendeskripsikan dunia, tetapi juga mengubah dunia dengan menyandarkan diri pada masyarakat umum beserta konvensi-konvensinya (Austin, 1975). Menurut Fairdough (1989:156), nilai tindak ujaran tidak dapat dinilai begitu saja dari "dasar fitur-fitur formal tuturan", tetapi hams juga mengambil laporan konteks tuturan tekstual, konteks situasional dan antarteks, serta elemen-elemen sumber materi partisipan. Mengikuti pandangan Austin (1962) ada tiga jenis tindak ujaran, yakni (1) tindak lokusi yaitu tindak mengatakan sesuatu yang bermakna dan dapat dipahami, (2) tindak ilokusi, yaitu tindak melakukan sesuatu, berkaitan dengan apa yang dikerjakan dari tindak mengatakan sesuatu, dan (3) tindak perlokust, yaitu efek atau akibat yang dihasilkan penutur dengan mengatakan sesuatu. Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa penulis lebih suka menggunakan dua penggolongan, seperti dilakukan oleh Edmonson (1981),
147 Leech (1983), Richards, Platt, & Platt (1992), dan Gunarwan (1993). Menurut Richards, Platt, & Platt (1992:217), misalnya, dalam ujaran dibedakan antara (1) isi proposisi sebuah kalimat yang diujarkan atau diimplikasikan, dan (2) daya ilokusi atau efek yang diharapkan tindak ujaran, seperti: mengatur, permintaan, memerintah, membatalkan, memberi maaf, mengizinkan, bersumpah, dan sebagainya. Menurut Searle (1975) tindak ujaran dapat dikelompokkan secara garis besar ke dalam lima jenis,yakni: (1) representatif, (2) direktif, (3) ekspresif, (4) komisif, dan (5) deklarasi. Tindak "representatif' atau "asertif' adalah tindak ujaran yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya. Termasuk ke dalam tindak asertif adalah menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan. Tindak "direktif' adalah tindak ujaran yang dimaksudkan agar pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu. Termasuk ke dalam tindak direktif adalah menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang. Tindak "ekspresif' adalah tindak ujaran yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam ujaran itu. Termasuk ke dalam tindak ekpresif adalah memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, dan mengeluh. Tindak "komisif' adalah tindak ujaran yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan dalam ujarannya. Termasuk ke dalam tindak komisif adalah beijanji, bersumpah, dan mengancam. Tindak "deklarasi" adalah tindak ujaran yang dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal tertentu yang bare. Termasuk ke dalam tindak deklarasi ini adalah memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf. Masih berhubungan dengan tindak ujaran, perlu juga dipahami adanya satu fungsi dapat dinyatakan, dilayani, atau diutarakan dalam berbagai bentuk ujaran, dari tindak
148 ujaran yang bersifat "ungkapan langsung" sampai yang "tidak langsung" dengan berbagai tingkat ketidaldangsungan. Tindak ujaran juga berkaitan erat dengan peran sosial penutur. Performansi tindak ujaran, seperti mentasbihkan sesuatu, menamai kapal, atau menyatakan orang bersalah di pengadilan, mengharuskan para penutur mempunyai peran sosial tertentu menurut kerangka institusi sosial tertentu. Fenomena lain yang juga perlu diperhatikan adalah adanya tindak ujaran yang dikemukakan oleh individu atas nama kelompok institusinya. Fenomena ini umumnya sering muncul dalam negosiasi di mana individu berbicara untuk kepentingan orang-orang lain yang telah memilihnya dan memberinya wewenang untuk berbicara demi kepentingan mereka. Dengan demikian ada dua jenis tindak ujaran, yakni (1) tindak ujaran personal, dan (2) tindak ujaran kolektif. Implikasi dan tindak ujaran yang kedua adalah hadirnya pronomina selain orang pertama tunggal. Berkaitan dengan tindak ujaran, satu catatan penting dikemukakan oleh Fairclough (1989:157), konvensi-konvensi tindak ujaran mewujudkan representasi ideologis subjek dan hubungan sosialnya. Hak-hak dan kewajiban yang tidak seimbang antara subjek mungkin raja ditanamkan atau dilekatkan dalam "hak-hak yang tidak seimbang" dalam mengajukan pertanyaan, tindakan permintaan, mengadu serta "kewajiban yang tidak seimbang" untuk menjawab, bertindak, dan menjelaskan tindakan seseorang. 2.4.4.3 Penjelasan Praksis Sosiokultural Hubungan antara teks dan struktur sosial dimediasikan oleh konteks sosial wacana. Wacana akan menjadi nyata, beroperasi secara sosial, sebagai bagian dari proses-proses perjuangan institusional dan masyarakat. Oleh karena itu, asumsi-asumsi akal se-hat wacana akan memasukkan ideologi sesuai dengan hubungan kekuasaan tertentu. Hu-
149 bungan wacana dengan proses-proses perjuangan dan hubungan kekuasaan merupakan urusan prosedur analisis wacana kritis tahap ketiga, yakni "eksplanasi". Metode "penjelasan" digunakan untuk memberikan penjelasan-penjelasan tentang hubungan fitur-fitur tekstual yang heterogen beserta kekompleksan proses-proses wacananya dengan proses-proses perubahan sosiokultural, baik itu perubahan masyarakat, institusional, dan kultural. Menurut Fairclough (1989:163) tujuan tahapan eksplanasi adalah "memotret" wacana sebagai bagian proses sosial, sebagai praksis sosial, yang menunjukkan bagaimana wacana itu ditentukan oleh struktur sosial dan reproduktif apa saja yang mempengaruhi wacana yang secara kumulatif memakai struktur-struktur itu, menopangnya atau mengubahnya. Tugas tahapan penjelasan ini sesuai dengan paparan sebelumnya bahwa bentuk-bentuk bahasa yang digunakan bukanlah sesuatu yang dipilih secara bebas. Pilihan bahasa dibuat menurut seperangkat kendala-kendala politik, sosial, kultural, dan ideologi (Birch, 1996:68). Dalam pandangan Fairclough (1989:163) struktur sosial adalah fokus hubungan kekuasaan. Proses dan praksis sosial adalah fokus proses dan praksis perjuangan sosial. Eksplanasi merupakan persoalan melihat wacana sebagai bagian proses-proses perebutan sosial dalam matriks hubungan kekuasaan. Eksplanasi memiliki dua dimensi, yakni (1) proses-proses perebutan, dan (2) struktur hubungan kekuasaan. Dimensi pertama menekan kepada bagaimana kita melihat wacana sebagai bagian perebutan sosial, perebutan nonkewacanaan yang lebih luas, dan pengaruh perebutan dalam struktur hubungan kekuasaan. Dimensi pertama ini menekankan pada pengaruh sosial wacana, menekankan pada kreativitas, dan menekankan pada masa depan. Dimensi kedua menekankan kepada bagaimana kita dapat menunjukkan hubungan kekuasaan dalam menentukan wacana.
150 Hubungan-hubungan itu adalah hasil dari perjuangan dan ditetapkan (secara ideal dinaturalisasikan) oleh kekuasaan. Dimensi kedua ini menekankan pada determinasi sosial wacana sebagai hasil perjuangan masa lalu. Baik pengaruh sosial wacana maupun determinan sosial wacana keduanya harus diteliti pada tiga level organisasi sosial, yakni masyarakat, institusi, dan situasi. Asumsi kerja dalam menganalisis kedua dimensi itu adalah bahwa banyak wacana memiliki determinan dan pengaruh pada semua level. Dengan demikian, wacana yang berada pada level masyarakat dan institusi secara jelas akan berbeda dengan tipe wacana yang hanya lebih bersifat institusional semata. Banyak wacana tersusun oleh hubungan kekuasaan institusi dan masyarakat, serta menyumbangkan ke arah perebutan institusi dan masyarakat. Perlu ditegaskan sejak awal, setiap wacana tidak berarti merupakan perwujudan konflik (Fairclough, 1989:164). Bahkan, sebuah wacana yang partisipannya mengambil interpretasi situasi yang sama, mempergunakan prosedur interpretatif (bahan partisipan) yang sama, dan tipe-tipe wacana yang sama, dapat dilihat dan diperlakukan dari dua perspektif, yakni (1) sebagai "akibat hubungan-hubungan sosial", dan (2) sebagai "kontribusi ke arah perjuangan sosial". Tahapan penjelasan ini melibatkan perspektif khusus tentang "sumber bahan partisipan", tempat mereka dilihat secara khusus sebagai ideologi. Dengan demikian, asumsi-asumsi tentang kebudayaan, hubungan sosial, dan identitas sosial yang tergabung dalam "sumber partisipan" dilihat sebagai "ditentukan" oleh hubungan kekuasaan tertentu dalam masyarakat atau institusi. Dalam kontribusinya kepada perjuangan untuk menopang atau mengubah hubungan kekuasaan itu, mereka dipandang secara ideologis.
151 2.5 Beberapa Kajian atau Penelitian yang Relevan 2.5.1 Karangan Pabotinggi Pabotinggi (1993) dalam karangannya yang berjudul "Komunikasi Politik dan Transformasi Ilmu Politik" mengemukakan bahwa kegiatan politik sangat jauh terlibat dengan problematik bahasa. Ilmu politik pun hams berkutat dengan aspek kebahasaan. Ilmu politik harus melakukan transformasi melalui dua dimensi, yakni dimensi ontologis dan dimensi epistemologis. Dalam kedua dimensi itu, transformasi berlangsung melalui semacam revolusi pemahaman akan bahasa sebagai alat, sebagai praktik, sebagai representasi, dan sebagai paradigma. Pabotinggi mengemukakan adanya empat distorsi bahasa dalam komunikasi politik, yakni (1) distorsi bahasa sebagai topeng, (2) distorsi bahasa sebagai "proyek lupa", (3) distorsi bahasa sebagai representasi, (4) distorsi bahasa sebagai ideologi. Pada distorsi pertama, kita dihadapkan pada dua distorsi pemakaian bahasa, yakni (a) eufemisme, dan (b) kramanisasi. Bahasa topeng merupakan praktik bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang dimaksudkan atau lain dari keadaan sebenamya bisa disebut. Komunikasi politik bukanlah komunikasi sosial biasa. Kata "politik" selalu menyangkut persoalan sumbersumber daya yang tidak temilai harganya dan bagaimana sumber-sumber daya itu (hendak) dibagi, diperlukan, atau ditentukan dalam suatu negara. Praktik bahasa topeng tidaklah menjadi masalah jika yang dipermasalahkan adalah komunikasi sosial biasa, yang tidak secara telak menyangkut hajat hidup dan hajat nilai orang banyak. Distorsi kedua berhubungan dengan salah sata kodrat manusis, yakni "lupa". Kata "lupa" yang dimaksudkan sudah dimanipulasikan. Manusia adalah makhluk yang penuh keterbatasan yang perhatiannya amat mudah dialihkan. Lupa dapat diciptakan dan diren-
152 canakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan bahkan jutaan. Dengan mengalihkan perhatian seseorang atau ratusan juta orang, kita membuat mereka lupa. Menurut Pabotinggi (1993), jika sebagian besar media massa bisa dikendalikan untuk tidak membawakan hal-hal atau entitas-entitas tertentu, segenap hal dan entitas yang di-blackout itu lambat atau cepat akan dilupakan orang banyak. Distorsi ketiga terjadi jika kita menggambarkan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Dalam komunikasi politik, penggambaran tidak sebagaimana mestinya itu juga merupakan tindakan yang berbahaya. Penggambaran jelek adalah senjata simbolik untuk menghancurkan lawan, dengan jalan membangkitkan kebencian atas mereka serta mengesahkan pembantaian atau penghancurannya. Distorsi keempat merupakan distorsi yang paling berbahaya. Menurut Pabotinggi (1993) terdapat dua alasan untuk itu, yakni (1) setiap ideologi pada dasarnya memang sudah bersifat distortif, dan (2) distorsi ideologis sangat lihai menggunakan ketiga jenis distorsi lainnya. Distorsi ideologis memikiki dua perspektif. Pertama, perspektif yang mengidentikkan kegiatan politik sebagai hak istimewa sekelompok orang. Anggapan bahwa hanya orang-orang tertentu yang layak masuk dunia politik, sementara orang lain tidak layak merupakan bentuk perpelctif pertama. Kedua, perspektif yang menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik tidak terlalu mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh lingkungan politik dan bagaimana sistem nilai atau kosmologi mereka. Pendukungnya lebih banyak hidup di alam utopia daripada di alam kenyataan. Dalam tulisan lain yang berjudui "Bahasa, Politik, dan Otosentritas", Pabotinggi (1993/1996) mengemukakan bahwa kaitan antara bahasa dan politik itu memang amat jelas pada masa penjajahan. Dalam rangka mengisolasi kita dari dunia luar serta meng-
153 hambat pencerdasan bangsa kita, Belanda menerapkan politik bahasa yang paranoid Di satu pihak, mereka berusaha menjauhkan mayoritas bangsa kita dari kemungkinan menguasai bahasa mereka, tetapi di lain pihak mereka tents berusaha menanamkan superioritas bahasa Belanda atas bahasa-bahasa pribumi. Kaum penjajah beserta para pendukungnya di kalangan bumi putra tiada hentinya meniupkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang tidak memiliki otoritas, bahasa yang "kacau". Tuduhan itu ditangkis oleh Sutan Takdir Alisjahbana dengan mengatakan bahwa jika benar bahasa Indonesia kacau, itu adalah "kekacauan yang nikmat", yaitu suatu kekuatan kreatif, suatu proses transformasi, kekacauan dalam proses menjadi, suatu proses yang lazim terjadi pada bahasa-bahasa yang masih muda. Enam alasan penyebab rasa percaya din menurut Pabotinggi (1996) adalah sebagai berikut. Pertama, bahasa Melayu adalah lingua franca yang hidup dan telah ratusan tahun menjembatani pergaulan dan perdagangan antarsuku di Nusantara. Kedua, penobatan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia ditopan- g oleh semangat menjadi bangsa Indonesia dengan masa depan yang demokratis. Ketiga, eksklusiyisme kebudayaan Belanda sebagaimana terwujud dalam politik bahasa serta masyarakat mereka membuat mayoritas bangsa Indonesia mau tidak mau bereksperimen dengan bahasa dan atau kebudayaan sendiri. Keempat, dari kalangan cerdik pandai kita terdapat tokoh-tokoh serta pejuang-pejuang yang sepenuh had mengerahkan tenaga dan perhatian dalam rangka pembinaan bahasa nasional kita_ Kelima, sifat bahasa Melayu lingua franca itu sendiri sangat istimewa dalam hal watak demokratisnya serta I:elenturan berlakunya dalam berbagai kalangan. Menurut Pabotinggi (1996) selama lima tahun terakhir, bahasa Indonesia telah tumbuh secara memprihatinkan. Terdapat tujuh butir negatif sehubungan dengan perkem-
154 bangan bahasa Indonesia sekarang, yakni (1) penggunaan bahasa Inggris secara berlebihan, (2) pelanggaran kaidah-kaidah bahasa Indonesia di media massa maupun di tempat umum, (3) masuknya pengaruh struktur kalimat bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia yang merusak bahasa nasional kita, (4) gejala kemalasan berpikir yang mulai parah tampak dalam kebiasaan membuat predikat kalimat menurut subjeknya, (5) meluasnya ke cenderungan menggunakan akronim secara sewenang-wenang dan membingungkan khalayak, (6) pelecehan terhadap bahasa Indonesia yang sekaligus pelecehan terhadap bahasa-bahasa yang jumlah pendukungnya cukup berarti di negeri kita, dan (7) gejala perusakan serta pelecehan bahasa Indonesia yang terdorong oleh ideologi pendidikan kita yang cenderung menomorduakan ilmu-ilmu bukan eksakta. Agar bahasa Indonesia kembali mempunyai otoritas, yang diperlukan bukanlah suatu politik bahasa, melainkan pelaksanaan kebijakan otosentrisitas, yakni kesadaran bahwa apa pun yang kita lakukan dalam keseluruhan dinamika ekonomi, politik, dan kultural kita, yang diutamakan tetap adalah pembangunan "jiwa dan raga" bangsa kita. Otoritas bahasa Indonesia hanya dapat ditegakkan jika otoritas bangsa pendukungnya di bidang politik, ekonomi, dan kultural kembali ditegaskan dengan landasan solidaritas. 2.5.2 Karangan Benedict R.O'G. Anderson Anderson (1966/1996) dalam karangan yang berjudul "Bahasa Politik Indonesia" berusaha melihat bahasa Indonesia kontemporer sebagai suatu usaha (enterprise) yang mengarahkan krisis budaya nan dahsyat, dan sebagai bagian proyek bawah sadar yang muncal dan praanggapan tentang "modernitas" dalam naungan modal Itas yane menghendaki sebuah tradisi sosial politik yang asli dan berdiri sendiri. Bahasa Indonesia barn merupakan keperluan mendesak bagi pembentukan kesadaran nasional di kalangan anak
155 muda Indonesia. Karakter bahasa politik Indonesia modern lahir dari kenyataan tak terelakkan bahwa is adalah ahli waris dari tiga bahasa yang berbeda--yakni bahasa Belanda, Jawa, dan Me-layu Revolusioner--dan dua tradisi budaya-linguistik yang berbeda pula, yakni budaya Belanda-barat dan Jawa. Bahasa Indonesia baru tak bisa menghindar untuk berkembang sebagai alat komunikasi yang dapat mengekspresikan tidak hanya nasionalisme Indonesia, melainkan jugs aspirasi bangsa Indonesia, tradisi Indonesia, dan realitasrealitas internasional. Anderson mengemukakan adanya proses Jawanisasi Indonesia yang terelakkan, baik berupa kosakata maupun modalitas, suatu pokok pikiran yang cukup menggelitik bagi pemerharti bahasa politik Indonesia. Jawanisasi Indonesia memiliki sejumlah segi, semuanya berhubungan rapat dengan situasi sosial dan politik aktual. Beberapa segi itu adalah (1) kramanisasi bahasa publik Indonesia, (2) ngoko baru, (3) netralisasi atau merebut simbol-simbol revolusioner, dan (4) imaji politik Jawa. 2.5.3 Karangan Jalaluddin Rakhmat Dalam karangannya yang berjudul "Komunikasi dan Perubahan Politik di Indonesia", Rakhmat (1993/1996) memberikan contoh bagaimana analisis bahasa—meskipun terbatas pada analisis kosakata--dapat dipergunakan untuk menganalisis perubahan politik di Indonesia. Rakhmat secara umum mengamati adanya kecenderungan pergantian daftar kosakata dan pergantikan makna kata pada setiap rezim pemerintahan. Kosakata yang menjadi mainstream pada rezim tertentu akan hilang dengan pergantian rezirn. Da!am pandangan Rakhinat, berbicara masalah politik tidak dapat terlepas dari persoalan "ideologi". Dalam perumusan dan penyebaran ideologi, peranan bahasa sangat menentukan. Bahasa memang ideology soaked. Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa
156 ideologi membentuk dan dibentuk oleh bahasa. Dengan ideologi orang memberi makna pada realitas sosial. Untuk memudahkan penyimpanan, pemeliharaan, pengolahan, dan penyimpanan makna diperlukan bahasa. Pada gilirannya, bahasa tertentu—yang ditampakkan pada pemilihan kata dan kalimat—membentuk realitas sosial tertentu. Menurut Rakhmat (1996:50) berkenaan dengan peranan bahasa dalam mengkonstruksi realitas sosial, di kalangan ilmuwan sosial terkenal dengan the social constructionist movement yang didasarkan pada empat asumsi berikut. Pertama, dunia ini tidaklah tampak secara objelctif pada pengamat, tetapi diketahui melalui pengalaman yang umumnya dipengaruhi bahasa. Kedua, kategori linguistik yang dipergunakan untuk memahami realitas bersifat situasional karena kategori itu muncul dari interaksi sosial dalam kelompok orang pada waktu dan tempat tertentu. Ketiga, pemahaman terhadap realitas pada waktu tertentu ditentukan oleh konvensi komunikasi yang berlaku pada waktu itu. Keempat, pemahaman realitas yang terbentuk secara sosial membentuk banyak aspek kehidupan lain yang penting. Rakhmat menambahkan satu asumsi lagi, yakni bahwa dalam wacana politik, walaupun kategori linguistik itu muncul dari interaksi sosial, is sangat ditentukan oleh orang-orang yang berkuasa. Pergantian elite penguasa selalu mengandung implikasi pergantian "bahasa". Setiap elite, sesuai dengan ideologinya, akan menyusun "kamus" yang khas. Dalam wacana politik, menurut Rakhmat pergantian "bahasa" itu dapat dilihat pada dua aspek, yakni (1) pergantian daftar kosakata, dan (2) pergeseran makna kata. Kosakata Orde Lama berpusat pada kata kunci "revolusi". Indonesia digambarkan sedang melakukan revolusi besar, untuk membangun dunia baru dan menjungkirbalikkan dunia yang sekarang. Orang atau kelompok yang tidak menyetujui "revolusi" ini dinamakan dengan kelom-pok. yang "antire-
157 volusi". Kosakata Orde Baru berpusat pada kata kunci "pembangunan". Indonesia digambarkan sebagai bangsa yang sedang membangun. Dalam Orde Baru tidak ada golongan yang antirevolusi. Yang ada ialah kelompok antipembangunan. Kosakata yang muncul merupakan cermin dari elite penguasa yang selalu menentukan segala hal dan hampir selalu mendefinisikan kosakata untuk makin merugikan yang kurang berkuasa. 2.5.4 Karangan Virginia M. Hooker Karangan Hooker (1990/1996) yang berjudul "Bahasa dan Pergeseran Kekuasaan di Indonesia: Sorotan terhadap Pembakuan Bahasa Orde Baru" menyoroti bahasa Orba dengan mengambil sumber data "Amanat Kenegaraan", yaitu pidato Presiden Soeharto yang disampaikan secara rutin setiap tanggal 16 Agustus setiap tahun. Hooker menggunakan piranti analisis "konteks situasi" dan Halliday (1978:110). Tujuan kajiannya adalah mencari penjelasan hubungan antara teks-teks dan situasi (konteks) yang didasarkan pada medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. Hasil penelitian Hooker menunjukkan bahwa pidato-pidato politik Presiden Soeharto tidak jauh berbeda satu dengan yang lainnya. Pidato-pidato itu menggunakan frasafrasa yang sama, memiliki kesamaan kosakata, diarahkan pada kebersamaan, tujuan, dan sasaran serta dalam nada yang positif dan imbauan serta ajakan yang sama ke arah partisipasi masyarakat dalam pembangunan nasional. Nada pidato yang relatif sama ditemukan pada pidato-pidato para menterinya. Menurut Hooker (1996:75) tinjauan terhadap pidato-pidato kepresidenan ini telah memperlihatkan dengan jelas bahwa Orde Baru menaruh kepentingan yang bestir pada bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi, administrasi, dan persatuan. Tak diragukan lagi, kecenderungan di masa-masa mendatang adalah meningkatnya jumlah pemakai ba-
158 hasa Indonesia serta meningkatnya ketegangan antara bahasa Indonesia "yang baik dan benar" dan pelbagai macam pemakaian bahasa "yang informal dan populer". Dalam penelitiannya, Hooker juga membandingkan pidato hari kemerdekaan antara Orde Lama dan Orde Baru. Hasilnya dapat diperhatikan pada tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1 Perbandingan Pidato-pidato Hari Kemerdekaan Orde Lama dan Orde Baru Konsep
ORDE LAMA
ORDE BARU
Bidang
Komentar dan apologi Rumusan umum Bisa ditawar Waktu: - jauh masa lalu - masa lalu
Tinjauan dan Rencana mendatang Rumusan detail Tak bisa ditawar Waktu: - sekarang - mendatang
Tenor
Cara
Dialog Kerangka rujukan pembicara: kita, saya, Bung Kamo, Presiden Soekamo
Monolog Kerangka rujukan pembicara: kita, pada um umnya "saya
Pribadi, emosional Perpaduan formal dan informal
Impersonal Bahasa yang sederhana, formal, dan berbawa Terencana, terarah berulang-ulang
Empati, eklektik, acak
Sumber: Hooker (1990/1996:72) 2.5.5 Karangan Michael van Langenberg Langenberg (1990/1996) dalam karangan yang berjudul "Negara Orde Baru: Bahasa, Ideologi, dan Hegemoni" bertujuan mencari hubungan bahasa, ideologi, dan hegemoni dalam sebuah rezim yang bernama Orde Baru. Langenberg secara lugas dan kronologis memaparkan sebuah negara Orde Baru yang di dalamnya terdapat empat area utama, yakni: sistem negara, masvarakat madani, dunia swasta, dan wilayah publik. Dalam empat area itu terjadi empat proses, yaitu: dominasi, hegemoni, produksi, dan pasar berlangsung. Intl pokok pikirannya adalah bahwa masyarakat madani, dunia swasta, dan wilayah publik sangat sedikit yang lepas mandiri dari interaksi kontinyu dengan sistem negara.
159 Beberapa pokok pikiran van Langenberg (1996) dapat dipaparkan berikut ini. Pertama, dalam menelaah mengenai Orde Baru, is berangkat dan asumsi bahwa negara, secara simultan, adalah sebuah entitas, arena, dan ide. Secara fungsional dan ideal dan negara ini saling bergantung dan berjalin rapat. Sistem negara—yaitu pemerintahan eksekutif, militer, polisi, parlemen, birokrasi, dan pengadilan—merupakan jaringan institusi yang mengontrol masyarakat madani sekaligus menggerakkan alat produksi, distribusi, dan pertukaran dalam kerangka deklarasi nasional dan kepentingan umum. Kedua, Orba telah membangun hegemoni dengan formulasi ideologi sebagai tiang utamanya. Beberapa kata kunci yang diagung-agungkan adalah (1) ketertiban, stabilitas, dan keamanan nasional, (2) bahaya laten di dalam tubuh politik dan masyarakat madani, (3) kemajuan material dan modernisasi, (4) konstitusionalisme dan fetishisme hukum, (5) kesakralan filosofi nasional, (6) korporasi nasionalisme, serta (7) populisme birokrasi. Ketiga, falsafah tunggal resmi, Pancasila, memaknai negara sebagai entitas totaliter atau korporatisme. Negaranya adalah negara Pancasila. Seluruh organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan hams menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas, tidak ada pilihan untuk menolaknya. Menolak Pancasila akan memperoleh predikat penghasut, pengkhianat, atau bahkan subversif. Bahkan, istilah yang terakhir ini cukup ditakuti oleh orang-orang atau kelompok yang menentang Pancasila. Termasuk dalam bagian ini juga pengenalan konsep "dwi fungsi ABRI" dan "wawasan nusantara" yang hams dipahami dan disikapi secara benar oleh seluruh komponen bangsa. Keempat, sistem negara Orde Bam telah melembagakan proses yang rumit, yakni negosiasi antara tiga kecenderungan utama: totaliterisme politik, konstitusionalismelegalisme, serta keberagaman budaya. Dari tiga kecenderungan utama inilah kekuasaan
160 dan legitimasi di dalam negara mengalir. Dalam konteks ini peranan bahasa lewat legitimasi simbolik dan instrumental yang diartikulasikan secara berulang-ulang amat besar. Kelima, selama berjalan kurang lebih 43 tahun istilah "pembangunan" menjadi kata kunci dalam bentuk doktrin yang secara konsisten melegitimasi keberadaan Orde Baru. Sosialisasi "pembangunan" tidak dapat dilepaskan dengan terjaganya stabilitas yang diawasi oleh badan Kopkamtib. Pembangunan dituangkan dalam GBHN. Menentang "pembangunan" berarti melakukan tindak pidana subversif Beberapa pengusaha mendapat keistimewaan dalam bentuk monopoli dan perlakuan khusus lainnya. Keenam, untuk semakin memperkuat legitimasinya, Orde baru selalu menyikut Orde Lama sebagai periode yang sangat kacau dan penuh dengan kekerasan massal. Istilah G30S/PKI selalu menjadi kata kunci untuk menghancurkan dan mengucilkan pihak-pihak yang menentang Orde Baru. Orang akhirnya hams berpredikat "bersih dire dan "bersih lingkungan" jika ingin meniti karier sebagai pegawai, baik pemerintah maupun swasta. Ketujuh, dalam bidang budaya, proses produksi budaya sejak tahun 1960-an terlihat dan meningkatnya perhatian terhadap nilai-nilai, gaya politik, dan tradisitradisi di kalangan strata elite masyarakat Jawa (priyayi). Semua simbol nasional, nama gedung, perilaku elit, dan bahasa resmi sebagai tanda loyalitas kepada negara semua ditekankan lewat bentuk dan bahasa elite kebudayaan Kejawen tersebut. Kedelapan, Orde Bam memberi sedikit ruang bagi wacana perbedaan, wacana tanding. Meskipun sudah ada keterbukaan politik, tetapi semua perbedaan hams berada pada koridor stabilitas nasional. Ada empat pembatasan utama terhadap keterbukaan politik, yakni (1) pendapat hams secara terbuka dikemukakan dengan "perilaku rasional", (2) tidak boleh bertentangan dengan kepentingan rakyat, (3) kesatuan nasional tidak boleh ter-
161 ancam, (4) keterbukaan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar bangsa. Kebebasan yang dikembangkan adalah kebebasan yang bertanggung jawab. 2.5.6 Karangan Ariel Heryanto Heryanto (1992/1996) dalam karangan berjudul "Pembalcuan Bahasa dan Totalitarianisme" lebih banyak berupa catatan kritis terhadap dunia kebahasaan Indonesia yang telalu dicampuri oleh pemegang kekuasaan. Ia mengkritik keberadaan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B). Kritikan Heryanto terpusat pada dua hal pokok, yakni (1) kaitan antara kebijakan berbahasa dengan watak negara, dan (2) rincian dan penajaman terhadap hal pokok pertama. Terhadap keberadaan P3B dan kebijakan-kebijakan yang diambiinya, Heryanto memberikan kritikan yang cukup tajam. Terdapat empat kritikan yang disampaikan Heryanto berkenaan dengan keberadaan P3B ini. Pertama, masuknya aspek elitisme politik dalam bahasa. Kebijakan itu bertumpu pada asumsi bahwa ada sejenis bahasa yang secara transendental dan universal berpredikat "baik dan benar", sedangkan bahasa yang hidup dalam masyarakat dianggap "jelek dan keliru". Kebijakan itu menyangkal kaitan bahasa dengan proses politik dan dinamika kekuasaan yang rumit. Kedua, komodifikasi nilai sosial dalam bahasa. Bahasa yang "baik dan benar" itu dianggap perlu, tetapi langka. Bahasa dengan "nilai tambah" itu diproduksi dengan mengandalkan tenaga profesional, sumber daya, dan dana. Bahasa yang "baik dan benar" merupakan basil kerja monopoli para ahli, seperti komcditas konsumsi yang lain. Ketiga, pandangan epistemologis instrumentalis. Kebijakan itu memperlakukan bahasa sebagai alat kornunikasi yang netral, sebuah perkakas bagi mesin pembangunan.
162 Metode kerja pembinaan-pengembangan bahasa mirip kerja insinyur, yaitu rekayaga. Modalnya adalah ketelitian, rasionalitas, dan logika formal. Aturan (gramatika) dan penyeragaman (pembakuan) dengan demikian merupakan bagian kerja yang menonjol. Keempat, pandangan mistifikasi ideologi. Pembenaran bagi kebijakan bahasa bersumber dari ideologi nasionalistik, yang sering memunculkan semacam pemurnian bahasa dari unsur-unsur yang dianggap acing. Mitologi "kepribadian" dikukuhkan lewat pandangan esensialis tentang "jati diri" atau "kepribadian nasional". Terhadap kaitan antara kebijakan negara dan watak negara, Heryanto (1992) mengemukakan bahwa sejarah perencanaan bahasa balm itu cukup universal. Beberapa catatan penting dapat dikemukakan berikut. Pertama, sejarah perencanaan bahasa itu lebih tepat dipahami sebagai bagian dari sejarah sepak terjang negara modern, [ketimbang] ilmu sosial dan humaniora, khususnya linguistik. Sejarah perencanaan bahasa di Indonesia sudah berlangsung lama. Perencana an bahasa bermotivasi untuk mengoptimalkan efisiensi pengisapan kekayaan alam dan tenaga rakyat. Di berbagai masyarakat lain di dunia, pengendalian bahasa juga merupakan bagian dari dinamika jatuh dan bangunnya negara. Terbitnya buku tatabahasa dan kamus lebih merupakan usaha untuk menindas bahasa-bahasa yang sedang hidup yang dianggap "tidak baik dan benar". Kedua, di banyak negara lain yang dianggap "demokratis", bukannya tidak terjadi penindasan bahasa oleh negara. Di Amerika era Reagan, misalnya, terjadi upaya rnenjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi dan bahasa nasional dalam rarigka menindas kaum minoritas. Secara tegas, Heryanto (1996:257) menegaskan bahwa jika benar kontrol bahasa secara terlembaga penting bagi pembentukan dan pengukuhan kekuatan negara,
163 khususnya negara yang antirakyat, maka bisa dibayangkan gejala itu menonjol pada negara yang berwatak totalitarianisme. Untuk "menggungat" aspek totalitarianisme dalam kehidupan kebahasaan, Heryanto menyarankan kita semua untuk mengacu kepada pandangan Faucault tentang peran ilmu dan ilmuwan bahasa. Dari acuan Faucault ini tiga catatan yang diberikan Heryanto sebagai berikut. Pertama, ada beda antara minat serta kepentingan individu-individu pejabat negara dan kepentingan negara sebagai sebuah badan. Kedua, ilmuwan tak pernah bebas dan kuasa dan politik termasuk juga linguis yang kelihatannya hanya sibuk menjungkirbalik ejaan kata, awalan, atau bunyi kata. Ketiga, pengkajian kebijakan bahasa tidak bisa ditempatkan pada "lingkungan terbatas": linguistik yang memperlakukan bahasa sebagai alat komunikasi dalam pembangunan. Pengkajian bahasa mengantar kita pada pertanyaanpertanyaan mendasar tentang hakikat dan sejarah negara serta ilmu(wan). Dalam karangannya yang berjudul "Bahasa dan Kuasa: Tatapan Posmodernisme", Heryanto (1993/1996) mengadakan penggugatan terhadap kajian ilmiah bahasa yang lebih merupakan pelecehan terhadap bahasa. Fokus gugatannya adalah pada kajian bahasa yang memperlakukan bahasa pertama-tama dan terutama sebagai alat atau instrumen, lebih tepatnya lagi sebagai "alat komunikasi". Pandangan instrumentalis ini lebih mendominasi dunia ilmu bahasa di Indonesia yang menganggap bahasa sebagai alat yang "netral dengan keberadaan subjek-subjek yang merdeka yang dengan bebas dapat menunggangi, memperalat, menjungkirbalikkan, atau secara kreatif menyusun bahasa indah. Pandangan yang instrumentalis itu amat beroriontasi pada ni:ai-nilai kegunaan teknis-pragmatis-ekonomis terhadap bahasa. Bahasa dianggap baik adalah bahasa yang rasional, logic, sistematis, terpadu, hemat, dan standar. Pandangan seperti ini cukup mem-
164 bahayakan. Dalam komunikasi sosial yang secara garis besar ditandai oleh kesenjangan sosial-politik-ekonomi-budaya-agama, bahasa adalah alat kekuasaan dalam reproduksi kesenjangan sosial itu. Aspek-aspek bahasa yang lain, bahkan perlu dilecehkan supaya tidak mengganggu "stabilitas dan keamanan". Dalam pandangan Heryanto, sejarah perjalanan kajian kebahasaan penuh dengan pelecehan terhadap bahasa. Bahasa semata-mata dipandang sebagai alat komunikasi. Munculnya P3B lebih merupakan pengejawantahan dari sebuah master-discourse yang berbunyi "pembangunan adalah panglima". Bahasa Indonesia yang sekarang kita gunakan bukanlah bahasa yang tumbuh secara alamiah, tetapi lebih merupakan bahasa "rekayasa" di laboratorium para ahli. Ini sejajar dengan hasil karya antropolog asing tentang konsep "hukum adat" dan "kepribadian khas timur"--seperti harmoni, gotong royong, kekeluargaan—yang sering dibanggakan Orde Baru untuk menutupi kelemahan-kelemahannya. Pandangan yang instrumentalis, pandangan yang melecehkan bahasa dan menindas sastra kini menghadapi gugatan besar dari posmodernisme. Bahasa dan kajian bahasa menjadi cumber ilham utama atau pusat wilayah dari seluruh sejarah pergolakan sosial. Jika sekarang para ahli politik, hukum, filsafat sedang gandrung mengkaji bahasa itu tidak mengherankan karena memang kajian bahasa dan sastra menjadi salah satu "tanah air" posmodernisme. Para sarjana sosial tidak lagi dapat mengabaikan kajian-kajian bahasa posmodernis. Hanya saja, ironis terjadi di Indonesia banyak sarjana bahasa tidak ter- libat dalam perdebatan posmodernisme. Dalam konteks posmodernisme kita diingatkan pada dikotomi Saussure tentang penanda" dan "petanda", di mana dikotomi itu digarap secara besar-besaran oleh para pemikir dan praktisi dekonstruksi yang dijuluki kaum "pascastrukturalis". Dua hal dikemuka-
165 kan di sini. Pertama, hubungan antara realitas objektif dan bahasa (penanda/makna) yang merepresentasikannya tidak pemah ilmiah atau tidak pernah dapat diilmiahkan. Yang dapat diilmiahkan hanya hubungan struktural antara penanda-petanda. Kedua, makna tidak pernah ditentukan oleh agen (pengguna bahasa) karena makna itu dibentuk oleh sistem bahasa itu sendiri. Makna sebuah teks selalu bersifat terbuka, majemuk, penuh kemung kinan, dan di luar kendali agen atau subjek tertentu. Hal kedua ini yang nyata-nyata menjadi musuh modernisme, kapitalisme, dan militerisme. Ilmu modern yang instrumentalis, tata politik negara yang legalistik dan militeristik yang represif mendambakan kepastian dan stabilitas. Mereka lebih senang menggunakan metode kerja dikotomi terhadap sesuatu, benar x salah, betul x salah, resmi x liar, yang satu diunggulkan dan lainnya ditindas. Dalam konteks inilah, posmodernisme menggugat secara radikal. 2.5.7 Karangan Daniel Dhakidae Tulisan Dhakidae (1992/1996) yang akan dipaparkan secara singkat pada bagian ini berjudul "Bahasa, Jumalisme, dan Politik Orde Baru". Dalam pandangan Dhakidae, periode pemerintahan Orde Baru merupakan rezim yang amat sangat memperhatikan bahasa. Pasa masa ini, ada kegiatan yang merasa perlu untuk mengawasi bahasa dan memelihara semacam "hukum dan aturan" bagi perilaku linguistik. Untuk membicarakan bahasa Indonesia dalam jurnalisme Indonesia, tiga komponen dibahas Dhakidae dalam tulisan ini, yakni (1) bahasa birokrasi, (2) birokrasi bahasa, dan (3) bahasa jurnalistik. Penganalisisan terhadap interaksi kedua atau ketiga komponen menurut Dhakidae akan memberikan kepada kita beberapa penglihatan inengenai apa yang sesungguhnya terjadi, tidak hanya dalam bahasa itu sendiri, tetapi juga dalam lapanganlapangan sosial dan politik.
166 Dalam membicarakan bahasa birokrasi, menurut Dhakidae (1992) birokrasi pemerintah mendominasi jumalisme Indonesia untuk suatu alasan penting bahwa institusi ini merupakan cumber utama sebagian besar berita. Perkembangan dari bahasa spesifik birokrasi ini sedemikian jauh sehingga membentuk suatu ragam bahasa tertentu. Terdapat tiga karakteristik bahasa birokrasi, yakni (1) dapat dipersingkat menjadi bahasa jargon pembangunan, dari birokrasi tingkat atas sampai terendah, (2) bahasa tersebut sarat dengan muatan nada-nada ideologis dalam arti yang luas, dan (3) gaya bahasanya menampilkan latar belakang etnis dan kultur dari para pemakainya. Karena mayoritas para pemakai adalah orang Jawa dan Sunda, bahasa jurnalistik banyak didominasi oleh dua kelompok etnis tersebut. Menurut Dhakidae (1996:248) apa yang sesungguhnya terjadi adalah pernikiran tidak mengikuti pembicaraan, pembicaraan tidak perlu merefleksikan pikiran seseorang, cam berpikir seseorang tidak menemukan saluran yang diperlukan untuk mengungkapkan tujuan seseorang. Tentang birokrasi bahasa, Dhakidae berpendapat bahwa P3B adalah sebuah birokrasi yang menanggung beban yang nyaris mustahil dalam rangka "membersihkan bahasa". Hasil ketja para ahli linguistik di P3B menghasilkan bahasa tipikal yang memiliki tiga karakteristik, yakni (1) jenis bahasanya merupakan hasil dari usaha berat selama bertahun-tahun untuk mengefisienkan perilaku linguistik yang "sebaik dan sebenar mungkin", (2) bahasanya dari waktu ke waktu hams terus diperbaharui karena hams berkejaran dengan perubahan teknologi global yang cepat, dan (3) muncul gejala alienasi bahasa Indonesia dari komunitas bahasa secara luas. Pengaruh kedua komponen di atas, dalam pandangan, Dhakidae membawa pengaruh luar biasa terhadap bahasa yang digunakan dalam pers atau bahasa jurnalistik. Dhaki-
167 dae (1996:250) memberikan lima catatan kritis berikut ini. Pertama, situasi linguistik yang diciptakan oleh birokrasi pemerintah ditandai oleh formalitas, kegersangan, dan perilaku yang tidak imajinatif. Kedua, jurnalisme Indonesia secara serius mengembangkan suatu "slang birokrasi" yang menjadi trade mark para pejabat dari atas ke bawah yang dianggap "beradab lebih tinggi" daripada slang lainnya. Ketiga, slang itu bersifat esoteris, orang di luar birokrasi rasanya "kurang pantas" menggunakan slang birokrasi ini. Keempat, tipe bahasa ini dipandang elitis oleh adanya dominasi dari politik birokratis, khususnya dalam bidang linguistik. Kelima, ragam bahasa ini mengakibatkan "penyusutan pikiran", misalnya dalam akronim "pemilu" yang direduksi sampai ke tingkat terendah dan disinonimkan dengan "mencoblos". 2.5.8 Karangan Hilmar Farid Karangan Farid (1994/1996) yang dipaparkan berjudul "Menemukan Bangsa, Mencipta Bahasa: Bahasa, Politik, dan Nasionalisme Indonesia". Dalam pandangan Farid, kajian aspek kesejarahan bahasa Indonesia lebih didominasi oleh pandangan yang relatif "mulus" dan "tidak bermasalah", yakni bahwa "bangsa" dan "bahasa" Indonesia sudah ada sejak waktu yang lama. Menurut Farid,konsep tentang bahasa dan bangsa-sekalipun memiliki akar sejarah yang panjang--adalah temuan yang relatif barn. Menurut Farid, kesadaran akan "bangsa" mendahului kesadaran akan "bahasa". Rakyat Indonesia sadar akan konsep bangsa pada akhir abad XIX saat beberapa putra terbaiknya mengenyam pendidikan di sekolah kolonial yang selanjutnya memberikan kesernpatan bagi mereka untuk membayangkan diri sebagai suatu komunitas. Baru kemudian konsep ini pun berkembang di kalangan rakyat dengan pengertian yang tidak selalu sama, sesuai dengan minat dan kepentingan tiap-tiap penafsir itu.
168 Menurut Farid, bahasa sampai titik ini tidak pernah dipersoalkan, apalagi dihubungkan dengan "bangsa". Orang pergerakan semata melihatnya sebagai satu alat menyampaikan pikiran, misalnya penggunaan bahasa Melayu Rendah di hampir semua surat kabar. Pengangkatan bahasa Melayu Tinggi menjadi bahasa Indonesia memunculkan dua catatan kritis. Pertama, pemerintah kolonial secara resmi "mengangkat" bahasa Melayu Tinggi menjadi sebuah "bahasa" dalam pengertian language dengan tata pandang universalisme barat. Kedua, penyusunan tata bahasa yang pada dasarnya adalah sebuah dokumen sejarah, potret dan tahap tertentu dalam perkembangan bahasa, yang terbentuk secara historis dan terus bergerak sangat diwarnai oleh kacamata kolonial dengan menafikan bahasa Melayu Rendah yang nyata-nyata hidup dalam kekuatan-kekuatan sosial pemakainya. Dengan demikian, identifikasi sebagai "bangsa" pada awalnya dibangun oleh kepentingan yang sama, dan bukan oleh kriteria perbedaan etnisitas, apalagi bahasa semata, yang tumpang tindih dengan identifikasi lainnya yang cukup beragam. Tentang kongres baha_cs, beberapa catatan dikemukakan Farid sebagai berikut. Pertama, bahasa Melayu Tinggi yang kemudian dialihkan menjadi bahasa Indonesia sarat dengan masalah kekuasaan dan politik. Kedua, keinginan mempertahankan pandangan bahwa bahasa Indonesia berjalan dengan logika sendiri yang "tidak dimulai oleh pengaruh Kompeni Eropa" menghaciapi tantangan ketika Fokker menyusun buku tata bahasa Indonesia yang pertama. Bagaimanapun teks di atas lebih tepat dibaca sebagai pernyataan politik tentang bagaimana "bangsa" menentukan "bahasa". 23.9 Karangan D.P. Tampubolon Karangan Tampubolon (1998) yang akan dipaparkan secara singkat pada bagian ini berjudul "Gejala-Gejala Kematian Bahasa: Suatu Observasi Ragam Politik Orde Baru".
169 Menurut Tampubolon, dalam setiap era itu lahir dan berkembang ragam tertentu dalam bahasa Indonesia yang disebut "ragam politik" (RP). Identitas RP itu dapat dilihat terutama pada tataran leksikal, semantik, dan gaya. Kehadiran RP pada umumnya hanya berlangsung selama era politik atau orde politik bersangkutan. Keberadaan RP dari satu era ke era lainnya menunjukkan belum matangnya dunia politik suatu bangsa. Di negara-negara yang matang demokrasinya, RP tidak begitu menonjol. Pergantian partai yang berkuasa di pemerintahan tidak serta merta signifikan dengan pergantian RP. Sebaliknya, di negara yang belum matang demokrasinya RP selalu berganti mengiringi rezim yang berkuasa sampai rezim itu turun dari panggung kekuasaan. Dengan menggunakan pisau bedah teori semantik generatif, Tampubolon berhasil mengidentifikasikan sejumlah karakteristik ragam politik, yang dirumuskan dalam enam gejala kematian bahasa semasa Orde Ban', yakni (1) represi linguistik, (2) monopoli semantik, (3) gaya topeng, (4) akronimisasi berlebihan, (5) adopsi berlebihan, dan (6) importasi berlebihan. Gejala-gejala itu dipaparkan secara singkat fiada bagian berikut. Gejala kematian bahasa yang pertama adalah "represi linguistik", yakni penekanan dan pembatasan atas kebebasan rakyat menyatakan pikiran dan perasaannya dengan bahasa, yang dilakukan oleh penguasa terutama dengan memperalat bahasa (Tampubolon, 1996:9). Represi linguistik merupakan bentuk represi yang "sangat mendasar" karena beberapa alasan, yakni (1) melemahkan daya nalar dan daya rasa, (2•) melemahkan kreativitas kebahasaan sehingga bahasa tidak berkembang secara baik dan maksimal sebagai alat berpikir dan berasa, memahami pikiran dan perasaan, serta menyatakan pikiran dan perasaan, (3) memiskinkan kebudayaan, khususnya kesusastraan, dan (4) melanggar hak asasi manusia. Represi linguistik ini dilakukan dengan menciptakan dan mempergunakan
170 kosakata politik untuk membatasi kebebasan masyarakat menyatakan pikiran dan perasaan terutama yang bersifat kritis. Kosakata yang digunakan memiliki empat makna konotatif, yakni "kekerasan", "pengendalian", "kecurigaan", dan "kejahatan". Gejala kematian bahasa yang kedua adalah "monopoli semantik", yakni penguasaan atas pemaknaan kosakata, kalimat, dan wacana yang mengandung ide-ide politik hanya oleh penguasa saja, tetapi harus diterima dan dipatuhi oleh rakyat. Sebagai konsekuensi monopoli semantik tersebut adalah (1) kerancuan semantik karena distorsi makna, (2) kerancuan sintaksis dan logika bahasa, dan (3) melemahnya daya nalar. Ketiga kelemahan itu menghambat, bahkan dapat mematikan, kreativitas kebahasaan dan kebudayaan. Gejala kematian bahasa yang ketiga adalah "gaya topeng", yakni gaya bahasa yang mengutamakan penghalusan semantik secara berlebihan sehingga semua kedengaran dan terasa baik, tetapi kebenaran yang sesungguhnya tertutupi. Gaya topeng tidak sama den2an eufemisme karena eufemisme tidak menutupi kebenaran, tetapi hanya mengubah cara pengungkapan makna untuk menghindarkan ketersinggungan atau kekurangsopanan yang mungkin dirasakan oleh pendengar atau pembaca. Bagi masyarakat banyak, gaya topeng dapat mengakibatkan tiga kerugian, yakni (1) pembudayaan ketidaksesuaian antara makna, kata, dan pragma, yang pada gilirannya akan menimbulkan pembusukan moralitas individu dan masyarakat serta kebudayaan, termasuk bahasa yang bersangkutan, (2) bahasa menjadi tidak efektif dan efisien sebagai alat berpikir dan berasa, memahami pikiran dan perasaan, serta menyatakan pikiran dan perasaan yang benar, dan (3) kemerosotan kredibilitas terhadap penguasa dan di kalangan masyarakat. Gejala kematian bahasa yang keempat adalah "akronimisasi berlebihan", yakni proses pembentukan dan penggunaan akronim yang tidak atau kurang beraturan dan tidak
171 sesuai dengan kebutuhan yang wajar sehingga sering membingungkan. Ketidaktegasan pengaturan akronim dalam BI mengakibatkan banyaknya akronim yang tidak beraturan. Dengan keadaannya seperti itu, akronimisasi berlebihan menimbulkan empat kerugian mendasar, yakni (1) kerancuan struktural, (2) membudayaan berpikir tidak sistematis, (3) penyusutan daya nalar, dan (4) alienasi bahasa. Gejala kematian bahasa yang kelima adalah "adopsi berlebihan", yakni proses pengambilan dan penggunaan kosakata bahasa daerah secara tidak atau kurang beraturan dan tidak sesuai dengan kebutuhan yang wajar sehingga sering membingungkan. Adopsi di lakukan untuk tujuan efisiensi bahasa. Akan tetapi, menurut Tampubolon, dalam BI terdapat juga alasan lain, yakni (1) membentuk suatu ragam khusus, hal ini terutama dalam ragam ABRI, dan (2) untuk tujuan eufemistis atau gaya topeng, terutama dalam ragam birokrasi. Adopsi berlebihan ini dapat menimbulkan tiga kerugian, yakni (1) alienasi bahasa, (2) kerancuan struktural, hal ini terjadi karena percampuran antara unsur-unsur BI dan hasil-hasil adopsi, dan (3) kerancuan kognitif akibat percampuran antara unsur-unsur dua bahasa yang berlatar belakang budaya yang berbeda. Gejala kematian bahasa yang keenam adalah "importasi berlebihan", yakni proses pemasukan dan penggunaan kosakata bahasa asing secara tidak atau kurang beraturan dan tidak sesuai dengan kebutuhan yang wajar, terutama melalui hubungan perdagangan luar negeri sehingga sering membingungkan. Pelaksanaan importasi semasa Orde Baru memiliki dua alasan, yakni (1) pengaruh hubungan bisnis luar negeri, dan (2) gengsi. Sebagai bahasa internasional, bahasa hwaris menduduki tempat pertama dalam proses importasi ini. Importasi yang berlebihan itu membawa tiga akibat, yakni (1) alienasi bahasa, (2) kerancuan struktural, dan (3) kerancuan kognitif
172 Enam gejala kematian bahasa di atas sangat menonjol pada BI era Orde Baru, suatu era pemerintahan yang cukup lama dalam sejarah Indonesia. Akibat yang paling parah dari semua itu adalah terjadinya "pembusukan linguistik", yang menurut Tampubolon (1998:34) terdiri atas empat jenis, yakni (1) rasa takut dan ketidakbebasan menyatakan pikiran dan perasaan dengan bahasa, yang mengakibatkan merosotnya aktNitas kebahasaan, terutama kesusastraan dan kebudayaan, (2) kerancuan struktur bahksa, yang mengakibatkan lemahnya logika kebahasaan, yang merupakan salah sate sebab penting merosotnya mutu pendidikan, (3) timbulnya alienasi bahasaoang menyebabkan sikap menjauh dari bahasa, dan (4) melemahnya daya kognitifsebagai akibat ketiga jenis pembusukan di atas. Kelemahan-kelemahan tersebut lierpengaruh negatif terhadap mutu pendidikan yang selanjutnya menampilkan Ithirja yang tidak bermutu.