BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kesehatan Kerja Kesehatan kerja adalah kondisi bebas dari gangguan fisik, mental, emosi atau rasa sakit yang disebabkan lingkungan kerja (Mangkunegara, 2003). Dalam penelitian ini indikator kesehatan kerja dapat dijelaskan sebagai berikut: 2.1.1 Beban kerja Interaksi antara manusia, mesin dan lingkungannya dipengaruhi oleh rekayasa performasi manusia yaitu kemampuan manusia beradaptasi dengan mesin dan lingkungannya. Kemampuan manusia berinteraksi tersebut mempunyai keterbatasanketerbatasan. Keterbatasan ini tergantung pada kesiapan, keahlian, kondisi mental dan motivasinya. Keterbatasan tersebut disebut dengan beban kerja (work load). Beban kerja mencakup external load (stressor) dan internal load atau functional load atau strain internal load (Adiputra, 1998). 1. External load (stressor) adalah beban kerja yang berasal dari pekerjaan yang sedang dilakukan. Beban kerja eksternal meliputi tugas, organisasi dan lingkungan kerja. Tugas-tugas yang dilakukan baik bersifat fisik (seperti, sarana kerja, dan kondisi kerja) maupun bersifat mental seperti kompleksitas atau sulit tidaknya pekerjaan yang mempengaruhi tingkat emosi pekerja dan kenyamanan dalam bekerja. Organisasi mencakup sikap kerja, lamanya waktu kerja, proses kerja, jam kerja dan istirahat kerja. Lingkungan kerja seperti mikroklimat (suhu, kelembaban udara, kecepatan udara, radiasi), intensitas kebisingan, intenstas penerangan, debu, dan lain lain.
14
2. Internal load (strain) adalah beban kerja yang berasal dari dalam tubuh pekerja yang berkaitan erat dengan harapan, keinginan, kepuasan, tabu, dan lain-lain. Beban kerja pada proses kerja penggilingan padi berupa beban kerja yang berasal faktor eksternal dan faktor internal. Untuk pengukuran beban kerja dapat dilakukan dengan beberapa cara: 1. Mengukur suhu badan dengan indikator semakin tinggi suhu badan menunjukkan beban kerja semakin berat. 2. Mengukur kapasitas ventilasi paru dengan indikator semakin tinggi kapasitas ventilasi paru menunjukkan beban kerja semakin berat (Grandjean dan Kroemer, 2009). 3. Mengukur denyut nadi kerja dengan indikator semakin tinggi frekwensi denyut nadi kerja maka beban kerja semakin berat (Sutjana dan Sutajaya, 2000; Astrand dkk., 2003) Pengukuran beban kerja secara objektif pada pekerja penggilingan padi menggunakan metode 10 denyut (Kilbon, 1992), dimana dengan metode ini dapat dihitung denyut nadi kerja sebagai berikut: Denyut Nadi (denyut/menit)
=
10 denyut Waktu perhitungan
x 60
...........................(1)
Mengukur peningkatan denyut nadi dengan metode 10 denyut adalah mengukur denyut nadi secara palpasi dengan menghitung waktu untuk sepuluh denyut nadi (stopwatch ditekan start saat denyutan ke satu dan ditekan stop pada denyutan ke 11). Beban kerja (nadi kerja) dihitung berdasarkan selisih denyut nadi kerja saat kerja dengan nadi istirahat. Denyut nadi istirahat dihitung berdasarkan jumlah denyutan nadi selama 15 detik, setelah itu kalikan empat, ini merupakan denyut nadi dalam satu menit.
15
Peningkatan denyut nadi istirahat ke denyut nadi saat kerja yang diijinkan adalah 35 denyut/menit untuk laki-laki dan 30 denyut/menit untuk wanita (Grandjean dan Kroemer, 2009). Kategori beban kerja berdasarkan denyut nadi kerja disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Kategori Beban Kerja Berdasarkan Denyut Nadi Kerja Kategori beban kerja Sangat Ringan Ringan Sedang Berat Sangat Berat Sangat Berat Sekali Sumber: (Grandjean dan Kroemer, 2009)
Denyut Jantung (x/mnt) 60–70 75–100 100–125 125–150 150–175 >175
Menurut Rodahl (2003) bahwa beban kerja suatu pekerjaan berhubungan linier dengan peningkatan denyut nadi/jantung. Denyut nadi merupakan salah satu cara untuk memperkirakan laju metabolisme. Hal tersebut berarti juga bahwa denyut nadi bisa dijadikan sebagai prediktor beban kerja. 2.1.2 Keluhan muskuloskeletal Sistem muskuloskeletal atau disebut juga sistem otot dan rangka yang terdiri dari otot skelet dan tulang–tulang rangka tempat otot skelet melekat. Beberapa fungsi sistem muskuloskeletal adalah mempertahankan postur dan menimbulkan gerakan tubuh. Dalam melakukan fungsinya sistem ini harus disokong oleh sistem yang lain seperti sistem syaraf dan sistem kardiorespirasi. Keluhan pada sistem muskuloskeletal bisa merupakan keluhan yang sangat ringan sampai dirasakan sangat sakit. Keluhan ini bisa terjadi akibat sikap kerja yang tidak alamiah, kerja yang statis, kerja berlebih, dan kerja repetitif. Kerja yang tidak
16
ergonomis sering dihubungkan dengan timbulnya keluhan atau cedera muskuloskeletal (musculoskeletal injuries). Keluhan ini ditandai dengan rasa tidak nyaman, kaku sampai rasa nyeri hebat pada daerah otot maupun sendi. Keluhan ini bisa diukur dengan penilaian subjektif menggunakan peta tubuh yang dikenal dengan Nordic Body Map. Secara objektif, salah satu parameter yang dapat dipakai untuk mengukur keluhan pada sistem muskuloskeletal adalah dengan electromyography (EMG) adalah merupakan ilmu yang mempelajari fungsi otot melalui sinyal listrik yang dihasilkan oleh otot (Konrad, 2005). Sinyal listrik otot dibentuk karena adanya variasi fisiologi pada membran serabut otot. Arus listrik yang dihasilkan dapat direkam berupa sinyal yang disebut elektromiogram. Arus listrik sudah mulai dihasilkan oleh serat otot sebelum otot berkontraksi. Pencatatan dengan EMG dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pencatatan dengan memakai jarum (fine wire) yang ditusukkan ke perut otot yang diteliti dan dengan elektroda permukaan yang ditempelkan pada kulit di permukaan otot yang diteliti (Konrad, 2005; Day, 2006; Cram, 2011). Elektromiografi yang menggunakan elektroda permukaan sebagai penangkap sinyal listrik otot disebut surface electromyography (SEMG). Pada SEMG pencatatan aktivitas listrik otot dilakukan dengan menempelkan elektroda permukaan pada kulit di permukaan otot. Data pada SEMG yang ditampilkan dalam bentuk raw signal, digital, grafik garis, maupun grafik batang mengalami beberapa proses seperti Gambar 2.1. Sumber sinyal elektomiografi adalah motor unit action potential (MUAP). Aksi potensial motor unit diaktivasi selama kontraksi otot. Surface electromyography (SEMG) mengukur aktivitas listrik otot atau voltage listrik otot yang disebut work average voltage. Sinyal listrik otot yang belum difiltrasi disebut raw EMG signal seperti Gambar 2.2. 17
Gambar 2.1 Proses yang dialami signal SEMG Sumber: Cram, 2011
Gambar 2.2 Rekaman Raw EMG untuk 3 kontraksi m. biceps brachii Sumber: Konrad, 2005 Perekaman sinyal listrik otot dengan EMG dapat juga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah karakteristik jaringan yang berbeda-beda antar individu. Karakteristik jaringan meliputi jenis jaringan, ketebalan jaringan, perubahan fisiologis, dan suhu sangat bervariasi antar individu. Jaringan adiposa dapat mengurangi amplitudo sinyal EMG yang menyebabkan perbedaan sifat jaringan dalam menghantar listrik. Perekaman juga dipengaruhi oleh adanya cross talk yang bersumber pada otot yang letaknya berdekatan dengan otot yang diukur aktivitas listriknya. Cross talk sebaiknya tidak lebih dari 10-15% dari keseluruhan sinyal. Gambaran EMG sering 18
dipengaruhi elektrokardiogram (EKG), terutama saat pengukuran otot-otot bahu. Pemilihan elektroda, amplifier, perubahan jarak elektroda dengan sumber sinyal serta noise juga dapat mempengaruhi kualitas rekaman EMG. Seperti pengukuran kurva lainnya, EMG juga dianalisis berdasarkan parameter amplitude standar, seperti rerata, nilai puncak, nilai minimum, area, dan slope. Penghitungan nilai puncak dilakukan dengan menghitung nilai rerata untuk sepuluh nilai puncak. Nilai rerata amplitudo mempunyai arti penting dalam analisis SEMG. Rerata nilai SEMG menggambarkan inervasi otot pada suatu gerakan. Hal ini sering digunakan untuk membandingkan aktivitas listrik satu otot dengan otot lainnya pada suatu gerakan. SEMG mengukur aktivitas listrik pada otot dalam bentuk amplitude dan frekuensi. Perubahan aktivitas listrik pada otot tergantung pada rekruitmen dan firing rate motor unit. Kuantifikasi sinyal listrik otot sering dilakukan untuk membandingkannya antar otot, individu, dan aktivitas. Sinyal listrik otot sering berubah-ubah karena perubahan penempatan elektroda, perubahan geometri antara perut otot dan lokasi elektroda, perubahan jaringan sekitar otot, cross talk, noise, dan perubahan suhu (Konrad, 2005; Day, 2006). Amplitudo juga berbeda-beda untuk orang yang berbeda. Oleh karena itu, penting untuk menormalisasi skala microvolt ke nilai referensi seperti Maximal Voluntary Isometric Contraction (MVIC) dalam satuan persen. Maximal Voluntary Isometric Contraction dilakukan dengan melawan tahanan statik. MVIC seharusnya dilakukan pada kondisi tidak ada cedera jaringan dan pengukuran MVIC dilakukan pada setiap otot yang akan dianalisis. NIOSH (2007) melaporkan bahwa keluhan sistem muskuloskeletal merupakan masalah besar dalam suatu industri yang disebabkan oleh: 19
(1) Tempat kerja yang tidak memadai. (2) Aktivitas yang bersifat repetitif. (3) Desain alat dan peralatan yang tidak sesuai dengan si pemakai. (4) Organisasi kerja yang tidak efisien. (5) Jadwal istirahat yang tidak teratur. (6) Sikap kerja yang tidak alamiah. Bazroy dkk. (2003) melaporkan bahwa 40,6% pekerja di pabrik botol kaca India yang bekerja secara repetitive mengalami cedera atau keluhan otot pada tangan dan pergelangan
tangan.
Bhattacherjee
dkk.
(2003)
melaporkan
bahwa
keluhan
muskuloskeletal menempati urutan pertama di antara penyakit akibat kerja lainnya yang dipengaruhi oleh karakteristik individu (umur lebih dari 30 tahun), di mana pekerja yang mengalami gangguan tersebut sebanyak 44,9%. Nala (2002) menyatakan bahwa sikap kerja yang tidak alamiah menimbulkan konstruksi otot secara statis (isometrik) pada sejumlah besar sistem otot tubuh manusia dan konstruksi otot statis dapat mengakibatkan: (a) tenaga atau energi yang diperlukan lebih tinggi dalam usaha yang sama; (b) denyut nadi meningkat lebih tinggi; (c) cepat merasa lelah; dan (d) setelah bekerja, otot memerlukan waktu pemulihan yang lebih lama (Nala, 2002). Evelyn (1996) melaporkan bahwa 63% pekerja mengeluh sakit pada leher, bahu, punggung dan pinggang yang diakibatkan oleh kerja statis. Gerakan tubuh diatur sedemikian rupa sehingga mengambil keuntungan maksimum dari prinsip-prinsip fisiologi. Pada otot yang menggerakkan lebih dari satu persendian, menyebabkan gerakan pada satu sendi dapat mengkompensasi gerakan pada sendi lainnya sedemikian rupa sehingga terjadi relatif sedikit pemendekan otot saat konstraksi. Jenis konstraksi yang hampir merupakan konstraksi isometri ini memungkinkan timbulnya tegangan maksimum per konstraksi. 20
Keluhan muskuloskeletal dapat terjadi pada hampir semua jenis pekerjaan baik dalam kategori ringan, sedang, berat maupun amat berat. Beberapa istilah yang sering digunakan untuk mengelompokkan keluhan ini adalah: (1) cumulative trauma disorders (CTDs); (2) repetitive strain injuries (RSIs); (3) repeated motion disorders; dan (4) averuse syndromes (Susila, 2002). Repetitive strain injuries (RSIs) merupakan keluhan yang sering dijumpai pada pekerja penggilingan padi. Keluhan ini terjadi akibat penggunaan bagian tubuh secara statis. Faktor risiko terjadinya RSIs adalah postur awkward maupun statis, repetitive (gerakan berulang), penggunaan kekuatan otot berlebih, serta adanya getaran (WSIB, 2010). Postur awkward merupakan keadaan tubuh yang ditandai dengan adanya perubahan sebagian atau seluruh bagian tubuh dari postur netral. Contoh awkward posture adalah membungkuk, menggapai sesuatu di atas bahu, menggapai benda di belakang, dan posisi memutar, dan membengkokkan pergelangan tangan. Pada pekerja penggilingan padi, postur seperti ini sering dijumpai akibat ketidaksesuaian antropometri pengguna dengan stasiun kerja. Postur membungkuk akan menyebabkan ketegangan pada otot erector spinae, tekanan pada syaraf, dan pembuluh darah. Peningkatan ketegangan otot akan menyebabkan meningkatnya aktivitas listrik otot yang bersangkutan. Dalam keadaan ini aktivitas listrik otot erector spinae yang diukur dengan SEMG akan meningkat. Posisi statis merupakan posisi bagian tubuh yang netral maupun awkward yang dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Pada postur awkward maupun statis akan terjadi peregangan dan tekanan pada tendon, saraf, dan pembuluh darah. Pada saat ini bagian tubuh tertentu akan digunakan secara terus menerus dan mengganggu sirkulasi darah sehingga terjadi penimbunan sisa–sisa metabolisme. Penimbunan sisa 21
metabolisme berupa asam laktat akan menyebabkan timbulnya rasa nyeri dan kelelahan. Contoh posisi statis adalah berdiri lama pada saat melakukan pekerjaaan penggilingan padi disertai dengan mengangkat dan mengangkut beras secara terus menerus. Gerakan repetitive atau berulang akan sangat berisiko menyebabkan cedera bila terjadi pada sendi dan kelompok otot yang sama, terjadi dalam waktu lama, sering, dan gerakan yang dilakukan secara cepat. Pada pekerjaan semacam ini akan memberikan tekanan dan tegangan pada kelompok otot tertentu, saraf, tendon, dan pembuluh darah sehingga menghambat waktu pemulihan. Akibatnya adalah tertumpuknya sisa–sisa metabolisme di otot–otot sehingga timbul rasa nyeri dan kelelahan. Postur netral merupakan keadaan badan yang ditandai dengan posisi sendi–sendi dalam keadaan istirahat sehingga akan memberikan tegangan dan tekanan seminimal mungkin terhadap otot, tulang, tendon, dan saraf. Pada posisi netral, otot–otot akan berada dalam kondisi istirahat tanpa ada peregangan sehingga dengan panjang otot sedemikian akan dihasilkan kontraksi maksimal yang efisien (Warren dan Morse, 2012). Pada postur/sikap netral, kita akan menggunakan energi secara efisien sehingga jumlah energi yang digunakan sangat sedikit. Pekerjaan menggiling padi dalam ruang kerja yang bising dan berdebu dengan sikap tubuh pekerja membungkuk, mengangkat, dan menengadah dilakukan dengan cara berulang. Gerakan gerakan seperti ini berakibat terjadinya keluhan otot-otot tubuh seperti leher, bahu, tangan, pinggang, punggung, dan kaki. Metode subjektif yang digunakan menilai keluhan otot skeletal pada pekerja penggilingan padi adalah dengan menggunakan kuesioner Nordic Body Map. Subjek ditanya bagian-bagian anggota tubuh yang mengalami kenyerian, sakit atau ketidaknyamanan pada empat skala likert merupakan pedoman yang dapat digunakan 22
untuk menentukan klasifikasi subjektivitas tingkat risiko otot skeletal Sedangkan metode objektif menggunakan surface electromyography (SEMG) pada otot erector spinae pekerja (keluhan otot yang paling banyak dialami pekerja pada penelitian pendahuluan). 2.1.3 Kelelahan Kelelahan secara umum merupakan suatu keadaan yang tercermin dari gejala perubahan psikologis berupa kelambanan aktivitas motoris dan respirasi, adanya perasaan sakit, berat pada bola mata, pelemahan motivasi aktivitas dan fisik lainnya yang akan mempengaruhi aktivitas fisik maupun mental (Grandjean, 2000; Sedarmayanti,
2007).
Kelelahan
sesungguhnya
merupakan
suatu
mekanisme
perlindungan tubuh agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut atau dapat dikatakan sebagai alarm tubuh yang mengisyaratkan seseorang untuk segera beristirahat. Mekanisme ini diatur oleh sistem syaraf pusat yang dapat mempercepat impuls yang terjadi di sistem aktivitas oleh sistem syaraf simpatis dan memperlambat impuls yang terjadi di sistem inhibisi oleh saraf parasimpatis. Menurunnya kemampuan dan ketahanan tubuh akan mengakibatkan menurunnya efisiensi dan kapasitas kerja. Seandainya kondisi seperti ini dibiarkan berlanjut tentunya akan mempengaruhi produktivitas seseorang. Grandjean, (2000) dan Sedarmayanti, (2007) menyatakan bahwa kelelahan yang berlanjut dapat menyebabkan kelelahan kronis dengan gejala seperti: (1) terjadinya penurunan stabilitas fisik; (2) kebugaran berkurang;(3) gerakan lamban dan cenderung diam; (4) malas bekerja atau beraktivitas; (5) adanya rasa sakit yang semakin meningkat. Kelelahan yang berlanjut dapat menimbulkan efek psikologis yang ditandai dengan gejala–gejala berikut: (1) meningkatnya kejengkelan (tidak toleran, bersikap anti
23
sosial); (2) kecenderungan kearah depresi (kebingungan yang tidak bermotif), dan kelemahan umum dalam perjuangan dan malas akan pekerjaan. Di samping itu kelelahan juga menyebabkan gangguan psikosomatik yang ditandai dengan (Grandjean, 2000; Pheasant dan Haslegrave, 2006): sakit kepala, pusing– pusing, mengantuk, jantung berdebar, keluarnya keringat dingin, nafsu makan berkurang atau hilang, dan adanya gangguan pencernaan. Menurut Nurmianto (2008), kelelahan kerja akan menurunkan kinerja dan menambah tingkat kesalahan kerja. Meningkatnya kesalahan kerja akan memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri. Pembebanan otot secara statispun (static muscular loading) jika dipertahankan dalam waktu yang cukup lama akan mengakibatkan Repetition Strain Injuries (RSI), yaitu nyeri otot, tulang, tendon, dan lain–lain yang diakibatkan oleh jenis pekerjaan yang bersifat berulang (repetitive). Pada umumnya kelelahan yang diakibatkan oleh aktivitas kerja statis dipandang mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan aktivitas kerja dinamis. Pada kondisi yang hampir sama, kerja otot statis mempunyai konsumsi energi yang lebih tinggi, denyut nadi meningkat dan diperlukan waktu istirahat yang lebih lama. Dalam suasana kerja dengan otot statis kontraksi otot bersifat isometrik yaitu sementara, tegangan otot bertambah, ukuran panjangnya praktis tidak berubah. Pada kerja otot statis tidak terjadi perpindahan beban akibat bekerjanya suatu gaya sehingga aliran darah agak menurun sehingga asam laktat terakumulasi dan mengakibatkan kelelahan otot lokal. Suma’mur (2011) menyatakan bahwa kerja otot statis merupakan kerja berat (strenuous). Pada kerja otot statis, dengan pengerahan tenaga 50% dari kekuatan maksimum otot hanya dapat bekerja selama satu menit, sedangkan pada pengerahan tenaga <20% kerja fisik dapat berlangsung cukup lama. Akan tetapi,
24
pengerahan otot statis sebesar 15–20% akan menyebabkan kelelahan dan nyeri jika pekerjaan berlangsung sepanjang hari. Pada kerja dinamis, kontraksi otot bersifat isotonik yaitu ukuran panjang otot berubah, sementara tegangan tetap. Kontraksi otot yang menghasilkan perpindahan gerak badan dinamis biasanya bersifat ritmik, sehingga waktu kerja dapat berlangsung lama. Kontraksi otot yang bergantian maka aliran darah tidak cepat terganggu, sehingga rasa sakit pada otot yang bersangkutan tidak cepat timbul. Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa kelelahan biasanya terjadi pada akhir jam kerja yang disebabkan oleh karena beberapa faktor, seperti monotoni, kerja otot statis, alat dan sarana kerja yang tidak sesuai dengan antropometri pemakainya, stasiun kerja yang tidak ergonomis, sikap paksa dan pengaturan waktu kerja–istirahat yang tidak tepat. Untuk melihat tingkat kelelahan pekerja dilakukan pengukuran secara subjektif menggunakan kuesioner 30 items of rating scale yang dikeluarkan oleh Japan Association of Industrial and Health. Kuesioner terdiri dari tiga kategori meliputi aktivitas (item 1-10), motivasi (item 11-20), dan kondisi fisik (item 21-30). Jika aktivitas melemah, ini merupakan kelelahan yang dirasakan sebagai ketidakmampuan melakukan aktivitas. Apabila motivasi menurun, hal ini berhubungan dengan menurunnya semangat pekerja dalam melakukan pekerjaan. Jika terjadi kelelahan fisik, hal ini merupakan kelelahan yang dirasakan pada bagian-bagian tubuh pekerja. Kelelahan yang dialami pekerja penggilingan padi dapat dilihat dari monotonnya pekerjaan yang dilakukan seperti mengangkat, mengangkut, dan membungkuk yang rutin dilakukan setiap proses kerja berlangsung.
25
Sikap kerja statis pada pekerja yang berdiri secara terus-menerus juga mengakibatkan kelelahan yang dapat terjadi pada tubuh bagian bawah. Kurangnya istirahat pendek selain istirahat makan siang. Pengukuran kelelahan pada pekerja penggilingan padi dilakukan dengan menggunakan kuesioner 30 item kelelahan. Upaya untuk mengurangi kelelahan pekerja di penggilingan padi dapat dilakukan dengan cara melakukan perubahan sikap kerja statis menjadi sikap kerja yang dinamis atau lebih bervariasi, agar sisrkulasi darah dan oksigen dapat berjalan normal ke anggota tubuh. 2.2 Produktivitas Kerja Produktivitas adalah suatu perbandingan antara keluaran (output) dan masukan (input) per satuan waktu. Produktivitas dapat dikatakan meningkat apabila jumlah keluaran meningkat dengan jumlah masukan yang sama (Chew,1991; Hardjosoedarmo, 1996). Manuaba (2004a) menyatakan bahwa produktivitas dapat ditingkatkan melalui pendayagunaan seoptimal mungkin sumber daya manusia atau mengalihkan teknologi tepat guna, di samping upaya mengefisienkan kemampuan melalui penggunaan alat, cara kerja, dan lingkungan yang serasi. 2.2.1 Pengukuran produktivitas Produktivitas adalah perbandingan antara keluaran (output) dan masukan (input) per satuan waktu (time). Konsep ini bisa dipakai di dalam menghitung produktivitas kerja di semua sektor kegiatan termasuk kegiatan penggilingan padi. Pengukuran produktivitas dapat dilakukan dengan menghitung produktivitas total, yaitu perbandingan antara total keluaran dengan total masukan per satuan waktu. Hal ini semua faktor masukan terhadap total keluaran diperhitungkan. Menghitung produktivitas parsial, yaitu perbandingan dari keluaran dengan satu jenis masukan seperti upah tenaga kerja, bahan energi, beban kerja, skor keluhan subjektif dan lain-
26
lain. Produktivitas dihitung secara parsial dari sudut pandang ergonomi. Manuaba (2005a) secara umum produktivitas dapat diformulasikan adalah sebagai berikut. Luaran (output) ………………..(2)
Produktivitas = Masukan (input) x Waktu (time)
Peningkatan produktivits kerja dapat dicapai dengan menekan sekecil-kecilnya segala macam biaya termasuk memanfatkan sumber daya manusia dan meningkatkan keluaran sebesar-besarnya. 2.2.2 Aspek ekonomi dalam ergonomi Analisis ekonomi bertujuan untuk mengetahui kemungkinan timbulnya keuntungan (profitability) yang diperoleh baik perusahaan maupun pekerja dalam jangka waktu pendek maupun jangka panjang. Selain itu, analisis ekonomi dilakukan untuk menentukan tingkat kemanfaatan (benefit) dengan dilakukannya investasi. Dalam mengambil keputusan berinvestasi sebenarnya tidaklah cukup dengan mengandalkan pertimbangan bersifat teknis dalam suatu alternatif perbaikan, karena tindakan ini belum tentu akan memberi keuntungan finansial di masa yang akan datang. Untuk memprediksikan bahwa upaya tersebut merupakan dan layak investasi atau memberi keuntungan jika direalisasikan, maka perlu juga diadakan perhitungan investasi melalui beberapa metode (Giatman, 2006). Untuk mengetahui kelayakan usaha (aspek ekonomi) penggilingan padi maka dilakukan analisis berdasarkan metode: (a) Net Present Value (NPV); (b) Payback Period (PBP) dan (c) Return on Investment (RoI). a) Net Present Value (NPV) Net Present Value adalah metode penghitungan nilai bersih (netto) pada waktu sekarang (present) dari sejumlah uang yang akan diterima dimasa yang akan datang dan
27
dikonversikan ke masa sekarang dengan mengunakan tingkat bunga terpilih. Asumsi present yaitu menjelaskan waktu awal perhitungan bertepatan dengan saat evaluasi dilakukan atau pada periode tahun ke-nol (0) dalam penghitungan cash flow investasi. Persamaan NPV yang digunakan untuk mengetahui apakah rencana suatu investasi layak ekonomis atau tidak (Husnan,1999). ..................
(3)
Keterangan : C CF n Vn k
= biaya pengeluaran = pendapatan = umur ekonomis alat mesin (tahun operasi) = nilai akhir alat mesin diakhir umur ekonomis = Suku bunga bank
Kriteria keputusan investasi: NPV > 0 artinya layak investasi. b) Pay Back Period (PBP) Metode ini bertujuan untuk mengukur seberapa lama (periode) investasi akan dapat dikembalikan. Satuan hasil perhitungan dinyatakan dalam satuan waktu (tahun). Persamaan (PBP) adalah sebagai berikut dengan asumsi komponen aliran dana (cash flow), manfaat (benefit) dan kerugian (cost) bersifat annual: .......................................
(4)
Kriteria keputusan investasi: PBP ≤ umur investasi artinya layak investasi. c) Return on Investment (RoI) Istilah ini juga sering disebut dengan return on total assets merupakan perbandingan antara laba bersih dengan jumlah biaya perusahaan atau jumlah investasi. Untuk menghitung RoI perlu diketahui data tentang jumlah laba bersih dan jumlah investasi (Wasis, 1981). RoI adalah alat ukur yang sangat umum digunakan untuk mengukur kinerja sebuah pusat investasi, digunakan sebagai pedoman manajemen 28
dalam menerima sebuah proyek baru atau kebanyakan dipakai sebagai tolak ukur atas rencana bisnis atau proposal yang akan dikembangkan, sehingga proyek tersebut bekontribusi terhadap entitas suatu purusahaan (Linawati, 1999). Rumus untuk menghitung RoI adalah laba operasi dibagi dengan investasi rerata selama satu periode sebagai berikut:
.......................................
Kriteria
keputusan
investasi:
Untuk
penetapan
kriteria
tersebut,
(5)
dapat
dibandingkan antara hasil perhitungan RoI dengan tingkat suku bunga ( rate of interest) yang berlakuk umum. Jika: RoI > Tingkat suku bunga umum (r) artinya layak investasi (Sukanto, 2004). 2.3 Modifikasi Kondisi Kerja Kondisi kerja merupakan faktor yang cukup penting dalam pelaksanaan proses produksi yang dilaksanakan oleh perusahaan yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan kondisi kerja adalah kondisi yang dapat dipersiapkan oleh manajemen perusahaan yang bersangkutan pada pabrik, sehingga diperoleh kenyamanan kerja yang memadai bagi para karyawan yang bekerja di dalam perusahaan (Susilo, 2007). Menurut Nathalia (2004), perencanaan kondisi kerja akan dilaksanakan selaras dengan perencanaan tata letak pabrik yang didirikan, oleh karena kondisi kerja ini erat hubungannya dengan tata letak pabrik yang didirikan perusahaan. Faktor–faktor yang mempengaruhi kondisi kerja banyak sekali, terutama persyaratan teknis dari pelaksanaan proses produksi dalam perusahaan. Mesin dan peralatan produksi berikut persyaratan teknis akan ikut serta menentukan kondisi kerja di dalam perusahaan. 29
Faktor–faktor seperti kondisi fisik dan kondisi psikologis dari lingkungan kerja harus diperhatikan, agar pekerja dapat menjalankan aktivitasnya dengan baik. Meliputi segala sesuatu yang ada di lingkungan pekerja yang dapat mempengaruhi kinerja, serta kesehatan dan keselamatan kerja, temperatur, kelembaban, ventilasi, penerangan, kebersihan serta kepuasan, interaksi dan komunikasi antar pekerja (Newstorm dan Davis, 2000). Kondisi kerja adalah yang menyangkut waktu kerja, waktu istirahat, sistem kerja harian/borongan, musik dan insentif dapat berpengaruh terhadap produktivitas secara langsung maupun tidak langsung. Jam kerja berlebihan, jam kerja lembur dengan kemampuan berlebihan akan dapat mengakibatkan kelelahan, mengurangi kecepatan, ketepatan dan ketelitian kerja. Oleh karena setiap fungsi tubuh memerlukan keseimbangan yang ritmis antara asupan energi dan penggantian energi (kerja istirahat) maka diperlukan istirahat aktif dan pemberian kudapan (5 menit setelah 2 jam kerja) untuk mempertahankan performan dan efisiensi kerja (Wignjosoebroto, 2000). 2.3.1 Kajian Undakan di penggilingan padi Undakan merupakan salah satu unsur yang mendapat perhatian pada lingkungan kerja di penggilingan padi, terutama untuk aktivitas mengangkat dan mengangkut gabah. Undakan yang ergonomis menurut Nala (1992) dan Grandjean (2000) adalah: 2T + L = 63 cm, T adalah tinggi undakan, L adalah lebarnya. Bila diinginkan tinggi anak undakan 19 cm maka lebarnya 2x19+L=63 cm atau L=25 cm. Jika lebar undakan dibuat 29 cm maka tinggi undakan adalah 17 cm atau tinggi undakan yang diinginkan lebih rendah, misalnya 11 cm maka lebarnya adalah 41 cm. Tetapi hendaknya lebar undakan jangan lebih pendek dari ukuran telapak kaki pemakainya. Jika kekecilan akan menyebabkan kesulitan untuk berpijak dan berisiko terjadi kecelakaan karena terpeleset, apabila bahan yang digunakan licin (Nala, 1992). Kemiringan undakan 30
tergantung luas ruangan yang tersedia, makin sempit ruangan makin membuat undakan lebih landai. Nala (1992) menganjurkan kemiringan undakan 25º-35º dan tinggi undakan 17 cm serta lebar 29 cm. Bila tidak memungkinkan hendaknya menggunakan tinggi undakan 19 cm dan bila kemiringan lebih rendah daripada 25º, tinggi anak undakan sekitar 11 cm. Dengan ketentuan undakan yang ergonomis seperti itu diharapkan pekerja merasa aman, nyaman, sehat, dan tidak berisiko memunculkan kecelakaan serta efisien dengan pemakaian energi.
Gambar 2.3 Teknik penentuan dimensi undakan (Gelebet 1986). Redesain undakan untuk landasan kerja pekerja penggilingan tidak dapat terlepas dari norma dan teknik tradisional, misalnya , tinggi anak tangga menggunakan ukuran satu kali panjang telapak kaki, sedangkan lebar anak tangga menggunakan ukuran satu kali panjang telapak kaki ditambah satu kali lebar telapak kaki dari pekerja (Gambar 2.3) (Gelebet, 1986 ). Pada penelitian ini ukuran lebar anak tangga 35 dan kemiringan tangga 30º dan tinggi anak tangga menggunakan panjang telapak kaki pekerja dengan ukuran 25 cm dengan pertimbangan luas ruang kerja penggilingan.
31
2.3.2 Kajian antropometri pada modifikasi kondisi kerja Antropometri berarti pengukuran tubuh manusia, berasal dari kata Yunani anthropos yang berarti manusia dan metron yang berarti mengukur. Antropometri merupakan kumpulan informasi tentang keadaan dan ciri–ciri fisik, dimensi dan ukuran tubuh manusia yang diperlukan untuk mendesain alat yang aman dan nyaman (Pulat, 2002; Bridger, 2008). Sementara itu, Nurmianto (2008) mendefinisikan antropometri sebagai kumpulan data numerik yang berhubungan dengan karakteristik fisik tubuh manusia, mengenai ukuran, bentuk dan kekuatan serta penerapan dari data tersebut untuk penanganan masalah desain. Antropometri secara luas akan digunakan sebagai pertimbangan ergonomis dalam proses desain produk maupun sistem kerja yang akan memerlukan interaksi manusia (Wignjosoebroto, 2008). Tujuan pendekatan antropometri dalam perancangan alat dan perlengkapan adalah agar terjadi keserasian antara manusia dengan sistem kerja (man–machine system), sehingga manusia dapat bekerja secara nyaman, dan efisien. Pemakaian data antropometri mengusahakan semua alat disesuaikan dengan kemampuan manusia, bukan manusia disesuaikan dengan alat. Rancangan yang mempunyai kompatibilitas tinggi dengan manusia yang memakainya sangat penting untuk untuk mengurangi timbulnya bahaya akibat terjadinya kesalahan kerja dan akibat adanya kesalahan desain (Liliana dkk., 2007). Untuk mengatasi sikap dan posisi kerja yang tidak fisiologis dapat dilakukan dengan cara menyesuaikan antropometri pekerja dengan bidang kerja pada saat mendesain tempat kerja (Sutajaya, 2003). Data antropometri untuk penggunaan dalam desain paling baik dipresentasikan dalam bentuk persentil (Pulat, 2002). Perhitungan persentil data antropometri dimulai dari menghitung nilai rerata/mean ( ), dan simpang baku/standar deviasi (δ) dari data
32
pengukuran (Pheasant dan Haslegrave, 2006). Dalam menentukan batas kemaknaan dan nilai α dari tabel berdistribusi normal, seperti Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Kurva Distribusi Normal (Sumber: Pheasant dan Haslegrave, 2006) Tabel 2.2 Perhitungan Nilai Persentil Nilai persentil Rumus Estimasi 99,5 (2 58 δ) 99 (2 32 δ) 97,5 (2 95 δ) 97 (1 88 δ) 95 (1 65 δ) 90 (1,28 x δ) 80 (0 84 δ) 75 (0 67 δ) 70 (0 52 δ) 50 30 - (0,52 x δ) 25 - (0,67 x δ) 20 - (0,84 x δ) 10 - (1,28 x δ) 5 - (1,65 x δ) 3 - (1,88 x δ) 2,5 - (1,95 x δ) 1 - (2,32 x δ) 0,5 - (2,58 x δ) Keterangan : = mean δ = standar deviasi (Sumber: Pheasant dan Haslegrave, 2006) Kurva distribusi normal pada Gambar 2.4 tersebut menggambarkan batas kemaknaan tingkat kepercayaan 95% dengan nilai α= 1,645. Penerapan data
33
antropometri menyatakan persentase tertentu dari kelompok data ≤ nilai tersebut. Nilai itulah disebut persentil, seperti Tabel 2.2. Penerapan data antropometri dalam desain mengikuti prosedur sebagai berikut: (a) tentukan dimensi tubuh yang penting dalam desain, (b) tetapkan populasi pengguna, (c) untuk setiap dimensi tubuh dihitung nilai persentil, dan (d) terapkan untuk desain alat/produk. Dalam penelitian ini antropometri diperlukan untuk meredesain undakan dan pengaman pada vent belt, maka ukuran antropometri yang digunakan adalah antropometri pekerja penggilingan padi. 1) Antropometri pekerja penggilingan padi Antropometri pekerja penggilingan padi merupakan arsitektur tradisional yang dilatarbelakangi oleh norma-norma agama, kepercayaan dan adat istiadat kebiasaan masyarakat Bali, dalam pedoman pelaksanaannya terkandung berbagai aturan, ketentuan, ketepatan dan berbagai penataan lainnya yang merupakan faktor-faktor pelindung dalam perkembangannya (Suardana, 2004). Perwujudan fasilitas kerja memakai skala ukuran sesuai dengan asta kosala-kosali. Dimensi fasilitas kerja menggunakan ukuran anggota tubuh dari pekerja yang menggunakan fasilitas kerja tersebut seperti: tangan, lengan, dan kaki dengan maksud agar si pekerja dengan fasilitas kerja secara psikologis menjadi satu dan akrab, kesesuaian rasa, menghindari ketakutan pada skala fasilitas kerja yang kebesaran atau kekecilan. Dari unsur tangan skala ukuran berbentuk: a lengkat, acengkang, a telek, a useran, a lek, a kacing, a musti, a sirang, a gemel, a guli tujuh, a nyari, a rai, duang nyari, a tampak lima, petang nyari, a tebah, tampak lima. Dari unsur lengan ukuran berbentuk: tengah depa agung, tengah depa alit, a hasta. Dari unsur kaki ukuran berbentuk: a tampak, a tampak ngandang (Gelebet, 1984). Dalam penelitian ini 34
antropometri yang digunakan adalah antropometri pekerja penggilingan padi dengan menggunakan satuan utamanya a tapak batis (panjang telapak kaki pekerja) dan satuan penguripnya a ngandang (lebar telapak kaki) pada antropometri sikut natah. Data antropometri sikut natah dapat dilihat pada Tabel 2.3 Tabel 2.3 Antropometri Sikut Natah Variabel A tapak kaki A tapak ngandang Sumber: Parwata, 2011.
Rerata 25,68 10,38
Standar Deviasi 1,26 0,69
Rentangan 24 – 28,8 8,2 – 11,8
Manusia pada umumnya berbeda–beda dalam hal bentuk dan dimensi ukuran tubuhnya. Pheasant dan Haslegrave (2006) menjelaskan bahwa antropometri adalah pengukuran dimensi tubuh dan karakteristik fisik tubuh lainnya yang digunakan untuk mendesain suatu produk suatu alat. Dalam menentukan ukuran stasiun kerja untuk pekerja penggilingan padi maka data antropometri pekerja yang bersangkutan sangat memegang peranan penting. Dengan mengetahui ukuran antropometri pekerja yang bersangkutan, maka akan dapat dilakukan perbaikan stasiun kerja yang sesuai dengan pekerja yang akan menggunakan, dengan harapan dapat menciptakan kenyamanan, kesehatan, keselamatan dan estetika kerja. Upaya menciptakan keserasian antara pekerja dengan perbaikan stasiun kerja yang akan digunakan harus memperhitungkan faktor–faktor seperti: Stasiun kerja harus didesain sedemikian rupa sehingga pada saat melakukan pekerjaan menggiling padi pekerja dapat bergerak bebas selama proses kerja berlangsung. 2.3.3 Kajian ergonomi pada modifikasi kondisi kerja di penggilingan padi Ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni untuk menserasikan alat, cara kerja, dan lingkungan dengan kemampuan, kebolehan, dan batasan manusia sehingga diperoleh
35
kondisi kerja dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman, dan efisien serta produktivitas yang setinggi-tingginya (Manuaba, 2003a). Ergonomi sebagai sebuah disiplin keilmuan meletakkan human center design dalam sebuah perancangan sistem kerja di mana manusia terlibat didalamnya. Disiplin ergonomi secara khusus akan mempelajari keterbatasan dari kemampuan manusia dalam berinteraksi dengan teknologi dan produk-produknya (Helander dan Shuan, 2005). Disiplin ini berangkat dari kenyataan bahwa manusia memiliki batas-batas kemampuan baik jangka panjang pada saat berhadapan dengan keadaan lingkungan sistem kerjanya yang berupa perangkat keras dan perangkat lunak (Niebel dan Freivalds, 2003; Helander, 2006). Penelitian ergonomi yang selalu melibatkan manusia di dalamnya tidak terlepas dari faktor sosial budaya di mana orang tersebut dilahirkan dan dibesarkan. Pada usaha penggilingan padi di Desa Jinengdalem Bueleng tidak terlepas dari budaya THK yang merupakan filosofi sekaligus telah menjadi way of life masyarakat Hindu Bali dalam segala aspek kehidupan termasuk penggilingan padi. Budaya THK di penggilingan padi mengandung makna bagaimana mencari keharmonisan dengan tidak semata-mata mencari materi ataupun keuntungan, namun bagaimana tujuan hidup untuk mendapatkan kebahagian yang kekal. Permasalahan ergonomi dari aspek sosio budaya THK pada penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng dapat diselesaikan dengan intervensi ergonomi sehingga bermanfaat pada: (a) pekerjaan bisa cepat selesai; (b) risiko kecelakaan kerja lebih kecil; (c) man-days/ hours tidak banyak hilang; (d) risiko penyakit akibat kerja lebih kecil; (e) kepuasan kerja lebih tinggi; (f) penyakit akibat kerja bisa ditekan; (g) absensi kerja rendah; (h) kelelahan kerja berkurang; (i) rasa sakit lebih kecil; dan (j)
36
produktivitas kerja meningkat (Valasco, 2002; Manuaba, 2003a; Hedge dan Sakr, 2005). Modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK pada penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng, meliputi; (1) perbaikan sikap kerja; (2) perbaikan jam kerja, dan pemberian istirahat aktif; (3) redesain undakan dan pemberian pengaman pada vent belt disesuaikan dengan antropometri pekerja penggilingan padi; (4) redisain ventilasi sesuai konsep sanga mandala. Dengan demikian modifikasi kondisi kerja harus menempatkan manusia sebagai pusat perhatian yang dikaitkan dengan task, organisasi dan lingkungan. Beberapa aspek ergonomis yang harus dipertimbangkan sebagai berikut: a. Sikap dan posisi kerja, dengan pertimbangan ergonomis; (1) mengurangi sikap dan posisi membungkuk; (2) tidak menggunakan jarak jangkauan maksimum; (3) tidak seharusnya duduk atau berdiri dalam sikap atau posisi miring, telentang dan tengkurap; dan (4) tidak bekerja dengan tangan atau lengan dalam posisi diatas level siku normal. b. Antropometri dan dimensi ruang kerja, pada dasarnya akan menyangkut ukuran fisik atau fungsi dari tubuh manusia seperti; ukuran linier, berat volume, ruang gerak, dan lain-lain. Delapan aspek permasalahan ergonomi dari aspek sosio budaya THK yang harus mendapat perhatian dalam setiap modifikasi kondisi kerja dengan intervensi berbasis ergonomi di dalam suatu industri (Manuaba, 2006) yaitu: 1. Energi (status nutrisi/gizi) Manusia memerlukan sejumlah energi untuk mampu menyelesaikan satu pekerjaan tertentu, Pekerjaan penggilingan padi termasuk pekerjaan kategori berat. Jumlah energi yang dikeluarkan harus diimbangi oleh energi yang masuk dengan pemberian 37
asupan nutrisi tambahan yang cukup, agar bisa melakukan pekerjaan dengan sehat dan aman. Dalam budaya THK, keseimbangan antara atman, prana, angga sarira (mikrokosmos) dalam diri pekerja penggilingan padi harus tetap ada. Dimana energi sebagai sumber tenaga pekerja untuk melakukan aktivitas merupakan bagian dari prana. Prana yang terdiri dari bayu, sabda, idep (Tri pramana) adalah daya atau kekuatan pokok manusia untuk dapat melakukan suatu pekerjaan/aktivitas. Pemberian asupan nutrisi yang cukup dapat menjaga keseimbangan antara tubuh/body, pikiran/mind, dan jiwa/soul (Tri pramana), sehingga dapat melakukan pekerjaan dengan sehat dan aman. 2. Pemanfaatan tenaga otot Pemanfaatan tenaga otot untuk melakukan pekerjaan tidak boleh ada unsur paksaan di luar kemampuan, karena itu perlu semua alat yang dipakai harus dirancang sedemikian rupa sehingga gerakan otot tidak bertentangan dengan gerakan alamiah otot. Pemanfaatan tenaga otot pada aktivitas penggilingan padi terjadi pada saat pekerja mengangkat karung gabah dengan sikap membungkuk dari atas undakan, mengangkat ember berisi beras pecah kulit dengan sikap kerja membungkuk, dan menuang beras pecah kulit ke mesin penyosohan dengan posisi lengan melebihi tinggi bahu pekerja. Kesalahan pada mengangkat, mengangkut dan menuang gabah, sikap tubuh tidak fisiologis dan beban terlalu berat akan berakibat fatal pada tubuh. Dilihat dari aspek budaya THK pemanfaatan tenaga otot merupakan bagian dari Tri pramana (bayu, sabda, idep) pada aspek bayu. Tenaga otot/bayu menjadi hal penting dalam pekerja beraktivitas/bergerak melakukan pekerjaan. Jika aspek bayu/tenaga mengalami cedera karena penggunaan tenaga otot yang belebihan dampaknya akan menimbulkan ketidakseimbangan pada Tri pramana, secara tidak langsung dapat menimbulkan permasalahan ergonomi yang dialami pekerja. 38
3. Sikap tubuh Posisi tubuh yang tidak fisiologis saat melakukan aktivitas penggilingan padi dengan waktu lama menyebabkan kelelahan dan mengurangi produktivitas. Pada saat mengangkat karung dan mengangkat beras pecah kulit dilakukan dengan sikap membungkuk dan menuang beras pecah kulit ke mesin penyosohan dengan posisi lengan melebihi tinggi bahu pekerja yang dilakukan dengan cara terus-menerus. Sikap kerja seperti ini adalah sikap yang tidak fisiologis sehingga menimbulkan keluhan muskuloskeletal. Dengan modifikasi kondisi kerja penggilingan padi, pekerja dapat bekerja dengan sikap dinamis sehingga dapat menurunkan kelelahan, keluhan muskuloskeletal, ketegangan otot, dan beban kerja pekerja. Dilihat dari budaya THK, sikap tubuh merupakan bagian dari aspek bayu. Hal ini sama dengan pada ke 2 aspek permasalahan ergonomi di atas, karena aspek energi, pemanfaatan tenaga otot, dan sikap tubuh merupakan bagian dari aspek bayu pada konsep Tri pramana (bayu, sabda, idep). Bila salah satu aspek pada Tri pramana terjadi ketidak seimbangan, akan berakibat terjadinya ketidaknyamanan dalam bekerja, hal ini berdampak pada penurunan kesehatan kerja dan produktivitas pada pekerja penggilingan padi. 4. Kondisi lingkungan Kondisi bising dan berdebu yang berlebihan akan mengakibatkan lelah dan mengganggu kenyamanan saat berkomunikasi, mengurangi kestabilan dan peningkatan angka kesalahan kerja. Kondisi ini dialami pekerja penggilingan padi, sehingga ada penambahan beban fisik dan mental. Untuk itu langkah perbaikan terhadap kondisi lingkungan dengan meredesain ventilasi pada dinding sesuai konsep sanga mandala (nistaning-nista/kelod-kauh) menempatkan kegiatan yang dipandang bersifat kotor mengandung limbah pada arah kelod dan kauh. Kondisi ini 39
diperkuat dengan letak bangunan penggilingan padi yang menghadap ke arah timur dan bagian belakang menghadap ke barat yang posisinya lebih rendah. Di mana arah angin berhembus dari timur ke barat. Sehingga kondisi ini dapat membantu menurunkan kadar debu dan intensitas kebisingan di penggilingan padi. Dilihat dari budaya THK, kondisi lingkungan merupakan aspek palemahan. Aspek palemahan ini berupa bising dan debu yang dihadapi pekerja penggilingan padi setiap hari. Untuk itu perlu dilakukan redesain ventilasi untuk mengurangi kebisingan dan kadar debu, sehingga pekerja bekerja dengan ENASE dan keseimbangan dalam THK bisa terwujud. 5. Kondisi waktu Pemanfaatan waktu yang teratur dan terjadwal sangat mendukung kenyamanan dan kesehatan kerja. Aktivitas penggilingan padi dilakukan mulai pukul 08.00-17.30 WITA dengan waktu istirahat siang pukul 11.30-12.30 tanpa pemberian makan siang. Waktu kerja yang lama >8 jam/hari, terjadi beban kerja berat pada penggilingan padi, akan mempercepat terjadinya kelelahan, sehingga dapat menurunkan produktivitas pekerja. Sehingga modifikasi kondisi kerja dengan mengatur waktu kerja mulai pukul 08.00-16.00 WITA dan pemberian istirahat pendek 5 menit sebanyak 2 kali pada pukul 09.30-09.35 WITA dan 14.30-14.35 WITA dapat meningkatkan kesehatan kerja dan produktivitas pekerja penggilingan padi. Dalam budaya THK, kondisi waktu merupakan konsep desa, kala, patra. Di manapun, kapanpun dan dalam situasi yang bagaimanapun hendaknya seseorang berpikir, berkata dan bekerja/bertindak sesuai dengan kemampuan dari pekerja. Dengan berpedoman pada konsep ini, pekerja dapat bekerja dengan aman dan nyaman sehingga kesehatan kerja dan produktivitas dapat dicapai.
40
6. Kondisi sosial Hubungan antar pemilik dan pekerja, antar pekerja dan pekerja lain di penggilingan padi relatif baik, walaupun sering frekuensi komunikasi tidak tinggi karena aktivitas pekerjaan penggilingan padi dengan lingkungan kerja yang bising, sulit bagi pekerja untuk berkomunikasi. Pada budaya THK, kondisi sosial merupakan perwujudan dari filosofi tat twam asi, di mana sistem kekeluargaan dan kekerabatan adalah sebuah ciri yang melekat pada masyarakat Hindu di Bali seperti rasa empati dan solidaritas (menyama braya). Dengan meningkatkan pola pikir, sikap hidup, berbuat baik, dan keterbukaan antara pemilik usaha dan pekerja sehingga permasalahan ergonomi di penggilingan padi dapat dipecahkan. 1. Kondisi informasi Modifikasi kondisi kerja penggilingan padi dengan meredesain fasilitas kerja yang dibuat, harus diikuti dangan informasi yang memadai, baik untuk keperluan mengoperasikan alat dan juga untuk kenyamanan lingkungan kerja. Informasi dibutuhkan pekerja agar mampu bekerja seoptimal mungkin. Informasi
yang
memadai diadakan untuk menunjang aktivitas usaha penggilingan padi. Faktor pekerja merupakan hal penting dalam menerima informasi dan menentukan kesuksesan dalam melaksanakan pekerjaan di penggilingan padi. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan faktor budaya dalam penerimaan dan penggunaan fasilitas kerja karena budaya mempunyai dampak besar terhadap prilaku dan praktik manusia di dalam melaksanakan pekerjaannya. Informasi menyangkut apa dan bagaimana harus bekerja serta berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja. Dalam budaya THK keyakinan dalam menerima informasi yang dibutuhkan akan memberi keyakinan pekerja untuk mempermudah dalam penggunaan alat kerja tanpa menimbulkan permasalahan ergonomi dalam bekerja. 41
2. Interaksi manusia-mesin/alat Interaksi manusia dengan alat pada aktivitas penggilingan padi terjadi mulai dari proses mengangkat karung gabah menaiki undakan, menuang gabah dalam mesin penggilingan, mengangkat beras pecah kulit ke mesin penyosohan sampai menjadi beras siap konsumsi. Redesain undakan dan pengaman pada vent belt dirancang sangat sederhana sesuai dengan antropometri pekerja penggilingan padi, konsep sanga mandala dan asta kosala-kosali melalui pendekatan teknis, ekonomis, ergonomis, sosio-budaya, hemat energi, ramah lingkungan, dan trendi. Sehingga nyaman dan aman dalam penggunaannya. Evaluasi dan analisis terhadap kondisi kerja di penggilingan padi Desa Jinengdalem dilakukan karena fasilitas kerja yang digunakan tidak sesuai dengan prinsip dan norma kelayakan ergonomi. Modifikasi kondisi kerja berbasis egonomi THK yang dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah ergonomi dan aspek sosiobudaya yang dapat dipertanggungjawabkan. Di sini akan diaplikasikan segala macam informasi yang berkaitan dengan faktor manusia (kekuatan, kelemahan atau keterbatasan) dalam modifikasi kondisi kerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem melalui redesain kondisi kerja yang lebih efektif, aman, nyaman, sehat, dan efisien (ENASE). 2.3.4 Intensitas kebisingan di penggilingan padi Kebisingan merupakan suatu bunyi yang tidak dikehendaki. Bunyi adalah sensasi yang timbul dalam telinga akibat getaran udara atau media lain. Kebisingan sifatnya sangat subjektif dan tergantung dari beberapa faktor di antaranya kondisi kesehatan seseorang, adaptasi dan pengalaman masa lalu, jenis pekerjaan yang sedang dilakukan, kegemaran dan lain sebagainya. Kebisingan dapat menyebabkan ketulian, gangguan komunikasi, emosi cepat meningkat dan juga dapat terjadi gangguan fungsi fsiologis, 42
seperti penyempitan pembuluh darah, serta peningkatan denyut nadi, tekanan darah dan ketegangan otot. Lingkungan kerja pada proses penggilingan padi belum memberikan kenyamanan terhadap pekerja. Hasil pengukuran intensitas kebisingan di penggilingan padi mencapai 88 dB(A). Intensitas tersebut melebihi ketentuan Kemenakertrans No 13/MEN/X/2011 yang menyarankan agar intensitas bising tidak melebihi 85 dB(A). Intensitas bising yang melebihi 85 dB(A) pada penggilingan padi memapar pekerja selama ± 8 jam kerja dan keadaan ini akan mempengaruhi kenyamanan pekerja, sehingga dapat meningkatkan beban kerja, keluhan muskuloskeletal, ketegangan otot dan kelelahan. Konsekuensinya tentu akan berpengaruh terhadap kesehatan kerja dan produktivitas kerja. Standar kebisingan ditetapkan di tempat kerja merupakan kebijaksanaan terhadap pengawasan kebisingan yang pada dasarnya melindungi pekerja dari pengaruh buruk yang ditimbulkan dengan intensitas tinggi. Sebab itu diusahakan agar tingkat kebisingan di tempat kerja tidak melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan pada Kemenakertrans No 13/MEN/X/2011, disebutkan NAB adalah nilai intensitas suara tertinggi yang merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan kehilangan daya dengar yang tetap untuk waktu kerja terus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu. Standar NAB di tempat kerja ditetapkan 85 dB(A). 2.3.5 Kadar debu di penggilingan padi Paparan debu dalam industri penggilingan padi antara lain debu berasal dari hasil proses penggilingan. Klasifikasi NAB dan kadar tertinggi yang diperkenankan untuk kadar
debu
respirabel
adalah
3
mg/m³
berdasarkan
Kemenakertrans
No
13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) faktor fisika dan faktor kimia di 43
tempat kerja. Menurut Wisnu (2001) faktor–faktor lingkungan yang mempengaruhi pencemaran udara berupa debu di atmosfer, sebagai berikut: 1.
Kelembaban Kelembaban udara relatif yang rendah (<60%) di daerah tercemar SO 2 akan mengurangi efek korosif dari bahan kimia tersebut. Pada kelembaban relatif lebih atau sama dengan 80% di daerah tercemar SO2, akan terjadi peningkatan efek korosif SO2 tersebut.
2. Suhu Suhu yang menurun pada permukaan bumi, dapat menyebabkan peningkatan kelembaban udara relatif, sehingga akan meningkatkan efek korosif bahan pencemar di daerah yang udaranya tercemar. Pada suhu yang meningkat, akan meningkatkan pula kecepatan reaksi suatu bahan kimia. 3.
Sinar Matahari Sinar matahari dapat mempengaruhi bahan oksidan terutama O 3 di atmosfer Keadaan tersebut dapat menyebabkan kerusakan bahan/alat bangunan atau bahan yang dapat terbuat dari karet. Jadi dapat dikatakan bahwa sinar matahari dapat meningkatkan rangsangan untuk merusak bahan. Hasil pengukuran kadar debu di penggiling padi sebesar 3,22 mg/m³ melebihi
NAB yaitu 3 mg/m³. Dengan demikian kadar debu dapat menimbulkan pencemaran lingkungan kerja maupun lingkungan di sekitar tempat usaha penggilingan padi. Hal ini disebabkan karena lubang ventilasi yang tidak memadai di ruang kerja sehingga ruang kerja menjadi berdebu. Kondisi ini mempengaruhi kesehatan kerja dan produktivitas pekerja penggilingan padi. Debu adalah partikel–partikel zat padat yang dihasilkan oleh kekuatan alam atau proses mekanisme seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang 44
cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan organik maupun anorganik, misalnya debu kayu, batu, logam, arang batu, butir-butir zat dan sebagainya. Contoh: debu batu, debu kapas, debu tembakau, debu asbes, dan lain-lain. Sifat debu ini tidak berflokulasi kecuali oleh gaya tarik elektris, tidak berdifusi dan turun oleh gaya tarik bumi (Suma’mur 2011). 2.3.6 Ventilasi di penggilingan padi Ventilasi adalah lubang yang ada pada sisi bangunan, udara dapat ke luar masuk ke dalam ruang kerja secara bebas. Variabel utama yang diperhitungkan sehubungan dengan ventilasi adalah jumlah volume udara yang masuk ke dalam ruangan (Titovianto, 2007), hal ini berkaitan erat dengan sistem, letak dan luas ventilasi yang dibuat. Sistem ventilasi yang ideal adalah ventilasi silang (cross ventilation). Ventilasi tersebut jumlahnya lebih dari satu buah dan letaknya berseberangan satu sama lainnya pada tembok bangunan, dengan maksud agar udara dengan bebas ke luar masuk ruangan sehingga kondisi udara dalam ruangan selalu segar dan bersih (Manuaba dan Kamiel, 1996). Letak ventilasinya memperhitungkan arah angin yang berhembus di lokasi bersangkutan, berpapasan dengan angin itu berarti angin banyak masuk ke dalam ruangan. Ada beberapa solusi pengudaraan dalam menanggulangi masalah bising dan debu pada bangunan, antara lain: ventilasi silang (cross ventilation); perletakan bukaan (ventilasi dan jendela) ditata secara silang atau menempatkan ventilasi berhadapan antara 2 dinding ruangan sehingga proses aliran udara lebih lancar (Purwanto, 2006). Untuk luas lubang ventilasi adalah 10% kali luas lantai ruangan (Chandra, 2007). Untuk tempat kerja penggilingan padi, redesain ventilasi silang sangat baik dan memungkinkan untuk dilakukan dengan cara menambah lubang ventilasi pada dinding 45
yang mengarah kelod-kauh (nistaning nista) sesuai konsep sanga mandala. Angin akan lebih banyak masuk, sirkulasi lebih lancar, sehingga intensitas kebisingan dapat dikurangi. 2.3.7 Sikap kerja Sikap kerja adalah sikap tubuh (posture) manusia saat berionteraksi dengan alat/peralatan kerja. Pada dasarnya sikap tubuh manusia dalam keadaan istirahat terdiri dari sikap: berdiri, duduk, jongkok, dan berbaring (Pheasant dan Haslegrave, 2006). Namun pada saat melaksanakan pekerjaan sikap tubuh dapat merupakan salah satu atau kombinasi dari sikap-sikap tersebut di atas. Sikap kerja yang baik adalah sikap kerja yang memungkinkan melaksanakan pekerjaan dengan efektif dan dengan usaha otot yang sedikit. Sikap kerja pekerja hendaknya diusahakan dalam posisi fisiologis seperti saat berdiri dan membungkuk, sehingga tidak sampai menimbulkan sikap paksa yang melewati kemampuan fisiologis tubuh (Machida, 2010). Tujuannya mencegah kontraksi otot dan peregangan tendo secara berlebihan (overuse). Secara umum, sikap kerja bervariasi lebih baik daripada sikap kerja statis, tetapi sikap kerja yang statis dan relaks lebih baik daripada statis dan tegang. Menurut Pheasant dan Haslegrave (2006) ada tujuh petunjuk dasar yang berhubungan dengan sikap tubuh selama bekerja, yaitu: (1) hindari inklinasi ke depan pada kepala dan leher; (2) hindari inklinasi ke depan pada tubuh; (3) hindari penggunaan angota bagian atas dalam posisi terangkat; (4) hindari puntiran atau sikap yang asimetris; (5) bila mungkin persendian hendaknya dalam jangkauan sepertiga dari gerakan maksimum; (6) lengkapi sandaran punggung pada semua tempat duduk; (7) bila menggunakan tenaga otot, hendaknya anggota badan dalam posisi menghasilkan kekuatan maksimum.
46
Sikap kerja pekerja penggilingan padi adalah dengan membungkuk, mengangkat beban dengan posisi lengan pekerja yang melebihi tinggi bahu, risiko kecelakaan kerja akibat terkena putaran vent belt yang tidak diberi pengaman. Dengan redesain undakan, pemberian pengaman pada vent belt ini mengubah sikap kerja pekerja penggilingan padi dari sikap membungkuk menjadi posisi berdiri, posisi lengan pekerja yang melebihi tinggi bahu menjadi sejajar dengan bahu pekerja dan kecelakaan kerja akibat terkena putaran vent belt pada kaki pekerja dapat dihindari. 2.3.8 Jam kerja Jam kerja berlebihan di luar batas kemampuan, apalagi pekerjaan itu berat, jelas akan merupakan sumber terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Paling sedikit akan terjadi kelelahan yang sangat merugikan dilihat dari segi pelaksanaan tugas. Beban kerja fisik yang berat dan dilakukan di dalam waktu yang lama akan mempercepat munculnya kelelahan. Begitu juga lingkungan kerja yang tidak memadai, seperti berdebu dan bising yang berkepanjangan, juga akan mempercepat munculnya kelelahan. Gizi yang kurang, adanya penyakit, atau rasa sakit karena sikap paksa juga merupakan sumber munculnya kelelahan. Akhirnya suasana kerja yang tidak nyaman, adanya beban mental psikologis serta pekerjaan yang monoton dapat dipastikan menjadi sumber adanya kelelahan. Kelelahan adalah suatu keadaan sementara yang ditimbulkan oleh aktivitas/jam kerja yang berlebihan atau berkepanjangan yang dimanifestasikan sebagai penurunan fungsi aktivitas, fungsi kapasitas organ, baik pada organ itu sendiri atau seluruh tubuh, dan dirasakan spesifik sebagai kelelahan umum. Jam kerja optimal manusia adalah delapan jam, maka janganlah begitu saja menambah jam lembur seseorang setiap harinya. Yang masih bisa ditoleransi ialah satu jam lembur sesudah delapan jam kerja. Ini pun dengan catatan bahwa selama delapan 47
jam kerja tersebut ada dua rehat dan satu makan siang para white collar dan dengan rehat pendek yang lebih banyak bagi mereka yang termasuk kerja berat. Kalau dirasakan bahwa penambahan jam kerja itu perlu, terutama di dalam mengejar target. Daripada mengorganisasikan lembur untuk karyawan selama tiga sampai empat jam, lebih baik diatur melalui kerja malam selama delapan jam dengan mengangkat karyawan baru atau memanfaatkan karyawan yang belum berfungsi optimal (Manuaba, 2005a). Perlu menjadi perhatian bahwa seringkali produksi yang dijadikan sasaran produktivitas yang diinginkan tidak tercapai karena hilangnya man hours yang cukup besar karena layout yang tidak baik, cara kerja yang penuh kesulitan karena kesalahan desain kerja, dan organisasi kerja yang tidak tepat. Pulat (2002) menyarankan pekerja lingkungan industri melakukan istirahat pendek beberapa kali selama waktu kerja, sebagai ganti istirahat yang diambil sekali. Sebagai contoh 10 menit waktu istirahat setiap jamnya, berarti bahwa mengharapkan hanya 50 menit efektif kerja untuk setiap jamnya. Dengan demikian operator dapat mengambil 10 menit istirahat setiap jam, atau lima menit istirahat setiap 30 menit, terutama untuk pekerjaan yang tergolong berat. Untuk mengatasi kondisi ini perlu dirancang adanya istirahat pendek lima menit setiap
jamnya.
Memberi
waktu
istirahat
pendek
dapat
meningkatkan
dan
mempertahankan prestasi kerja (Grandjean dan Kroemer, 2009). Melalui aplikasi ergonomi, masalah ini bisa dipecahkan, tidak hanya untuk membuat mereka bekerja, tetapi bekerja lebih produktif. Ini dicapai karena irama kerja akan tetap besarnya selama jam kerja berlangsung. 2.3.9 Penyediaan air minum Air sangat penting untuk kesehatan tubuh karena berfungsi untuk melanjutkan berbagai zat dan membantu perubahan kimiawi di dalam pencernaan (Pearce, 2006). 48
Oleh karena keseimbangan air dalam tubuh harus dipertahankan supaya jumlah air yang diterima oleh tubuh sama dengan jumlah air yang dikeluarkan. Apabila kehilangan air secara berlebihan yang melebihi jumlah yang masuk akan menyebabkan dehidrasi. Selain itu, air merupakan obat yang baik, yang berfungsi memperbaiki ketegangan otot. Seseorang yang bekerja dalam lingkungan kerja yang bising, sangat panas, dan berdebu akan kehilangan air dan garam melalui keringat. Dalam keadaan panas, kondisi kerja yang berat, pekerja dapat kehilangan sampai 1,5 liter air per jam dalam bentuk keringat (Hilary, 2006). Kehilangan ini harus dikompensasi dengan minum dan konsumsi garam. Konsumsi cairan volumenya sama dengan kehilangan cairan (OSHA, 1999) dan Manuaba (1998) juga mengatakan kehilangan cairan tubuh dapat ditanggulangi dengan memberikan minum dalam jumlah yang memadai (water intake). Satu cara yang termurah dan hampir tepat untuk mengetahui kebutuhan air dalam tubuh adalah dengan menimbang berat badan sebelum dan setelah bekerja, dengan cara menimbang berat badan pekerja sebelum bekerja misalnya 62 kg dan setelah bekerja 61 kg. Ini berarti ada penurunan berat badan pekerja rata-rata satu kg. Jadi, pekerja perlu diberikan minum sebanyak ± 1 kg air atau satu liter air selama bekerja. Minimal setara dengan satu gelas air mineral (240cc) per jam. Air sebanyak itu harus tersedia pada tempat kerja sehingga bisa minum dengan mudah dan pekerja dipastikan minum setiap jam kendatipun mereka tidak haus. Disarankan untuk menghindari dehidrasi pada pekerja agar minum sebelum haus. Hindari alkohol, kopi, teh, atau soda yang bertindak sebagai diuretik yang lebih lanjut menguras cairan tubuh (OSHA, 2003). Sehingga perlu diberikan air minum pada pekerja penggilingan padi ditinjau dari segi kesehatan untuk menghindari terjadinya dehidrasi atau untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh. Berdasarkan kebiasaan yang diminum oleh pekerja penggilingan padi adalah air putih yang sudah dimasak dan kemudian didinginkan. 49
2.3.10 Istirahat dan kudapan Waktu istirahat merupakan kebutuhan fisiologis yang tidak dapat ditawar demi untuk mempertahankan kapasitas kerja. Waktu istirahat dibutuhkan tidak hanya bagi kerja fisik, tetapi juga oleh jabatan yang menimbulkan tegangan mental dan saraf. Istirahat juga dibutuhkan untuk mempertahankan ketangkasan digital, ketajaman indera serta ketekunan konsentrasi mental. Menurut Suma’mur (2011) bahwa bekerja adalah anabolisme yakni mengurangi atau menggunakan bagian-bagian yang telah dibangun sebelumnya. Dalam keadaan demikian, sistem syaraf utama yang berfungsi adalah komponen simpatis. Maka pada kondisi seperti itu, aktivitas tidak dapat dilakukan terus-menerus, melainkan harus diselingi istirahat untuk memberi kesempatan tubuh melakukan pemulihan. Pada saat istirahat tersebut, maka tubuh mempunyai kesempatan membangun kembali tenaga yang telah digunakan (katabolisme). Grandjean (2000) menjelaskan bahwa setiap fungsi tubuh manusia dapat dilihat sebagai keseimbangan ritmis antara kebutuhan energi (kerja) dengan penggantian kembali sejumlah energi yang telah digunakan (istirahat). Ke dua proses tersebut merupakan bagian integral dari kerja otot, kerja jantung dan keseluruhan fungsi biologis tubuh. Dengan demikian jelas bahwa untuk memelihara performansi dan efisiensi kerja, waktu istirahat harus diberikan secukupnya, baik antara waktu kerja maupun di luar jam kerja (istirahat pada malam hari). Ada beberapa studi yang membahas pengaruh dustribusi jam makan. Grandjean (2000) melaporkan bahwa memberi snack setiap dua jam menjaga gula darah dan efisiensi pada level yang tinggi sepanjang hari kerja. Setiawan (2012) melaporkan bahwa pemberian istirahat aktif dan musik pengiring pada pekerja di pabrik karet dapat menurunkan stres dan kelelahan kerja. 50
Kudapan sangat penting untuk pekerja manual, untuk memenuhi cairan tubuh, kudapan pada pekerja berat perlu padat kalori karena pada pekerja berat laju ambilan glukosa oleh otot lebih besar dari pekerjaan ringan (Surata, 2011). Energi yang terkandung dalam beberapa jenis kudapan ditunjukkan pada Tabel 2.4 Tabel 2.4 Jenis Kudapan dan Energi yang Terkandung Jenis kudapan 1 cangkir air mineral 1 mangkuk sup 1 cangkir teh dengan 2 sendok gula 1 cangkir kopi dengan susu dan 2 sendok gula 1 cangkir jus apel 1 cangkir susu atau yoghurt 1 cangkir susu coklat Roti (50 g) Roti dengan buah Roti dengan keju Roti dengan sosis Sumber: Grandjean, 2000.
Energi, kJ 40 – 60 150 155 270 275 540 500 1000 1250 1250
Jadi, perlu diberikan kudapan pada pekerja penggilingan dengan pekerjaan berat yaitu dua buah pisang goreng. Diberikan pada saat istirahat aktif dilakukan. 2.3.11 Istirahat aktif Setiap fungsi dari tubuh manusia dapat dilihat sebagai keseimbangan ritmis antara pemasukan energi dan pengeluaran energi, atau lebih sederhana antara kerja dan istirahat. Istirahat sejenak sangat diperlukan sebagai kebutuhan fisiologis jika kinerja dan efisiensi ingin dipertahankan (Grandjean, 2000). Istirahat sejenak sangat penting tidak hanya untuk kerja manual, tetapi juga selama kerja yang membebani sistem syaraf. Istirahat sejenak dengan bermacam variasi dan dalam berbagai lingkungan stasiun kerja dibedakan menjadi empat jenis: (1) istirahat spontan, (2) istirahat curian, (3) istirahat karena kondisi pekerjaan, dan (4) istirahat resmi. Pulat (1992) menyarankan pekerja di lingkungan industri melakukan istirahat aktif beberapa kali selama waktu kerja, sebagai ganti istirahat yang diambil sekali. 51
Istirahat spontan adalah istirahat atas inisiatif pekerja sendiri. Rasanya tidak terlalu lama, tapi mungkin sering jika pekerjaan berat. Istirahat curian adalah waktu dimana pekerja menempatkan dirinya dengan santai dari tugas rutin, rileks dari pekerjaan utama. Istirahat resmi adalah berhenti bekerja yang diatur oleh menejemen, contoh istirahat siang dan istirahat untuk snack dan kopi/teh. Secara umum dapat dikatakan bahwa semua perbedaan jenis istirahat akan mencapai 15% total waktu kerja. Secara keseluruhan istirahat sejenak cenderung meningkatkan output. Istirahat ini dengan tujuan untuk mencegah penurunan kualitas hidup pekerja, kesempatan untuk makan dan minum, dan memberi waktu untuk melakukan kontak sosial. Grandjean (2000) memberikan rekomendasi pengaturan waktu istirahat: 1.
Bila pekerjaan tergolong berat, atau di tempat sangat panas, istirahat sepatutnya sesuai dengan kebutuhan maksimum setiap jamnya.
2.
Untuk pekerjaan yang tergolong fisik moderat atau usaha mental, harus ada istirahat 10-15 menit, pada pagi dan sore hari.
3.
Pekerjaan yang memerlukan mental berat khususnya jika waktu tunggu sangat sedikit, harus ada tambahan istirahat pada pagi dan sore, atau dua istirahat pendek 3-5 menit, sebelum dan setelah tengah hari.
4.
Bila mempelajari keterampilan, atau melayani pekerja magang, istirahat pendek penting. Pada pekerja penggilingan padi dengan beban kerja berat perlu diberikan istirahat
pendek selama 5 menit untuk menghindari kelelahan yang berlebihan. Dengan memberi istirahat 5 menit pada pekerjaan mengangkat dan menurunkan barang yang berlangsung 9 menit terjadi waktu pemulihan dan dapat mencegah kelelahan otot di tempat kerja (Shin dan Kim, 2007). 52
2.4 Budaya THK di Penggilingan Padi Masyarakat di Bali sebagai masyarakat sosial membudayakan budaya THK dalam mengatur kehidupannya dan mengimplementasikan dalam bentuk awig-awig. Hal ini diperkuat dengan Perda Propinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman disebutkan pengertian awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman atau krama pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan THK sesuai dengan desa mewacara dharma agama di desa pakraman/banjar pakraman masingmasing. Ini menunjukkan bahwa implementasi budaya THK telah digunakan dan diimplementasikan di dalam setiap aktivitas termasuk usaha penggilingan padi. Filosofi ini mengajarkan bahwa kebahagiaan manusia akan dapat dicapai bila manusia mampu menjaga keharmonisan/keseimbangan hubungan antara tiga faktor dari THK, yaitu Parhyangan (unsur Ketuhanan), Pawongan (manusia), dan Palemahan (lingkungan). Keharmonisan merupakan nilai luhur yang harus ada dalam diri setiap individu lalu keluar diwujudkan dalam bentuk penghargaan atau toleransi tinggi terhadap sesama, antara atasan dan bawahan, antara pengusaha dan pelanggan, antara sesama stakeholder. Keharmonisan manusia dengan alam lingkungannya sama nilainya dengan dua keharmonisan lainnya. THK tidak hanya hubungan tunggal dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dan alam, tapi lebih jauh merupakan interaksi dan keseimbangan antara ke tiga hubungan ini (Peters dan Wardana, 2013). Budaya THK mengajarkan bahwa kehidupan bersumber atau disebabkan oleh adanya 3 unsur utama yaitu: (1) jiwa/atma ; (2) fisik/angga; dan (3) tenaga/prana. Ke tiga unsur kehidupan ini, yaitu: jiwa, fisik, dan tenaga adalah Tri Hita Karana. Kebahagiaan atau keharmonisan (hita) dapat terwujud jika ada tiga penyebab (tri karana) yaitu jiwa, fisik, dan tenaga. Hilangnya salah satu dari ke tiga penyebab kebahagiaan ini akan menghilangkan kebahagiaan itu. Harmonis berarti melakukan hal53
hal yang mengandung kebaikan, kesucian yang dimulai dari pikiran, terucap dalam perkataan dan terlihat dalam tindakan/perbuatan. Hal ini berlaku juga pada aktivitas penggilingan padi di Desa Jinengdalem. Di mana susunan kosmos atau budaya THK di penggilingan padi sebagai berikut; parhyangan berupa sanggah/pemerajan dan pelangkiran sebagai jiwa, penghuni atau pekerja sebagai tenaga penggerak adalah pawongan, dan pekarangan/lingkungan penggilingan padi sebagai tempat atau wadah fisik/angganya adalah palemahan. Palemahan sebagai unsur fisik/angga dari THK mengatur keharmonisan dan keseimbangan manusia dengan lingkungan, memberikan turunan konsep ruang yang disebut dengan Tri angga (Dwijendra, 2003). Tri artinya tiga dan angga artinya badan. Tri angga menekankan pembagian nilai fisik suatu ruang yaitu: utama angga, madya angga, dan nista angga. Tri angga ini kemudian mendasari pembagian dan peruntukan serta tata ruang di Bali. Tri angga selanjutnya membentuk konsep Tri mandala yang meletakkan tata nilai secara horizontal menggunakan tata nilai hulu-teben. Tri mandala dipedomani sebagai tata nilai penyelarasan bhuwana agung dan bhuwana alit. Konsep hulu-teben memiliki tiga orientasi yaitu: (1) berdasarkan sumbu bumi berorientasi kajakelod (gunung-laut); (2) berdasarkan arah tinggi-rendah (tegeh lebah); (3) berdasarkan sumbu matahari yakni Timur-Barat (matahari terbit dan terbenam) (Sulistyawati, 1985). Perpaduan orientasi gunung-laut atau kaja-kelod dan Matahari terbit dan terbenam kangin kauh (timur-barat) dalam konsep hulu-teben kemudian terbentuk pola sanga mandala, yang membagi ruang menjadi sembilan segmen. Konsep arah orientasi ruang dan kosep sanga mandala disajikan pada Gambar 2.5. Konsep tata ruang sanga mandala menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan dalam desa pakraman, pekarangan rumah, dan areal penggilingan padi dalam arti bahwa kegiatan yang dianggap utama memerlukan 54
ketenangan diletakkan pada daerah utamaning utama (kaja-kangin), sedangkan kegiatan yang dianggap kotor/sibuk diletakkan pada daerah nistaning nista (kelodkauh). Penempatan dan pembangunan pura parhyangan ditempatkan di hulu atau utama mandala dengan pintu masuk/lawang menghadap kejalan.
Gambar 2.5 Konsep Arah Orientasi Ruang dan Kosep Sanga Mandala (Budihardjo, 1986) Di hulu dibangun pura sebagai parhyangan. Selain sebagai tempat suci untuk bersembahyang dan mebanten saiban setiap hari fungsi Pura dan sanggah/pemrajan berkembang menjadi beberapa fungsi ikutan yaitu: 1. Pemelihara persatuan pada saat ulang tahun/odalan (tumpek landep) pada penggilingan padi, semua pekerja dan pengusaha berkumpul. 2. Pemelihara dan pembina kebudayaan pada saat odalan dipentaskan taritarian sakral, kidung-kidung pemujaan, seni karawitan/gambelan, seni upakara/sesajen, wayang, dan lain-lain. 55
3. Pendorong pengembangan pendidikan di bidang agama, adat, dan etika/susila; ketika mempersiapkan upacara odalan, ada kegiatan gotong royong membuat tetaring/tenda, menghias tempat pemujaan (pelinggih), majejahitan, masak bersama (mebat), dan lain-lain. Kegiatan keduniawian berupa kegiatan sosial antara pekerja dan pengusaha, ekonomi, ditempatkan pada madya mandala yaitu ditengah di sekitar wilayah penggilingan padi (Gambar 2.5). Dalam kebudayaan Bali juga terdapat nilai-nilai toleransi dan persamaan yang didasarkan atas konsep tat twam asi (aku adalah kamu). Hal ini diperkuat lagi dengan adanya konsep tri kaya parisudha, yaitu berpikir, berkata, dan berbuat yang baik dan benar. Hubungan sesama manusia dalam masyarakat Bali dikenal pula dengan konsep nyama braya. Bila dilihat dari ergonomi pada aspek budaya THK (Sutajaya dan Ristiati, 2011), maka dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Antropometri yaitu pemanfaatan ukuran tubuh pekerja dalam mendesain alat kerja mengacu kepada konsep asta kosala-kosali. 2. Konsep geometri dalam ergonomi yaitu penentuan jarak antar tempat kerja menggunakan konsep asta bumi. 3. Istirahat panjang, istirahat pendek, dan kerja lembur mengacu pada konsep pamali dalam bekerja di siang hari (tengai tepet/rikala tajeg Sang Hyang Surya) dan bekerja sandikala (menjelang malam) serta bekerja malam hari. 4. Bonus kerja dalam ergonomi mengacu pada konsep sarin pegae 5. Kenyamanan kerja dalam ergonomi mengacu pada penempatan pelangkiran di setiap tempat kerja relevan dengan konsep spirit dan kenyamanan dalam bekerja. 6. Motivasi kerja dalam ergonomi mengacu pada rasa jengah dalam berkarya. 56
7. Kerjasama tim yang kondusif dalam ergonomi mengacu pada konsep sagiliksaguluk, salunglung-sabaya-antaka dan menyama-braya. 8. Upaya maintenance peralatan kerja dalam ergonomi mengacu pada upacara tumpek landep. 2.5 Ergo THK dalam Konsep Keseimbangan Ergonomi Dalam ergonomi dikenal konsep keseimbangan di mana antara tuntutan tugas dengan kapasitas pekerja harus selalu dalam garis keseimbangan sehingga dicapai performansi yang tinggi (Manuaba, 2000). Tuntutan tugas terdiri dari: 1. Karakteristik-karakteristik tugas dan material yang meliputi karakter peralatan dan mesin, tipe, kecepatan dan irama kerja. 2. Karakteristik-karakteristik organisasi yang berhubungan dengan jam kerja dan jam istirahat, kerja malam dan bergilir, cuti dan libur, manajemen. 3. Karakteristik-karakteristik lingkungan yang berkaitan dengan manusia, teman sekerja, sosio-budaya, tabu, norma, adat dan kebiasaan, suhu, kelembaban, bising, getaran, penerangan, gas, cairan, debu dan uap. Sementara itu kapasitas pekerja terdiri dari: 1. Karakteristik personal yang meliputi usia, jenis kelamin, antropometri, pendidikan, pengalaman, status sosial, agama dan kepercayaan, status kesehatan, kebugaran tubuh. 2. Kapasitas fisiologis yang meliputi kemampuan dan daya tahan kardiovaskular, saraf otot, panca indera. 3. Kapasitas psikologis yang berhubungan dengan kemampuan mental, waktu reaksi, kemampuan adaptasi, stabilitas emosi. 4. Kapasitas biomekanik yang berkaitan dengan kemampuan dan daya tahan sendi dan persendian, tendon dan jalinan tulang. 57
Menurut Manuaba (2006) bila terdapat ketidakseimbangan antara tuntutan tugas dengan kapasitas pekerjanya maka akan dapat mempengaruhi performansi/kinerja. Konsep keseimbangan dalam ergonomi dapat dilihat pada Gambar 2.6. Performansi yang dimaksud adalah: 1. Bila rasio tuntutan tugas lebih besar dari kapasitas pekerja maka performansi akhir dapat berupa ketidaknyamanan, overstress, kelelahan, kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit dan tidak produktif. 2. Bila rasio tuntutan tugas lebih kecil dari kapasitas pekerja maka performansi akhir dapat berupa understress, kebosanan, kejemuan, kelesuan, akit dan produktif. Agar performansi optimal perlu adanya keseimbangan dinamis antara tuntutan tugas dengan kapasitas yang dimiliki sehingga tercipta kondisi dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan produktif.
Gambar 2.6 Konsep Keseimbangan dalam Ergonomi (Manuaba, 2006) Bila di lihat dari konsep keseimbangan ergonomi pada Gambar 2.6, budaya THK dapat dikatakan merupakan bagian dari karakteristik lingkungan dan karakteristik 58
personal yang dapat mempengaruhi tuntutan tugas dan kapasitas pekerja yang pada akhirnya juga mempengaruhi performansi pekerja. Dengan demikian bahwa dalam keseimbangan ergonomi telah memperhatikan aspek budaya THK yang berlaku di masyarakat Bali. Ergo THK dalam penelitian ini adalah melihat permasalahan ergonomi di penggilingan padi dari aspek budaya THK dan pemecahan masalah ergonomi menggunakan modifikasi ergo THK yaitu intervensi ergonomi yang memecahkan permasalahan ergonomi di penggilingan padi dari aspek budaya THK
dengan
penerapan TTG melalui pendekatan SHIP. Ergonomi sebagai ilmu yang bersifat multidisipliner, mengintegrasikan berbagai elemen keilmuan, seperti misalnya fisiologi, anatomi, kesehatan, teknologi, desain, sosio budaya dan ilmu lainnya yang berkaitan dengan pekerjaan. Tujuan ergonomi adalah (Manuaba, 2006) 1. Meningkatkan kesejahtetaan fisik dan mental. 2. Meningkatkan kesejahteraan sosial. 3. Keseimbangan rasional antara sistem manusia atau manusia-alat dengan aspek teknis, ekonomi, antropologi dan budaya. Dalam perwujudan aktivitas penggilingan padi di Desa Jinengdalem Bueleleng, yang menjadi pertimbangan adalah: hubungan manusia dengan Tuhan, sesama dan lingkungan, hal ini juga merupakan pertimbangan dalam ergonomi yang terdiri dari: task, organisasi dan lingkungan. Secara umum konsep keseimbangan THK memiliki kesamaan dengan konsep ergonomi (Artayasa, 2015). Dalam penerapan prinsip ergonomi di tempat kerja dilihat dari tiga aspek yaitu task, organisasi dan lingkungan diserasikan dengan kemampuan, kebolehan dan batasan manusia sebagai tenaga kerja (Manuaba, 2004b; Bridger, 2008). Melihat permasalahan 59
ergonomi dari aspek budaya THK di tempat kerja, maka permasalahan ergonomi adalah sebagai berikut: 1. Perbaikan sikap kerja. 2. Pengaturan jam kerja, pemberian istirahat pendek dan kudapan sebagai penerapan konsep tat twam asi dan menyama braya sebagai wujud empati dari pemilik usaha terhadap pekerja. 3. Aspek lingkungan kerja dengan meredesain undakan pada mesin pecah kulit, pemberian pelindung pada vent belt dan meredesain lubang ventilasi sesuai antropometri pekerja penggilingan padi Bali dan konsep sanga mandala (nistaningnista/kelod kauh) menempatkan kegiatan yang dipandang bersifat kotor mengandung limbah pada arah kelod atau kauh. Peningkatan produktivitas dan kesehatan kerja pada penggilingan padi merupakan hasil sebagai akibat adanya modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK. Ergo THK selalu berupaya melakukan perbaikan kondisi existing kondisi kerja berdasarkan task, organisasi, dan lingkungan kerja dengan melihat permasalahan ergonomi lebih menekankan pada aspek sosio-budaya. Agar intervensi ergonomi yang dilakukan lebih mudah diterima dan tidak bertentangan dengan masyarakat setempat. Teknis pencarian akar masalah dari permasalahan di penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng, dilakukan dengan cara Focus Group Discussion (FGD) dengan peserta semua stakeholder, yang terdiri dari dari: pekerja, pimpinan perusahaan, ahli ergonomi, ahli tehnik dan tokoh agama. FGD diawali dengan identifikasi masalah dengan menggali permasalahan yang ada saat ini, dilanjutkan prioritas (urgent, essential, important), untuk melihat ke depan kemudian analisis SWOT, dilanjutkan rencana strategis, rencana kerja dan rencana aksi. Proses tersebut berpola dan berkelanjutan serta pelibatan/partisipasi seluruh stakeholder secara body, mind and soul 60
untuk menuntaskan masalah-masalah yang selama ini dihadapi dan tantangan masalahmasalah baru yang akan muncul di masa mendatang. 2.6 Pendekatan Ergonomi Total Pendekatan ergonomi total merupakan pendekatan yang menerapkan Teknologi Tepat Guna (TTG) melalui pendekatan SHIP (Manuaba, 2006). Penerapan pendekatan ergonomi total berdasarkan pada delapan aspek ergonomi. Identifikasi suatu masalah diperoleh setelah delapan aspek ini dikaji. Selanjutnya dicarikan solusi sesuai dengan permasalahan yang ada dan bisa berupa perbaikan tempat kerja. Di dalam memecahkan suatu permasalahan ergonomi haruslah dilakukan secara komprehensip melalui pendekatan yang mengacu pada tiga aspek (task, organization, environmental) dengan metode “SHIP” yaitu memecahkan persoalan secara kompromi melalui metode bersifat Systemic, Holistic, Interdiciplinary dan melalui pendekatan Particypatory serta “TTG” Teknologi Tepat Guna sehingga hasilnya bisa lestari (Manuaba, 2004b). Sehingga prosedur penerapan ergonomi total diharapkan menghasilkan suatu produk yang ergonomis, diterima oleh user, mempunyai manfaat yang tinggi dan berkelanjutan. 2.6.1 Pendekatan SHIP SHIP berarti setiap penyelesaian masalah dianalisis dalam satu kesatuan sistem, mensinergikan berbagai sistem yang terkait secara bersama-sama atau holistik, memanfaatkan atau melibatkan berbagai disiplin ilmu dan harus ada partisipasi sejak fase identifikasi masalah dari seluruh stake holder yang ada (Manuaba, 2003b). Kajian SHIP dalam modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK dilakukan seperti berikut ini. 1. Sistemik Sistemik dalam pendekatan SHIP diartikan semua faktor yang diasumsikan mempengaruhi proses modifikasi kondisi kerja penggilingan padi dan diperkirakan 61
dapat menimbulkan masalah, harus diperhitungkan dengan cara memasukkan kaidah ergonomi dan aspek sosio budaya ke dalam setiap redesain. Kondisi kesehatan pekerja dilihat dari beban kerja, keluhan muskuloskeletal, ketegangan otot, kelelahan, fungsi paru beserta faktor lain yang mempengaruhi merupakan suatu sistem. Pendekatan sistemik memperhatikan dan menangani setiap sistem secara terpadu, agar berbagai unsur yang saling berhubungan dapat dikembangkan menjadi sesuatu yang mudah dikelola. Sistem dipilih dan digunakan sesuai tempat dan waktu. Pendekatan sistemik berbasis ergonomi THK pada modifikasi kondisi kerja penggilingan padi dilandasi fakta pekerja, ruang stasiun kerja dan fasilitas penggilingan padi, mikroklimat memiliki karakteristik berbeda. Karakteristik fasilitas undakan, dan pengaman vent belt memiliki persyaratan, harus diperhitungkan dalam proses modifikasi kondisi kerja penggilingan padi. Melalui model pendekatan sistemik, ergonomi total berkontribusi untuk optimalkan keterlibatan fisik dan mental serta unsur dinamis dalam aktivitas proses penggilingan padi. Oleh karena itu semua unsur yang mempengaruhi kesehatan kerja pekerja harus dipahami sebagai suatu sistem. Modifikasi kondisi kerja pada penggilingan padi adalah: a) Redesain undakan pada mesin pecah kulit dan pemberian pelindung pada vent belt, yang perlu dipertimbangkan adalah atapak untuk tinggi anak tangga dan atapak ngandang untuk lebar anak tangga sesuai antropometri pekerja penggilingan padi, bahan lokal yang digunakan adalah kayu pohon kelapa yang mudah di dapat di desa setempat, dan tukang yang mengerjakan berasal dari desa setempat. b) Redesain ventilasi untuk mengurangi kebisingan dan kadar debu di ruang kerja menggunakan konsep sanga mandala (nistaning-nista/kelod-kauh) menempatkan kegiatan yang dipandang bersifat kotor mengandung limbah pada arah kelod dan kauh. 62
c) Sikap kerja dan pengaturan jam kerja. Dengan redesain undakan dan pemberian pelindung pada vent belt, sikap pekerja saat mengangkat dan menuang gabah dalam posisi tidak membungkuk, dan lengan pekerja pada mesin penggilingan padi tidak melebihi tinggi bahu pekerja. Sedangkan pada pengaturan jam kerja menjadi delapan jam, pemberian istirahat pendek dua kali selama lima menit pada pukul 09.30-09.35 WITA dan pukul 14.30-14.35 WITA. Pada saat istirahat diberikan asupan nutrisi tambahan. Hal ini merupakan perwujudan konsep tat twam asi dan menyama braya, wujud rasa empati dari pemilik usaha terhadap pekerja dalam menjaga keseimbangan dalam budaya THK di penggilingan padi. 2. Holistik Pemecahan masalah dilakukan secara holistik yang menekan bahwa semua faktor yang terkait dengan masalah yang ada harus dipecahkan secara proaktif dan menyeluruh. Holistik diartikan bahwa sistem terdiri dari subsistem yang saling terkait dan harus dipertimbangkan. Subsistem yang terkait dalam kajian kesehatan kerja dan produktivitas adalah: a) Faktor lingkungan kerja yang perlu dipertimbangkan, adalah: suhu, kelembaban, kecepatan angin, kebisingan, dan kadar debu. Dalam budaya THK faktor lingkungan kerja merupakan unsur palemahan (keharmonisan hubungan manusia dan lingkungan kerja) harus tercipta sehingga keseimbangan dalam budaya THK dapat diwujudkan untuk menciptakan lingkungan kerja yang ENASE (efektif, nyaman, aman, sehat, efisien) b) Faktor internal yang perlu dipertimbangkan, adalah: usia, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, pengalaman kerja, dan status kesehatan pekerja. Dalam perspektif mikrokosmos di dalam diri manusia, THK terdiri dari: atman, prana, dan angga. Faktor internal (usia, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, pengalaman 63
kerja, dan status kesehatan) dalam diri pekerja merupakan bagian dari prana yang kedudukannya sama dengan pawongan. Kualitas fisik pekerja menentukan tingkat dan kualitas prana seseorang. Pengembangan prana menjadi bagian penting dari bekerja di penggilingan padi untuk menghasilkan manusia yang sehat dan produktif. c) Faktor eksternal yang perlu dipertimbangkan, adalah sistem pemberian bonus, kepemimpinan, dan hubungan kerja, baik antara pengusaha dengan pekerja ataupun antar sesama pekerja. Dalam budaya THK faktor eksternal merupakan perwujudan konsep tat twam asi dan menyama braya, wujud rasa empati dari pemilik usaha terhadap pekerja dan hubungan pekerja dengan pekerja lainnya. Berbagai faktor yang mempengaruhi sikap kerja di penggilingan padi jika dikaitkan dengan modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK perlu kajian holistik untuk menjaga produk yang dihasilkan bisa diterima secara manusiawi (Manuaba, 2005b). Karakteristik individu, sosial-budaya dalam hal ini budaya THK, agama, ekonomi dan lingkungan menjadi bahan pertimbangan dalam proses kerja di penggilingan padi. 3. Interdisipliner Pendekatan interdisipliner menekankan bahwa semua disiplin yang terkait ikut terlibat dalam pemecahan masalah sejak awal kegiatan. Bidang ilmu yang dibutuhkan dalam modifikasi kondisi kerja penggilingan padi antara lain: a) Ahli ergonomi, menganalisis hubungan manusia sebagai pekerja dengan pekerjaan penggilingan padi. b) Ahli teknik, menganalisis mengenai teknologi yang layak secara teknis dalam meredesain undakan, pemberian pengaman pada vent belt, dan redesain ventilasi sehingga dapat digunakan.
64
c) Ahli ekonomi, menganalisis pembiayaan dalam menunjang keberhasilan secara komersial. d) Ahli sosio-budaya, menganalisis masalah ergonomi melalui aspek budaya dalam hal ini budaya THK di penggilingan padi sehingga sangat membantu mempercepat penyelesaian masalah yang dibutuhkan pekerja penggilingan padi dan lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat. e) Ahli fisiologi mempelajari peranan dan fungsi organ-organ tubuh pekerja saat sedang bekerja. Para ahli membentuk suatu tim guna merumuskan modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK di penggilingan padi yang baru dengan pertimbangan berbagai segi, untuk meyakinkan bahwa modifikasi kondisi kerja penggilingan padi yang baru yang realistis. 4. Partisipatori Partisipatori diartikan sebagai keterlibatan semua pihak yang berkepentingan tidak hanya terlibat secara fisik saja tetapi juga pikiran dan perasaan. Pihak yang terkait dan perlu dilibatkan adalah pekerja, tukang kayu, dan pimpinan perusahaan. Dalam modifikasi kondisi kerja penggilingan padi keterlibatan pekerja diperlukan untuk diminta masukannya tentang kesesuaian redesain undakan, pengaman vent belt dan redesain ventilasi yang akan digunakan. Pekerja yang diberikan intervensi ergonomi di penggilingan padi di Desa Jinengdalem perlu menyumbangkan pemikiran dan pandangannya dalam proses modifikasi kondisi kerja, sehingga dapat membenahi berbagai kondisi beragam sesuai kepentingannya (Koningsveld dkk., 2005; Rosercrance dkk., 2005). Pekerja yang diakui lebih memahami kendala dan kebutuhan setiap pemakaian produk (Vink dkk., 2006; Kogi, 2006).
65
Pendekatan partisipatori dilakukan melalui diskusi bertahap dan dalam bentuk kelompok terbatas, baik dengan pemilik usaha maupun dengan pekerja penggilingan padi. Hasil diskusi dibahas dengan pemilik usaha, untuk menemukan wujud final intervensi yang memenuhi harapan pekerja. Pemilihan modifikasi kondisi kerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem mempertimbangkan asas manfaat, mudah dikerjakan, biaya produksi dan perawatan murah, mengacu pada aspek budaya THK, ramah lingkungan, menarik serta harga terjangkau. Modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK pada penggilingan padi di Desa Jinengdalem yang berdasarkan pendekatan SHIP meningkatkan kesehatan kerja melalui indikator penurunan: beban kerja, keluhan muskuloskeletal, ketegangan otot, kelelahan, peningkatan fungsi paru dan produktivitas pekerja melalui indikator: memperpendek waktu proses kerja dan meningkatkan produktivitas. Metode SHIP approach diharapkan berhasil mewujudkan produktivitas kerja yang manusiawi. 2.6.2 Penerapan teknologi tepat guna (TTG) Penerapan teknologi tepat guna (TTG) adalah suatu pendekatan dengan teknologi yang akan dirancang harus dikaji secara komprehensif melalui enam kriteria (Manuaba, 2004b; 2005a), dan ditambah satu kriteria (Sutjana, 2011) sebagai berikut. 1. Teknis Modifikasi kondisi kerja yang ergonomis berorientasi THK bertujuan untuk mempermudah dan mempercepat pekerjaan. Redesain undakan dan pemberian pengaman pada vent belt yang dibuat sesuai antropometri pekerja penggilingan padi (atapak ngandang untuk lebar dan dan duang gemel untuk tinggi setiap undak) ventilasi ruang mengacu pada konsep sanga mandala (nistaningnista/kelod kauh) menempatkan kegiatan yang dipandang bersifat kotor mengandung limbah pada arah kelod dan kauh. Menggunakan bahan lokal yaitu kayu pohon kelapa. 66
Dikerjakan oleh tukang yang berasal dari Desa Jinengdalem, menggunakan peralatan sederhana, mudah diperbaiki dan dirawat, aman dan kuat, meringankan pekerjaan dan memberikan kenyaman dalam bekerja. 2. Ekonomis Redesain undakan, ventilasi dan pemasangan pengaman pada vent belt pada penggilingan padi seoptimal mungkin memanfatkan bahan lokal berupa kayu pohon kelapa, dan tukang yang mengerjakan berasal dari desa setempat, tidak menimbulkan kesenjangan, dan terjangkau dari segi biaya. Pembuatannya mempertimbangkan jumlah bahan yang dipakai, ongkos pengerjaan yang relatif murah, aspek sosial budaya (sesuai antropometri pekerja penggilingan padi, dan konsep sanga mandala) bahan-bahan yang dipakai mudah didapat, dan umur pakai yang cukup panjang. 3. Ergonomis/kesehatan Modifikasi kondisi kerja penggilingan padi di Desa Jinengdalem bertujuan meningkatkan kesehatan kerja pekerja secara fisik dan mental untuk produktivitas yang lebih meningkat. Modifikasi kondisi kerja penggilingan padi harus memenuhi syarat-syarat kenyamanan saat digunakan, seperti tinggi, jangkauan, kapasitas dan kekuatan konstruksi. Sikap kerja yang fisiologis, sedikit memanfaatkan otot, sehingga pekerja bekerja dengan ENASE. Dalam budaya THK, sikap kerja yang fisiologis, sedikit memanfaatkan otot dapat menjaga keseimbangan dalam konsep tri pramana (bayu/tenaga, sabda/pikiran, idep/jiwa). Tenaga otot menjadi hal penting dalam beraktivitas/bergerak melakukan pekerjaan. Sehingga keseimbangan pada tri pramana, dapat dicapai yang berdampak pada meningkatnya kesehatan kerja pada pekerja penggilingan padi.
67
4. Sosio-budaya Modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK merupakan pemecahan masalah ergonomi di penggilingan padi melalui aspek sosio-budaya yang dapat dipertanggungjawabkan. Sosio-budaya merupakan salah satu aspek dalam pendekatan SHIP dan penerapan TTG. Aspek sosio budaya dalam penelitian ini adalah THK sebagai keraifan lokal yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Bali merupakan konsep keseimbangan dalam kehidupan melalui harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan manusia (pawongan) dan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan) dengan harapan modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat. Sehingga keseimbangan antara task, organisasi dan lingkungan dalam ergonomi dapat terwujud. Di samping itu redesain undakan dan pengaman pada vent belt pada penggilingan padi didesain fashionable/trendi sehingga menarik bagi pengguna dan tidak ketinggalan jaman (Sutjana, 2011). 5. Hemat energi Redesain undakan, pemberian pengaman pada vent belt, dan redesain ventilasi pada penggilingan padi. Bertujuan untuk menghindari penggunaan energi secara berlebihan dari pekerja dimana pada kondisi kerja lama, pekerja melakukan pekerjaan dengan sikap kerja yang tidak alamiah (posisi membungkuk, posisi lengan melebihi tinggi bahu) menyebabkan adanya gerakan otot yang tidak seharusnya terjadi serta pemborosan energi, sehingga menimbulkan risiko kelelehan dan cedera otot. Dengan Redesain undakan dan pemberian pengaman pada vent belt sesuai antropometri pekerja penggilingan padi, dan redesain ventilasi sesuai konsep sanga mandala, pekerja
dapat
menghemat
energi/bayu
sehingga
terjadi
keseimbangan dalam tri pramana (bayu, sabda, idep). Hal ini berdampak pada 68
penurunan beban kerja, keluhan muskuloskeletal, ketegangan otot, kelelahan, meningkatkan fungsi paru dan produktivitas. Disamping itu dengan redesain ventilasi, cahaya alami dapat masuk ke dalam ruang kerja sehingga tidak perlu menghidupkan lampu pada siang hari. 6. Tidak merusak lingkungan Redesain ventilasi pada ruang kerja penggilingan padi sesuai konsep sanga mandala menempatkan kegiatan yang dipandang bersifat kotor mengandung limbah debu dan bising dilakukan di nistaning-nista di daerah kelod-kauh untuk menanggulangi masalah debu dan bising pada lingkungan kerja sehingga tidak menimbulkan polusi bagi pekerja dan lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. Pada lokasi penelitian arah kelod kauh letaknya lebih rendah dari pada arah timur (kangin), sehingga angin berhembus dari arah kangin ke kelod kauh (dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah), hal ini sangat sesuai dengan konsep sanga mandala (nistaning nista), dimana debu dan bising dihembuskan ke arah kelod kauh sebagai tempat yang dipandang bersifat kotor. 7. Trendi Redesain undakan, pengaman pada vent belt, dan redesain ventilasi pada penggilingan padi didesain menarik bagi pengguna dan tidak ketinggalan jaman dengan tetap mengacu pada enam kriteria sebelumnya. Secara keseluruhan modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK di penggilingan padi dilakukan dengan menempatkan karakteristik pekerja sebagai pertimbangan utama, di antaranya adalah antropometri pekerja. Dalam penelitian ini untuk redesain undakan dan pengaman vent belt ukuran antropometri yang digunakan adalah antropometri pekerja penggilingan padi.
69
2.7 Ergo THK Merupakan suatu model yang memecahkan permasalahan ergonomi dari aspek budaya THK dengan penerapan ergonomi total melalui pendekatan SHIP dan penerapan TTG pada penggilingan padi di Desa Jinengdalem Buleleng dengan tujuan menciptakan kondisi kerja yang serasi dengan pekerja, task, organisasi dan lingkugan kerja. Dengan mengkaji permasalahan ergonomi dari aspek sosio budaya menyebabkan perbaikan yang dilakukan lebih mudah diterima dan dilaksanakan tanpa adanya resistensi dari penggunanya serta tidak menimbulkan benturan dengan masyarakat setempat. Aspek budaya dalam penelitian ini adalah THK sebagai keraifan lokal yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Bali. Modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK menerapkan pendekatan ergonomi total dengan penekanan aspek budaya THK yang menerapkan prinsip-prinsip ergonomi yang built in dalam modifikasi kondisi kerja di penggilingan padi di Desa Jinengdalem. Yang menjadi pertimbangan budaya THK adalah: hubungan manusia dengan Tuhan, sesama dan lingkungan, hal ini juga merupakan pertimbangan dalam ergonomi yang terdiri dari: task, organisasi dan lingkungan yang dijabarkan melalui 8 aspek ergonomi. Intervensi diawali dengan identifikasi masalah melalui pendekatan SHIP dan penerapan TTG dengan cara diskusi dengan pekerja dan pengusaha. Mulai dari identifikasi masalah hingga saran dan solusi dari permasalahannya. Berdasarkan prioritas dari masalah maka modifikasi kondisi kerja berbasis ergo THK meliputi (1) perbaikan sikap kerja, (2) pengaturan jam kerja, (3) pemberian istirahat aktif dan kudapan, (4) redesain undakan dan pemberian pengaman pada vent belt sesuai antropometri pekerja penggilingan padi, (5) meredesain lubang ventilasi sesuai konsep sanga mandala (nistaning-nista/kelod-kauh). Sehingga tercipta iklim 70
kerja pada penggilingan padi yang enase, ergonomis, dan peningkatan produktivitas tercapai. Parameter penilaian modifikasi kondisi kerja menggunakan kuesioner aplikasi ergo THK (Lampiran 5).
71
berbasis ergo THK