11
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Prestasi Kerja Setiap karyawan dalam organisasi diharapkan untuk berprestasi, karena prestasi kerja pada dasarnya merupakan perwujudan dari hasil karya seseorang. Prestasi kerja merupakan hasil kerja yang dapat diwujudkan oleh pegawai dari setiap pekerjaan yang dilakukan dan berfungsi sebagai alat penilai bagi pegawai yang bersangkutan di dalam organisasi. Prestasi kerja yang baik akan dapat memudahkan pencapaian tujuan organisasi, untuk itu prestasi kerja pegawai perlu diupayakan lebih ditingkatkan di dalam organisasi. Menurut Hasibuan (2002) prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya berdasarkan kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan. Mangkunegara (2005) menyatakan prestasi kerja merupakan hasil kerja baik kuantitas maupun kualitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Prestasi kerja karyawan dapat diukur dari adanya: 1) pemenuhan standar akurasi yang diharapkan, 2) penyelesaian tugas dan tanggung jawab dengan baik, 3) menunjukkan efektivitas administrasi, 4) analisis secara efektif, 5) berkomunikasi dengan pihak atau unit lain, 6) memiliki kompetensi, 7) kemampuan bekerjasama, 8) kreativitas, 9) pengambilan keputusan, 10) pendelegasian, 11) kepercayaan, 12) improvisasi, 13) inisiatif, 14)
12
inovasi, 15) keahlian interpersonal, 15) keputusan, 17) pengetahuan, 18) kepemimpinan, 19) pembelajaran, 20) manajemen, 21) motivasi, 22) negosiasi. Pengertian prestasi kerja menurut As’ad (2000), adalah sebagai hasil yang dicapai oleh seorang pegawai menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang dilaksanakan. Stoner dan Wankerl (1986), menyatakan prestasi kerja adalah kuantitas dan kualitas pekerjaan yang diselesaikan oleh individu, kelompok dan organisasi. Berdasarkan uraian pendapat tersebut, maka prestasi kerja karyawan adalah pencapaian tugas-tugas yang dibebankan kepada seorang karyawan, baik dari segi kualitas, kuantitas maupun waktu penyelesaian pekerjaan.
2.1.2 Dimensi Pengukuran Prestasi Kerja Penilaian prestasi karyawan yang dikemukakan Mengginson dalam Mangkunegara (2009) adalah suatu proses yang digunakan pimpinan untuk menentukan apakah seorang karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya”. Penilaian prestasi kerja di dalam organisasi dilakukan untk mendapatkan informasi tentang prestasi kerja pegawai dalam suatu organisasi. Penilaian prestasi kerja tersebut dimaksudkan untuk mengukur efektivitas pemanfaatan sumber daya yang dimiliki oleh organisasi. Anthony dan Govindarajan (2007), menyatakan bahwa prestasi kerja merupakan gambaran atas hasil kerja yang dicapai karyawan dimana hasil kerja karyawan tersebut merupakan manifestasi dari pengarahan sumber daya manusia dalam organisasi yang diarahkan dalam penerapan strategi perusahaan dan tujuan
13
perusahaan yang ingin dicapai. Beberapa indikasi yang dapat dipakai untuk melihat sejauh mana prestasi kerja dapat dicapai di dalam organisasi usaha adalah: 1) ukuran keberhasilan dalam pencapaian hasil baik secara finansial maupun non finansial 2) penilaian terhadap aspek-aspek internal maupun eksternal perusahaan 3) penilaian dan pengukuran terhadap proses yang mendorong terjadinya peningkatan hasil pekerjaan 4) hubungan hasil pekerjaan dengan kualitas dan kepuasan pelanggan. Markins dan Steele (2005), menyatakan bahwa prestasi kerja menyangkut tentang berbagai faktor yang terkait langsung dengan pekerjaan sebagai berikut: 1) sumber dan peralatan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pekerjaan 2) komunikasi yang intens dalam setiap pelaksanaan pekerjaan 3) kejelasan tentang berbagai tindakan yang terkait dengan kebutuhan suatu pekerjaan 4) kejelasan tentang tugas dan tanggung jawab di dalam pelaksanaan pekerjaan 5) monitoring terhadap pelaksanaan pekerjaan 6) komitmen pemimpin di dalam mengarahkan suatu pekerjaan kepada tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan 7) kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh karyawan. Menurut Siagian (2007) terciptanya suatu sistem penilaian prestasi kerja yang baik sangat tergantung pada persiapan yang benar-benar matang. Matang berarti memenuhi empat persyaratan, yaitu keterkaitan langsung dengan pekerjaan (bahwa penilaian ditujukan para perilaku dan sikap yang menentukan
14
keberhasilan menyelesaikan sesuati pekerjaan tertentu), praktis (cara penilaian yang dipahami dan diterima oleh pihak penilai dan yang dinilai), standar yang jelas (teridentifikasinya unsur-unsur kritikal suatu pekerjaan), dan adanya kriteria yang obyektif.
2.1.3 Faktor-Faktor Penentu Prestasi Kerja Menurut Mangkunegara (2005) faktor-faktor penentu prestasi kerja individu dalam organisasi adalah: a) faktor individu. Secara psikologis, individu yang normal adalah individu yang memiliki integritas tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah). Dengan adanya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik, maka individu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang baik ini merupakan modal utama individu manusia untuk mampu mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi. b) faktor lingkungan organisasi Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai prestasi kerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain, uraian jabatan yang jelas, autoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja efektif, hubungan kerja harmonis, iklim kerja respek dan dinamis, peluang berkarier, dan fasilitas kerja yang relatif memadai. Jika faktor lingkungan organisasi kurang menunjang, maka bagi
15
individu yang memiliki tingkat kecerdasan pikiran yang memadai dengan tingkat kecerdasan emosi baik, sebenarnya ia tetap dapat berprestasi dalam bekerja. Bagi individu tersebut, lingkungan organisasi itu dapat diubah dan bahkan dapat diciptakan oleh dirinya sendiri serta merupakan tantangan bagi dirinya dalam berprestasi di organisasi. Lower dan Porter (Indrawijaya, 1989), menyebutkan bahwa prestasi kerja merupakan perpaduan antara motivasi dan kemampuan dalam menyelesaikan pekerjaannya atau prestasi seseorang bergantung pada keinginan untuk berprestasi dan kemampuan untuk bersangkutan untuk melakukannya. Apabila prestasi kerja yang dicapai karyawan kurang mendapat perhatian, akan dapat berakibat pada halhal yang tidak diinginkan, seperti hasil kerja yang tidak maksimal.
2.1.4 Pengertian Motivasi Istilah motivasi (motivation) berasal dari bahasa latin yakni, movere, yang berarti “menggerakkan” (to move). Ada macam-macam rumusan untuk sitilah motivasi,
seperti:
“motivasi
mewakili
proses-proses
psikologikal,
yang
menyebabkan timbulnya, diarahkannya dan terjadinya persistensi kegiatankegiatan sukarela (voulunter) yang diarahkan ke arah tujuan tertentu” (Mitchell, dalam Winardi, 2007). Sedangkan menurut Robbins dan Coulter dalam Winardi (2007), motivasi karyawan adalah kesediaan untuk melaksanakan upaya tinggi untuk
mencapai
tujuan-tujuan
keorganisasian,
yang
dikondisikan
oleh
kemampuan upaya, untuk memenuhi kebutuhan individual tertentu. Robbins (2008) mendefinisikan motivasi sebagai proses yang ikut menentukan intensitas,
16
arah, dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran. Hasibuan (2010) mendefinisikan motivasi adalah pemberi daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasan. Berdasarkan uraian-uraian tersebut maka dapat dikatakan bahwa motivasi itu adalah kesediaan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan upaya tinggi dalam usahanya mencapai suatu tujuan untuk memenuhi kebutuhannya. Karyawan lebih cenderung termotivasi pada saat mereka yakin bahwa prestasi kerja mereka akan diakui dan diberi penghargaan yang setimpal. Motivasi perilaku secara langsung dipengaruhi oleh kemampuan dan pengetahuan (ketrampilan) individu, motivasi, dan suatu kombinasi dari faktor yang memungkinkan dan membatasi konteks pekerjaan. Sebagai contoh, akan sulit untuk bertahan pada suatu proyek jika bekerja dengan bahan baku yang cacat atau perlengkapan yang rusak. Sebaliknya, perilaku yang termotivasi cenderung meningkat pada saat karyawan diberikan bahan-bahan dan perlengkapan yang mencukupi untuk menyelesaikan pekerjaan dan memberikan bimbingan yang efektif. Pemberian bimbingan ini mungkin berlanjut pada penyempurnaan model peran karyawan yang berhasil, memberi petunjuk kepada para karyawan bagaimana cara menyelesaikan tugas yang rumit, dan membantu mereka mempertahankan self-efficiancy yang tinggi dan self-esteem yang tinggi. Selanjutnya prestasi, dipengaruhi oleh motivasi perilaku dimotivasi.
17
2.1.5 Proses Timbulnya Motivasi Adapun proses timbulnya motivasi seseorang adalah sebagai berikut (Ardana dkk, 2012): 1) kebutuhan yang belum terpenuhi 2) mencari dan memilih cara-cara untuk memuaskan kebutuhan (disini akan terlibat kemampuan, ketrampilan, pengalaman) 3) perilaku yang diarahkan pada tujuan 4) penilaian prestasi 5) imbalan atau hukuman 6) kepuasan 7) menilai kembali kebutuhan yang belum terpenuhi
2.1.6 Jenis-jenis Motivasi Hasibuan (2010) mengemukakan jenis-jenis motivasi yaitu: 1) motivasi positif (insentif positif), manajer memotivasi bawahan dengan memberikan hadiah kepada mereka yang berprestasi baik. 2) motivasi negatif (insentif negatif), manajer memotivasi bawahannya dengan memberikan hukuman kepada mereka yang pekerjaannya kurang baik (prestasi rendah). Alasan lain mengapa manusia bekerja yaitu untuk mendapatkan imbalanimbalan, yang dirumuskan secara luas, maka imbalan-imbalan tersebut dapat
18
diuraikan menjadi dua macam kelas yang bersifat sangat umum (Gray, dkk dalam Winardi, 2007), yaitu: 1) imbalan ekstrinsik (misalnya: upah/ gaji, promosi-promosi, pujian dan sebagainya) tidak tergantung pada tugas yang dilaksanakan dan mereka dikendalikan oleh pihak lain. 2) imbalan intrinsik (misalnya suatu perasaan keberhasilan dalam melaksanakan tugas tertentu yang sangat menarik dan menantang) merupakan bagian integral dari tugas yang dihadapi dan mereka ditentukan oleh individu yang melaksanakan tugas tersebut. Jadi, dapat dikatakan bahwa motivasi ekstrinsik timbul karena antisipasi akan dicapainya imbalan-imbalan ekstrinsik, sedangkan motivasi intrinsik timbul karena imbalan-imbalan intrinsik potensial. Seseorang yang secara intrinsik termotivasi untuk melakukan pekerjaan sukarela, mungkin akan mengalami peristiwa di mana ia mendapatkan imbalan untuk pekerjaan tersebut, maka hal tersebut akan mengurangi motivasi intrinsiknya. Andaikata imbalan yang diberikan merupakan bagian integral dari tugas yang dihadapi, maka imbalan-imbalan ekstrinsik tidak akan mengurangi motivasi intrinsik. Akan tetapi, apabila imbalan tersebut tidak dianggap suatu bagian integral dari tugas, maka imbalan-imbalan ekstrinsik dapat mengurangi motivasi intrinsik.
19
2.1.7 Teori Motivasi Asumsi-asumsi dasar teori Motivasi adalah sebagai berikut (Robbins, 2008). 1) Teori X dan Y McGregor mengemukakan dua pandangan yang berbeda mengenai manusia. Pada dasarnya yang satu negatif, yang ditandai sebagai Teori X, dan yang lain positif, yang ditandai dengan Teori Y (Robbins, 2008). Menurut teori X, empat asumsi yang dipegang para manager adalah sebagai berikut: (1) karyawan secara inheren tidak menyukai kerja dan, bila memungkinkan, akan mencoba menghindarinya, (2) karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai sasaran, (3) karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencapai pengarahan formal bila mungkin, (4) kebanyakan karyawan menempatkan keamanan diatas semua faktor lain yang terkait dengan kerja dan akan mengunjukkan ambisi yang rendah. Kontras dengan pandangan negatif mengenai kodrat manusia ini, McGregor mencatat empat asumsi positif, yang disebutnya teori Y adalah: (1) karyawan dapat memandang kerja sebagai kegiatan alami yang sama dengan istirahat atau bermain, (2) orang-orang akan melakukan pengarahan diri dan pengawasan diri jika mereka memiliki komitmen pada sasaran, (3) rata-rata orang dapat belajar untuk menerima, bahkan mengusahakan, tanggung jawab, (4) kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif menyebar luas ke semua orang dan tidak hanya milik mereka yang berada pada posisi manajemen.
20
2) Teori Kebutuhan McClelland Teori kebutuhan dikemukakan oleh McClelland dan para koleganya. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan yang dijabarkan sebagai berikut: (1) kebutuhan akan prestasi (Need for Achievement), yaitu dorongan untuk unggul, untuk berprestasi berdasar seperangkat standar, untuk berusaha keras supaya sukses, (2) kebutuhan akan kekuasaan (Need for Power), yaitu kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan berperilaku sebaliknya, (3) kebutuhan akan kelompok pertemanan (Need for Affiliation), yaitu hasrat untuk hubungan antarpribadi yang ramah dan akrab (Robbins, 2008). 3) Teori pengharapan Pada dasarnya, teori harapan dari Vroom menunjukkan bahwa kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dalam cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti dengan hasil yang ada dan pada daya tarik dari hasil itu terhadap individu tersebut (Robbins, 2008). Dalam bentuk yang lebih praktis, teori harapan mengatakan bahwa karyawan-karyawan akan termotivasi untuk mengeluarkan tingkat usaha yang tinggi ketika mereka yakin bahwa usaha tersebut akan meghasilkan penilaian kinerja yang baik, penilaian yang baik akan menghasilkan penghargaaan-penghargaan organisasional seperti bonus, kenaikan imbalan kerja atau promosi, dan penghargaan-penghargaan tersebut akan memuaskan tujuan-tujuan pribadi para karyawan. Teori harapan
21
berfokus
pada
tiga
hubungan
yaitu:
(1)
hubungan
usaha-kinerja
(kemungkinan yang dirasakan oleh individu yang mengeluarkan sejumlah usaha akan menghasilkan kinerja), (2) hubungan kinerja-penghargaan (tingkat sampai mana individu tersebut yakin bahwa bekerja pada tingkat tertentu akan menghasilkan pencapaian yang diinginkan), (3) hubungan penghargaantujuan-tujuan pribadi (tingkat sampai mana penghargaan-penghargaan organisasional memuaskan tujuan-tujuan pribadi atau kebutuhan-kebutuhan seorang individu dan daya tarik dari penghargaan-penghargaan potensial bagi individu tersebut). Teori harapan membantu menjelaskan mengapa banyak pekerja tidak termotivasi dalam pekerjaan-pekerjaan mereka dan hanya melakukan usaha minimum untuk mencapai sesuatu.
2.1.8 Sikap Sikap adalah pernyataan-pernyataan evaluatif-baik yang diinginkan atau yang tidak diinginkan-mengenai obyek, orang atau peristiwa (Robbins, 2008). Sikap tersusun dari tiga komponen yaitu kognitif, afektif, dan perilaku. Dalam organisasi, sikap bersifat penting karena mereka mempengaruhi perlaku. Jika para pekerja percaya, misalnya, bahwa penyelia, auditor, bos, dan perekayasa waktu dan gerak semuanya bersekongkol untuk membuat karyawan bekerja lebih keras dengan bayaran uang yang sama atau lebih sedikit, maka masuk akal untuk mencoba memahami bagaimana sikap-sikap ini dibentuk, hubungan sikap tersebut dengan perilaku jabatan aktual, dan bagaimana sikap tersebut mungkin diubah.
22
2.1.9 Tipe-tipe Sikap Sikap yang berkaitan dengan pekerjaan membuka penilaian positif atau negatif yang dipegang para karyawan mengenai aspek-aspek lingkungan kerja mereka. Berikut adalah tipe-tipe sikap (Robbins, 2008). 1) Kepuasan kerja. Istilah kepuasan kerja merujuk ke sikap umum individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap kerja itu; seseorang yang tidak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap yang negatif terhadap pekerjaan itu. 2) Keterlibatan. Keterlibatan kerja mengukur derajat sejauh mana seseorang secara psikologis mengaitkan dirinya ke pekerjaannya dan menganggap tingkat kinerjanya sebagai hal penting bagi harga diri. Karyawan dengan tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dengan kuat mengaitkan dirinya ke jenis kerja yang dilakukan dan benar-benar perduli dengan jenis kerja itu. Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi terbukti berkaitan dengan rendahnya tingkat keabsenan dan pengunduran diri. 3) Komitmen pada organisasi. Sikap tersebut didefinisikan sebagai keadaan di mana karyawan mengaitkan dirinya ke organisasi tertentu dan sasaransasarannya, serta berharap mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi itu. Sehingga, keterlibatan kerja yang tinggi berarti mengaitkan diri ke pekerjaan khusus seseorang; sedangkan komitmen pada organisasi yang tinggi berarti mengaitkan diri ke organisasi yang mempekerjakannya.
23
2.1.10 Lembur Karyawan dan perusahaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Apabila karyawan memiliki produktivitas dan motivasi kerja yang tinggi, maka laju bisnis perusahaan akan berjalan baik, yang akhirnya akan menghasilkan kinerja dan pecapaian yang baik pula bagi perusahaan. Di sisi lain, bagaimana mungkin perusahaan berjalan baik, kalau karyawannya bekerja tidak produktif, artinya karyawan tidak memiliki semangat kerja yang tinggi. Salah satu hal yang dapat meningkatkan produktivitas karyawan adalah apabila karyawan merasa ada keadilan antara waktu yang digunakan untuk bekerja dengan gaji yang mereka terima. Misalnya, jika satu karyawan menerima gaji yang diterima dengan perhitungan delapan jam kerja per hari tentunya perusahaan harus membayar lebih kepada karyawan yang bekerja lebih dari delapan jam per hari pada posisi atau jabatan yang sama. Karena itulah perlu adanya peraturan lembut di suatu perusahaan. Berikut kutipan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kep. 102/MEN/IV/2004, disebutkan bahwa waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) harikerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan. Pada Pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
24
2.1.11 Alasan-alasan Karyawan Bersedia Lembur Berdasarkan penelitian Hollmann (1979), alasan-alasan karyawan bersedia untuk bekerja lembur adalah 1) diperlukan supaya pekerjaan selesai dikerjakan, 2) untuk mendapatkan uang tambahan, 3) karena pekerjaannya menarik dan memuaskan, 4) untuk mencapai jadwal yang sudah ditargetkan, 5) agar operasional berjalan lancar, 6) hal mendesak atau krisis, dan lain-lain misalnya, untuk mendapatkan pengalaman, untuk promosi dan untuk pengakuan. Sebaliknya, alasan-alasan yang ditemukan bahwa karyawan tidak bersedia untuk bekerja lembur adalah: 1) waktu bersama keluarga berkurang, 2) waktu untuk mengerjakan aktivitas sosial lainnya berkurang, 3) tidak sungguh-sungguh diperlukan bekerja lembur dengan pemberitahuan mendadak, 4) waktu yang dipergunakan untuk lembur lebih berharga daripada uang tambahan yang didapatkan, 5) upah lembur tidak mencukupi, dan lain-lain misalnya pajak yang tinggi, tidak adanya penghargaan atau pengakuan dari bekerja lembur, pekerjaan sampingan lainnya lebih banyak menghasilkan uang. Penting untuk diingat bahwa faktor yang relevan pada bersedianya karyawan untuk lembur bukan merupakan faktor pribadi, tetap lebih kepada faktor yang berhubungan dengan pekerjaan/organisasi dan lembur itu sendiri. Persepsi karyawan dari keadilan reward lembur juga merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan. Karyawan lebih bersedia untuk lembur jika mereka merasa reward yang diterima adil.
25
2.1.12 Pengertian Indikator Kinerja Pengertian indikator menurut Green dalam Subekti (2008) adalah variabel yang mengindikasikan atau menunjukkan satu kecenderungan situasi, yang dapat dipergunakan untuk mengukur perubahan. Ada dua kata kunci penting dalam pengertian tersebut diatas adalah pengukuran dan perubahan. Untuk mengukur tingkat hasil suatu kegiatan digunakan "indikator" sebagai alat atau petunjuk untuk
mengukur
prestasi
suatu
pelaksanaan
kegiatan.
Indikator
tidak
dipergunakan secara langsung untuk mengukur kualitas pelayanan, tetapi dapat dianalogikan sebagai "bendera" yang menunjuk adanya suatu masalah spesifik dan memerlukan monitoring dan penilaian. Monitoring dilakukan terhadap indikator kunci guna dapat mengetahui penyimpangan atau prestasi yang dicapai. Kinerja (performance) pencatatan hasil-hasil yang diperoleh dari fungsifungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu (Winardi, 2007). Kinerja karyawan pada umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut: kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil, kehadiran, kemampuan kerja sama. Kriteria pekerjaan (job criteria) atau dimensi yang lebih spesifik dari kinerja pekerjaan akan mengidentifikasi elemen yang paling penting dalam pekerjaan tersebut. Indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan (Sedarmayanti, 2009). Indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau
26
melihat tingkat kinerja, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun setelah kegiatan selesai dan berfungsi. Indikator kinerja digunakan untuk meyakinkan bahwa kinerja hari demi hari organisasi/unit kerja yang bersangkutan menunjukkan kemampuan dalam rangka dan/atau menuju tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
2.1.13 Menetapkan Kriteria (Standar) Kinerja Penilaian kinerja pada prinsipnya mencakup baik aspek kualitatif maupun kuantitatif dari pelaksanaan pekerjaan adalah proses dimana organisasi mengpenilaian pelaksanaan kinerja individu. Penerapan standar diperlukan untuk mengetahui apakah kinerja telah sesuai dengan sasaran yang diharapkan, sekaligus melihat besarnya penyimpangan dengan cara membandingkan antara hasil pekerjaan secara aktual dengan hasil yang diharapkan atau standar tertentu. Syarat-syarat indikator kinerja yang dikemukakan Sedarmayanti (2009) adalah: 1) spesifik dan jelas, sehingga dapat dipahami dan tidak ada kemungkinan kesalahan interpretasi. 2) dapat diukur secara obyektif, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, yaitu: dua atau lebih yang mengukur indikator kinerja mempunyai kesimpulan yang sama. 3) relevan, harus melalui aspek obyektif yang relevan
27
4) dapat dicapai, penting, dan harus berguna untuk menunjukkan keberhasilan input, output, hasil, manfaat, dan dampak serta proses. 5) harus fleksibel dan sensitif terhadap perubahan/penyesuaian, pelaksanaan dan hasil pelaksanaan kegiatan. 6) efektif, data/informasi yang berkaitan dengan indikator kinerja yang bersangkutan dapat dikumpulkan, diolah dan dianalisis dengan biaya yang tersedia. Gomes (2003) menyebutkan bahwa terdapat kurang lebih dua syarat utama yang diperlukan guna melakukan penilaian kinerja yang efektif yaitu: (1) adanya kriteria kinerja yang dapat diukur secara obyektif, dan (2) adanya obyektivitas dalam proses penilaian. Kriteria kinerja yang diukur secara obyektif untuk pengembangan diperlukan kualifikasi-kualifikasi tertentu. Ada tiga kualifikasi penting bagi pengembangan kriteria kinerja yang dapat diukur secara obyektif ini, yang meliputi: (a) relevancy. Relevansi menunjukkan tingkat kesesuaian antar kriteria dengan tujuan-tujuan kinerja. (b) reliability. Reliabilitas menunjukkan tingkat mana kriteria menghasilkan hasil yang konsisten. (c) discrimination. Diskriminasi mengukur tingkat dimana suatu kriteria kinerja bisa memperlihatkan perbedaan-perbedaan dalam kinerja. Menurut Simamora (2006) instrumen penilaian haruslah memfasilitasi pengukuran kinerja yang andal (reliable) dan sahih (valid). Dalam konteks ini,
28
keandalan merupakan konsistensi penilaian. Keandalan mempengaruhi validitas (validity) dalam pengertian bahwa ukuran kinerja yang sangat tidak andal tidak akan menjadi sahih. Validitas adalah sejauh mana sebuah ukuran kinerja menilai semua aspek yang relevan-dan hanya yang relevan-dari kinerja. Bernardin dan Russel dalam Kosasih dan Budiani (2007) mengungkapkan enam kriteria untuk menilai kinerja karyawan yaitu: 1) quality. Tingkatan dimana proses atau penyesuaian pada cara yang ideal di dalam melakukan aktifitas atau memenuhi aktifitas yang sesuai harapan. 2) quantity. Jumlah yang dihasilkan, diwujudkan melalui nilai mata uang, jumlah unit, atau jumlah dari siklus aktifitas yang telah diselesaikan. 3) timeless. Tingkatan di mana aktifitas telah diselesaikan dengan waktu yang lebih cepat dari yang ditentukan dan memaksimalkan waktu yang ada untuk aktifitas lain. 4) cost effectiveness. Tingkatan dimana pengunaan sumber daya perusahaan berupa manusia, keuangan, dan teknologi dimaksimalkan untuk mendapatkan hasil yang tertinggi atau pengurangan kerugian dari tiap unit. 5) need for supervision. Tingkatan dimana seorang karyawan dapat melakukan pekerjaannya tanpa perlu meminta pertolongan atau bimbingan dari atasannya. 6) interpersonal impact. Tingkatan di mana seorang karyawan merasa percaya diri, punya keinginan yang baik, dan bekerja sama di antara rekan kerja.
29
2.1.14 Pengertian Penilaian Kinerja Kinerja merupakan wujud kerja yang dilakukan oleh karyawan yang biasanya dipakai sebagai dasar penilaian terhadap karyawan atau organisasi. Kinerja yang baik merupakan suatu syarat untuk tercapainya tujuan organisasi, oleh karena itu perlu diupayakan agar kinerja karyawan dapat ditingkatkan. Penilaian kinerja, menurut Mondy (2005), adalah sistem formal untuk menilai dan mengevaluasi kinerja tugas individu atau tim. Manajemen kinerja terdiri dari semua proses organisatoris yang menentukan seberapa baik kerja pegawai, tim, dan akhirnya, organisasi. Sedangkan menurut Mathis dan Jackson, (2009), penilaian kinerja adalah proses mengevaluasi seberapa baik karyawan melakukan pekerjaan mereka jika dibandingkan dengan seperangkat standar, dan kemudian mengkomunikasikan informasi tersebut kepada karyawan. Jenis informasi kinerja (Mathis dan Jackson, 2009): 1) informasi berdasar-sifat, mengidentifikasi sifat karakter subjektif dari karyawan-seperti sikap, inisiatif, atau kreativitas-dan mungkin hanya mempunyai sedikit kaitan dengan pekerjaan tertentu. 2) informasi berdasar-perilaku, berfokus pada perilaku tertentu yang mendukung keberhasilan kerja. Meskipun lebih sulit untuk diidentifikasi, informasi perilaku secara jelas menentukan perilaku yang diinginkan manajemen. 3) informasi berdasar-hasil, memperhitungkan pencapaian karyawan. Untuk pekerjaan-pekerjaan dimana pengukuran mudah dilakukan dan jelas, pendekatan berdasar –hasil dapat diterapkan.
30
2.1.15 Tujuan Penilaian Kinerja Mondy (2008) menyebutkan tujuan penilaian kinerja sebagai berikut: 1) perencanaan sumber daya manusia. Sistem penilaian yang dirancang dengan baik akan memberikan sebuah profil kekuatan dan kelemahan sumber daya manusia perusahaan untuk mendukung upaya tersebut. 2) perekrutan dan seleksi. Nilai-nilai harsil penilaian kinerja bisa membantuk dalam memprediksi kinerja para pelamar kerja. 3) pelatihan
dan
pengembangan.
Dengan
mengidentifikasi
kekurangan-
kekurangan yang secara negatif mempengaruhi kinerja, program pelatihan dan pengembangan dapat dikembangkan sehingga memungkinkan orangorang untuk membangun kekuatan dan meminimalkan kekurangan mereka. 4) perencanaan dan pengembangan karir. Dalam sudut pandang individual atau organisasional, data penilaian kinerja penting dalam menilai kekuatankekuatan dan kelemahan-kelemahan karyawan serta dalam menentukan potensi seseorang. Para manajer bisa menggunakan informasi tersebut untuk memberikan konsultasi kepada para bawahan dan membantu mereka dalam mengembangkan dan mengimplementasikan rencana karir mereka. 5) program kompensasi. Memberi imbalan terhadap perilaku-perilaku yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi adalah jantung dari perencanaan stratejik perusahaan. Untuk mendorong kinerja yang baik, perusahaan harus merancang dan mengimplementasikan sistem penilaian kinerja yang handal dan kemudian memberi imbalan yang layak bagi para karyawan dan tim yang paling produktif.
31
6) hubungan kekaryawanan internal. Data penilaian kinerja juga sering digunakan untuk membuat keputusan-keputusan di beberapa bidang hubungan
kekaryawanan
internal,
mencakup
promosi,
demosi,
pemberhentian, pemutusan hubungan kerja, dan transfer. 7) penilaian potensi pegawai. Sejumlah perusahaan mencoba menilai potensi karyawannya sembari menilai kinerja karyawannya. Meskipun perilaku masa lalu mungkin merupakan prediksi yang terbaik atas perilaku masa yang akan datang, kinerja karyawan masa lalu dalam suatu pekerjaan tidak dapat dipakai sebagai indikator yang akurat mengenai kinerja masa masa yang akan datang pada level yang tinggi atau posisi yang berbeda.
2.1.16 Tanggung-jawab Penilaian Orang-orang ini biasanya melaksanakan penilaian, dan mereka harus berpartisi langsung di dalamnya agar program tersebut berhasil. Beberapa orang berikut ini mungkind alam kenyataannya akan menilai karyawan (Mondy, 2008). 1) Atasan langsung. Atasan biasanya berada pada posisi yang sangat baik untuk mengamati kinerja pekerjaan karyawan dan memiliki tanggung jawab untuk mengelola unit tertentu. 2) Bawahan Beberapa perusahaan telah menyimpulkan bahwa penilaian para manajer oleh para bawahan layak dan diperlukan. Mereka beralasan bahwa para bawahan
32
ada pada posisi yang sangat bagus untuk melihat efektivitas manajerial atasan mereka. 3) Rekan kerja dan anggota tim Kekuatan utama menggunakan para rekan kerja untuk menilai kinerja adalah bahwa mereka bekerja ecara dekat dengan karyawan yang dievaluasi dan mungkin memiliki perspektif yang tidak terdistorsi mengenai kinerja tertentu, terutama dalam penugasan-penugasan tim. 4) Penilaian diri sendiri Jika karyawan memahami tujuan-tujuan mereka dan kriteria-kriteria yang digunakan untuk penilaian, mereka ada pada posisi yang baik untuk menilai kinerja mereka sendiri. Banyak orang mengenal dengan baik apa yang mereka kerjakan dalam pekerjaan dan apa yang perlu mereka perbaiki. Jika mereka memiliki peluan, mereka akan mengkritisi kinerja mereka secara obyektif dan mengambil tindakan untuk memperbaikinya. 5) Penilaian pelanggan Organisasi menggunakan pendekatan ini karena pendekatan ini menunjukkan komitmen kepada pelanggan, memaksa para karyawan untuk bertanggung jawab, dan mendorong perubahan.
2.1.17 Metode Penilaian Kinerja Jenis sistem penilaian kinerja yang digunakan bergantung pada tujuannya, berikut sejumlah metode penilaian kinerja (Mondy, 2008). 1) Metode penilaian umpan balik 360 derajat
33
Menurut beberapa manajer, metode umpan balik 360 derajat hanya tepat digunakan untuk tujuan perkembangan. Dasar pemikirannya berasal dari keprihatinan bahwa ketika para penilai percaya bahwa mereka bisa menyakiti orang lain dengan apa yang mereka katakan dalam penilaian, mereka tidak akan jujur, bahwa dengan mengatakan hal-hal yang baik tentang orang lain akan menghasilkan rating yang baik untuk semua. 2) Skala penilaian Metode skala penilaian digunakan di banyak pendekatan penilaian yang menilai karyawan menurut faktor-faktor yang telah ditentukan. Dengan menggunakan pendekatan ini, para penilai mencatat penilaian mereka mengenai kinerja menggunakan sebuah skala. Skalanya meliputi beberapa kategori, biasanya dari angka lima sampai tujuh, ditentukan menggunakan kata sifat seperti, luar biasa, memenuhi harapan, atau memerlukan peningkatan. Faktor-faktor yang dipilih untuk penilaian biasanya ada dua jenis: berhubungan dengan pekerjaan dan karakter pribadi. Penilai mengisi formulir dengan menyebutkan tingkat masing-masing faktor yang paling deskriptif dari karyawan dan kinerjanya. 3) Critical Incidents (Kejadian Kritis) Metode critical incidents adalah teknik penilaian kinerja yang membutuhkan catatan tertulis tentang perilaku kerja yang terbaik dan terburuk dari seorang karyawan. Di akhir periode penilaian, penilai menggunakan catatan-catatan ini berikut data lainnya untuk mengevaluasi kinerja karyawan.
34
4) Essai Metode essai merupakan metode penilaian kinerja dimana penilai menuliskan sebuah cerita bernarasi singkat yang menggambarkan kinerja karyawan. Metode ini cenderung lebih fokus pada perilaku ekstrim kerja karyawan daripada kinerja rutin sehari-hari. Rating jenis ini sangat bergantung pada kemampuan menulis penilai. 5) Standar Kerja Metode standar kerja membandingkan kinerja tiap-tiap karyawan dengan standar yang telah ditentukan sebelumnya atau tingkat output yang diharapkan. Keuntungan yang jelas dari penggunaan standar sebagai kriteria penilaian adalah obyektivitas. 6) Ranking Dalam metode ranking, penilai hanya mengelompokkan karyawan dalam urutan ranking dari kinerja seluruhnya. Karyawan yang mendapatkan jumlah terbesar dari perbandingan yang diinginkan menerima ranking tertinggi. Beberapa profesional di bidang ini percaya bahwa karyawan dipromosikan atau menerima kenaikan gaji yang tertinggi bukan karena mereka mencapai tujuan mereka, namun malahan karena mereka mencapainya lebih baik dari yang lainnya di dalam kelompok kerja mereka. 7) Forced distribution Metode forced distribution membutuhkan penilai untuk mentugaskan individu ke dalam kelompok kerja sampai ke sejumlah kategori yang mirip dengan frekuensi normal distribusi. Para pendukung forced distribution ini
35
percaya bahwa metode ini membantu budgeting dan menjaga dari para manajer yang lemah yang terlalu takut memberhentikan karyawan dengan kinerja yang kurang. 8) Behaviorally Anchored Rating Scales (BARS) Metode BARS ini mengkombinasikan elemen skala peringkat tradisional dan metode insiden kritis. Pada metode ini, berbagai tingkatan kinerja ditunjukkan dengan sebuah skala dimana masing-masingnya digambarkan dalam perihal perilaku kerja tertentu seorang karyawan. BARS berbeda dengan skala peringkat karena BARS tidak menggunakan sifat pada tiap-tiap titik skala, namun menggunakan kaitan perilaku dengan kriteria yang sedang diukur. 9) Result-Based Systems (Sistem berdasarkan hasil) Merupakan sebuah metode penilaian kinerja dimana manajer dan bawahannya sama-sama sepakat pada tujuan periode penilaian berikutnya. Di akhir periode penilaian, sebuah penilaian fokus pada seberapa baik karyawan mencapai tujuan ini. 10) Assessment centres (Pusat-pusat penilaian) Kegunaan utama dari assessment centres ini adalah untuk mengidentifikasi dan memilih karyawan untuk posisi yang lebih tinggi. Pusat-pusat penilaian membuat para kandidat bisa menunjukkan dimensi kinerja sehubungan dengan pekerjaannya dalam pelaksanaan yang mengulangi situasi-situasi penting yang terjadi dalam pekerjaan.