BAB II KAJIAN PUSTAKA A. PESANTREN SEBAGAI PRANATA SOSIAL 1. Pengertian Pesantren Pesantren di Indonesia telah ada sejak dulu pada permulaan tersebarnya agama Islam. Pesantren selain merupakan tempat atau pusat penyebaran agama Islam, juga merupakan lembaga pendidikan yang akan mencetak atau menghasilkan seorang alim ulama atau seorang muslim pengabdi Allah. Pendapat seperti diatas diungkapkan pula oleh Ahmad, dkk (1983: 5) sebagai berikut: a. Kehadiran pondok pesantren ditengah-tengah masyarakat Indonesia sudah ada sejak tersebarnya agama Islam di Indonesia. b. Cita-cita mendirikan pondok pesantren terlepas dari pada cita-cita penyebaran agama Islam di Indonesia dan merupakan bagian dari kewajiban insan mukmin yang tafaquh fiddin untuk menyebarluaskan ilmu agama dan berjuang untuk membangun masyarakat. c. Pondok pesantren dengan demikian adalah tempat untuk melahirkan insan-insan pengabdi Allah. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pesantren sebagai lembaga non formal telah ada ketika agama Islam tersebar di nusantara Indonesia melalui para wali songo. Kehadiran pesantren merupakan langkah yang baik untuk mencetak seorang ‘ulamul ‘amilun yang dapat hidup dengan menyumbangkan kemampuan dan ilmu pengetahuannya pada masyarakat dimana dia berada. Istilah pesantren berasal dari kata “santri” dengan mendapat imbuhan pedan akhiran –an menjadi “pesantrian” berubah menjadi “pesantren” yang berarti “tempat belajar santri”. Yunus (1979: 291) mengungkapkan bahwa “Pesantren adalah tempat santri atau murid-murid belajar agama Islam”. Pendapat tersebut
15
merujuk bahwa pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan agama Islam. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI), “Pondok berarti madrasah dan asrama (tempat mengaji dan belajar agama Islam)” dan “Pesantren berarti asrama tempat muridmurid atau santri belajar mengaji dan sebagainya”. Sedangkan pengertian pesantren menurut Helmy (1984: VIII): Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mengasuh para siswa (santri) yang bersama-sama tinggal di suatu tempat (kampus) di bawah pimpinannya yang tidak hanya mengajarkan ilmu dan melatih hidup keagamaan, tetapi juga mengenal anak didiknya lahir batin. Dapat disimpulkan bahwa pesantren selain sebagai lembaga pendidikan keagamaan, pesantren dapat dijadikan tempat atau asrama untuk pengenalan pribadi serta sifatnya masing-masing. Pesantren dapat dijadikan tempat intropeksi diri sebagai hamba Allah sehingga seseorang akan menjadi lebih baik perilakunya karena merasa dekat dengan orang-orang yang dimuliakan oleh Allah yaitu para kiai. Kiai merupakan unsur utama dalam sebuah pesantren. Selain kiai, Dhofier (1982: 44) menyatakan bahwa untuk dikatakan pesantren, pesantren harus memiliki lima elemen penting yaitu, pondok, santri, masjid, pengajaran kitab klasik dan kiai. Dikatakan bahwa: Pondok, masjid, santri, pengajaran kitab l;asik dan kiai merupakan lima elemen dasar dari tradisi pesantren. Ini berarti suatu lembaga pengajian yang telah berkembang hingga memiliki kelima elemen tersebut akan berubah statusnya menjadi pesantren.
16
Pernyataan di atas menunjukan bahwa keberadaan pondok pesantren pada mulanya tidak terlepas dari dukungan dan perhatian masyarakat dan pemerintah setempat.
Ketika
pondok
pesantren
masih
kecil
dan
belum
terkenal,
perkembangan fisik maupun fasilitasnya berada di bawah tanggung jawab pemerintah setempat. Setelah pesantren menjadi besar dan terkenal, pesantren berupaya mandiri dan lepas dari ketergantungan pemerintah setempat. 2. Tujuan Pesantren Setiap institusi dalam kegiatannya mempunyai tujuan yang merupakan target yang hendak dicapai sehingga dalam pelaksanaan kegiatannya terarah pada tujuan tersebut. Tujuan pendidikan merupakan bagian terpadu dari faktor-faktor pendidikan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan non formal memiliki tujuantujuan tertentu. Menurut tim penyusun dari Departemen Agama RI (1982/1983) tujuan institusional Pesantren umum ialah: Membina warga negara agar berkepribadian muslin sesuai dengan ajaranajaran agama Islam dan menenamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupan sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat dan negara. Selanjutnya dijelaskan tentang tujuan khusus pesantren menurut Qomar (2002: 6) adalah sebagai berikut: a. Mendidik siswa atau santri atau anggota masyarakat untuk menjadi seorang muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT, berahlak mulia, memiliki kecerdasan, keterampilan serta sehat lahit bathin sebagai warga negara yang berpancasila. b. Mendidik siswa atau santri untuk menjadikan manusia muslim selaku kader-kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh serta wiraswasta dalam upaya mengamalkan syariat agama Islam secara utuh dan dinamis. c. Mempertebal semangat kebangsaan menumbuhkan manusia-manusia pembangun yang dapat membangun dirinya sendiri dan bertanggungjawab terhadap pembangunan bangsa dan negara.
17
d. Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional (masyarakat lingkungannya). e. Mendidik siswa atau santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sector pembangunan mental spiritual. f. Mendidik siswa atau santri untuk membantu meningkatkan kesejahteraan social masyarakat lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat bangsa. Kedua tujuan di atas merupakan tujuan institusional pendidikan pondok pesantren yang berkaitan dengan sistem pendidikan nasional baik pendidikan formal maupun non formal. Tujuan tersebut bukan hanya untuk mendidik para santri agar taat kepada agama Islam saja, tetapi juga untuk mendidik para santri agar mampu berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan mental spiritual. Agar mereka mampu meningkatkan pembangunan diberbagai sektor demi tercapainya tujuan pembangunan. Dapat disimpulkan bahwa tujuan pesantren adalah membentuk kepribadian muslim yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya, sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat dan negara. 3. Sejarah Pesantren Sebagai institusi pendidikan Islam yang dinilai paling tua, pesantren memiliki akar transmisi sejarah yang jelas. Qomar (2002: 7-16) mengisahkan bahwa orang yang pertama kali mendirikan pesantren dapat diketahui meskipun ada sedikit perbedaan pemahaman. Di kalangan ahli sejarah terdapat perselisishan pendapat yang menyebutkan pendiri pesantren pertama kali. Sebagian mereka menyebutkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim, yang dikenal dengan Syaikh Maghribi dari Gujarat India sebagai pendiri pondok pesantren yang pertama di Jawa. Muh. Said dan Juminar Affan menyebut Sunan Ampel atau Raden Rahmat sebagai pendiri pesantren pertama di Kembang Kuning Surabaya. Bahkan Kiai
18
Machrus Aly menginformasikan bahwa di samping Sunan Ampel, ada ulama yang menganggap Sunan Gunung Jati (Syaikh Syarif Hidayatullah) di Cirebon sebagai pendiri pesantren pertama. Mengenai teka-teki siapa pendiri pesantren pertama kali di Jawa khususnya, Lembaga Research Islam, Pesantren Luhur memberikan analisis yang dapat dijadikan pedoman. Dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim sebagai peletak
dasar pertama
sendi-sendi
berdirinya pesantren,
sedang
Imam
Rahmatullah (Raden Rahmat atau Sunan Ampel) sebagai wali pembina pertama di Jawa Timur. Sedangkan Sunan Gunung Jati mendirikan pesantren setelah Sunan Ampel, bukan bersamaan. Jika benar pesantren telah dirintis oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim sebagai penyebar agama Islam pertama di Jawa. Maka disimpulkan bahwa pesantren adalah suatu model pendidikan yang sama tuanya dengan Islam di Indonesia. Pesantren sebagai model pendidikan yang memiliki karakter khusus dalam persfektif wacana pendidikan nasional. Sistem pondok pesantren telah mengundang spekulasi yang bermacam-macam. Qomar (2002: 10) menyatakan ada tujuh teori yang mengungkapkan spekulasi tersebut yaitu:
Teori pertama menyebutkan bahwa pondok pesantren merupakan bentuk tiruan atau adaptasi terhadap pendidikan.
Teori kedua mengklaim berasal dari India.
Teori ketiga menyatakan bahwa model pondok pesantren ditemukan di Baghdad.
19
Teori keempat melaporkan bersumber dari perpaduan Hindu-Budha (praMuslim di Indonesia) dan India.
Teori kelima mengungkapkan dari kebudayaan Hindu-Budha dan Arab.
Teori keenam menegaskan dari India dan orang Islam Indonesia.
Teori ketujuh menilai dari India, Timur Tengah dan tradisi lokal yang lebih tua.
Ketujuh teori di atas akan mempersulit tentang asal usul pesantren. Namun pada dasarnya pesantren terbentuk atas pengaruh India, Arab dan tradisi Indonesia sebagaimana dimaksudkan pada teori terakhir di atas. Pada awal rintisannya, pesantren bukan hanya menekankan misi pendidikan, melainkan juga dakwah, justru misi dakwah lebih menonjol. Pesantren selalu mencari lokasi untuk menyalurkan dakwahnya. Pada periode awalnya, pesantren berjuang melawan agama dan kepercayaan serba Tuhan dan takhayyul, pesantren tampil membawa misi tauhid. Pesantren berjuang melawan perbuatan maksiat seperti perkelahian, perampokan, pelacuran, perjudian dan sebagainya. Pesantren berkembang terus sambil menghadapi rintangan demi rintangan. Sikap ini bukan ofensif, melainkan tidak lebih dari defensif; hanya untuk menyelamatkan kehidupannya dana kelangsungan dakwah Islamiyah. Pada tahap berikutnya, pesantren diterima masyarakat sebagai upaya mencerdaskan, meningkatkan kedamaian dan membantu sosio-psikis bagi masyarakat. Tidak mengherankan jika pesantren menjadi kebanggaan masyarakat sekitarnya.
20
Perjuangan pesantren tidak berjalan begitu mulus. Giliran selanjutnya, pesantren berhadapan dengan tindakan tiran kaum kolonial Belanda. Imperialis yang menguasai Indonesia selama tiga setengah abad mengemban misi penyebaran agama Kristen. Bagi Belanda, pesantren merupakan antitesis terhadap gerakan kristenisasi dan upaya pembodohan masyarakat. Pada tahun 1882, Belanda membentuk “Pristeranden” yang bertugas mengawasi pengajaran agama di pesantren-pesantren. Kemudian pada awal penjajahan Jepang, pesantren berkonfrontasi dengan imperialis baru ini karena penolakan Kiai Hasyim Asy’ari kemudian diikuti kiaikiai pesantren lainnya terhadap Saikere (penghormatan terhadap Kaisar Jepang Tenno Haika sebagai keturunan Dewa Amaterasu) dengan cara membungkukan badan 90 derajat menghadap Tokyo setiap pagi, sehingga mereka ditangkap dan dipenjara Jepang. Ribuan santri dan kiai berdemonstrasi mendatangi penjara, kemudian membangkitkan dunia pesantren untuk mulai gerakan bawah tanah menentang Jepang. Demonstrasi yang digelar menyadarkan pemerintah Jepang betapa pengaruh Kiai Tebuireng sebagai tokoh keagamaan seluruh kiai Jawa dan Madura. Kiai Hasyim pun dibebaskan dari penjara. Mulai saat itu Jepang tidak mengganggu kiai dan pesantrennya. Bahkan menurut Selo Sumarjan yang dikutip Qomar (2002: 13) menyebutkan bahwa “Sebagai upaya menjaring simpati kaum Muslimin di Indonesia, preferensi diberikan kepada pemimpin Islam (kiai pesantren)”. Misalnya dengan dibentuknya Kantor Urusan Agama, Masyumi, dan Hizbullah. Melalui preferensi tersebut, maka pesantren dan madrasah bisa
21
mengoperasikan kegiatan belajar mengajarnya secara lebih wajar dibandingkan kegiatan belajar pada lembaga pendidikan umum. Pada masa kemerdekaan, pesantren merasakan nuansa baru. Lahirnya proklamasi memberi corak baru pada pendidikan Agama. Kurun waktu ini merupakan musibah yang mengancam kelangsungan pesantren. Hanya pesantren yang besar yang mampu menghadapi dengan mengadakan penyesuaian dengan sistem pendidikan nasional sehingga musibah itu dapat direndam. Pada masa 1970-an suburnya sekularisasi, musibah tersebut menggoncang pesantren lagi. Jadi secara umum, ada masa orde konstitusional, pesantren dapat hidup dan berkembang dengan baik bahkan berkembang pesat dengan berbagai variasi. Keadaan yang membaik ini disokong oleh pergeseran strategi dakwah Islam dari pendekatan ideologis ke arah pendekatan cultural. Berbagai tantangan dapat dihadapi melalui langkah-langkah strategis sehingga pesantren masih mampu bertahan sampai sekarang dan diakui sebagai asset pembangunan. Para analis yang dikutip oleh Qomar (2002: 15) menemukan beberapa penyebab terhadap ketahanan tersebut, yaitu: 1. Abdurrahman Wahid menyebut ketahanan pesantren disebabkan pola hidupnya yang unik. 2. Sumarsono Mestoko menyebutkan ketahanan pesantren disebabkan oleh melembaganya pesantren di dalam masyarakat. 3. Azyumardi Azra menilai ketahanan pesantren disebabkan oleh kultur Jawayang mampu menyerap kebudayaan luar melalui suatu proses interiosasi tanpa kehilangan identitasnya.
22
4. Aya Sofia mengklaim ketahanannya lantaran jiwa dan semangat kewiraswastaan. 5. Hasan Langgulung mengamati ketahanan pesantren sebagai akibat dari pribadi-pribadi kiai yang menonjol dengan ilmu dan visinya. 6. Ma’shum mengamati ketahanan pesantren dibanding dengan penyebab eksternal.
Dari asumsi di atas dapat disimpulkan bahwa jika arus modernisasi semakin deras melanda Indonesia, maka secara perlahan institusi tradisional seperti pesantren akan segera lumpuh. Namun jika pihak pesantren dapat mengatasi dampak modernisasi, maka pesantren akan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan dan tempat penyebaran agama. 4. Kategorisasi dan Unsur-unsur Pesantren Pesantren merupakan hasil usaha mandiri kiai yang dibantu santri dan masyarakat, sehingga memiliki berbagai bentuk. Qomar (2002: 16) menyebutkan bahwa: Kategori pesantren dapat dilihat dari berbagai perspektif yaitu dari segi rangkaian kurikulum, tingkat kemajuan dan kemodernan, keterbukaan terhadap perubahan, dan dari sudut sistem pendidikannya.
Dari segi kurikulum, Arifin menggolongkan menjadi pesantren modern, pesantren tahassus (tahassus ilmu alat, ilmu fiqh/ ushul fiqh, ilmu tafsir/ hadist, ilmu tasawuf/ thariqat, dan qira’at al-Qur’an) dan pesantren campuran.
Dari kemajuan berdasarkan muatan kurikulumnya, Martin Van Bruinessen mengelompokan pesantren menjadi pesantren paling sederhana yang hanya
23
mengajarkan cara membaca huruf Arab dan menghafal berbagai bagian atau seluruh Al-Qur’an. Pesantren sedang yang mengajarkan berbagai kitab fiqh, ilmu aqidah, tata bahasa Arab, terkadang amalan sufi. Dan pesantren maju yang mengajarkan kitab-kitab fiqh, aqidah dan tasawuf yang lebih mendalam dan beberapa mata pelajaran tradisional lainnya.
Dari perspektif keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, Dhofier membagi menjadi dua kategori yaitu pesantren salafi dan khalafi. Pesantren salafi tetap mengajarkan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya. Penerapan sistem madrasah untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Pesantren khalafi telah memasukan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum di lingkungan pesantren.
Kategorisasi pesantren di atas memiliki ciri khas tersendiri karena perbedaan selera kiai dan keadaan sosial budaya maupun sosial geografisnya. Kategori pesantren, Qomar (2002: 17) mengelompokan pesantren menjadi tiga kelompok: Kelompok pertama, memiliki santri yang belajar dan tinggal bersama kiai ,kurikulum tergantung kiai, dan pengajaran secara individual. Kelompok kedua, memiliki madrasah, kurikulum tertentu, pengajaran bersifat aplikasi, kiai memberi pelajaran secara umum dalam waktu
24
tertentui, santri bertempat tinggal di asrama, untuk mempelajari pengetahuan agama dan umum. Kelompok ketiga, hanya berupa asrama, santri belajar di sekolah, madrasah, bahkan perguruan tinggi umum atau agama di luar, kiai sebagai pengawas dan pembina mental . Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kategori tersebut berdasarkan sistem kurikulum yang dikembangkan oleh pesantren yaitu kurikulum yang dibuat oleh kiai. Peran kiai sekaligus sebagai pengawas dan pembina mental para santri. Ahmad Qadri Abdillah Azizy yang dikutip oleh Qomar (2002: 17-18) membagi pesantren atas dasar kelembagaanya yang dikaitkan dengan sistem pengajarannya menjadi lima kategori: 1. Pesantren
yang
menyeleggarakan
pendidikan
formal
dengan
menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum; 2. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional; 3. Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah; 4. Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majlis ta’lim); dan 5. Pesantren untuk asrama anak-anak belajar sekolah umum dan mahasiswa.
25
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan pesantren sebagai lembaga non formal memiliki peningkatan. Pesantren yang kini telah menetapkan sistem pendidikannya dari non formal menjadi pendidikan formal. Kini banyak pesantren modern yang telah mengembangkan sistem pendidikannya dengan membangun sekolah diniyah, tsanawiyah, aliyah sampai sekolah tinggi ilmu agama Islam (STAI). Berbagai model pesantren bermunculan, demikian pula variasinya. Dhofier (1982: 44) menyatakan bahwa “Suatu lembaga dapat dikatakan pesantren bila lembaga itu telah memiliki elemen-elemen dasar dari pesantren yaitu pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik/ kuning dan kiai”. a. Pondok Ciri khas sistem pendidikan di pesantren dengan sistem pendidikan lainnya adalah dengan adanya pondokan atau asrama bagi para santrinya untuk tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan kiai. Keberadaan pondokan adalah untuk memudahkan proses belajar mengajar dan memudahkan
pembinaan
serta
kontrol
terhadap
santri
secara
berkesinambungan. b. Masjid Masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah shalat saja, tetapi sebagai pusat kegiatan dan tempat berlangsungnya belajar mengajar bagi santri. Dhofier (1985: 49) menyatakan bahwa “…dimana kaum muslimin berada, mereka selalu mempergunakan masjid sebagai tempat pertemuan dan pusat pendidikan”.
26
c. Santri Kata santri berasal dari bahasa India yaitu “Shastri” yang berarti orang ahli tentang kitab suci agama Hindu. Dari kata “Shastri” itu sendiri berasal dari kata “Shastra” yang berati karangan agama atau uraian ilmiah. Adapula yang mengatakan “Shastri” itu adalah huruf, sebab di pesantren dipelajari huruf dan sastra. (Z. Nuchtarom yang dikutip Djamari, 1985: 30) d. Pengajaran kitab-kitab klasik/ kuning Kitab kuning adalah kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab. Pengajaran kitab kuning di pondok pesantren biasanya dengan menggunakan metode Sorogan dan Bandongan. Metode sorogan adalah metode mengajar kiai membaca teks kitab kuning yang berbahasa Arab (gundul atau berharkat) secara kata demi kata. Kemudian santri disuruh membacanya sebagaimana kata-kata yang dibaca kiai. Pada saat itu kiai langsung mengadakan evaluasi dan penilaian, apakah santri mampu membaca sesuai dengan strukrur kalimatnya atau belum. Metode bandongan adalah kiai membaca kitab kuning dan menafsirkan serta menjelaskan kata atau kalimat tertentu sedangkan santri menyimak dan menghafsahinya. e. Kiai Keberadaan kiai dalam pondok pesantren merupakan unsure paling utama karena sebagian besar kiai merupakan pendiri atau pemprakarsa berdirinya pesantren. Untuk menjadi seorang kiai, seorang calon kiai harus bekerja keras melalui penjenjangan yang bertahap. Namun ada sebagian calon kiai
27
berasal dari anggota keluarga kiai yang dibentuk keluarganya untuk menjadi seorang kiai. Penulis menyimpulkan bahwa kelima unsur di atas merupakan hal yang sangat penting untuk dimiliki oleh suatu pesantren. 5. Tipologi Pesantren Prasodjo (1975: 84) mengungkapkan beberapa pola atau tipe pesantren berdasarkan tingkat perkembangan kelengkapan fisiknya, yaitu: a. Pesantren Tradisional 1) Pola masjid-rumah kiai, pola ini masih sederhana dimana kiai menggunakan masjid atau rumahnya sendiri untuk tempat mengajar. Pola ini merupakan tahap permulaan, dimana santri juga berasal; dari daerah sekitarnya namun mereka telah mempelajari ilmu agama secara kontiniu. Pola ini masih berupa tempat pengajian biasa sebelum disebut pesantren. 2) Pola masjid-rumah kiai-pondok, yang telah menunjukan lembaga pondok pesantren karena telah memiliki tempat tinggal yaitu pondok dan santri menginap di sana. b. Pesantren Semi Modern Pola
masjid-
rumah
kiai-
pondok-
madrasah,
yaitu
disamping
menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar dengan sistem lama yaitu sorogan dan bandongan, pesantren juga menggunakan sistem klasikal.
28
c. Pesantren Modern 1) Pola masjid-rumah kiai-pondok-madrasah-tempat keterampilan yaitu disamping mempunyai madrasah pesantren juga memiliki tempat keterampilan seperti peternakan, kerajinan, pertanian, koperasi, sawah, ladang dan lain-lain. 2) Pola masjid-rumah kiai-pondok-madrasah-tempat keterampilan – universitas-gedung pertemuan-tempat olah raga-sekolah umum. Pola ini merupakan kampus pesantren modern. Selain pesantren, juga memiliki kantor administrasi, perpustakaan, dapur, tokko, penginapan tamu, operation hause, ruang pertemuan dan lain-lain. Dari tipologi pesantren di atas, dapat disimpulkan bahwa pesantren tidak sematamata sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang mencetak santri menjadi alim ulama. Pesantren dapat pula dijadikan sebagai lembaga sosial kemasyarakatan yang berusaha memajukan status sosial, keagamaan, pendidikan kebudayaan, bahkan perekonomian masyarakat sekitar. 6. Pesantren Sebagai Pranata Sosial Istilah pranata hampir selalu diterjemahkan dengan kata lembaga atau institution. Koentjaraningrat (1978: 23) mengatakan: Seluruh total dari kelakuan manusia yang berpola, menurut fungsi-fungsi khasnya dalam hal memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam masyarakatnya. Suatu sistem aktivet khas dari kelakuan berpola beserta komponen-komponennya, ialah sistem norma dan tata kelakuannya dan peralatannya, ditambah dengan manusia atau personel yang melaksanakan kelakuan berpola, itulah yangmerupakan suatu pranata atau institution. Jika
digambarkan,
maka
komponen-komponen
pranata
sosial
menurut
Koentjaraningrat (1978: 24) adalah:
29
Sistem norma
Pranata yang berpusat pada suatu kelakuan berpola
Peralatan fisik
Personal
Gambar 1: komponen-komponen dari Pranata Sosial
Selain itu bahwa “Pranata sosial merupakan aturan-aturan atau institusi yang mengatur kehidupan masyarakat”. (http://www.kesbang.go.id/pranata_sosial.htm) Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pranata merupakan kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya. Koentjaraningrat (1978: 24-25) membagi pranata sosial menjadi delapan kelompok dengan memakai delapan kebutuhan hidup manusia sebagai prinsip penggolongan, yaitu: 1) Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan, ialah yang sering disebut kinship atau domestic institutions. Contoh:
30
penglamaran, perkawinan, poligami, pengasuhan anak-anak, perceraian, dan sebagainya. 2) Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk pencarian hidup, memproduksi, menimbun dan mendistribusi harta dan benda, ialah economic institutions. Contoh: pertanian, peternakan, pemburuan, feodalisme, industri, barter, koperasi, penjualan, dan sebagainya. 3) Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan penerangan dan pendidikan manusia supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna, ialah
educational
pendidikan
institutions.
rakyat,
pendidikan
Contoh:
pengasuhan
menengah,
kanak-kanak,
pendidikan
tinggi,
pemberantasan buta huruf, pendidikan keagamaan, pers, perpustakaan umum, dan sebagainya. 4) Pranata-pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ilmiah manusia, menyelami alam semesta sekelilingnya, ialah scientific institutions. Contoh: metodik ilmuah, penelitian, pendidikan ilmiah, dan sebagainya. 5) Pranata-pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia menyatakan rasa keindahannya dan untuk berekreasi, ialah aesthetic and recreational imstitutions. Contoh: seni rupa, seni suara, seni gerak, seni drama, kesusasteraan, sport, dan lain sebagainya. 6) Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam gaib, ialah religious
31
institutions. Contoh: gereja, doa, keduri, upacara, penyiaran agama, pantangan, ilmu ghaib, pesantren, dan lain sebagainya. 7) Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaran atau kehidupan bernegara, ialah political institutions. Contoh: pemerintahan, demokrasi, kehakiman, kepartaian, kepolisian, ketentaraan, dan lain sebagainya. 8) Pranata-pranata yang mengurus kebutuhan jasmani dari manusia, ialah somatic institutions. Contoh: pemeliharaan kecantikan, pemeliharaan kesehatan, kedokteran, dan lain sebagainya. Disimpulkan bahwa pesantren merupakan bagian dari pranata sosial, yaitu educational institutions dan religious institutions. Pesantren dikatakan sebagai educational institutions karena pesantren merupakan pranata atau lembaga pendidikan luar sekolah atau non formal yang diselenggarakan oleh masyarakat secara sengaja, terarah, terorganisir dan terprogram. Pesantren merupakan lembaga keagamaan sebagaimana dijelaskan oleh Hasballah (1999: 179) bahwa: Lembaga penyelenggaraan pendidikan keagamaan yaitu pesantren, madrasah-madrasah keagamaan (diniyah) dan madrasah-madrasah yang termasuk pendidikan umum berciri khas agama seperti MI, MTs dan MA. Selain itu, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan khusus pendidikan agama. Sebagaimana yang dijelaskan dalam UUSPN pasal 11 ayat (6) atau juga dalam pondok pesantren No. 73/ 1991 pasal 3 ayat (3) yang menyatakan bahwa:
32
Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan warga belajar untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan khusus tentang ajatan agama yang bersangkutan.
Pesantren dapat dikatakan pula sebagai pranata keagamaan atau religious institutions karena pesantren merupakan tempat seorang muslim belajar ilmu agama Islam. Ilmu agama sangat diperlukan bagi seorang hamba Tuhan yang berpegang teguh pada satu aqidah. Seseorang dikatakan religious, apabila orang tersebut telah menguasai dan mengamalkan ajaran agama yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-hari. Pengamalan ilmu agama tidak hanya terpatok pada Hablhumminnallah (hubungan manusia dengan Allah) tapi juga harus dibarengi dengan Hablhumminannas (hubungan manusia dengan manusia). Jadi pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang memberikan pengajaran kepada santri agar memiliki dan menguasai ajaran agama Islam dengan baik dan menerapkannya dalam perilaku sehari-hari. Pesantren mendidik santri agar menjadi seorang alim ulama yaitu orang yang memiliki dan menguasai serta menjalankan ajaran Islam dengan sempurna.
B. PERUBAHAN SOSIAL DAN INDUSTRIALISASI 1. Pergeseran Relasi Sosial sebagai Dampak Industrialisasi Konsep yang mendasari penelitian ini diambil dari keadaan empirik yaitu gejala relasional yang ada di tengah-tengah masyarakat yaitu relasi sosial masyarakat industri. Yusuf (1994: 21) menuliskan bahwa “Relasi itu
adalah
interaksi”. Relasi sosial atau interaksi sosial menurut Soekanto ( 2002: 61) adalah:
33
Hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.
Dapat disimpulkan bahwa apabila ada dua orang bertemu, maka relasi sosial pun terjadi pada saat itu juga, mereka saling menegur, berbicara bahkan berkelahi. Levinger, et al yang dikutip oleh Yusuf (1994: 23) mengemukakan bentuk relasi yang berbeda pada setiap individu ataupun kelompok, yaitu: 1. Relasi yang terjadi antara anggota keluarga dan bukan anggota keluarga yang dibagi ke dalam relasi yang berorientasi sosial dan berorientasi tugas. 2. Relasi yang terjadi menurut komposisi jenis kelamin. 3. Relasi yang terjadi menurut komposisi umur. 4. Relasi yang mengacu pada derajat keterlibatan afektif. 5. Relasi dengan muatan interaksi. Relasi (interaksi) sosial yang ada di masyarakat terbentuk oleh faktor-faktor: 1. Tindakan sosial Suatu tindakan, baru dinyatakan sebagai tindakan sosial apabila subjeknya dihubungkan dengan individu-individu lain. Menurut Max Weber yang dikutip oleh Soekanto (2002: 66) “Tindakan sosial adalah tindakan seorang individu yang dapat mempengaruhi individu-individu lainnya dalam masyarakat”. Dari pengertian di atas disimpulkan bahwa dalam bertindak atau berperilaku seorang individu hendaknya memperhitungkan keberadaan individu-individu lain dalam masyarakat. Hal tersebut perlu diperhatikan karena tindakan sosial merupakan perwujudan dari hubungan atau relasi.
34
Tindakan sosial menurut Rahman, dkk (2003: 52-53) dapat dibedakan menjadi empat macam dilihat dari cara atau tujuan tindakan itu dilakukan, yaitu: a. Tindakan rasional instrumental yakni tindakan yang dilakukan dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara dan tujuan, dalam hal ini pelaku memperhitungkan efisiensi efektivitas dari sejimlah pilihan tindakan. Contoh: tindakan bekerja keras untuk mencari nafkah yang cukup. b. Tindakan rasional berorientasi nilai yakni tindakan-tindakan yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar dalam masyarakat, sehingga pelaku tidak mempermasalahkan lagi tujuan dan tindakan. Yang menjadi persoalan adalah cara. Contoh: tindakan-tindakan yang bersifat religiomagis atau berdasarkan keyakinan agama tertentu. c. Tindakan tradisional merupakan tindakan yang tidak memperhitungkan rasional. Tindakan ini dilaksanakan berdasarkan pertimbangan kebiasaan atau adat istiadat. Contoh: berbagai macam upacara atau tradisi untuk melestarikan kebudayaan leluhur. d. Tindakan afektif yakni tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok orang berdasarkan perasaan (afeksi) atau emosi. Contoh: tindakan mengamuk karena marah. 2. Kontak sosial Kontak sosial menurut Soekanto (2002: 65) adalah: Hubungan antara satu pihak dengan pihak lain yang merupakan awal terjadinya relasi (interaksi) sosial, dan masing-masing pihak saling bereaksi antara satu dengan yang lain meskupun tidak harus bersentuhan secara fisik.
35
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sebagai gejala sosial, kontak sosial tidak berarti harus selalu bersinggungan secara fisik, akan tetapi berhubungan, berhadapan, atau bertatap muka antara dua orang individu atau kelompok. individu dapat menyampaikan suatu aksi berupa pesan yang mempunyai tujuan tertentu. Wujud dari pesan dapat berupa gerakan atau isyarat anggota badan. Dalam kehidupan sehari-hari kontak sosial bisa dilakukan dengan beberapa cara menurut Soekanto (65-66) yaitu: a. Kontak
sosial
yang
dilakukan
menurut
cara
pihak-pihak
yang
berkomunikasi itu mengadakan kontak social. Cara kontak sosial itu ada dua
macam
yaitu
kontak
langsung
dimana
pihak
komunikator
menyampaikan langsung pesannya kepada pihak komunikan, baik melalui tatap muka atau melalui alat Bantu komunikasi.cara yang kedua adalah kontak tidak langsung yaitu pihak komunikator menyampaikan pesannya kepada komunikan melalui perantara pihak ketiga. b. Kontak sosial yang dilakukan menurut terjadinya proses komunikasi ada dua macam yaitu kontak primer yang terjadi pada saat awal komunikasi sosial itu terjadi. Dan kontak sekunder terjadi apabila pesan dari komunikator disampaikan kepada komunikan melalui pihak ketiga atau media komunikasi. 3. Komunikasi sosial Komunikasi berasal dari bahasa Latin Communicare yang berarti berhubungan. Jadi secara harfiah komunikasi berarti berhubungan atau bergaul
36
dengan orang lain. Proses komunikasi terjadi pada saat kontak sosial berlangsung. Orang yang menyampaikan komunikasi disebut komunikator, sedangkan orang yang menerima disebut komunikan. Secara ringkas proses komunikasi bisa dilihat pada bagan berikut: Komunikator (individu/
Pesan : - gerakan/ isyarat anggota badan yang bersimbol/ bermakna - kata-kata
Media: Radio, TV, surat kabar, telepon, dsb.
Komuni kan (individu/ kelompok
Feedback (umpan balik) Gambar II: Proses komunikasi
Dari bagan tersebut jelas terlihat bahwa pesan dapat diberikan oleh komunikator kepada komunikan melalui media. Namun ada pula pesan yang disampaikan langsung kepada komunikan tanpa melalui media. Dari proses relasi (interaksi) sosial di atas dapat disimpulkan bahwa proses relasi sosial dapat berlangsung lebih dari satu orang. Adanya komunikasi sosial, dimensi waktu, dan tujuantujuan tertentu menyebabkan seorang individu dapat melakukan relasi sosial secara lancar. Relasi sosial tidak hanya terjadi pada masyarakat perkotaan saja, pada masyarakat pedesaan pun berlangsung proses relasi sosial. Dulu masyarakat pedesaan dikategorikan sebagai masyarakat agraris yang sebagaian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai petani. Konsep gotong royong
37
merupakan suatu konsep yang erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia sebagai petani dalam masyarakat agraris. Dalam kehidupan masyarakat desa, gotong royong menurut Koentjaraningrat (1974: 60) adalah “Suatu sistem pengerahan tenaga tambahan dari kalangan keluarga, untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa-masa sibuk dalam lingkaran aktivitas produksi bercocok tanam di sawah”. Dari pendapat di atas, disimpulkan bahwa sistem gotong royong sebagai suatu sistem pengerahan tenaga, amat cocok dan fleksibel untuk teknik bercocok tanam di desa. Selain gotong-royong, Koentjaraningrat mengemukakan ada bentuk relasi sosial lainnya di masyarakat desa yaitu: 1. Aktivitas tolong-menolong antara tetangga yang tinggal berdekatan, untuk pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan pekarangan, misalnya menggali perigi, membersihkan rumah, dan sebagainya. 2. Aktivitas tolong menolong dalam kaum kerabat (dan kadang-kadang beberapa tetangga yang paling dekat) untuk menyelanggarakan pesta sunat, perkawinan, upacara tujuh bulan dan lain sebagainya. 3. Aktivitas spontan tanpa pernintaan dan tanpa pamrih untuk membantu secara spontan pada waktu seorang penduduk desa mengalami kematian atau bencana. 4. Kerja bakti yaitu satu aktivitas pengerahan tenaga tanpa bayaran untuk satu proyek yang bermanfaat untuk umum atau yang berguna untuk pemerintahan.
38
Relasi sosial seperti yang kemukakan di atas berangsur memudar dan menghilang dalam masyarakat seiring masuknya industri ke pedesaan. Industrialisasi yang muncul setelah revolusi industri di Inggris, merambat pula di Indonesia pada tahun 1970-an. Sitorus yang dikutip oleh Dharmawan (1986: 17) mengungkapkan bahwa “Industrialisasi adalah proses perubahan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri”. Dengan demikian industrialisasi merupakan suatu proses budaya, karena dalam proses ini dibangun masyarakat dari suatu pola hidup berbudaya agraris tradisional menuju masyarakat yang berpola hidup berbudaya masyarakat industri. Dharmawan (1985: 18) memaparkan bahwa “Industrialisasi pada suatu masyarakat berarti adanya penggantian teknik produk dari cara yang masih tradisional ke cara modern”. Pendapat tersebut lebih menekankan pada pergantian pengunaan teknologi dari yang sederhana kepada teknologi yang serba canggih serta efektif dalam penggunaannya. Dari kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa industrialisasi adalah proses perubahan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Jadi masyarakat yang semula menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian yang dikelola secara turun temurun dan tradisional, berubah menjadi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor industri. Sektor industri lebih menekankan pada pemanfaatan teknologi modern. Perubahan
yang ditimbulkan akibat adanya industri menurut Martono
(1983:36) adalah: a. Terganggunya
keseimbangan
antara
kesatuan-kesatuan
sosial
dan
masyarakat.
39
b. Renggangnya hubungan kekeluargaan dalam masyarakat. c. Bertambahnya besarnya urbanisasi penduduk daerah pedesaan menuju perkotaan. Dari pendapat di atas intinya adalah perubahan dapat menyebabkan rengganya ikatan kekeluargaan baik dalam keluarga kecil maupun dalam keluarga luas. Misalnya ikatan kekeluargaan dalam organisasi-organisasi kemasyarakatan. Masyarakat yang perekonomiannya masih berdasarkan pertanian, dasar ikatan masyarakatnya masih kuat, mereka masih menyandarkan diri pada adanya ikatan darah dan keturunan serta semangat gotong royong. Namun semua perlahan memudar. Dengan adanya industrialisasi masing-masing pihak dalam satu keluarga
mempunyai
kesibukan
masing-masing,
sehingga
menyebabkan
komunikasi antara ayah, anak bahkan istri pun menjadi renggang. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat mempunyai fungsi penting. Karena keluarga merupakan wadah pembentukan kepribadian anak. Melalui proses sosialisasi, orang tua sebagai perantara pertama mengenalkan nilai-nilai kebudayaan dalam kehidupan sosial. Hubungan manusia yang satu dengan yang lain sangat erat dan akrab. Masyarakat belajar mengenal kasih sayang, kebebasan, kepatuhan dan kesediaan berkorban. Individu merupakan bagian dari kelompoknya. Namun dalam perkembangan masyarakat yang lebih kompleks, nilai-nilai yang terkandung dalam ikatan kekeluargaan tersebut menjadi berkurang. Perubahan sosial menuju masyarakat industri, menyebabkan kelompok kekerabatan kehilangan fungsinya. Ini terbukti dengan banyaknya anggota
40
kelompok yang mulai bekerja di pabrik, membuat home industry di rumahnya masing-masing. Nilai kebersamaan, gotong royong sedikit demi sedikit memudar karena aktivitas dan kesibukan yang dilakukan oleh masyarakat. Merengganya ikatan kekeluargaan dalam masyarakat industri menurut Martono (1983: 41) disebabkan oleh: a. b. c. d.
Unit keluarga yang tidak lengkap karena hubungan di luar perkawinan. Disorganisasi keluarga karena putusnya perkawinan sebab perceraian. Adanya kekeurangan komunikasi dalam keluarga. Krisis keluarga karena salah satu yang bertindak sebagai kepala keluarga di luar kemampuannya sendiri meninggalkan rumah tangga.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan bagian yang paling utama dalam melaksanakan komunikasi. Jika sudah tidak terjalin komunikasi, ikatan kekeluargaan sedikit demi sedikit akan merenggang. 2. Industrialisasi dalam Persfektif Relasi Sosial Pembangunan ekonomi pedesaan merupakan
bagian dari proses
pembangunan nasional yang telah direncanakan. Salah satunya yaitu dengan menjadikan bangunan pertanian sebagai prioritas utama pembangunan nasional untuk meningkatkan hasil pembangunan yang lebih baik, pemerintah tidak hanya memprioritaskan pembangunan pertanian saja tetapi juga mengembangkan pembangunan industri. Hal ini dimaksudkan agar antara pembangunan pertanian dan pembangunan industri dapat berjalan sejajar atau seimbang sehingga kemajuan ekonomi menjadi baik dan kuat. Selain itu dengan adanya pembangunan industri yang penyebarannya sampai ke daerah-daerah pedesaan membawa suasana baru bagi masyarakat pedesaan. Pembangunan industri tersebut secara langsung maupun tidak langsung
41
akan mempengaruhi kehidupan masyarakat sekitarnya. Di dalam kegiatan industri memerlukan macam-macam keahlian yang berbeda dengan keadaan masyarakat pertanian. Timbulnya industri di pedesaan mengakibatkan adanya kecenderungan timbulnya masyarakat majemuk dengan aneka ragam kebudayaan dan keahlian sehingga membuka lapangan kerja yang bervariasi berdasarkan keahlian yang ditentukan oleh tingkat pendidikan. Dengan masuknya pembangunan industri ke daerah-daerah pedesaan mengakibatkan desa mengenal teknologi, kebudayaan materil dan ilmu pengetahuan yang tinggi, maka kehidupan sosial di desa ikut terpengaruh dan mengikuti pola tersebut penduduk desa pada umumnya telah rasionil, dinamis dan individualis. Pengesahan nilai-nilai ini merupakan pertanda ke arah perubahan tata hidup desa yang baru tumbuh dan berkembang meninggalkan kestabilan dan ketentraman yang telah ada. Penduduk dan kehidupan desa setengah sadar terpaksa menerima dan melihat perubahan-perubahan yang terjadi. Hal ini karena di dalam menghadapi perubahan sosial di masyarakat khusus dalam menyerap kebudayan dan teknologi baru orang Indonesia mempunyai kecenderungan untuk menelan segala sesuatu yang telah dihidangkan, kemudian sedikit demi sedikit apa yang tidak disukainya akan ditinggalkan dan yang sesuai dengan selera akan berbaur dengan kebudayaan masyarakat. Ponsioen yang dikutip oleh Susanto (1999:31), menegaskan: Bahwa dalam proses industrialisme, perubahan terjadi dengan memaksakan teknologi asing kepada suatu masyarakat tanpa menghiraukan dasar sosial budayanya. Industrianisme merupakan suatu proses otonom yang berdiri sendiri. Proses industrialisasi yang diperkenalkan terlebih dahulu mempersiapkan suatu masyarakat untuk menerima dan menggunakan teknologi baru tersebut.
42
Pernyataan di atas sama sekali tidak memperhatikan latar belakang sosial budaya suatu masyarakat, padahal keberhasilan suatu industrialisasi itu sangat bergantung kepada masyarakat yang menerimanya, selain faktor teknologi yang mendukung. Di samping itu industrialisasi juga menciptakan jenis peranan yang kompleks dan menekankan pada berbagai ragam keahlian yang diperlukan dalam proses-proses produksi. Industrialisasi secara perlahan-lahan dapat merubah struktur sosial yang ada di masyarakat, misalnya nilai, sikap, kepercayaan, dan pola tingkah laku di dalam kelas sosial yang berbeda dengan kelas sosial lainnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang di lakukan oleh Depdikbud tahun 1996 dikawasan industri Pulo Gadung sebagai berikut: Industrialisasi merupakan gejala dari kebudayaan yang memiliki cara berfikir sendiri, struktur sosial sendiri, dan norma sosial sendiri. Akan tetapi dalam prosesnya industrialisasi menciptakan kondisi dan kebutuhan akan barang dan jasa dalam corak baru, serta mendorong penyerapan tingkah laku dan orientasi nilai-nilai baru serta menghasilkan adanya pembagian sosial yang baru pula. Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa industrialisasi dapat menciptakan kebutuhan manusia akan barang dan jasa semakin meningkat. Selain itu adanya industri dapat menyebabkan penyerapan nilai-nilai budaya baru di masyarakat. Industrialisasi
dalam
persfektif
relasi
sosial
dapat
menyebabkan
pergeseran nilai yang ada di masyarakat. Faktor penyebab perubahan nilai dalam masyarakat diperoleh dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Departemen
Pandidikan dan Kebudayaan tahun 1993 di Daerah Sulawesi Tengah yaitu:
43
1. Adanya pengaruh perkembangan kehidupan sosial kemasyarakatan yang juga mempengaruhi longgarnya ikatan-ikatan kekeluargaan yang ada dalam masyarakat. 2. Pengaruh tingkat perkembangan sosial ekonomi, pendidikan, lapangan pekerjaan, sistem buruh dan lain-lain. 3. Pengaruh pertambahan penduduk dan semakin lusnya bidang usaha dan kegiatan lapangan kehidupan. 4. Sudah adanya mobilitas masyarakat sebagai akibat lebih membaiknya sarana komunikasi darat antara kota dan pedesaan. Dari penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa pergeseran nilai diakibatkan oleh adanya industri dan pengaruh kemajuan teknologi komunikasi yang ada di masyarakat. Penelitian lainnya dilakukan di Daerah Istimewa Aceh tahun 1980, menghasilkan sebab-sebab terjadinya pergeseran nilai antara lain: 1. Jumlah tenaga kerja semakin bertambah sedangkan areal tanah sawah semakin berkurang. Dengan
demikian petani yang tidak memiliki
tanah sendiri akan bertambah sehingga mengakibatkan rendahnya upah buruh. 2. Dengan majunya masyarakat desa di masa mendatang, mentalitas kolektivitas warga negara akan menurun dan mentalitas individual akan bertambah. Dengan meningkatnya sikap individual, maka warga masyarakat hidup dan bergaul berdasarkan hubungan intensif pula.
44
Dengan demikian sikap sosial dalam masyarakat desa pun akan berkurang. 3. Dengan masuknya teknologi modern ke pedesaan akan melemahkan nilai pengalaman dalam masyarakat. 4. Dengan adanya kemajuan akan mengakibatkan terjadinya persaingan dalam masyarakat desa. 5. Dengan masuknya unsure pembangunan ke dalam masyarakat desa, maka akan terjadinya pergeseran budaya yang ada di masyarakat dan mempengaruhi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Marbun (1980:54) yaitu: Perubahan akan paling terasa dalam pola konsumsi pangan, dan sandang serta alat perlengkapan rumah tangga. Namun yang paling dahsyat adalah di bidang tata nilai serta hubungan kekeluargaan. Hidup keras, individualisme, dan kurang religius merupakan ciri yang mengikuti masa transisi perbauran kebudayaan. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya individualisme, seperti yang dikemukakan oleh Soedjito (1986: 62) adalah: Individuliame disebabkan oleh adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda, meskipun dalam prinsipnya masih ada gotong royong. Proses individualisme ini sebenarnya tidak hanya terjadi di kota, tetapi juga di desa-desa dimana sudah diperkenalkan teknologi baru berupa mesin-mesin dan lain-lain. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa industrialisasi dapat menyebabkan pergeseran nilai nilai dalam masyarakat desa. Hal tersebut terlihat dengan masuknya teknologi modern, menyempitnya areal sawah, serta adanya mobilitas dan pertumbuhan masyarakat menyebabkan berkurangnya ikatan-ikatan sosial dalam masyarakat. 45
3. Industri sebagai Alat Perubahan Sosial Industri dengan karakteristik utamanya yakni teknologi, senantiasa melibatkan berbagai akibat sosial yang sebagian dapat diketegorikan sebagai perubahan sosial. Pengenalan teknologi kepada masyarakat merupakan faktor penentu timbulnya kebudayaan baru dalam masyarakat. Setiap penemuan teknologi baru akan membawa dampak atau pengaruh tertentu kepada pemakai. Ini berarti bahwa masyarakat harus dapat menyesuaikan diri terhadap penemuan teknologi baru. Penemuan teknologi baru itu pertama-tama dilontarkan ke masyarakat yang ingin menerimanya. Secara spontanitas anggota masyarakat akan memberi reaksi. Reaksi tersebut mau tidak mau keluar dari emosi dan alam pikiran yang meliputi rasa kebudayaan, serta kepercayaan dan tradisi lain yang semuanya akan mengalami perubahan. Teknologi modern atau industrialisasi yang dipaksakan membawa pengaruh tidak hanya dalam bidang finansial dan material, tetapi juga mendalam sampai kepada pengembangan pribadi masing-masing anggota masyarakat. Dalam kaitan ini Karim (1986: 50) berpendapat bahwa “Laju perubahan materil seperti halnya teknologi berpacu lebih cepat dari pada laju perubahan non material”. Perubahan telah menimbulkan kesenjangan budaya dalam masyarakat. Dengan demikian secara langsung maupun tidak langsung, pengaruh teknologi itu ada dan berkembang dari waktu ke waktu serta berbeda manifestasinya.
46
Karim (1986: 53) berpendapat bahwa terdapat perbedaan pandangan di kalangan para ahli dalam memandang perubahan sosial akibat adanya industri, yaitu: a. Pihak yang menganggap bahwa teknologi sebagai satu-satunya faktor penyebab perubahan sosial. Pandangan ini disebut determinisme teknologi. b. Pihak yang memandang bahwa ternologi hanya salah satu faktor di antara banyak faktor penyebab perubahan sosial. c. Pihak yang berpendapat bahwa teknologi bukan sebagai faktor independen saja. Menurut pandangan ini, teknologi sebagai alat (tool) dan cara yang merupakan objek pasif saja, yang penggunaannya ditentukan oleh kemauan manusia sebagai warga negara. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa teknologi modern sebagai alat dapat menimbulkan perubahan sosial dalam masyarakat.
C.
PERAN
PESANTREN
DALAM
MENGATASI
DAMPAK
INDUSTRIALISASI 1. Peranan Pesantren dalam masyarakat Sebagai suatu lembaga, menurut Mastuhu (1994: 59) pesantren memiliki peranan dalam masyarakat yaitu: a. Lembaga
pendidikan
yaitu
menyelenggarakan
pendidikan
formal
(madrasah, sekolah umum) dan pendidikan non formal (keagamaan). b. Lembaga sosial yaitu menampung anak dari segala lapisan masyarkat dengan tidak membedakan tingkat sosial ekonomi bahkan anak-anak yatim piatu, miskin dan lain-lain. c. Lembaga penyebaran agama yaitu pesantren mengadakan kegiatan dakwah atau keagamaan di masjid, sekolah, pengajian dan lain-lain.
47
Diantara ketiga peranan pesantren di atas, dapat disimpulkan bahwa peranan pesantren yang paling pokok adalah sebagai lembaga dakwah. Sebagai lembaga dakwah, pesantren berusaha mendekati masyarakat. Pesantren bekerja sama dengan masyarakat dalam mewujudkan pembangunan. Sejak lama pesantren terlibat aktif dalam mobilisasi pembangunan sosial masyarakat desa. Warga pesantren telah terlatih melaksanakan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. 2. Peranan Pesantren dalam Mengatasi Dampak Industrialisasi Perkembangan teknologi, penyebaran arus informasi dan budaya dapat menggiring masyarakat untuk berfikir rasional, bersikap inklusif, dan berperilaku adaptif. Masyarakat dihadapkan pada pilihan-pilihan baru yang menarik untuk mengikutinya. Masyarakat begitu intens menjumpai perubahan-perubahan baik yang menyangkut pola pikir, pola hidup, kebutuhan sehari-hari hingga proyeksi kehidupan di masa depan. Begitu pula dengan proses perubahan masyarakat dari agraris menjadi industri mempengaruhi perubahan dalam ikatan kekeluargaan di masyarakat. Bentuk perubahan ini menimbulkan respons di kalangan pesantren. Industrialisasi telah merambat ke masyarakat pedesaan telah memberikan dampak positif dan negatif. Pesantren sebagai lembaga keagamaan harus berperan dalam mengatasi dampak industrialisasi. Senada dengan hal itu, Qomar (2002: 73) berpendapat bahwa: Pesantren tidak bisa bersikap isolatif dalam menghadapi tantangantantangan tersebut. Respon yang positif adalah dengan memberikan alternatif-alterbatif yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat dalam menghadapi era global yang membawa persoalan-persoalan makin komplek sekarang. Sebaliknya respon yang tidak kondusif seperti bersikap
48
isolatif justru menjadikan pesantren tidak memberikan keuntungan bagi kemajuan zaman.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pesentren harus memiliki kepekaan akan perubahan yang terjadi di masyarakat. Pesantren tidak boleh menitup diri terhadap perubahan yang terjadi. Sistem pendidikan pesantren pun harus selalu melakukan upaya rekonstruksi pemahaman terhadap ajaran-ajarannya agar tetap relevan dengan perkembangan jaman. Pesantren harus mampu mewujudkan sistem pendidikan sinergik, yakni sistem yang memadukan akar tradisi dan modernitas. Jika strategi ini mampu dilaksanakan, hubungan pendidikan pesantren dengan dunia kerja industrial bisa disatukan. Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren menjadi tumpuan harapan. Menurut Nurcholish Madjid yang dikutip oleh Qomar (2002: 74) berpendapat bahwa “Semboyan mewujudkan masyarakat madani akan mudah terwujud apabila institusi pesantren tanggap atas perkembangan dunia modern”. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pesantren memperoleh kepercayaan tinggi sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia menuju masyarakat madani. Pesantren juga dikenal mentradisikan belajar kitab kuning yaitu pesantren berbasis pedesaan. Masyarakat pedesaan merupakan masyarakat yang menjadi perhatian utama dalam mewujudkan masyarakat madani. Mastuhu yang dikutip Qomar (2002: 74) menilai bahwa: Akibat pengaruh globalisasi, pesantren tidak bisa menutup diri dari perubahan sosial yang sangat cepat. Nilai-nilai modern seperti snow balling efek industrialisasi, mulai mempengaruhi nilai-nilai budaya pesantren.
49
Dari pendapat di atas dapat disimpulakan bahwa pesantren tidak boleh melepaskan diri dari tantangan yang terjadi di masyarakat. Pesantren harus bisa memposisikan diri sebagai lembaga sosial kemasyarakatan. Pesantren harus mampu merespon pengaruh-pengaruh global dengan menggunakan stategi daptif selektif. Artinya pesantren perlu mengadakan pembaharuan
yang bisa
mengimbangi kemajuan zaman, tetapi materi pembaharuannya harus diseleksi berdasarkan parameter ajaran-ajaran Islam. Dalam menghadapi tantangan akibat perubahan global khususnya industrialisasi, pesantren dituntut memiliki tiga kemampuan menurut Qomar (2002: 77), yaitu: 1) Kemampuan untuk survive (bertahan hidup) ditengah-tengah perubahan dan persaingan yang terus bergulir. 2) Kemampuan untuk meningkatkan kualitas hidupnya (rohaniah dan jasmaniah). 3) kemampuan untuk berkembang dan beradaptasi dengan tuntutan zaman yang berubah. Sementara itu, menurut Azyumardi Azra yang dikutip oleh Qomar (2002: 77) berpendapat bahwa: Pesantren diharapkan bukan hanya mampu bertahan, melainkan juga mampu mngembangkan diri, dan bahkan kembali menempatkan diri pada posisi yang penting dalam sistem pendidikan Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan pesantren harus memiliki kekuatan agar dapat bertahan. Lebih dari itu, pesantren diharapkan mampu memberikan
sumbangan
bagi
pengembangan
modal
rohaniah
dalam
pembangunan nasional.
50