6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Proses Interaksi Sosial Kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk telah diakui sejak merdeka bahkan sebelum merdeka sudah diakui sebagai bangsa yang banyak memiliki perbedaan, ini terlihat dengan beragamnya suku, bahasa, budaya, agama, dan ras. Dengan banyaknya perbedaan inilah awal kemerdekaan Indonesia sudah mengenal istilah Bhineka Tunggal Ika, artinya berbeda-beda tetapi satu. Manusia merupakan makhluk sosial yang berusaha untuk mengadakan hubungan sosial dengan sesamanya demi pemenuhan hasrat hidupnya. Hubungan interaksi sosial sebagai manifestasi bahwa manusia tak dapat bertahan hidup tanpa sesamanya. Menurut Soerjono Soekanto (2006: 54) memandang bahwa: “interaksi sosial ialah kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa itu tak ada kehidupan sosial”. Lebih lanjut dikemukakan pula bahwa: “interaksi sosial merupakan hubunganhubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang perorangan, antar kelompok-kelompok manusia maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia”. Pendapat lain dikemukankan oleh Elly M. Setiadi (2007: 94) mengemukakan bahwa: “interaksi sosial adalah hubungan-hubungan antara orang-orang
secara
individual, antar kelompok orang, dan orang perorang dengan kelompok”. Berdasarkan Beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik antara sesama manusia, dapat diartikan
7 bahwa dalam suatu golongan atau daerah terjadi kontak sosial, maka terjadilah proses interaksi sosial yang memiliki makna dari interaksi tersebut. Berlangsungnya proses interaksi sosial didasarkan pada beberapa faktor, menurut Soerjono Soekanto (1989: 52) proses interaksi sosial didasarkan pada empat faktor yaitu : (1) Imitasi yaitu sesejiwa terdorong untuk berbuat sesuatu karena meniru jiwa lain, baik yang bersifat fositif maupun negatif, dan bahkan imitasi ini dapat melemahkan atau mematikan daya kreatifitas sesejiwa; (2) Sugesti yaitu suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh jiwa lain; (3) Identifitas yaitu keinginan dalam diri sesejiwa untuk menjadi sama dengan jiwa lain; dan (4) Simpati yaitu suatu proses dimana sesejiwa merasa tertarik pada jiwa lain. Soerjono Soekonto (2006: 58) interaksi sosial dapat terjadi apabila memenuhi dua syarat: (1) adanya kontak sosial (social contact), (2) adanya komunikasi sosial. Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk yaitu: perorangan,
misalnya
anak
kecil
mempelajari
(a) antara orang
kebiasaan-kebiasaan
dalam
keluarganya, (b) antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya, (c) antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya. Kontak sosial tersebut dapat bersifat positif atau negatif. Yang bersifat positif mengarah pada kerja sama, sedangkan yang bersifat negatif mengarah pada suatu pertentangan bahkan sama sekali tidak menghasilkan suatu interaksi sosial. Terdapat dua bentuk umum dari interaksi sosial yakni bentuk assosiatif dan bentuk dissosiatif. Suatu interaksi sosial yang assosiatif merupakan proses yang menuju pada proses kerja sama, sedangkan bentuk interaksi sosial dissosiatif dapat diartikan sebagai perjuangan melawan seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu. Apakah suatu interaksi sosial dissosiatif mengakibatkan
8 hal-hal positif, tergantung pada masalah yang dipertentangkan dan juga dari struktur sosial di tempat pertentangan itu terjadi. Selanjutnya akan dikemukakan bentukbentuk interaksi yang dikemukakan oleh Elly M. Setiadi (2007: 96) bahwa: “Interaksi sosial terjadi dari kerjasama, persaingan, pertikaian, dan akomodasi”. Selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, kerjasama merupakan bentuk utama dari proses interaksi sosial, karena pada dasarnya jiwa atau kelompok jiwa melaksanakan interaksi sosial dalam rangka memenuhi kepentingan atau kebutuhan bersama. Timbulnya kerjasama menurut
Charles. H. Cooley (dalam Soekanto, 2006: 66) adalah apabila jiwa
menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama dan saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan tersebut melalui kerjasama, kesadaran akan adanya kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna. Masyarakat Indonesia, terdapat bentuk kerjasama yang dikenal dengan nama gotong royong. Koetjaraningrat (1993: 57-61) membedakan antara gotong royong tolongmenolong dan gotong royong kerja bhakti. Aktivitas tolong menolong yang meliputi aktivitas: (1) Tolong menolong antara tetangga yang tinggal berdekatan untuk pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan pekarangan, seperti menggali sumur, memperbaiki dinding rumah, atap rumah, dan sebagainya; (2) Tolong menolong antara kaum kerabat untuk menyelenggarakan pesta sunatan anak-anak, perkawinan, atau upacara adat lainnya; dan (3) Spontan tanpa permintaan dan tanpa pamrih untuk membantu sesama warga pada waktu mengalami musibah kematian, kecelakaan, kebakaran dan bencana alam.
9
Soerjono Soekanto (2006:118) menyatakan bahwa gotong royong itu diartikan sebagai bentuk kerjasama yang spontan yang sudah terlembagakan yang mengandung unsur timbal balik yang sukarela antar warga desa dengan warga desa, antara warga desa dengan pemerintah desa untuk memenuhi kebutuhan desa, yang insedentil maupun yang kontinyu dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bersama baik material maupun spritual. Koentjaraningrat (1993: 59) memang terbukti bahwa di desa memberi sumbangan kepada jiwa lain baik membantu sesamanya dalam pertanian, membantu memperbaiki rumah sesejiwa atau membantu dengan memberi sumbangan kepada pelaksanaan pesta-pesta dan sebagainya tidak selalu dengan rasa rela atau spontan. Jiwa desa menyumbang dan membantu sesamanya karena terpaksa oleh suatu jasa yang pernah di berikan kepadanya, dan ia menyumbang untuk mendapat pertolongan dari pihak lain lagi dikemudian hari. Namun tanpa bantuan sesamanya, jiwa tidak bisa memenuhi berbagai macam keperluan hidupnya dalam masyarakat yang berbentuk komuniti kecil. Aktivitas produksi pertanian, khususnya bercocok tanam, jiwa bisanya mengalami musim-musim sibuk. Dalam musim ini, kalau tenaga keluarga tidak cukup lagi untuk menyelesaikan sendiri segala pekerjaan di sawah atau di ladang, maka jiwa bisa menyewa tenaga tambahan atau bisa memintah bantuan tenaga dari sesama warga komunitinya. Sejiwa petani untuk mengerjakan sawah atau ladangnya, selain ia dibantu oleh keluarganya, ia juga meminta bantuan jiwa sedesanya untuk membantunya dalam memanen hasil sawahnya untuk penanaman yang baru misalnya memperbaiki saluran-saluran air, memperbaiki pematang-pematang, menyangkul,
10 membajak dan lain sebagainya. Petani yang meminta kepada warga sekitar, mereka hanya menyediakan makanan dan minuman kepada warga yang datang dan membantu tersebut. Aktivitas sekitar rumah tangga, jika ada jiwa yang sedang membangun rumah atau sedang memperbaiki rumah seperti memperbaiki atap rumah, mengganti dinding rumah, menggali sumur, dan sebagainya. Demikian pula aktivitas dalam persiapan pesta atau upacara, jiwa datang memberikan bantuannya berupa membawa bahanbahan yang diperlukan dalam menyelenggarakan pesta, membantu membangun tenda, dan sebagainya. Tolong menolong dalam aktivitas mempersiapkan pesta atau upacara biasanya berjalan dengan spontanitas yang besar, karena peransang bagi para pembantu bersifat langsung, ialah ikut merayakan pesta, ikut menikmati hidangan enak dari pesta, dan ikut merasakan suasana gembira berupa hiburan dalam pelaksanaan pesta. Menolong jiwa pada peristiwa-peristiwa kecelakaan, bencana, dan kematian, biasanya dilakukan oleh sesejiwa dengan amat rela, tanpa perhitungan akan mendapatkan pertolongan kembali, karena menolong jiwa yang mendapat kecelakaan berdasarkan rasa belasungkawa yang universal dalam jiwa manusia. Kedua, persaingan adalah suatu usaha dari jiwa perjiwaan atau kelompokkelompok manusia untuk mencapai suatu tujuan. Persaingan dapat terjadi dalam segala bidang kehidupan, misalnya bidang ekonomi, kedudukan, kekuasaan, pencintaan, dan sebagainya. Soerjono Soekanto, (2006: 78) persaingan dapat diartikan sebagai proses sosial, dimana jiwa perjiwaan atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu yang menjadi pusat perhatian publik (baik perjiwaan
11 maupun kelompok) dengan cara usaha untuk menarik perhatian publik atau dengan cara mempertajam prasangka yang ada tanpa mempergunakan ancaman kekerasan. Persaingan mempunyai dua tipe umum yang bersifat pribadi dan bersifat umum. Hal yang bersifat pribadi yaitu jiwa perjiwaan secara langsung bersaing, sedangkan
didalam persaingan secara umum, yang langsung bersaing adalah
kelompok-kelompok manusia. Tipe-tipe tersebut diatas menghasilkan beberapa bentuk persaingan yaitu diantaranya persaingan: (1) ekonomi, yang timbul oleh karena terbatasnya persediaan dibandingkan dengan jumlah konsumen; (2) kebudayaan, yang timbul apabila didalam suatu masyarakat terdapat berbagai macam kelompok kebudayaan. Persaingan dalam bidang kebudayaan dapat menyangkut misalnya persaingan dibidang keagamaan, dan bidang lembaga kemasyarakatan seperti pendidikan; dan (3) Persaingan untuk mencapai suatu kedudukan dan peranan tertentu dalam masyarakat. Baik dalam diri sesejiwa maupun dalam kelompok manusia terdapat keinginan untuk diakui sebagai sesejiwa atau kelompok yang mempunyai kedudukan serta peranan yang terpandang. Soerjono Soekanto, (2006: 80) persaingan dalam batas-batas tertentu dapat mempunyai fungsi yaitu persaingan: (1) menyalurkan keinginan
yang bersifat
konpetitif dari jiwa perjiwaan atau kelompok manusia sifat-sifat manusia pada umumnya bahwa semakin banyak sesuatu yang dihargai semakin meningkat keinginan untuk memperolehnya. Sesuatu yang dihargai tersebut dalam persaingan mempunyai nilai yang tinggi. (2) berfungsi sebagai suatu jalan yang diinginkan, kepentingan dan nilai-nilai yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian, tersalurkan dengan sebaik-baiknya oleh mereka yang bersaing. (3) merupakan alat untuk mengadakan seleksi sosial. Persaingan berfungsi untuk mendudukan jiwa perjiwa
12 pada kedudukannya serta peranan dalam masyarakat yang sesuai dengan kemampuannya, dan (4) Persaingan dapat juga berfungsi sebagai alat untuk menyaring golongan-golongan fungsional yang akhirnya akan menghasilkan pembagian kerja yang efektif. Ketiga, pertikaian pada umunya terjadi apabila tidak adanya keseimbangan atau adanya salah satu penafsiran terhadap perilaku serta kepentingan-kepentingan yang tidak seimbang antara pribadi dengan kelompok masyarakat. Ketidakseimbangan yang terjadi akibat perbedaan penafsiran tersebut memungkinkan terjadinya polemik yang melibatkan beberapa individu (pihak) dalam masyarakat sehingga secara tidak langsung proses interaksi sosial akan terjadi di antara kedua pihak tersebut. Pertikaian merupakan salah satu bentuk interaksi sosial, akan tetapi proses tersebut jelas menimbulkan unsur-unsur yang negatif dalam kehidupan masyarakat. Pertikaian memungkinkan adanya perpecahan dalam hal pandangan dikalangan masyarakat yang mengakibatkan terganggunya keharmonisan hubungan sosial antar sesama individu dalam masyarakat. Namun demikian, dengan pertikaian yang timbul dapat pula merubah sistem sosial yang menuju kearah reformasi maupun orientasi positif. Keempat, akomodasi suatu
pertentangan atau pertikaian tidak mungkin
berlangsung untuk selamanya, pada suatu ketika kemungkinan akan mendapatkan penyelesaian. Mungkin saja penyelesaian itu hanya dapat diterima untuk sementara waktu saja, dalam arti pihak-pihak yang terlibat pertentangan atau pertikaian tidak sepenuhnya merasa puas atas penyelesaian yang telah dilakukan. Soerjono Soekanto (2006: 62) menyatakan bahwa: “Akomodasi itu menunjukkan pada dua arti atau
13 makna. Pertama : akomodasi itu menunjukkan pada suatu keadaan, dan kedua : akomodasi menunjukkan pada proses. Sebagai suatu proses , menunjuk pada usahausaha untuk mencapai penyelesaian pertikaian, sedangkan sebagai suatu keadaan menunjukkan pada suatu proses, mungkin dilakukan sendiri oleh mereka yang bertikai, akan tetapi seringkali pula melalui perantara pihak ketiga, misalnya lembaga-lembaga pengadilan untuk menyelesaikan pertikaian itu”.
Akomodasi sebenarnya
merupakan suatu cara untuk menyelesaikan
pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan tersebut kehilangan kepribadiannya. Tujuan dari akomodasi dapat berbeda-berbeda sesuai dengan situasi yang dihadapinya, yaitu untuk : (1) Mengurangi pertentangan jiwa perjiwaan atau kelompok-kelompok manusia sebagai akibat perbedaan faham. Akomodasi disini bertujuan untuk menghasilkan suatu sintesa antara kedua pendapat agar menghasilkan suatu pola yang baru: (2) Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau secara temporer; (3) Akomodasi kadang-kadang diusahakan untuk memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok-kelompok sosial sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologi dan kebudayaan, hidupnya terpisahnya seperti pada masyarakat yang mengenal sistem kasta: dan (4) Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok sosial yang terpisah, misalnya melalui perkawinan campuran atau asimilasi dalam arti luas. Akomodasi sebagai suatu proses, Soerjono Soekanto, (2006: 77) dapat mempunyai beberapa bentuk yaitu : (1) Coercion adalah suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh karena adanya paksaan, dimana salah satu pihak dalam keadaan yang lemah sekali bila dibandingkan dengan pihak lain; (2)
14 Compromise adalah suatu bentuk akomodasi dimana pihak yang terlibat mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada; (3) Arbitration adalah suatu bentuk akomodasi dimana pertentangan diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak atau oleh suatu badan yang kedudukannya lebih tinggi darii hak-pihak yang bertentangan; (4) Toleration adalah suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal. kadangkala toleransi timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan untuk menghindari terjadinya perselisihan; (5) Stalemate adalah bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang bertentangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang, berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangan; dan (6) Adjudication adalah penyelesaian perkara atau sengketa melalui pengadilan. 2.2 Tinjauan Tentang Budaya Kata kebudayaan berasal dari kata saneketa “budhaya” ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Kata budaya dalam bahasa inggris berasal dari kata culture, bahasa belanda diistilahkan dengan kata cultur, bahasa latin, berasal dari kata colera. Colera berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan tanah (bertani) Elly M. Setiadi (2007: 2). Pendapat lain yang mengatakan bahwa asal kata kebudayaan itu ialah suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal Koentjaraningrat (2004: 9) Para ahli ilmu sosial mengartikan konsep kebudayaan itu dalam arti yang amat luas yaitu seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada nalurinya, dan arena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah
15 prose belajar. Konsep ini adalah amat luas karena meliputi hampir seluruh aktifitas manusia dalam kehidupan. Luasnya cakupan kebudayaan, maka guna keperluan analisis konsep kebudayaan itu perlu dipecahkan lagi kedalam unsur-unsurnya. Koentjaraningrat (2004: 2), membagikan unsur-unsur kebudayaan kedalam tujuh unsur diantaranya adalah sebagai berikut. (a) Sistem religi dan upacara kebudayaan (b) Sistem dan organisasi kemasyarakatan (c) Sistem pengetahuan (d) Bahasa (e) Kesenian (f) sistem mata pencaharian (g) sistem teknologi. Ketujuh unsur-unsur tersebut masing-masing dapat dipecah lagi kedalam sub unsur-unsurnya. Demikian ketujuh unsur kebudayaan universal ini mencakup seluruh kebudayaan makhluk manusia yang ada di dunia ini, dan menunjukkan ruang lingkup dari kebudayaan serta isi dari konsepnya. Seorang ahli antropologi, yaitu E.B Tylor (dalam Ismail, 2007: 16) memberikan definisi mengenai “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan-kemampuannya serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Pendapat lain Supartono, (2001: 34) mengatakan bahwa kebudayaan adalah manifestasi dari cara berfikir sehingga menurutnya pola kebudayaan itu sangat luas, sebab semua tingkah laku dan perbuatan Tercakup didalamnya dan dapat diungkapkan pada basis dan cara berfikir, termasuk didalamnya perasaan karena perasaan juga merupakan maksud dari pikiran. Kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, dimana unsur pembetukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya. Joko Triprasety dkk, (2004: 8).
16 Selanjutnya Elly M Setiadi, (2007: 28) kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia. Berdasarkan beberapa pendapat para pakar di atas dapat di simpulkan bahwa kebudayaan adalah pada dasarnya memiliki sifat sebagai sesuatu yang berubah, karena kebudayaan memiliki aspek tradisi, yaitu sesuatu yang diwariskan dan diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebudayaan tidaklah bersifat statis dan mandek begitu saja, namun dalam menjaga tradisi diperlukan juga untuk melihat relevansinya untuk masa kini dan masa yang akan datang bagi upaya pelestarian. 2.3 Tinjauan Tentang Etnis Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk di mana masyarakatnya terdiri dari bermacam-macam suku, agama, budaya, ras, dan golongan. Oleh sebab itu, interaksi antarbudaya dan antar agama adalah realitas sosial yang tidak dapat dihindari dalam masyarakat Interaksi dan komunikasi antar umat beragama yang tidak dikelola secara baik dapat menggangu kerukunan dan keharmonisan bahkan dapat menimbulkan konflik horizontal antar umat beragama tersebut. Manusia merupakan makhluk yang berbudaya. Kebudayaan tersebut merupakan karya, karsa, dan cipta manusia yang dipelajari dari generasi ke generasi selanjutnya. Akan tetapi kebudayaan setiap daerah terdapat perbedaan-perbedaan yang dipengaruhi oleh sebagai faktor, misalnya faktor lingkungan alam sekitarnya atau geografisnya. Salah satu faktor tersebut, maka terdapatlah perbedaan dalam pola kelakuan manusia. Adanya perbedaan inilah maka munculnya yang disebut sebagai etnis.
17 Narool (dalam Ismail, 1988: 11) mengemukakan bahwa kelompok etnis dikenal sebagai sebuah populasi yang secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, serta menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dapat dibedakan dari kelompok populasi lainnya. M. Zani Hasan (1996: 99) mengemukakan bahwa kelompok etnis adalah sekumpulan individu yang merasa sebagai suatu kelompok karena kesamaan identitas, nilai-nilai sosial yang dijunjung bersama pola tingkah laku yang sama, dan unsur budaya lainnya yang secara nyata berbeda dibandingkan kelompok-kelompok lainnya. Peranan etnis itu mempengaruhi manusia, tetapi manusia selalu memerlukan interaksi sosial dengan manusia di luar etnisnya atau kelompoknya di Indonesia terdiri dari berbagai etnis atau suku bangsa. Meskipun demikian, komunikasi antara satu daerah atau etnis lainnya tetap terlaksana dengan baik. Young (dalam Ismail, 1994: 95) mengemukakan bahwa ada beberapa atribut yang terkait dengan pengelompokan etnis antara lain bahasa, daerah, wilayah (territory) tempat asal-usul pemukiman, unit politik/pemerintahan lokal atau nilai dan simbol budaya bersama. Boleh saja salah satu dari atribut tersebut tidak memiliki oleh salah satu kelompok etnis tertentu, tetapi penggunaan bahasa daerah (etnis) dapat dikatakan sebagai identitas umum. Secara operasional sebuah kelompok dapat didefinisikan sebagai kumpulan manusia yang memiliki yaitu: (a) Mempunyai kesamaan bentuk pola tingkah laku yang normative yang didapati dalam konteks hubungan sosial seperti dalam
18 kekerabatan, perkawinan, persahabatan, ritual, dan bentuk simbol lainya. (b) Merupakan bentuk dari suatu bagian populasi yang lebih besar, yang terintegrasi dalam kerangka kerja dari suatu sistem sosial. Ditinjau dari aspek sosiologi maka kelompok etnis dapat dipandang sebagai suatu
tatanan sosial. Hal ini menentukan adanya batasan dari definisi tentang
kelompok etnis di atas yaitu menentukan ciri khasnya sendiri yang bersifat kategoris adalah ciri khas yang mendasar dan secara umum menentukan seorang termasuk etnis manapun, dan ini dapat diperkirakan dari latar belakang asal usulnya kelompok etnis sebagai tatanan sosial terbentuk bila seorang menggunakan identitas etnis dalam mengkategorikan dirinya dan orang lain untuk tujuan interaksi. Uraian di atas menunjukan bahwa meskipun manusia terdapat berbagai kelompok etnis namun manusia tetap berhasrat untuk berinteraksi dengan sesamanya kenyataan tersebut menunjukkan bahwa antara kebudayaan dan masyarakat tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya dan merupakan suatu dwi tunggal. Masyarakat adalah orang yang hidup bersama menghasilkan kebudayaan. Tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan demikian sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah penduduknya.