BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Poligami atau menikahi lebih dari seorang isteri bukan merupakan masalah baru, ia telah ada dalam kehidupan manusia sejak dulu kala di antara berbagai kelompok masyarakat di berbagai kawasan dunia. Orang-orang Arab telah berpoligami bahkan jauh sebelum kedatangan Islam, demikian pula masyarakat lain di sebagian besar kawasan dunia selama masa itu. Bentuk poligami ini telah dikenal di antara orang-orang Medes, Babilonia, Abbesinia dan Persia. Di Persia, prinsip poligami merupakan basis keluarga. Jumlah isteri yang dapat dipunyai seorang laki-laki bergantung pada kemampuan ekonominya.1 Nabi Muhammad membolehkan poligami diantara masyarakatnya karena ia telah dipraktikkan juga oleh orang-orang Yunani yang di antaranya bahkan seorang isteri bukan hanya dapat dipertukarkan, tetapi juga bisa diperjualbelikan secara lazim diantara mereka. Hal serupa bisa dijumpai di Romawi pada masa Romawi Kuno, dimana kedudukan wanita mencapai titik terendahnya.2 Bentuk poligami juga merupakan kebiasaan di antara suku-suku mayarakat di Afrika, Australia serta Mormon di Amerika. 3
1
M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi, Studi Historis Kafa’ah Syarifah, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm. 29. 2 Nawal El Sadaawi, The Hiden Face of Eve,Terj.Zulhilmiyasri, Perempuan Dalam Budaya Patriarki, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. I, 2001, hlm. 223. Lihat juga Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, hlm. 37. 3 Abdurrahman I. Doi, Perkawinan Dalam Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 43.
1
2 Poligami4 juga sudah menjadi hal yang biasa di kalangan keluarga kerajaan Inggris, misalnya Raja Charles mempunyai selir yang tenar bernama Nell Gwyn, Raja Edward VII dengan selirnya bernama Mrs.Koppel, bahkan Raja Henry VIII yang mempunyai selir sampai 8 orang, sebagian berganti-ganti atau bersama-sama.5 Dalam ajaran Islam, poligami dibolehkan dengan batasan 4 (empat) orang isteri dalam waktu yang bersamaan, sebagaimana dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ : 3, yang artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. 6
Disebutkan pula dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ : 129, yang artinya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan berbuat adil di antara isteri-isterimu, walau kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. 7
Kedua ayat tersebut di atas dengan jelas menunjukkan bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Kebolehan poligami, apabila 4
Istri poligami di Inggris dikenal dengan sebutan mistress. Mistress ini lebih tepat dikatakan sebagai isteri simpanan atau gundik. Pada tahun 1975, parlemen Inggris mulai membicarakan semacam legalisasi bagi mistress, sehingga posisinya setara dengan isteri yang sah, khususnya dalam hal harta warisan. 5 M. Thalib, Analisa Wanita Dalam Bimbingan Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1996, hlm. 178. 6 R.H.A. Soenarjo, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bumi Restu, Jakarta, 1976, hlm. 115 7 Ibid., hlm. 143 – 144.
3
syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan suami kepada isteri-isteri terpenuhi. Dan syarat keadilan ini menurut ayat 129 di atas, terutama dalam hal membagi cinta, tidak akan dapat dilakukan. Namun demikian, hukum Islam tidak menutup rapat-rapat kemungkinan untuk berpoligami, atau beristeri lebih dari seorang perempuan, sepanjang persyaratan keadilan di antara isteri dapat dipenuhi dengan baik. 8 Bila ditarik dalam konteks keindonesiaan—yang mempunyai dasar hukum perkawinan—sebagaimana dalam UU No. 1 Tahun 1974, tentang perkawinan, maka terdapat beberapa syarat / prosedur poligami. Pasal 3 ayat (1) Pada
asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Ayat (2) Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. 9 Pasal 4 ayat (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Ayat (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: (a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; (b)
8
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet. Ketiga, 1998, hlm. 170. 9 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum; Lampiran II UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, hlm. 96 – 97.
4
isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Selanjutnya dalam UU No.1 Tahun 1974 pasal 5 ayat (1) untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (a) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; (b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; (c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteriisteri dan anak-anak mereka. Ayat (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteriisterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurangkurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. 10 Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) bab IX pasal 56 ayat (1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Ayat (2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Ayat (3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum11.
10
Bahan Penyuluhan Hukum, Op. Cit., hlm. 97. Cik Hasan Bisri (et. al.); editor, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Logos Wacana Ilmu, Cet.1, 1999, hlm. 152. 11
5
Hukum Perkawinan Indonesia (selanjutnya disingkat HPI) yang menyebutkan tentang ketentuan atau persyaratan bagi suami yang akan melangsungkan perkawinan poligami diterangkan lebih mendetail dalam Inpres No. 1 Tahun 1991, tentang Kompilasi Hukum Islam, buku I tentang hukum perkawinan. Dengan demikian ada sedikit kekurangjelasan untuk tidak mengatakan terdapat perbedaan antara syari’at Islam (baca : hukum Islam)12 yang mengatur tentang syarat/prosedur poligami dengan HPI, sebagaimana dalam UU No. 1 Tahun 1974, tentang perkawinan serta buku I tentang hukum perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam. Sungguhpun bisa dilihat dengan jelas bahwa dalam UU No. 1 Tahun 1974 referensinya didominasi oleh syari’at Islam (Hukum Islam), apalagi dalam materi Kompilasi Hukum Islam, namun tidak dapat dipungkiri dalam dataran praksis di masyarakat terjadi semacam polemik terhadap permasalahan poligami. Puspo Wardoyo,13 pelaku poligami yang juga seorang pengusaha rumah makan yang tinggal di Semarang ini dengan gencarnya melalui beberapa media “mengkampanyekan” poligami sebagai suatu solusi untuk menghindari perzinaan.14
12 Istilah “Hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari al-syari’ah al-Islamy, dalam wacana ahli hukum Barat digunakan Islamic Law. Selanjutnya, lihat Ahmad Rofiq, Op.Cit., hlm. 3. 13 Beberapa tulisan Puspo Wardoyo tentang poligami bisa dilihat di Jawa Pos, Radar Semarang dalam rubrik Wacana Poligami, tahun 2001-2002. 14 Puspo Wardoyo dalam “Beristeri Lebih dari Satu Merupakan Solusi”, Jawa Pos, Radar Semarang, 25 September 2001.
6
Sebagai warga negara Indonesia yang beragama Islam, dalam konteks poligami ini nampaknya harus memilih apakah cukup hanya dengan menggunakan
dasar
syari’at
Islam—yang
lebih
administrasinya15—ataukah harus tunduk dan
patuh
ringan
dari
terhadap
segi hukum
perkawinan Indonesia yang relatif lebih rumit prosedur dan administrasinya? Berdasarkan uraian di atas, mendorong penulis untuk meneliti pendapat masyarakat terhadap permasalahan poligami ditinjau dari hukum Islam dan HPI. Dalam hal ini peneliti akan memfokuskan obyek penelitiannya di Desa Karangmangu Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang. Untuk memudahkan pemetaan terhadap penelitian ini maka perlu penulis uraikan semacam definisi operasional sebagai dasar dan ruang lingkup pembahasan. Dalam definisi operasional penelitian ini akan diuraikan petunjuk pelaksanaan yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel Dalam penelitian ini terdapat dua jenis variabel, variabel pengaruh dan
variabel
terpengaruh.
Variabel
pengaruh
adalah
kondisi
individu/masyarakat dengan tiga sub variabel, yaitu (a) jenis kelamin, (b) tingkat pendidikan, dan (c) status ekonomi
15
Yang dimaksud “ringan dari segi administrasinya” adalah teks dasar hukum poligami dalam Hukum Islam (al-Qur’an dan Hadis) hanya menyebutkan syarat ‘keadilan’ dalam poligami. Teks tersebut tidak menyebutkan secara langsung bagaimana teknis operasionalnya. Sebaliknya, pada penjelasan selanjutnya saya mengistilahkan syarat poligami dalam Hukum Perkawinan Indonesia ”lebih rumit prosedur dan administrasinya”, tak lain adalah untuk membandingkan prosedur poligami dalam Hukum Perkawinan Indonesia—sebagaimana dalam UU No. 1 Th. 1974, tentang Perkawinan dan KHI—disebutkan dengan tegas beberapa syarat dan prosedur poligami. Lihat pasal 3 – 5 UU Perkawinan No. 1 Th. 1974 jo. pasal 55 – 59 KHI.
7
a.1.
Latar belakang jenis kelamin adalah jenis kelamin masing-masing responden; laki-laki atau perempuan.
a.2. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang dimiliki responden pada saat penelitian berlangsung. Tingkat pendidikan dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi 2 kelompok. Pendidikan rendah, yaitu responden yang maksimal menempuh pendidikan terakhir di SD/sederajat dan pendidikan tinggi adalah responden yang telah lulus dari SLTP, SLTA, sedang kuliah dan sarjana. a.3. Status ekonomi adalah kondisi perekonomian responden yang dipresentasikan dengan penghasilan tiap bulan. Dalam penelitian ini status ekonomi dikategorikan menjadi 2 kelompok. Ekonomi rendah adalah responden yang penghasilan tiap bulannya di bawah Rp. 500.000,00, dan ekonomi tinggi adalah responden yang penghasilan tiap bulannya di atas diatas Rp. 500.000,00 Sedangkan
variabel
terpengaruh
adalah
pendapat
masyarakat tentang poligami, dengan indikator syarat/prosedur poligami. Syarat/prosedur poligami sebagaimana aturan dalam HPI Dasar inilah yang akan dijadikan acuan dalam analisis dan kesimpulan bahwa responden yang “setuju” dengan syarat/prosedur poligami sebagaimana dalam HPI, adalah orang yang cenderung menerapkan Hukum Perkawinan Indonesia.
8
Selanjutnya, dalam penelitian ini penulis mengajukan suatu hipotesis atau semacam asumsi awal dalam penelitian. Hipotesis berasal dari dua penggalan kata, yaitu “hipo” yang artinya di bawah dan “thesa” yang artinya kebenaran.16 Hipotesis adalah dugaan yang mungkin benar, atau mungkin juga salah.17 Jadi hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris.18 Adapun hipotesis yang peneliti ajukan dalam penelitian ini “Ada pengaruh signifikan antara jenis kelamin,
tingkat pendidikan, dan status
ekonomi terhadap pendapat responden tentang syarat dan prosedur poligami dalam HPI”. B. Rumusan Masalah Menurut Suharsimi Arikunto, permasalahan yang paling baik adalah apabila masalah itu datang dari dirinya sendiri karena didorong oleh kebutuhan memperoleh jawabannya. 19 Sehingga disini ada permasalahan yang kami kelompokkan menjadi dua, yaitu permasalahan pokok dan permasalahan sub pokok. Permasalahan pokok dalam penelitian ini, yaitu : Bagaimanakah pendapat masyarakat Desa Karangmangu Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang tentang syarat/prosedur poligami, apakah cenderung kepada Hukum Perkawinan Indonesia atau Hukum Islam (fiqh)?
16
Suharsimi Arikunto, Op. Cit, hlm. 68. Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Andi Offset, Jilid I, Yogyakarta, 2001, hlm. 63. 18 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000, 17
hlm. 69. 19
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Yogyakarta, 1993, hlm. 22.
9
Dalam permasalahan ini, ada tiga variabel yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu jenis kelamin, tingkat pendidikan dan status ekonomi. Responden laki-laki mungkin akan mempunyai pendapat berbeda dengan responden perempuan terhadap persoalan poligami sebagaimana yang diataur dalam HPI. Respoden laki-laki mungkin banyak yang menolak syarat dan prosedur poligami dalam Hukum Perkawinan Indonesia. Sebaliknya, responden perempuan kemungkinan besar lebih menerima syarat dan prosedur poligami dalam HPI karena dipandang cukup melindungi hak-hak mereka (kaum perempuan). Responden yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi mungkin lebih memahami dan menerima syarat dan prosedur poligami dalam HPI karena mempunyai nuansa keadilan dan kesetaraan jender, hal ini mungkin berbeda dengan responden yang mempunyai tingkat pendidikan rendah yang belum mempunyai pemikiran dan pemahaman kearah tersebut. Responden yang mempunyai status ekonomi tinggi berpeluang untuk tidak menerima syarat dan prosedur poligami dalam HPI karena dipandang terlalu sulit birokrasinya, sedangkan biasanya kalangan ekonomi tinggi lebih “berpotensi”20 dalam hal poligami daripada mereka yang mempunyai status ekonomi rendah. Adapun sub pokok permasalahannya adalah :
20
Istilah “potensi” disini maksudnya adalah lebih mempunyai peluang atau kemungkinan untuk berpoligami karena lebih memiliki sarana, fasilitas yang mendukungnya, yakni uang atau harta benda, dialah yang konon disebut orang kaya (Jawa: sugih). Berbeda dengan (maaf) orang miskin yang tidak mempunyai cukup uang, akan berpikir ulang ketika hendak berpoligami karena akan menambah beban ekonominya. Sedangkan naluri (biologis) untuk poligami bagi setiap orang sehat dan normal tidaklah jauh berbeda.
10
-
Apakah latar belakang jenis kelamin responden berpengaruh terhadap pendapat tentang poligami?
-
Apakah tingkat pendidikan responden berpengaruh terhadap pendapat tentang poligami?
-
Apakah status ekonomi responden berpengaruh terhadap pendapat tentang poligami?
C. Tujuan Penelitian Tujuan pokok yang yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pendapat masyarakat Desa Karangmangu Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang tentang poligami. Adapun fokus tujuan pokok ini adalah: 1. Untuk mengetahui pengaruh jenis kelamin responden terhadap pendapat tentang poligami. 2. Untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan responden terhadap pendapat tentang poligami. 3. Untuk mengetahui pengaruh status ekonomi responden terhadap pendapat tentang poligami.
11
D. Telaah Pustaka Sejarah umat manusia sudah membuktikan, bahwa perkawinan monogami tidak dapat dipertahankan dengan ketat, negara Barat menunjukkan keadaan tersebut. Agama Islam membolehkan orang berpoligami, tapi terbatas, tidak boleh lebih dari empat, sedangkan para isteri serta anak-anak mempunyai hak yang sama. Pembahasan masalah poligami telah banyak dikupas oleh intelektual muslim, ahli fiqih, pakar hadits, pakar hukum, sejarawan, dalam kajian hukum Islam ataupun dalam perspektif lain semisal hukum perkawinan di Indonesia. Muthahhari, Murtadha dalam bukunya “The Right of Women in Islam”, dalam sub babnya membahas poligami dari berbagai perspektif. Mulai dari tinjauan historis dan bentuk atau macam-macam poligami di berbagai penjuru dunia hingga pada persoalan poligami dalam perspektif Islam. “Pada zaman dahulu tidak seperti di zaman sekarang, mempunyai banyak isteri dan banyak anak adalah menguntungkan pria secara ekonomis. Kaum pria biasa menyuruh isteri dan anaknya untuk bekerja sebagai budak, dan sekali-kali menjual anaknya”.21 Selanjutnya, Bibit Suprapto, dalam bukunya “Liku-Liku Poligami”, berbicara panjang lebar tentang poligami, latar belakang dan motivasi poligami juga diterangkan dalam buku ini, misalnya jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki22 adalah salah satu alasan atau latarbelakang poligami. Dan tidak usah jauh-jauh, Dr. H. Ahmad Rofiq, MA., mantan Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, sebelum selesai studi program doktoralnya, 21 Murtadha Mutahhari, The Right of Women in Islam, Hak-Hak Wanita Dalam Islam, terj. M. Hashem, PT. Lentera Baseitama, Jakarta, 2000, hlm. 225. 22 Bibit Suprapto, Liku-Liku Poligami, Al-Kautsar, Yogyakarta, 1990, hlm. 61.
12
sempat menulis buku “Hukum Islam Di Indonesia”. Proses “adaptasi” hukum Islam dengan hukum adat serta produk hukum “warisan” Belanda diterangkan cukup “gamblang” dalam buku ini. Masalah poligami juga dibahas dalam kajian hukum Islam dan difokuskan pada kajian hukum perkawinan. Syarat dan prosedur poligami didasarkan pada apa yang tercantum dalam pasal 4 (2) UU Perkawinan dan juga KHI. Menurut Ahmad Rofiq, bahwa syarat/prosedur poligami sebagaimana dalam UU No. 1 Th. 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah mengacu kepada tujuan pokok perkawinan itu dilaksanakan, yaitu membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau dalam rumusan kompilassi, yang sakinah, mawaddah dan rahmah.23 Beberapa literatur di atas hanyalah sebagian kecil dari buku-buku yang membahas poligami. Dalam konteks penulisan skripsi, penulis mengakui ada mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo yang telah menulis skripsi dengan tema poligami, misalnya saudara Istiqomah, menulis skripsi dengan judul “Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Ambarawa Nomor 473/pdt.6/1997/PA.AMB tentang Izin Poligami Karena Isteri Menderita Tumor Rahim”. Dan bahkan bersamaan dengan penulisan skripsi ini, saudara Ifarotul Mukhanida, pada fakultas yang sama juga menulis skripsi tentang poligami dengan judul, “Studi Analisis Terhadap Pemikiran Mahmoud Mohamed Taha Tentang Penolakan Poligami Dalam Hukum Islam”. Untuk skripsi yang disebut
23
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet. Ketiga, 1998, hlm.171.
13
terakhir ini mengkaji pendapat atau pemikiran Mahmoud Mohamed Taha tentang pembatasan poligami dalam hukum Islam. Dalam penelitian “Pendapat Masyarakat Desa karangmangu Kec. Sarang Kab. Rembang tentang Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia”, penulis mencermati fenomena / realitas di masyarakat terhadap persoalan poligami. Masyarakat Indonesia—yang mayoritas beragama Islam—tentu ada yang menerapkan praktek poligami berdasarkan hukum Islam an sich, namun ada juga yang menerapkan hukum perkawinan Indonesia, yang salah satu sumbernya adalah hukum Islam itu sendiri. Dalam penulisan skripsi ini, penulis membahas permasalahan poligami melalui penelitian dengan pendekatan kuantitatif dalam bentuk statistik.24 E. Metode Penelitian 1. Metode Penerapan Obyek Penelitian a. Populasi dan Sampel Yang dimaksud dengan populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Sedangkan sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti25. Namun, populasi sering disalahdefinisikan sebagai keseluruhan penduduk, populasi tidaklah sama dengan penduduk.26 Dalam penelitian ini, target populasinya adalah
warga
masyarakat di Desa Karangmangu yang berusia 17 tahun ke atas dan
24
Istilah “Polling” mungkin lebih tepat untuk menyebut format penelitian ini. Namun dalam polling ini disertai dengan beberapa landasan hukum dan teori tentang poligami serta penulisannya disusun sesuai dengan buku panduan penulisan skripsi pada Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, sehingga lahirlah “semacam skripsi” dari hasil polling tersebut. 25 Suharsimi Arikunto., Op. Cit. hlm. 115. 26 Eriyanto, Metodologi Polling, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hlm 87.
14
beragama Islam. Untuk sekadar ancer-ancer maka apabila subyeknya kurang dari 100, maka lebih baik diambil semua sehinga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10 – 15 %, atau 20 – 25 % atau lebih.27 Untuk menentukan jumlah sampel, maka perlu diperhatikan proporsi variasi, atau keragaman populasi, kesalahan yang ditoleransi dan tingkat kepercayaan. Ketiga faktor tersebut berkaitan dalam menentukan tingkat kesalahan (sampling error).
28
Lazimnya, semakin
kecil nilai sampling error, berarti semakin baik hasil suatu penelitian karena sampelnya cukup mewakili dari populasi. Makin besar sampel maka makin kecil sampling error, tetapi penambahan sampel akan memperbesar nonsampling error.29 Nilai dari sampling error dapat diduga sesuai dengan kebutuhan kita, tetapi nonsampling error30 kadang-kadang tidak dapat direncanakan, ia hanya bisa dikontrol. Berdasarkan pengamatan peneliti, target populasi masyarakat di Desa
Karangmangu Kec. Sarang Kab. Rembang usia 17 tahun keatas
yang beragama Islam relatif homogen, perbedaan tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi tidak besar. Berdasarkan data penduduk Desa Karangmangu tahun 2001, jumlah penduduk yang berusia 15 (lima belas) tahun ke atas sejumlah 2.612 orang. Dengan menggunakan rasio fertilitas, pertumbuhan jumlah penduduk Desa Karangmangu tahun 2002 27
Suharsimi Arikunto, Op.Cit., hlm. 120. Eriyanto, Ibid., hlm 122. 29 Ibid., hlm. 128. 30 Munculnya nonsampling error rentan terjadi pada kelemahan penyusunan kuisioner, wawancara, analisis data dan hal-hal teknis lainnya di luar pengambilan sampel. 28
15
yang berusia 17 tahun ke atas adalah sekitar 2750 orang. Jumlah sampel 10 % dari populasi tersebut adalah 275, namun untuk mendapatkan angka bulat dan seimbang bila dibagi dalam 2 klasifikasi berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), maka jumlah responden dibulatkan menjadi 275 + 1 = 276. Sehingga dalam penelitian ini di ambil 276 orang warga sebagai responden penelitian. b. Teknik Sampling Teknik penarikan sampel yang akan digunakan adalah sampel kuota (quota sampling). Langkah pertama dalam melakukan metode adalah dengan membuat identifikasi kategori atau karakteristik dari orang yang akan dijadikan sampel (laki-laki-perempuan, pendidikan tinggi-rendah, dan sebagainya) kemudian memutuskan berapa banyak orang yang ingin dimasukkan dalam setiap kategori.31 Selanjutnya penyelidikan segera dilaksanakan jika quota tersebut telah dipastikan.32 Beberapa kategori sampel terdapat dalam lampiran kuisioner, yang terdiri atas jenis kelamin, tingkat pendidikan, status ekonomi dan beberapa data (identifikasi) pendukung lainnya. Prosentase dari masingmasing kategori tersebut diambil sama.33 2. Variabel Penelitian.
31
Eriyanto, Op. Cit., hlm. 108. Sutrisno Hadi, Statistik Jilid 2, Andi, Yogyakarta, 2001, hlm. 227. 33 Tiap kategori dibagi lagi kedalam dua bagian (sel). Kategori jenis kelamin ada dua, laki-laki-perempuan, tingkat pendidikan dibagi dalam dua sel, pendidikan rendah-pendidikan tinggi, dan status ekonomi juga demikian, ekonomi rendah-tinggi. 32
16
Variabel adalah segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian.34 Dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) variabel, yaitu independent variable (variabel pengaruh) dan dependent variable (variabel terpengaruh). a. Sebagai variabel pengaruh berperan memberikan pengaruh, yaitu kondisi individu/masyarakat dengan sub variabel: 1. Jenis kelamin 2. Tingkat pendidikan 3. Status ekonomi b. Sebagai variabel terpengaruh atau variabel terikat, yaitu variabel yang mendapatkan pengaruh, yakni pendapat responden tentang poligami, dengan indikator : 1. Pendapat tentang syarat dan prosedur poligami Adapun data yang dihimpun adalah : a. Data Umum - Jumlah penduduk - Kondisi pendidikan - Kondisi ekonomi b. Data Khusus - Syarat dan prosedur poligami, perspektif hukum Islam dan hukum perkawinan Indonesia - Analisis kondisi responden berdasarkan pada :
34
Sumadi Suryabrata, Op. Cit., hlm. 72.
17
-
Latar belakang jenis kelamin
-
Tingkat pendidikan
-
Status ekonomi
3. Metode Pengumpulan Data Jenis penelitian ini field researh yaitu penelitian lapangan. Tujuannya untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang, dan interaksi lingkungan sesuatu unit sosial: individu, kelompok, lembaga, atau masyarakat.35 Dalam pelaksanaan penelitian ini digunakan beberapa metode, yaitu : a. Metode Observasi Metode observasi adalah metode atau cara-cara menganalisis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung.36 Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang gambaran umum Desa Karangmangu Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang. b. Metode Interviu Metode interviu adalah metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penyelidikan.37 Metode ini digunakan untuk memperoleh data pembagian wilayah/geografis, adat-istiadat masyarakat dan lainnya yang berkaitan dengan penelitian.
35
Sumadi Suryabrata , Op. Cit., hlm. 22. Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Remadja Rosda Karya, Bandung, 1986, hlm. 191. 37 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Op.Cit., hlm. 193. 36
18
c. Metode Angket/Kuisioner Kuisioner atau angket adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti tentang pribadinya, atas hal-hal yang ia ketahui.38 Tujuan pokok pembuatan kuisioner adalah untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian dan memperoleh informasi dengan reliabilitas dan validitas setinggi mungkin.39 Kuisioner ini digunakan untuk memperoleh data tentang pendapat masyarakat Desa Karangmangu Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang tentang poligami. Disamping itu, kuisioner ini juga memuat identitas responden yang selanjutnya akan dijadikan acuan dalam pengolahan dan analisis data. d. Metode Dokumentasi Metode dokumentasi adalah cara pengumpulan data dengan mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda dan sebagainya.40 Metode ini digunakan untuk memperoleh data mengenai letak geografis, jumlah penduduk, kondisi pendidikan, sosial ekonomi serta hal-hal lain yang akan diperkuat dengan penelitian. 4. Metode Analisis Data Sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, bahwa penelitian ini berbentuk “deskriptif” yang diolah dalam bentuk statistik. Statistik 38
Suharsimi Arikunto, Op. Cit., hlm. 140. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Op. Cit., hlm. 175. 40 Suharsimi Arikunto, Op. Cit., hlm. 236. 39
19
deskriptif lebih berhubungan dengan pengumpulan dan peringkasan data, serta penyajian hasil peringkasan tersebut.41 Maka dalam tahap pengolahan data akan dilakukan dengan model tabulasi silang. Inti dari tabulasi silang adalah untuk melihat apakah dua variabel atau lebih saling berhubungan.42 Langkah pertama dalam tabulasi ini ialah membuat klasifikasi. Skema klasifikasi pada umumnya sudah disusun sebelum semua data terkumpul, yang kemudian disempurnakan lagi sesudah semua data masuk.43 Tabulasi silang tersebut diolah langsung dalam komputer dengan program SPSS, menggunakan metode crosstabs dan analisis chi square. Hasil tabel crosstabs tersebut akan lebih mudah “dibaca” variasi pendapat masyarakat Desa Karangmangu Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang tentang poligami, perspektif hukum Islam dan hukum perkawinan Indonesia untuk beberapa variabel penelitian. Selanjutnya data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan model chi kuadrat (chi square / X2), yaitu teknik analisis statistik untuk mengetahui signifikansi perbedaan antara proporsi subyek atau obyek penelitian yang datanya telah terkategorisasikan.44 Dengan adanya uji signifikansi sebagaimana dalam hipotesis, maka jenis penleitian ini adalah statistik inferensial untuk pengetesan hipotesa.
41
Singgih Santoso, SPSS (Statistical Product and Service Solutions), Elex Media Komputindo, Jakarta, 1999, hlm. 68. 42 Eriyanto, Op. Cit., hlm. 324. 43 Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, CV. Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 332. 44 Eriyanto, Op. Cit., hlm. 336.
20
Walaupun sebenarnya jenis penelitian ini menuntut sampel random (random sampling) dalam penyelidikannya, namun proporsionalitas subgolongan tidak menjadi syarat mutlak. Malahan dalam tiap-tiap subgolongan diharuskan sama,45 atau dengan sistem quota. Proses pengolahan data statistik dalam skripsi ini merupakan aplikasi chi square dalam program SPSS. Dengan demikian pengolahan data statistik tidak dihitung dengan rumus “manual”. Adapun
rumus
“manual” perhitungan chi square adalah : X2 = Σ (O – E )2 E Keterangan : O = frekuensi yang diamati dalam sampel penelitian E = frekuensi yang diharapkan pada populasi penelitian F. Sistematika Penulisan Skripsi Gambaran mengenai rencana keseluruhan isi skripsi ini perlu penulis sampaikan sistematika penulisan skripsi sebagai berikut : Bab I, menjelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah dan tujuan penulisan skripsi yang berupa penelitian lapangan dengan pendekatan kuantitatif menggunakan model statistik inferensial46 dengan metode crosstabs dan analisis chi square.
45
Sutrisno Hadi, Statistik, Op.Cit., hlm. 256. Beberapa ahli statistik membedakan jenis statistik inferensial, yakni yang bertugas mengadakan ‘estimasi’ dan statistik inferensial yang berfungsi mengadakan ‘uji hipotesis’ (sebagaimana yang diterapkan dalam penelitian ini). Adapun statistik inferensial untuk estimasi memfokuskan perhatian pada kegiatan mengadakan estimasi tentang parameter dari penyelidikan terhadap sampel yang baik. 46
21
Pada bab II, akan dikemukakan landasan teori sebagai bahan acuan mengkaji rumusan masalah yang akan dibahas. Dalam hal ini secara teoritik Islam membolehkan poligami dengan batasan sampai empat orang isteri. Ada persyaratan semisal adil terhadap isteri-isteri. Sedangkan hukum perkawinan Indonesia yang antara lain berpijak pada UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) menjelaskan beberapa syarat/prosedur poligami yang relatif rumit jika dibandingkan dengan dasar hukum poligami dari hukum Islam. Bab III merupakan data-data dari penelitian yang akan dikumpulkan melalui kuisioner berupa pendapat masyarakat Desa Karangmangu. Kuisioner memuat pilihan mengenai syarat/prosedur poligami sebagaimana dalam HPI. Kuisioner ini juga memuat identitas responden, yang diklasifikasi berdasarkan jenjang pendidikan, status ekonomi, dan jenis kelamin sebagai bahan acuan dalam pengolahan data yang diterangkan pada bab berikutnya. Pada bab IV akan dianalisis materi dari bab III, yakni kondisi responden yang terdapat pada kuisioner. Selanjutnya dalam bab ini juga dianalisis pendapat masyarakat Desa Karangmangu tentang Poligami dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia berdasarkan variabel yang telah ditentukan, yaitu tingkat pendidikan, status ekonomi dan jenis kelamin sebagai variabel kontrol. Bab V, sebagai bab penutup atas keseluruhan isi skripsi ini menyimpulkan data yang dihasilkan dari bab IV, serta masukan berupa saransaran yang dianggap perlu dan penutup.