BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori Pengembangan wilayah diartikan sebagai upaya untuk menciptakan pertumbuhan daerah yang ditandai dengan pemerataan pendapatan dalam seluruh sektor pada setiap bagian wilayah. Sektor unggulan haruslah menjadi perhatian utama bagi pemerintah untuk dikembangkan lebih dahulu, baru kemudian disusul oleh sektor lainnya yang kurang potensial. Investasi juga dibutuhkan terutama pada sektor-sektor yang memiliki potensi dan dapat meningkatkan pendapatan wilayah dalam jangka yang relatif singkat. 1.
Teori Pembangunan Ekonomi Menurut Todaro (2006) proses pembangunan paling tidak memiliki tiga tujuan inti yaitu i) peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan hidup yang pokok; ii) peningkatan standar hidup; dan iii) perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial. Menurut Maier (2001) pembangunan ekonomi merupakan suatu proses dimana pendapatan per kapita suatu negara meningkat selama kurun waktu yang panjang, dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah “garis kemiskinan absolut” tidak meningkat dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang. Peningkatan pendapatan per kapita dalam jangka panjang merupakan kunci dalam melihat suatu pengertian pembangunan ekonomi.
11
12
Laju pembangunan perekonomian suatu negara dapat diketahui melalui laju Produk Domestik Bruto (PDB). Apabila nilai dari pertambahan PDB tersebut lebih kecil ketimbang nilai pertambahan jumlah penduduk, maka PDB per kapita akan cenderung stagnan atau justru mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Hal tersebut megindikasikan bahwa PDB tidak memeberikan perbaikan terhadap kesejahteraan masyarakat dilihat dari sisi ekonomi. Sedangkan pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai peningkatan atau pertumbuhan PDB tanpa memperhatikan seberapa besar kenaikan jumlah penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi hanya di lihat dari segi ekonomi tanpa memperhatikan aspek lainnya. 2.
Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses yang mencakup pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industriindustri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru (Lincolin Arsyad, 1999). Dalam pembangunan ekonomi daerah diperlukan campur tangan pemerintah. Apabila pembangunan daerah diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar maka pembangunan dan hasilnya tidak dapat dirasakan oleh seluruh daerah secara merata dan tujuan dari pembangunan tersebut belum tentu dapat tercapai.
13
Adanya aglomerasi industri atau kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya pada suatu daerah dapat menyebabkan perbedaan tingkat pembanguna antar daerah yang mengakibatkan perbedaan tingkat kesejahteraan
daerah.
Ekspansi
ekonomi
suatu
daerah
dapat
mengakibatkan kerugian bagi daerah lain, oleh karena tenaga kerja, modal, perdagangan, akan berpindah ke daerah yang melakukan ekspansi tersebut. Maka dari itu, apabila proses perekomian diserahkan kepada mekanisme pasar justru akan mengakibatkan dampak yang kurang baik bagi daerah yang berkembang mapun maju. Hal tersebut dikarenakan mekanisme pasar justru dapat menganggu kestabilan ekonomi suatu negara. 3.
Teori Pertumbuhan Ekonomi Menurut Todaro (2000), pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a.
Pertumbuhan Penduduk dan Angkatan Kerja Pertumbuhan penduduk sangat berkaitan dengan jumlah angkatan kerja yang bekerja yang notabenya merupakan salah satu faktor
yang
akan
mempengaruhi
pertumbuhan
ekonomi.
Kemampuan pertumbuhan penduduk ini dipengaruhi seberapa besar perekonomian dapat menyerap angkatan kerja yang bekerja produktif.
14
b.
Akumulasi Modal Akumulasi modal merupakan gabungan dari investasi baru yang di dalamya mencakup lahan, peralatan fiskal dan sumber daya manusia yang digabung dengan pendapatan sekarang untuk dipergunakan memperbesar output pada masa datang.
c.
Kemajuan Teknologi Kemajuan teknologi menurut para ekonom merupakan faktor terpenting dalam terjadinya pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena kemajuan teknologi memberikan dampak besar karena dapat memberikan cara-cara baru dan menyempurnakan cara lama dalam melakukan suatu pekerjaan. Untuk mengetahui suatu perekonomian mengalami pertumbuhan,
maka harus mempertimbangakan PDRB riil satu tahun dengan PDRB riil tahun sebelumnya, difomulasikan sebagai berikut (Todaro, 2000):
..................................................(2.1) Dimana: Yit
= Pertumbuhan ekonomi tahun t
PDRBit
= PDRB tahun t
PDRBto
= PDRB tahun t-1
15
Dalam pembahasan kali ini, untuk mempermudah dalam memahami landasan teori maka akan bagi menjadi 3, yaitu landasan teori mengenai sektor unggulan, struktur ekonomi, dan ketimpangan. Berikut penjelasan dari masing-masing landasan teorinya: 1.
Sektor Unggulan a.
Teori Kutub Pertumbuhan (Growht Pole Theory) Growht Pole Theory adalah suatu teori yang dapat menggabungkan antara prinsip-prinsip konsentralisasi dengam desentralisasi secara sekaligus (Alonso dalam Sirojuzilam dan Mahalli, 2010). Dengan demikian teori pusat pertumbuhan merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan yang saling bertentangan
yaitu
tentang
pertumbuhan
dan
pemerataan
pembangunan keseluruh pelosok daerah. Selain itu teori ini dapat menggabungkan antara kebijkasanaan dan program pembangunan wilayah dan perkotaan terpadu. Teori ini dikembangkan oleh ahli ekonomi Perancis bernama Francois Perroux pada tahun 1955, inti dari teori ini adalah bahwa pertumbuhan tidak terjadi di setiap daerah, melainkan hanya pada daerah tertentu yang menjadi pusat kegiatan ekonomi saja. Untuk mencapai tingkat pendapatan yang tinggi, perlu dibangun pusatpusat perekonomian sehingga dapat menarik masyarakat untuk datang dan menjalankan kegiatan ekonomi. Pandangan beliau mengenai proses pertumbuhan adalah teori tata ruang ekonomi,
16
dimana industri memilki peranan awal dalam membangun sebuah pusat pertumbuhan ekonomi. Ada alasan mengapa pertumbuhan hanya dipusatkan disatu atau beberapa daerah tertentu. Hal tersebut dikarenkan apabila setiap daerah menjadi pusat pertumbuhan maka akan terjadi beberapa kerugian atau hambatan. Salah satu hambatan yang mungkin dihadapi adalah ketersediaan modal tenaga kerja. Oleh karena setiap daerah menjadi pusat pertumbuhan, maka dapat dimungkinkan penduduk di daerah tersebut akan bekerja di daerahnya masingmasing sehinnga bagi suatu perusahaan di daerah lain yang membutuhkan tambahan tenaga kerja akan kesulitan mencarinya. Adanya pemusatan pada daerah-daerah tertentu juga dilihat dari kemudahan akses jalan serta ketersediaan sarana prasarana yang memadahi sebagai daerah pusat pertumbuhan. Hal tersebut bukan berati daerah lain yang bukan merupakan pusat pertumbuhan tidak dapat berkembang. Adanya daerah yang menjadi pusat pertumbuhan diharapkan akan memberikan trickle down effect dan spread effect bagi daerah lainnya. Selain itu bagi daerah lain disektirar daerah pusat pertumbuhan dapat menjadi daerah penyokong bagi daerah pusat pertumbuhan. Menurut Stohr dalam Mercado (2002), konsep teori growth pole mengacu pada teori neo-klasik. Pembangunan dapat dimulai hanya dengan beberapa sektor unggulan atau dinamis, mampu
17
memberikan output rasio yang tinggi dan pada wilayah tertentu, dapat memberikan dampak yang luas (spread effect) dan dampa ganda (multiple effect) pada sektor lainnya. Maka dari itu, pembangunan memiliki makna yang sama dengan urbanisasi (pembangunan di wilayah perkotaan) dan industrialisasi (hanya pada sektor industri). Pandangan neo-klasik berprinsip bahwa kekuatan pasar akan menjamin terjadinya ekuilibrium dalam distribusi spasial ekonomi dan proses trickle down effect dengan sendirinya akan terjadi ketika kesejahteraan di daerah perkotaan tercapai. Dengan anggapan dimulai dari titk yang tinggi ke titik yang rendah, seperti dari kawasan perkotaan ke daerah yang lebih rendah kawansan pedesaan melalui beberapa mekanisme tertentu Namun demikian, kegagalan teori ini dikarenakan trickle down effect dan spread effect tidak terjadi yang diakibatkan karena aktivitas industri tidak mempunyai hubungan dengan basis sumberdaya di wilayah pedesaan. Selain itu respon pertumbuhan di pusat tidak cukup menjangkau wilayah pedesaan karena hanya untuk melengkapi kepentingan hirarki kota (Mercado, 2002). b. Teori Basis Ekonomi Teori basis ekonomi ini dikemukakan oleh Harry W. Richardson (1973) yang menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung
18
dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Teori ini membagi kegiatan produksi ke dalam beberapa jenis atau sektor yang dapat dikategorikan sebagai sektor basis dan non basis. Kegiatan basis adalah kegiatan yang bersifat exogenous yang artinya tidak terikat pada kondisi internal perekonomian wilayah dan sekaligus mendorong terciptanya lapangan usaha baru. Sedangkan kegiatan non basis bersifat endogenous yang berarti pertumbuhannya dipengaruhi kondisi umum perekonomian wilayah tersebut dan kegiatan non basis adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat daerah itu sendiri. Setiap perubahan yang terjadi pada sektor basis akan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) dalam perekonomian regional. Sektor basis adalah sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian bagi suatu daerah karena memiliki keunggulan komparatif yang cukup tinggi. Sedangkan sektor non basis adalah sektor-sektor lainnya yang kurang potensial tetapi berfungsi sebagai penunjang sektor basis. Sehingga dalam suatu perekonomian sektor non basis tetap harus di perhatikan guna mendorong keberadaan sektor basis. Mengetahui sektor basis dan non basis merupakan kebutuhan yang mutlak bagi suatu daerah. Hal tersebut dikarenakan penting bagi pemerintah sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan yang akan diambil. Dengan mengetahui sektor yang menjadi basis dan non basis diharapkan kebijakan yang diambil tidak
19
akan keliru, dimana sektor non basis diunggulkan dan merugikan sektor basis.
c.
Teori Pengembangan Wilayah Dalam banyak kajian mengenai pembangunan, terdapat beberapa pendekatan teori, beberapa diantaranya adalah growth theory, rural development theory, agro firts theory, basic needs theory,
dan
lain
sebagainya.
Teori-teori
tersebut
memiliki
pendekatannya masing-masing yang pada hakikatnya bertujuan menangani masalah keterbelakangan. Sejalan dengan perubahannya, teori pembangunan menjadi semkain kompleks, dengan demikian tidak ada definisi baku mengenai pembangunan, yang ada hanyalah usulan mengenai apa yang seharusnya diimplikasikan dalam pembangunan. Salah satu teori pembangunan wilayah dalah pertumbuhan tak berimbang (unbalanced growth) yang dikembangkan oleh Hirscham dan Myrdal (1958). Pengembangan wilayah merupakan proses pengimplementasian tujuan-tujuan pengembangan dalam skala sub urban. Pembangunan wilayah biasanya dilakukan menggunakan
sumber
daya
alam
secara
optimal
melalui
pengembangan ekonomi lokal, yaitu berdasarkan kepada kegiatan ekonomi dasar yang terjadi pada suatu wilayah tertentu.
20
Teori pertumbuhan tak berimbang menganggap bahwa suatu wilayah tidak berkembang jika terdapat keseimbangan, dengan demikian ketidakseimbangan sangat diperlukan. Seperti penanaman investasi yang tidak dapat di tanamkan pada seluruh sektor pada suatu wilayah secara merata. Penanaman tersebut haruslah pada sektor-sektor unggulan yang dapat memicu kemajuan sektor lainnya. Sektor yang di unggulkan tersebut dinamakan sebagai leading sektor. Pada dasarnya teori pembangunan terkait erat dengan strategi pembangunan, yakni perubahan struktur ekonomi dan pranata sosial yang diupayakan untuk menemukan sosulsi yang konsisten dan langgeng bagi persoalan yang dihadapi para ahli ekonomi muncul berbagai
pendekatan
menyangkut
tema-tema
kajian
tentang
pembangunan. Salah satu diantaranya adalah mengenai isu pembangunan wilayah. Secara umum, pembangunan wilayah diartikan
sebagai
pengimplementasian
teori-teori
kedalam
pembuatan kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang didalamnya
mempertimbangkan
aspek
wilayah
dengan
mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan. Perencanaan pembangunan wilayah semakin relevan dalam mengimplementasikan kebijakan ekonomi dalam aspek kewilayahan. Hoover dan Giarratani (dalam Nugroho dan Dahuri, 2004) menyimpulkan 3 pilar penting dalam proses pembangunan wilayah, yaitu:
21
1)
Keunggulan Komparatif Hal ini berhubungan dengan penemuan sumber-sumber yang secara fisik relatif sulit atau memiliki hambatan untuk digerakkan antar wilayah. Hal ini disebabkan adanya faktorfaktor lokal yang mengikat mekanisme produksi sumberdaya tersebut sehinnga wilayah memiliki komparatif. Sejauh ini karaktersistik tersebut berhubungan dengan produksi yang bersumber dari sumber daya alam, antara lain pertanian, perikanan, pertambangan, dan sekor primer lainnya.
2)
Aglomerasi Pada dasarnya aglomerasi merupakan faktor eksternal yang
berpenganruh
terhadap
pelaku
ekonomi
berupa
meningkatnya keuntungan eknonomi secara spasial. Hal ini berkaitan dengan berkurangnya biaya-biaya produksi akibat penurunan jarak dalam pengangkutan bahan baku dan distribusi produk. 3)
Biaya Transpor Pilar ini adalah yang paling kasat mata mempengaruhi aktivitas perekonomian. Implikasinya adalah biaya yang terkait dengan jarak dan lokasi tidak lagi diabaikan dalam proses produksi dan pembangunan wilayah. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pertumbuhan
dan
perkembangan wilayah antara lain dipengaruhi oleh aspek-aspek keputusan lokasi, terbentuknya sistem perkotaan, dan mekanisme
22
aglomerasi. Pada dasarnya istilah pertumbuhan wilayah dan perkembangan wilayah memiliki makna yang berbeda. Pertumbuhan dan perkembangan wilayah merupakan suatu proses kontinuitas hasil dari berbagai pengambilan keputusan di dalam ataupun hal lain yang mempengaruhi suatu wilayah. Perkembangan wilayah senantiasa diikuti oleh perubahan struktrural. Wilayah tumbuh dan berkembang dapat diketahui melalui teori sektor dan teori tahapan perkembangan. Teori sektor diadopsi dari Fisher dan Clark (1899) yang mengumumkan bahwa berkembangnya wilayah, atau perekonomian nasional, dihubungkan dengan transformasi struktur ekonomi dalam tiga sektor utama, yakni sektor primer (pertanian, kehutanan, dan perikanan), serta sektor tersier (perdagangan, transportasi, keuangan dan jasa). Perkembangan ini ditandai dengan menurunnya penggunaan sumberdaya dari sektor primer, dan meningkatnya penggunaan sumberdaya dari sektor tersier, dan meningkat hingga pada suatu tingkat tertentu di sektor sekunder. Sedangkan teori tahapan perkembangan dikemukakan oleh Rostow, Fisher, Hoover, Thompson, dan lainnya. Teori ini lebih dianggap mengadopsi unsur spasial dan sekaligus melengkapi kekurangan teori sektor. Pertumbuhan dan perkembangan wilayah dapat digambarkan melalui lima tahapan, yaitu: 1)
Wilayah dicirikan oleh adanya industri yang dominan. Pertumbuhan wilayah sangat bergantung dari hasil industri
23
tersebut, antara lain seperti minyak, hasil perkebunan dan pertanian, dan produk-produk primer lainnya. Industri yang demikian dimiliki oleh seluruh negara pada masa awal pertumbuhannya. 2)
Tahapan ekspor kompleks. Tahapan ini menggambarkan bahwa wilayah telah mempu mengekspor selain komoditas dominan juga komoditas lainnya. Misalnya dalam komoditas dominan yang diekspor sebelunya berupa minyak bumi mentah, maka dalam tahapan kedua wilayah juga mengekspor metode teknologi penambangan dan produk turunan dari minyak bumi mentah tersebut.
3)
Tahapan kematangan ekonomi. Pada tahapan ini menujukkan bahwa
aktivitas
ekonomi
telah
terdiversifikasi
dengan
munculnya industri subsitusi impor, yakni sebuah industri yang menghasilkan bahan yang sebelumnya harus di impor dari luar wilayah. Pada tahapan ini pula mencerminkan wilayah tersebut telah mandiri di bandingkan dengan wilayah lainnya. 4)
Tahapan
pembentukan
metropolis.
Pada
tahan
ini
memperlihatkan bahwa wilayah telah mampu menjadi pusat kegiatan ekonomi serta mampu melayani kebutuhan barang dan jasa wilayah pinggiran. Selain itu, volume aktivitas ekonomi ekspor sangat besar yang diiringi dengan kenaikan impor yang sangat signifikan.
24
5)
Tahapan kemajuan teknis dan profesional. Tahapan ini memperlihatkan bahwa wilayah telah mampu meberikan peran yang sangat nyata terhadap perekonomian nasional. Dalam perkembangan wilayah, produk dan proses produksinya yang relatif canggih, baru, efisien, dan terspesialisasi. Aktivitas perekonomian telah mengandalkan inovasi, modifikasi, dan imitasi yang mengarah pada pemenuhan kepuasan individual dibanding kepentingan masyarakat.
2.
Struktur Ekonomi a.
Teori Perubahan Struktural Teori perubahan struktural menitikberatkan pada mekanisme transformasi ekonomi yang dialami oleh negara sedang berkembang yang semula lebih bersifat subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke struktur perekonomian yang lebih modern dan sangat di dominasi oleh sektor industri dan jasa (Todaro, 2000). 1) Teori Fei-Ranis / Ranis and Fei (1961) Dalam model Fei-Ranis, konsep yang berkaitan dengan transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Tahapan transfer tenaga kerja dibagi menjadi tiga berdasarkan pada produk fisik marginal (MPP) dan upah yang dianggap konstan dan ditetapkan secara exogenus, sebagai berikut : a) Pada tahap pertama, karena tenaga kerja melimpah maka MPP tenaga kerja sama dengan atau mendekati nol
25
sehingga surplus tenaga kerja yang ditransfer dari sektor pertanian ke sektor industri mempunyai kurva penawaran yang elastis sempurna. Pada tahap ini walaupun ada transfer tenaga kerja, total produksi di sektor pertanian tidak menurun, produktivitas tenaga kerja meningkat dan sektor industri dapat tumbuh karena didukung oleh adanya tambahan tenaga kerja yang disediakan sektor pertanian. Dengan demikian, transfer tenaga kerja menguntungkan kedua sektor ekonomi.
Dalam gambar 2.1 MPP tenaga
kerja nol digambarkan pada ruas AO, tingkat upah sepanjang garis W (Gambar B), dan penawaran tenaga kerja yang elastis sempurna sepanjang SOS1 (Gambar a). b) Pada tahap kedua, pengurangan satu satuan tenaga kerja di sektor pertanian akan menurunkan produksi karena MPP tenaga kerja sudah positif (ruas AB) namun besarnya MPP masih lebih kecil dari tingkat upah W. Transfer tenaga kerja dari pertanian ke industri pada tahap ini mempunyai biaya seimbang yang positif, sehingga kurva penawaran tenaga kerja di sektor industri mempunyai elastisitas positif. Transfer akan tetap terjadi, produsen di sektor pertanian akan melepaskan tenaga kerjanya walaupun mengakibatkan produksi menurun karena penurunan tersebut lebih rendah dari besarnya upah yang tidak jadi dibayarkan. Di pihak lain, karena surplus produksi yang ditawarkan ke sektor
26
industri menurun sementara permintaannya meningkat (karena tambahan tenaga kerja masuk), harga relative komoditi pertanian akan meningkat. c) Tahap ketiga adalah tahap komersialisasi di kedua sektor ekonomi, dimana MPP tenaga kerja sudah lebih tinggi dari tingkat upah. Produsen pertanian akan mempertahankan tenaga kerjanya sehingga masing-masing sektor berusaha efisien. Transfer masih akan terus terjadi jika inovasi teknologi di sektor pertanian dapat menigkatkan MPP tenaga kerja. Sementara permintaan tenaga kerja terus meningkat dari sektor industri dengan asumsi keuntungan di sektor ini diinvestasikan kembali untuk memperluas usaha. Mekanismenya dapat dilihat pada gambar 2.1
27
Gambar 2.1 Model Fei-Ranis tentang transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri
Dalam model Fei-Ranis ini kecepatan trasfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri tergantung pada: (a) tingkat pertumbuhan , (b) perembangan teknologi di sektor pertanian dan (c) tingkat pertumbuhan stok modal di sektor industri dan surplus yang dicapai di sektor pertanian. Dengan demikian keseimbangan pertumbuhan di kedua sektor tersebut menjadi
prasyarat
untuk
menghindari
stagnansi
dalam
pertumbuhan ekonomi nasional. Ini berarti kedua sektor tersebut harus tumbuh secara seimbangn dan transfer serta penyerapan tenaga kerja di sektor pertumbuhan angkatan kerja.
industri harus lebih cepat dari
28
2) Teori W. Arthur Lewis (1954) Transformasi struktural suatu perekonomian subsisten di rumuskan oleh seorang ekonom besar yaitu W. Arthur Lewis (1954). Dengan teorinya model dua sektor Lewis antara lain : a) Perekonomian Tradisional Dalam teori ini Lewis mengasumsikan bahwa di daerah
pedesaan
dengan
perekonomian
tradisional
mengalami surplus tenaga kerja. Perekonomian tradisional adalah bahwa tingkat hidup masyarakat berada pada kondisi subsisten, hal ini diakibatkan kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja sama dengan nol. Ini merupakan situasi yang memungkinkan Lewis untuk mendefinisikan kondisi surplus tenaga kerja (surplus labor) sebagai suatu fakta bahwa jika sebagian tenaga kerja tersebut ditarik dari sektor pertanian, maka sektor itu tidak akan kehilangan outputnya. b) Perekonomian Industri Pada perekonomian ini terletak pada perkotaan modern yang berperan penting adalah sektor industri. Ciri dari perekonomian ini adalah tingkat produktivitas yang tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor subsisten. Dengan demikian perekonomian perkotaan merupakan daerah tujuan bagi para pekerja yang berasal dari pedesaan
29
sehingga penambahan tenaga kerja pada sistem produksi yang ada akan meningkatkan output yang diproduksi. Rangkaian proses pertumbuhan berkesinambungan (selfsustaining growth) dan perluasan kesempatan kerja di sektor modern tersebut di atas diasumsikan akan terus berlangsung sampai semua surplus tenaga kerja pedesaan diserap habis oleh sektor industri.
Gambar 2.2 Diminishing Return di dalam Fungsi Produksi di Sektor Pertanian
Dalam kondisi seperti pada gambar 2.2 pengangguran jumlah pekerja tidak akan mengurangi jumlah output di sektor pertanian, hal tersebut karena proporsi tenaga kerja terlalu banyak dibandingkan proporsi input lain seperti tanah dan capital. Abibatnya adalah terjadinya kelebihan penawaran tenaga kerja yang mengakibatkan pendapatan di sektor pertanian menjadi rendah. Hal tersebut secara berangsur-angsur akan mengakibatkan perpindahan pekerja ke sektor industri atau perkotaan yang memiliki upah lebih besar.
30
3.
Ketimpangan a.
Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan aspek yang
umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan kondisi deomgrafi yang terdapat pada masing-masing wilayah (Sjafrizal, 2008). Adapun faktor-faktor penyebab ketimpangan antara lain: 1) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah Konsentrasi suatu kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu dapat mengakibatkan terjadinya ketimpangan antar daerah. Jika daerah lain tidak dapat mengimbangi daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi tersebut, maka ketimpangan yang terjadi akan semakin besar. 2) Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah Antar Daerah Tidak lancarnya mobilitas atau distribusi faktor produksi, seperti
tenaga kerja
dan modal antar
daerah juga dapat
mengakibatkan ketimpangan antar daerah. 3) Perbedaan Sumber Daya Alam Antar Daerah Dasar dari faktor ini adalah pemikiran klasik yang mengatakan bahwa daerah dengan sumber daya alam yang kaya akan lebih makmur ketimbag daerah yang minim akan sumber daya alamnya. Hingga pada tingkat tertentu, anggapan ini masih di benarkan. Dalam perkembangannya, sumber daya alam dianggap
31
sebagai modal awal, maka diperlukan faktor lain utnuk mengolahnya seperti teknologi dan sumber daya manusia. 4) Perbedaan Kondisi Demografis Antar Wilayah Ketimpangan yang terjadi antar daerah juga dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi demografis antar daerah. Perbedaan tersebut berupa jumlah penduduk, tingkat kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, kesehatan, disiplin mayarakat, dan etos kerja. Sedangkan menurut Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (2010) mengemukakan 8 faktor yang mempengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan di negara-negara berkembanga, yaitu: 1) Pertambahan penduduk yang tinggi mengakibatkan menurunnnya pendapatan per kapita. 2) Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang dan jasa. 3) Ketidakmerataan pembangunan antar daerah. 4) Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal, sehingga presentase pendapatan modal dari tambahan harta lebih besar dibandingkan dengan presentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah. 5) Rendahnya mobilitas sosial. 6) Pelaksanaan kebijakan industri subsitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usahausaha golongan kapitalis.
32
7) Memburuknya nilai tukar bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidak elastisan permintaan negara-negara terhadap barang ekspor negara sedang berkembang. 8) Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.
B. Penelitian Terdahulu 1.
Location Quotient (LQ) Analisis LQ digunakan untuk mengetahui sektor unggulan yang ada pada suatu daerah dengan menggunakan perbandingan, beberapa penelitian yang menggunakan analisis LQ ini antara lain: a.
Lantemona dkk (2014) Penelitian yang dilakukan oleh Arlen Lantemona, Josep Bintang Kalangi, dan Amran Naukoko tersebut berjudul Analisis Penentuan Kota Manado Sektor Unggulan Perekonomian. Hasil dari penelitian tersebut mengemukakan bahwa sektor perdaganga, hotel, dan restoran, dan sektor jasa-jasa merupakan sektor unggulan di Kota Manado.
b.
Atmanti (2010) Peneltian yang dilakukan oleh Hastarini Dwi Atmanti ini berjudul Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Studi Sektor Unggulan di Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah. Hasil dari penenlitian tersebut
33
mengemukakan bahwa sebagian besar daerah di Jawa Tengah mempunyai sektor unggulan pertanian. c.
Amalia (2012) Penelitian yang dilakukan oleh Fitri Amalia tersebut berjudul Penentuan Sektor Unggulan Perekonomian Wilayah Kabupaten Bone Bolango Dengan Pendekatan Sektor Pembentuk PDRB. Hasil dari penelitian tersebut mengemukakan bahwa sektor industri, pertanian, dan keuangan merupakan tiga sektor unggulan di Kabupaten Bone.
2.
Model Rasio Pertumbuhan (MRP) a.
Titisari (2009) Penelitian yang dilakukan oleh Kartika Hendra Titisari tersebut berjudul Identifikasi Potensi Ekonomi Daerah Boyolali, Karanganyar, dan Sragen. Hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa daerah Boyolali memiliki keunggulan di sektor (i) keuangan, (ii) bangunan dan (iii) jasa perusahaan, sedangkan Karangnyar yaitu sektor (i) listrik, gas dan air bersih, (ii) jasa-jasa, sedangkan Sragen (i) jasa-jasa, (ii) listrik, gas, dan air bersih, (iii) keuangan, (iv) bangunan, (v) jasa perusahaan.
b. Panjiputri (2013) Penelitian yang dilakukan oleh Agata Febrina Panjiputri tersebut berjudul Analisis Potensi Pengembangan Pusat Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan Strategis TANGKALLANGKA. Hasil dari
34
penelitian
tersebut
mengemukakan
bahwa
kawasan
strategis
Tangkallangka memiliki pertumbuhan yang menonjol sektor (i) listrik, gas, dan air bersih, (ii) bangunan, (iii) perdagangan, hotel, dan restoran, (iv) pengangkutan dan komunikasi, (v) keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (vi) jasa-jasa. c. Atmanti (2010) Peneltian yang dilakukan oleh Hastarini Dwi Atmanti ini berjudul Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Studi Sektor Unggulan di Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah. Hasil dari penelitian tersebut mengemukakakn
bahwa
secara
keseluruhan
sektor
industri
pengolahan, keuangan, dan perdagangan merupakan sektor potensial di seluruh kabupaten/kota di Jawa Tengah.
3.
Tipologi Klassen a.
Ardila (2012) Penelitian yang dilakukan oleh Refika Ardila tersebut berjudul Analisis Pengembangan Pusat Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten
Banjarnegara.
Hasil
dari
penelitian
tersebut
mengemukakan bahwa Kecamatan Banjarnegara, Madukara, dan Batur merupakan daerah maju dan cepat tumbuh. b.
Titisari (2009) Penelitian yang dilakukan oleh Kartika Hendra Titisari tersebut berjudul Identifikasi Potensi Ekonomi Daerah Boyolali, Karanganyar, dan Sragen. Hasil penelitian tersebut mengemukakan
35
bahwa Kabupaten Karanganyar memiliki PDRB per kapita di atas Jawa Tengah namun tingkat pertumbuhannya berada di bawah pertumbuhan Jawa Tengah, dan sebaliknya untuk daerah Boyolali dan Sragen. c.
Panjiputri (2013) Penelitian yang dilakukan oleh Agata Febrina Panjiputri tersebut berjudul Analisis Potensi Pengembangan Pusat Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan Strategis TANGKALLANGKA. Hasil dari penelitian tersebut mengemukakakan bahwa hanya Kota Pekalongan yang tergolong ke daerah maju dan cepat tumbuh, sedangkan Kabupaten Pemalang dan Kajen tergolong daerah berkembang cepat, dan Kabupaten Batang tergolong ke daerah relatif tertinggal.
4.
Indeks Williamson a.
Mapongga (2011) Penelitian yang dilakukan oleh Herwin Mapongga tersebut berjudul Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo.
Hasil penelitian tersebut
mengemukakan bahwa tingkat ketimpangan yang ada di Provinsi Gorontalo rata-rata tergolong kecil yaitu 0,27. b.
Atmanti (2010) Peneltian yang dilakukan oleh Hastarini Dwi Atmanti ini berjudul Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Studi Sektor Unggulan di Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah. Hasil dari penelitian tersebut
36
mengemukakan bahwa ketimpangan di Jawa Tengah secara umum berada pada keadaan moderat, hal ini terlihat dari hasil IW yang memiliki rata-rata nilai 0,50. c.
Yeniwati (2013) Penelitian yang dilakukan Yeniwati tersebut berjudul Ketimpangan Ekonomi Antar Provinsi di Sumatera. Hasil dari penelitian tersebut mengemukakan bahwa terdapat 5 provinsi yang memilki nilai IW lebih kecil dari rata-rata provinsi dan 5 provinsi yang memiliki IW di atas rata-rata provinsi di Pulau Sumatera. Nilai rata-rata ketimpangan di Pulau Sumatera tergolong moderat atau sedang dengan nilai 0,483.
C. Kerangka Pemikiran Pemerintah daerah diberikan kewenangan dalam mengolah sendiri perkonomian di daerahnya. Naik turunnya perekonomian suatu daerah dapat dilihat dari hasil Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dari data PDRB tersebut dapat dilhat berbagai macam perkembangan sektor-sektor ekonomi yang ada dalam daerah tersebut. Berdasarkan data produk domestik regioal bruto dapat dilakukan berbagai macam kajian ekonomi, diantaranya penentuan sektor ekonomi unggulan, struktur ekonomi, dan tingkat ketimpangan. Ketiga analisis tersebut saling berkaitan, dimana dalam mengurangi tingkat ketimpangan dibutuhkan pengelolaan dan peningkatan PDRB yang salah satu caranya dapat dilakukan dengan pengobtimalan sektor unggulan dan penentuan struktur ekonomi.
37
Struktur ekonomi dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk melakukan kerjasama dalam bidang tertentu dengan daerah lain.
Perekonomian
PDRB
Sektor Ekonomi Unggulan
LQ
MRP
Struktur Ekonomi
Ketimpangan Pendapatan
Tipologi Klassen
Indeks Williamson
Ketahanan Ekonomi di Pulau Jawa
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran