BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan dan Pengertian Tanah Pemahaman fungsi tanah sebagai media tumbuh dimulai sejak peradaban manusia mulai beralih dari manusia pengumpul pangan yang tidak menetap menjadi
manusia
pemukim
yang
mulai
melakukan
pemindahtanaman
pangan/nonpangan ke areal dekat mereka tinggal. Pada mulanya, tanah dipandang sebagai lapisan permukaan bumi (natural body) yang berasal dari bebatuan (natural material) yang telah mengalami serangkaian pelapukan oleh gaya-gaya alam (natural force), sehingga membentuk regolit (lapisan berpartikel halus).Konsep ini dikembangkan oleh para Geologis pada akhir abad XIX. Pandangan revolusioner mengenai tanah dikembangkan oleh Dokuchaev di Rusia pada sekitar tahun 1870, berdasarkan hasil pengamatannya terhadap : (1) Perbedaan-perbedaan berbagai jenis tanah dan dijumpainya suatu jenis tanah yang sama jika kondisinya relatif sama; (2) Masing-masing jenis tanah mempunyai morfologi yang khas sebagai konsekuensi keterpaduan pengaruh spesiffik dari iklim, jasad hidup (tanaman dan ternak), bahan induk, topografi dan umur tanah; dan (3) Tanah merupakan hasil evolusi alam yang bersifat dinamis sepanjang masa. Dinamika dan evolusi alam ini terhimpun dalam definisi bahwa tanah adalah “bahan mineral yang tidak padat (unconsolidated) terletak di permukaan bumi, yang telah dan akan tetap mengalami perlakuan dan dipengaruhi oleh faktor-
9
10
faktor genetik dan lingkungan yang meliputi bahan induk, iklim (termasuk kelembaban dan suhu), organisme (makro dan mikro) dan topografi pada suatu periode waktu tertentu”. Tanah pada masa kini didefinisikan sebagai lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh-berkembangnya perakaran penopang tegak-tumbuhnya tanaman dan penyuplai kebutuhan air dan udara; secara kimiawi berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi (senyawa organik dan anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial seperti N, P, K, Ca, Mg, S, Cu, Zn, Fe, Mn, B, Cl, dan lain-lain); dan secara biologis berfungsi sebagai habitat biota (organisme) yang berpartisipasi aktif dalam penyediaan hara tersebut dan zat-zat aditif (pemacu tumbuh, proteksi) bagi tanaman(Hanafiah, 2010). Menurut Hardjowigeno (2010) dalam definisi ilmiahnya, tanah (soil) adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horizonhorizon, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara, dan merupakan media untuk tumbuhnya tanaman. Isa Darmawijaya (1990) memberikan beberapa istilah lapisan tanah yang khusus sebagai berikut : 1. Solum (tubuh tanah) :tanah yang berkembang secara genetis oleh gaya genese tanah, artinya lapisan tanah mineral dari atas sampai sedikit di bawah batas atas horizon C. 2. Topsoil (tanah atasan) :lapisan tanah paling atas yang subur dan biasanya mengandung banyak bahan organik.
11
3. Surface soil (tanah permukaan) : lapisan tanah permukaan yang biasanya terpindahkan waktu penggarapan tanah, atau lapisan tanah yang memiliki permukaan setebal 12 – 20 cm (5 – 8 inches) yang biasanya tererosi. 4. Subsurface soil (tanah bawah permukaan) :bagian horizon A yang terdapat di bawah surface soil. 5. Subsoil (tanah bawahan) :horizon B bagi tanah-tanah yang profilnya jelas, sedang bagi yang belum berkembang berarti lapisan tanah di bawah tanah permukaan dalam dimana terdapat pertumbuhan akar yang normal. 6. Substratum (lapisan bawah tanah) :tiap lapisan di bawah solum, baik horizon C ataupun horizon R. 2.2 Bahan Organik Tanah Telah disebutkan bahwa tanah tersusun dari empat bahan utama, yaitu : bahan mineral, bahan organik, air dan udara. Bahan-bahan penyusun tanah tersebut jumlahnya masing-masing berbeda untuk setiap jenis tanah ataupun setiap lapisan tanah. Pada tanah lapisan atas yang baik untuk pertumbuhan tanaman lahan kering (bukan sawah) umumnya mengandung 45% (volume) bahan mineral, 5% bahan organik, 25% udara, 25% air.
Air 25%
Bahan Mineral Udara 45% 25% Bahan Organik 5% Gambar 2.1 Sketsa komponen penyusun tanah
Bahan organik umumnya ditemukan di permukaan tanah.Jumlahnya tidak besar, hanya sekitar 3 – 5% tetapi pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah besar
12
sekali. Adapun pengaruh bahan organik terhadap sifat-sifat tanah dan akibatnya juga terhadap pertumbuhan tanaman adalah : 1) Sebagai granulator – yaitu memperbaiki struktur tanah 2) Sumber unsur hara N, P, S, unsur mikro dan lain-lain 3) Menambah kemampuan tanah untuk menahan air 4) Menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara (kapasitas tukar kation tanah menjadi tinggi) 5) Sumber energi bagi mikroorganisme Bahan organik dalam tanah terdiri dari bahan organik kasar dan bahan organik halus atau humus.Humus terdiri dari bahan organik halus berasal dari hancuran bahan organik kasar serta senyawa-senyawa baru yang dibentuk dari hancuran bahan organik tersebut melalui kegiatan mikroorganisme di dalam tanah.Humus merupakan senyawa yang resisten (tidak mudah hancur) berwarna hitam atau coklat dan mempunyai daya menahan air dan unsur hara yang tinggi. Tanah yang banyak mengandung humus atau bahan organik adalah tanahtanah lapisan atas atau top soil.Semakin ke lapisan bawah tanah maka kandungan bahan organik semakin berkurang.Secara kimiawi bahan organik tanah tersusun oleh 44% C, 8% H, 40% O dan 8% mineral. Sumber asli bahan organik ialah jaringan tumbuhan.Di alam daun, ranting, cabang, batang dan akar tumbuhan menyediakan sejumlah bahan organik tiap tahunnya.Dari tanah yang diusahakan manusia sebagian dari tumbuhan diangkut dari tanah, tetapi sebagian lainnya tertinggal dalam bentuk akar atau dedaunan yang jatuh. Bahan tersebut akan mengalami pelapukan dan terangkut ke lapisan lebih dalam dan selanjutnya menjadi satu dengan tanah. Jadi, tumbuhan golongan
13
tinggi tidak saja merupakan sumber utama bahan pangan bagi berbagai jazad tanah, tetapi juga bagi penambahan bahan organik yang sangat penting dalam pembentukan tanah. Binatang biasanya dianggap sebagai penyumbang bahan organik sekunder setelah tumbuhan. Mereka akan menggunakan bahan organik sebagai sumber energi dan bila mereka mati jazadnya merupakan sumber bahan organik baru. Bentuk kehidupan binatang tertentu, terutama cacing tanah, sentipeda, atau semut memainkan peranan penting dalam pemindahan sisa tanaman dari permukaan ke dalam tanah (Supardi, 1983). Fraksi padat dari jenis tanah produktif terdiri dari kurang lebih 5% bahan organik dan 95% bahan anorganik.Beberapa jenis tanah, seperti tanah gambut dapat mengandung bahan organik sampai 95%, jenis tanah lainnya ada yang hanya mengandung 1% bahan organik. Di dalam tanah yang produktif, meskipun kandungan bahan organiknya kurang dari 5%, namun demikian meskipun jumlah yang tidak terlalu besar dari bahan organik ini memainkan peran yang sangat penting dalam penentuan produktivitas
tanah.Bahan
organik
merupakan
sumber
makanan
bagi
mikroorganisme di dalam tanah. Melalui reaksi-reaksi kimia yang terjadi seperti reaksi pertukaran kation akan dapat menentukan sifat kimia tanah. Di antara komponen-komponen aktif secara biologis dari bahan organik tanah adalah polisakarida, gula-gula amino, nukleosida, dan belerang organik, serta senyawasenyawa fosfor.Sebagian besar dari bahan organik di dalam tanah terdiri dari bahan-bahan tidak larut dalam air dan relatif tahan terhadap penguraian.Bahan ini disebut humus.Humus disusun oleh fraksi dasar yang disebut asam-asam humat
14
dan fulvat dan sebuah fraksi tidak larut yang disebut humis.Senyawa-senyawa atau bahan-bahan organik dalam tanah diperlihatkan dalam tabel 2.1. Tabel 2.1 Klasifikasi Senyawa-senyawa Organik Dalam Tanah
Tipe Senyawa Humus
Komposisi
Pengaruh/kegunaan
Sisa degradasi dari penguraian
Kelimpahan
bahan
organik
tanaman, banyak mengandung
meningkatkan sifat-sifat fisik
C, H dan O.
tanah, pertukaran akar, tempat persediaan nitrogen.
Lemak-lemak, resin dan lilin
Lemak-lemak diekstraksi
yang oleh
dapat
Secara umum hanya beberapa
pelarut-
persen dari bahan organik tanah
pelarut organik.
yang
dapat
mempengaruhi
sifat-sifat fisik tanah. Sakarida
Sellulosa,
jerami,
hemi-
sellulosa.
Makanan
utama
mikroorganisme membantu
bagi tanah,
menstabilkan
agregat tanah. Nitrogen dalam bahan organik
Senyawa-senyawa fosfor
Ikatan N pada humus, asam
Penyedia
nitrogen
untuk
amino, gula amino.
kesuburan tanah.
Ester-ester fosfat, fosfolipid.
Sumber dari fosfat tanaman.
(Achmad, 2004). 2.2.1 Mikroorganisme Tanah Bahan organik tanah terdiri dari sisa-sisa tanaman dan hewan dari semua tahapan dekomposisi karena kerja mikroorganisme tanah. Bermacam-macam senyawa organik yang mencapai tanah dalam bentuk sisa-sisa tanaman atau hewan tersusun dari karbohidrat yang kompleks, gula sederhana, tepung, selulosa, hemiselulosa, pectin, getah, lender, protein, lemak, minyak, lilin, resin, alkohol, aldehid, keton, asam-asam organik, lignin, fenol, tanin, hidrokarbon, alkaloid,
15
pigmen, dan produk-produk lainnya. Ukuran partikel dalam bahan organik, ciriciri dan jumlah mikroorganisme yang terlibat, sejauh mana ketersediaan C, N, P, dan K, kandungan kelembapan tanah, temperature, pH, dan aerasinya, adanya senyawa-senyawa penghambat dan sebagainya, merupakan sebagian dari faktorfaktor utama yang mempengarahi laju dekomposisi bahan organik. Bakteri merupakan kelompok mikroorganisme yang paling banyak jumlahnya.Dalam tanah subur yang normal, terdapat 10 – 100 juta bakteri di dalam setiap g tanah.Angka ini mungkin meningkat tergantung dari kandungan bahan organik suatu tanah tertentu.Hasil akhir dekomposisi adalah CO2, H2O, NO3, SO4, CH4, NH4 dan H2S, tergantung dari ketersediaan udara. Pada waktu mikroorganisme tumbuh dan berkembang biak pada sampah organik, digunakan karbon untuk menyusun bahan selular sel-sel mikroba dengan membebaskan karbon dioksida, metana, dan bahan-bahan lain yang mudah menguap (Gambar 2.2). Berlangsung tiga proses parallel selama terjadi dekomposisi: (1) degradasi sisa-sisa tumbuhan dan hewan oleh selulosa dan enzim-enzim mikroba lainnya, (2) peningkatan biomassa mikroorganisme yang terdiri dari polisakarida dan protein, dan (3) akumulasi atau pembebasan hasil akhir (Rao, 1986).
16
Gambar 2.2 Jalur dekomposisi bahan organik
Dalam garis besarnya bakteri dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu bakteri Autotroph dan Heterotroph.Bakteri Autotroph adalah bakteri yang menghasilkan makanannya sendiri dari bahan-bahan bahan bahan anorganik, misalnya melaui photosintesis.Bakteri Heterotroph adalah bakteri yang mendapatkan makanannya dari bahan organik yang telah ada.Sebagian bakteri tanah termasuk dalam golongan bakteri akteri heterotroph (Hardjowigeno, 2010). Pengertian umum yang saat ini banyak dipakai untuk memahami organisme perombak bahan organik atau biodekomposer adalah organisme pengurai nitrogen dan karbon dari bahan organik (sisa-sisa (sisa sisa organik dari jaringan tumbuhan tumb atau hewan yang telah mati) yaitu bakteri, fungi, dan aktinomisetes.Perombak bahan organik terdiri atas perombak primer dan perombak sekunder.Perombak primer adalah mesofauna perombak bahan organik, seperti Colembolla, Acarina yang berfungsi meremah--remah emah bahan organik/serasah menjadi berukuran lebih kecil.Cacing tanah memakan sisa-sisa sisa sisa remah tadi yang lalu dikeluarkan sebagai
17
faeces setelah melalui pencernaan dalam tubuh cacing. Perombak sekunder ialah mikroorganisme perombak bahan organik seperti Trichoderma reesei, T. harzianum,
T.
koningii,
Phanerochaetacrysosporium,
Cellulomonas,
Pseudomonas, Thermospora, Aspergillus niger, A.terreus, Penicillium, dan Streptomyces. Adanya aktivitas fauna tanah, memudahkan mikroorganisme untuk memanfaatkan bahan organik, sehingga proses mineralisasi berjalan lebih cepat dan penyediaan hara bagi tanaman lebih baik (Saraswati, dkk, 2012). 2.2.2 Karbon Tanah Menurut Mulyono (2009) dalam Merita (2013) karbon adalah unsur nonlogam dengan simbol C yang terdapat dalam keadaan terikat secara luas dialam semesta.Dalam keadaan bebas berupa tiga bentuk alotrof, yaitu amorf, grafit, dan intan. Dikenal ada tujuh isotop karbon, isotop C-12 digunakan sebagai acuan untuk massa atom unsur oleh IUPAC, isotop C-14 digunakan untuk menetapkan
umur
kayu
dan
benda
arkeologi
lainnya.
Isotop
C-13
diperdagangkan.Sifat khas atom karbon adalah antar atomnya dapat membentuk rantai ikatan kovalen sehingga dijumpai begitu banyak baik jenis maupun jumlah senyawa karbon yang dijumpai dialam dan buatan. Selain membentuk rantai kovalen sebagai senyawa karbon, unsur karbon juga berada dalam keadaan terikat sebagai senyawa anorganik seperti CO, CO2 , asam karbonat, garam karbonat, garam bikarbonat dan karbida. Karbon organik (C-Organik) merupakan semua jenis senyawa organik yang terdapat di dalam tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus. Kadar C-organik tanah cukup bervariasi, tanah mineral
18
biasanya mengandung C-organik antara 1 hingga 9% sedangkan tanah gambut dan lapisan organik tanah hutan dapat mengandung 40 sampai 50% C-organik dan biasanya kurang dari 1% di tanah gurun pasir (Fadhilah,2010). Budidaya organik nyata meningkatkan kandungan karbon tanah. Karbon merupakan komponen paling besar dalam bahan organik sehingga pemberian bahan organikakan meningkatkan kandungan karbon tanah. Tingginya karbon tanah ini akan mempengaruhi sifat tanah menjadi lebih baik, baik secara fisik, kimia dan biologi. Karbon merupakan sumber makanan mikroorganisme tanah, sehingga
keberadaan
unsur
ini
dalam
tanah
akan
memacu
kegiatan
mikroorganisme sehingga meningkatkan proses dekomposisi tanah dan juga reaksi-reaksi yang memerlukan bantuan mikroorganisme, misalnya pelarutan P, fiksasi N dan sebagainya (Utami dan Handayani,2003). 2.2.3 Siklus Karbon Karbon adalah elemen kunci dari kehidupan dan merupakan elemen terbanyak ke empat setelah hydrogen, helium dan oksigen.Siklus karbon adalah pertukaran karbon antara biosfer geosfer, hidrosfer dan atmosfer.Pertukaran karbon ini melalui empat reservoir karbon utama yaitu atmosfer, biosfer teresterial, lautan dan sedimen. Siklus biogeokimia merupakan siklus atau proses perputaran yang secara tetap atau berpola yang meliputu siklus karbon dan oksigen, siklus nitrogen, siklus fosfor dan siklus air. Proses timbal balik fotosintesis dan respirasi seluler bertanggung jawab atas perubahan dan pergerakan utama karbon. Naik turunnya CO2 dan O2 atmosfer secara musiman disebabkan oleh penurunan aktivitas fotosintetik.Dalam skala global kembalinya CO2 dan O2 ke atmosfer melalui
19
respirasi hampir menyeimbangkan pengeluarannya melalui fotosintesis.Akan tetapi pembakaran kayu dan bahan bakar fosil menambahkan lebih banyak lagi CO2 ke atmosfer.Sebagai akibatnya jumlah CO2di atmosfer meningkat (Sarwono dalam Rianti, 2015). Siklus karbon dan siklus oksigen dapat digambarkan secara bersama-sama (Gambar 2.3).tumbuhan hijau menggunakan karbon dalam bentuk gas dari udara dan sebagai larutan dalam air. Tumbuhan mengubah CO2 melalui proses fotosintesis menjadi senyawa-senyawa organik yang dapat dipergunakan oleh tumbuhan lain yang tidak hijau dan binatang sebagai satu-satunya sumber karbon. Karbon kembali lagi ke atmosfer atau ke dalam air sebagai gas (CO2) melalui proses respirasi tumbuhan dan respirasi bianatang, dan oleh pembakaran kayu, batu bara dan minyak. Sejumlah kecil dari karbon dioksida dilepaskan ke atmosfer sebagai akibat kegiatan gunung berapi.Di samping sumber-sumber diatas, penambahan karbon ke atmosfer berlangsung karena kegiatan jasad-jasad renik.Melalui perombakan, bakteri dan cendawan menguraikan senyawa-senyawa organik yang terikat dalam jasad-jasad yang mati menjadi senyawa-senyawa yang sederhana yang tersedia kembali bagi siklus berikutnya.Respirasi kedia bentuk kehidupan merupakan sumber yang paling penting untuk penambahan tersebut di atas.
20
Gambar 2.3 Siklus karbon dan siklus oksigen
Bahan organik yang terhindar dari proses perombakan tersimpan di dalam tanah dalam bentuk gambut, batu bara, gas atau minyak bumi. Bilamana tersimpan di bawah air untuk waktu lama pada suhu tinggi maka akan menjadi batu kapur atau batu karang. Karbon yang terikat dalam endapan (deposit) ini baru akan terlepas setelah jangka waktu yang lama (Tjitrosono, dkk, 1983). 2.3Respirasi Tanah Respirasi tanah merupakan salah satu indikator aktivitas mikroba di dalam tanah. Pada proses respirasi terjadi penggunaan O2 dan pembebasan CO2, sehingga tingkat respirasi dapat ditentukan dengan mengukur O2 yang digunakan oleh mikroba tanah (Alexander, 1971; Anas, 1989). Pengukuran respirasi dapat dilakukan pada tanah tidak terganggu (undisturbed soil sample) di lapangan maupun dari contoh tanah yang diambil (disturbed soil sample). Menurut Widati dalam Saraswati (2007), pengukuran respirasi di lapangan dilakukan dengan memompa udara tanah atau dengan menutup permukaan tanah
21
dengan bejana yang volumenya diketahui.Selain itu, bisa juga dengan membenamkan tabung untuk mengambil contoh udara di dalam tanah.Pengukuran di laboratorium meliputi penetapan CO2 yang dihasilkan dari sejumlah contoh tanah yang kemudian diinkubasi dalam jangka waktu tertentu. Tingkat respirasi tanah ditetapkan dari tingkat evolusi CO2.Evolusi CO2 tanah dihasilkan dari dekomposisi bahan organik.Dengan demikian, tingkat respirasi adalah indikator tingkat dekomposisi bahan organik yang terjadi pada selang waktu tertentu. Metode ini didasarkan pada pengukuran CO2 di dalam tanah pada periode waktu tertentu.Larutan NaOH atau KOH yang digunakan berfungsi sebagai penangkap CO2 yang kemudian dititrasi dengan HCl. Jumlah HCl yang diperlukan untuk titrasi setara dengan jumlah CO2 yang dihasilkan(Saraswati, dkk,2007). Respirasi
mikroorganisme
tanah
mencerminkan
tingkat
aktivitas
mikroorganisme tanah. Pengukuran respirasi (mikroorganisme) tanah merupakan cara yang pertama kali digunakan untuk menentukan tingkat aktivitas organisme tanah. Penetapan repirasi tanah menurut Anas (1989) dalam Hanafiah (2004) adalah berdasarkan: 1. Jumlah CO2 yang dihasilkan, dan 2. Jumlah O2 yang digunakan oleh mikroba tanah. Pengukuran respirasi ini berkorelasi baik dengan perubah kesuburan tanah yang berkaitan dengan aktifitas mikroba seperti : 1. Kandungan bahan organik
22
2. Transformasi N atau P 3. pH, dan 4. Rata-rata jumlah mikroorganisme Respirasi mikroba tanah dapat ditentukan di lapangan maupun di laboratorium.Perbedaan utama pengukuran respirasi tanah secara langsung di lapangan dengan contoh yang di bawa ke labratorium adalah dalam hal pengumpulan CO2 yang dihasilkan.Penyelidikan di lapangan dilakukan dengan peralatan pengukuran terbuka dan memerlukan keterampilan pengukur yang intensif dan hasilnya lebih berfluktuatif daripada pengukuran di laboratorium, oleh karena itu penetapan respirasi tanah di laboratorium lebih disukai. Prosedur di laboratorium menurut Schinner, dkk, 1996 meliputi penetapan pemakaian O2 atau jumlah CO2 yang dihasilkan dari sejumlah sampel tanah dan di inkubasi dalam keadaan yang diatur dalam laboratorium (Hanafiah,2004). Absorbsi merupakan salah satu proses pemisahan dengan mengontakkan campuran gas dengan cairan sebagai penyerapnya, penyerap tertentu akan menyerap satu atau lebih pada komponen gas. Absorbsi dapat berlangsung dalam dua macam proses, yaitu absorbsi fisik dan absorsi kimia. Absorbsi fisik yaitu absorbs dimana gas terlarut dalam cairan menyerap tanpa disertai reaksi kimia. Contoh absorbsi ini adalah absorbsi gas H2S dengan air, metanol, atau propilen.Absorbsi kimia yaitu absorbsi dimana gas terlarut dalam larutan penyerap disertai reaksi kimia.Contoh absorbsi ini dapat dilihat pada absorbsi gas CO2dengan larutan Na2CO3, NaOH, K2CO3dan lain sebagainya. Bila pelarut yang digunakan adalah NaOH maka absorbsi yang terjadi akan secara kimia, dikarenakan terjadinya reaksi kimia secara langsung antara CO2
23
dengan larutan NaOH.Reaksi dianggap merupakan reaksi satu arah (Kumoro dalam Mara, 2012). 2.4 Alih Fungsi Hutan Menurut Undang-Undang No 41 tentang kehutanan Tahun 1999, hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan, sedangkan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Hutan merupakan penyerap karbon (sink) terbesar dan berperan penting dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi karbon (source). Hutan dapat menyimpan karbon sekurang-kurangnya 10 kali lebih besar dibandingkan dengan tipe vegetasi lain seperti padang rumput, tanaman semusim, dan tundra. Hutan alam menyimpan karbon terbesar, yaitu berkisar antara 7,5 – 264,70 ton C/ha. Meningkatnya kandungan karbon dioksida (CO2) di udara akan menyebabkan kenaikan suhu bumi yang terjadi karena efek rumah kaca. Panas yang dilepaskan dari bumi diserap oleh karbon dioksida di udara dan dipancarkan kembali ke permukaan bumi, sehingga proses tersebut akan memanaskan bumi. Keberadaan ekosistem hutan memiliki peranan penting dalam mengurangi gas karbon dioksida yang ada di udara melalui pemanfaatan gas karbon dioksida dalam proses fotosintesis oleh komunitas tumbuhan hutan (Indriyanto,2006). Ekosistem hutan memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan karbon berbeda-beda baik di hutan alam, hutan tanaman, hutan payau, hutan rawa maupun di hutan rakyat.Hal ini dipengaruhi oleh jenis pohon, tipe tanah, dan
24
topografi (Masripatin et al. 2010). Tanah hutan merupakan tempat pembentukan humus yang utama dan tempat penyimpanan unsur-unsur mineral yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan akan mempengaruhi komposisi dan struktur vegetasi hutan yang dibentuk. Kesuburan tanah dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah, baik sifat fisik maupun sifat kimia tanah. Penyimpanan karbon akan lebih besar jika kondisi kesuburan tanahnya baik (Hairiah dalam Sugirahayu dan Rusdiana, 2011). Perubahan tutupan lahan akan msenyebabkan perubahan ketersediaaan unsur hara dan sifat-sifat tanah lainnya. Pembukaan lahan hutan selalu dikhawatirkan akan menyebabkan perubahan siklus unsur hara yang terjadi. Pada hutan alam, siklus hara yang berlangsung adalah siklus tertutup, Setiadi dalam Riniarti dan Setiawan (2014) menyatakan bahwa hutan tropis juga memiliki kemampuan self nutrient recovery, adalah kemampuan untuk melepas kembali 2/3 nutrien yang ada ke dalam tubuh tanaman sebelum menggugurkan daunnya. Dengan demikian pembukaan hutan, akan menyebabkan terputusnya siklus unsur hara tersebut. Pembukaan lahan hutan untuk dialihfungsikan menjadi bentuk penggunaan lahanlainnya seperti pertanian ataupun perkebunan menimbulkan pertanyaan penting tentangperubahan status kesuburan tanah pada lahan tersebut. 2.5 Degradasi Tanah Definisi degradasi tanah cukup banyak diungkapkan oleh para pakar tanah, namun kesemuanya menunjukkan penurunan atau memburuknya sifat-sifat tanah apabila dibandingkan dengan tanah tidak terdegradasi. Degradasi tanah menurut FAO adalah hasil satu atau lebih proses terjadinya penurunan kemampuan tanah secara aktual maupun potensial untuk memproduksi barang dan jasa. Definisi
25
tersebut menunjukkan pengertian umum dengan cakupan luas tidak hanya berkaitan dengan pertanian (Firmansyah, 2003). Masalah degradasi sifat-sifat tanah dirasakan makin begitu penting belakangan ini.Degradasi tanah biasanya dievaluasi dari sifat fisik dan kimia tanah. Bentuk degradasi tanah yang terpenting di kawasan Asia antara lain adalah erosi tanah, degradasi sifat kimia berupa penurunan kadar bahan organik tanah dan pencucian unsur hara. Perubahan penggunaan lahan dan pola pengelolaan tanah menyebabkan perubahan kandungan bahan organik tanah.Makin intensif penggunaan suatu lahan, makin rendah kandungan bahan organik tanah.Oleh karena itu tanah yang terdegradasi perlu dilakukan upaya rehabilitasi.Dari rehabilitasi ini di harapkan dapat memperbaiki (memulihkan), meningkatkan dan mempertahankan kondisi tanah yang rusak agar berfungsi secara optimal, baik sebagai unsur produksi, media pengatur tata air maupun sebagai unsur perlindungan lingkungan (Latifah, 2005). Degradasi kimia disebabkan oleh reaksi kimia dan terjadi perubahan kimia yang jelas pada produk dekomposisinya.Menurut Kamus Lengkap Kimia dalam Nuryadin, K (2003) degradasi adalah reaksi kimia yang memecah suatu senyawa menjadi senyawa yang lebih sederhana atau unsur-unsurnya. Banyaknya bahan organik yang dapat didegradasi baik secara biologis menggunakan jamur dan bakteri, maupun suhu, ditunjukan oleh kadar CO2 yang dihasilkan (Sutedjo, dkk dalam Nuryadin, K, 2003). Menurut Kilham dalam Nuryadin, K (2003) produk akhir dekomposisi senyawa organik dalam tanah adalah karbondioksida.Oleh karena itu, maka produksi CO2 digunakan sebagai indikator laju degradasi bahan organik.
26
2.5.1 Faktor-faktor Penyebab Degradasi Tanah Degradasi tanah pada umumnya disebabkan karena 2 hal yaitu faktor alami dan akibat faktor campur tangan manusia.Degradasi tanah dan lingkungan, baik oleh ulah manusia maupun karena gangguan alam, semakin lama semakin meningkat.Lahan subur untuk pertanian banyak beralih fungsi menjadi lahan non pertanian. Sebagai akibatnya kegiatan-kegiatan budidaya pertanian bergeser ke lahan-lahan kritis yang memerlukan input tinggi dan mahal untuk menghasilkan produk pangan yang berkualitas (Mahfuz, 2003). Menurut Firmansyah (2003) faktor alami penyebab degradasi tanah antara lain: areal berlereng curam, tanah yang mudah rusak, curah hujan intensif, dan lain-lain. Faktor degradasi tanah akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami, antar lain: perubahan populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial dan ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang tidak tepat. Lima faktor penyebab degradasi tanah akibat campur tangan manusia secara langsung,
yaitu:
deforestasi,
overgrazing,
aktivitas
pertanian,
ekploitasi
berlebihan, serta aktivitas industri dan bioindustri. Sedangkan faktor penyebab tanah terdegradasi dan rendahnya produktivitas, antara lain: deforestasi, mekanisme dalam usaha tani, kebakaran, penggunaan bahan kimia pertanian, dan penanaman secara monokultur. Umumnya faktor-faktor penyebab degradasi baik secara alami maupun campur tangan manusia menimbulkan kerusakan dan penurunan produktivitas
27
tanah.Lima proses utama yang terjadi akibat timbulnya tanah yang terdegradasi, yaitu: menurunnya bahan kandungan bahan organik tanah, perpindahan liat, memburuknya struktur dan pemadatan tanah, erosi tanah, deplesi dan pencucian unsur hara (Firmansyah, 2003). 2.6Inkubasi Menurut Tim Era Media dalam Kamus Pintar Kimia, inkubasi merupakan pemeliharaan organisme, campuran reaksi dan semacamnya dalam lingkungan temperatur konstan selama kurun waktu tertentu agar tercapai hasil atau akibat tertentu. Tujuan dari dilakukannya inkubasi adalah untuk mengukur kecepatan respirasi dari mikroorganisme dalam tanah.Informasi ini juga memberikan informasi mengenai stabilitas dari karbon organik dalam tanah. Untuk melakukan inkubasi ini dapat digunakan alat yang disebut inkubator. Selain dengan menggunakan alat tersebut, inkubasi dapat pula dilakukan dengan cara menyimpan sampel di tempat gelap yang memiliki suhu kurang lebih konstan. Perlu diketahui terlebih dahulu kira-kira suhu dalam ruangan tersebut. 2.6.1 Low Temperature Incubator VI 1000 Secara umum inkubator merupakan sebuah kamar atau kotak yang bersuhu tetap (biasanya 37oC), tempat kultur bakteri ditumbuhkan (Tim Era Media, 2008). Alat Low Temperature Incubator VI 1000 dilengkapi dengan temperature controller berupa tampilan LCD, 2 buah pintu kaca, sistem alarm yang dapat diatur untuk suhu tinggi maupun rendah.Selain itu, alat ini mempunyai 10 rak sehingga memungkinkan untuk meletakkan sampel dengan jumlah cukup banyak.Kapasitas dari inkubator model VI 1000 ini adalah 1000 liter dengan
28
rentang suhu yaitu +2oC hingga +50oC yang dapat disesuaikan dengan yang diinginkan. Adapun prosedur yang harus dilakukan saat mulai menggunakan alat ini yaitu: 1.
Sambungkan alat yang masih kosong ke sumber listrik yang memadai
2.
Atur angka suhu sesuai yang diinginkan atau sesuai yang telah ditetapkan pabrik
3.
Izinkan suhu ruang diatur ke suhu yang diinginkan
4.
Nyalakan pemanas pintu kaca jika terjadi pengembunan di bagian depan pintu
5.
Pastikan bahwa alat berfungsi dengan benar sebelum meletakkan produk di dalam ruang. Untuk produk yang hangat dalam jumlah banyak sangat dianjurkan untuk ditempatkan secara berangsur-angsur ke dalam ruang untuk mencegah peningkatan suhu berlebih dan mengakibatkan sistem alarm menjadi aktif. Sediakan jarak yang tepat antara barang-barang yang berada di dalam suhu tertentu, pastikan untuk menyalakan tombol alarm. Tabel 2.2 Spesifikasi Low Temperature Incubator ETS
Maker VI 600
VI 1000
Dimension external (mm)WxDxH
640x640x1430
1550x650x1430
Dimension internal (mm)WxDxH
700x800x2070
1260x800x2070
600 liters
1000 liters
Model
Capacity Int & ext chamber Temp control / range Temp fluctuate
Epoxy coated mild steel +2°C to +50°C ± 0.1°C
29
Internal air circlation Refrigerant
Force air R134A / R407 CFC free
Comp recip hermetic
280w
400w
Door lock / caster
1/4
1/4
Power voltage Standard LED with alarm system feature
230Vac 50Hz single phase *High & Low alarm adjustable *Powe failure, visual & audible *Remote alarm contact
(ETS, 2007). 2.7 Titrasi Titrasi adalah cara analisis volumetri dengan cara menambahkan reagen pada reagen lain yang volumenya diketahui. Penambahan dilakukan perlahan-lahan sampai titik akhir tercapai.Volume yang ditambahkan untuk mencapai titik akhir dicatat.Jika salah satu larutan diketahui konsentrasinya, maka konsentrasi reagen lainnya dapat dihitung. Prinsip dari titrasi itu sendiri yaitu larutan baku diteteskan dari buret kepada larutan yang diselidiki dalam tempatnya, misalnya labu Erlenmeyer atau gelas piala. Pada cara yang khusus dapat dilakukan sebaliknya. Larutan baku yang diteteskan dapat pula disebut sebagai titran. Berikut adalah hal-hal yang diperlukan dalam analisis secara volumetri 1. Alat pengukur volume seperti buret, pipet volume, dan labu takar yang ditera secara teliti (telah dikalibrasi). 2. Senyawa yang digunakan sebagai larutan baku atau untuk pembakuan harus senyawa dengan kemurnian yang tinggi. 3. Indikator atau alat lain untuk mengetahui selesainya titrasi.
30
Disamping itu diperlukan juga neraca analitik untuk menimbang bahan yang akan diselidiki atau senyawabaku untuk membuat larutan baku. Indikator merupakan zat yang digunakan untuk menunjukkan keberadaan bahan kimia atau ion berdasarkan warnanya.Indikator asam-basa ialah senyawa seperti fenolftalein dan jingga metil yang warnanya berubah bila kondisi larutannya beranjak dari asam ke basa (Mursyidi dan Rohman, 2007). Titik (saat) pada mana reaksi itu tepat lengkap, disebut titik ekuivalen (setara) atau titik akhir teoretis (atau titik akhir stoikiometri).Lengkapnya titrasi, lazimnya harus terdeteksi oleh suatu perubahan, yang tak dapat disalah-lihat oleh mata, yang dihasilkan oleh larutan standar itu sendiri (misalnya kalium permanganate), atau lebih lazim lagi, oleh penambahan suatu reagensia pembantu yang dikenal sebagai indikator.Setelah reaksi antara zat dan larutan standar praktis lengkap, indikator harus memberi perubahan visual yang jelas (entah suatu perubahan warna atau pembentukan kekeruhan), dalam cairan yang sedang dititrasi.Titik (saat) pada mana ini terjadi disebut titik akhir titrasi. Pada titrasi yang ideal, titik akhir yang terlibat akan terjadi berbarengan dengan titik akhir stoikiometri atau teoritis. Namun, dalam praktek, biasanya akan terjadi perbedaan yang sangat sedikit; ini merupakan sesatan (error) titrasi. Indikator dan kondisi-kondisi eksperimen harus dipilih sedemikian, sehingga perbedaan antara titik akhir terlihat dan titik ekuivalen adalah sekecil mungkin. Untuk digunakan dalam analisis titrimetri, suatu reaksi harus memenuhi kondisi-kondisi berikut:
31
1. Harus ada suatu reaksi yang sederhana, yang dapat dinyatakan dengan suatu persamaan kimia, zat yang akan ditetapkan harus bereaksi lengkap dengan reagensia dalam proporsi yang stoikiometrik atau ekuivalen. 2. Reksi harus praktis berlangsung dalam sekejap atau berjalan dengan sangat cepat sekali. Dalam beberapa keadaan, penambahan suatu katalis akan menaikkan kecepatan reaksi itu. 3. Harus ada perubahan yang menyolok dalam energi bebas, yang menimbulkan perubahan dalam beberapa sifat fisika atau kimia larutan pada titik ekuivalen. 4. Harus tersedia suatu indikator, yang oleh perubahan sifat-sifat fisika (warna atau pembentukan endapan), harus dengan tajam menetapkan titik akhir reaksi (Basset, dkk, 1994). Untuk menentukan konsentrasi zat terlarut dalam larutan (misalnya HCl) kita nyatakan larutan yang tidak diketahui tersebut dengan konsentrasi dan volume yang diketahui (misalnya NaOH) sampai rasio mol tepat seperti yang dipersyaratkan oleh persamaan kimia yang seimbang. Kemudian dari volume yang diketahui di kedua larutan, konsentrasi zat terlarut yang tidak diketahui dapat dihitung. Dengan cara ini, kita dapat menentukan konsentrasi larutan tanpa menimbang zat terlarut, yang sering menyulitkan bahkan mustahil. Misalnya, beberapa reaktan menyerap air dari udara begitu kuat sehingga Anda tidak mengetahui berapa reaktan dan berapa air yang ditimbang.Prosedur yang digunakan disebut titrasi (titration) (Goldberg, 2007). 2.7.1 Titrasi Asidi - Alkalimetri Asidimetri dan alkalimetri termasuk reaksi netralisasi yakni reaksi antara ion hidrogen yang berasal dari asam dengan ion hidroksida yang berasal dari basa
32
untuk menghasilkan air yang bersifat netral.Netralisasi dapat juga dikatakan sebagai reaksi antara donor proton (asam) dengan penerima proton (basa). Asidimetri merupakan penetapan kadar secara kuantitatif terhadap senyawasenyawa yang bersifat basa dengan menggunakan baku asam. Sebaliknya alkalimetri adalah penetapan kadar senyawa-senyawa yang bersifat asam dengan menggunakan baku basa (Mursyidi dan Rohman, 2007). Reaksi asam basa menjadi titik dasar bagi titrasi asam basa.Titrasi asam basa dapat memberikan titik akhir yang cukup tajam untuk diamati secara visual sehingga untuk pengamatan digunakan suatu indikator yang memiliki warna berbeda pada lingkungan pH yang berbeda.Selama titrasi pH larutan berubah seara nyata (signifikan) bila volume penitrasi mencapai titik ekivalen. Pada titrasi basa kuat dengan asam kuat, sebelum titik ekivalen larutan bersifat sangat basa dengan konsentrasi ion hidroksida sama dengan konsentrasi larutan basa mula-mula. Pada titik ekivalen larutan bersifat netral dan akan menjadi bersifat asam pada penambahan lebih lanjut volume asam penitrasi. Konsentrasi ion hidronium sama dengan konsentrasi kelebihan asam (Widodo, dkk, 2009).