BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Medis 1. Masa Nifas Masa nifas adalah periode minggu-minggu pertama setelah kelahiran. Merupakan masa yang relatif tidak kompleks dibandingkan kehamilan, nifas ditandai oleh banyak perubahan fisiologis (Williams, 2010). Masa nifas (puerperium) dimulai sejak 1 jam setelah kelahiran plasenta sampai 6 minggu (42 hari) setelah itu (Prawirohardjo, 2014). 2. Perdarahan Postpartum Primer atau Dini a. Definisi Perdarahan postpartum primer atau dini adalah perdarahan dari jalan lahir lebih atau sama dengan 500 ml dalam 24 jam pertama setelah bayi lahir (Krisnadi, Anwar dan Alamsyah, 2012). Perdarahan pasca persalinan (PPP) primer terjadi dalam 24 jam pertama dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, berbagai robekan jalan lahir dan sisa sebagian plasenta. Dalam kasus yang jarang bisa karena inversio uteri (Hadijono, 2014).
b. Etiologi Penyebab perdarahan primer antara lain menurut (Karkata, 2014) :
1) Atonia uteri Merupakan keadaan lemahnya kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. 2) Robekan jalan lahir Pada umumnya terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir karena itu dihindarkan memimpin persalinan saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi. 3) Retensio plasenta Apabila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala III bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. 4) Inversi uterus Keadaan lapisan di dalam uterus (endometrium) yang turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit maupun komplit.
5) Perdarahan karena gangguan pembekuan darah Perdarahan karena gangguan pembekuan darah dapat dicurigai apabila penyebab lain telah ditepis dan adanya riwayat pernah mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Perdarahan terjadi setiap dilakukan penjahitan dan akan merembes atau timbul hematoma.
Penyebab perdarahan primer menurut (Oxorn dan R.Forte, 2010) : 1) Atonia uteri Perdarahan postpartum bisa dikendalikan melalui kontraksi dan serat-serat myometrium. Kontraksi dan retraksi ini menyebabkan terlipatnya pembuluhpembuluh darah sehingga aliran darah ke tempat placenta menjadi terhenti. Kegagalan mekanisme akibat gangguan fungsi myometrium ini dinamakan atonia uteri. 2) Laserasi perineum Perdarahan postpartum terjadi pada wanita yang mengalami laserasi perineum pada saat melahirkan anak pertama. Laserasi perineum yang terjadi harus diperbaiki secara cermat untuk menanggulangi perdarahan. 3) Laserasi bagian atas vagina Perdarahan postpartum karena laserasi vagina terjadi pada kelahiran spontan tetapi lebih sering pada kelahiran dengan pembedahan dan kelahiran dengan penyerta. 4) Hematoma puerpuralis Hematoma puerpuralis terjadi karena ruptur pembuluh vena dibalik kulit genetalia eksterna dan di bawah mukosa vagina saat melahirkan atau perbaikan robekan jalan lahir. 3.
Robekan perineum a.
Pengertian Robekan perinium adalah robekan yang terjadi pada perineum sewaktu persalinan (Walyani dan Purwoastuti, 2015). Robekan perineum merupakan robekan
yang umum terjadi di garis tengah dan biasanya menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil dari biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika. Persatuan antara mediana levatorani yang terletak antara anus
dan
vagina
diperkuat
tendon
sentralis
perineum
tempat
bersatu
bulbokavernosus, muskulus perinialis dan merupakan pendukung utama perineum sering robek selama persalinan (Sukarni dan Sudarti, 2014). Klasifikasi robekan perineum menurut Henretty (2014) dibagi menjadi: 1) Derajat satu Robekan pada kulit vagina dan perineum tetapi otot-otot perineum tetap utuh.
2) Derajat dua Robekan pada korpus perineum terjadi lebih dalam hingga spfingter ani atau terkadang sebagian sfingter ani juga terkena. Robekan pada vagina seringkali meluas hingga ke kedua sisi vagina. 3) Derajat tiga Robekan meliputi sfingter ani interna dan eksterna (komplek sfingter ani). 4) Derajat empat Robekan kompleks sfingter ani dan mukosa rektum (Henretty, 2014). b. Etiologi Penyebab terjadinya robekan perineum antara lain : 1) Luasnya arkus pubis (yang mencerminkan jalan lahir) (Henretyy, 2014). 2) Episotomi yang melebar (Prawirohardjo, 2014).
3) Rupture spontan (Sukarni dan Sudarti, 2014). 4) Distosia bahu (Sukarni dan Sudarti, 2014). 5) Persalinan tidak dipimpin (Sukarni dan Sudarti, 2014). 6) Kepala janin terlalu cepat lahir (Sukarni dan Sudarti, 2014). 7) Partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak ditolong (sebab paling sering) (Oxorn dan R.Forte, 2010).
c.
Patofisiologi Asal permulaan perjalanan dan akibat terjadinya ruptur perineum adalah otot perineum yang belum meregang sempurna (kaku) mendapatkan tekanan dari kepala janin yang mulai turun di dasar panggul. Hal tersebut mengakibatkan kepala janin menekan perineum. Sehingga muskulus perinalis pada perineum robek dan terjadi perdarahan (Henretty, 2010) (Sukarni dan Sudarti, 2014). Otot perineum belum meregang(kaku)
Kepala janin turun ke dasar panggul
Kepala janin menekan perineum
Muskulus perinialis robek
Perdarahan
Bagan 1: Patofisiologi Ruptur Perineum Sumber: (Henretty, 2010) dan (Sukarni dan Sudarti, 2014)
d.
Faktor predisposisi Faktor pemicu berupa kondisi dan situasi yang menyebabkan terjadinya robekan perineum antara lain : 1) Ukuran dan posisi kepala janin (Henretyy, 2014). 2) Persalinan dengan tindakan misalnya ekstraksi forsep, ekstrasi vakum,
versi
ekstrasi, dan embriotomi (Endriani, Rosidi dan Andarsari, 2012). 3) Mengejan terlalu kuat (Endriani, Rosidi dan Andarsari, 2012). 4) Perineum yang rapuh dan oedema (Endriani, Rosidi dan Andarsari, 2012). 5) Kelenturan vagina (Endriani, Rosidi dan Andarsari, 2012). 6) Cara memimpin mengejan, cara berkomunikasi dengan ibu (Endriani, Rosidi dan Andarsari, 2012). 7) Keterampilan menahan perineum pada saat eksplusi kepala (Endriani, Rosidi dan Andarsari, 2012). 8) Anjuran posisi meneran dan episiotomi (Endriani, Rosidi dan Andarsari, 2012). 9) Perineum sempit dan elastilitas perineum (Endriani, Rosidi dan Andarsari, 2012). 10) Partus yang diselesaikan tergesa-gesa dengan dorongan fundus yang berlebihan (Oxorn dan R.Forte, 2010). 11) Bayi besar (lebih dari 4000 gram) (Liu, 2005). e.
Faktor risiko Hal yang berpotensi menyebabkan terjadinya robekan perineum antara lain : 1) Jaringan parut pada perineum (Sukarni dan Sudarti, 2014). 2) Pertolongan persalinan oleh dukun (Endriani, Rosidi dan Andarsari, 2012). 3) Pasien tidak mampu berhenti mengejan (Oxorn dan R.Forte, 2010).
4) Edema dan kerapuhan pada perineum (Oxorn dan R.Forte, 2010). 5) Varikositas vulva yang melemahkan jaringan perineum (Oxorn dan R.Forte, 2010). 6) Arcus pubis sempit dengan pintu bawah panggul sempit pula sehingga menekan kepala bayi ke arah posterior (Oxorn dan R.Forte, 2010). 7) Pelahiran primipara (Liu, 2008). 8) CPD (Chepalo Pelvic Disproposional) (Liu, 2008). f.
Keluhan subjektif Ibu mengeluh perdarahan hebat (Cunningham, 2013). Ibu mengatakan cemas, merasa haus, lemah dan dingin (Krisnadi, Anwar, dan Alamsyah, 2012). Ibu mengatakan perutnya mules dan mengalami nyeri sekaligus merasa jalan lahirnya bengkak (Fraser dan Cooper, 2012).
g.
Tanda klinis atau laboratoris Tanda klinis robekan perineum menurut (Sukarni dan Sudarti, 2014) meliputi: 1) Robekan jalan lahir. 2) Darah segar mengalir segera setelah bayi lahir. 3) Uterus kontraksi baik. 4) Plasenta baik. 5) Pucat. 6) Lemah. 7) Menggigil. Tanda klinis robekan perineum selain yang telah disebutkan diatas menurut (Krisnadi, Anwar, dan Alamsyah, 2012) meliputi:
1) Penurunan sistolik. 2) Takikardi. 3) Suplai darah ke usus dan ginjal menurun sehingga terjadi oliguri. Tanda laboratoris pada robekan perineum dapat diketahui dengan melakukan berbagai pemeriksaan menurut (Irianti, 2012) antara lain: 1) Pemeriksaan darah lengkap. 2) Pemeriksaan profil pembekuan darah dan elektrolit. 3) Penentuan golongan darah dan crossmatch. 4) Pemeriksaan hematologis lengkap. 5) Pemeriksaan faktor koogulasi termasuk fibrinogen. 6) Pemeriksaan fungsi hepar dan renal. h. Prognosis Prognosis pada robekan perineum menurut Liu (2008) : 1) Robekan perineum yang sampai pada ujung sfingter ani jika Perbaikanya dilakukan ujung ke ujung sfingter mengakibatkan buruknya fungsi sfingter dikemudian hari jika ujungnya beretraksi. 2) Mendorong terbentuknya fistulla rektovaginal dan menghambat penyembuhan luka apabila terjadi konstipasi pasca penjahitan pada robekan perineum. 3) Meningkatkan risiko inkontinensa anal apabila persalinan selanjutnya dilakukan pervaginam. 4) Pada 10 % ibu mengalami nyeri dan rasa tidak nyaman selama 3-18 bulan postpartum trauma robekan perinium.
5) Pada 20 % ibu akan mengalami dispareuni superfisial (nyeri saat introitus) sekitar 3 bulan. 6) Pada 30%
ibu mengalami inkontinensia flatus (ketidakmampuan mengontrol
kentut). 7) Pada 20% ibu mengalami inkontinensia urine (ketidakmampuan mengontrol BAK). 8) Terjadi kerusakan sfingter ani pada 70% ibu pada robekan derajat 3 dan 4 yang dapat diperbaiki dan terjadi samar pada 36% ibu lainnya. 9) Terjadi inkontensia usus pada robekan derajat III karena cedera syaraf dan sfingter ani eksternal-internal. 10) Pada 10 % ibu mengalami kerusakan luka yang mengaharuskan pembedahan kembali.
Prognosis pada robekan perineum menurut Marchant (2009) : 1) Setelah dilakukan penjahitan perineum akan menyebabkan trauma pada primigravida, trauma terhadap aktivitas sehari-hari, trauma fisiologis dan psikologis jangka panjang. 2) Setelah penjahitan perineum dilakukan dalam jangka 7-10 hari nyeri akan hilang. 3) Munculnya peradangan dan nyeri perineum setelah penjahitan mengindikasi terjadinya mordibitas.
4) Munculnya afterpain (bentuk dan isu ketidaknyamanan) setelah perbaikan robekan perineum. 5) Munculnya tanda-tanda syok apabila setelah perbaikan robekan perineum terjadi hematoma. Prognosis pada robekan perineum menurut (Oxorn dan Forte, 2010) : 1) Pembuluh darah akan mengkerut apabila apex robekan tidak tercangkup dalam jahitan. 2) Pembentukan hematoma akan terjadi apabila vagina tidak ditampon dengan baik dengan gulungan kassa. Prognosis pada robekan perineum menurut (Fraser dan Cooper, 2012): 1) Pasca perbaikan perineum timbul luka bernanah atau purulen, inflamasi dan nyeri tekan. 2) Pasca perbaikan perineum mengalami syok akut akibat hematoma. 3) Pasca penjahitan perineum mengalami edema. 4) Pasca penjahitan perineum mengalami infeksi ditandai dengan tepi kulit disekitar luka yang lembap, gembung, licin, bau, dan terdapat pus. Prognosis pada robekan perineum menurut Tobing dan Sukarsa (2013): 1) Penjahitan yang tidak baik mengakibatkan terjadinya prolapsus atau kelemahan dasar panggul. i. Penatalaksanaan dan pengobatan robekan perineum 1) Infomasikan kepada bidan terlatih yang bertugas dan tenaga obstetri (Irianti, 2012).
2) Melakukan penilaian awal adanya syok atau perdarahan hebat pendekatan sistematis ABC. a) A dan B (asses airway and breathing) Berikan O2 konsentrasi tinggi (10-15 liter atau menit), jika jalan nafas terganggu karena kesadaran menurun berikan bantuan anastesi. Menilai jumlah darah yang keluar seakurat mungkin dan menentukan derajat hemodinamik (Irianti, 2012). Nilai tingkat kesadaran, nadi, TD(Walyani dan Purwoastuti, 2015). b) C (circulation) nilai keadaan sirkulasi Apabila terjadi syok memasang jalur infus NaCl 11/15 menit abocat 14G-16G kemudian mengambil 20 ml spesimen darah, (Irianti, 2012). 3) Memposisikan ibu dalam posisi litotomi, membersihkan area bedah kemudian menutupinya dengan duk dan mempertahankan teknik aseptik (Liu, 2008). 4) Meminta informed consent untuk melakukan pemeriksaan rektal dan vaginal, apabila mengeluh sakit memberikan analgesi kuat sebelum pemeriksaan. Inspeksi cermat daerah vulva, vagina dan rektal. Menentukan luka di apeks vagina dan melakukan pemeriksaan rektal untuk mengetahui trauma mukosa rektal dan sfingter ani. Menyibak labia dengan jari telunjuk dan tengah kiri lalu memasukan jari telunjuk kanan untuk mengamati kulit perineum dan otot sfingter ani dengan sedikit menggerakan jari ke atas. Melakukan pemeriksaan OASIS (Obstetric Anal Sphincter Injuries) dengan memasukkan jari pada rektum lalu meraba otot sfingter ani. Kemudian melakukan pemeriksaan otot sfingter ani internal (Tobing dan Sukarsa, 2013).
5) Mengikat atau melakukan klem pembuluh darah yang menyemprot untuk mengurangi kehilangan darah (Liu, 2008) 6) Melakukan penjahitan robekan perineum: Alat dan bahan yang digunakan dalam melakukan penjahitan perineum menurut Tri Buana (2014) diantaranya adalah sarung tangan, clemek, perlengkapan ibu, bengkok, jarum jahit otot, jarum jahit kulit, gunting benang, pinset anatomis, pinset chirurgis, kassa steril, kom berisi betadine, Lidokain 1 %, spuit, benang PGA/catgut chromik, chlorine, dan air DTT. Pejahitan robekan perineum menurut (Hanretty, 2014) : a) Robekan perineum derajat satu Penjahitan dilakukan dalam posisi asepsis dengan posisi pasien litotomi menggunakan penerangan cukup. Lidokain 1% disuntikkan ke area bawah kulit sebanyak 20-30 ml. Robekan kulit vagina dan perineum dijahit dengan jahitan jelujur (continuous suture)menggunakan benang PGA. b) Robekan perineum derajat dua Perbaikan dilakukan lapis demi lapis : (1) Otot-otot pada corpus perineum dijahit menjadi satu dengan jahitan terputus (interupted suture) menggunakan benang PGA. (2) Kulit dijahit diatas otot dengan benang PGA. c) Robekan perineum derajat tiga dan empat Robekan derajat tiga dan empat harus ditangani oleh dokter SpOG. Saat tindakan dilakukan perlu adanya pemberian antibiotik spektrum luas.
Dinding rektum dijahit dengan benang PGA dan simpul diikat di dalam rektum. (1) Kedua ujung sfingter ani didekatkan dengan cunam jaringan sehingga ujungnya saling bertumpang tindih membuat lapisan ganda (double layer) pada otot yang robek. (2) Teknik menjahit selanjutnya dilakukan seperti melakukan teknik jahitan derajat dua dengan menjahit kulit disekitar tepi anus. 7) Melakukan tatalaksana pasca penjahitan. Tatalaksana pasca penjahitan robekan perineum menurut (Hanretty, 2014) adalah : a) Memberikan laksatif untuk mencegah luka terbuka kembali b) Memberikan antibiotik spektrum luas termasuk metronidazol yang telah diberikan saat tindakan diteruskan pasca dilakukan penjahitan untuk mengurangi kejadian terbukanya luka dan terbentuknya fistula. c) Menganjurkan pasien untuk melakukan kunjungan ulang agar dokter dapat melakukan pemeriksaan khususnya mengenai kontinensi feses dan flatus. B. Teori Manajemen Kebidanan Merupakan suatu pendekatan proses pemecahan masalah yang digunakan sebagai motede mengorganisasikan pikiran dan tindakan berdasarkan teori ilmiah, temuan, dan keterampilan dalam tahapan yang logis untuk mengambil suatu keputusan yang terfokus pada klien (Walyani dan Purwoastuti, 2015). Teori manajemen kebidanan dilakukan agar terwujudnya keputusan klinis yang benar dan tepat menggunakan cara berpikir dan bertindak kritis, analitis, dan sistematis (Sari, 2012).
1.
Manajemen kebidanan 7 Langkah Varney Manajemen kebidanan 7 langkah Varney menurut Walyani dan Purwoastuti (2015) dalam penerapannya pada ibu nifas dengan perdarahan postpartum akibat robekan perineum meliputi : a. Langkah I : Pengumpulan atau Pengkajian Data Dasar Secara Lengkap Merupakan langkah mengumpulkan data akurat dan lengkap dari semua sumber pada kasus perdarahan postpartum karena robekan perineum. Pengkajian data dibagi menjadi : 1) Data subjektif Diperoleh dengan melakukan anamnesa. Anamnesa adalah pengkajian dalam rangka mendapatkan data pasien dengan cara mengajukan pertanyaan baik langsung kepada ibu nifas maupun kepada keluarga pasien (Walyani dan Purwoastuti, 2015). Pada kasus ibu nifas dengan perdarahan postpartum akibat robekan perineum data subjektif yang perlu dikaji lebih lanjut adalah : a) Identitas pasien Data fokus yang perlu dikaji meliputi nama lengkap, umur, dan alamat tempat tinggal. Hal ini untuk mengetahui faktor resiko dari penyakit yang diderita (Walyani dan Purwoastuti, 2015). b) Alasan masuk atau keluhan utama Keluhan utama pada kasus perdarahan postpartum adalah perdarahan hebat dari jalan lahir (Chunningham, 2013). Perasaan tidak nyaman, haus, lemah dan dingin (Krisnadi, Anwar, dan Alamsyah, 2012). Merasakan mules dan nyeri pada jalan lahir (Fraser dan Cooper, 2012).
c) Riwayat Obstetri Riwayat obstetri berupa riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang perlu ditanyakan dalam pengkajian. Apabila terdapat riwayat persalian dengan berat bayi >4000 gram dapat menjadi faktor resiko terjadinya robekan perineum (Liu, 2008). Apabila terdapat riwayat perdarahan postpartum karena robekan perineum sehingga terbentuk jaringan parut perineum (Sukarni dan Sudarti, 2014). Dalam riwayat persalinan yang dilakukan oleh dukun dan persalinan yang dilakukan dengan tindakan juga menjadi faktor pemicu terjadinya perdarahan postpartum akibat robekan perineum (Endriani, Rosini, dan Andarsari, 2012). Partus yang tergesa-gesa dan riwayat persalinan multipara juga merupakan hal potensial yang menyebabkan terjadinya robekan perineum sehingga terjadi perdarahan postpartum (Oxorn dan Forte, 2010).
2) Data Objektif Data objektif menurut Walyani dan Purwoastuti (2015) diperoleh melalui pemeriksaan fisik sesuai kebutuhan, pemeriksaan tanda-tanda vital dan pemeriksaan penunjang . Pada kasus ibu nifas dengan perdarahan postpartum akibat robekan perineum data objektif yang perlu dikaji lebih lanjut adalah : a) Pemeriksaan fisik b) Pemeriksaan umum
Meliputi pemeriksaan tekanan darah dan nadi. Apabila tekanan darah pasien rendah dan nadinya cepat. c) Pemeriksaan sistematis Pemeriksaan conjungtiva. Apabila conjungtiva pasien pucat. d) Pemeriksaan khusus obstetri (palpasi). Meliputi pemeriksaan TFU dan kontraksi, dan kandung kemih. Apabila TFU normal, kontraksi baik dan kandung kemih kosong. e) Pemeriksaan genetalia Meliputi pemeriksaan vagina, pengeluaran pervagina, pemeriksaan perineum dan anus. Apabila vagina, perineum dan anus mengalami robekan. Maka terjadi perdarahan pervaginam. f) Pemeriksaan penunjang Dapat diperoleh melalui pemeriksaan laboratorium (Hb, hematokrit, leukosit, golongan darah dam crossmatch untuk menyediakan darah jika diperlukan. Pemeriksaan profil pembekuan darah dan elektrolit untuk mendeteksi ketidakseimbangan
elektrolit.
Pemeriksaan
faktor
koogulasi
termasuk
fibrinogen untuk mendeteksi masalah pembekuan. Pemeriksaan USG untuk menentukan adanya jaringan plasenta yang tertinggal. b. Langkah II : Intrepretasi Data Dasar Merupakan identifikasi terhadap diagnosa, masalah dan kebutuhan pasien pada ibu nifas berdasarkan intepretasi yang benar atas data yang dikumpulkan (Walyani dan Purwoastuti, 2015).
Pada ibu nifas dengan perdarahan postpartum akibat robekan perineum yang perlu diketahui dari intepretasi data dasar meliputi : 1) Diagnosa kebidanan Diagnosa yang dapat ditegakkan dalam kasus perdarahan postpartum akibat robekan perineum adalah diagnosa yang berhubungan dengan para, abortus, anak hidup, umur ibu, tanggal persalinan, dan keadaan nifas. Kemudian ditegakkan dengan data dasar subjektif dan obektif (Walyani dan Purwoastuti, 2015). Diagnosa yang dapat ditegakkan dalam kasus ini adalah “Ny.G umur 25 tahun P1A0 dengan perdarahan postpartum primer akibat robekan perineum, portio, dan hematoma vagina di RSUD Karanganyar”.
2) Masalah Masalah dirumuskan ketika bidan menemukan kesenjangan yang terjadi pada respon ibu terhadap masa nifas dan membutuhkan penanganan bidan. Masalah merupakan pernyataan dari pasien ditunjang data dasar subjektif maupun objektif (Walyani dan Purwoastuti, 2015). Pada kasus perdarahan postpartum akibat robekan perineum, masalah yang dialami adalah perdarahan hebat dari jalan lahir (Chunningham, 2013). Perasaan tidak nyaman, haus, lemah dan dingin (Krisnadi, Anwar, dan Alamsyah, 2012). 3) Kebutuhan Untuk mengatasi masalah yang terjadi pada ibu, perlu diberikan: a) Informasi dan support mental kepada ibu tentang penyebab perdarahan postpartum akibat robekan perineum (Irianti, 2012).
b) Penjahitan robekan perineum (Henratyy, 2014). c) Pemberian antibiotik (Walyani, dan Purwoastuti, 2015). c. Langkah III : Identifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial/Diagnosa Potensial dan Antisipasi Penanganan Merupakan langkah antisipasi sehingga dalam melakukan asuhan kebidanan bidan mampu mengantisipasi permasalahan yang akan timbul dan kondisi yang ada (Walyani dan Purwoastuti, 2015). Diagnosa potensial pada kasus “Ny.G umur 25 tahun P1A0 dengan perdarahan postpartum primer akibat robekan perineum, portio, dan hematoma vagina di RSUD Karanganyar” adalah syok apabila setelah perbaikan robekan perineum terjadi hematoma (Fraser dan Cooper, 2012). Untuk mengantisipasi terjadinya diagnosa potensial tersebut, bidan perlu melakukan: 1) Penilaian awal adanya syok atau perdarahan (Walyani dan Purwoastuti, 2015). 2) Mengurangi kehilangan darah (Liu, 2008). 3) Melakukan penjahitan robekan perineum (Oxorn dan Forte, 2010). 4) Mengendalikan perdarahan (Oxorn dan Forte, 2010). d. Langkah IV : Kebutuhan Terhadap Tindakan Segera Merupakan tindakan emergensi yang harus dirumuskan bidan untuk menyelamatkan ibu nifas secara mandiri, kolaborasi, dan rujukan berdasarkan kondisi klien (Walyani dan Purwoastuti, 2015). Kebutuhan terhadap tindakan segera yang perlu dilakukan dalam penanganan kasus Ny.G umur 25 tahun P1A0 dengan perdarahan postpartum primer akibat robekan perineum, portio, dan hematoma vagina di RSUD Karanganyar adalah
kolaborasi dengan dokter spesialis obstetri dan ginekologi (Irianti, 2012). Kemudian dengan pemberian terapi meliputi pemasangan infus, pemberian antibiotik, monitoring tanda-tanda vital, dan menghentikan sumber perdarahan dengan klem sumber perdarahan, tampon dengan kassa dan melakukan penjahitan (Oxorn dan Forte, 2010). e. Langkah V: Perencanaan Asuhan yang menyeluruh Perencanaan asuhan yang menyeluruh menurut Walyani dan Purwoastuti (2015) ditentukan dari hasil kajian pada langkah sebelumnya. Merupakan kelanjutan penatalaksanaaan terhadap masalah atau diagnosa yang telah diidentifikasi atau diantisipasi yang sifatnya segera atau rutin. Perencanaan asuhan dibuat berdasarkan pertimbangan yang tepat dari pengetahuan, teori up to date, dan divalidasikan dengan kebutuhan pasien. Sebaiknya melibatkan pasien dan melakukan informed consent. Dalam kasus perdarahan postpartum karena robekan perineum perlu dilakukan perencanaan seperti: 1) Observasi keadaan umum, tanda-tanda vital (tekanan darah, nad pernapasan dan suhu) dan mengobservasi perdarahan pervaginam untuk menentukan pertolongan segera pada pasien (Irianti, 2012;Walyani, dan Purwoastuti, 2015). 2) Menginformasikan pada ibu dan keluarga tentang keadaan ibu dan tindakan yang akan dilakukan (Irianti,2012). 3) Berikan lembar persetujuan (informed concent) (Tobing dan Sukarsa, 2013) 4) Kolaborasi dengan dokter spesialis obstetri ginekologi untuk pemberian terapi (cairan infus) dan pelaksanaan tindakan penjahitan (Irianti,2012) f. Langkah VI : Pelaksanaan Langsung Asuhan dengan Efisien dan Aman
Pada langkah ini rencana asuhan menyeluruh dari langkah kelima dilaksanakan secara efisien dan aman. Perencanaan bisa dilakukan seluruhnya oleh bidan atau sebagian oleh klien, atau anggota tim kesehatan lainnya. Bidan berkolaborasi dengan dokter spesialis obstetri dan ginekologi untuk melakukan tindakan penjahitan apabila pada kasus terindentifikasi terjadinya robekan perineum derajat III dan IV (Varney, 2007). g. Langkah VII : Evaluasi Menurut Walyani dan Purwoastuti (2015) evaluasi didasarkan pada harapan pasien saat diidentifikasi untuk merencanakan asuhan kebidanan. Evaluasi berfungsi untuk mengetahui keberhasilan asuhan dengan pertimbangan, antara lain: tujuan asuhan kebidanan, efektivitas tindakan untuk mengatasi masalah, dan hasil asuhan kebidanan. Evaluasi dari asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan perdarahan postpartum akibat robekan perineum terdiri dari beberapa kriteria hasil meliputi : 1) Keadaan umum, kesadaran composmentis, vital sign. 2) Tinggi fundus uteri 2 jari di bawah pusat. 3) Kontraksi uterus baik dan keras. 4) Perdarahan dalam batas normal. 5) Terapi dari dokter spesialis obstetri dan ginekologi harus sudah dilaksanakan semua dengan baik. 2.
Follow up Data Perkembangan Kondisi Klien Dari Tujuh Langkah Varney perlu dilakukan tindakan untuk mengetahui hasil berkaitan dengan apa yang telah dilakukan melalui proses berpikir sistematis, didokumentasikan dalam bentuk SOAP. SOAP
merupakan proses pemikiran
penatalaksanaaan kebidanan sebagai perkembangan catatan kemajuan keadaan pasien dalam hal ini pasien dengan perdarahan postpartum akibat robekan perineum (Kepmenkes RI No.938/Menkes/SK/VII/2007). a. S= Subjektif Menggambarkan pendokumentasian hasil pengumpulan data klien pada kasus perdarahan postpartum akibat robekan perineum melalui anamnesis (Langkah I Varney). Pada pasien dengan perdarahan postpartum akibat robekan perineum dari data perkembangan yaitu ibu merasa lebih baik, perdarahan sudah berkurang maupun berhenti. b. O= Objektif Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik klien berupa keadaan umum ibu baik, sadar, tanda-tanda vital ibu normal,dalam pemeriksaan inspeksi terlihat perdarahan dari jalan lahir sudah tidak ada, dan tidak terdapat tanda infeksi pada luka jahitan. Pendokumentasian hasil laboratorium dengan hasil Hb normal kemudian apabila diperlukan uji diagnosis lain yang dirumuskan dalam data fokus untuk mendukung asuhan (Langkah I Varney). c. A= Pengkajian atau assesment Menggambarkan pendokumentasian data yang terkumpul kemudian dibuat kesimpulan meliputi diagnosis, antisipasi diagnosis atau masalah potensial, serta perlu tidaknya tindakan segera sebagai langkah 2 Varney.
Diagnosis kebidanan yang dapat ditegakkan berdasarkan data subjektif dan objektif adalah Ny.G umur 25 tahun P1A0 dengan perdarahan postpartum primer akibat robekan perineum, portio, dan hematoma vagina di RSUD Karanganyar. d. P= Plan Menggambarkan penatalaksanaan, mencatat seluruh perencanaan dan penatalaksanaan yang sudah dilakukan seperti tindakan antisipatif, tindakan segera, tindakan segera yang komprehensif yang meliputi KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi), Kolaborasi, dan evaluasi dari rujukan sebagai langkah 3, 4, 5, 6 dan 7 Varney. Pada kasus perdarahan postpartum akibat robekan perineum beberapa hal yang perlu direncankan menurut Irianti (2012) dan Walyani, Purwoastuti (2015) yaitu mengobservasi keadaan umum, tanda-tanda vital dan perdarahan pervaginam, menginformasikan keadaan ibu dan tindakan yang akan dilakukan, melakukan informed consent, dan melakukan kolaborasi dengan dokter spesialis obstetri ginekologi untuk penatalaksanaan seperti pemberian terapi dan pelaksanaan tindakan penjahitan apabila terjadi robekan derajat II dan III. Pemberian asuhan kebidanan yang optimal diharapkan dapat menghentikan perdarahan. Perencanaan tersebut dilakukan secara efektif dan aman kemudian dilakukan evaluasi pada kasus perdarahan postpartum akibat robekan perineum tersebut (Kepmenkes RI No.938/Menkes/SK/VII/2007).