BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. KAJIAN TEORITIS 2.1.1 Konsep Tuberkulosis Paru 2.1.1.1 Definisi Tuberkulosis Paru Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikrobakterium tuberkulosa. Penyebab penyakit ini adalah bakteri kompleks Mikrobakterium tuberkulosis. Mycobacteria termasuk dalam famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetales. Kompleks Mikrobakterium tuberkulosis meliputi M. tuberkulosis, M. bovis, M. africanum, M. microti, dan M. canettii. Dari beberapa kompleks tersebut, M. tuberculosis merupakan jenis yang terpenting dan paling sering dijumpai. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-paru (90%) dibandingkan bagian lain tubuh manusia (Masrin, 2008). Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang dapat mengenai paru-paru manusia. Tuberkulosis disebabkan oleh kuman dan karena itu tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan. Selain terdapat pada paru-paru, tuberkulosis juga dapat mengenai organ tubuh lainnya, seperti tulang, otak, otot dan lain-lain (Aditama, 1994).
Tuberkulosis disebabkan oleh basil atau kuman yang diberi nama dalam bahasa latin Mikrobakterium tuberkulosis. Basil penyebab tuberkulosis ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Jerman yang bernama Robert Koch pada tahun 1882. Basil tuberkulosis akan tumbuh secara
optimal pada suhu sekitar 37˚C, yang memang kebetulan sesuai dengan tubuh manusia (Aditama, 1994). Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh mikroobacterium tuberkulosis (MTB) sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid), yang membuat kuman lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik. Kuman ini tahan hidup pda udara kering maupun dalam keadaan dingin (sifat dormant). Sifat lain kuman ini adalah aerob, artinya bahwa kuman ini lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya, dalam hal bagian apical paruparu sehingga apical ini merupakan tempat prediksi penyakit Tuberkulosis paru (stark dkk, 2002).
2.1.1.2 Gejala Penyakit Tuberkulosis Gejala penyakit Tuberkulosis dapat di bagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas, terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosis secara klinik. 1. Gejala umum a. Demam, tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya di rasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang, serangan demam seperti serangan influenza dan bersifat hilang timbul. b. Penurunan nafsu makan dan berat badan. c. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai darah) d. Perasaan tidak enak (malaise) dan lemah 2. Gejala khusus a. Tergantung dari organ tubuh yang terkena, apabila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang
membesar, akan menimbulkan suara “mengi” dan suara nafas melemah yang disertai sesak. b. Apabila ada cairan di rongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada. c. Apabila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya. Pada muara ini akan keluar cairan nanah. d. Pada anak-anak, dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang delaput otak). Gejalanya adalah kejang-kejang, demam tinggi, penurunan kesadaran, dan kejang-kejang.
2.1.1.3 Pengobatan Penyakit tuberkulosis paru dapat disembuhkan jika minum obat secara teratur dan konsultasi ke petugas kesehatan dengan teratur dalam jarak waktu minimal 6 bulan. Tahap pengobatan terdiri dari tahap intensif dan tahap lanjutan. Tahap intensif atau awal pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencengah terjadinya kekebalan terhadap semua obat anti tuberkulosis (OAT), bila pengobatan tahap intensif terseb/ut diberikan secara tepat biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurung waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien tuberkulosis paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dengan jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister atau dormant sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Hal – hal lain yang menunjang proses penyembuhan yaitu :
1. Minum obat secara teratur 2. Kontrol secara teratur untuk mengetahui perkembangan penyakit 3. Mengkonsumsi makanan dengan menu gizi seimbang 4. Istirahat yang cukup 5. Menjaga kebersihan lingkungan 6. Pencahayaan dan ventilasi rumah cukup untuk mencegah penularan Tujuan pengobatan tuberkulosis paru menurut DepKes RI tahun 2002, yaitu : 1. Menyembuhkan pasien 2. Mencegah kematian 3. Mencegah kekambuhan Prinsip pengobatan Obat tuberkulosis diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan. Supaya semua kuman (termasuk kuman persiter) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat, (jenis, obat dan jangka waktu pengobatan), kuman tuberkulosis akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung DOT (diretly observed treatman) oleh seorang PMO (pengawas menelan obat) seperti di kutip dari DepKes RI 2002.
2.1.1.4 Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis 1. Percikan ludah (droplet infection)
Pada saat penderita tuberkulosis batuk akan mengeluarkan droplet dengan ukuran mikroskopis yang bervariatif. Ketika pertikel tersebut berada di udara, air akan menguap dari permukaannya sehingga menurunkan volume dan menaikan konsetrasi kumannya. Partikel inilah yang disebut dengan droplet (Crofton, 2002) 2. Inhalasi debu yang mengandung basil tubercolusa (air bone infection) Seseorang yang melakukan
kontak erat dalam waktu yang lama dengan penderita
tuberkulosis paru akan mudah tertular karena menginhalasi udara yang telah terkontaminasi kuman tuberkulosis Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Seseorang dapat terinfeksi kuman tuberkulosis paru bila droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2002). Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
2.1.1.5 Diagnosa 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik 2. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositos)
3. Foto toraks PA dan lateral. Gambaran foto thoraks yang mennjang diagnosis TB yaitu : Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apical lobus bawah. a. Bayangan berawan (patchy) atau berbecak (nodular). b. Adanya kavitas tunggal atau ganda c. Kelaian bilateral, terutama di lapangan atas paru d. Adanya klasifikasi e. Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian f. Bayangan milier 4. Pemeriksaan sputum BTA Pemeriksaan sputum BTA memastikan bahwa diagnosis Tuberkulosis paru, namun pemeriksaan ini tidak sensitif karena hanya 30-70% penderita Tuberkulosis yang dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan ini. 5. Tes mantoux/tuberkulin Merupakan uji serologi immunoperosidase memakai alat histogen mmunoperosidase staining untuk menentukan adanya igG spesifik terhadap basil Tuberkulosis paru. 6. Tes mantoux / tuberculin
Klasifikasi diagnostik Tuberkulosis adalah : 1. TB paru a. BTA mikroskopis langsung (+) atau biakan (+), kelaianan foto thoraks menyokong TB dan gejala klinis sesuai TB b. BTA mikroskopis langsung atau biakan (-) , tetapi kelaianan rontgen dan klnis sesuai pasien golongan ini memerlukan pengobatan yang adekuat. 2. TB paru tersangka
Diagnosa pada tahap ini besifat sementara sampai hasil pemeriksaan BTA didapat (paling lambat bulan). Pasien dengan BTA mikroskopis langsung (-) atau belum ada hasil pemeriksaan atau pemeriksaan belum lengkap, tetapi kelaianan rontgen dan klinis sesuai TB paru. Pengobatan dengan anti TB sudah dapat dimulai.
3. Bekas TB (tidak sakit) Ada riwayat Tuberkulosis pada pasien masa lalu dengan atau tanpa pengobatan atau gambaran rontgen normal atau abnormal tetapi stabil pada serial sputum BTA (-). Kelompok ini tidak perlu di obati.
2.1.2 konsep pengobatan tubercolosis paru 2.1.2.1 Tahap Pengobatan Tujuan pengobatan Tuberkulosis paru adalah untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan mata rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
1. Tahap intensif (Initial phase), selama 1-3 bulan dengan memberikan 4-5 macam obat anti tuberkulosis per hari dengan tujuan : 1). Mencegah keluhan dan mencegah efek samping lebih lanjut. 2). Mencegah timbulnya resistensi obat. 2. Tahap lanjutan (Continuation phase), selama 4-6 bulan dengan hanya memberikan 2 macam obat, 3 kali seminggu dengan tujuan :
1). Menghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi) 2). Mencegah kekambuhan (relaps) Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama yaitu selama 4-6 bulan. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten untuk mencegah terjadinya kekambuhan. Pengobatan tuberkulosis paru mengunakan obat anti tuberkulosis (OAT) dengan metode directly observed treatment shortcourse (DOTS). 1. Kategori I (2 HRZE/4 H3R3E3 ) untuk pasien TBC baru. 2. Kategori II (2 HRZES/HRZE/5 H3R3E3) untuk paien ulangan (pasien yang pengobatan kategori I-nya gagal atau pasien yang kambuh). 3. Kategori III (2 HRZ/4 H3R3) untuk pasien baru dengan BTA (-), Ro (+). 4. Sisipan (HRZE) digunakan sebagai tambahan bila pada pemeriksaan akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori I atau kategori II ditemukan BTA (+). Obat di minum sekaligus 1 (satu) jam sebelum makan pagi.
KATEGORI I a. Tahap pemulaan diberikan setiap hari selama 2 (dua) bulan (2 HRZE):
INH (H)
: 300 mg – 1 tablet
Rifampisin (R)
: 450 mg – 1 kaplet
Pirazinamid (Z)
: 1500 mg – 3 kaplet @500 mg
Etambutol (E)
: 750 mg – 3 kaplet @ 250 mg
Obat tersebut di minum setiap hari secara intensif sebanyak 60 kali. Regimen ini disebut KOMBIPAK II
b. Tahap lanjutan diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3):
INH (H)
: 600 mg – 2 tablet @ 300 mg
Rifampisin (R)
:
450
–
mg
1
kaplet
obat tersebut diminum 3(tiga) kali dalam seminggu (intermiten) sebanyak 54 kali. Regitmen ini disebut KOMBIPAK II
2.1.2.2 Aktivitas obat 1. Aktivitas bakteresid Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif). Aktivitas bakteresid biasanya diukur dari kecepatan membunuh atau melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil yang negatif (2 bulan permulaan pengobatan). 2. Aktivitas sterilisasi Disini
obat
bersifat
membunuh
kuman-kuman
yang
pertumbuhannya
lambat
(metabolismenya kurang aktif). Aktivitas sterilisasi di undur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan (Soeparman dan Sarwono, 1999).
2.1.2.3
Jenis Obat
Pengobatan dengan strategi DOTS (Direct Obseved Treadment Short Course) dipermudah dengan pengadaan obat yang telah dipadukan sesuai dengan kategori tersendiri : 1. Obat primer (obat anti tuberkulosis tingkat satu) 1). Isoniasid (H) Dikenal dengan INH, bersifat bakteresid, dapat membunuh 90% populasi dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolisme aktif, yaitu pada saat kuman sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan adalah 5 mg\kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3kali seminggu dengan dosis 10 mg\kg BB. 2). Rifampisin (R) Bersifat bakteresid, dapat membubuh kuman yang persisten (dortmant) yang tidak dapat dibunuh oleh Isonasid. Dosis 10 mg\kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu. 3). Pirazinamid (Z) Bersifat bakteresid, dapat membunuh kuman yang berada didalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg\kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg\kg BB. 4). Streptomisin (S) Bersifat bakteresid, dengan dosis harian yang dianjurkan 15 mg\kg BB, sedangkan pengobatan untuk intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr\hari, sedangkan untuk umur sampai 60 tahun lebih dosisnya 0,50 gr\hari.
5).Ethambutol (E) Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg\kg Bbsedangkan untuk pengobatan untuk intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg\kg BB.
2. Obat sekunder ( Anti tubercolusis acid) 1). Kanamisin 2). PAS (Para Amina Salictylic Acid) 3). Tiasetason 4). Etionamid 5). Protionamid 6). Sikloserin 7). Viomisin 8). Kapreomisin 9). Amikosin 10).Oflokasin. (Soeparman dan Sarwono W, 1990).
2.1.2.4 Efek Samping Obat 1. Efek Samping Berat Yaitu efek samping yang dapat menyebabkan sakir perut serius. Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan penderita harus dirujuk ke unit pelayananan kesehatan (UPK) spesialistik (hadju dkk, 2003; Depkes RI, 2001, 2007) 2. Efek samping ringan Yaitu hanya menyebabkan sedikit perasaan yang tidak enak. Gejala-gejala ini seiring dapat ditanggulangi dengan obat-obat simtomatik atau obat sederhana, tetapi kadang-
kadang menetap untuk beberapa waktu selama pengobatan. Dalam hal ini pemberian OAT dapat diteruskan (hadju dkk, 2003; Depkes RI, 2002, 2007).
2.1.2.5 Hasil pengobatan 1. Sembuh Penderita dikatakan sembuh bila telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan dahak 2 kali selama pengobatan negative. 2. Pengobatn lengkap Adalah penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab apapun. 3. Meninggal Adanya penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab apapun 4. Pindah Adanya penderita yang pindah berobat ke daerah atau kabupaten/kota lain 5. Default Penderita yang tidak control atau terlambat mengambil obat 2 minggu berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. 6. Gagal Penderita BTA posotif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif ataukembali menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan.
2.1.3 Konsep Kepatuhan 2.1.3.1 Definisi Kepatuhan
kepatuhan atau ketaatan (compliance/adherence) adalah tingkat melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain (smet, 1994). Kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan (niven, 2002). Atau juga kepatuhan didefinisikan kepatuhan atau ketaatan terhadap pengobatan medis adalah suatu kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang telah ditentukan (gabit, 1999, improving complient by gadit ismailov dunst,TB diperoleh tanggal 8 februari 2007). Kepatuhan terhadap pengobatan membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam manajemen perawatan diri dan kerja sama antara pasien dan petugas kesehatan (Robert, 1999, enhancing medication compliance for people, diperoleh tanggal 5 februari 2007). Kepatuhan dalam pengobatan penderita tubercolosis paru merupakan perilaku peran sakit, yaitu tindakan/kegiatan yang dilakukan penderita agar dapat sembuh dari penyakit. Kepatuhan dalam menjalankan aturan pengobatan bagi penderita Tuberkulosis paru sangat penting untuk dapat mencapai kesembuhan yang optimal sehingga penularan kemasyarakat dapat dihindari. (dikutip dari Kyngas H,2002) dalam Widagdo 2002. Dikatakan patuh jika beroabat secara teratur sewaktu 6 bulan dalam 2 fase pengobatan dan paduan obat isoniazid, rifampsin, pirazinamid, streptomisin dan etambutol baik kategori I,,II dan sisipan . dikatakan tidak patuh jika penderita berobat secara tidak teratur selama waktu 6 bulan dalam 2 fase pengobatan dan paduan obat isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin dan etambutol baik kategori I,,II dan sisipan.
2.1.3.2 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Kepatuhan
1. Umur Penyakit TB paru paling sering ditemukan pada usia muda atau produktif (15-50 tahun). Dewasa ini dengan terjadinya transisi demografi menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun system imunologis seorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit Tuberkulosis paru.
2. Jenis Kelamin Penyakit Tuberkulosis paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Menurut WHO sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat Tubercolosis paru dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh Tuberkulosis paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin lakilaki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alcohol sehingga dapat menurunkan system pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab Tuberkulosis paru. Kepekaan untuk terinfeksi penyakit ini adalah semua penduduk, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tua muda, bayi dan balita. 3. Social Ekonomi Salah satu model pendekatan yang memepengaruhi tindakan berobat adalah status social. Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadaan huniaan, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi temapt bekerja yang buruk dapat memudahkan penularan Tuberkulosis paru. Pendekatan ini bertumpu pada asumsi bahwa latar belakang tertentu
misalnya bekerja atau tidak bekerja akan memiliki pandangan tersendiri terhadap pengobatan. 4. Pendidikan Pendidkan berkaitan dengan pengetahuan penderita, hal ini menunjukkan bahwa pendidikan mempengaruhi keuntasan atau kesuksesan pengobatan penderita. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin baik penerimaan informasi tentang pengobatan dan
penyakitnya
sehinggga
akan
semakin
tuntas
peoses
pengobatan
dan
penyembuhannya. 5. Pengetahuan Pengetahun adalah pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya termasuk manusia dan kehidupan. Pengetahuan mencakup penularan, penjelasan dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu, termasuk praktek atau kemauan teknis dalam memecahkan berbagai persoalan hidup yang belum dibuktikan secara sistimatis. 6. Domisili Domisi berdasarkan temapt tinggal kepelayanan kesehatan akan mempengaruhi pasien dalam menyelesaikan pengobatan apalagi domisili tidak berada dalam wilayah pelayanan kesehatan akan memperbesarkan resiko utnuk tidak menyelesaikan pengobatan. Menurut Green (1980), bahwa domisili pasien dapat mempengaruhi ketidakselesaian penderita dalam berobat, untuk itu diperlukan suatu upaya bagaimana domisili tidak mengahalangi pasien untuk mengambil obat karena dapat mempengaruhi terhadap upaya penyembuhan penderita selanjutnya. 7. PMO
Menurut Aditama (2000), salah satu yang menyebabkan sulitnya TB paru dibasmi adalah kenyataan bahwa obat yang diberikan harus beberapa macam sekaligus serta pengobatannya memakan waktu yang lama, setidaknya 6 bulan. Hal ini menyebabkan penderita tidak menuntaskan pengobatannya dan bahkan putus obat. Untuk itu diperlukan Pengawas minum obat (PMO) untuk menjaga agar penderita tidak putus berobat atau teratur berobat, WHO tahun 1995 telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai pendekatan terbaik penanggulangan Tuberkulosis paru. Salah satu komponen seseorang menyelesaikan pengobatannya.
2.1.4 Konsep Dukungan PMO Salah satu komponen DOTS adalah panduan OAT jangka pedek dengan pengawasan secara langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO. a. Persyaratan PMO -
Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
-
Seseorang yang dekat dengan pasien
-
Bersedia membantu pasien dengan sukarela
-
Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.
b. Siapa Yang Bisa Menjadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan. Misalnya, bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan
yang memungkinkan , PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. c. Tugas Seorang PMO -
Mengawasi pasien tuberkulosis paru agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
-
Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
-
Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.
-
Member penyuluhan pada anggota keluarga pasien tuberkulosis paru yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan tuberkulosis paru untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.
Tugas PMO bukanlah utnuk menganti kewajiban pasien mengambil obat dari Unit Pelayanan Kesehatan. d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya : -
Tuberkulosis paru dapat disembuhkan dengan beroabat secara teratur.
-
Tubercolosis paru bukan pennyakit keturunan atau kutukan.
-
Cara penularan Tuberkulosis paru, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannnya
-
Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).
-
Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
-
Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK.
2.2 KERANGKA KONSEP Variabel Independen Dukungan PMO
Variabel Dependen Kepatuhan berobat pasien tubercolosis paru
2.3 HIPOTESIS Terdapat Hubungan Dukungan Pengawas Minum Obat (PMO) dengan Kepatuhan Berobat pasien tuberkulosis paru di Puskesmas Limboto.