13
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Chaplin (1989 : 11) menyatakan dua definisi yaitu yang pertama penyesuaian sosial adalah variasi dalam kegiatan organisme untuk mengatasi suatau hambatan dan memuaskan kebutuhan. Yang kedua adalah meningkatkan hubungan yang harmaonis dengan lingkungan fisik dan sosial. Menurut kartini kartono (1985: 58) bahwa seseorang disebut well adjusment jika ia memiliki keterampilan sosial dan kemampuan yang ada hubungannya dengan orang lain, baik dengan teman atau orang yang dikenalnya, karena itu sikap sosialnya berhubungan dan ia tidak mengutamakan kepentingan sendiri, ia bersedia memberikan bantuan pada orang lain, kendati mungkin secara pribadi perbuatan ini tidak mendatangkan keinginan atau keuntungan baginya. Gerungan (1996: 55) menyatakan bahwa penyesuaian sosial merupakan usaha yang dilakukan individu untuk mengubah diri dan keinginan agar sesuai dengan keadaan lingkungan atau kelompok. Soesilo (1985: 57) menyatakan bahwa penyesuaian sosial sebagai keberhasilan dalam menyesuaikan diri dengan orang lain pada umumnya dengan kelompok pada khususnya dimana individu mengidentifikasikan 13
14
dirinya. Seseorang dapat dikatakan well-adjusted apabila memiliki ketrampilan sosial dan kemampuan berhubungan dengan orang lain baik dengan teman sebaya atau orang yang tidak dikenalnya. Penyesuaian sosial adalah kesanggupan untuk mereaksi secara efektif dan harmoni terhadap realitas sosial dan situasi sosial, bisa mengadakan reaksi sosial yang sehat, bisa menghargai hak-hak sendiri di dalam masyarakat, bisa bergaul dengan orang lain dan membina persahabatan yang kekal sehingga rasa permusuhan, iri hati, persaingan, dengki dan emosi negatif dapat terkikis (Kartono, 1989: 26). Menurut
Schneiders
(dikutip
oleh
Agustiani,
2006:
147),
penyesuaian sosial merupakan suatu kapasitas atau kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu untuk dapat bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas, situasi, dan relasi sosial, sehingga kriteria yang harus dipenuhi dalam kehidupan sosialnya dapat terpenuhi dengan cara-cara yang dapat diterima dan memuaskan. Hurlock (1991: 278) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya. Sedangkan Mu‟tadin (2002: 2) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai suatu proses saling mempengaruhi antar individu yang menghasilkan suatu pola kebudayaan dan tingkah laku yang sesuai dengan aturan, hukum, adat dan nilai – nilai yang dipatuhi, demi tercapainya penyelesaian bagi persoalan – persoalan hidup.
15
Dari beberapa pendapat dapat dijelaskan bahwa penyesuaian sosial adalah kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya yang sesuai dengan norma serta kenyataan sosial yang merupakan kebutuhan kehidupan sosial, tanpa menimbulkan konflik bagi diri sendiri maupun lingkungannya. 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial Faktor-Faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial seseorang sangatlah rumit. Bagi remaja, usaha penyesuaian itu dapat menjadi pelik dalam perkembangan sosial pribadinya. seperti yang diungkapkan oleh Hurlock (1994: 213) bahwa salah satu tugas perkembangan remaja yang tersulit
adalah
yang
berhubungan dengan
penyesuaian sosialnya.
Keberhasilan atau kegagalan siswa dalam proses penyesuaian sosialnya di sekolah berkaitan erat dengan factor-faktor yang turut mempengaruhinya. secara umum faktor-faktor yang mempengaruhinya. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian siswa di sekolah terdiri atas factor internal dan eksternal. faktor internal dengan factor kekuatan yang ada dalam diri individu yang meliputi kondisi jasmaniah, penentu psikologis seperti kematangan, perkembangan sosial, moral, emosional kecerdasan, bakat, dan minat. Sedangkan factor eksternal sebagai factor kekuatan yang berada diluar individu seperti iklim kehidupan keluarga, kehidupan sekolah dan masyarakat. Lebih lanjut Moh.Surya (1985:16) mengemukakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial sebagai berikut: (a) Kondisi
16
jasmani yang meliputi pembawaan, susunan jasmaniah, system syaraf, kelenjar otot, kesehatan dan lainnya; (b) Kondisi perkembangan dan kematangan, meliputi perkembangan dan kematangan intelektual, sosial, moral dan emosional. (d) Kondisi lingkungan meliputi rumah/keluarga, sekolah dan masyarakat. (e) Penentu psikologis yang meliputi pengalaman belajar, pembiasaan, determinasi diri, frustasi dan konflik. (f) Penentuan cultural berupa budaya dan agama. Sedangkan Gerungan (1988: 180) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial adalah sebagai berikut : (1) peran keluarga yang meliputi status sosial ekonomi , kebutuhan keluarga, sikap dan kebiasaan orang tua dan status anak, (2) peranan sekolah meliputi structural dan organisasi sekolah, peranan guru dalam kegiatan belajar mengajar (KBM), (3) peranan lingkungan kerja misalnya lingkungan pekerjaan industry atau pertaniaan di daerah, (4) peranan media massa, besarnya pengaruh alat komunikasi seperti perpustakaan, televisi, film, radio dan sebagainya. 3. Aspek –Aspek Penyesuaian Sosial Jersild, dkk (1978: 51) mengemukakan aspek-aspek penyesuaian sosial, yaitu : a. Kesadaran selektif Penyesuaian yang sehat membutuhkan kemampuan individu untuk melaksanakan seleksi terhadap berbagai tekanan yang ada, untuk direspon secara tepat dengan tidak membahayakan diri individu tersebut.
17
Kemampuan melakukan seleksi tergantung pada pengalaman dari hasil belajar. b. Kemampuan toleransi Merupakan kemampuan individu untuk menerima kehadiran individu lain dan menganggap oranglain sebagaimana adanya, mampu menerima nilai – nilai hidup serta kode – kode moral dan mampu mengembangkan hidupnya dengan baik tanpa mengabaikan kepentingan lingkungan. c. Otonomi Otonomi individu meliputi tiga aspek yaitu otonomi emosi, yakni kemampuan melakukan hubungan emosional secara bebas dengan orang lain, otonomi perilaku yaitu kemampuan atau kecakapan pengambilan keputusan secara bebas dan otonomi nilai yaitu kemampuan memaknai separangkat prinsip benar dan salah serta apa yang penting dan yang tidak penting. Penyesuaian sosial dianggap berhasil ketika individu mampu menyelaraskan ketiga aspek tersebut dalam kehidupan sosial. d. Integritas pribadi Individu yang mempunyai penyesuaian sosial yang sehat tidak akan merasa takut atau cemas jika menghadapi hal-hal yang baru. Selain itu juga tidak akan merasa panik jika suatu saat menghadapi kesulitan atau hambatan dalam mencapai tujuan hidupnya. Dari teori di atas dapat disimpulkan bahwa aspek penyesuaian sosial menurut Jersild meliputi kesadaran selektif, kemampuan toleransi, otonomi,
18
dan integritas pribadi. Sedangkan menurut Hurlock (1978: 287) memiliki pemaparan yang berbeda tentang aspek-aspek penyesuaian sosial. Adapun aspek tersebut meliputi : a. Penampilan nyata. Yaitu perilaku sosial seperti perilaku yang dinilai berdasarkan standar kelompoknya, memenuhi harapan kelompok, dana akan menjadi anggota yang diterima kelompok. b. Penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok. Seseorang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap berbagai kelompok baik kelompok teman sebaya maupun kelompok orang dewasa. Hal tersebut secara sosial dianggap sebagai orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik secara sosial. c. Sikap sosial. Menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, terhadap partisipasi sosial, dan terhadap perannya dalam kelompok sosial. d. Kepuasan pribadi. Seseorang harus merasa puas terhadap kontak sosialnya dan terhadap peran yang dimainkannyadalam situasi sosial, baik sebagai pemimpin maupun sebagai anggota. Jadi dapat dijelaskan bahwa aspek penyesuaian sosial menurut Hurlock meliputi penampilan nyata, penyesuaian diri terhadap beberapa kelompok, sikap sosial, dan kepuasan pribadi. 4. Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Sosial Pandangan Alfred Adler dikutip dari Fudyantarta (2012: 224); untuk mencapai sukses sebagai manusia dalam lingkungan sekitar sosial
19
adalah peranan yang besar, berasal dari perasaan diri. Terutama untuk sukses sebagai manusia di lingkungan sekitar sosial berasal dari perasaan inferioritas (rasa rendah diri). a. Inferioritas : perasaan rendah diri itu kompleks dan ternyata berasal dari perbuatan diri yang terbentuk akibat perbuatan atau ketidakmampuan untuk berbicara atau lebih spesifik seperti secara fisik kurang tangkas, kurang tinggi, atau kurang terampil secara akademik. b. Gaya hidup adalah mencerminkan kepribadian seseorang, artinya jika kita mengerti akan tujuan hidup seseorang, maka kita akan mengerti arah yang akan diambil, dan hal ini merupakan kepribadian individu yang bersangkutan (Rychlak, 1981 dikutip dari Fudyantarta, 2012 : 225) c. Minat sosial adalah perasaan akan adanya kesatuan dengan orang lain, rasa menyatu dan mempunyai lingkungan. Menurut Adler, minat sosial meruapakan potensi individu, per individu berbeda aktualisasinya. Jika seseorang dapat mengembangkan minat sosialnya secara efektif, dan ia mampu mengatasi ketidakpercayaan dirinya, inilah individu yang dapat mengembangkan minat sosialnya secara kuat dan mempunyai rasa kesatuan dengan orang lain. Sebaliknya, bagi individu yang tidak dapat mengatasi kepercayaan dirinya, bagi individu yang tidak dapat mengatasi kepercayaan dirinya, ia akan menjadi pemalu, terlalu mengurus dirinya sendiri, dan menjadi pesimis.
20
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang berhasil dalam melakukan penyesuaian sosial memiliki beberapa kriteria yang dapat dilihat dari inferioritas, gaya hidup, dan minat sosialnya. 5. Proses Penyesuaian Diri terhadap Sosial Sesuai dengan konsep dan prinsip-prinsip penyesuian diri terhadap sosial yang ditunjukkan kepada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungannya maka proses penyesuaian diri terhadap sosial menurut Sunarto adalah sebagai berikut : a) Mula-mula individu di satu sisi merupakan dorongan keinginan untuk memperoleh makna dan eksistensi dalam kehidupannya dan di sisi lain mendapat peluang atau tuntutan dari luar dirinya sendiri. b) Kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar dirinya secara objektif sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan rasional dan perasaan. c) Kemampuan bertindak sesuai dengan potensi kemampuan yang ada pada dirinya dan kenyataan objektif di luar dirinya. d) Kemampuan bertindak secara dinamis, luwes, dan tidak kaku sehingga menimbulkan rasa aman tidak dihantui oleh kecemasan atau katakutan. e) Dapat bertindak sesuai dengan potensi-potensi positif yang layak dikembangkan sehingga dapat menerima dan diterima lingkungan, tidak disingkirkan oleh lingkungan maupun menentang dinamika lingkungan. f) Rasa hormat pada sesama manusia dan mampu bertindak toleran, selalu menunjukkan perilaku hormat sesuai dengan harkat dan martabat
21
manusia, serta dapat mengerti dan menerima keadaan orang lain meskipun sebenarnya kurang serius dengan keadaan dirinya. g) Kesanggupan merespon frustasi, konflik, stres secara wajar, dan profesional, dapat mengontrol dan mengendalikannya sehingga dapat memperoleh manfaat tanpa harus menerima kesedihan yang mendalam. h) Kesanggupan bertindak secara terbuka dan sanggup menerima kritik dan tindakannya dapat bersifat murni sehingga sanggup memperbaiki tindakantindakan yang sudah tidak sesuai. i) Dapat bertindak sesuai dengan norma yang dianut oleh lingkungannya serta selaras dengan hak dan kewajibannya. j) Secara positif ditandai oleh kepercayaan terhadap diri sendiri, orang lain, dan segala sesuatu di luar dirinya sehingga tidak pernah merasa tersish dan kesepian (Sunarto dalam Moh Ali dan Moh, Asrori, 2005:178). Kesimpulannya penyesuaian diri terhadap sosial di mulai dari individu sendiri dengan mampu bertindak sesuai dengan potensi dirinya sendiri secara objektif sehingga mampu bertindak luwes dan dinamis, menghormati semua orang, mampu menyelesaikan masalah dengan baik, mampu bertindak toleran, mampu merespon frustasi dan wajar tidak direspon secara berlebihan, menerima kritik dan saran dengan baik, mampu bertindak sesuai dengan norma yang berlaku di lingkungannya, mampu menjalani kewajiban dan hak-hak kelompok secara positif yang ditandai dengan kepercayaan terhadap diri sendiri, orang lain, dan segala sesuatu di
22
luar dirinya agar dirinya merasa bahagia dan tidak merasa tersisih dan kesepian. 6. Penyesuaian Sosial Ditinjau dari Perspektif Islam Seorang Muslim dapat dikatakan memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang baik jika ia mampu memahami dan mengamalkan beberapa sikap sosial yang disebutkan dalam hadist Riyadhus Shalihin, yaitu dari Abu Dzar Radhiyallahu‟anhu, dia berkata : Rasulullah Sallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
Artinya : “Senyummu dihadapan saudaramu (seagama) adalah sedekah bagimu, dan amar ma’ruf dan nahi munkarmu adalah sedekah. Bimbinganmu terhadap orang yang berada dalam kesesatan adalah sedekah, dan menyingkirkan gangguan duri dan tulang dari jalanan bagimu adalah sedekah, serta menuangkan isi timbamu kepada timba saudaramu adalah sedekah”. Maksud dari hadist di atas adalah manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, ketika bertemu saling menyapa yang mana sikap ini akan memupuk keakraban, saling mengingatkan jika saudaranya salah, mampu bersikap toleransi, tenggang rasa akan mudah membina penyesuaian sosial dimana ia tinggal dan dapat
23
diterima dengan gembira oleh individu lain. Berhubungan atau berinteraksi dengan sesama manusia adalah kebutuhan yang sangat mendasar bagi setiap orang karena Islam memerintahkan agar umat manusia menjalin persaudaraan (menyambung silaturrahmi) yang dilandasi perasaan cinta dan kasih sayang serta melarang umatnya untuk memutuskan tali persaudaraan. Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 36, yaitu sebagai berikut :
Artinya :Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, Islam sebagai agama yang rahmatan lil‟alamin bagi seluruh makhluk yang ada di permukaan bumi, mengajarkan kepada seluruh makhluk untuk saling tolong menolong dan menghargai antar sesama makhluk, apalagi mereka sama-sama diciptakan oleh Allah swt, yang membedakan antara individu satu dengan individu lain hanyalah ketaqwaannya, Allah tidak memandang perbedaan warna kulit, status
24
ekonomi dan sosial masyarakat, serta perbedaan pendidikan. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al-maidah ayat 2, yaitu :
Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa- Nya”. (Q. S Al-Maidah ayat 2).
B. Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Emosi dan akal adalah dua bagian dari satu keselururhan dan oleh karena itu sebabnya istilah yang baru-baru ini diciptakan untuk menggambarkan kecerdasan hati adalah kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi mengingatkan pada ukuran standar kecerdasan otak atau IQ ketika kognitif tidak akan berfungsi secara optimal. IQ dan EQ adalah sumbersumber daya sinergi, tanpa yang satu yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak efektif (Segal, 2000: 26) Orang yang pertama kali mengungkapkan adanya kecerdasan lain selain akademik yang dapat mempengaruhi keberhasilan sesorang adalah
25
Gardner. Kecerdasan lain itu disebut dengan emotional intelligence atau kecerdasan emosi (Goleman, 2000: 51). Kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif dalam mengelola diri sendiri dan mempengaruhi hubungan dengan orang lain secara positif. Salovey (dikutip oleh Goleman 1996: 58) juga memberikan definisi dasar tentang kecerdasan emosi dalam lima wilayah utama yaitu, kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Seorang ahli kecerdasan emosi, Goleman (1996: xiii) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kecerdasan emosi di dalamnya termasuk kemampuan mengontrol diri, memacu, tetap tekun, serta dapat memotivasi diri sendiri. Kecakapan tersebut mencakup pengelolaan bentuk emosi baik yang positif maupun negatif. Sumardi (2007: 64) Kecerdasan emosi atau emotional intelligence adalah kemampuan seseorang mengelola emosi dalam kaitannya dengan orang lain atau rangsangan dari luar. Kecerdasan emosi mencakup pengendalian diri terutama berkaitan dengan relasi, berempati kepada orang lain, mengelola rasa gembira dan sedih, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri Jika ditinjau lebih dalam, terdapat tiga unsur pokok mengenai kecerdasan emosional, yakni mengenai kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri), kecakapan sosial (menangani suatu hubungan), dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki orang lain).
26
Ketiga unsur pokok inilah yang membentuk kecerdasan emosional secara utuh (Ai. Tridhonanto, 2009: 5 ) Dari pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi menuntut manusia agar dapat mengembangkan kemampuan emosional dan kemampuan sosialnya. Kemampuan emosional itu sendiri meliputi sadar akan keadaan emosi diri sendiri, kemampuan mengelola emosi, kemampuan memotivasi diri, dan kemampuan menyatakan perasaan kepada orang lain. 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional Menurut Le Dove (dikutip oleh Goleman 1996: 20-32) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain: a. Fisik. Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya. Bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu konteks (kadang kadang disebut juga neo konteks). Sebagai bagian yang berada dibagian otak yang mengurusi emosi yaitu system limbik, tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosi seseorang. 1) Konteks. Bagian ini berupa bagian berlipat-lipat kira kira 3 milimeter yang membungkus hemisfer serebral dalam otak. Konteks berperan penting dalam memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa
27
mengalami perasaan tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Konteks khusus lobus prefrontal, dapat bertindak sebagai saklar peredam yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat sesuatu. 2) Sistem limbik. Bagian ini sering disebut sebagai emosi otak yang letaknya jauh didalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan implus. Sistem limbik meliputi hippocampus, tempat
berlangsungnya
proses
pembelajaran
emosi
dan
tempat
disimpannya emosi. Selain itu ada amygdala yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi pada otak. b. Psikis. Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu, juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu. Goleman (1996: 33) mengatakan faktor dari luar diri individu juga dapat mempengaruhi kecerdasan emosi. Adapun faktor tersebut antara lain: a) Lingkungan keluarga Lingkungan
keluarga
merupakan
sekolah
pertama
dalam
mempelajari emosi. Orangtua adalah subjek pertama yang perilakunya diidentifikasi oleh anak kemudian diinternalisasi yang akhirnya akan menjadi bagian kepribadian anak. Orangtua yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan mengerti perasaan anak dengan baik. b) Lingkungan non-keluarga
28
Lingkungan masyarakat dan lingkungan pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang. Kecerdasan emosi dapat ditingkatkan melalui berbagai macam bentuk pelatihan, misalnya pelatihan asertivitas. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang yaitu secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak dibagian otak yaitu konteks dan sistem limbik dan secara psikis faktor yang mempengaruhi diantaranya meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan non keluarga. 3. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional Salovey (dikutip oleh Goleman, 1996
: 58-59) menempatkan
kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya, seraya memperluas kemampuan ini menjadi lima wilayah utama a. Mengenali emosi diri Merupakan kemampuan seseorang untuk mengetahui dan peka akan perasaan dirinya kemudian menggunakannya untuk membuat keputusan yang berhubungan tentang masalah pribadi b. Mengelola emosi diri Yaitu kemampuan menangani emosinya sendiri, kemampuan menghibur diri,
dan
mampu
melepaskan
kecemasan,
kemurungan
atau
ketersinggungan. Dalam hal ini seseorang yang memiliki masalah dalam hidupnya ia mampu bangkit dari masalah tersebut.
29
c. Motivasi Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat untuk setiap saat membangkitkan semangat dan tenaga untuk mencapai keadaan yang lebih baik serta mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif, mampu bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. d. Mengenali emosi orang lain (Empati) Empati merupakan kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu menangkap sinyal –sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan orang lain, serta mampu memahami perspektif orang lain e. Kemampuan membina hubungan dengan orang lain Merupakan kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan menciptakan serta mempertahankan hubungan dengan orang lain, bisa mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan dan bekerja sama dalam tim. Jadi seseorang yang memiliki kecerdasan emosional memiliki beberapa aspek yang harus terpenuhi seperti mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi, berempati, dan memiliki kemampuan membina hubungan dengan orang lain. 4. Kecerdasan Emosional Ditinjau dari Perspektif Islam Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna dibanding makhluk lainnya. Manusia dianugerahkan akal dan fikiran dalam membuat pilihan yang bijak sewaktu berada dalam keadaan
30
beremosi. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosi memiliki beberapa kecakapan salah satunya yaitu mampu mengelola emosinya. Hal ini sesuai dengan Ayat Al-Qur‟an surat Ali-imran ayat: 134
Artinya : (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosi mampu menjalin hubungan dengan baik dengan orang disekelilingnya sehingga terjalin kehamornisan dalam hubungan sosialnya. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih
mendorong
seseorang
berperilaku
menangis.
Banyak
ahli
berpendapat kecerdasan emosi yang tinggi akan sangat berpengaruh pada
31
peningkatan kualitas hidup. Sebagaimana dalam Al-Qur‟an Allah telah berfirman dalam surat Al- Ma‟arij ayat 19 sampai 23, yang berbunyi:
Artinya: Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia Amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya. Dalam hadis nabi juga ditegaskan betapa pentingnya kecerdasan emosi itu, sebagaimana Rosullah bersabda:
Artinya: Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi SAW : Beliau bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang didalam hatinya terdapat sifat sombong walaupun sebesar atom.” Lalu ada seorang laki-laki bertanya, “Sesungguhnya, seseorang senang pada pakaian bagus dan sandal yang bagus.” Lalu beliau menjawab, “Sesungguhnya, Allah adalah indah dan mencintai keindahan; yang dimaksud sombong adalah menolak perkara yang benar dan meremehkan orang lain.”
32
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa kecerdasan emosional mempengarui perilaku manusia. Apabila kecerdasan emosional masih rendah seperti apabila mendapat musibah maka orang tersebut mudah berkeluh kesah dan apabila mendapat nikmat maka cenderung bersikap kikir, namun sebaliknya apabila kecerdasan emosional seseorang sudah tinggi mereka cenderung bersikap ikhlas dan berlapang dada, baik dalam keadaan susah maupun senang. C. Remaja 1. Pengertian Remaja Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia,
menghubungkan masa kanak-kanak
dan masa dewasa.
Memahami arti remaja penting karena remaja adalah masa depan setiap masyarakat. Di negara-negara barat, istilah remaja dikenal dengan “adolescence” yang berasal dari kata dalam bahasa latin “adolescere” (kata bendanya adolescentia = remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa (Desmita, 2007:189). Menurut Mappiare, masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Sedangkan Hurlock membagi rentang usia remaja menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal, usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 adalah remaja akhir (dalam Moh. Ali & Moh. Asrori, 2009:9).
33
Monks dkk membagi fase remaja atas empat bagian, yaitu : (1) masa pra remaja atau pra pubertas: usia antara 10-12 tahun, (2) masa remaja awal atau masa pubertas: usia antara 12-15 tahun, (3) masa remaja pertengahan: usia antara 15-18 tahun dan (3) masa remaja akhir: usia antara 18-21 tahun. Kemudian masa remaja awal hingga akhir inilah yang disebut Monks sebagai masa adolesen. Menurut Remplein menyisipkan apa yang disebutnya “Jugencrise” (krisis remaja) di antara masa pubertas dan adolesensi, berikut ini adalah pembagiannya: (1) pra pubertas 101/213 tahun (wanita), 12-14 tahun (laki-laki), (2) pubertas 13-15½ tahun (wanita), 14-16 tahun (lakilaki), (3) krisis remaja 15½ 16½ tahun (wanita), 16-17 tahun (laki-laki), dan (4) adolesensi 16½-20 tahun (wanita), 17-21 tahun (laki-laki) (dalam Monks dkk, 2002: 264). 2. Ciri-Ciri Masa Remaja Masa remaja memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan masa-masa sebelumnya dan sesudahnya. Menurut Hurlock (1980:207) ciri-ciri remaja antara lain sebagai berikut. a. Masa remaja sebagai periode penting Dikatakan periode penting, dikarenakan pada masa individu mengalami perkembangan baik secara fisik maupun secara psikis. Perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Van dan Daele mengatakan perkembangan berarti perubahan secara kualitatif. Ini berarti bahwa perkembangan bukan hanya sekedar penambahan beberapa
34
sentimeter pada tinggi badan seseorang melainkan suatu integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang komplek seperti fisik, psikis dan sosial (dalam Hurlock, 1980:2). Proses kematangan seksual pada remaja menurut Monks ini dapat digolongkan menjadi 2 golongan atau karakter yaitu: a) Remaja laki-laki ditandai dengan: a). Pengeluaran sperma, b). Menegangnya alat kelamin saat tertentu. Sedangkan karakter kelamin sekundernya antara lain: a). Tubuh kelihatan lebih jantan,b). Suara menjadi besar dan pecah, c). Tumbuh rambut pada bagian tertentu seperti ketiak dan sekitar alat kelamin, d). Kelenjar penghasil lemak dalam kulit aktif. b) Remaja putri ditandai: a). Ovulasi atau loncatan sel telur, b). Menstruasi atau datangnya haid pertama kali. Sedangkan ciri kelamin sekundernya antara lain seperti: a). Terjadinya perkembangan bentuk fisik kewanitaan, seperti perkembangan buah dada dan panggul, b). Terjadinya perubahan suara, menjadi pecah dan merdu, c). Tumbuh rambut pada bagian tertentu seperti ketiak dan sekitar alat kelamin, d). Kelenjar keringat lebih aktif (Monk, 2002:272).
35
b. Masa remaja sebagai masa perubahan Selain perubahan fisik, remaja juga mengalami perubahan dalam psikisnya yang meliputi perubahan emosi, pola perilaku serta wawasan berfikir. Secara psikologis kedewasaan bukan hanya akumulasi dari pencapaian suatu umur tertentu, melainkan merupakan suatu keadaan dimana sudah terdapatnya ciri-ciri psikologik tertentu pada diri seseorang. Sementara itu menurut Allport ciri-ciri psikologi yang dapat membedakan bahwa seseorang tersebut sudah dewasa atau belum adalah: -
Pemekaran diri sendiri (extention of the self) yang ditandai dengan kemampuan seseorang untuk menganggap orang atau hal lain sebagai bagian dari dirinya sendiri. Perasaan egois berkurang dan sebaliknya akan timbul rasa memiliki, salah satu tanda yang khas adalah timbulnya kemampuan untuk mencintai orang lain dan alam sekitarnya.
-
Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif yang ditandai dengan munculnya kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri sendiri (self-insight) dan kemampuan untuk menangkap humor (sense of humor) dan saat tertentu ia bisa melepaskan diri dari dirinya sendiri dan meninjau dirinya sebagai orang lain.
-
Memiliki falsafah hidup tertentu (unityung pshilosophy of life) tanpa perlu merumuskan dan mengucapkannya dengan kata-kata, orang yang sudah bertingkah laku dalam kedudukan tersebut dan ia berusaha sendiri menuju sasaran yang telah ia tetapkan (dalam Sarwono, 1994:71-74).
36
Seiring dengan usia fisik dan emosi, remaja juga mengalami perkembangan sosial dimana remaja akan semakin menundukkan lingkungan pergaulan yang lebih luas khususnya teman sebaya, terbukanya kemungkinan persahabatan mendorong sikap remaja memilih teman yang cocok dengan dirinya, pemilihan teman ini disadari oleh kriteria yang ditentukan oleh warna kepribadiannya (Sarwono, 1994:85). c.
Masa remaja sebagai periode bermasalah Pada masa ini remaja banyak mengalami masalah rumit yang
kebanyakan bersifat psikologis. Hal ini disebabkan oleh emosionalitas remaja yang kurang bisa dikuasai, sehingga kurang mampu mengadakan konsensus dengan pendapat orang lain yang bertentangan dengan pendapatnya dan mengakibatkan pertentangan sosial. Selain itu, juga disebabkan berkurangnya bantuan dari orangtua atau orang dewasa lain dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Pada masa kanak-kanak, dia selalu dibantu oleh orangtua dan gurunya, dan pada saat ini dia menganggap dirinya lebih mampu dan menganggap orangtuanya dan gurunya terlalu tua untuk dapat mengerti dan memahami perasaan, emosi, sikap, kemampuan berfikir dan status mereka. Masalah-masalah yang dihadapi remaja menurut Soesilowindradini tersebut antara lain: Masalah berhubungan dengan keadaan jasmani Masalah yang berhubungan dengan kebebasannya Masalah-masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai Masalah yang berhubungan dengan peranan pria dan wanita
37
Masalah yang berhubungan dengan anggota dari lawan jenis Masalah yang berhubungan dengan hubungan dalam bermasyarakat Masalah yang berhubungan dengan jabatan Masalah yang berhubungan dengan kemampuan (Sarwono, 1994: 147152). d. Masa remaja sebagai periode yang penuh gejolak Banyak sekali perilaku remaja yang sangat berani, impulsif tanpa melihat resikonya, hal ini disebabkan rasa ingin tahu dan ingin mencoba dari remaja tersebut sangat besar. e.
Masa remaja sebagai periode yang tidak realistis Para remaja pada saat ini kadang kala pola berfikir mereka tidak
realistis, mereka cenderung banyak memandang kehidupan secara berlebih tanpa memikirkan realitas yang sebenarnya. f. Masa remaja sebagai masa mencari identitas Untuk mencari jati diri mereka sebenarnya kadang-kadang remaja berperilaku yang negatif dan mengganggu kepentingan umum. Ini mereka lakukan untuk menarik perhatian orang dewasa atau masyarakat lingkungan sekitar mereka. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwasanya ciri-ciri remaja antara lain terjadi perubahan fisik, psikis maupun sosialnya. Selain itu remaja juga dianggap sebagai periode penuh gejolak dan rawan dengan berbagai masalah. Hal ini dikarenakan pada masa ini para remaja berusaha untuk mencari jati diri dan pengakuan dari masyarakat.
38
3. Tugas-Tugas Perkembangan Remaja Sebagai
seorang
remaja
yang
dalam
pertumbuhan
dan
perkembangan untuk menjadi dewasa, remaja memiliki tugas-tugas yang harus dilakukannya demi mencapai kemampuan bersikap dan berprilaku secara dewasa. Tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Mappiare (1982: 102) adalah: a. Menerima keadaan fisiknya dan menerima peranannya sebagai pria dan wanita. b. Menjalin hubungan-hubungan baru dengan teman-teman sebaya baik sesama jenis maupun lain jenis kelamin. c. Memperoleh kebebasan secara emosional dari orang tuanya dan orangorang dewasa lainnya. d. Memperoleh kepastian dalam hal kebebasan pengaturan ekonomis. e. Memilih dan mempersiapkan diri ke arah suatu pekerjaan atau jabatan f. Menginginkan dan dapat berperilaku yang diperbolehkan oleh masyarakat. g. Mengembangkan
keterampilan-keterampilan
dan
konsep-konsep
intelektual yang diperlukan dalam hidup sebagai warga negara yang terpuji. h. Mempersiapkan diri untuk pernikahan dan hidup berkeluarga i.
Menyusun nilai-nilai kata hati yang sesuai denga gambaran dunia yang diperoleh dari ilmu pengetahuan yang memadai.
39
D. Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Penyesuaian Sosial Kecerdasan emosional memiliki peranan yang penting dalam perilaku manusia termasuk pola perilaku siswa dalam penyesuaian sosial di
lingkungan
sekolah.
Thorndike
dalam
Goleman
(2000:
56)
mengungkapkan peranan kecerdasan emosional terhadap penyesuaian sosial individu bahwasannya salah satu aspek dari kecerdaan emosional adalah kecerdasan sosial yaitu kemampuan untuk memahami orang lain dan bertindak bijaksana dalam hubungan dengan orang lain. Lebih lanjut Goleman (2000: 89) menyatakan bahwa keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan permasalahan banyak ditentukan oleh kualitas kecerdasannya. sebagian dari kecerdasan yang dapat membantu dalam menyelesaikan permasalahan adalah kecerdasan yang berkaitan dengan aspek emosional. Seseorang yang cerdas dalam mengelola emosinya akan meningkatkan kualitas kepribadiannya. Mu‟tadin (2002: 102) menyebutkan bahwa kecerdasan emosi dipandang sebagai suatu aspek psikis yang sangat menentukan reaksi individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Remaja sebagai individu perlu memiliki kecerdasan emosi untuk bisa mendapatkan kualitas interaksional yang baik dengan lingkungan masyarakat. Remaja yang memiliki kecerdasan emosi dapat menjalankan kehidupan sosialnya dengan baik, tidak mudah stres, dan menjadi teman yang diinginkan di dalam masyarakat. Sebaliknya remaja yang tidak didukung dengan kecerdasan emosi memiliki tingkat emosional yang tinggi, mudah marah,
40
tidak pandai menempatkan diri di lingkungan masyarakat, sehingga seringkali menimbulkan masalah baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Mengenali emosi diri serta memahami perasaan diri sangatlah mempengaruhi perilaku dan sikap remaja atas apa yang remaja lakukan pada setiap kejadian-kejadian yang dihadapi. Sikap remaja yang kurang mampu untuk mengenali emosi diri pada perasaannya akan menimbulkan dampak kurangnya penguasaan diri serta mempengaruhi kepekaan pada perasaan yang dirasakan. Kecerdasan emosi merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 1996: 26), Kecerdasan
emosi
adalah
kekuatan
di
balik
singgasana
kemampuan intelektual sebagai dasar pembentukan emosi yang mencakup keterampilan-keterampilan,
menunda
kepuasan
dan
mengendalikan
impuls-impuls, tetap optimis, menyalurkan emosi-emosi yang kuat secara efektif, memotivasi dan menjaga semangat disiplin diri dalam usaha mencapai tujuan, menangani kelemahan-kelemahan pribadi, menunjukkan rasa empati kepada orang lain, membangun kesadaran diri dan pemahaman pribadi. Kapasitas emosi mempengaruhi banyak hal seperti menyesuaikan diri terhadap kehidupan di masyarakat. anak yang memiliki emosi yang stabil akan mampu memecahkan berbagai permasalahan hidupnya di
41
masyarakat. oleh karena itu, pengendalian emosional secara seimbang sangat menentukan keberhasilan dalam perkembangan sosial anak. Sikap saling pengertian dan kemampuan memahami orang lain merupakan modal utama dalam kehidupan sosial. (Enung, 2006 : 93) Kecerdasan emosi merupakan tipe dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan untuk memonitor emosi diri dan orang lain, membedakan
jenis
emosi
tertentu
dan
menggunakannya
untuk
mengarahkan pikiran dan perilaku sendiri. Dengan kata lain indvidu yang memiliki kecerdasan emosi yang cukup baik akan mampu dalam menempatkan situasi dan kondisi dimana dia berada atau mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pada penelitian ini dapat diperkuat dari penelitian yang dilakukan oleh Elias (2003: 53) mengungkapkan kecerdasan emosi yang dimiliki oleh setiap individu selalu mengarah pada tingkah lakunya, baik itu untuk dirinya sendiri maupun untuk lingkungan (sosial) yang dalam hal ini diartikan sebagai suatu cara untuk mendapatkan penyesuaian diri di tengah-tengah lingkungan. Kecerdasan emosi pada remaja terutama dibutuhkan untuk mengendalikan perilaku yang berhubungan dengan dengan orang lain yang bersifat positif baik secara perseorangan ataupun kelompok, dan mengembangkan empati serta kemampuan memandang dengan perspektif orang lain. Kecakapan-kecakapan ini mendukung keberhasilan dalam semua upaya manusia dan tentu saja vital untuk
42
kemajuan akademis, karir, kehidupan bermasyarakat dan kehidupan pada umumnya. Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, maka mereka juga akan dapat melakukan penyesuaian sosial yang baik dengan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya siswa yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah maka siswa tersebut juga akan mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian sosial dengan lingkungan sekitarnya. E. Kerangka Teoritik Sumardi (2007: 64) Kecerdasan emosi atau emotional intelligence adalah kemampuan seseorang mengelola emosi dalam kaitannya dengan orang lain atau rangsangan dari luar. Kecerdasan emosi mencakup pengendalian diri terutama berkaitan dengan relasi, berempati kepada orang lain, mengelola rasa gembira dan sedih, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri Salovey dalam Goleman (1996: 58) memberikan definisi dasar tentang kecerdasan emosi dalam lima wilayah utama yaitu, kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Menurut Schneiders (dalam Agustiani, 2006: 147), penyesuaian sosial merupakan suatu kapasitas atau kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu untuk dapat bereaksi secara efektif dan bermanfaat
43
terhadap realitas, situasi, dan relasi sosial, sehingga kriteria yang harus dipenuhi dalam kehidupan sosialnya dapat terpenuhi dengan cara-cara yang dapat diterima dan memuaskan. Dan untuk mengetahui aspek-aspek penyesuaian sosial, Hurlock (1978: 287) mengemukakan aspek-aspek penyesuaian sosial, yaitu : penampilan nyata, penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok, sikap sosial, dan kepuasan pribadi. Kecerdasan emosional memiliki peranan yang penting dalam perilaku manusia termasuk pola perilaku siswa dalam penyesuaian sosial di lingkungan sekolah. Thorndike (dikutip oleh Goleman (2000: 56) mengungkapkan peranan kecerdasan emosional terhadap penyesuaian sosial individu bahwasannya salah satu aspek dari kecerdaan emosional adalah kecerdasan sosial yaitu kemampuan untuk memahami orang lain dan bertindak bijaksana dalam hubungan dengan orang lain. Mu‟tadin (2002: 102) menyebutkan bahwa kecerdasan emosi dipandang sebagai suatu aspek psikis yang sangat menentukan reaksi individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Remaja sebagai individu perlu memiliki kecerdasan emosi untuk bisa mendapatkan kualitas interaksional yang baik dengan lingkungan masyarakat. Remaja yang memiliki kecerdasan emosi dapat menjalankan kehidupan sosialnya dengan baik, tidak mudah stres, dan menjadi teman yang diinginkan di dalam masyarakat. Sebaliknya remaja yang tidak didukung dengan kecerdasan emosi memiliki tingkat emosional yang tinggi, mudah marah,
44
tidak pandai menempatkan diri di lingkungan masyarakat, sehingga seringkali menimbulkan masalah baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Jadi, dapat dijelaskan bahwa orang yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi maka mereka juga akan dapat melakukan penyesuaian sosial yang baik dengan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya orang yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah maka ia juga akan mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian sosial dengan lingkungan sekitarnya. Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini akan melihat apakah ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial siswa kelas X di SMA NU 2 Gresik. Gambar 2.1 : Bagan Kerangka Teoritik Variabel X
Variabel Y
Kecerdasan Emosional
Penyesuaian Sosial
F. Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah dan landasan teori sebagaimana disebutkan diatas, maka perumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Ha :
Ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial siswa kelas X di SMA NU Gresik
Ho :
Tidak ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial siswa kelas X di SMA NU Gresik