BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Retinopati Diabetik Retinopati diabetik adalah salah satu komplikasi mikrovaskular pada diabetes mellitus (DM) tipe 1 dan 2 yang terjadi akibat proses hiperglikemia dalam jangka waktu yang lama. Retinopati diabetik diklasifikasikan atas non proliferative diabetic retinopathy (NPDR) dan proliferative diabetic retinopathy (PDR). Non proliferative diabetic retinopathy merupakan tahap awal dari retinopati diabetik yang terdiri dari mild, moderate, severe dan very severe NPDR. Proliferative diabetic retinopathy yang merupakan tahap lanjut dari retinopati diabetik terdiri atas early, high risk dan advanced PDR (American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a; Chew dan Ferris III, 2006). Kondisi hiperglikemia yang lama menjadi awal dari perubahan patologis pada retinopati diabetik yang terjadi melalui berapa jalur biokimia. Pertama, hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oxygen intermediates (ROIs) dan advanced glycation endproducts (AGEs) yang merusak perisit dan endotel pembuluh darah serta merangsang pelepasan faktor vasoaktif seperti nitric oxide, prostasiklin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan endotelin yang memperburuk kerusakan.
Kedua,
hiperglikemia yang lama juga dapat mengaktivasi polyol pathway yang meningkatkan glikosilasi dari membran sel dan matriks ekstraseluler serta akumulasi sorbitol akibat peningkatan ekspresi aldose reduktase yang berakibat pada kerusakan endotel serta 7
8
disfungsi enzim endotel. Jalur ketiga adalah jalur dimana hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler protein kinase C (PKC) yang kemudian mengaktivasi vascular
endothelial
growth
factor
(VEGF).
VEGF
merangsang
ekspresi
intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang memicu terbentuknya adhesi antara leukosit dan endotel pembuluh darah. Adhesi ini dapat menyebabkan kerusakan blood-retinal barrier, trombosis dan oklusi kapiler retina. Jalur keempat adalah jalur hexosamine yang berakibat pada neurodegenerasi retina. Seluruh jalur ini menimbulkan gangguan sirkulasi, hipoksia dan inflamasi pada retina (Ola dan Nawaz, 2012; Westerfeld dan Miller, 2010; Frank, 2006). Semakin lama seseorang menderita DM akan semakin besar kemungkinan untuk menderita retinopati diabetik. Dua puluh lima hingga lima puluh persen pasien DM tipe 1 akan mengalami retinopati diabetik dalam jangka waktu 10-15 tahun, meningkat menjadi 75-95% setelah 15 tahun dan mencapai 100% setelah 30 tahun. Enam puluh persen pasien DM tipe 2 akan menunjukkan tanda-tanda NPDR setelah 16 tahun (Dutta, 2005; Willard dan Herman, 2012). Manifestasi klinis yang dapat dilihat pada pasien dengan retinopati diabetik yaitu adanya mikroaneurisma, perdarahan intraretina berupa dot dan blot, hard exudates, venous beading, infark pada nerve fiber layer dan area nonperfusi. Pada pasien PDR akan ditemukan adanya neovaskularisasi dan suatu proliferasi jaringan fibrovaskuler yang melewati lapisan internal limiting membrane (ILM) pada retina (American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).
9
Faktor risiko terjadinya retinopati diabetik digolongkan atas tiga kelompok besar yaitu, faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, faktor risiko yang dapat dimodifikasi, dan faktor tambahan lain (penyakit arteri karotis, kehamilan, gangguan ginjal dan merokok). Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi diantaranya adalah faktor genetik, jenis kelamin dan durasi DM. Sementara faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu kadar gula darah, tekanan darah dan kadar lipid dalam darah (InaDRS, 2013). Kadar gula darah yang tidak terkontrol akan menyebabkan penderita DM lebih cepat mengalami retinopati diabetik. The Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) menunjukkan bahwa kadar gula darah yang terkontrol akan menurunkan resiko terjadinya retinopati diabetik. DCCT juga menunjukkan bahwa pengendalian gula darah secara intensif akan mengurangi progresifitas retinopati diabetik ke arah NPDR berat, PDR dan edema makula (American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a). Hemoglobin terglikasi (HbA1c) adalah indikator yang digunakan dalam melihat kontrol kadar gula darah. Setelah durasi follow up rata-rata 10 tahun pada studi UKPDS, pengurangan HbA1c dari 7,9% menjadi 7% dihubungkan dengan berkurangnya risiko komplikasi mikrovaskular sebesar 25%. Target HbA1c secara personal biasanya antara 6,5% - 7,5% (InaDRS, 2013; Dutta, 2005). Pasien dengan DM seringkali disertai dengan hipertensi. Kontrol tekanan darah memainkan peran penting dalam pencegahan dan penatalaksanaan retinopati diabetik. UKPDS menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah sistolik rata-rata sebesar 154-
10
144 mmHg mengurangi jumlah mikroaneurisma dalam follow up 4,5 tahun, mengurangi jumlah hard exudate dan cotton wool spot pada follow up 7,5 tahun dan juga mengurangi kebutuhan untuk fotokoagulasi. Studi yang sama juga menyebutkan kontrol ketat tekanan darah dapat menurunkan risiko progresifitas retinopati diabetik sebesar 34% dan juga menurunkan risiko perburukan tajam penglihatan sebesar 47% (InaDRS, 2013; Kern dan Huang, 2010). Merokok
terbukti
memiliki
hubungan
dengan
terjadinya
komplikasi
mikroangiopati lebih awal pada pasien DM tipe 1 (InaDRS, 2013). Marshall, dkk., (1993) dalam studinya menemukan bahwa terdapat hubungan antara jumlah dan lamanya merokok dengan kejadian PDR. Moss, dkk., (1996) menemukan hasil yang berbeda, dimana disimpulkan bahwa merokok bukanlah suatu faktor risiko dari progresifitas retinopati diabetik dalam jangka waktu lama. Disebutkan juga bahwa tidak terdapat hubungan antara status merokok dengan insiden Diabetic Macular Edema (DME). Obesitas juga dikatakan merupakan faktor risiko yang memperberat retinopati diabetik (InaDRS, 2013). Beberapa penelitian menemukan peningkatan indeks massa tubuh secara signifikan berhubungan dengan penurunan visus dan peningkatan keparahan retinopati diabetik. Mekanisme patofisiologi yang mendasari hubungan antara peningkatan IMT dengan retinopati diabetik belum jelas (Dirani, dkk., 2011). Dislipidemia sering dijumpai pada pasien DM, yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar plasma trigliserida (TG), penurunan high density lipoprotein cholesterol (HDL-C), peningkatan small dense low density lipoprotein (sd LDL), dan
11
peningkatan kadar apolipoprotein B (Gnaneswaran, dkk., 2013). Dalam studi komplikasi diabetes, diketahui bahwa peningkatan kadar TG dan LDL berhubungan dengan progresifitas retinopati setelah 2 tahun (Vinodhini, dkk., 2013). Studi ETDRS menyimpulkan bahwa peningkatan kadar serum lipid berhubungan dengan peningkatan risiko adanya hard exudate di retina, dan penurunan kadar lipid dapat menurunkan risiko pembentukan hard exudate serta mencegah penurunan tajam penglihatan pada pasien retinopati diabetik (Chew, dkk., 1996).
2.2 Diabetic Macular Edema (DME) dan Clinically Significant Macular Edema (CSME) Diabetic macular edema (DME) adalah edema retina yang mengancam atau melibatkan makula akibat dari abnormalitas pembuluh darah retina pada retinopati diabetik (American Academy of Ophthalmology and Staff, 20111-2012). DME merupakan penyebab paling sering hilangnya tajam penglihatan pada pasien dengan retinopati diabetik (Kern dan Huang, 2010). Suatu studi di universitas Malaya, Malaysia menunjukkan tingginya prevalensi makulopati diabetik, yaitu sebesar 26,7 % dari 51,6% prevalensi retinopati diabetik. Ini berarti setengah dari pasien dengan retinopati diabetik, dapat disertai adanya makulopati diabetik (Jew, dkk., 2012). Diagnosis DME dibuat berdasarkan evaluasi segmen posterior dengan slitlamp biomicroscopy menggunakan lensa kontak, dengan hal-hal yang menjadi fokus perhatian adalah lokasi penebalan retina dan jaraknya terhadap fovea, adanya eksudat
12
dan lokasinya, serta ada atau tidaknya cystoid macular edema (CME) (American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a). Modalitas lain yang digunakan untuk menegakkan diagnosa DME adalah foto fundus, fluorescein angiography, time domain atau spectral domain optical coherence tomography (OCT) (Massin, dkk., 2010). Pemeriksaan OCT digunakan sebagai pencitraan resolusi tinggi pada retina serta untuk mendeteksi peningkatan ketebalan retina. Pada kasus DME, OCT menunjukkan adanya peningkatan ketebalan retina dan terdapat area intraretinal dengan reflektivitas yang rendah, terutama pada lapisan retina luar (Massin, dkk., 2010). Studi oleh Otani, dkk (1999) menyebutkan bahwa ketebalan retina di fovea sentral pada kasus DME adalah 250 – 1000 µm (mean 470 ± 180 µm), sementara ketebalan retina fovea sentral normal adalah 182 ± 3 µm. Beberapa studi membandingkan peran OCT dengan foto fundus dalam menegakkan diagnosa DME, dan dilaporkan bahwa OCT lebih sensitif dalam mengukur perubahan ketebalan retina dari waktu ke waktu, khususnya pada kasus DME pasca terapi (Davis, dkk., 2008).
Gambar 2.1 OCT pada DME. Tampak adanya penebalan retina dan area cystoid (Kanski, 2011)
13
Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) mengklasifikasikan kembali DME berdasarkan pada prognosis tajam penglihatan dan pertimbangan terapinya (Raman, dkk., 2010). Clinically significant macular edema (CSME) didefinisikan sebagai adanya edema retina yang terletak di sentral makula atau dalam radius 500 µm dari sentral makula (Gambar 2.2a), atau terdapat hard exudate yang terletak di sentral makula atau dalam radius 500 µm dari sentral makula dihubungkan dengan adanya penebalan retina di sekitarnya (Gambar 2.2b). Kriteria lainnya adalah terdapat zona retina yang menebal lebih besar dari 1 area diskus dan berada dalam jarak 1 diameter diskus dari sentral makula (Gambar 2.2c) (American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a; Chew dan Ferris III, 2006). 2a
2b
2c
Gambar 2.2a-c. Clinically significant macular edema (CSME) (American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).
Clinically significant macular edema lebih lanjut diklasifikasikan atas CSME fokal dan difus, sesuai dengan gambaran kebocoran pada pemeriksaan fluorescein angiogram (FA). Pada CSME fokal, tampak adanya area kebocoran fluorescein fokal dengan batas yang tegas sementara pada edema makula difus dicirikan oleh adanya kebocoran yang luas dalam area sentralis (Gambar 2.3a-b). Laser fotokoagulasi fokal
14
merupakan tindakan yang dipilih pada kasus CSME fokal, dan pada kondisi CSME difus digunakan laser grid sebagai pilihan (American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a; Bhagat, dkk., 2009).
a
b
Gambar 2.3 a. CSME fokal, FA menunjukkan lesi punctate hiperfluorescen; b. CSME difus, tampak area kebocoran yang difus pada FA (Bhagat, dkk., 2009).
Patogenesis DME/ CSME sangat kompleks dan multifaktorial. Pada prinsipnya DME dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan blood-retinal barrier (BRB), sehingga menyebabkan akumulasi cairan di dalam lapisan intraretinal dari makula, yang kemudian diikuti oleh adanya ekstravasasi lipid plasma dari intravascular lumen. Ekstravasasi lipid ini dapat mencapai lapisan retina dalam yang terdiri atas fotoreseptor, sehingga menimbulkan hilangnya tajam penglihatan. Studi lain menyatakan bahwa interaksi antara sitokin dan growth factor (VEGF) juga turut berperan dalam patogenesis DME (Schmidt-Erfurth, 2010; Bhagat, dkk., 2009).
15
Gambar 2.4 Mekanisme DME, akibat gangguan pada permeabilitas pembuluh darah retina (American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).
Serupa dengan retinopati diabetik, kontrol glikemik yang buruk, durasi DM, hipertensi, merokok, dislipidemia dan kehamilan juga berpengaruh pada DME. The Epidemiology of Diabetes Interventions and Control Study (EDIC) menunjukkan bahwa angka kejadian DME yang memerlukan terapi laser pada pasien DM tipe 1 lebih rendah pada pasien dengan kontrol glikemik yang baik dibandingkan dengan yang kontrol glikemiknya buruk. Hasil yang sama diperoleh oleh The United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) pada pasien dengan DM tipe 2 (Danis, 2008). Menurut Moss, dkk., (1996) dalam studinya tidak menemukan adanya hubungan antara merokok dengan insiden DME. Belum terdapat studi yang menghubungkan antara obesitas dengan kejadian DME. Dislipidemia merupakan faktor risiko yang independen pada DME dan turunnya tajam penglihatan pada pasien retinopati diabetik. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan jumlah hard exudate pada pasien DM yang mengalami hiperlipidemia
16
(Danis, 2008). Eksudasi lipid pada DME disebabkan karena adanya peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan gangguan fungsi pada blood-retinal barrier (Raman, dkk., 2010). Hiperlipidemia diketahui menyebabkan disfungsi endothelial akibat penurunan bioavailabilitas nitric oxide dan berakibat pada pembentukan eksudat pada retinopati diabetik (Cetin, dkk., 2013). Diabetic macular edema (DME) tergolong penyakit yang kronis, dan resolusi spontan jarang terjadi. Hilangnya tajam penglihatan (≥15 huruf pada ETDRS chart) dalam waktu 3 tahun dapat dialami oleh 24% pasien dengan CSME yang tidak mendapatkan penanganan. Insiden edema makula ini secara signifikan meningkat seiring dengan peningkatan tingkat keparahan diabetes (Bhagat, dkk., 2009).
2.3 Apolipoprotein B Lipoprotein yang terdiri atas fosfolipid, protein (apolipoprotein), kolesterol dan trigliserida, memiliki peranan dalam transpor molekul hidrofobik dalam plasma darah. Lipoprotein berfungsi untuk transfer lipid dari tempat produksi menuju jaringan tubuh untuk menghasilkan energi, penyimpanan atau sintesis hormon. Sistem transpor lipid ini diatur oleh enzim (lipase, dsb), reseptor sel dan apolipoprotein (Marcovina dan Packard, 2006). Apolipoprotein adalah komponen dari partikel lipoprotein, yang bekerja sebagai cofactors bagi lipid-metabolizing enzyme dan sebagai ligand bagi reseptor lipoprotein (Wojczynski dkk, 2010). Apolipoprotein A1 (ApoA1) merupakan bagian dari high density lipoprotein (HDL), sementara apolipoprotein B (ApoB) adalah
17
bagian dari chylomicrons, very low density lipoprotein (VLDL), intermediate density lipoprotein (IDL), low density lipoprotein (LDL) dan lipoprotein(a) [Lp(a)]. Masingmasing memiliki peranan dalam metabolisme lipid, dimana ApoA1 berperan untuk transport kolesterol berlebih dari jaringan perifer menuju liver untuk diekskresi dan ApoB berperan dalam transport lipid dari liver dan usus menuju jaringan perifer (Marcovina dan Packard, 2006). Terdapat 2 bentuk dari apolipoprotein B, yaitu ApoB48 dan ApoB100. Apolipoprotein B100 (ApoB100) merupakan kelompok ApoB yang terdiri atas 4563 asam amino, sementara ApoB48 merupakan protein yang bersifat unik karena setelah sebagian besar lipid di dalam chylomicrons terabsorbsi, ApoB48 akan kembali ke liver sebagai bagian dari chylomicrons untuk mengalami endositosis dan degradasi (Elhomsy, dkk., 2012).
Gambar 2.5 Subkelas lipoprotein dan apolipoprotein B yang terdapat dalam lipoprotein (Harper, dkk., 2010)
18
Apolipoprotein B merupakan satu-satunya lipoprotein yang dapat meningkat pada pasien normolipidemi, sehingga dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah total partikel atherogenik sekalipun pasien tidak dalam kondisi hiperlipidemia (Rizk, dkk., 2013; Iwai, dkk., 1990). Peningkatan kadar ApoB dapat terjadi pada DM, hipotiroid, sindroma nefrotik, dan kehamilan. Sementara penurunan kadar ApoB dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi yang mempengaruhi produksi atau sintesisnya di dalam hati, seperti hipertiroid, sirosis hepatis dan malnutrisi (Elhomsy, dkk., 2012).
2.4 Kadar Apolipoprotein B pada Retinopati Diabetik dan Clinically Significant Macular Edema Penggunaan ApoB sebagai marker hiperlipidemia didukung oleh berbagai kepustakaan, diantaranya oleh Iwai, dkk., (1990) yang menyebutkan bahwa ApoB merupakan partikel yang meningkat pada pasien DM walaupun pasien dalam kondisi normolipidemik. Seperti disebutkan sebelumnya, ApoB terdapat pada chylomicrons, VLDL, IDL, LDL dan Lp(a). Masing-masing partikel tersebut mengandung satu molekul ApoB tunggal, sehingga pengukuran total ApoB dapat menggambarkan keseluruhan partikel yang bersifat atherogenik (Brunzell, dkk., 2008). Hubungan antara lipid dan apolipoprotein dengan penyakit kardiovaskular atherosklerotik dapat memberikan petunjuk yang penting terhadap hubungan antara apolipoprotein dan retinopati (Vinodhini, dkk., 2013). Suatu studi di bagian
19
kardiologi menyatakan non-HDL cholesterol (kolesterol total – kolesterol HDL) dan ApoB adalah prediktor penyakit kardiovaskular (CVD) yang lebih baik, dibandingkan dengan LDL (Davidson, 2009). Berdasarkan hal ini, maka saat kadar kolesterol LDL normal atau rendah pemeriksaan kadar ApoB merupakan pemeriksaan yang efektif untuk mengevaluasi risiko residual CVD, demikian juga halnya untuk mengevaluasi risiko perubahan biofisiologis yang berhubungan dengan retinopati diabetik (Vinodhini, 2013; Brunzell, dkk., 2008). Apabila konsentrasi LDL kolesterol rendah, normal atau hanya sedikit meningkat, namun kadar ApoB mengalami peningkatan secara signifikan, yang mungkin terjadi adalah jumlah partikel LDL yang berukuran kecil, padat dan bersifat lebih atherogenik meningkat (Jayalakshmi, dkk., 2012). Low Density Lipoprotein (LDL) berukuran kecil bersifat lebih atherogenik karena mudah melewati endothelium dan mudah teroksidasi, sehingga turut berkontribusi pada retinal capillary injury. Pada kapiler retina, LDL teroksidasi bersifat toksik terhadap perisit dan sel endotel, serta memiliki efek protrombotik yang disebabkan oleh aktivasi protein kinase C (PKC) (Lyons, dkk., 2004). Sasongko, dkk., (2011) menunjukkan bahwa ApoA1, ApoB dan rasio ApoB terhadap ApoA1 berhubungan secara signifikan dengan retinopati diabetik dan tingkat keparahannya. Tingginya kadar lipoprotein yang berikatan dengan toksin, yang bersifat destruktif terhadap pembuluh darah retina digambarkan oleh adanya peningkatan kadar ApoB (Wu, dkk., 2008). Deguchi, dkk (2011) dalam studinya menyebutkan bahwa kadar ApoB dan rasio ApoB terhadap ApoA1 (ApoB/ApoA1)
20
yang tinggi turut berkontribusi dalam perkembangan PDR. Hal yang sama juga disampaikan oleh Hu, dkk (2012) dalam studinya di Guangzhou terhadap 50 pasien retinopati diabetik, yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara rendahnya rasio ApoA1 terhadap ApoB (ApoA1/ApoB) dengan PDR pada pasien yang menderita DM tipe 2 selama lebih dari 15 tahun. Salah satu tanda dari retinopati diabetik yaitu hard exudate pada retina sangat berhubungan dengan kadar lipoprotein plasma karena diketahui bahwa eksudat ini kaya akan lipid. Peningkatan lipid akan menyebabkan peningkatan risiko munculnya hard exudate yang apabila berada di makula atau sekitar makula (CSME) akan berakibat pada perburukan tajam penglihatan (Jayalakshmi, dkk., 2012).