BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Debu Kayu dalam Industri Pengolahan Kayu Udara merupakan komponen lingkungan yang dibutuhkan bagi kelangsungan hidup manusia. Setiap hari jumlah udara yang keluar masuk saluran pernapasan sekitar 10 m3 perorang. Hal ini berarti, organ pernapasan terpapar secara terus-menerus oleh partikel-partikel yang terdapat dalam udara, termasuk partikel berbahaya yang mengganggu kesehatan. Kualitas udara sangat berpengaruh terhadap kesehatan seseorang, terutama terhadap sistem pernapasan (Yunus, 2003). Kemajuan industri memberikan dampak positif seperti terbukanya lapangan kerja dan peningkatan taraf sosial ekonomi masyarakat. Namun kemajuan industri tersebut disertai dengan peningkatan polutan. Perkembangan industri merupakan sumber potensial pencemaran yang merugikan kesehatan dan lingkungan. Salah satu bahan pajanan yang menimbulkan risiko pekerjaan adalah debu. Sifat debu yang disebarkan pada lingkungan kerja sangat berhubungan dengan sifat bahan dasar penghasil debu tersebut. Hasil akhir efek samping debu industri tergantung pada tipe debu yang dihirup dan tempat debu melekat pada saluran napas, hal tersebut bergantung pada ukuran partikel debu tersebut, struktur saluran napas dan proses bernapas itu sendiri (Kouppien, 2006). WHO mendefinisikan debu sebagai aerosol yang terdiri dari partikel yang tidak termasuk benda hidup. Debu berperan sebagai penyebab penyakit paru ditentukan oleh sifat debu itu sendiri yaitu ukuran debu, kadar debu, fibrogenisitas debu dan tingkat pajanan debu (Yunus, 1993).
Definisi lain mengatakan debu merupakan salah satu polutan yang dapat mengganggu kenyamanan kerja. Debu juga dapat mengakibatkan gangguan pernafasan bagi pekerja pada industri yang berhubungan dengan debu pada proses produksinya. Debu juga sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara (suspended particulate metter/ SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai 500 mikron. Polutan merupakan bahan-bahan yang ada di udara yang dapat membahayakan kehidupan manusia (Amin, 1996). Berat ringannya penyakit ditentukan oleh banyaknya partikel yang tertimbun, lamanya waktu pajanan, dan kadar debu rata-rata di udara. Untuk pekerja diperhitungkan masa kerja dan kadar debu rata-rata di lingkungan kerja. Kadar itu haruslah yang benar-benar mewakili kadar debu yang memajani lingkungan kerja selama mereka bekerja sepanjang hari. Pengambilan sampel selama 8 jam kerja atau 1 shift, biasanya dalam bekerja seorang pekerja berpindahpindah tempat yang kadar debunya berbeda (Yunus, 2003).
2.1.1 Debu Kayu Debu kayu adalah partikel-partikel zat padat (kayu) yang dihasilkan oleh kekuatan alami atau mekanik seperti pada pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan, peledakan dan lain-lain dari bahan organik misalnya kayu (Yunus, 2009). Debu industri yang terdapat dalam udara terbagi 2 yaitu (Yulaekah, 2007) : 1. Deposit particulate matter Partikel debu yang hanya berada sementara di udara. Partikel ini segera mengendap karena daya tarik bumi. 2. Suspended particulate matter Partikel debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap dengan ukuran 1 mikron sampai 100 mikron.
Mekanisme pengendapan partikel debu di paru berlangsung dengan cara (Yulaekah, 2007) : a. Gravitation, sedimentasi partikel yang masuk ke saluran pernafasan karena gaya gravitasi. b. Impaction, yaitu terbenturnya partikel debu dipercabangan bronkus dan jatuh pada percabangan yang kecil. c. Brown difusion yaitu mengendapnya partikel debu yang diameter lebih besar dari 2 mikron yang disebabkan oleh terjadinya gerakan memutar dari partikel oleh gerakan kinetik. d. Electrostatic, terjadi karena saluran nafas dilapisi mukus yang merupakan konduktor yang baik secara elektrostatik. e. Interception yaitu pengendapan yang berhubungan dengan sifat fisik partikel berupa ukuran partikel, hal ini penting untuk mengetahui dimana terjadi proses pengendapan.
2.1.2. Ukuran Partikel Debu Kayu Partikel dalam udara yang terhirup tidak semua mencapai paru, partikel yang berukuran besar pada umumnya tersaring di hidung. Partikel dengan ukuran 0,5 – 0,1 mikron disebut partikel terhisap dapat mencapai alveoli, partikel ini dapat mengendap di alveoli dan menyebabkan terjadinya pneumolinosis (Yulaekah, 2007). Partikulat adalah zat dengan diameter kurang dari 10 mikron. Berdasarkan ukurannya partikel partikulat dibagi dua yaitu: a). Diameter kurang dari 1 mikron: aerosol dan fume (asap) dan b). Diameter lebih dari 1 mikron: debu dan mists (butir cairan). Perjalanan debu masuk saluran pernafasan dipengaruhi oleh ukuran partikel tersebut. Ukuran partikulat debu yang membahayakan kesehatan umumnya berkisar antara 0,1 mikron sampai 10 mikron. Partikel yang berukuran 5 mikron atau lebih akan mengendap di hidung, nasofaring, trakea dan percabangan
bronkus. Partikel yang berukuran kurang dari
2 mikron akan berhenti di bronkiolus
dan
alveolus. Partikel yang berukuran kurang dari 0,5 mikron biasanya tidak sampai mengendap di saluran pernafasan akan tetapi dikeluarkan lagi. Partikulat bersama polutan lain seperti ozon dan sulfurdioksida akan menimbulkan penurunan faal paru berupa penurunan VEP1 dan rasio VEP2/KVP yaitu gangguan obstruksi saluran nafas (Depkes, 2008). Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran pernafasan. Hasil penelitian ukuran tersebut dapat mencapai target organ sebagai berikut (Depkes RI,1997): 1. Ukuran 5-10 mikron, akan tertahan oleh saluran pernafasan bagian atas. 2. Ukuran 3-5 mikron, akan tertahan oleh saluran pernafasan bagian tengah. 3. Ukuran 1-3 mikron, sampai di permukaan alveoli. 4. Ukuran 0,5-1 mikron, hinggap di permukaan alveoli/ selaput lendir sehingga dapat menyebabkan fibrosis pada paru-paru. 5. Ukuran 0,1-0,5 mikron, melayang di permukaan alveoli. Partikel - partikel debu diyakini oleh para pakar lingkungan dan kesehatan masyarakat sebagai pemicu timbulnya infeksi saluran pernafasan, karena partikel padat dengan ukuran kurang 10 mikron dapat mengendap pada saluran pernapasan daerah bronkus dan alveoli, sedangkan ukuran debu sekitar 45 mikron tidak dapat terhirup ke dalam paru, tetapi hanya sampai pada saluran pernapasan bagian atas (Wardhana, 2001). Pencemaran udara baik dalam ruangan maupun luar ruangan merupakan campuran dari berbagai bahan dengan ukuran dan bentuk yang berbeda-beda dan sering dijadikan salah satu indikator pencemaran yang digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya baik terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (Yulaekah, 2007).
2.1.3. Jenis Kayu Pada pekerja industri pengelolaan kayu, pajanan sudah dimulai dari proses penurunan kayu, penggergajian, pengamplasan, penggilingan, pengeboran dan pernis. Kayu terbagi dua yaitu hardwood dan softwood, pada proses pembuatan furniture kadang-kadang kedua jenis kayu ini terpakai. Debu kayu merupakan substansi seperti serbuk berwarna coklat muda yang dihasilkan melalui proses mekanik seperti penggergajian, penyerutan dan penghalusan (pengamplasan). Komposisi debu kayu sangat bervariasi berdasarkan jenis pohon dan utamanya terdiri atas selulosa, polyoses dan lignin. Jumlah dan variasi substansi massa berberat molekul rendah secara signifikan mempengaruhi sifat kayu. Termasuk pula di dalamnya ekstrak organik polar (tannins, flavonoids, quinones dan lignans), ekstrak organik non-polar (asam lemak, resin acids, waxes, alkohol, terpenes, sterol, steryl ester dan gliserol), dan bahan-bahan larut air (karbohidrat, alkaloid, protein dan material anorganik) (Rowell, 2004). Tabel 1. Karakteristik Jenis Kayu (IARC, 1995) Karakteristik
Kayu Lunak
Kayu Keras
Serat
Panjang (1,4-4,4 mm)
Pendek (0,2-2,4 mm)
Tipe sel
Sejenis
Bervariasi
Cellulosa
40-50%
40-50%
Polipose
15-30%
25-35%
Lignin
25-35%
20-30%
Kandungan ekstraktif
> 10%
1- 10%
Non polar
Tinggi
Rendah
Polar
Rendah
Tinggi
2.1.4. Konsentrasi Partikel Debu
Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama pajanan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di paru juga semakin banyak. Setiap inhalasi 500 partikel permilimeter kubik udara, maka setiap alveoli paling sedikit menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai 1000 partikel/mm3, maka 10% dari jumlah tersebut akan tertimbun di paru. Konsentrasi yang melebihi 5000 partikel /mm3 sering dihubungkan dengan terjadinya pneumokoniosis (Yunus, 2003) Pneumokoniosis akibat debu akan timbul setelah penderita mengalami kontak lama dengan debu. Jarang ditemui kelainan bila paparan kurang dari 10 tahun. Paparan yang lama akan mempengaruhi terjadinya gangguan fungsi paru (Yunus, 2009). 2.1.5.
Lama Pekerjaan Jenis pekerjaan dalam industri pengolahan kayu mempengaruhi risiko terjadinya pajanan
debu kayu, terutama pekerja yang mempunyai risiko tinggi adalah pekerja yang berhubungan dengan proses produksi. Lama kerja diperlukan untuk menilai lamanya pajanan debu, semakin lama seseorang terpajan debu semakin besar risiko terjadinya gangguan fungsi paru. Pada pekerja yang berada di lingkungan dengan kadar debu tinggi dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terkena penyakit paru obstrutif menahun. Masa kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi pada pekerja di yang berdebu lebih dari 5 tahun (Khumaidah, 2009). Pekerja yang terpajan debu kayu secara terus menerus pada usia 15 tahun sampai 25 tahun akan terjadi penurunan kemampuan kerja, usia 25 tahun sampai 35 tahun timbul batuk produktif, usia 45 tahun sampai 55 tahun terjadi sesak dan hipoksemia, usia 55 tahun sampai 65 tahun terjadi cor pulmonal sampai kegagalan nafas dan kematian (Triatmo, 2006).
2.1.6
Tempat dan Proses Pengolahan Kayu
Perajin pengolahan kayu adalah pekerja yang menggunakan berbagai jenis kayu sebagai bahan baku dalam proses produksinya, terdapat beberapa bagian pada setiap industri pengolahan kayu yang berimplikasi pada kadar debu kayu yang berbeda pada masing-masing bagian. Proses pembuatan meubel dari kayu pada perusahaan X, di kabupaten Badung meliputi 6 bagian : 1. Penggergajian kayu 2. Penyiapan bahan baku 3. Perakitan dan pembentukan 4. Penyiapan komponen 5. Pengamplasan 6. Furniture component yaitu pengecatan dan penyelesaian akhir Bagian 3 dan 4
tidak menghasilkan kadar debu yang berbahaya karena tidak
menghasilkan limbah debu. Sedangkan bagian 1,2,5 dan 6 menghasilkan limbah berupa debu yang berasal dari proses penggergajian, pemotongan, pengamplasan kasar dan halus, pengecatan dan penyelesaian akhir.
2.2 Pengukuran Debu kayu dan Nilai Batas Ambang 2.2.1 Pengukuran Debu Kayu Kuantitas pajanan terhadap debu didefinisikan menjadi beberapa istilah yaitu kadar debu total (total dust ), kadar debu terhirup (respirable dust) dan kadar debu dosis kumulatif. Debu total dihitung dengan menggunakan pengumpul debu pasif. Debu total ini kurang berpengaruh terhadap kesehatan karena ukuran debu tidak spesifik. Kadar debu terhirup adalah partikel debu dengan diameter aerodinamik rata-rata 4 mikron (0-100 mikron), partikulat yang terhirup adalah partikel
yang ditangkap oleh filter nylon cyclone diameter 10 mm dengan kecepatan 1,7
liter/menit. Sedangkan kadar debu kumulatif adalah perkalian antar kadar debu terhirup dan lama pajanan (ACGIH, 1997). Pengukuran debu kayu di udara dilakukan dengan 3 cara dengan metode gravimetri yaitu dengan melewatkan udara dalam volume tertentu melalui glass fiber / serat gelas / kertas saring (Lange, 2008) : a. Hight Volume Air sampler (HVAS) Prosedur kerja alat ini adalah udara dihisap dengan pompa hisap berkecepatan 1,1-1,7 lt/menit. Partikel debu dengan diameter 0,1-100 mikron akan masuk bersamaan aliran udara dan terkumpuk pada permukaan saringan serat gelas. Metode ini dapat digunakan untuk mengambil contoh udara selama 24 jam, apabila kandungan partikel debu sangat tinggi maka waktu pengukuran dapat dikurangi menjadi 6 sampai 8 jam. b. Low Volume Air Sampler (LVAS) Prinsip kerja alat ini adalah dengan menangkap debu dengan ukuran yang kita inginkan dengan cara mengatur flow rate. Ukuran rate 20 liter/menit dapat menangkap partikel berukuran sebesar 10 mikron. Dengan mengetahui berat kertas saring sebelum dan sesudah pengukuran maka berat debu dapat dihitung. c. Personal Dust Sampler (PDS) Personal dust sampler adalah alat yang biasa digunakan untuk menentukan banyaknya respirable dust di udara atau debu yang dapat lolos melalui filter bulu hidung manusia selama bernafas. Metodenya adalah gravimetri atau melewatkan udara melalui kertas saring dengan cara mengatur flow rate. Untuk rate 2 liter/menit dapat menangkap partikel debu yang ukurannya kurang 10 mikron. Alat ini berukuran kecil biasanya digunakan pada lingkungan kerja dan dipasangkan pada pinggang tenaga kerja.
2.2.2 Nilai Ambang Batas Debu Kayu Parameter yang paling penting dalam menilai pencemaran debu saat bekerja adalah konsentrasi debu kayu di lingkungan kerja tersebut. Hal ini berhubungan dengan peraturan yang mengatur konsentrasi bahan yang membahayakan di udara pada lingkungan kerja. Nilai ambang tersebut harus aman bagi orang yang bekerja pada proses produksi yang menghasilkan debu kayu tersebut (Depkes RI, 1997). Di Indonesia nilai ambang batas (NAB) untuk lingkungan kerja dikeluarkan oleh Menteri Tenaga Kerja RI. NAB adalah faktor-faktor standar pada lingkungan kerja yang dianjurkan di tempat kerja yang masih dapat diterima tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan bagi para pekerja, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Kegunaan NAB ini sebagai rekomendasi pada praktek higiene perusahaan dalam melakukan penatalaksanaan lingkungan kerja sebagai upaya untuk mencegah dampaknya terhadap kesehatan (SE.01/Men/1997). Untuk debu kayu keras seperti debu kayu mahoni telah ditetapkan oleh Depnaker dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No:SE 01/Men/1997 tentang nilai ambang batas debu kayu di udara lingkungan kerja adalah sebesar 5 mg/m3 (Depkes RI, 2008). Sedangkan standar debu kayu di lingkungan kerja menurut The Nasional Institute for Occupational Safty and Health (SNIOSH) adalah 1 mg/m3 untuk kayu keras dan 5 mg/m3 untuk kayu lunak untuk pekerja yang bekerja 8 jam sehari. Penelitian menunjukkan bahwa kadar debu di bawah ambang batas, misalnya kurang dari 1 mg/m3 dapat ditemukan gejala di mata, hidung, tenggorokan, kulit dan paru. Sedangkan gangguan sistem pernafasan yang kronik akan menyebabkan gangguan fungsi paru (Wawomulya, 2001).
2.3 Mekanisme Pertahanan Tubuh terhadap Pajanan Debu
2.3.1 Pertahanan Tubuh terhadap Debu Partikel debu yang masuk dalam saluran pernafasan akan mengendap pada 3 daerah yaitu ekstratoraks, trokeobronkial dan alveoli. Di daerah ekstratoraks, partikel yang kurang larut (serbuk kayu) yang diangkut oleh transport mukosiliar. Partikel disimpan di bagian posterior rongga hidung dikeluarkan menuju nasofaring. Laju aliran rata-rata pada orang dewasa yang sehat adalah sekitar 5 mm/menit, sehingga memerlukan waktu transport sekitar 20 menit. Di bagian anterior dari rongga hidung, partikulat
dikeluarkan dengan bersin,
meniup atau
menyeka. Senyawa yang larut akan diendapkan pada epitel hidung akan masuk ke aliran darah atau dimetabolisme di epitel hidung (US EPA, 2004). Di wilayah trakeobronkial, bahan yang sukar larut akan dikeluarkan transpor mukosiliar
terutama oleh
menuju faring dan kemudian ditelan. Pergerakan mukus
bervariasi
sepanjang trakeobronkial, pembersihan tercepat terjadi pada trakea dan menjadi semakin lebih lambat pada bronkus distal yang lebih distal. Tingkat rata-rata untuk trakea telah diperkirakan antara 4,3 - 5,7 mm / menit untuk orang dewasa yang tidak merokok dan sehat, sedangkan pada bronkus menengah tranpor mukosilier rata-rata adalah antara 0,2 - 1,3 mm / menit. Batuk juga merupakan suatu mekanisme penting pertahanan tubuh dimana mukus dikeluarkan melalui saluran pernapasan. Waktu pembersihan partikel yang tidak larut diperkirakan rata-rata 24 jam. Partikel larut dapat diserap ke dalam aliran darah atau kelenjar getah bening sekitarnya (US EPA, 2004). Di alveoli sistem pembersihan silia tidak ada, sebaliknya partikel harus difagosit oleh makrofag. Pada orang dewasa yang sehat, hal ini terjadi dalam waktu 24 jam setelah deposisi. Partikel debu pada alveoli menghambat makrofag untuk
membersihkan debu dari alveoli
sehingga terjadi migrasi ke ujung distal selaput lendir dan diikuti oleh transpor mukosiliar. Makrofag juga dapat menyebabkan translokasi ke sistem getah bening atau aliran darah. Dengan
rute ini partikel debu dapat beredar ke organ lain. Partikel debu ini dilarutkan dalam cairan pada lapisan sel epitel dan dapat menyebar ke dalam darah atau getah bening. Ketika jumlah partikel yang tinggi, kapasitas makrofag mudah terlampaui, yang menghasilkan sebuah situasi overload. Dalam situasi overload terjadi penumpukan partikel debu pada jaringan interstitial dan terjadi peradangan (Feng dkk., 2002). Pajanan debu yang sama baik jenis, ukuran partikel, konsentrasi maupun lama pajanan berlangsung, tidak selalu menunjukkan akibat yang sama, sebagian akan mengalami gangguan paru berat, sebagian ringan dan ada yang tidak mengalami gangguan. Hal ini berhubungan dengan perbedaan kemampuan sistem pertahanan tubuh terhadap pajanan partikel debu terinhalasi (Yunus, 2003). Sistem pertahanan tubuh dan saluran nafas melalui cara (Yunus, 2003): a.
Secara mekanik yaitu pertahanan yang dilakukan dengan menyaring partikel yang terhirup bersama udara dan masuk saluran pernafasan. Penyaringan dilakukan di hidung, nasofaring dan saluran bagian bawah yaitu bronkus dan bronkiolus. Di hidung penyaringan dilakukan oleh bulu-bulu silia yang terdapat di lubang hidung, sedangkan di bronkus dilakukan oleh reseptor
yang terdapat pada otot polos yang dapat berkontraksi apabila ada iritan.
Rangsangan yang terjadi berlebihan menyebabkan tubuh akan memberi reaksi berupa bersin atau batuk yang dapat mengeluarkan benda asing termasuk partikel debu kayu dari saluran nafas bagian atas atau bronkus. b. Secara kimiawi yaitu adanya mukus dalam saluran nafas secara fisik dapat memindahkan partikel yang melekat di saluran nafas dibantu dengan gerakan silia menuju ke laring. Cairan tersebut bersifat detoksikasi dan bakterisid. Pada paru terjadi ekskresi cairan secara terus menerus dan perlahan-lahan dari bronkus ke alveoli melalui sistem limfatik, selanjutnya makrofag alveolar menfagosit partikel yang ada di permukaan alveoli.
c. Secara imunitas yaitu melalui proses biokimiawi yaitu humoral dan seluler. Ketiga sistem ini saling berkait dan berkoordinasi dengan baik sehingga partikel yang terhirup disaring dan dikeluarkan dari saluran nafas.
2.3.2 Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Perlindungan dari pajanan debu kayu adalah dengan mengurangi kadar debu di udara lingkungan kerja, dengan melakukan tindakan-tindakan yang dapat mengurangi pajanan pekerja terhadap debu kayu. Penetapan jenis alat pelindung diri tergantung bagaimana cara masuk (routers of entry) dari debu kayu tersebut ke dalam tubuh. Debu kayu dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan (inhalation or breathing), kontak melalui kulit dan mata. Pilihan yang sering dilakukan adalah melengkapi tenaga kerja dengan alat pelindung diri dan hal ini harus dijadikan suatu kebiasaan serta keharusan pada tiap industri (Chan dan Harrison, 2008). Penggunaan APD yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi adalah (Budiono, 2002) : 1. Masker Masker untuk melindungi dari debu atau partikel-partikel yang lebih kasar yang masuk ke dalam saluran pernafasan. Masker terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu. Terdiri atas beberapa jenis yaitu : a. Masker penyaring debu Masker ini berguna untuk melindungi pernafasan dari serbuk-serbuk logam, penggerindaan atau serbuk kasar lainya. b. Masker berhidung Masker ini dapat menyaring debu atau benda sampai ukuran 0,5 mikron, bila
kita sulit bernafas waktu memakai alat ini maka hidungnya harus diganti karena
filternya
tersumbat oleh debu. c. Masker bertabung Masker bertabung mempunyai filter yang baik daripada masker berhidung.
Masker ini
sangat tepat digunakan untuk melindungi pernafasan dari gas tertentu. Bermacam-macam tabungnya tertulis untuk macam-macam gas yang sesuai dengan jenis masker yang digunakan. d. Masker kertas Masker ini digunakan untuk menyerap partikel-pertikel berbahaya dari udara agar tidak masuk ke jalur pernafasan. Pada penggunaan masker kertas, udara disaring permukaan kertas yang berserat sehingga partikel-partikel halus yang terkandung dalam udara tidak masuk ke saluran pernafasan. e. Masker plastik Masker ini digunakan untuk menyerap partikel-partikel berbahaya dari udara agar tidak masuk jalur pernafasan. Ukuran masker ini sama dengan masker kertas. Namun ada lubanglubang kecil dipermukaannya untuk aliran udara, tetapi tidak bisa menyaring udara, fungsi penyaring udara terletak pada sebuah tabung kecil yang diletakkan di dekat rongga hidung. Di dalam tabung ini diisikan semacam obat yang berfungsi sebagai penawar racun. f
Masker N95 Masker jenis ini merupakan alternatif bagi orang sehat untuk mengurangi pajanan debu kayu. Masker ini disebut N95 karena dapat menyaring hingga 95% dari keseluruhan partikel yang berbeda di udara. Bentuknya biasanya setengah bulat dan berwarna putih, terbuat dari bahan solid dan tidak mudah rusak, pemakaiannya juga harus benar-benar rapat, sehingga tidak ada celah udara luar masuk.
Masker N95 memiliki kekurangan antara lain bagi yang tidak terbiasa
menggunakan
mungkin merasa gerah dan sesak sehingga hanya bertahan beberapa jam saja pemakaian, untuk mendapatkan masker ini agak sulit dan relatif mahal.
2. Respirator Respirator berguna untuk melindungi pernafasan dari debu, kabut, uap, logam, asap dan gas. Alat ini dibedakan menjadi : a. Respirator pemurni udara Membersihkan udara dengan cara menyaring atau menyerap kontaminan dengan toksisitas rendah sebelum memasuki sistem pernafasan. Alat pembersihnya terdiri dari filter untuk menangkap debu dari udara atau tabung kimia yang menyerap gas, uap dan kabut. b. Respirator penyalur udara Membersihkan aliran udara yang terkontaminasi secara terus menerus. Udara dapat dipompa dari sumber yang jauh (dihubungkan dengan selang tahan tekanan) atau dari persediaan yang portable (seperti tabung yang berisi udara bersih atau oksigen). Jenis ini biasa dikenal dengan SCBA (Self Contained Breathing Apparatus) atau alat pernafasan mandiri. Digunakan untuk tempat kerja yang terdapat gas beracun atau kekurangan oksigen. Alat pelindung diri di sini bukan hanya sekedar masker, namun yang terbaik adalah respirator.
Respirator adalah suatu masker yang menggunakan filter sehingga dapat
membersihkan udara yang dihisap. Ada 2 macam respirator, yaitu yang half-face respirator, di sini berfungsi hanya sebagai penyaring udara dan full-face respirator, yaitu sekaligus berfungsi sebagai pelindung mata (Seaton, 1995).
Pemakaian respirator adalah usaha terakhir, bila usaha lain untuk mengurangi pajanan tidak memberikan efek yang optimal. Untuk menggunakan respirator
harus melalui
evaluasi secara medis. Hal ini penting karena respirator tidak selalu aman bagi setiap orang. Pemakaian respirator dapat berakibat jantung dan paru bekerja lebih keras sehingga pemakaian respirator dapat menjadi tidak aman bagi penderita asma, gangguan jantung atau orang yang mempunyai masalah dengan saluran napasnya. Pelatihan bagi pekerja yang akan menggunakan respirator sangat penting. Dengan pelatihan tersebut pekerja diberi pemahaman tentang jenis respirator, cara memilih respirator yang cocok, cara pemakaian serta cara perawatan agar tidak mudah rusak (Seaton, 1995). Alat pelindung diri pada perusahaan kayu menggunakan masker yang terbuat dari kain, namun partikel debu yang kecil ( < 10 mikron) bisa menembus masker tersebut dan masuk ke saluran pernafasan. Partikel debu yang menembus APD ( masker), di hidung akan dikeluarkan oleh sistem mukosilier, bila debu sudah berada di alveoli akan memicu terjadinya pengikatan oleh makrofag yang akan mengeluarkan partikel secara fagositosis, adanya jumlah makrofag yang banyak akan menyebabkan peningkatan fagositosis yang akan memicu terjadinya akumulasi partikel di interstisial dan inflamasi. Inflamasi akan merangsang pengeluaran mediator inflamasi seperti sitokin dan makrofag. Partikel yang paling kecil dapat mengalami translokasi ke dalam aliran darah, ukuran partikel debu dan karakteristik permukaan alveoli menjadi penentu terjadinya translokasi. Partikel dapat didapatkan pada kelenjar limfe pada beberapa bulan setelah pajanan (Struard, 1984). Partikel debu yang masuk pada saluran nafas menyebabkan proses inflamasi, proses ini mengeluarkan sitokin pada sel-sel yang mengalami infiltrasi dan pajanan di jaringan. Sitokin yang memegang peranan penting pada jaringan ini adalah interleukin (IL), interferon (IFN),
tumor nekrosis factor (TNF), growth factor (GF) dan hemopoietic growth factor (HGF). Proinflamasi sitokin merupakan pilihan untuk marker tersebut, sitokin proinflamasi penting dalam proses inisiasi proses inflamasi adalah
IL-1, IL-8, IL-10, IL-12, TNFα dan TGFβ
(Janeway dan Travers, 1997).
2.4 Mekanisme Pajanan Debu Kayu dan Efek Pajanan Debu terhadap Paru 2.4.1 Mekanisme Pajanan Debu pada Paru Paru merupakan salah satu organ dalam sistem pernafasan yang berfungsi sebagai tempat penampungan udara, sekaligus merupakan tempat berlangsungnya pengikatan oksigen oleh hemoglobin. Interaksi udara dengan paru berlangsung setiap saat oleh karena kualitas yang terinhalasi sangat berpengaruh terhadap faal paru. Udara dalam keadaan tercemar partikel polutan terinhalasi dan sebagian akan masuk ke dalam paru. Selanjutnya sebagian partikel akan mengendap di alveoli, adanya penggendapan partikel dalam alveoli bisa menyebabkan terjadinya statik partikel debu dan dapat menyebabkan kerusakan dinding alveolus, selanjutnya merupakan salah satu faktor predisposisi gangguan fungsi paru baik reversibel maupun irreversibel (Antarudin, 2000).
2.4.2
Efek Pajanan Debu Kayu terhadap Kesehatan
Debu kayu merupakan bahan partikel yang apabila masuk ke dalam saluran pernafasan manusia
dapat menimbulkan penyakit
pada
sistem pernafasan yang ditandai dengan
pengeluaran dahak secara berlebihan yang menimbulkan gejala utama yang sering terjadi adalah batuk, sesak nafas dan kelelahan.
Pajanan debu kayu dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan tergantung pada bahan kimia alamiah yang terkandung di dalamnya. Berikut ini beberapa gangguan kesehatan yang ditimbulkan akibat pemajanan debu kayu, yaitu: a. Iritasi kulit (Eucalyptus maculate dan Eucalyptus hemiphloria) b. Gejala dermatitis hampir sama dengan iritasi. Reaksi timbul setelah tersensitisasi dan reaksi alergi yang muncul. c. Alergi terhadap saluran nafas, yang terbanyak adalah asma, bisa juga bersamaan dengan rinitis dan dermatitis bila terpajan western red cedar. Kayu ini penyebab asma paling banyak di British Columbia. Pejanan debu kayu kronik menimbulkan penyakit paru obstruksi kronik sehingga terjadi gangguan fungsi paru. d. Efek terhadap nasal. Partikel berukuran 10 µm akan tersangkut di mukosa nasal menyebabkan kegagalan fungsi mukosiliari nasalis. Kayu hardwood bisa menimbulkan kanker nasalis. e. Dalam debu kayu terdapat biohazard dan mikroorganisme, endotoksin dari bakteri dan alergi dari jamur, akibatnya timbul gangguan kesehatan yang disebut organic dust toxic syndrome (ODTS), asma, bronkitis, extrinsic allergic alveolitis (EAA). Jenis jamurnya adalah aspergilus dan penisilium (Bohadana dkk., 2013).
2.4.3 Penyakit Paru Akibat Kerja Penyakit paru kerja adalah penyakit atau kerusakan paru disebabkan oleh debu, uap atau gas berbahaya yang terhirup pekerja di tempat kerja. Berbagai penyakit paru dapat terjadi akibat pajanan zat serat, debu dan gas yang timbul pada proses industrialisasi. Jenis penyakit paru yang timbul tergantung pada jenis zat pajanan, tetapi manifestasi klinis penyakit paru kerja mirip dengan penyakit paru lainnya yang tidak berhubungan dengan kerja. Penyakit paru kerja
terutama merupakan penyebab utama ketidakmampuan, kecacatan, kehilangan hari kerja dan kematian pada pekerja (Yunus, 1993).
Tabel 2.1 Klasifikasi penyakit paru kerja (Hastuti, 1997). Kelompok penyakit Iritasi saluran nafas atas
Agen penyebab gas iritan, pelarut
Gangguan jalan nafas Asma kerja Berat molekul kecil
diisosianat, anhidria, debu kayu
Berat molekul besar
alergen asal binatang
Bisinosis
debu kapas
Bronkitis kronis (PPOK)
debu, batubara
Keganasan Kanker sinonasal
debu kayu
Kanker paru
asbes, radon
Mesotelioma
asbes
Pneumokoniosis
asbes, silika, batubara, berilium, kobal
Beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan bahwa suatu penyakit disebabkan oleh agen di tempat kerja atau lingkungan, antara lain gejala klinis dan perkembangannya sesuai dengan diagnosis. Hubungan sebab akibat antara pajanan dan kondisi diagnosis telah ditentukan sebelum atau diduga kuat berdasarkan kepustakaan medis, epidemiologi atau toksikologi, terdapat pajanan yang diduga sebagai penyebab serta tidak ditemukan diagnosis lain (Blanc, 2000).
2.5 Peranan Interleukin-8 pada Patogenesis PPOK PPOK adalah penyakit radang kronik yang progresif dari saluran pernafasan terutama saluran nafas kecil dan alveoli. Dua mekanime penting yang mempengaruhi patogenesis dari
PPOK adalah adalah adanya inflamasi, ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan yang menyebabkan terjadinya stress oksidatif. Proses inflamasi pada PPOK berbeda dengan asma, pada asma
terutama melibatkan eosinofil dan mast sel yang responsif dengan steroid, sel
inflamasi pada PPOK adalah neutrofil, makrofag dan limfosit. Sel inflamasi ini mengeluarkan mediator seperti sitokin, kemokin dan chemoattractan yang menyebabkan peradangan dan kaskade yang tidak terkontrol. Dengan dilepasnya IL-8 dan LTB4 akan menarik neutrofil. Neutrofil mengeluarkan enzim proteolitik seperti elastase, proteinase-3, catepsin G, cathepsin B dan matrix metealoproteinase (MMP) yang menyebabkan rusaknya elastisitas jaringan paru (Mannino dkk., 2007). Makrofag melepaskan sitokin dan kemokin seperti IL-8, IL-6, IL-10, TNFα, LTB4 dan oksigen reaktif yang menarik dan mengaktifkan berbagai sel inflamasi dan beberapa protease MMPs seperti MMP-2, MMP-9, MMP-12 dan MMP-19. Limfosit CD8 melepaskan enzim yang bersifat destruktif seperti perforin dan granzym B yang mampu menginduksi apoptosis sel epitel alveoli dan CD4 menginduksi terjadinya respon autoimun pada jaringan paru. Beberapa kasus PPOK dihubungkan dengan perubahan patologis dan juga stress oksidatif seperti inaktivasi oksidatif dari anti protease dan surfaktan, hipersekresi mukus, peroksidase membrane lipid, jejas pada epitel alveoli, remodeling dari
matrik ektraselluler dan apoptosis.
Reduksi
sintesis
kolagen elastin dan fragmentasi protein tubuh akan menyebabkan pemberian steroid tidak membaik (Mannino dkk., 2006).
Gambar 1 : Patogenesis PPOK (Mannino dkk., 2007) Konsekuensi patologis dari inflamasi PPOK menyebabkan beberapa perubahan fisiologis yang seringkali berpengaruh terhadap kualitas hidup dan
ketahanan hidup dari perjalanan
alamiah PPOK. Perubahan yang terjadi adalah pertama proteolisis elastin yang berakibat menurunnya tekanan recoil elastic paru,
keutuhan dan pergerakan udara pada bronkiolus.
Tekanan coil elastic diinduksi oleh elastisitas jaringan sekitarnya, rusaknya elastin pada PPOK berakibat penyempitan jalan nafas ditandai dengan berkurangnya aliran udara pada bronkiolus dan adanya udara yang terperangkap di paru. Kedua, remodeling fibrotik pada jalan nafas berakibat penyempitan jalan nafas menetap yang menyebabkan peningkatan resistensi jalan nafas yang tidak kembali sempurna walaupun dengan bronkodilator. Ketiga, pelebaran alveolar sel epitel bronkiolar dan apoptosis kapiler paru (Mannino, dkk., 2006).
Gambar 2. Skema mekanisme PPOK (Pauwel dkk., 2004) Proses inflamasi saluran nafas pada PPOK merupakan respon inflamasi normal akibat iritasi kronik. Mekanisme ini belum diketahui, hal ini kemungkinan disebabkan faktor genetik. Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola peradangan tertentu yang melibatkan neutrofil, makrofag dan limfosit. Sel-sel ini melepaskan mediator inflamasi dan berinteraksi dengan selsel dalam saluran nafas dan parenkim paru. Berikut sel inflamasi pada PPOK (PDPI, 2011) : a. Peningkatan neutrofil pada PPOK sesuai dengan beratnya PPOK. b. Makrofag
banyak ditemukan pada lumen saluran nafas, parenkim paru dan cairan
broncho alveolar lavage (BAL). Makrofag ini berasal dari monosit yang mengalami diferensiasi di jaringan paru. c. Limfosit T, sel CD4 dan CD8 meningkat pada dinding saluran nafas dan parenkim paru. Peningkatan CD8 lebih besar dari CD4. Peningkatan sel T CD8 (Tc1) dan sel Th1 yang mensekresi interferon-γ dan mengekspresikan reseptor kemokin CXCR3, mungkin merupakan sel sitotoksik untuk se-sel alveolar yang berkonstribusi terhadap kerusakan alveolar.
d. Limfosit B meningkat dalam saluran nafas perifer dan folikel limfoid sebagai respon terhadap kolonosasi kuman dan infeksi saluran nafas. e. Eosinofil meningkat di dalam sputum dan dinding saluran nafas selama eksaserbasi. Mediator inflamasi dalam PPOK adalah : faktor khemotaktik. lipid mediator misalnya, leukotriene B4 menarik neutrofil dan limfosit T. Kemokin misalnya IL-8 menarik neutrofil dan monosit. Interleukin-8 adalah golongan kemokin berupa polipeptida yang dapat digunakan sebagai penanda proses keradangan dan perbaikan jaringan. Ciri khas IL-8 terdapat pada dua residu sistein dekat N-terminus yang disekat oleh sebuah asam amino. Tidak seperti sitokin umunya, IL-8 bukan merupakan glikoprotein. IL-8 diproduksi oleh berbagai macam sel, termasuk monosit, neutrofil, sel T, fibroblast, sel endothelial dan sel epithelial. Setelah terpapar antigen atau stimulan radang maka terjadi produksi IL-8 yang berlebihan, hal ini dikaitkan dengan penyakit keradangan seperti asma, PPOK, lepra, psoriasis dan lain-lain. Interleukin-8 juga dapat menginduksi perkembangan tumor sebagai salah satu efek angiogenik yang ditimbulkan selain vaskularisasi. Beberapa kemokin yang memicu kemotaksis neutrofil adalah
IL-8
yang
merupakan chemoattractant yang terkuat. Sesaat setelah pajanan maka neutrofil menjadi aktif dan berubah bentuk oleh karena aktivasi integrin dan sitoskeleton aktin. Basofil, sel T, monosit dan eusinofil juga menunjukkan respon kemotaktik terhadap IL-8 dengan terpicunya aktivasi integrin yang dibutuhkan untuk adhesi dengan sel endhotelial pada saat migrasi (Mannino dan Buist, 2007). Interleukin-8 adalah mitogenic dan chemotactic pada sel endothelial. IL-8 dihasilkan oleh proses inflamasi dan sel neoplastik. IL-8 mengatur angiogenesis pada keganasan, dengan jalan merangsang MMP-9 yang selanjutnya mengatur pertumbuhan dan metastase (Inoue dkk.,
2000). Peningkatan kadar IL-8 serum
juga didapatkan pada hepatoma dan chronic active
hepatitis yang berhubungan dengan infeksi hepatitis B. Pada hepatitis B kronik dengan HBeAg negatif dengan inflamasi hati didapatkan peningkatan kadar IL-8 (Dunn dkk., 2007). Kadar IL-8 berhubungan dengan tingkat keparahan tuberkulosis (Vany dkk, 2009). IL-8 juga meningkat pada pada DM tipe 2 (Herder dkk., 2005). Tabel 2.2 Sitokain pada asma dan PPOK (Jatakanon, 1999) Sitokain
Asma
PPOK
IL-4
++
±
IL-5
++
±
Eotaxin
++
++
IL-8
±
++
TNF-α
+
+
TGF-β
+
+
EGF
±
+
± : tidak berarti/ dapat diabaikan , + : sedikit meningkat, + + : meningkat tinggi
2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi IL-8 2.6.1 Umur dan lama pajanan debu terhadap interleukin-8 Penyakit paru akibat kerja merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh pajanan berulang terhadap berbagai substansi yang mengiritasi atau toksik yang dapat menimbulkan penyakit pernapasan akut maupun kronik. Penyakit ini merupakan salah satu penyebab utama ketidakmampuan, kecacatan, kehilangan hari kerja, dan kematian pada pekerja. Akibat pajanan debu kayu pada sistem pernapasan dapat terjadi penurunan kapasitas paru-paru dan reaksi alergi di paru-paru. Penurunan kapasitas paru-paru disebabkan oleh iritasi mekanik atau kimia debu terhadap jaringan paru. Iritasi pada saluran napas mengakibatkan berkurangnya volume udara
yang dapat masuk ke dalam paru-paru dan sesak napas (breathlessness). Hal ini biasanya memerlukan waktu yang lama untuk melihat terjadinya pengurangan kapasitas paru (Ladou, 1990 ; Friedman dkk., 1998). Menurut teori ekologi, terjadinya penyakit ini dipengaruhi oleh 3 faktor utama (Ladou, 1990 dan Friedman dkk., 1998) yaitu: a. Faktor penyebab penyakit (agent), contohnya debu kayu. b. Faktor penjamu (host), misalnya umur, jenis kelamin, status gizi, pendidikan, kebiasaan merokok, kebiasaan menggunakan alat pelindung diri dan lain-lain. c. Faktor lingkungan, dalam hal ini adalah tingkat pajanan debu kayu, lama masa kerja, jenis pekerjaan dan lain-lain. Umur mempengaruhi produksi IL-8. Pada usia lanjut terjadi penurunan yang signifikan terhadap produksi IL-8
baik pada laki-laki maupun
perempuan. Persentase sel T yang
menghasilkan IL-8 menunjukkan penurunan sesuai dengan bertambahnya umur, hal ini menimbulkan penurunan fungsi neutrofil dalam kemotaksis (Solona dkk., 2012). 2.6.2 Pengaruh status gizi terhadap interleukin-8 Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan zat-zat gizi. Indeks massa tubuh (IMT) standar yang sekarang dipakai untuk menilai status gizi adalah berat badan (kg) dibagi tinggi badan (meter)2, dimana jika ditinjau dari penggunaannya lebih mudah dan praktis. Gizi kurang IMT : < 18,5 kg/m2, normal IMT: 18.5 – 24,9 kg/m2, overweight IMT: 25-29,9 kg/m2, dan obesitas IMT: > 30 kg/m2 (WHO, 1995). Status gizi yang buruk akan menyebabkan daya tahan tubuh seseorang menurun, sehingga seseorang akan mudah terinfeksi oleh mikroba, mudah terserang infeksi seperti batuk, pilek, diare dan berkurangnya kemampuan tubuh untuk melakukan detoksifikasi terhadap benda
asing seperti debu kayu yang masuk ke dalam tubuh. Berkaitan dengan infeksi saluran pernafasan apabila terjadi secara berulang-ulang dan disertai batuk berdahak
akan dapat
menyebabkan terjadinya bronkitis kronis (Budiono, 2002). Penyebab terjadinya penurunan status gizi pada PPOK disebabkan oleh penurunan asupan makanan dan peningkatan energi yang dikeluarkan yang berhubungan dengan tingkat keparahan PPOK dan juga efek faktor humoral seperti inflamasi, sitokin, adiponektin dan hormon. Pada PPOK terjadi gangguan sistem inflamasi di paru yang ditandai dengan peningkatan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-6, IL-8, TNFα dan kemokin (Gan dkk., 2004). Adiponektin berhubungan dengan IMT pada PPOK, pada IMT< 18,5 kg/m2 terjadi peningkatan adiponektin yang signifikan dalam darah dibandingkan dengan IMT ≥ 18,5 kg/m2, hal ini akibat dari berkurangnya lemah tubuh. Pada PPOK dengan IMT < 18,5 kg/m2 menunjukkan median IL-6 dan IL-8 lebih tinggi dan nilai CRP lebih rendah dibandingkan dengan IMT ≥ 18,5 kg/m2 (Tomado dkk., 2007).
2.5.3 Pengaruh rokok terhadap interleukin-8 Rokok pada waktu dibakar akan menghasilkan reaksi fisikokimiawi. Reaksi ini akan menghasilkan berbagai zat yang sangat berbahaya, seperti karbon monoksida dan karbon dioksida (pada zone pembakaran), serta berbagai senyawa kimia lain, seperti
nitrosamine,
fitosterol, formaldehid, asetaldehid, benzene, hydrogen sianida serta logam (pada zone distilasi). Sebagian besar senyawa yang dihasilkan dari proses pembakaran tersebut terbukti bersifat karsinogenik. Pada sistem pernafasan mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas yang sangat signifikan. Lebih dari setengah partikel yang terhisap dari asap rokok akan
mengendap pada paru dan mengakibatkan perubahan pada struktur dan fungsi paru dan saluran pernafasan (Aditama, 1996). Merokok menimbulkan efek pada bronkus, bronkiolus dan parenkim paru. Pada saluran nafas yang besar seperti bronkus, rokok mempunyai efek pada struktur dan fungsi pengeluaran mukus oleh kelenjar mukus, peningkatan jumlah dan ukuran berperan pada produksi mukus yang berlebihan di saluran nafas. Saluran nafas menjadi tebal karena hipertropi dan hiperplasi kelenjar mukus, sama seperti masuknya sel-sel inflamasi (makrofag, neutrofil dan sitotoksin) pada dinding saluran nafas. Penebalan dinding saluran nafas menyebabkan berkurangnya ukuran lumen saluran nafas dan adanya dahak dalam lumen menyebabkan berkurangnya patensi saluran nafas. Pengeluaran berbagai mediator dari sel-sel inflamasi termasuk leukotrin, interleukin-8 dan TNF-α berperan terhadap kerusakan jaringan dan menambah proses inflamasi pada saluran nafas dan parenkim paru. Stres oksidatif yang terjadi akibat dari adanya bahan oksigen reaktif pada rokok atau pelepasan sel-sel inflamasi berperan pada proses patologis (Kimberly, 2007). Pada saat bersamaan, sebagian besar mukus dihasilkan pada saluran nafas yang besar. Pembersihan mukus tersebut tergantung efek rokok terhadap kerja silia yang terdapat pada lumen bronkus. Penebalan struktur pada silia setelah paparan dalam jangka waktu lama dari rokok menyebabkan penurunan mucociliary clearence. Efek merokok terhadap produksi mukus, mucociliary clearance dan inflamasi jalan nafas menunjukkan hubungan signifikan antara merokok dan gejala bronkitis kronik (Kimberly, 2007).