BAB II KAJIAN PUSTAKA
Kajian pustaka pada penelitian ini akan menguraikan beberapa teori tentang kinerja pegawai, kepuasan kerja, dan kepemimpinan. Teori – teori tersebut akan diuraikan berikut ini.
2.1.
Kinerja
2.1.1
Pengertian Kinerja Menurut pendekatan perilaku, kinerja adalah kuantitas atau kualitas sesuatu
yang dihasilkan atau jasa yang diberikan oleh seseorang yang melakukan pekerjaan (Luthans, 2005:165). Kinerja sebagai gabungan perilaku dengan prestasi yang diharapkan atau bagian syarat-syarat tugas yang ada pada masing-masing individu dalam
organisasi
(Waldman,
1994).
Sedangkan
Mangkunegara
(2001:67),
menjelaskan kinerja sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan. Hameed and Waheed (2011:228), menjelaskan
employee Performance
means employee productivity and output as a result of employee development. Selanjutnya, Bastian dalam Fahmi (2012:226) mendefinisikan kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan strategis 11
12
organisasi. Kinerja merupakan prestasi kerja, yaitu perbandingan antara hasil kerja dengan standar yang ditetapkan (Dessler, 2000:41) yang secara kualitas maupun kuantitas dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas sesuai tanggung jawab yang diberikan (Mangkunagara, 2002:22). Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan pegawai (Mathis dan Jackson, 2009:65). Berbagai jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai tentunya membutuhkan kriteria yang jelas, karena masing-masing pekerjaan mempunyai standar yang berbeda-beda tentang pencapaian hasil. Makin rumit jenis pekerjaan, maka standard operating procedure yang telah ditetapkan akan menjadi syarat mutlak yang harus dipatuhi.
2.1.2
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Para pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja
antarpegawai. Secara garis besar perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor (As’ad,1998) yaitu: faktor individu dan situasi kerja. Mahmudi (2005), menyebutkan lima faktor yang mempengaruhi kinerja, sebagai berikut: 1) Faktor
personal/individual,
meliputi:
pengetahuan,
keterampilan,
kemampuan, kepercayaan diri, motivasi, dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu. 2) Faktor kepemimpinan, meliputi: kualitas dalam memberikan dorongan semangat, arahan dan dukungan yang diberikan manajer dan team leader.
13
3) Faktor lain meliputi : kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakkan dan keeratan anggota tim. 4) Faktor sistem, meliputi : system kerja, fasilitas kerja (infranstruktur) yang diberikan organisasi, proses organisasi dan kultur kinerja dalam organisasi. 5) Faktor kontekstual (situasional), meliputi: tekanan dan perubahan lingkungan eksternal dan internal. 2.1.3. Indikator Kinerja Pegawai Indikator untuk mengukur kinerja pegawai secara individu ada lima indikator, yaitu (Robbins, 2006:260): a) Kualitas. Kualitas kerja diukur dari persepsi pegawai terhadap kualitas pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan kemampuan pegawai. b) Kuantitas. Merupakan jumlah yang dihasilkan dinyatakan dalam istilah seperti jumlah unit dan jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan. c) Ketepatan waktu. Merupakan tingkat aktivitas diselesaikan pada awal waktu yang dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain. d) Efektivitas. Merupakan tingkat penggunaan sumber daya organisasi (tenaga, uang, teknologi, bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud menaikkan hasil dari setiap unit dalam penggunaan sumber daya.
14
e) Kemandirian. Merupakan tingkat seorang pegawai untuk menjalankan fungsi kerjanya. Merupakan suatu tingkat
dimana pegawai mempunyai komitmen
kerja dengan instansi dan tanggung jawab pegawai terhadap kantor.
2.1.4. Tujuan Penilaian Kinerja Kinerja merupakan prestasi kerja atau hasil kerja baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai SDM per satuan periode waktu dalam melaksanakan tugas. Penilaian kinerja digunakan untuk berbagai tujuan dalam organisasi. Tujuan penilaian kinerja adalah untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja sumber daya manusia. Secara lebih spesifik, tujuan penilaian kinerja (Prabu, 2009:10) adalah sebabagi berikut: 1) Meningkatkan saling pengertian antara karyawan tentang persyaratan kerja 2) Mencatat dan mengakui hasil kerja karyawan sehingga mereka termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi yang sama seperti sebelumnya. 3) Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan keinginan dan aspirasinya sehingga meningkatkan kepeduliannya terhadap karier. 4) Merumuskan kembali sasaran masa depan sehingga karyawan termotivasi berprestasi sesuai dengan potensinya. 5) Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan pelatihan.
15
2.2.
Kepuasan Kerja
2.2.1. Pengertian Kepuasan Kerja Kepuasan kerja adalah respon emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan (Kreitner dan Kinicki, 2003). Definisi ini tidak dapat diartikan sebagai suatu konsep tunggal di mana seseorang dapat relatif puas dengan suatu aspek pekerjaan dan tidak puas dengan salah satu atau lebih aspek yang lain. Kepuasan merupakan cermin dari perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Robbins (2013) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai
sikap umum seorang terhadap pekerjaannya atau
banyaknya ganjaran yang diterima dengan
selisih antara
banyaknya yang mereka yakini
seharusnya diterima. Kepuasan kerja ditentukan oleh beberapa faktor yakni; kerja yang secara mental menantang, kondisi kerja yang mendukung, duungan rekan kerja, serta kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan.
2.2.2. Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Kepuasan kerja adalah suatu kondisi yang menyimbangi antara apa yang dikehendai seorang pegawai dengan apa yang dirasakan. Oleh karena itu, kepuasan kerja sangat tergantung pada setiap pegawai yang bekerja di organisasi tersebut. Blum dalam Sutrisno (2009:77) mengatakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi kepuasan antara lain: 1). Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak, dan harapan; 2). Faktor sosial, meliputi hubungan keluarga pendangan pekerjaan, kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan; 3). Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan
16
kesempatan untuk maju. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja diantaranya adalah; Pertama faktor individu, kepuasan kerja dipengaruhi usia, jenis kelamin, pengalaman dan sebagainya. Kedua faktor pekerjaan, kepuasan kerja dipengaruhi oleh otonomi pekerjaan, kreatifitas yang beragam, identitas tugas, keberartian tugas (task significancy), pekerjaan tertentu yang bermakna dalam organisasi dan lain-lain. Dan ketiga faktor organisasional, yakni kepuasan kerja dipengaruhi oleh skala usaha, kompleksitas organisasi, formalitas, sentralisasi, jumlah anggota kelompok, lamanya beroperasi, usia kelompok kerja dan kepemimpinan (Robbins, 2006; 110). Luthans (2009; 107) mengemukakan terdapat tiga dimensi penting dalam kepuasan kerja, yaitu; 1). kepuasan kerja merupakan respon emosional terhadap situasi kerja; 2). kepuasan kerja sering kali ditentukan oleh bagaimana hasil yang diperoleh sesuai atau melebihi harapan; dan 3).
kepuasan kerja mencerminkan
beberapa perilaku yang berkaitan. Hulin et al., dalam Luthans (2009; 112) mengungkapkan lima dimensi yang mencerminkan karakteristik penting tentang kerja yang ditanggapi pegawai secara efektif, yaitu pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan promosi, supervisi (pengawasan) dan rekan kerja. Hal tersebut yang dijelaskan Luthans (2009; 108) sebagai dimensi kepuasan kerja, sebagai pengembangan dari ketiga dimensi sebelumnya, yaitu : 1) Pekerjaan itu sendiri. Merupakan sumber utama kepuasan dimana pekerjaan tersebut memberikan tugas yang menarik, kesempatan belajar, kesempatan menerima tanggung jawab dan kemajuan pegawai. Karakteristik pekerjaan dan
17
kompleksitas pekerjaan menghubungkan antara kepribadian dan kepuasan kerja. Jika persyaratan pekerjaan terpenuhi, mereka cenderung menjadi puas. 2) Gaji. Merupakan sejumlah imbalan yang diterima dan tingkat dimana hal ini bisa dipandang sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam organisasi. Pegawai melihat imbalan sebagai refleksi dari bagaimana manajemen memandang kontribusi mereka terhadap perusahaan. Jika pegawai fleksibel dalam memilih jenis benefit yang mereka sukai dalam sebuah paket total (rencana benefit fleksibel), maka ada peningkatan signifikan dalam kepuasan benefit dan kepuasan kerja secara keseluruhan. 3) Kesempatan promosi. Merupakan kesempatan untuk maju dalam organisasi, sepertinya memiliki pengaruh yang berbeda pada kepuasan kerja. Promosi memiliki sejumlah bentuk yang berbeda dan memiliki penghargaan, seperti promosi atas dasar senioritas atau kinerja dan promosi kenaikan gaji. 4) Pengawasan (Supervisi). Kemampuan penyelia untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku. Ada 2 (dua) dimensi gaya pengawasan yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Pertama adalah berpusat pada pegawai, diukur menurut tingkat dimana penyelia menggunakan ketertarikan personal dan peduli pada pegawai, seperti memberikan nasehat dan bantuan kepada pegawai, komunikasi yang baik dan meneliti seberapa baik kerja pegawai. Kedua adalah iklim partisipasi atau pengaruh dalam pengambilan keputusan yang dapat mempengaruhi pekerjaan pegawai.
18
5) Rekan kerja. Rekan kerja yang kooperatif merupakan sumber kepuasan kerja yang paling sederhana secara individu. Kelompok kerja, terutama tim yang kuat bertindak sebagai sumber dukungan, kenyamanan, nasehat, dan bantuan pada anggota individu. Selanjutnya, Kreitner & Kinicki, (2003), menguraikan lima model kepuasan kerja yang menonjol yang menggolongkan penyebab dan dapat digunakan sebagai ukuran kepuasan kerja, antara lain: 1)
Pemenuhan kebutuhan, menjelaskan behwa kepuasan ditentukan oleh karakteristik dari sebuah pekerjaan memungkinkan seorang individu memenuhi kebutuhannya.
2)
Ketidakcocokan, menjelaskan bahwa kepuasan adalah hasil dari harapan yang terpenuhi. Harapan yang terpenuhi mewakili perbedaan antara apa yang diharapkan oleh seorang individu dari sebuah pekerjaan, saat harapan lebih besar daripada yang diterima, seorang akan tidak puas.
3)
Pencapaian nilai, menjelaskan bahwa kepuasan berasal dari persepsi bahwa suatu pekerjaan memungkinkan untuk pemenuhan nilai-nilai kerja yang penting dari seorang individu.
4)
Persamaan, menjelaskan bahwa kepuasan adalah suatu fungsi dari bagaimana seorang individu diperlakukan “secara adil” di tempat kerja.
5)
Komponen watak/genetik, menjelaskan bahwa secara khusus model ini didasarkan bahwa kepuasan kerja sebagai fungsi dari sifat pribadi maupun faktor genetik.
19
Dari sudut pandang pegawai, kepuasan kerja merupakan hasil yang diinginkan oleh pegawai (Luthans, 2009). Pegawai dengan tingkat kepuasan kerja tinggi cenderung memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, memelajari tugas yang berhubungan dengan pekerjaan baru dengan lebih cepat, memiliki sedikit kecelakaan kerja, sedikit keluhan dan menurunkan tingkat stres. Selain itu, pegawai akan merasa senang dan bahagia dalam melakukan perkerjaannya dan tidak berusaha mengevaluasi alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya, pegawai yang tidak puas cenderung mempunyai pikiran untuk keluar, mengevaluasi alternatif pekerjaan lain dan karena berharap menemukan pekerjaan yang lebih memuaskan (Mobley, 1979).
2.3.
Kepemimpinan
2.3.1. Pengertian Kepemimpinan Pemimpin dan kepemimpinan merupakan sumber daya terpenting sebuah organisasi karena setiap pegawai yang bekerja memiliki talenta, pengetahuan dan keahlian yang ditunjukan lewat tugas dan tanggung jawab yang diembangkannya. Sudah menjadi lazim dalam sebuah organisasi tugas dan tanggung jawab para pegawai terkoordinir dibawah satu kepemimpinan. Oleh karena itu, pemimpin dan kepemimpinan yang efektif selalu memainkan peran
penting bagi proses
pertumbuhan organisasi. Kepemimpinan merupakan kunci utama bagi sebuah kesuksesan atau kegagalan organisasi, karena kepemimpinan merupakan pendekatan dan tindakan dalam mengarahkan dan memotivasi para pegawai dalam melaksankan tugas
dan
tanggung
jawab.
Pentingnya
kepemimpinan
dalam
organisasi
20
mengakibatkan menjadi topik perdebatan dan diskusi yang hangat, baik antarpara pakar maupun praktisi dari jaman ke jaman. Berbagai teori kepemimpinan telah memperluas khasanah pengetahuan tentang
kepemimpinan
yang
ditandai
dari
banyaknya
pendapat
tentang
kepemimpinan. Pemimpin adalah seseorang yang karena kecakapan-kecakapan pribadinya dengan atau tanpa pengangkatan resmi dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya untuk mengarahkan usaha bersama ke arah pencapaian sasaransasaran tertentu (Winardi, 1989 : 414). Luthans (2006),
mendefinisikan
kepemimpinan sebagai proses kelompok, personalitas, pemenuhan perilaku tertentu, persuasi, kekuatan, tujuan, pencapaian, diferensiasi peran, inisiasi struktur, serta kombinasi dari dua atau lebih dari hal tersebut. Menurut Timple (dalam Umar, 2000 : 31) pemimpin adalah orang yang menerapkan prinsip dan teknik yang memastikan motivasi, disiplin, dan produktivitas jika bekerjasama dengan orang, tugas, dan situasi agar dapat mencapai sasaran. Pemimpin adalah sebagai sosok karismatik yang mampu membuat keputusan yang tepat
dan mampu mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan (Gadot, 2007). Berbagai penelitian tentang kepemimpinan mendefinisikan bahwa leadership is reciprocal relationship between those who choose to lead and those who decide to follow (Kouzes dan Posner, 2007:3). Kepemimpinan adalah hubungan timbal balik antara orang-orang yang memilih untuk memimpin dan orang-orang yang memutuskan untuk mengikutinya. Finzel (2002:13) mengatakan kepemimpinan
21
mempengaruhi sesorang untuk melakukan sesuatu sehingga membawa orang lain ke tempat yang takkan mereka datangi sendiri. Dengan demikian, kepemimpinan pada akhirnya menciptakan cara untuk memberikan kontribusi agar membuat sesuatu terjadi secara luar biasa. Kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain karena memiliki karakter, hubungan baik, berpengetahuan dan keahlian tentang dinamika hidup yang selalu berorientasi kemasa depan, memiliki intuisi mempengaruhi moral dan mementum yang ada, serta memiliki keahlian berdaptasi dan memberikan solusi bagi suatu persoalan. Kemampuan tersebut menggambarkan setiap pemimpin harus memiliki pendekatan berbeda dalam mengimplementasikan program dan aktivitas kerja, membimbing dan mengarahkan pegawai pada tugas dan tanggung jawab masing-masing. Pendekatan kepemimpinan yang digunakan oleh seorang pemimpin akan selalu berdasarkan pada keyakinan, nilai, preferensi, budaya dan norma-norma organisasi, akibatnya akan mendorong beberapa gaya kepemimpinan dalam memimpin suatu organisasi.
22
2.3.2. Peranan Pemimpin dalam Organisasi Seorang pemimpin mempunyai fungsi yang berbeda, tergantung pada jumlah anggota kelompok yang dipimpinnya, situasi dan kondisi organisasi, dan jenis organisasinya. Sutrisno (2009:219) mengelompokkan fungsi pemimpin menjadi empat bagian, yakni: 1). Perencanaan; 2). Pengorganisasian; 3). Penggerakkan; dan 4). Pengendalian. Selain itu, pemimpin juga mempunyai tiga tugas utama antara lain: 1) Memberi struktur yang jelas terhadap situasi rumit yang dihadapi kelompok; 2) Mengawasi dan menyalurkan tingkah laku kelompok; 3) Merasakan dan menerangkan kebutuhan kelompok pada dunia luar, baik mengenai sikap-sikap, harapan, tujuan, dan kekhawatiran kelompok. . Seorang pemimpin juga mempunyai tiga peran utama (Sutrisno, 2009:219), yakni: 1). Peran yang bersifat interpersonal yakni seorang pemimpin berinteraksi dengan orang lain, termasuk dengan berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders), baik di dalam maupun di luar organisasi; 2). Peran informasional, yakni seorang pemimpin adalah pemantau arus informasi, pembagi informasi dan menjadi juru bicara organisasi; 3). Peran pengambil keputusan, yakni terus-menerus mengkaji situasi yang dihadapi organisasi, mencari dan menemukan peluang yang dapat dimanfaatkan. Kesedian memikul tanggung jawab untuk mengambil tindakan korektif, menjadi pembagi sumber dana dan sumber daya (Sutrisno, 2009:221).
23
2.3.3. Keterampilan Pimpinan Katz pada tahun 1970-an (dalam Robbins, 2012; 51) mengemukakan bahwa setiap pemimpin
membutuhkan minimal tiga keterampilan dasar. Ketiga
keterampilan tersebut meliputi: 1) Keterampilan konseptual (conceptional skill). Pemimpin
harus memiliki
keterampilan untuk membuat konsep, ide, dan gagasan demi kemajuan organisasi. Gagasan serta konsep tersebut haruslah dijabarkan menjadi suatu rencana kegiatan. Proses penjabaran ide menjadi suatu rencana kerja yang kongkret disebut sebagai proses perencanaan . Oleh karena itu, keterampilan konsepsional juga merupakan keterampilan untuk membuat rencana kerja. 2) Keterampilan berhubungan dengan orang lain (humanity skill). Pemimpin juga perlu dilengkapi dengan keterampilan berkomunikasi atau keterampilan berhubungan dengan orang lain, yang disebut juga keterampilan kemanusiaan. Komunikasi persuasif
harus selalu diciptakan oleh pemimpin terhadap
bawahan. Dengan komunikasi persuasif, bersahabat membuat pegawai merasa dihargai sehingga mereka akan bersikap terbuka kepada atasan. 3) Keterampilan teknis (technical skill). Keterampilan ini pada umumnya merupakan bekal bagi pemimpin pada tingkat yang lebih rendah. Keterampilan teknis merupakan kemampuan menjalankan pekerjaan tertentu, misalnya menggunakan program komputer, memperbaiki mesin, membuat kursi, akuntansi dan lain-lain.
24
2.3.4. Gaya Kepemimpinan Pada tahun 1930-an, Gaya kepemimpinan pertama kali dipelajari oleh seorang psikolog bernama Kurt Lewin. Dalam studinya, Lewin menemukan tiga gaya kepemimpinan yakni authoritarian, democratic dan laissez-faire (Dorio dan Shelly, 2011:252). Setelah temuan Lewin, para pakar kepemimpinan menemukan berbagai gaya kepemimpinan, sehingga berbagai konsep tentang kepemimpinan dan gaya kepemimpinan dicetuskan. Termasuk menyangkut karakter individu, tingkah laku pemimpin, pola interaksi, kaedah hubungan, persepsi pengikut, daya pengaruh terhadap pengikut, pengaruh terhadap tujuan tugas-tugasnya dan pengaruh terhadap kinerja organisasi (Yukl , 2010). Ruyatnasih et al. (2013:107) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan merupakan
seni pemimpin untuk
mempengaruhi perilaku bawahan agar mau
bekerjasama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan.
Gaya
kepemimpinan menyangkut pola perilaku yang ditunjukkan oleh pemimpin dalam mempengaruhi orang lain (Satyawati dan Suartana, 2014). Garrick (2006:5) mengemukakan bahwa Leadership Style refers to the pattern of behavior an individual leader uses across the full range of leadership situations. Selanjutnya Goleman dalam Harvard business review (2000:82-87) mengklasifikasikan gaya kepemimpinan kedalam 6 (enam) bagian antara lain:
25
1) Gaya Kepemimpinan Paksaan (Coersive) Gaya kepemimpinan paksaan memiliki sifat top down dan tidak fleksibel. Seorang pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan ini sering mengambil keputusan sepihak dengan tujuan utamanya adalah segera mendapatkan hasil. Gaya kepemimpinan ini mengutamakan perintah dan mengabaikan dialog. Akibatnya menimbulkan beberapa dampak negatif seperti para pegawai tidak dapat melakukan aktivitas atas inisitaif sendiri, mereka hanya menunggu perintah atasan, rasa kepemilikan terhadap tugas dan tanggung jawab menjadi pudar, dan pegawai merasa bahwa mereka tidak dihormati dalam organisasi. Jika kejenuhan dan ketidakpuasan semakin tinggi maka efektivitas
gaya kepemimpinan semakin merosot sehingga
berdampak pada pembangkan. Gaya kepemimpinan coersive bisa digunakan pada saat-saat tertentu terutama pada saat kondisi organisasi tidak menentu. 2) Gaya Kepemimpinan Authoritative Gaya kepemimpinan authoritative memiliki sifat fleksibel, terbuka dan mengutamakan dialog. Pemimpin authoritative memberikan kebebasan kepada pegawai untuk berinovasi, mencari pengalaman
dengan melakukan pekerjanya
sendiri dan bahkan memberikan kebebasan untuk mengambil resiko atas pekerjaan tersebut. Pemimpin authoritative
selalu memberikan motivasi kepada bawahan
dengan membuat standar pekerjaan, menyederhanakan dan memperjelas pekerjaan sesuai dengan visi dan misi organisasi. Gaya kepemimpinan authotitative berfungsi dengan baik apabila sudah ada kejelasan visi, misi dan strategi. Gaya kepemimpinan ini juga berjalan dengan baik apabila para pegawai selalu membutuhkan bimbingan
26
dan arahan. Oleh karena itulah, gaya kepemimpinan ini kurang efektif apabila pemimpin tidak mengembangan kapasitas pegawai, mempromosikan tim kerja yang mengatur diri sendiri dan pengambilan keputusan bersama. 3) Gaya Kepemimpinan Affiliative Gaya kepemimpinan affiliative mengutamakan hubungan harmoni antara pegawai dengan pimpinan dengan tujuan menghindari konflik. Dengan menciptakan iklim saling percaya antara sesama pegawai, gaya kepemimpinan ini memberikan kebebasan bagi pegawai untuk berinovasi dan melakukan pekerjaan mereka sesuai keyakinan dan kemampuan. Pemimpin yang menggunakan gaya ini memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap hasil pekerjaan para pegawai. Sikap semacam ini akan memberikan motivasi bagi pegawai untuk lebih giat bekerja dan akhirnya secara bertahap akan menimbulkan rasa kepemilikan terhadap organisasi. Gaya kepemimpinan affiliative kurang begitu efektif digunakan dalam situasi apabila kinerja para pegawai kurang baik, ada pegawai yang selalu mengutamakan pekerjaan atau kurang begitu tertarik untuk membina hubungan baik dengan pimpian. Menghadapi situasi semacam ini, pemimpin harus memberikan pandangan yang jelas, instruksi, pendampingan dan kontrol yang jelas. Artinya
mengahadapi situasi
semacam ini, pemimpin bisa menggunakan kombinasi antara gaya kepemimpinan affiliative dengan gaya yang lain seperti; coercive, authoritative dan coaching. 4) Gaya Kepemimpinan Demokratik Gaya kepemimpinan demokratik mengutamakan pengembangan komitment para pegawainya dan merangsang inisitif dan kreativtas para pegawai dengan
27
mengutamakan konsensus antara anggota organisasi. Gaya kepemimpinan ini selalu mengandalkan pengetahuan dan keahlian para pegawai dengan memberikan kepercayaan untuk menentukan tujuan dan strategi dari inisiatif mereka. Dengan cara semacam ini, pemimpin secara bertahap membangun kepercayaan, saling menghargai dan komitment kerja terhadap organisasi dengan bertanggung jawab. Gaya kepemimpinan demokratik menjadi kurang efektif jika organisasi hidup dalam situasi krisis dimana para pegawai dan pemimpin tidak bisa melakukan pertemuan. Gaya kepemimpinan ini kurang efektif apabila para pegawainya memiliki keterbatasan pengetahuan dan keahlian. Kondisi semacam ini dapat pula difaatkan oleh pemimpin untuk mengambil kebijakan yang krusial yang tidak diketahui secara seksama oleh pegawainya. 5) Gaya Kepemimpinan Pacesetting Pemimpin yang menganut gaya kepemimpinan pocesetting ini mengutamakan penyelesain tugas-tugas dengan hasil yang baik dan memenuhi standar yang ditentukan. Gaya kepemimpinan ini berjalan efektif dalam kondisi dimana para pegawainya memiliki kemampuan dan keahlian yang baik, mempunyai motivasi tinggi dan dapat melakukan pekerjaan mereka. Karena itulah pemimpin dengan gaya pacesetting selalu menuntut kepada para pegawainya untuk melakukan pekerjaan mereka dengan cepat dan memberikan hasil yang baik dan memenuhi standar seperti yang diharapkan oleh dirinya.
28
Kepemimpinan ini menegaskan bahwa, apabila pegawai gagal dalam menyelesaikan tugas, maka pegawai yang bersangkutan akan digantikan dengan pegawai lain yang dianggap mampu dan terampil. Tindakan semacam ini tentu menimbulkan beberapa dampak negatif seperti semangat kerja para pegawai semakin menurun, menimbulkan rasa kurang percaya diri yang mengakibatkan pudarnya inisiatif dan kreativitas. Hal tersebut mengakibatkan para pegawai mulai merasa bosan dengan pekerjaan sehingga
pekerjaan dilakukan asal-asalan.
Gaya
kepemimpinan pocesetting kurang efektif dalam kondisi dimana pemimpin tidak bisa melakukan pekerjaannya sendiri, para pegawai selalu membutuhkan instruksi, bimbingan dan koordinasi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka. 6) Gaya Kepemimpinan Pengasuh (Coaching). Gaya pengasuh lebih cenderung pada pengembangan kapasitas pegawai agar berkinerja dan memiliki karir baik. Karena itulah, mereka selalu membantu para pegawai dalam mengidentifikasi kelemahan dan kelebihan mereka, disesuaikan dengan keinginan dan pengembangan karir. Pemimpin dengan gaya ini selalu mendorong pegawai membuat tujuan jangka panjang, membuat kesepatan dengan pegawai, mengembangkan tugas dan tanggung jawab demi pencapaian tujuan organisasi, memberikan kepercayaan dengan mendelegasikan
tugas yang penuh
tantangan, serta memberikan instruksi dan feedback dalam proses implementasi tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Gaya kepemimpinan Coaching lebih efektif diterapkan apabila pengetahuan dan keahlian pegawai tidak sejalan dengan kinerja yang ditunjukkan, namun mereka
29
memiliki kemauan untuk berkinerja lebih baik. Lagi pula para pegawai ini mempunyai motivasi tinggi untuk mengambil inisiatif dan mengharapkan pengembangan profesionalisme mereka. Gaya kepemimpinan coaching tidak akan efektif jika pemimpin sendiri kurang berpengalaman, berpengetahuan dan berkeahlian. Demikian pula, gaya ini tidak akan efektif jika sebuah organisasi berada dalam situasi krisis dimana semua orang bekerja dalam kondisi tertekan. Finzel (2002:33) mengklasifikasikan lima gaya kepemimpinan antara lain: 1). Gaya partisipatif yakni memberikan kesempatan kepada anggota atau kelompok kerja untuk memberikan masukan atau pendapat kepada pemimpin sebelum pemimpin mengambil keputusan; 2). Gaya fasilitator yakni seorang pemimpin memberikan ruang kepada anggota atau bawahannya untuk bekerja demi mencapai kesusksesan. Selain itu, seorang pemimpin memperdaya anggota organisasi untuk bekerja lebih efektif; 3). Gaya demokratis yakni seorang pemimpin harus membangun tim kerja yang demokratis agar setiap anggota memiliki peran yang penting dan sifat serta arah organisasinya; 4). Gaya organisasi yang datar yakni seorang pemimpim memposisikan diri bersebelahan dengan anggotanya namun bukan memposisikan diri paling tinggi bagaikan piramida raksasa; 5). Gaya melayani yakni melayani semua orang, memberikan ruang serta kebebasan kepada semua orang untuk menjadi diri sendiri, memfokuskan pada kebutuhan orang lain, menjadi mitra dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab. Selanjutnya
Ojokuku et al. (2012:203) menjelaskan bahwa, dalam teori
kepemimpinan modern terdapat enam gaya kepemimpinan, antara lain:
30
1) Kepemimpinan karismatik. Pemimpin Karismatik mempunyai visi dan kepribadian yang mendorong pengikutnya untuk melaksanakan visinya. Pemimpin karismatik selalu memberikan dasar yang kuat bagi para pengikut untuk berkreasi dan berinovasi. Namun, ada juga beberapa kelemahan dari pemimpin karismatik yakni ketika pemimpinnya sudah tiada, organisasinya secara berlahan kehilangan arah bahkan eksistensinya. Hal ini terjadi karena kepemimpinan berdasarkan kekuatan personal; 2) Kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional selalu memberikan sesuatu sebagai balasan dari kemauan untuk mengikutinya. Contohnya seperti promosi dan pengangkatan untuk mengembang tugas baru. Namun yang menjadi masalah adalah kepemimpinan transaksional diartikan sebagai pertukaran atau transaksi kompensasi dan target antara pegawai dengan pimpinan atau pihak manajemen; 3) Kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transformasional focus pada pengembangan pegawainya dan kebutuhan mereka. Kepemimpinan ini memfokuskan diri pada pengembangan sistem nilai dari pegawainya, tingkat motivasi dan moralitas dengan pengembangan keahlian mereka. Kepemimpinan transformasional menempatkan diri sebagai jembatan antara pemimpin dengan pengikutnya untuk membangun pemahaman yang jelas mengenai kepentingan pengikutnya, nilai dan tingkat motivasi mereka; 4) Kepemimpinan autokratik. Pemimpin autokratik adalah kurang berpengalam dalam kepemimpinan, memaksakan diri dalam posisi baru atau tugas baru yang
31
melibatkan menajemen orang lain. Pemimpin autokratik menguasai atau mengotrol hak pengambilan keputusan bagi dirinya. Tidak ada kesamaan dalam visi dan menghilangkan komitmen, kreativitas dan inovasi; 5) Kepemimpinan Birokatik. Pemimpin birokratik membuat kebijakan dan menggunakan kebijakan itu untuk mencapai tujuan organisasi. Pemimpin birokrasi lebih nyaman dengan kebijakan yang telah dibuat dari pada meyakinkan pengikut untuk bekerja dengannya. Karena itu, pemimpin birokratik sering memberikan pesan langsung bahwa kebijakan yang menuntun arah organisasi. Pemimpin birokratik biasanya mempunyai komitmen tinggi menyangkut prosedur dan proses orang atau pengikutnya; 6) Kepemimpinan Demokratik. Pemimpin demokrat mengutamakan pengambilan keputusan bersama dengan bawahannya, semua pekerjaan terkoordinir dengan semua bagian organisasinya. Berdasarkan uraian di atas, memberikan gambaran bahwa berbagai gaya kepemimpinan yang ada masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Efektivitas gaya kepemimpinan sangat tergantung pada orang yang memimpin, pekerjaan, dan situasi yang dihadapinya. Artinya, efektif atau tidaknya gaya kepemimpinan tergantung pada masing-masing karakter dan situasi seperti; pengalaman tim kerja, kelemahan dan kelebihan para
pemimpin dan pegawai,
kompleksitas pekerjaan, ketersedian waktu yang diberikan, situasi politik, sosial dan ekonomi.
32
Dorio dan Shelly (2011:253) mengatakan leadership style is not better or worse than other, although one will work better or worst than other in a particular situation and with a
particular worker or group. Gaya kepemimpinan bukan
menyangkut gaya satu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain, walaupun salah satunya bisa lebih baik atau lebih buruk dalam situasi tertentu dan dengan pekerja atau kelompok kerja tertentu. Menurut Goleman dalam Harvard business review (2000:87) mengatakan bahwa Leader who have mastered four or more-especially the authoritative, democratic, affiliative, and coaching styles- have the very best climate and business performance.