BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Kepuasan Kerja Guru 2.1.1 Pengertian Setiap orang yang bekerja berharap memperoleh kepuasan dari hasil pekerjaannya. Kepuasan kerja bersifat individual karena setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam diri individu. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam diri individu, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan (As’ad, 2004). Herzberg (dalam Stemple, 2004) mengemukakan model dua faktor motivasi (two-factor model of motivation). Prinsip dari teori ini ialah bahwa kepuasan kerja (satisfiers) dan ketidakpuasan kerja (dissatisfiers) merupakan dua hal berbeda. Artinya kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu tidak merupakan suatu variabel yang kontinum. Satisfiers (motivator) adalah faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari:
15
(1) prestasi (achievement), besar kecil kemungkinan tenaga kerja mencapai prestasi kerja yang tinggi; (2) pengakuan (recognation), besar kecilnya pengakuan yang diterima tenaga kerja atas kinerjanya; (3) pekerjaan itu sendiri (work it self), semua tugas yang berkaitan dengan pekerjaannya; (4) tanggung jawab (responsibility), besar kecilnya tanggung jawab yang diberikan kepada seorang tenaga kerja; (5) kemajuan (advancement), besar kecilnya kemungkinan dapat maju dalam pekerjaannya. Hadirnya faktor ini akan menimbulkan kepuasan, tetapi tidak hadirnya faktor ini tidaklah selalu mengakibatkan ketidakpuasan.
Dissatisfiers (hygiene factors) ialah faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan, terdiri dari: (1) administrasi dan aturan-aturan lembaga (company policy and administration), (2) mutu supervisi (supervision technical), berorientasi pada tugas atau pada individu; (3) Gaji/Upah (salary), pendapatan setahun yang menunjukan penghargaan terhadap prestasi ataupun kegagalan; (4) hubungan antar pribadi (interpersonal relation), hubungan dengan teman, rekan kerja, keluarga, tetangga; (5) kondisi kerja (working condition), kondisi fisik yang nyaman beserta peralatan kerja yang lengkap; (6) jaminan pekerjaan dan status (job security and status). Perbaikan terhadap kondisi atau situasi ini akan mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, tetapi tidak akan menimbulkan kepuasan kerja karena ia bukan sumber kepuasan kerja.
Dalam perkembangan selanjutnya satisfiers dan dissatisfiers ini dipasangkan (dibuat berpasangan) dengan teori motivasi dari Maslow. Pada satisfiers berhubungan
16
dengan
kebutuhan
tingkat
tinggi,
sedangkan
pada
dissatisfiers
disebutkan
sebagai
tempat pemenuhan kebutuhan tingkat rendah. Mendasarkan teori dua faktor Herzsberg tersebut Lester (dalam Hughes, 2006) menyimpulkan bahwa kepuasan kerja akan meningkat ketika pengajar mendapat kesempatan untuk menggunakan berbagai keterampilan dalam mengajar, merasa bahwa mengajar adalah pekerjaan yang sangat menarik, tidak merasa acuh tak acuh dalam mengajar dan merasa bahwa mengajar mendorong originalitas (keaslian), mengembangkan metode pengajaran yang baru, merasa puas terhadap pilihan karier yang telah diambil, merasa bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan rutinitas yang tidak membosankan, merasa bahwa mengajar mendorong kreativitas dan puas terhadap gaji yang diperoleh akan meningkatkan kepuasan kerja para pengajar. Kepuasan kerja guru, seperti yang dijelaskan oleh Lester (1982) merupakan tingkatan atas apa yang telah dicapai oleh seorang guru. Menurutnya, kepuasan kerja guru didefinisikan sebagai lingkup dari persepsi pegawai dan nilai dari karakteristik lingkungan pekerjaan seperti kompensasi, otonomi, rekan kerja, dan produktivitas. Kepuasan kerja guru sebagai sejauh mana penerimaan dan nilai-nilai yang dirasakan oleh guru terhadap banyaknya faktor seperti evaluasi, hubungan rekan kerja, tanggungjawab, dan penghargaan (dalam Hughes, 2006). 17
Kumar (dalam Aditya, 2010) mengemukakan bahwa kepuasan kerja guru merupakan gejala kompleks yang memiliki berbagai faktor yang berhubungan, yaitu personal, sosial, budaya dan ekonomi. Kepuasan kerja guru juga merupakan hasil dari berbagai sikap seorang guru terhadap pekerjaannya dan terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaannya. Kepuasan kerja guru adalah perasaan guru tentang menyenangkan atau tidak mengenai pekerjaan berdasarkan atas harapan guru dengan imbalan yang diberikan oleh sekolah. Kepuasan kerja guru ditunjukkan oleh sikapnya dalam bekerja atau mengajar 2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ada sembilan faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja guru, yang diuraikan oleh Lester dan Bishop (dalam Ritz, 2009) yaitu: a. Pengakuan (Recognition) Perhatian, penghargaan, prestise dan juga penghargaan dari supevisor, rekan kerja, siswa dan orang tua siswa. Pengakuan dapat berupa pujian, barang atau uang yang dapat memberikan kepuasan kerja guru. Penghargaan merupakan salah satu faktor yang signifikan yang mempengaruhi kepuasan guru dalam bekerja.
18
b. Pekerjaan itu sendiri (Work itself) Pekerjaan mengajar itu sendiri, atau tugas yang berhubungan dengan pekerjaan. Kepuasan kerja guru dipengaruhi oleh kesesuaian minat, bakat dan keahlian guru. Seorang guru yang melaksanakan tugas namun tidak sesuai dengan minat, bakat dan keahliannya, tentu tidak akan merasa puas dengan pekerjaannya. c. Tanggungjawab (Responsibility) Menurut Lester dan Bishop (dalam Ritz, 2009), keinginan untuk bertanggung jawab atas pekerjaan, mendorong dan membantu siswa meningkatkan prestasi belajar dan mengambil kesempatan untuk terlibat dalam pembuatan aturan-aturan atau pengambilan keputusan akan meningkatkan kepuasan seeorang terhadap pekerjaannya. d. Kemajuan (Advancement) Lester dan Bishop (dalam Ritz, 2009) mengemukakan bahwa perubahan dalam status atau posisi, termasuk peningkatan pendapatan akan memberikan perasaan yang lebih puas. Demikian halnya dengan Porter (dalam Novitriami, 2010) mengatakan bahwa tingkat yang lebih tinggi dari pekerjaan akan memberikan perasaan puas dan prestise.
19
e. Keamanan (Security) Yang dimaksud oleh Lester dan Bishop (dalam Ritz, 2009) mengenai keamanan adalah menyangkut keamanan dalam kerja, kebijakan sekolah tentang kepemilikan, senioritas, pemberhentian dan pensiun. Keamanan untuk masa tua merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kepuasan kerja (Aditya, 2010). f.
Pengawasan (Supervision) Pengawasan menurut Lester dan Bishop (dalam
Ritz, 2009) adalah metode dalam melaksanakan supervisi, baik berorientasi pada tugas-tugas, maupun berorientasi pada orang yang akan disupervisi. Hasil penelitian Sunardi (2010) menyebutkan bahwa kepuasan kerja guru dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki pelaksanaan supervisi kepala sekolah yaitu kepala sekolah dan guru saling bekerjasama dalam memecahkan masalah, kepala sekolah dalam memberikan supervisi menggunakan pendekatan kekeluargaan, guru dapat menanggapi supervisi dari Kepala Sekolah dengan terbuka dan senang hati; Supervisi dilakukan
untuk
memecahkan
masalah
bersama
bukan untuk mencari kesalahan, dan supervisi dilaksanakan secara kontinyu dan terjadwal. g. Rekan Kerja (Colleagues) Rekan kerja menurut Lester dan Bishop (dalam Ritz, 2009) terdiri dari pengajaran, kelompok kerja dan 20
aspek-aspek sosial dalam lingkungan sekolah. Hasil penelitian Hasrian (2009) menyimpulkan bahwa semakin baik hubungan guru dengan rekan kerjanya, semakin tinggi pula kepuasan kerja mereka. Ketika guru merasa bisa mempercayai rekan kerja untuk memberikan bantuan, merasa sering menerima semangat dan dorongan dari rekan kerja, merasa bahwa rekan kerja sering memberikan tanggapan terhadap pendapat dan pandangan yang diberikan, merasa tidak sendirian dalam bekerja dan diterima oleh rekan kerjanya, maka ini memberikan pengaruh positif bagi kepuasan kerja guru. h. Kondisi Kerja (Working Conditions) Kondisi kerja menurut Lester dan Bishop (dalam Ritz, 2009) adalah kondisi fisik dari lingkungan kerja. Lingkungan kerja fisik yang mendukung meliputi ruang kelas yang baik, memiliki fasilitas yang memadai, lingkungan yang bersih dan jauh dari pusat keramaian. Sedangkan lingkungan kerja non fisik ditandai adanya keterbukaan, perhatian, dukungan dan penghargaan (Sudarmadi, 2011). i.
Gaji/Upah (Pay) Gaji/upah menurut Lester dan Bishop (dalam
Ritz, 2009) adalah pendapatan tahunan yang dapat bertindak sebagai sebuah indikator terhadap pengakuan dan prestasi maupun kegagalan guru. 21
2.1.3 Pengukuran Alat ukur yang dikembangkan oleh para ahli untuk mengukur kepuasan kerja, antara lain: 1) Job Satisfaction Survey’s (JSS) dikembangkan oleh Paul Spector tahun 1985, dalam kaitannya dengan perkiraan kepuasan kerja guru-guru di Lithuania (Perminas 2010); 2) the Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ) adalah alat ukur berdasarkan pada teori kerja yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1964 oleh George England, Rene Dawis dan Lloyd Lofquist (Stemple, 2004); dan 3) the Teacher Job Satisfaction Questionnaire (TJSQ) Dalam
penelitian
ini,
penulis
menggunakan
instrumen yang digunakan oleh Lester (1984) yaitu the Teacher Job Satisfaction Questionnaire (TJSQ). Instrumen ini digunakan pula oleh Hughes (2006), ChiLing Sung (2008), Sudarmadi (2011) dan Toisuta (2011) dalam mengukur kepuasan kerja guru. Lester (1984) mengembangkan instrumen ini berdasarkan teori dua faktor Herzberg yang meliputi satisfiers atau motivator dan dissatisfiers atau hygiene factor yang terbagi dalam sembilan faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja (Ritz, 2009).
2.2 Tipe Kepribadian 2.2.1 Pengertian Robbins dan Timothy (2008) mengemukakan bahwa definisi kepribadian yang paling sering diguna22
kan, dibuat oleh Gordon Allport hampir 70 tahun yang lalu, bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam sistem psikofisiologis individu yang menentukan caranya untuk menyesuaikan diri secara unik terhadap lingkungannya. Kecenderungan dan perangai yang sebagian besar dibentuk oleh faktor keturunan dan oleh faktor-faktor sosial, kebudayaan dan lingkungan. Semua faktor ini menentukan persamaan dan perbedaan perilaku individu. Kepribadian bukan hanya perangai yang baik, kecerdasan, perasaan yang dewasa, kemampuan bergaul atau bercita-cita luhur semata-mata, melainkan gabungan yang harmonis dari semua sifat-sifat tersebut. Kesatuan yang harmonis inilah yang membedakan pribadi yang satu dengan yang lainnya, yang membentuk tipe kepribadian (Heuken, 2002). Friedman dan Rosenman (1974) membedakan dua tipe kepribadian orang, yaitu orang tipe A yang terdiri dari tipe A definite dan tipe A moderate, dan orang tipe B yang terdiri dari tipe B definite dan tipe B moderate. a. Tipe A Definite Pola perilaku tipe A adalah suatu tindakan emosi yang kompleks, yang diamati dalam hidup seseorang yang secara agresif terlihat dalam situasi yang kronik, perjuangan untuk meraih lebih banyak lagi dalam waktu yang lebih sedikit, dan ini perlu dilaku23
kan sebagai kebalikan dari usaha-usaha yang dilakukan oleh orang lain (individu dengan kepribadian tipe B). Dengan kata lain, mereka melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Kepribadian tipe A beroperasi pada stres tingkat sedang sampai tinggi. Mereka membawa diri pada tekanan waktu yang singkat, menciptakan suatu kehidupan yang penuh dengan pencapaian. Ketidaksabarannya, khususnya terhadap individu di sekitar dirinya yaitu individu yang lebih lambat, membuatnya harus mengambil alih pekerjaan individu itu dan melakukan sendiri. Karakter ini mengakibatkan beberapa perilaku yang agak spesifik. Misalnya, tipe A adalah pekerja cepat, ini karena mereka menekankan kuantitas ketimbang kualitas. Tipe A memperlihatkan daya saing mereka dengan bekerja dalam waktu lama dan tidak jarang mengambil keputusan yang buruk karena mengambil keputusannya terlalu cepat. Tipe A juga jarang sekali bersifat kreatif. Karena terfokus pada kuantitas dan kecepatan, mereka mengandalkan pengalaman masa lalu bila menghadapi masalah. Mereka tidak akan mengalokasikan waktu yang dibutuhkan untuk mengembangkan
solusi-solusi
unik
guna
mengatasi
masalah-masalah baru. Mereka jarang mengubah respons terhadap tantangan khusus dalam lingkungan mereka; karenanya, perilaku mereka lebih mudah
24
diprediksi daripada kepribadian tipe B (Robbins dan Timothy, 2008). Orang dengan kepribadian tipe A adalah mereka yang agresif dan kompetitif, menetapkan standar yang tinggi, menempatkan diri mereka di bawah tekanan waktu yang konstan. Mereka bahkan membuat permintaan yang berlebihan pada diri mereka sendiri dalam hal reaksi dan waktu luang. Mereka sering gagal menyadari bahwa banyak tekanan yang mereka rasakan adalah akibat dari perbuatan mereka sendiri dan bukan produk dari lingkungan mereka. Friedman dan Rosenman (1974) menyebutkan, ciri-ciri orang yang memiliki kepribadian tipe A: 1) Selalu bergerak, berjalan dan makan dengan cepat; 2) Merasa tidak sabar dengan nilai di mana kebanyakan kejadian terjadi; 3) Berjuang untuk berpikir atau melakukan dua hal atau lebih secara terus menerus; 4) Tidak dapat mengatasi waktu untuk bersantai; 5) Terobsesi dengan angka-angka; kesuksesan diukur dengan cara seberapa banyak hasil yang telah dicapai.
b. Tipe A Moderate Selain karakterisitik yang merupakan ciri kepribadian tipe A definite, banyak pula orang yang diklasifikasikan
sebagai
tipe
A
namun
menunjukkan
karakterisitik-karakteristik dalam derajat yang lebih 25
rendah. Mereka disebut sebagai orang dengan tipe A yang moderat. Individu dengan tipe A moderate jarang merasakan atau menunjukkan permusuhan. Keagresifan mereka, walaupun berlebihan namun tidak meningkat ke tahap dendam yang muncul ke permukaan. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam mengatasi kemarahan sehingga tidak menjadi amukan, dibandingkan orang dengan kepribadian tipe A definite. Demikian juga, ketidak-sabaran mereka tidak dalam proporsi yang tinggi. Dalam pekerjaan mereka berupaya melakukan berbagai pekerjaan dalam waktu yang sangat singkat, namun seringkali juga mereka menghindari praktik-praktik tersebut dalam waktuwaktu luang. Di akhir dari waktu pekerjaan, mereka tidak merasa bahwa mereka harus melakukan pekerjaan tersebut secara terburu-buru untuk menyelesaikannya. Mereka mengakhiri hari secara santai dan perlahan, namun ketika alarm berbunyi di pagi hari, mereka mulai giat, sibuk dan mulai lagi dengan pergulatan dengan waktu. c. Tipe B Definite Orang dengan kepribadian tipe B adalah mereka yang lebih santai dan bersikap tenang. Mereka menerima situasi yang ada dan bekerja sesuai dengan situasi
tersebut
dan
bukan
melawannya
dengan
berkompetisi. Individu seperti ini bersikap santai sehubungan dengan tekanan waktu, sehingga mereka 26
cenderung kurang mempunyai masalah yang berkaitan dengan stress. Kepribadian tipe B biasanya lebih pasif, tidak terburu-buru, tidak terlalu ambisius dan tidak rentan untuk
mengembangkan
stres
yang
berhubungan
dengan penyakit. Reaksinya terhadap situasi cenderung lebih moderat dan teratur. Dia akan mencoba untuk menilai reaksinya dan situasi sebelum mengambil tindakan. Jauh lebih mudah baginya untuk menganggap segala sesuatu serba mudah dan ‘tenang saja’ (Yeo 1985). Individu tipe B jauh lebih menyadari kapabilitasnya yang peduli terhadap apa yang rekan-rekan kerja dan atasannya pikirkan mengenai tindakantindakan mereka. Mereka mengetahui dengan baik nilai dari kelebihan-kelebihannya dan menghentikan diri pada batasan-batasan dimana mereka sadar akan kelemahan-kelemahannya.
Mereka
mencari
dan
sukses dalam menemukan kepercayaan diri melalui proses penilaian diri yang tulus. Ciri-ciri orang yang memiliki kepribadian tipe B menurut Friedman dan Rosenman (1974) adalah: 1) Tidak pernah merasa tertekan dengan perasaan terburu-buru karena keterbatasan waktu, ataupun mengalami ketidaksabaran; 2) Merasa tidak perlu memperlihatkan atau mendiskusikan keberhasilan yang mereka capai kecuali dalam keadaan terpaksa, karena adanya permintaan dari situasi yang ada;
27
3) Bermain untuk bersenang-senang dan bersantai, bukan untuk menunjukkan superioritas anda. 4) Dapat bersantai tanpa merasa bersalah.
d. Tipe B Moderate Orang dengan tipe B moderate kadang-kadang merasakan urgensi waktu, namun jika mereka melakukannya, itu berhubungan dengan kejuruan mereka, dan tidak pernah berhubungan dengan aktivitas kegemaran mereka. Bahkan di tempat kerja pun mereka tidak merasakan stres, kecuali jika pekerjaan menuntut bahwa waktu benar-benar terbatas. Sebagaimana layaknya individu dengan tipe B, orang tipe B moderate tidak pernah mengalami adanya permusuhan atau terbiasa mempercepat segala sesuatu seperti individu tipe A. Individu dengan tipe B moderate juga bekerja keras untuk mendapatkan segala sesuatu yang bernilai having, namun mereka tidak akan melakukan itu dengan mengorbankan sepenuhnya segala sesuatu yang bernilai being. Mereka juga dapat bekerja keras untuk mencapai hal-hal yang bernilai having sebagaimana yang dilakukan oleh individu tipe A. Namun, biasanya jika mereka tidak terlalu diikat oleh waktu, mereka juga berupaya untuk menjadi-paling tidak-sebagian dari hal-hal yang bernilai being.
28
Selanjutnya, Friedman dan Rosenman (1974) mengatakan bahwa baik individu tipe A maupun tipe B, masing-masing mempunyai ambisi untuk mencapai kepuasan. Bagi individu dengan tipe A, untuk mencapai sesuatu yang bernilai being, lingkungan yang menantang harus tersedia sebagai pendorong. Individu dengan tipe B juga bisa memiliki ambisi yang besar, bahkan lebih besar dari individu dengan tipe A. Namun karakter itu hanya sebagai sesuatu yang membuat mereka tenang, sesuatu yang memberikan keamanan dan kenyamanan. Tidak seperti individu tipe A yang menjadikannya sebagai dorongan untuk bersaing. 2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan kepribadian individu menurut Yusuf (2008) dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya faktor hereditas dan lingkungan. Faktor hereditas yang mempengaruhi kepribadian antara lain: bentuk tubuh, cairan tubuh, dan sifat-sifat yang diturunkan dari orang tua. Adapun faktor lingkungan antara lain lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat. a. Faktor Genetika (Pembawaan) Pada masa konsepsi seluruh bawaan hereditas individu dibentuk oleh kromosom yang di dalamnya terdapat beribu-ribu gen yang mengandung sifat-sifat fisik dan psikis/mental individu atau yang menentu29
kan potensi-potensi hereditasnya. Masa dalam kandungan dipandang sebagai saat yang kritis dalam perkembangan kepribadian, sebab tidak hanya sebagai saat pembentukan pola-pola kepribadian, tetapi juga sebagai masa pembentukan kemampuan-kemampuan yang menentukan jenis penyesuaian individu terhadap kehidupan setelah kelahiran. Fungsi hereditas dalam kaitannya dengan perkembangan kepribadian adalah: (1) sebagai sumber bahan mentah kepribadian seperti fisik, inteligensi dan temperamen; (2) membatasi perkembangan kepribadian (meskipun kondisi lingkungannya sangat baik/ kondusif, perkembangan kepribadian itu tidak bisa melebihi kapasitas atau potensi hereditas); dan mempengaruhi keunikan kepribadian. Kemampuan belajar dan penyesuaian diri individu dibatasi oleh sifat-sifat yang inheren dalam organisme individu itu sendiri, misalnya kapasitas fisik (perawakan, energi, kekuatan dan kemenarikannya) dan kapasitas intelektual (cerdas, normal atau terbelakang). Meskipun begitu, batas-batas perkembangan kepribadian, bagaimanapun lebih besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan. b. Faktor Lingkungan (Environment) Faktor lingkungan yang mempengaruhi kepribadian di antaranya adalah: Keluarga dipandang sebagai penentu
utama
pembentukan
kepribadian
anak.
Keluarga merupakan lembaga yang dapat memenuhi 30
kebutuhan insani (manusiawi), terutama bagi pengembangan kepribadiannya dan pengembangan ras manusia. Suasana keluarga sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak. Seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis dan agamis, yaitu suasana yang memberikan curahan kasih sayang, perhatian dan bimbingan dalam bidang agama, maka perkembangan kepribadian anak tersebut cenderung positif, sehat. Kebudayaan
suatu
masyarakat
memberikan
pengaruh terhadap setiap warganya, baik yang menyangkut cara berpikir (cara memandang sesuatu), cara bersikap, atau cara berperilaku. Pengaruh kebudayaan terhadap kepribadian ini dapat dilihat dari perbedaan antara masyarakat modern, yang budayanya maju dengan masyarakat primitif yang budayanya masih sederhana. Perbedaan ini tampak dalam gaya hidupnya seperti dalam cara makan, berpakaian, dan cara berpikir. Sekolah
merupakan
lingkungan
yang
dapat
mempengaruh kepribadian anak. Faktor-faktor yang dipandang
berpengaruh
itu
diantaranya
sebagai
berikut: 1) Iklim emosional kelas Kelas yang iklim emosinya sehat (guru bersikap ramah, dan respek terhadap siswa dan begitu juga berlaku di antara sesama siswa) memberikan dampak 31
yang positif bagi perkembangan psikis anak, seperti merasa nyaman, bahagia, mau bekerja sama, termotivasi untuk belajar dan mau menaati peraturan. 2) Sikap dan perilaku guru Sikap dan perilaku guru secara langsung mempengaruhi konsep diri siswa, melalui sikap-sikapnya terhadap tugas akademik (kesungguhan dalam mengajar), kedisiplinan dalam menaati peraturan sekolah, dan perhatiannya terhadap siswa. 3) Disiplin (tata tertib) Tata tertib ini ditujukan untuk membentuk sikap dan tingkah laku siswa. Disiplin yang otoriter cenderung mengembangkan sifat-sifat pribadi yang tegang, cemas, dan antagonistik. Disiplin yang pesimis, cenderung membentuk sifat siswa yang kurang bertanggung jawab, kurang menghargai otoritas, dan egosentris.
Disiplin
yang
demokratis
cenderung
mengembangkan perasaan berharga, merasa bahagia, perasaan tenang, dan sikap bekerja sama. 4) Prestasi Belajar Perolehan prestasi belajar, atau peringkat kelas dapat mempengaruhi peningkatan harga diri, dan sikap percaya diri siswa.
32
5) Penerimaan Teman Sebaya Siswa yang diterima oleh teman-temannya, dia akan mengembangkan sikap positif terhadap dirinya, dan juga orang lain. Dia merasa menjadi orang yang berharga. Selanjutnya, Arikunto (1990) dalam bukunya menguraikan bahwa ada dua faktor penentu yang mempengaruhi sikap dan kepribadian guru, yaitu: a. Hal-hal yang ada di dalam diri guru Meliputi keadaan dan kondisi tubuh, baik yang dapat dilihat secara nyata dari luar maupun yang tidak. Bagaimana mereka bersikap dan berperilaku sangat
dilandasi
oleh
bagaimana
orang
tersebut
menyadari akan dirinya. Keadaan psikis guru yang kurang baik akan berpengaruh terhadap sikap dan perilakunya di dalam mengahadapi pekerjaan. b. Hal-hal yang ada di luar diri guru Hal-hal yang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku guru, khususnya dalam rangka melaksanakan proses pembelajaran adalah: 1) subjek didik, 2) pimpinan sekolah, 3) teman sejawat guru, 4) pegawai tata usaha, 5) orang tua siswa, dan 6) situasi lingkungan. 1. Subjek didik merupakan satu di antara beberapa faktor di luar diri guru yang berpengaruh terhadap
33
sikap dan perilaku guru di lingkungan sekolah, bahkan mungkin di rumahnya ketika didatangi oleh siswanya. Bagaimana seorang guru bersikap dan berperilaku kepada siswa ditentukan oleh keadaan siswa sendiri, guru dan interaksi antara keduanya. 2. Pimpinan sekolah yang terdiri dari Kepala Sekolah dan
wakil-wakilnya,
secara
langsung
maupun
tidak langsung, merupakan ”motor penggerak” bagi guru untuk bersikap dan berperilaku. Jika pimpinan sekolah bersikap baik kepada guru, memberikan dorongan dan motivasi untuk hal-hal yang berkenan dengan pelaksanaan tugas mengajar dan tugas-tugas lain di sekolah, maka guru yang bersangkutan
akan
melaksanakan
tugas-tugasnya
dengan mantap dan bergairah. 3. Teman sejawat guru, merupakan lingkungan yang menyebabkan guru merasakan hidup dalam ”satu korps” yang keberadaannya akan memantapkan hal-hal yang dilakukannya. Kesetiakawanan antar guru yang membentuk ”iklim organisasi” sekolah akan memberikan dorongan dan motivasi kerja sehingga meningkatkan dan memperkuat kualitas kerja para guru. 4. Pegawai tata usaha. Untuk memenuhi kebutuhan pengajaran guru mungkin berhubungan dengan pegawai tata usaha untuk meminta atau meminjam alat-alat pelajaran, buku pegangan atau media 34
pendidikan. Menyangkut kebutuhan pribadinya, mungkin guru berhubungan dengan pegawai tata usaha untuk mengambil gaji, mengurus berbagai surat keterangan atau kenaikan pangkatnya. Jika tidak ada hubungan yang harmonis, tentu akan berpengaruh negarif terhadap perilaku guru. 5. Orang tua siswa, merupakan sumber lain sebagai salah satu faktor yang ikut menentukan sikap dan perilaku guru khususnya dalam berhubungan dengan sikap di sekolah. Tidak jarang terjadi bahwa guru memperlakukan siswa dengan tidak sewajarnya karena hubungan guru dengan orang tua siswa kurang harmonis.
6. Situasi lingkungan yang kurang mendukung seperti letak geografis, kebersihan, keamanan, keeratan dan keserasian dengan masyarakat sekitar akan mempunyai pengaruh langsung bagi pandangan guru terhadap lingkungan tersebut. 2.2.3 Pengukuran Instrumen yang digunakan oleh para peneliti untuk mengetahui tipe kepribadian seseorang, antara lain: 1) Type A Behavior Pattern (TABP) yang dikembangkan oleh Bortner (1969) terdiri dari sepuluh item pernyataan dengan berbagai pilihan respons (Jamal, 2001); 2) Type A/Type B Habits Questionnaire Kit yang dikembangkan oleh Cyril R. Mill (1987) berdasarkan 35
pembagian
tipe
kepribadian
dari
Friedman
&
Rosenman (1974) yang digunakan oleh Alunpah (2005) dalam penelitiannya; 3) Type A and Type B Behavior Patterns yang dikembangkan oleh Paul M. Insel dan Walton T. Roth (1998) Dalam
penelitian
ini,
penulis
menggunakan
instrumen yang dikembangkan oleh Paul M. Insel dan Walton T. Roth dalam bukunya yang berjudul Core Concept in Health, yaitu Type A and Type B Behavior Patterns. Instrumen ini terdiri dari 40 item pernyataan dalam bentuk skala Likert. Tiap pernyataan memiliki 2 item pilihan jawaban yang mewakili kepribadian tipe A dan kepribadian tipe B.
2.3 Etos Kerja 2.3.1 Pengertian Etos kerja adalah suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau individu terhadap kerja. Kalau pandangan dan sikap itu, melihat kerja sebagai suatu hal yang luhur untuk eksistensi manusia, maka etos kerja itu akan tinggi. Sebaliknya kalau melihat kerja sebagai suatu hal tak berarti untuk kehidupan manusia, apalagi kalau sama sekali tidak ada pandangan dan sikap terhadap kerja, maka etos kerja itu dengan sendirinya rendah (Anoraga, 1992). Etos kerja merupakan salah satu elemen penting yang harus dimiliki oleh guru, karena etos kerja meru36
pakan sikap dan penilaian guru terhadap profesinya. Menurut Hartanti (1999) guru yang memiliki etos kerja tinggi adalah guru yang mengutamakan tugasnya, sehingga akan selalu mewujudkan dan meningkatkan prestasi kerjanya. Etos kerja ini akan dimanifestasikan dalam bentuk kerja keras, disiplin, tekun dan berpandangan ke depan. Istilah etos kerja menurut Miller (1986) mengacu pada keyakinan, nilai, dan prinsip-prinsip yang menuntun setiap individu menafsirkan dan bertindak berdasarkan hak dan tanggung jawab pekerjaan mereka dalam konteks kerja pada waktu tertentu. Keyakinan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip ini dipengaruhi oleh dan, pada gilirannya, memberikan kontribusi terhadap prinsip-prinsip dan nilai-nilai utama dari suatu organisasi kerja. Dengan demikian, perilaku etis di tempat kerja harus dipertimbangkan dalam hal interaksi antara etos kerja individu dan standar etika yang melekat dalam konteks bekerja di mana setiap individu mengambil peran. Geertz (1973) mengemukakan etos merupakan karakter dan kualitas hidup, moral, estetika dan suasana hati, sebagai sikap yang mendasar terhadap diri sendiri dan dunia yang terpancar dari kehidupan mereka. Etos merupakan aspek evaluatif yang bersifat menilai. Apa yang menjadi dasar seseorang melakukan pekerjaan, itulah yang dimaksud dengan etos. Hamid (dalam Hartanti, 1999) memberikan pengertian etos 37
sebagai sifat atau karakter, kualitas hidup, moral dan gaya estetika serta suasana hati seseorang atau masyarakat. Etos memberi warna dan penilaian terhadap alternatif pilihan kerja, apakah perkerjaan itu dianggap baik, mulia atau dipandang salah dan tidak dapat dibanggakan. Etos kerja akan terlihat melalui perilaku kerja pegawai yang didasarkan pada moral dan nilai-nilai pribadi pegawai tersebut (Petty dan Hill, 2005). Etos kerja sebagai karakteristik harus dimiliki pegawai untuk dapat menghasilkan perkerjaan yang maksimal yang terdiri dari: (1) keahlian interpersonal yaitu menjelaskan hubungan kerja dengan orang lain. Aspek ini merupakan karakteristik pribadi yang memfasilitasi hubungan interpersonal yang baik dan memberikan kontribusi yang positif terhadap kinerja dalam konteks kerja sama; (2) Inisiatif, menunjukkan karakteristik yang memfasilitasi kemajuan suatu pekerjaan dan menunjukkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan tersebut; (3) Dapat diandalkan, menjelaskan mengenai kualitas yang menyinggung pemenuhan harapanharapan dan kesepakatan-kesepakatan implisit yang melekat dalam pekerjaan tersebut. Miller,
Woehr
dan
Hudspeth
(2000)
dalam
tulisan monograf mereka mendefiniskan etos adalah seperangkat kepercayaan dan sikap yang mencerminkan nilai pokok kerja. Etos kerja bukanlah suatu kesatuan konsep yang tunggal, melainkan suatu
38
kumpulan sikap dan kepercayaan mengenai perilaku kerja. Karakteristik etos kerja terdiri dari enam ciri, yaitu: (1) bersifat multidimensi; (2) berkaitan dengan kerja dan dihubungkan dengan aktivitas kerja secara umum,
tidak
spesifik
kepada
pekerjaan
khusus
(namun boleh menyamaratakan ke dalam wilayah pekerjaan lain seperti sekolah, hobi, dll); (3) dipelajari; (4) merujuk kepada sikap dan keyakinan (tidak selalu harus perilaku); (5) adalah konsep motivasional yang direfleksikan di dalam perilaku; dan (6) sekuler, tidak selalu harus berhubungan dengan suatu keyakinan agama. Untuk komponen etos kerja, Miller, Woehr dan Hudspeth (2000) mengidentifikasikannya ke dalam tujuh dimensi etos kerja yaitu: kemandirian (selfreliance) yaitu keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri tanpa harus bergantung kepada orang lain. Moralitas/etika (morality/ethics) yaitu keyakinan terhadap cara/jalan yang menunjuk kepada persoalanpersoalan yang mana orang bertindak atau diharapkan untuk bertidak. Waktu luang (leisure) yaitu keyakinan terhadap pentingnya
menempatkan
aktivitas-aktivitas
pada
waktu bukan kerja; Kerja keras (hard work) yaitu keyakinan bahwa seseorang dapat menjadi pribadi yang
lebih
baik
dan
mencapai
tujuan-tujuannya
melalui suatu komitmen terhadap nilai dan pentingnya pekerjaan. 39
Sentralitas pekerjaan (centrality of work) menunjuk
kepada
pentingnya
seseorang
menggunakan
kesempatannya untuk bekerja. Waktu yang terbuang (wasted time) yaitu menunjuk kepada komitmen yang tinggi untuk mengelola waktu sehingga memaksimalkan produktivitas. Penundaan pemuasan (delay of gratification)
yaitu
kemampuan
untuk
melupakan
penghargaan jangka pendek agar mendapat keuntungan di masa yang akan datang. Dari berbagai uraian di atas, definisi etos kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah definisi etos kerja yang dikemukanan oleh Miller, Woehr dan Hudspeth (2000) yang menyatakan bahwa etos kerja adalah keyakinan, nilai dan prinsip-prinsip yang menuntun setiap guru dalam menafsirkan dan bertindak atas hak dan tanggungjawabnya, yang dapat diidentifikasikan melalui kerja keras, kemandirian, waktu luang, sentralitas pekerjaan, moralitas/etika, penundaan pemuasan dan waktu yang terbuang. 2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etos kerja menurut Mubyarto (1991) dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a. Agama Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai, yang tentunya akan mempengaruhi dan menentukan pola hidup para penganutnya. Dasar pemikiran ini diawali oleh buah pikiran Max Weber tahun 1958 40
mengenai etika Protestan. Rosmiani (1996) mengemukakan bahwa etos kerja terkait dengan sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja. Sikap ini dibentuk oleh sistem orientasi nilai-nilai budaya yang sebagian sumber dari agama atau sistem kepercayaan. Ia menemukan bahwa etos kerja yang rendah secara tidak langsung dipengaruhi oleh rendahnya kualitas
ke-
agamaan. b. Budaya Kualitas etos kerja ditentukan pula oleh sistem nilai budaya masyarakat setempat. Novliadi (2009) mengemukakan bahwa masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya maju akan memiliki etos kerja yang tinggi atau sebaliknya masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya yang konservatif akan memiliki etos kerja yang rendah. c. Sosial Politik Tinggi rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi pula oleh ada atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan dapat menikmati hasil kerja keras dengan penuh (Utomo, dalam Novliadi, 2009). Demikian pula halnya Wahid (2002) mengemukakan bahwa etos kerja harus dimulai dengan kesadaran akan pentingnya arti tanggungjawab kepada masa depan bangsa dan negara. Dorongan untuk mengatasi kemiskinan, kebodoh41
an dan keterbelakangan hanya mungkin timbul jika masyarakat secara keseluruhan memiliki orientasi kehidupan yang teracu ke masa depan yang lebih baik. d. Kondisi Lingkungan/Geografis Lingkungan alam juga dapat mempengaruhi etos kerja seseorang dalam melakukan usaha untuk dapat mengelola dan mengambil manfaat bahkan mengundang pendatang untuk turut mencari penghidupan di lingkungan tersebut. Mubyarto, dkk (1991) dalam penelitiannya terhadap beberapa daerah di NTT mengemukakan bahwa keadaan alam yang relatif kering dan tanahnya kurang subur, merupakan tantangan bagi penduduknya untuk bekerja keras demi mempertahankan hidupnya. e. Pendidikan Latar belakang pendidikan juga mempengaruhi etos kerja. Sejalan dengan teori Fieshbein dan Ajzen (1975) tentang teori terbentuknya sikap, dapat dipahami bahwa dari tingkat pendidikan yang sesuai akan diperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan profesi seseorang. Semua kompetensi hanya dicapai
melalui
pendidikan
yang
relevan
dengan
profesi. f. Struktur Ekonomi Penelitian Utomo (dalam Novliadi, 2009) menyimpulkan bahwa tinggi rendahnya etos kerja suatu 42
masyarakat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur ekonomi yang mampu memberikan insentif bagi anggota masyarakat untuk bekerja keras dan menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh. g. Motivasi Intrinsik Individu Individu yang memiliki etos kerja yang tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap yang tentunya didasari oleh nilai-nilai yang diyakini seseorang. Keyakinan inilah yang menjadi suatu motivasi kerja (Anoraga, 1992). 2.3.3 Pengukuran Alat ukur yang digunakan para ahli untuk mengukur etos kerja, antara lain: 1) The Occupational Work Ethic Inventory (OWEI) yang dikembangkan oleh Gregory C. Petty tahun 1991. Instrumen ini terdiri dari 50 pernyataan yang menggambarkan konsep perilaku kerja dan etos kerja, dalam bentuk 7 point skala Likert (Petty, 2005); 2) Work Ethic Instrument of Vocational Education and Training (WEIVET), dibuat berdasarkan perbandingan asumsi Knowles, Hoton dan Swanson (1998) mengenai perilaku manusia dalam manajemen dan pendidikan. Terdiri dari asumsi X dan asumsi Y mengenai manajemen dan pendidikan (Wang, 2005); 3) The Multidimensional Work Ethic Profil (MWEP) yang
43
dikembangkan
oleh
Miller,
Woehr dan
Hudspeth
(2000). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan The Multidimensional Work Ethic Profil (MWEP) yang terdiri dari 65 item pernyataan dalam bentuk empat point skala Likert untuk mengukur secara konseptual dan empiris tujuh dimensi etos kerja yang meliputi kerja keras, kemandirian, waktu luang, sentralitas kerja, moralitas/etika, penundaan pemuasan, dan waktu yang terbuang. Instrumen ini digunakan pula oleh Hudspeth (2003) dalam mengukur hubungan etos kerja dengan kepuasan kerja; Dami (2011) dalam mengukur hubungan antara etos kerja dengan kinerja guru.
2.4 Kajian yang Relevan Bagian ini akan membahas tentang hasil-hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh para ahli, yang menyatakan ada atau tidak ada hubungan antara tipe kepribadian dan etos kerja dengan kepuasan kerja. 2.4.1 Kepribadian Tipe A, Kepribadian Tipe B dengan Kepuasan Kerja Kirkcaldy (1993) dalam penelitiannya terhadap 42 pegawai staf polisi internasional yang sedang mengikuti workshop tentang “coping and stress” pada International Police Association’s Centre in Castle Gim44
born, Germany menemukan hasil bahwa kepribadi-an tipe A berhubungan negatif dan signifikan terhadap kepuasan kerja. Hubungan ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi r = − 0,380 dan p = 0,000 < 0,01 . Lee dan Bopko (1990) melakukan penelitian terhadap 183 tenaga kerja dari berbagai organisasi yang ada di Amerika Utara menemukan hasil bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kepribadian tipe A dan kepuasan kerja. Hubungan ini ditunjukkan melalui nilai koefisien korelasi r = − 0,200 dan p > 0,05 . Demikian pula dengan temuan Materson, Ivancevich dan Smith (1984) terhadap 355 agen asuransi jiwa menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kepribadian tipe A dengan kepuasan kerja (dalam Owaied, 2001). Omole (2011) melakukan penelitian terhadap 122 orang pegawai Kepolisian Nigeria yang terdiri dari 83 orang polisi laki-laki dan 39 orang polisi wanita. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tipe kepribadian memberikan pengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai kepolisian. Pengaruh ini ditunjukkan melalui nilai t = 1,97 ; df = 120 dan p < 0,05 . Polisi dengan kepribadian tipe B mempunyai kepuasan kerja yang lebih tinggi ( mean = 33,64 ) dibandingkan dengan
polisi
yang
memiliki
kepribadian
tipe
A
( mean = 29,74 ).
45
Djunaidi dkk. (2001) juga melakukan penelitian untuk melihat hubungan antara kecocokan tipe kepribadian dan model lingkungan kerja konvensional dengan kepuasan kerja terhadap 86 orang karyawan administrasi PT KTSM. Dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman, didapat koefisien korelasi sebesar r = 0,643 , dan t hitung = 7,695 > ttabel = 1,992 dengan taraf signifikansi 99% ( α = 0,01 ) yang berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kecocokan tipe kepribadian dengan kepuasan kerja karyawan. Sigiro dan Suyono (2005) dalam penelitiannya terhadap 82 orang karyawan pada PT Kusumahadi Santosa
mendapati
t hitung = 2,639
jika
dibandingkan
dengan t tabel = 2,000 dengan df = 43,438 pada taraf signifikan 5%. Diketahui bahwa t hitung > t tabel yang artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara kepuasan kerja karyawan yang memiliki tipe kepribadian A dengan karyawan yang mempunyai tipe kepribadian B. Individu dengan tipe kepribadian A mengalami kepuasan kerja yang lebih tinggi daripada individu dengan tipe kepribadian B. 2.4.2 Etos Kerja dengan Kepuasan Kerja Hermawan (2007) dalam penelitiannya, mengambil sampel 106 responden karyawan tetap di pabrik pengolahan ayam yang telah bekerja untuk Charoen Pokphand Indonesia lebih dari satu tahun pelayanan. 46
Hasil analisis menunjukkan nilai koefisien korelasi r = 0,495 dan p < 0,01 . Hal ini berarti bahwa ada hubungan positif signifikan antara etos kerja karyawan dengan kepuasan kerja karyawan di PT Charoen Pokphand Indonesia. Semakin positif perilaku etos kerja karyawan, maka kepuasan kerja akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin negatif perilaku etos kerja karyawan,
maka
kepuasan
kerja
akan
semakin
rendah. Rokhman (2010) melakukan penelitian terhadap 49 orang karyawan dari 10 institusi Islam di Demak, Jawa
Tengah.
Hasil
penelitiannya
menyimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara etos kerja Islam dengan kepuasan kerja. Hubungan ini ditunjukkan melalui nilai koefisien korelasi sebesar r = 0,360 dan p = 0,011 < 0,05 . Hussain dkk (2006) melakukan penelitian terhadap 700 orang pekerja pelayan masyarakat menemukan hasil bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara etos kerja pekerja dengan kepuasan kerja para pekerja. Hubungan ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi r = 0,370 dan p < 0,01 . Penelitian yang sama dilakukan pula oleh Karim dkk., (2010) terhadap 143 orang staf akademik pada Universitas Internasional Islam Malaysia, dan menemukan hasil bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara etos kerja Islam dengan kepuasan 47
kerja. Hubungan ini ditunjukkan dengan nilai β = 0,53 dan p = 0,010 . Elkins (2007) di Amerika Serikat melakukan penelitian terhadap 462 orang pekerja perusahaan manufaktur milik Jepang yang berada di Amerika. Dalam disertasinya yang berjudul Job Satisfaction and Work Ethic among Workers in a Japanese Manufacturing Company Located in the United States dia menemukan bahwa ada korelasi lemah antara etos kerja dan kepuasan kerja karyawan perusahaan manufaktur Jepang.
2.5 Kerangka Pikir 2.5.1 Hubungan antara Kepribadian Tipe A (X 1 ), Kepribadian Tipe B (X 2 ) dengan Kepuasan Kerja (Y) Kepribadian merupakan pola menyeluruh dari semua kemampuan, perbuatan serta kebiasaan seseorang, baik jasmani, mental, rohani, emosional, maupun sosial yang tertata dalam caranya yang khas dan terwujud dalam perilaku dan dalam usaha menjadi manusia sebagaimana yang dikehendakinya. Tipe kepribadian yang ditampilkan atau tampak melalui perilaku yang ditampilkan pada saat melakukan pekerjaan merupakan faktor yang mendorong timbulnya kepuasan kerja seseorang. Kepuasan kerja berkaitan dengan dapat tidaknya seseorang menun48
jukkan aktualisasi diri pada saat melakukan pekerjaan dan kemampuannya menghadapi tekanan dan tantangan dalam pekerjaan yang dilakukan. Dalam institusi pendidikan, kepuasan kerja guru dalam konteks penelitian ini adalah sikap dan perasaan seorang guru terhadap situasi kerja atau pekerjaannya, yang dapat diukur melalui
beberapa
komponen seperti pengakuan dari pengawas maupun rekan sesama guru, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab terhadap pekerjaan, kemajuan, rasa aman dan jaminan di masa tua, pengawasan, hubungan dengan rekan sesama guru, kondisi kerja serta gaji yang diterima. Dari uraian di atas, penulis memahami bahwa kepribadian tipe A, kepribadian tipe B mempunyai hubungan dengan kepuasan kerja. Pemahaman ini diperkuat dengan hasil penelitian Owaied (2003) terhadap 406 guru sekolah menengah di Kuwait yang menyimpulkan bahwa terdapat korelasi positif dan signifikan antara
kepribadian tipe A dengan kepuasan kerja
guru. Demikian pula dengan penelitian Rita (2002) terhadap 84 orang pegawai tetap bagian admi-nistrasi Universitas Katolik Atmajaya mendapati hasil bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara kepribadian tipe B dengan kepuasan kerja.
49
2.5.2 Hubungan antara Etos Kerja (X 3 ) dengan Kepuasan Kerja (Y) Etos kerja mengacu pada keyakinan, nilai dan prinsip yang menuntun setiap individu dalam bertindak berdasarkan hak dan tanggungjawabnya terhadap pekerjaan. Keyakinan, nilai dan prinsip ini dipengaruhi oleh, dan pada gilirannya memberikan kontribusi terhadap prinsip-prinsip dan nilai-nilai utama dari suatu organisasi kerja. Etos kerja merupakan salah satu bagian penting yang harus dimiliki oleh guru, karena etos kerja merupakan sikap dan penilaian guru terhadap profesinya. Guru yang memiliki etos kerja adalah guru yang mengutamakan tugas dan tanggungjawabnya sehingga akan selalu mewujudkan dan meningkatkan prestasi kerjanya. Hal ini ditampilkan dalam bentuk kerja keras, kemandirian, penggunaan waktu luang, sentralitas pekerjaan, moralitas, penundaan pemuasan dan waktu yang terbuang. Penulis memahami bahwa etos kerja guru memiliki korelasi dengan kepuasan kerja guru. Seorang guru yang memiliki etos kerja yang tinggi akan memberikan hasil pekerjaan yang baik sehingga menimbulkan kepuasan kerja terhadap guru. Pemahaman ini diperkuat dengan hasil penelitian Soleimani (2011) pada sebuah organisasi pendidikan teknik kejuruan di Tehran dengan sampel 216 staf (wanita = 92, pria = 124) menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan 50
positif dan signifikan antara etos kerja dan kepuasan kerja staf.
2.6 Hipotesis Penelitian ini terdiri atas dua bagian hipotesis, yaitu hipotesis empirik dan hipotesis statistik. 2.6.1 Hipotesis Empirik 1. Ada hubungan yang signifikan antara kepribadian tipe A dengan kepuasan kerja guru-guru sekolah dasar UPTD Kulawi 2. Ada hubungan yang signifikan antara kepribadian tipe B dengan kepuasan kerja guru-guru sekolah dasar UPTD Kulawi 3. Ada hubungan yang signifikan antara etos kerja guru dengan kepuasan kerja guru-guru sekolah dasar UPTD Kulawi.
51
2.6.2 Hipotesis Statistik 1 H 0 : rx1 y = 0
Tidak ada hubungan yang signifikan
antara
kepribadian
tipe
A
dengan kepuasan kerja guru-guru sekolah dasar UPTD Kulawi; H 1 : rx1 y ≠ 0
Ada
hubungan
yang
signifikan
antara kepribadian tipe A dengan kepuasan kerja guru-guru sekolah dasar UPTD Kulawi;
2 H 0 : rx 2 y = 0
Tidak ada hubungan yang signifikan antara kepribadian tipe B dengan kepuasan kerja guru-guru sekolah dasar UPTD Kulawi;
H 1 : rx 2 y ≠ 0
Ada
hubungan
yang
signifikan
antara kepribadian tipe B dengan kepuasan kerja guru-guru sekolah dasar UPTD Kulawi; 3 H 0 : rx 3 y = 0
Tidak ada hubungan yang signifikan antara etos kerja guru dengan kepuasan
kerja
guru-guru
SD
UPTD Kulawi; H 1 : rx 3 y ≠ 0
Ada
hubungan
yang
signifikan
antara etos kerja guru dengan kepuasan
kerja
UPTD Kulawi.
52
guru-guru
SD