BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Kambing Perah Kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dimanfaatkan selain untuk menghasilkan daging, juga dapat digunakan sebagai ternak penghasil susu. Ternak kambing yang dipelihara saat ini (Capra aegagrus hircus) diduga berasal dari keturunan tiga macam kambing liar yaitu Benzoar goat atau kambing liar Eropa (Capra aegagrus), kambing liar India (Capra aegagrus blithy) dan Markhor goat atau kambing Markhor (Capra falconeri). Persilangan yang terjadi antara ketiga jenis kambing tersebut menghasilkan fertilitas yang baik (Mulyono dan Sarwono, 2004). Taksonomi kambing menurut Ensminger (2001) adalah : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Sub Phylum
: Vertebrata
Class
: Mamalia
Ordo
: Artiodactyla
Sub Ordo
: Ruminantia
7
Family
: Bovidae
Genus
: Capra
Species
: Capra hircus
Di beberapa negara termasuk negara tropis walaupun banyak jenis kambing, tetapi masih sedikit sekali perhatian terhadap seleksi atau breeding dalam usaha memperoleh satu performan yang baik (Blakely dan Bade, 1991). Manajemen kambing perah adalah seni merawat, menangani, dan mengatur kambing yang terdiri dari pemeliharaan, tenaga kerja, modal, pencegahan penyakit, dan kotoran. Menurut Novita (2005) ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam usaha peternakan kambing perah, yaitu bibit ternak yang digunakan, makanan ternak, dan tata laksana. Pemeliharaan kambing memberikan pengaruh besar terhadap sistem pertanian pedesaan, karena pemeliharaan dan pemasaran hasil produksi (baik daging, susu, kotoran maupun kulitnya) relatif mudah serta telah beradaptasi dengan baik di sebagian besar wilayah Indonesia (Novita, 2005). Jenis kambing yang berkembang di Indonesia ada 2 tipe yaitu pedaging dan penghasil susu. Penghasil daging diantaranya kambing Kacang, Marica, Kosta, sedangkan penghasil susu salah satunya adalah kambing Peranakan Etawah.
8
2.1.2. Kambing Peranakan Etawah Penghasil Susu Peranakan Etawah (PE) merupakan hasil persilangan antara kambing Etawa dari India dengan kambing Kacang yang penampilannya mirip Etawa tetapi lebih kecil dengan proporsi genotip yang tidak jelas (Balitnak, 2004). Ciri khas kambing Peranakan Etawah yaitu bentuk muka cembung melengkung dan dagu berjanggut, di bawah leher terdapat gelambir yang tumbuh berawal dari sudut janggut, telinga panjang, menggantung dan ujungnya agak melipat, tanduk berdiri tegak mengarah kebelakang dengan ujung tanduk melingkar, tinggi tubuh 70-90 cm, tubuh besar, pipih, bentuk garis punggung seolah-olah mengombak kebelakang, bulu tubuh tampak panjang di bagian leher, pundak, punggung, dan paha, bulu paha panjang dan tebal, warna bulu putih, hitam hingga cokelat (Mulyono, 2008).
Gambar 1. Kambing Peranakan Etawah Kelebihan ternak kambing perah, khususnya kambing perah Peranakan Etawah yang merupakan ternak lokal Indonesia, adalah kemampuan adaptasinya yang tinggi terhadap berbagai kondisi agro-ekosistem di Indonesia, sehingga mempermudah penyebarannya. Ternak ini juga tidak mengalami hambatan sosial
9
dalam perkembangannya, dalam artian ternak ini dapat diterima oleh semua golongan. Oleh karenanya, mengembangkan ternak ini secara luas akan dapat membantu meningkatkan kualitas konsumsi gizi masyarakat khususnya mereka yang tinggal di pedesaan melalui konsumsi susu kambing produksi petani sendiri (Badan Litbang Pertanian, 2011). Kambing Peranakan Etawah digolongkan sebagai kambing tipe dwiguna yaitu
sebagai
penghasil daging dan susu (Adiati dkk., 2000). Kambing
Peranakan Etawah memiliki ambing yang besar, putingnya panjang. Produksi susunya berkisar 1,0-1,5 liter/ekor/hari sepanjang masa laktasi antara 5-6 bulan, dengan masa kering 2-3 bulan (Balitnak, 2004). Kambing Peranakan Etawah ini sudah banyak dikembangkan di masyarakat dan telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan jumlah susu di Indonesia. Secara global produksi susu kambing telah memberikan kontribusi sebesar 35% terhadap total produksi susu dunia, atau mengalami peningkatan cukup berarti dari tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar 9 % (Weinsten, 2005). 2.1.3. Produksi Susu Kambing Air susu merupakan bahan makanan yang istimewa bagi manusia karena kelezatan dan komposisi gizi yang ideal dan mengandung semua zat yang dibutuhkan tubuh (Saleh, 2004). Pendapat Rahman dkk., (1992) bahwa secara kimia, susu didefinisikan sebagai emulsi lemak dalam air yang mengandung gula, garam-garam, mineral dan protein dalam bentuk suspensi koloidal. Semua zat makanan yang dikandung air susu dapat diserap darah dan dimanfaatkan tubuh.
10
Sebagai bahan makanan atau minuman, air susu sapi mempunyai nilai gizi yang tinggi, karena mengandung unsur-unsur kimia yang dibutuhkan tubuh seperti kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin B dan riboflavin dalam jumlah tinggi. Komposisi gizi (protein, mineral dan vitamin yang tinggi) yang mudah dicerna menjadikan susu sebagai sumber bahan makanan yang fleksibel, sehingga dapat memenuhi keinginan dan selera konsumen. SNI 01-3141-1998 (Badan Standarisasi Nasional, 1998) susu segar adalah susu yang berasal dari ambing induk sehat dan diperoleh dengan cara yang benar. Susu kambing merupakan hasil sekresi dari ambing kambing sebagai makanan anaknya. Clark et al., (2005) menyatakan bahwa komposisi susu kambing lebih lengkap dalam hal kandungan protein, lemak, vitamin (A, B kompleks, C) dan mineral (kalsium, fosfor, magnesium, kalium dan tembaga) dibandingkan dengan susu sapi dan susu manusia. Menurut Devendra dan Burn (1994) kandungan protein susu kambing lebih tinggi dibandingkan dengan susu manusia dalam kaitannya dengan jumlah kalori. Energi total yang dikandung dalam susu kambing sebanyak 50% berasal dari lemak, dan masing-masing 25% dari laktosa serta protein sedangkan proporsi dalam susu manusia adalah 55% dari lemak, 38% laktosa dan 7% dari protein (Ayuningsih, 1994). Energi produksi susu diperoleh dari energi yang berasal dari lemak susu, laktosa susu (karbohidrat) dan protein susu. Berdasarkan bahan kering susu pada sapi, energi produksi susu 48% dari lemak susu, 26% dari protein susu dan 26% dari karbohidrat susu (Sembiring, 2002). Pada kambing, energi susu 50% dari
11
lemak susu, 22% dari protein susu dan 27% dari karbohidrat susu (Saleh, 2004). Besarnya energi produksi susu (Gross Energy) pada kambing perah sekitar 32003500 kalori bergantung pada bangsa kambing, pakan dan tata laksana pemeliharaan. Produksi susu
yang tinggi diinginkan untuk anak-anaknya dan
kelebihannya untuk konsumsi manusia. Masa laktasi yang lama dan berkelanjutan setelah anaknya disapih penting bagi ternak perah (Adriani dkk., 2003). Musim beranak, jumlah laktasi dan umur pertama kali beranak mempengaruhi produksi susu. Ternak yang beranak dari bulan Januari sampai Juni menghasilkan susu lebih banyak daripada yang beranak bulan-bulan lainnya (Adriani dkk., 2003). Bangsa kambing dan jumlah laktasi berpengaruh terhadap produksi susu. Produksi susu maksimum tercapai pada umur 4 - 5 tahun atau pada laktasi ketiga dan tidak menurun drastis selama tiga tahun berikutnya dimana dianggap hampir semua bangsa kambing berkembang biak sekali dalam setahun (Subandriyo dkk., 1995). Susu yang dihasilkan setiap hari akan meningkat sejak induk beranak kemudian produksi akan menurun secara berangsur angsur hingga berakhirnya masa laktasi. Puncak produksi susu akan dicapai pada hari 21-49 setelah beranak. Produksi susu kambing berkisar 1-3 kg per ekor per hari tergantung bangsa kambing, masa laktasi, suhu lingkungan, pakan, jumlah anak perkelahiran dan tatalaksana pemeliharaan (Atabany dkk., 2001). Jumlah pemerahan setiap hari berpengaruh terhadap produksi susu. Pemerahan dua kali sehari produksi susu meningkat 40 % daripada pemerahan
12
satu kali, pemerahan tiga kali lebih tinggi 5-20 % daripada dua kali dan pemerahan empat kali lebih tinggi 5-10% daripada pemerahan tiga kali (Anggraini, 2005). Hal yang biasa bahwa kambing betina dengan berat 55 kg akan memproduksi lebih dari 200 kg susu dalam sekali laktasi yang lama laktasi 305 hari. Besarnya produksi susu yang dihasilkan selama masa laktasi dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya pertumbuhan dan perkembangan sel-sel sekretoris kelenjar ambing selama kebuntingan, ketersediaan zat-zat makanan (substrat) sebagai bahan untuk sintesa susu dan laju penyusutan sel-sel sekretoris selama laktasi (Sodiq, 2008). Secara umum dapat dikatakan bahwa sintesa susu melalui dua jalur yaitu filtrasi dan sintesis. Kecepatan sintesis dan filtrasi susu bergantung pada konsentrasi prekursor di dalam darah yang merupakan ekspresi dari kuantitas dan kualitas suplai pakan. Pengukuran komposisi atau kualitas susu secara praktis yang dilakukan di lapangan meliputi Total Solid (TS), lemak susu, solid non fat (SNF) dan berat jenis (BJ). Total Solid adalah komponen susu selain air yang meliputi lemak, protein, laktosa dan abu (Haeinlein, 2006) atau dinyatakan juga sebagai komponen susu yang terdiri atas lemak dan solid non fat. Kandungan Total Solid sangat bergantung pada kadar kedua komponen tersebut. Menurut Dewan Standardisasi Nasional (1998), bahwa susu kambing normal mengandung Total Solid minimal 11 %.
13
Solid non fat (SNF) adalah komponen susu selain air dan lemak. Penelitian yang dilakukan Budi (2002) menunjukan bahwa nilai solid non fat kambing Peranakan Etawah sekitar 8,65 - 9,69 %. Komponen susu relatif tidak berubah, demikian juga kandungan bahan kering susu yang tidak banyak berubah, kecuali lemak susu (Damron, 2003). Lemak susu kambing Peranakan Etawah yang diberi konsentrat tercatat 3,44 - 4,86% (Sukarini, 2006). Berat jenis juga termasuk ukuran kualitas susu. Nilai berat jenis bergantung pada fluktuasi kadar air, kadar lemak, dan kadar solid non fat. Variasi lebih banyak ditentukan oleh kadar lemak dan solid non fat, bila kadar lemak tinggi, sedangkan solid non fat rendah, maka berat jenis akan menurun, sebaliknya bila solid non fat tinggi kadar lemak rendah maka berat jenis akan naik (Soeharsono, 2008). Berat jenis susu yang normal adalah 1,028-1,032 Kg/L.
2.1.4. Peranan Hijauan dalam Pembentukan Susu Hijauan makanan ternak (HMT) merupakan salah satu bahan makanan ternak yang sangat diperlukan dan besar manfaatnya bagi kehidupan dan kelangsungan populasi ternak kambing Peranakan Etawah. Menurut Hartadi, dkk (1993), bahwa hijauan pakan adalah bagian areal dari tanaman terutama rumput dan leguminosa yang bersifat amba, kandungan karbohidrat strukturalnya relatif lebih tinggi serta umum digunakan sebagai makanan ternak. Selanjutnya menurut Lubis (1963) yang dimaksud dengan hijauan pakan adalah kumpulan bahan
makanan
ternak
yang
berupa
daun-daun,
kadang-kadang masih
14
bercampur dengan batang, ranting serta bunganya, dan pada umumnya berasal dari tanaman sebangsa rumput dan kacang-kacangan. Hijauan sangat dibutuhkan oleh ternak ruminansia karena 60-90% pakan yang dikonsumsi oleh ternak tersebut berasal dari hijauan, baik dalam bentuk segar maupun kering (Nitis, et al., 1992: Susetyo, dkk., 1968). Hijauan pakan dikatakan penting karena mengandung hampir semua zat makanan yang diperlukan oleh ternak sebagai bahan makanan ternak tunggal masih dapat mempertahankan hidup berkembang biak (Bogdan, 1977). Hijauan terutama jenis rumputan banyak mengandung serat kasar berkisar 25-30% (Parakkasi, 1999). Serat hijauan pakan yang masuk ke dalam rumen akan dirombak oleh mikroba menjadi VFA (Volatile Fatty Acid) dengan proporsi yang paling besar adalah asam asetat. Penelitian yang dilakukan oleh Balch (1960), asam asetat yang diproduksi dari pakan berbasis hijauan tunggal memiliki proporsi asam asetat yang lebih tinggi 2 kali lipat dibanding dengan ruminansia yang sebagian diberi konsentrat dalam ransumnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Hijar et al., (2009) pada kambing yang diberi hijauan sebanyak 70% menghasilkan asam asetat lebih tinggi dibandingkan dengan hijauan sebanyak 30%. Dengan demikian serat hijauan merupakan sumber pakan utama dalam pembentukan asam asetat. Asam asetat akan diserap oleh tubuh melalui dinding rumen dan retikulorumen kemudian diangkut oleh pembuluh darah ke bagian kelenjar susu untuk pembentukan lemak susu. Menurut Murti dan Hidayat (2009), lemak susu
15
merupakan komponen susu yang paling beragam, sebagian besar lemak susu terdiri atas trigliserida. Bahan pembentuk lemak susu yang utama adalah glukosa, asam asetat, asam beta hidroksibutirat, trigliserida dari kilomikran, dan low density lipoprotein (LDL) serta darah, sebanyak 75% hingga 90% dari asam lemak rantai pendek dan 30% dari asam palmitat yang disusun dalam kelenjar susu berasal dari asam asetat. Secara keseluruhan, diduga 30% dari atom karbon yang terdapat dalam lemak susu berasal dari dari asam asetat dan sisanya berasal dari asam-asam lemak. Willcox (1994) melaporkan bahwa lemak dalam susu akan meningkat bila ternak diberi ransum tinggi hijauan, namun sebaliknya akan menurunkan protein susu, meskipun ransum disusun dengan kualitas yang sama. Namun demikian, sumber hijauan di Indonesia terutama rumput yang digunakan oleh peternak berasal dari alam sekitarnya mengandung kualitas rendah terutama kandungan proteinnya. Di samping itu, membutuhkan pula energi yang cepat dibentuk untuk ternak-ternak yang sedang produksi tinggi terutama yang sedang laktasi. Oleh karena itu, untuk memenuhi kecukupan kebutuhan nutrien biasanya peternak ruminansia terutama yang skala besar diberi pakan tambahan berupa konsentrat.
2.1.5. Peranan Konsentrat dalam Pembentukan Susu Konsentrat adalah suatu bahan pakan yang dipergunakan bersama bahan pakan lain untuk meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan pakan dan dimaksudkan untuk disatukan dan dicampur sebagai suplemen (pelengkap) atau
16
pakan lengkap (Hartadi et al., 1997). Hijauan yang diberikan berkualitas rendah maka konsentratnya harus berkualitas tinggi dan sebaliknya bila hijauan yang diberikan berkualitas tinggi maka konsentratnya tidak perlu berkualitas tinggi sebab tidak akan ekonomis. Koefisien cerna pakan tertinggi dicapai pada imbangan 50% hijauan dan 50% konsentrat, namun demikian koefisien cerna tidak menyimpang jauh apabila dengan perbandingan 60% hijauan dan 40% konsentrat (Sutardi, 1980). Kambing perah laktasi yang akan dijadikan induk, memerlukan pertumbuhan yang normal dalam arti tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus, oleh karena itu konsentrat dalam formulasi ransumnya harus sesuai jumlahnya agar tidak terjadi penggemukan (Siregar, 1995). Pemberian pakan penguat berupa konsentrat pada kambing perah pada prinsipnya adalah untuk menyempurnakan kekurangan zat-zat pakan yang terkandung pada rumput lapang dan hijauan. Konsentrat dalam ransum memberikan kecenderungan mikroorganisme dalam rumen dapat memanfaatkan konsentrat terlebih dahulu sebagai sumber energi dan selanjutnya dapat memanfaatkan makanan kasar yang ada. Mikroorganisme rumen lebih mudah dan lebih cepat berkembang populasinya sehingga akan semakin banyak makanan yang harus dikonsumsi ternak kambing perah. Disamping itu, semakin banyak pula protein mikrobial tersedia. Protein mikrobial merupakan salah satu sumber protein yang masuk abomasum ruminansia dan sangat penting artinya bagi produktivitas ternak kambing perah yang optimal (Murtidjo, 1992). Hampir 60-80% penyediaan protein bagi
17
ruminansia berasal dari protein mikroba (Sutardi, 1979). Protein mikroba bersama-sama protein pakan yang tidak dapat didegradasi yang masuk dalam usus halus akan dihidrolisis menjadi asam amino lalu diserap dan masuk dalam sistem peredaran darah, sebagian masuk dalam sel alveoli bersama dengan bahan yang lainnya kemudian terjadi sintesis air susu (Soeharsono, 2008). Penelitian Shaw et al., (1958) pada ternak sapi perah membuktikan bahwa pemberian konsentrat untuk meningkatkan protein dan energi pada ransum mampu memperbaiki produksi susu dan dapat meningkatkan total solid non fat namun menurunkan lemak susu. Hasil yang sama ditunjukkan oleh Willcox (2014) pada sapi perah menunjukkan bahwa pemberian konsentrat dengan porsi lebih tinggi menghasilkan susu sebanyak 41,1 kg lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang tinggi hijauan yaitu 39 kg. Penelitian Sukarini (2006) pada Kambing Peranakan Etawah membuktikan bahwa pemberian tambahan konsentrat pada awal laktasi mampu meningkatkan produksi susu dari 0,980 menjadi 1,627 L/hari. Konsentrat untuk ternak ruminansia khususnya kambing perah memiliki kandungan serat kasar kurang dari 18% dan mudah dicerna, dalam hal ini ternak tersebut mengkonsumsi konsentrat sekitar 5-7% dari berat badannya (Parakkasi, 1995). Kondisi ini dapat terpenuhi jika bahan baku yang digunakan berkualitas tinggi. Umumnya konsentrat disusun dari hasil ikutan dari pengolahan biji-bijian serta hasil pertanian yang mengandung serat kasar dan lemak yang tinggi.
18
Kondisi ini sering menyebabkan kualitas konsentrat menjadi rendah dan sering menimbulkan ketengikan ditambah lagi karena sistem penyimpanan yang kurang baik. Kadar serat yang tinggi dan ketengikan
berdampak pada palatabilitas
ransum menjadi berkurang (Nadhifah dkk., 2012). Untuk meningkatkan kualitas konsentrat diantaranya adalah dengan cara teknik fermentasi. 2.1.6. Palatabilitas Ransum Palatabilitas merupakan sifat performansi bahan-bahan pakan sebagai akibat dari keadaan fisik dan kimiawi yang dimiliki oleh bahan-bahan pakan yang dicerminkan oleh organoleptiknya seperti kenampakan, bau, rasa (hambar, asin, manis, pahit), tekstur dan temperaturnya (Kartadisastra, 1997). Hal inilah yang menumbuhkan daya tarik dan merangsang ternak untuk mengkonsumsinya. Ternak ruminansia lebih menyukai pakan rasa manis dan hambar daripada asin atau pahit. Ternak tersebut juga lebih menyukai rumput segar bertekstur baik dan mengandung unsur nitrogen dan fosfor lebih tinggi (Kartadisastra, 1997). Penginderaan penglihatan, penciuman, perabaan dan perasa memiliki peran yang penting dalam menstimulasi selera ternak, mempengaruhi jumlah makanan yang dicerna dan palatabilitas ransum. Pada hewan penginderaan memiliki peran yang lebih kecil dari pada manusia, sehingga ternak peliharaan memperlihatkan prilaku mengendus (sniffing) makanan (Soejono, 1990). Semakin tinggi palatabilitas pakan, akan semakin banyak jumlah pakan yang dikonsumsi, dan semakin tinggi kesempatan untuk meningkatkan produksinya. Peningkatan produksi yang diperoleh dari konsumsi pakan yang
19
lebih tinggi biasanya berkaitan dengan peningkatan efisiensi proses – proses produksi, sehingga proporsi untuk kebutuhan pokok menurun sedangkan produksi meningkat. 2.1.7. Peranan Zat - Zat Makanan dalam Pembentukan Susu Susu merupakan minuman alami yang hampir sempurna karena memiliki kandungan gizi yang kumplit (Almatsier, 2002). Komposisi susu terdiri atas protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin dan air. Komponen penyusun susu masing-masing individu sangat bervariasi bergantung pada spesies hewan (Schmidt et al., 1988). Di samping dari faktor spesies, peranan zat-zat makanan sangat berperan dalam proses pembentukan susu dan menentukan kualitas dari susu tersebut.
2.1.7.1.
Sintesa Protein Susu Terdapat 3 sumber utama bahan pembentuk protein susu yang berasal
dari darah, yaitu peptida-peptida, plasma protein, dan asam-asam amino yang bebas (Jacobson, 1970). Kasein, beta laktoglobulin, dan alphalaktalbumin merupakan 90% sampai 95% dari protein susu. Ketiga macam protein tersebut disintesa di dalam kelenjar susu. Serum albumin darah, imunoglobulin dan gamma kasein tidak disintesa di dalam kelenjar susu, tetapi langsung diserap dari darah dalam bentuk yang sama tanpa mengalami perubahan. Plasma protein merupakan sumber bahan pembentuk susu sebanyak 10% dari yang diperlukan. Asam-asam amino yang bebas yang diserap oleh kelenjar susu dari darah
20
merupakan sumber nitrogen utama untuk sintesa protein susu (Jacobson, 1970). Hampir semua asam amino yang diserap dari darah diubah menjadi protein susu.
2.1.7.2.
Sintesa Lemak Susu Lemak susu merupakan komponen susu yang paling bervariasi.
Sebagian lemak susu terdiri atas trigliserida. Bahan-bahan pembentuk lemak susu yang terutama adalah : (1) glukosa, asetat, asam beta hidroksibutirat, trigliserida dari chylomicran, dan low density lipoprotein dari darah, (2) asam-asam lemak yang berantai pendek, dan (3) beberapa asam palmitat yang disekresi di dalam kelenjar susu (Soeharsono, 2008). Kelenjar susu ruminansia tidak dapat menggunakan acetyl CoA yang berasal dari glukosa dalam mitokondria. Beta hidroksibutirat juga digunakan untuk sintesa asam-asam lemak. Sebagian dari padanya digunakan untuk rantai karbon permulaan untuk tambahan unit-unit C2 dan sebagian lagi untuk pembentukan unit-unit C2 dan digunakan sebagai unit Acetyl CoA untuk sintesa asam lemak (Anderson, 1985).
2.1.7.3.
Sintesa Laktosa Sebagian besar glukosa dan galaktosa dalam sintesa laktosa berasal dari
substansi-substansi yang mudah dapat diubah menjadi glukosa. Dari perbedaan arteri-vena dapat diketahui bahwa glukosa merupakan bahan utama pembentuk laktosa pada kambing dan sapi (Soeharsono, 2008). Beberapa atom karbon dari laktosa terutama residu galaktosa, berasal dari senyawa lain misalnya asetat dan
21
gliserol. Perbedaan antara arteri-vena untuk glukosa ± 2 kali yang diperlukan untuk sintesa laktosa. Kelebihan glukosa akan digunakan untuk energi membentuk gliserol karena glukosa adalah bahan utama pembentuk laktosa dan susu yang harus dipertahankan agar supaya isotonis dengan darah, maka bila terjadi kekurangan laktosa akan mengalami kekurangan kandungan air dalam susu. Oleh karena itu, dikatakan glukosa adalah sebagai faktor pembatas untuk sekresi susu (Sukarini, 2006). Proses sintesa laktosa adalah 2 molekul glukosa masuk saluran ambimg kemudian 1 molekul glikosa diubah menjadi galaktosa. Terjadi kondensasi galaktosa dengan glukosa kemudian terbentuklah laktosa dengan bantuan enzim lactose syntetase (Larsen dan Smith, 1974). Dengan adanya laktosa ini maka susu akan memberi rasa manis serta merangsang bakteri tertentu di dalam usus pedet untuk membentuk asam laktat, sehingga akan merangsang penyerapan Ca dan pospor pada tulang.
2.1.7.4.
Sintesa Mineral, Vitamin, dan Air Vitamin, mineral, air tidak disintesa oleh sel-sel sekresi ambing
melainkan berasal dari tanah. Mineral yang penting adalah Ca, P, Cl, Na dan Mg (Piliang, 1997). Mekanisme absorbsi mineral dari darah ke dalam lumen alveoli belum jelas, kemungkinan terdapat bentuk mekanisme transport mineral yang aktif, dalam sel sekresi ambing. Kadar laktosa, Na dan K dalam susu biasanya
22
relatif konstan. Ketiga komponen ini bersama dengan klorida berperan menjaga keseimbangan osmosis dalam susu (Larsen, 1978). Kandungan vitamin dan mineral susu diatur dalam proses filtrasi, dimana sel-sel jaringan sekresi ambing bertindak sebagai membran barier atau carrier terhadap partikel vitamin dan mineral yang berasal dari darah yang akan masuk ke lumen alveoli. Sel epitel menggabungkan mineral dengan sel organik, dimana 75% Ca terikat dalam kasein, pospor, dan sitrat, dan dari 75% tersebut 50% terikat dengan kasein (Soeparno, 1992). Molekul-molekul vitamin ditransfer langsung dari darah ke dalam selsel sekresi ambing, tanpa mengalami perubahan, sehingga langsung masuk menjadi komponen susu. Konsentrasi vitamin dalam susu (terutama yang terlarut dalam lemak) dapat ditingkatkan dengan meningkatkan vitamin dalam plasma darah atau dengan meningkatkan kandungan vitamin dalam pakan (Moehji, 2003).
2.1.8. Fermentasi dalam Meningkatkan Mutu Pakan Fermentasi berasal dari bahasa Latin “fervere” yang berarti merebus (to boil). Arti kata dari bahasa Latin tersebut dapat dikaitkan dengan kondisi cairan bergelembung atau mendidih. Keadaan ini disebabkan adanya aktivitas ragi pada ekstraksi buah-buahan atau biji-bijian. Gelembung-gelembung karbondioksida dihasilkan dari katabolisme anaerobik terhadap kandungan gula. Istilah sekarang ini fermentasi merupakan aktivitas mikroba untuk memperoleh energi yang diperlukan dalam metabolisme dan pertumbuhan melalui pemecahan senyawa-
23
senyawa organik secara anaerobik atau aerobik melalui kerja enzim yang dihasilkan mikroba (Fardiaz, 1989). Dalam proses fermentasi membutuhkan energi agar proses tersebut berjalan dengan baik. Menurut Fardiaz (1992) mikroorganisme menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi setelah terlebih dahulu dipecah menjadi glukosa. Pemecahan glukosa selanjutnya dilakukan melalui jalur glikolisis sampai akhirnya dihasilkan energi. Pada proses tersebut, selain energi juga dihasilkan molekul air dan karbondioksida. Sebagian air akan keluar dari produk sehingga berat kering produk cenderung berkurang setelah fermentasi. Contoh pelepasan energi pada fermentasi aerob dan anaerob sebagai berikut: 2CH3COCOOH ----------> 2CH3CH2OH + 2CO2 + 28 kkal asam piruvat
etanol/alkohol
2CH3COCOOH ----------> 2CH3CHOHCOOH + 47 kkal asam piruvat
asam laktat
Kandungan asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral bahan mengalami perubahan setelah fermentasi (Syarief dan Halid, 1991). Lebih lanjut Winarno et al., (1980) menyatakan bahwa fermentasi menyebabkan perubahan pH, kelembaban, aroma serta perubahan nilai gizi yang mencakup terjadinya peningkatan protein, vitamin dan beberapa zat gizi lainnya walaupun vitamin B1 dan mineral fosfor mengalami penurunan. Perubahan yang terjadi selama fermentasi disebabkan oleh enzim yang dihasilkan mikroorganisme. Kapang yang berperan dalam proses fermentasi akan menghasilkan enzim berupa alpha
24
amylase,
betha
amylase,
phosphorilase,
iso-amilase,
maltase
dan
amiloglukosidase (Frazier dan Westhoft, 1981), sedangkan fermentasi yang dilakukan bakteri seperti pada bakteri asam laktat dalam proses ensilase akan menghasilkan enzim alpha galaktosidase, fruktosa difosfat aldolase, dan Bile Salt hydrolase. Untuk memperoleh hasil fermentasi yang baik diperlukan kondisi fermentasi yang optimal (Pribadi et al., 2013). Kondisi yang kurang cocok bagi perkembangbiakan mikroba akan menghambat fermentasi dan merangsang tumbuhnya mikroba lain yang tidak diharapkan untuk tumbuh (Fardiaz, 1992). Berdasarkan mediumnya fermentasi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kultur terendam (submerged) dan kultur permukaan (Judoamidjojo dkk., 1992). Kultur permukaan merupakan fermentasi dengan substrat semi padat, padat atau cair yang pertumbuhan mikroorganismenya terjadi pada permukaan substrat, sedangkan kultur terendam substratnya adalah substrat cair dengan pertumbuhan mikroorganismenya pada seluruh substrat, tidak hanya pada bagian permukaan saja. Fermentasi dengan media padat atau disebut juga dengan fermentasi substrat padat menyangkut pertumbuhan mikroorganisme dalam lingkungan yang hampir tidak ada air bebas atau cukup mengandung air untuk keperluan mikroorganisme (Peppler, 1973). Bahan-bahan yang biasa digunakan menjadi media fermentasi padat adalah onggok, dedak padi, gandum, jagung dan sorgum
25
(Hardianto, 2004). Produk fermentasi substrat padat antara lain berupa glukosa, etanol dan protein sel tunggal (Wijana dkk., 1993). Pada fermentasi substrat cair menggunakan substrat alami yang sifatnya tunggal, persiapan inokulum lebih sederhana, dapat menghasilkan produk dengan kepekatan yang lebih tinggi, kontrol terhadap kontaminasi lebih mudah, kondisi inkubasi hampir menyerupai kondisi alami sehingga tidak memerlukan kontrol suhu dan pH yang teliti serta aerasi dapat berlangsung lebih optimum karena ruang lebih besar (Hidayat dkk., 2006). Proses fermentasi juga tidak terlepas dari sifat mikroorganisme terhadap kebutuhan oksigen, oleh karena itu fermentasi dapat dibagi atas dua bagian yaitu fermentasi aerob dan anaerob (Fardiaz, 1998). Fermentasi aerob yaitu metode sel yang digunakan untuk mengekstrak energi dari karbohidrat ketika oksigen atau akseptor elektron lainnya tersedia di lingkungan sekitarnya, sebaliknya fermentasi anaerob terjadi ketika oksigen atau akseptor elektron lainnya tidak tersedia dalam lingkungan. Proses fermentasi pada substrat dapat dilakukan dengan menggunakan mikroorganisme diantaranya bakteri, fungi, dan kapang. Inokulum yang digunakan dapat berupa satu macam maupun gabungan atau konsorsium beberapa mikroorganisme. Teknik fermentasi menghasilkan produk yang memiliki keunggulan diantaranya 1) produk dapat terawetkan (Bolsen dan Sapienza, 1993) 2) nilai nutrien produk meningkat (Supriyati, 2010). 3) dapat mengurangi racun atau
26
antinutrisi (Aisjah, 1995) 4) aromanya lebih disukai (Prescott dan Dunn, 1959). Dengan keunggulan tersebut teknik fermentasi banyak dilakukan untuk pengolahan pakan sebelum diberikan pada ternak.
2.1.9. Saccharomyces cerevisiae sebagai Mikroba untuk Fermentasi Saccharomyces sp. merupakan salah satu fungi yang banyak digunakan dalam proses fermentasi baik secara tunggal maupun konsorsium dengan mikroorganisme lain. Fungi ini termasuk ke dalam kelas Ascomycetes yang dicirikan dengan pembentukan askus yang merupakan tempat pembentukan askospora, memperbanyak diri secara aseksual yaitu dengan bertunas (Pelezar dan Chan, 1986). Dindingnya terdiri atas komponen-komponen glukan, manan, protein, kitin dan lemak (Waluyo, 2004). Kehidupannya dapat bersifat fakultatif anaerob yang dapat menggunakan baik sistem aerob maupun anaerob untuk memperoleh energi dari pemecahan glukosa. Organisme ini memerlukan kondisi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhannya, yaitu nutrien sebagai sumber energi terutama gula, pH optimum 4-5, temperatur optimum 28ºC-30ºC serta kebutuhan akan oksigen terutama pada awal pertumbuhan, mineral, dan vitamin (Hamidah, 2003). Beberapa kelebihan Saccharomyces sp. dalam proses fermentasi yaitu mikroorganisme ini cepat berkembang biak, tahan terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap suhu yang tinggi, mempunyai sifat stabil dan cepat mengadakan adaptasi (Dhalika dkk., 2003).
27
Sebagai golongan ragi ini, dikenal beberapa jenis antara lain, Saccharomyces anamenesis, Schizosaccharomyces pombe dan Saccharomyces cerevisiae. Syarat-syarat yang dipergunakan dalam memilih ragi untuk fermentasi yaitu cepat berkembang biak, tahan terhadap kadar alkohol tinggi, tahan terhadap suhu tinggi, mempunyai sifat yang stabil, cepat mengadakan adaptasi terhadap media yang difermentasi. Saccharomyces cerevisiae dapat menghasilkan alkohol dalam jumlah yang besar. Selain itu juga memiliki toleransi yang tinggi terhadap alkohol, toleransi terhadap alkohol pada variasi strain berbeda (Elevri dan Putra, 2006) dan dapat memfermentasi glukosa, sukrosa, galaktosa serta rafinosa (Kunkee dan Mardon, 1970). Kelebihan lain dari ragi ini adalah mempunyai daya konversi gula yang sangat tinggi karena menghasilkan enzim zimase dan intervase yang berfungsi sebagai pemacu perubahan sukrosa menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa) dan mengubah glukosa menjadi alkohol (Judoamidjoyo dkk., 1992). Biakan Saccharomyces cerevisiae mempunyai kecepatan fermentasi optimum pada pH 4,48 (Harrison dan Graham, 1970). Umiyasih dan Anggraeni (2008) melakukan penelitian pada ampas pati aren yang dilakukan secara fermentasi aerob dengan penambahan kapang Saccharomyces cerevisiae yang diinkubasi selama 72 jam dapat meningkatkan nilai protein kasar. Penelitian lain yang dilakukan Suprayogi (2010) menunjukkan bahwa penambahan Saccharomyces cerevisiae dalam fermentasi terhadap onggok yang diinkubasi selama 3 hari mampu meningkatkan protein kasar dan bahan
28
organik. Lebih lanjut Dharmawati dkk., (2012) membuktikan bahwa fermentasi keong rawa dengan menggunakan sumber aditif onggok dan penggunaan Saccharomyces cerevisiae 0,6% menghasilkan kualitas protein dan serat kasar terbaik. Selanjutnya Budi (2010) menyatakan bahwa proses fermentasi singkong dengan Saccharomyces cerevisiae memberikan peningkatan terhadap protein kasar dan juga serat kasar. Lama waktu fermentasi berkisar antara 5 hari, 10 hari, 15 hari dan 20 hari. 2.1.10. EM-4 (Effective Microorganism) Kultur Mikroba untuk Proses Fermentasi Akhir-akhir
ini
banyak
berkembang
proses
fermentasi
dengan
menggunakan konsorsium berbagai macam jenis mikroba, diantara yang paling populer dan banyak digunakan adalah EM-4. Penemuan EM-4 awalnya di temukan oleh orang Jepang, bernama Teruo Higa pada tahun 1970 di Okinawa. Sebagian besar mengandung mikroorganisme Lactobacillus sp. bakteri penghasil asam laktat, serta dalam jumlah sedikit bakteri fotosintetik Streptomyces sp., jamur pengurai sellulosa dan ragi. EM-4 merupakan suatu tambahan untuk mengoptimalkan pemanfaatan zat-zat makanan karena mikroorganisme yang terdapat dalam EM-4 dapat mencerna selulosa, pati, gula, protein dan lemak (Surung, 2008). Surung dan Rahman (2012) penambahan EM-4 dan centro dalam pakan dapat meningkatkan pertambahan berat badan kambing Kacang. Penelitian lain Santoso dan Aryani (2007) bahwa fermentasi daun ubi kayu tanpa penambahan dedak oleh EM-4 meningkatkan
BETN,
energi,
sebaliknya
dengan
penambahan
dedak
29
meningkatkan protein. Menurut Telew dkk., (2013) bahwa rekayasa sekam padi yang diberi EM-4 dapat meningkatkan kadar protein dan energi serta menurunkan serat kasar. Selain meningkatkan kualitas pakan, EM-4 digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Kultur ini digunakan untuk dekomposisi limbah dan sampah organik, sehingga meningkatkan ketersediaan nutrien tanaman serta menekan aktivitas serangga hama dan mikroorganisme patogen. Juga EM-4 diaplikasi sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman dan populasi mikroorganisme di dalam tanah
dan
tanaman,
yang
selanjutnya
dapat
meningkatkan
kesehatan,
pertumbuhan, kuantitas dan kualitas produksi tanaman secara berkelanjutan. Disamping itu juga dapat digunakan untuk mempercepat pengomposan sampah organik atau kotoran hewan, membersihkan air limbah, serta meningkatkan kualitas air pada tambak udang dan ikan serta menyehatkan lingkungan dengan membantu revitalisasi produktivitas tanah, menekan biaya usaha tani, serta meningkatkan kualitas produk (Simamora, 2006).
2.2.
Kerangka Pemikiran Kambing Peranakan Etawah sudah lama dipelihara oleh peternak di
Indonesia dan dikenal sebagai kambing penghasil susu yang paling baik. Hal ini karena
kambing
tersebut
dapat
menghasilkan
susu
sebanyak
0,45-2,1
liter/hari/laktasi dan produksi ini rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kambing lainnya. Susu kambing potensial digunakan untuk minuman kesehatan
30
dan beberapa industri memakainya sebagai bahan baku kosmetik. Oleh karena itu, harga susu kambing jauh lebih tinggi yaitu sebesar Rp. 30.000/liter dibandingkan dengan harga susu sapi perah sebesar Rp. 4.500/liter. Dengan harga yang tinggi menyebabkan mulai banyak peternak yang memelihara kambing Peranakan Etawah sebagai kambing penghasil susu. Untuk mendukung perkembangan kambing Peranakan Etawah harus tersedia pakan yang jumlahnya mencukupi dan berkualitas baik agar produksi susunya terjamin. Sebagai hewan ruminansia kambing Peranakan Etawah membutuhkan pakan hijauan sebagai sumber serat utama. Serat yang terdapat dalam pakan ini akan didegradasi dan difermentasi dalam rumen terutama oleh bakteri selulolitik menjadi asam lemak terbang dengan proporsi yang paling banyak berupa asam asetat. Asam asetat akan diserap oleh dinding rumen masuk ke dalam sistem peredaran darah dan dibawa menuju ke sel-sel alveoli sebagai prekursor pembentukan susu terutama sebagai komponen lemak susu. Akan tetapi pembentukan susu membutuhkan asupan protein yang mencukupi agar produksi susu maksimal. Penggunaan pakan hijauan tidak akan mencukupi kebutuhan protein dalam pembentukan susu karena hijauan rata-rata mengandung protein kasar yang rendah yaitu di bawah 10%, sedangkan kebutuhan untuk kambing sedang laktasi rata-rata di atas 12%. Apalagi rumput yang digunakan berasal dari rumput alam yang tidak mengalami pemupukan tentunya kandungan proteinnya jauh lebih rendah. Untuk menjamin ketersediaan nutrien bagi kambing Peranakan
31
Etawah yang sedang laktasi penggunaan pakan tambahan atau konsentrat menjadi penting. Konsentrat digunakan sebagai pelengkap pakan hijauan bertujuan untuk meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan pakan. Pakan ini berfungsi sebagai penambah energi dengan serat kasar rendah dan terutama mengandung protein tinggi. Protein dalam konsentrat akan didegradasi oleh mikroba menjadi NH3 dan bersama-sama sumber kerangka karbon yang berasal dari asam lemak terbang hasil degradasi serat hijauan dan pati konsentrat membentuk protein mikrobial. Protein mikrobial dan protein pakan yang tidak terdegradasi yang masuk ke dalam usus halus akan dihidrolisis secara enzimatik menjadi asam amino lalu diserap melalui proses transport aktif pada dinding usus masuk dalam sistem peredaran darah, dan sebagian asam amino tersebut masuk dalam sel alveoli bersama dengan bahan yang lainnya kemudian terjadi sintesis air susu. Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian konsentrat dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas susu kambing perah. Penggunaan konsentrat dilaporkan mampu meningkatkan produksi susu, TS, SNF, BJ susu namun menurunkan kadar lemak susu. Total solid dinyatakan sebagai komponen susu yang terdiri atas lemak dan SNF. Pada susu kambing normal mengandung TS minimal 11 %. Sementara itu SNF adalah komponen susu selain air dan lemak, nilainya untuk kambing Peranakan Etawah sekitar 8,65 - 9,69 %. Kandungan bahan kering susu tidak banyak berubah, kecuali lemak susu. Lemak susu kambing Peranakan Etawah
32
yang diberi konsentrat tercatat 3,44 - 4,86%. Nilai berat jenis bergantung pada fluktuasi kadar air, kadar lemak, dan kadar SNF. Variasi lebih banyak ditentukan oleh kadar lemak dan SNF, bila kadar lemak tinggi dan nilai SNF-nya rendah, maka nilai BJ-nya rendah atau sebaliknya. Berat jenis susu yang normal sekitar adalah 1,028-1,032 Kg/L. Konsentrat yang baik tersusun dari biji-bijian atau hasil ikutan yang banyak mengandung pati dan protein tinggi dengan kadar serat kasar rendah, namun kenyataannya banyak konsentrat disusun dari bahan pakan berkualitas rendah dengan kadar serat kasar tinggi. Di samping itu, penggunaan bahan pakan dari hasil ikutan yang berasal dari biji-bijian sering menimbulkan ketengikan yang berdampak pada penurunan palatabilitas pada konsentrat tersebut. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki mutu konsentrat adalah dengan proses fermentasi. Fermentasi adalah suatu cara untuk mengubah substrat menjadi produk tertentu yang dikehendaki dengan menggunakan bantuan mikroba. Teknik ini menghasilkan nilai gizi lebih baik daripada bahan asalnya hal ini karena terjadi pemecahan zat makanan yang tidak dapat dicerna oleh ternak secara langsung. Mikroba akan memecah senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana serta mampu memecah senyawa bersifat racun dan antinutrisi pada pakan yang berdampak pakan aman dikonsumsi dan dapat ditingkatkan penggunaannya serta memberikan performan yang lebih baik. Banyak pakan meningkat kualitas proteinnya setelah proses fermentasi. Pengubahan non protein
33
nitrogen menjadi protein mikroba oleh mikroba itu sendiri memberikan kualitas yang lebih baik. Selain itu perubahan proporsi akibat menurunnya bagian lain terutama karbohidrat berdampak porsi protein meningkat. Produk fermentasi mempunyai citarasa dan aroma yang lebih baik. Aroma yang baik pada produk fermentasi lebih merangsang ternak untuk mengkonsumsi lebih banyak. Beberapa produk fermentasi seperti alkohol dan asam laktat dapat menghambat pertumbuhan mikroba patogen dan perusak di dalam produk sehingga dapat terawetkan. Proses fermentasi akan berjalan dengan baik apabila tersedia sumber energi untuk mikroba. Mikroorganisme menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi setelah terlebih dahulu dipecah menjadi glukosa. Pemecahan glukosa selanjutnya dilakukan melalui jalur glikolisis sampai akhirnya dihasilkan energi. Pada fermentasi yang menghasilkan alkohol dan asam laktat dibutuhkan energi sebesar 28 dan 47 kkal, kondisi ini menyebabkan produk fermentasi banyak kehilangan energi. Akhir akhir ini fermentasi banyak dilakukan dengan menggunakan konsorsium dari berbagai jenis mikroba, hal ini dimaksudkan agar proses fermentasi dapat berjalan secara optimal dengan menghasilkan produk fermentasi yang lebih baik. Mikroba-mikroba tersebut diharapkan saling bekerjasama yang menguntungkan dan saling melengkapi kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh masing-masing mikroba.
34
Saccharomyces cerevisiae merupakan jenis mikrobia fakultatif aerob yang dapat digunakan baik secara aerob maupun anaerob untuk memperoleh energi dari proses pemecahan glukosa, tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan aktifitasnya pada suhu 28 - 32ºC. Selnya berbentuk silindris, dengan ukuran sel 5 -20 mikron, dan biasanya 5 – 10 kali lebih besar dari ukuran bakteri. Khamir ini bersifat non-patogenik dan non-toksik sehingga banyak digunakan dalam berbagai proses fermentasi seperti pembuatan roti dan alkohol. Sifat utama khamir ini adalah memiliki toleransi yang tinggi terhadap alkohol sehingga umum digunakan dalam proses fermentasi. Khamir jenis ini sangat mudah ditumbuhkan dan membutuhkan nutrien yang sederhana, laju pertumbuhannya sangat cepat dan stabil. Produk utama dari fermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae adalah alkohol, merombak pati menjadi glukosa oleh peran enzim amilase, disamping itu juga khamir ini memiliki kemampuan mencerna serat. Dilaporkan bahwa pemanfaatan Saccharomyces cerevisiae dalam pengolahan/fermentasi dan pemanfaatanya pada ternak sapi perah dapat meningkatkan produksi susu dan bobot badan. Lebih lanjut penelitian lain menunjukkan adanya peningkatan bobot badan domba yang diberi pakan produk pengolahan Saccharomyces cerevisiae. EM-4 (Effective Microorganisms) merupakan suatu kultur campuran dalam medium cair berwarna coklat kekuning-kuningan, berbau asam, dan terdiri atas mikroba yang bersifat aerob dan fakultatif bakteri asam laktat, bakteri fotosintetik,
Actinomycetes,
khamir
(ragi),
dan
jamur
yang
semuanya
menguntungkan. Keuntungan dari EM-4 mampu memperbaiki jasad renik di
35
dalam saluran pencernaan ternak sehingga kesehatan ternak akan meningkat, tidak mudah stress, bau kotoran akan berkurang dan meningkatkan nafsu makan karena aroma asam manis yang ditimbulkan. Adanya jamur pada konsorsium tersebut dapat mendegradasi serat sehingga menurunkan kadar serat substrat yang berdampak pada peningkatan nutrien lain seperti protein, BETN, dan energi. Bakteri asam laktat memiliki jumlah yang paling dominan pada EM-4, mikroba tersebut menghasilkan asam laktat yang memiliki aroma yang khas seperti pada silase yang disukai oleh ternak. Hal ini memungkinkan EM-4 dapat memperbaiki kualitas konsentrat. Penggunaan EM-4 pada pakan terbukti meningkatkan pertambahan bobot badan kambing Kacang. Penelitian yang akan dilakukan adalah proses fermentasi konsentrat yang diproses secara anaerob dengan menggunakan berbagai campuran mikroba. Konsorsium Saccharomyces cerevisiae dan EM-4 diharapkan akan memberikan dampak yang positif, dimana mikroba-mikroba dalam konsorsium tersebut yang bersifat
aerob
(Saccharomyces
cerevisiae)
akan
memanfaatkan
oksigen
semaksimal mungkin pada awal fermentasi akan memberikan suasana yang lebih anaerob untuk berkembangnya mikroba fakultatif anaerob, seperti asam laktat, sehingga proses fermentasi anaerob berjalan lebih optimal yang akan menghasilkan produk berupa alkohol dan asam laktat lebih maksimal yang memberikan aroma yang lebih baik. Dengan proses fementasi yang berjalan optimal, maka kebutuhan karbohidrat (pati dan serat) sebagai sumber energi menjadi meningkat, akibatnya energi substrat berkurang dan sedikit suplai serat
36
dan pati untuk mikroba rumen, yang pada gilirannya pembentukan lemak susu menjadi berkurang. Namun demikian degradasi serat dan pati menyebabkan proporsi protein meningkat, dimana protein dibutuhkan untuk pembentukan susu. Disamping itu, fermentasi meningkatkan palatabilitas ransum karena aromanya yang menyenangkan bagi ternak. Dengan konsumsi yang meningkat memberikan asupan bahan kering yang meningkat pula yang akan diproses dalam saluran pencernaan dan digunakan untuk pembentukan susu serta komponen susu.
2.3.
Hipotesis
1.
Proses fermentasi dapat meningkatkan protein namun menurunkan serat kasar dan energi konsentrat.
2.
Pemberian konsentrat terfermentasi dapat meningkatkan palatabilitas ransum pada kambing Peranakan Etawah.
3.
Pemberian konsentrat terfermentasi pada kambing perah (Peranakan Etawah) mampu meningkatkan produksi susu, Total Solid, berat jenis dan kadar lemak susu.