BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Kompetensi Kerja 2.1.1.1 Pengertian Kompetensi Kerja Konsep kompetensi bukanlah hal baru di dalam psikologi organisasi industri Amerika yang sudah memiliki gerakan kompetensi sejak akhir tahun 1960 dan awal tahun 1970 (Veithzal Rivai dan Sagala, 2009:296). Para pakar manajemen SDM dan perilaku organisasi pada umumnya memberikan batasan berbeda mengenai konsep kompetensi, tetapi secara tersirat batasan yang terkandung dalam pengertian para pakar tersebut relatif memiliki kesamaan bahwa kompetensi adalah karakteristik utama dari individu untuk menghasilkan kinerja optimal dalam melakukan pekerjaan yang mencakup motif, sifat, konsep diri, pengetahuan, dan keahlian. Beberapa ahli mengemukakan pendapat mengenai pengertian kompetensi. Horton (2000:308) berpendapat bahwa kompetensi adalah karakteristik utama dari seseorang atau individu yang berhubungan dengan keefektifan atau keahlian di dalam melaksanakan pekerjaan. Kreitner dan Kinicki (2003:185) berpendapat bahwa kompetensi merupakan kemampuan yang menunjukkan karakteristik stabil, berkaitan dengan kemampuan maksimum fisik dan mental seseorang. Keterampilan di sisi lain adalah kapasitas khusus untuk memanipulasi objek.
13
14
Agus Siswanto (Radja, 2008:51) menyatakan bahwa: Konsep kompetensi pertama kali dipelopori oleh David C. McClelland pada tahun 1973, yang mempublikasikan artikelnya berjudul “Testing for Competence Rather Than Intelligence” yang mengemukakan latar belakang dan konsep kompetensi dalam psikologi moderen. McClelland melakukan kajian dan menganalisa berbagai penelitian sebelumnya dan menyimpulkan bahwa pengukuran potensi intelegensi dan pengetahuan akademik dianggap kurang akurat untuk memprediksi prestasi kerja maupun keberhasilan dalam kehidupan sosial dimasyarakat. Disamping itu dikemukakan pula bahwa hasil psikotes dan nilai prestasi akademik yang diperoleh dari bangku sekolah perguruan tinggi seringkali diskriminatif terhadap gender, kelompok minoritas, ataupun menurut strata sosio ekonomi. Hal ini memicu penelitian-penelitian babak baru untuk mencari metode-metode yang lebih baik untuk mengidentifikasikan kemampuan profesional dan kemampuan individu ditempat kerja, yang kemudian disebut sebagai kemampuan atau “kompetensi”.
Kompetensi menurut Lyle M. Spencer dan Signe M. Spencer (1993:9) adalah: “A competency is an underlying characteristic of
individual that is
causally related to criterion-referenced effective and/ or superior performance in a job or situation”. Kompetensi seseorang menjadi ciri dasar individu dikaitkan dengan standar kriteria kinerja yang efektif dan atau superior. Dari penjelasan di atas Spencer berpendapat bahwa kompetensi disamping menentukan perilaku dan kinerja seseorang juga menentukan apakah seseorang melakukan pekerjaannya dengan baik berdasarkan standar kriteria yang telah ditentukan. Kemampuan manusia terwujudkan dengan karya, keterampilan, pengetahuan, perilaku, sikap, dan motif atau bakatnya ditemukan secara nyata dapat membedakan antara mereka yang sukses atau superior dan biasa-biasa atau average saja ditempat kerja.
15
Menurut Prihadi (2004:83) kompetensi diartikan dengan merujuk kepada: a. Kemampuan secara umum untuk menjalankan sebuah job atau bagian dari sebuah job secara kompeten, misalnya kompetensi pada fungsi perencanaan. b. Kedua merujuk kepada salah satu rangkaian perilaku yang harus ditunjukkan oleh orang yang bersangkutan dalam rangka mengerjakan tugas-tugas dan fungsi-fungsi suatu jabatan dengan kompeten.
Prihadi (2004:105) mengemukakan pokok-pokok pengertian tentang kompetensi yang berlaku dalam assessment centre; 1) Kompetensi adalah hal-hal yang mampu dilakukan seseorang, 2) Kompetensi menghasilkan kinerja efektif atau superior, 3) Kompetensi merupakan perilaku yang didasari karakteristik fundamental, 4) Kompetensi mengandung motivasi, 5) Kompetensi didasari oleh potensi intelektual. Kompetensi menurut Palan (2007:5) adalah sebagai deskripsi mengenai perilaku. Secara lebih terperinci deskripsi itu merujuk kepada karakteristik yang mendasari perilaku yang menggambarkan motif, karateristik pribadi (ciri khas), konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan, atau keahlian. Semua itu hanya dibawa atau dimiliki oleh seseorang yang berkinerja unggul (superior performance) didefinisikan sebagai deskripsi tugas atau hasil pekerjaan. Marshall (1996) dalam Tjutju Yuniarsih (2008:22), mendefinisikan bahwa “a Competency is an underlying characteristic of a person, which enables them to deliver superior performance in a given job, role or situation”. Artinya bahwa kompetensi adalah ciri dasar seseorang, yang memungkinkan mereka menghasilkan kinerja superior dalam pekerjaan, peran atau situasi”.
16
Watson Wyatt dalam Noor Fuad (2009:19), mendefinisikan kompetensi sebagai kombinasi dari keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan perilaku (attitude). Keterampilan, pengetahuan, dan perilaku itu dapat diamati dan diterapkan secara kritis untuk suksesnya sebuah organisasi dan prestasi kerja serta kontribusi pribadi pegawai terhadap organisasinya. Berdasarkan berbagai pengertian tentang kompetensi yang diungkapkan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi merupakan karakteristik yang dimiliki individu didasari potensi intelektual maupun perilaku yang bisa menghasilkan kinerja superior dan bisa bertahan lama (stabil) serta efektif dalam bidang pekerjaan.
2.1.1.2 Karakteristik Kompetensi Kerja Kompetensi merupakan karakter dasar orang yang mengindikasikan cara berperilaku atau berpikir, yang berlaku dalam cakupan situasi yang sangat luas dan bertahan
untuk
waktu
yang lama. Spencer dan Spencer (1993:9-11)
dalam Tjutju Yuniarsih (2008:23) menyatakan bahwa ada beberapa jenis karakteristik yang membentuk sebuah kompetensi, yaitu sebagai berikut: a. Motif (Motive) Motive adalah apa yang secara konsisten dipikirkan atau keinginankeinginan yang menyebabkan melakukan tindakan. Apa yang mendorong, perilaku yang mengarah dan dipilih terhadap kegiatan atau tujuan tertentu. Seperti motif berprestasi akan memotivasi orang-orang secara terus menerus untuk merancang tujuan yang cukup menantang serta mengambil tanggungjawab atas pekerjaannya dan menggunakan umpan balik untuk menjadi lebih baik.
17 b. Sifat/Ciri bawaan (Trait) Trait adalah Ciri fisik dan reaksi-reaksi yang bersifat konsisten terhadap situasi atau informasi. Seperti reaksi waktu, luas pandangan yang baik merupakan kompetensi bagi seorang pilot. c. Konsep diri (Self Concept) Self Concept merupakan sikap, nilai atau self image dari orang-orang. Seperti percaya diri (self confidence), keyakinan bahwa ia akan efektif dalam berbagai situasi, merupakan bagian dari konsep dirinya. d. Pengetahuan (Knowledge) Knowledge yaitu suatu informasi yang dimiliki seseorang khususnya pada bidang spesifik. Pengetahuan merupakan kompetensi yang kompleks. Biasanya tes pengetahuan mengukur kemampuan untuk memilih jawaban yang paling benar, tetapi tidak bisa melihat apakah seseorang dapat melakukan pekerjaan berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya itu. e. Keterampilan (Skill) Skill adalah kemampuan untuk mampu melaksanakan tugas-tugas fisik dan mental tertentu. Seperti seorang dokter gigi memiliki kemampuan menambal dan mencabut gigi tanpa merusak syaraf, atau seorang programmer komputer memiliki kemampuan mengorganisasikan 50.000 kode dalam logika yang sekuensial.
Karakteristik kompetensi tersebut diklasifikasikan kedalam dua jenis yaitu hard skill dan soft skill. Hard skill merupakan kompetensi individu yang dapat diamati dan mudah dikembangkan (visible and developable), yang termasuk kedalam kompetensi ini yaitu pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill). Soft skill merupakan kompetensi yang tidak dapat diamati secara langsung dan lebih sulit untuk dikembangkan, yang termasuk kedalam kompetensi ini yaitu self concept , motive, dan trait.
18
Model Gunung Es
Model Lingkaran Terpusat
Permukaan: Lebih mudah dikembangkan
Keterampilan Sikap/Nilai
Sifat/Ciri bawaan, Motif Konsep diri Pengetahuan
Kepribadian Inti: Lebih sulit dikembangkan Sumber: Spencer dan Spencer (1993:11)
GAMBAR 2.1 KOMPETENSI MODEL GUNUNG ES DAN MODEL LINGKARAN TERPUSAT
Spencer dan Spencer mengilustrasikan seperti pada gambar 2.1. Dalam gambar tersebut, dijelaskan bahwa: 1) Motif: Hal yang dipikirkan secara teratur yang menyebabkan seseorang bertindak; 2) Sifat/Ciri bawaan: Karakteristik fisik dan respon yang diberikan secara teratur/konsisten dalam menghadapi suatu situasi atau informasi; 3) Konsep diri: Nilai, prinsip, sikap yang dianut; 4) Pengetahuan: Informasi yang dimiliki oleh seseorang dalam bidang tertentu; dan 5) Keterampilan: Kemampuan dalam melaksanakan pekerjaan fisik dan mental.
19
Kompetensi pengetahuan (knowledge competencies) dan keterampilan (skill) cenderung lebih tampak (visible) dan relatif berada dipermukaan sebagai salah satu karakteristik yang dimiliki manusia. Kompetensi konsep diri (selfconcept), sifat (trait) dan motif (motive) lebih tersembunyi (hidden), dalam (deeper) dan berada pada titik sentral kepribadian seseorang. Kompetensi pengetahuan
(knowledge competencies) dan kompetensi keterampilan (skill
competencies) relatif lebih mudah untuk dikembangkan dan program pelatihan adalah cara yang paling efektif untuk menjamin kemampuan pegawai. Inti kompetensi motif (motive) dan sifat (trait) berada pada dasar “personality iceberg” sehingga sulit untuk dinilai dan dikembangkan serta memakan biaya yang besar untuk memilih karakteristik tersebut. Sedangkan konsep diri (selfconcept) berada diantara keduanya. Sikap (attitudes) dan nilai (values) seperti percaya diri (self-confidence) dapat diubah melalui pelatihan dan psikoterapi atau pengalaman pengembangan yang positif, walaupun memerlukan jangka waktu yang lebih lama dan sulit (Spencer dan Spencer; 1993:11-12 dalam Tjutju Yuniarsih; 2008:24) Sejalan dengan karakteristik kompetensi di atas, Palan (2007:9) dengan memahami lima jenis karakteristik yang membentuk kompetensi, sekarang kita dapat menggali lima istilah dalam definisi kompetensi, yakni: a. Karakter dasar (underlying character) diartikan sebagai kepribadian seseorang yang cukup dalam dan berlangsung lama. Dalam definisi ini, karakter dasar mengarah kepada motif, karakteristik pribadi, konsep diri, dan nilai-nilai seseorang.
20
b. Kriteria referensi (criterion-referenced) berarti bahwa kompetensi dapat diukur bedasarkan kriteria atau standar tertentu. Dalam hal ini, karyawan yang berkinerja unggul, biasa dan rendah diamati serta dipelajari secara sistematis untuk mengetahui apa yang membentuk kinerja unggul , biasa, dan rendah tersebut. c. Hubungan kausal (causality relationship) mengindikasikan bahwa keberadaan suatu kompetensi dan pendemonstrasiannya memprediksi atau menyebabkan suatu kinerja menjadi lebih unggul. d. Kinerja unggul (superior performance) mengindikasikan tingkat pencapaian dari sepuluh persen tertinggi dalam suatu situasi kerja. e. Kinerja efektif (effective performance )adalah batas minimum level hasil kerja yang dapat diterima. Ini biasanya merupakan garis batas, dimana karyawan yang hasil kerjanya dibawah garis ini dianggap tidak kompeten untuk melakukan pekerjaan tersebut.
Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan Spencer dan Spencer serta Palan dapat disimpulkan bahwa kompetensi individu terdiri dari lima karakteristik dasar yang dapat mendasari perilaku individu untuk menghasilkan kinerja unggul dalam suatu organisasi. Kompetensi yang harus dimiliki individu dalam menciptakan kinerja unggul dijadikan sebagai karakteristik dasar dan harus memiliki kriteria referensi yang mengindikasikan bahwa kompetensi yang dimiliki individu harus dapar diukur sesuai dengan standar maupun kriteria tertentu.
2.1.1.3 Jenis Kompetensi Kerja Spencer dan Spencer (1993:15) dalam Tjutju Yuniarsih (2008:24), menyatakan bahwa berdasarkan kriteria yang digunakan untuk memprediksi kinerja suatu pekerjaan, kompetensi terbagi atas dua kategori yaitu: a. Kompetensi Ambang/dasar (Threshold Competencies), merupakan karakteristik utama yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat
21 melaksanakan pekerjaannya dengan baik, akan tetapi tidak membedakan seseorang yang berkinerja tinggi dengan kinerja rata-rata (meliputi pengetahuan (knowledge) atau keahlian dasar seperti kemampuan untuk membaca). b. Kompetensi Pembeda (Differentiating Competencies), merupakan faktor-faktor yang membedakan seseorang yang berkinerja tinggi dengan yang berkinerja rendah. Misalnya seseorang yang memiliki orientasi motivasi biasanya yang diperhatikan penetapan sasaran yang melebihi apa yang telah ditetapkan oleh organisasi. Contohnya kompetensi seorang sales yang memiliki motivasi tinggi dapat menetapkan sasaran jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kinerja pada tingkat rata-rata.
Hutapea et,al (2008:43) dalam Agung M.S.S (2009:31) menerangkan bahwa ada dua
jenis kompetensi yang sudah dikenal secara umum. Hutapea et,al
mengemukakan definisi kedua jenis kompetensi tersebut mengacu kepada definisi yang telah dikemukakan oleh Miller et, al. (2001:54), yaitu: a. Kompetensi teknis atau fungsional (hard competency), yaitu didefinisikan sebagai gambaran tentang apa yang harus diketahui atau dilakukan seseorang agar dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Konsentrasi kompetensi teknis adalah pada pekerjaan, yaitu untuk menggambarkan tanggung jawab, tantangan, dan sasaran kerja yang harus dilakukan atau dicapai oleh pemangku jabatan dapat berprestasi dengan baik. b. Kompetensi perilaku (soft competency), menggambarkan bagaimana seseorang diharapkan berperilaku agar dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Perlu diketahui bahwa perilaku akan teridentifikasi apabila seseorang memeragakannya dalam melaksanakan pekerjaan.
22
Kompetensi
Kompetensi Perilaku • Sikap, untuk Keterampilan/Keahlian mencapai tujuan perusahaan • Dapat digunakan untuk SDM Perusahaan Contoh: Tim kerja, kepemimpinan, komunikasi, Fokus terhadap pelanggan
Kompetensi Teknis • Kompetensi Teknik/Skill untuk mencapai tujuan Perusahaan Contoh: manajemen risiko
Sumber: Miller et., al. (2001:54) GAMBAR 2.2 JENIS KOMPETENSI Hubungan antara kompleksitas pekerjaan dan tingkat kompetensi teknis dan perilaku yang dibutuhkan bisa dijelaskan bahwa semakin kompleks suatu pekerjaan maka akan membutuhkan tingkat kompetensi perilaku yang lebih tinggi dan tingkat pengetahuan serta keahlian (kompetensi teknis) yang lebih rendah begitu juga sebaliknya. TABEL 2.1 PERBEDAAN ANTARA KOMPETENSI TEKNIS DAN KOMPETENSI PERILAKU Teknis (Hard Competency) Prilaku (Soft Competency) Bagian dari pekerjaan yang dapat dilihat; mudah untuk diperagakan Lebih mudah dikenal; di atas permukaan air Tergantung dari penugasan Membedakan antara yang melakukan dengan yang tidak melakukan
Bagian dari pekerjaan yang tidak mudah dilihat Tersembunyi; dibawah permukaan air Dapat diaplikasikan lebih umum Membedakan antara yang melakukakan di atas rata-rata dengan
23
Terfokus pada “Apa” dan “mengapa”“Apa” menentukan pengetahuan dan keahlian yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan;”Mengapa” menentukan tingkat pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan Sumber: Miller et., al. (2001:55)
yang melakukan secara biasa (ratarata) Terfokus pada”Bagaimana”Bagaimana suatu pekerjaan dilakukan?
Sedangkan Palan (2008:20) membagi kompetensi menjadi empat jenis berdasarkan kaitannya diberbagai level yang ada dalam organisasi, yaitu: a. Kompetensi Inti, sesuatu yang memiliki perusahaan, biasanya merupakan sekumpulan keahlian dan teknologi yang secara kolektif memberi keunggulan bersaing (competitive advantage) suatu perusahaan. Kompetensi ini bermula dengan mendefinisikan visi, strategi, dan sasaran organisasi. b. Kompetensi Fungsional (kompetensi teknis), kompetensi yang mendeskripsikan kegiatan kerja dan hasil, seperti pengetahuan dan keahlian yang diperlukan untuk melakukan sebuah pekerjaan. Kompetensi ini berhubungan dengan level posisi. c. Kompetensi Perilaku, adalah karakteristik dasar yang diperlukan untuk melakukan sebuah pekerjaan. Kompetensi ini berada pada level individu. d. Kompetensi Peran, berkaitan dengan level posisi. Kompetensi peran merujuk pada peran yang harus dijalankan oleh seseorang didalam sebuah tim. Berdasarkan pernyataan para ahli mengenai jenis kompetensi kerja dapat mengindikasikan bahwa setiap individu dalam organisasi harus memiliki kompetensi dasar untuk melaksanakan pekerjaannya guna membentuk kinerja unggul yang akan membentuk agregasi terhadap kinerja organisasi, yaitu akumulasi dari kompetensi individu yang memiliki kontribusi terhadap kinerja individu serta secara signifikan berkorelasi membentuk kinerja organisasi berdasarkan pada kompetensi inti, kompetensi fungsional, dan kompetensi perilaku, serta kompetensi peran.
24 2.1.1.4 Standar Kompetensi Kerja Standar kompetensi adalah rumusan kemampuan dan kinerja minimal yang harus dicapai pada satu kompetensi tertentu, yang diantaranya meliputi: a) Apa yang diharapkan dapat dikerjakan oleh seseorang; b) Seberapa jauh kinerja yang diharapkan tersebut dapat dicapai oleh seseorang; dan c) Bagaimana mengukur/membuktikan
bahwa
seseorang
telah
mencapai
kinerja
yang
diharapkan. Menurut Sulipan (2007:4) standar kompetensi adalah standar yang menjelaskan kompetensi yang dipersyaratkan untuk unjuk kerja yang efektif ditempat kerja, standar kompetensi dinyatakan dalam bentuk hasil di tempat kerja dengan pendefinisian pengetahuan, keterampilan, serta sikap kerja dan penerapan yang dibutuhkan untuk semua pekerjaan dalam perusahaan. Standar kompetensi menjelaskan kompetensi yang dibutuhkan untuk kinerja yang efektif. Standar kompetensi berperan sebagai patokan bagi pengujian, serta memiliki format yang baku, serta judul unit, uraian unit, elemen kompetensi, kriteria unjuk kerja, ruang lingkup, dan petunjuk bukti. Standar kompetensi menurut Sulipan (2007:4) diuraikan dalam tiga tingkat, yaitu sebagai berikut: a. Standar kompetensi perusahaan adalah persyaratan kompetensi bagi seseorang yang sesuai dengan perusahaan tertentu. Jadi, standar kompetensi itu harus harus berlaku disebuah perusahaan. b. Standar kompetensi industri merupakan persyaratan kompetensi yang berlaku umum untuk satu jenis industri atau satu sektor dari industri. Jadi, standar kompetensi ini berlaku dibeberapa perusahaan yang memiliki jenis industri yang sama atau sejenis. c. Standar kompetensi lintas industri merupakan persyaratan kompetensi yang berlaku antara kedua atau lebih dari dua jenis industri.
25 Standar kompetensi kerja yang dikemukakan diatas merupakan acuan bagi manajemen sumber daya manusia dalam menentukan standar kompetensi guna tercipta arahan yang baku dalam mengukur kompetensi individu dalam organisasi sebagai dasar dalam evaluasi kinerja berbasis kompetensi agar tercipta kinerja yang efektif.
2.1.1.5 Model Kompetensi Kerja Model kompetensi yang dikaitkan dengan strategi manajemen sumber daya manusia dimulai pada saat rekruitmen, seleksi, penempatan sampai dengan pengembangan karier pegawai sehingga pengembangan kompetensi pegawai tidak merupakan aktifitas yang “instant”. Sistem rekruitmen dan penempatan pegawai yang berbasis kompetensi perlu menekankan kepada usaha mengidentifikasi beberapa kompetensi calon pegawai seperti inisiatif, motivasi berprestasi dan kemampuan bekerja dalam tim. Palan (2007:33) Menyatakan model kompetensi didefinisikan sebagai representasi realitas komplek dunia (kenyataan). Kata model berasal dari kata ‘model’ dari kata latin ‘modulus’ yang berarti ukuran kecil dari sesuatu. Jadi model adalah miniature realitas. Sebuah model dapat dikatakan sebagai deskripsi analogi untuk membuat mengerti sesuatu yang komplek, fenomena apapun dapat dipresentasikan dengan model.
26
Perilaku JABATAN
Perilaku KOMPETENSI
Perilaku Perilaku
Sumber : Prihadi (2004:134)
GAMBAR 2.3 PENYUSUNAN MODEL KOMPETENSI KERJA
Menurut Prihadi (2004:134) penyusunan model kompetensi terdiri dari dua langkah pokok. Pertama melakukan analisis jabatan untuk memperoleh contoh-contoh perilaku yang khas dilakukan oleh orang dalam jabatan tersebut. Setuju yang efektif maupun yang kurang efektif. Langkah yang kedua mengklasifikasikan dan mengorganisasikan perilaku yang saling berkaitan erat dalam kelompok-kelompok perilaku tertentu. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa model kompetensi merupakan model yang diterapkan dalam strategi manajemen sumber daya manusia untuk menghasilkan pegawai yang berkompeten.
2.1.1.6 Strategi untuk Membangun Model Kompetensi Kerja Ada dua pendekatan untuk membuat model kompetensi dengan banyak pekerjaan yang berbeda-beda seperti menurut Palan (2007 : 36), yaitu: a. Model pendekatan universal, model ini merupakan model “satu ukuran untuk semua”. Penyusunan model ini memerlukan pembuatan sebuah model dengan seperangkat kompetensi yang berlaku untuk semua
27 pekerjaan. Biasanya dalam model ini diidentifikasi 10-15 kompetensi. Kompetensi tersebut adalah keahlian, karakteristik pribadi, dan nilainilai umum yang diperlukan untuk efektivitas sebuah kategori pekerjaan yang luas, seperti dalam semua posisi manajemen atau seluruh posisi dalam organisasi. Kompetensi tersebut tidak begitu terkait dengan fungsi atau pekerjaan tertentu. Kompetensi tersebut digunakan ketika manajemen puncak ingin mengirim pesan yang kuat tentang nilai-nilai dan keahlian yang diperlukan oleh semua orang dalam organisasi. b. Model pendekatan berganda (multiple), model ini mengambil seperangkat kompetensi generic, memodifikasi, mendefinisi ulang, dan menambahkannya untuk mendapatkan kompetensi yang terkait dengan pekerjaan tertentu. Pendekatan model berganda digunakan apabila model kompetensi diperlukan untuk banyak pekerjaan dan ketika pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak mempunyai banyak kesamaan.
Model kompetensi sangat mutlak diperlukan dalam organisasi karena model ini dapat merepresentasikan mengenai kebutuhan akan kompetensi yang dimiliki individu dalam memangku jabatannya, sehingga individu yang bekerja pada suatu organisasi dapat mengetahui mengenai tugas dan fungsinya sesuai dengan kemampuannya dan terpenuhinya prinsip the right man in the right place.
2.1.1.7 Manfaat Kompetensi Kerja Mengacu pada pendapat Ryllat, et.al;(1993) dalam Agung M.S.S (2009:35), kompetensi memberikan beberapa manfaat kepada karyawan, organisasi, industri, ekonomi daerah dan nasional, yakni sebagai berikut: a. Karyawan: 1) Memberikan kejelasan relevansi pembelajaran sebelumnya, kemampuan untuk mentransfer keterampilan, nilai dari kualifikasi yang diakui, dan potensi pengembangan karier. 2) Memberikan kesempatan bagi karyawan untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan melalui akses sertifikasi menasional berbasis standar yang ada. 3) Menempatkan sasaran sebagai sarana pengembangan karier.
28 4) Kompetensi yang dimiliki sekarang dan manfaatnya akan dapat memberikan nilai tambah pada pembelajaran dan pertumbuhan. 5) Memberikan pilihan perubahan karier yang lebih jelas. Untuk berubah pada jabatan baru, seseorang dapat membandingkan kompetensi mereka sekarang dengan kompetensi yang diperlukan untuk jabatan baru. Kompetensi baru yang dibutuhkan mungkin hanya berbeda 10% dari yang dimiliki. 6) Penilaian kinerja yang lebih objektif dan umpan balik berbasis standar kompetensi yang ditentukan dengan jelas. 7) Meningkatkan keterampilan dan “marketability” sebagai karyawan. b. Organisasi: 1) Membuat pemetaan yang akurat mengenai kompetensi angkatan kerja yang ada dan yang dibutuhkan. 2) Meningkatkan efektivitas rekrutmen dengan cara menyesuaikan kompetensi yang diperlukan dalam pekerjaan dengan yang dimiliki pelamar. 3) Memberikan pendidikan dan pelatihan difokuskan pada kesenjangan keterampilan dan persyaratan keterampilan perusahaan yang lebih khusus. 4) Memberikan akses pada pendidikan dan pelatihan yang lebih efektif dari segi biaya berbasis kebutuhan industri dan identifikasi penyedia pendidikan dan pelatihan internal dan eksternal berbasis kompetensi yang diketahui. 5) Proses pengambilan keputusan dalam organisasi akan lebih percaya diri karena karyawan telah memiliki keterampilan yang akan diperoleh dalam pendidikan dan pelatihan. 6) Penilaian pada pembelajaran sebelumnya dan penilaian hasil pendidikan dan pelatihan akan lebih reliabel dan konsisten. 7) Mempermudah terjadinya perubahan melalui identifikasi kompetensi yang diperlukan untuk mengelola perubahan. c. Industri: 1) Mengidentifikasi dan menyesuaikan yang lebih baik atas keterampilan yang dibutuhkan untuk industri. 2) Memiliki akses yang lebih besar terhadap pendidikan dan pelatihan sektor publik yang relevan terhadap industri. 3) Menetapkan dasar pemahaman yang umumnya dan jelas atas hasil pendidikan dan pelatihan industri melalui sertifikasi pencapaian kompetensi individu. 4) Percaya diri yang lebih besar karena kebutuhan industri telah terpenuhi sebagai hasil penilaian berbasis standar. 5) Menetapkan dasar sistem kualifikasi nasional yang relevan untuk industri. 6) Efisiensi penyampaian yang lebih besar dan berkurangnya usaha pendidikan dan pelatihan ganda. 7) Meningkatnya tanggung jawab dunia pendidikan dan penyedia pendidikan dan pelatihan atas hasil pendidikan dan pelatihan.
29 8) Mendorong pengembangan keterampilan yang luas dan relevan dimasa depan. d. Ekonomi Daerah dan Nasional: 1) Meningkatnya format keterampilan untuk bersaing di pasar domestik dan internasional. 2) Mendorong investasi internasional baru pada industri dimana angkatan kerja terampil sangat diperlukan. 3) Lebih efisien dari segi biaya, pendidikan kejuruan dan standar pendidikan dan pelatihan yang relevan dan bertanggung jawab. 4) Akses individu pada industri yang diakui dan kompetensi yang relevan dan sesuai dengan keinginan industri. 5) Penilaian yang konsisten secara nasional mengenai standar industri yang relevan menjadi mungkin. 6) Meningkatnya modal dan akses individu melalui diketahuinya kebutuhan industri yang jelas dan melalui pengakuan pembelajaran sebelumnya terhadap standar yang ada.
Kompetensi memiliki peran yang sangat penting dalam suatu organisasi dan memiliki manfaat bagi stakeholder organisasi yang terdiri dari karyawan, organisasi, industri, ekonomi daerah dan nasional.
2.1.2
Motivasi Kerja
2.1.2.1 Pengertian Motivasi Kerja Istilah motivasi (motivation) berasal dari bahasa latin “ movere “ yang berarti “menggerakan” (to move). Kata ini mempunyai arti kekuatan yang menggerakan orang untuk berupaya. Motivasi menurut Stephen P. Robbins (2006:213) adalah sebagai proses yang ikut menentukan intensitas, arah dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran. Sedangkan menurut McFarland dalam Wirjana (2007:82), “Motivasi ialah cara bagaimana dorongan, keinginan, rangsangan, aspirasi, semangat atau kebutuhan mengendalikan atau menerangkan perilaku manusia”.
30 Edwin Flippo (1984:392) menyatakan bahwa motivasi dapat diartikan: “Direction or motivation is essence, it is a skill in aligning employee and organization interest so that behavior result in achievement of employee want simultaneously with attainment or organizational
objectives”. Arahan dan
motivasi adalah hal yang penting, hal tersebut merupakan suatu keahlian dalam mengarahkan pegawai dan kepentingan organisasi sehingga perilaku organisasi mengarah pada pencapaian tujuan pegawai yang searah dengan pencapaian dan tujuan organisasi. De cenzo dan Robbins (1999:100) menyatakan: Motivation is the willingness to do something where this something is conditioned by its ability to satisfy some need for the individual. Motivasi adalah keinginan untuk melakukan hal dimana hal tersebut dipengaruhi oleh kemampuan untuk memuaskan beberapa kebutuhan individu. Pendapat lain menurut Henry Simamora (2004:510) menyatakan “motivasi adalah sebuah fungsi dari pengharapan individu bahwa upaya tertentu akan menghasilkan tingkat kinerja tertentu yang pada gilirannya, akan membuahkan imbalan atau hasil yang dikehendaki.” Sedangkan Veithzal Rivai (2009:837) berpendapat bahwa “motivasi adalah serangkaian sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi individu untuk mencapai hal yang spesifik sesuai dengan tujuan individu”. Uraian dari semua pengertian motivasi menurut para ahli tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa motivasi merupakan sesuatu yang dapat mendorong seseorang atau pegawai baik yang timbul dari dalam dirinya maupun dari luar
31 untuk menentukan sikap atau tindakan dalam usaha mencapai hal yang spesifik sesuai dengan tujuannya. Dari analisa definisi tersebut diatas, kita dapat menemukan ciri-ciri motivasi sebagai berikut (Wirjana, 2007: 82): a. Motivasi adalah fenomena psikologis, perasaan internal yang terjadi dalam diri seseorang. Faktor-faktor yang memotivasi itu ada dibawah kesadaran, oleh karena itu, perlu dibangunkan oleh aksi atau tindakan manajerial. b. Motivasi didasari kebutuhan-kebutuhan yang bisa dirasakan secara sadar atau tidak sadar . c. Tujuan merupakan motivator (yang memotivasi), motivasi menyebabkan perilaku yang ditujukan untuk mencapai tujuan, suatu perasaan kebutuhan seseorang menyebabkan dia berperilaku demikian untuk mendapatkan pemuasan kebutuhan tadi. d. Motivasi itu berada dari kepuasan, motivasi berarti suatu dorongan menuju hasil (outcome), sedangkan kepuasan mengimplikasikan hasil yang pernah dialami, dan kepuasan yang telah dicapai adalah kesenangan yang didapat bila keinginan terpenuhi. e. Motivasi adalah proses berkesinambungan dan proses yang terus berlangsung. f. Motivasi berhubungan dengan seseorang dalam kebutuhannya. Pada dasarnya motivasi dapat memacu pegawai untuk bekerja keras sehingga dapat mencapai tujuan mereka. Hal ini akan meningkatkan kinerja pegawai sehingga berpengaruh pada pencapaian tujuan organisasi. Sumber motivasi ada tiga faktor, yakni: (1) kemungkinan untuk berkembang, (2) jenis pekerjaan, (3) apakah mereka dapat merasa bangga menjadi bagian dari perusahaan tempat mereka bekerja. Disamping itu terdapat beberapa aspek yang berpengaruh terhadap motivasi kerja pegawai menurut Veithzal Rivai (2009:838) yakni, rasa aman dalam bekerja, mendapatkan gaji yang adil dan kompetitif, lingkungan kerja yang menyenangkan, penghargaan atas prestasi kerja dan perlakuan yang adil dari manajemen.
32
Berhubungan dengan hal itu Wirjana ( 2007:85) membagi motivasi kedalam dua tipe, yaitu tipe positif dan tipe negatif: a. Tipe positif, sebenarnya motivasi bermakna positif : Motivasi mendorong seseorang untuk berbuat sebaik mungkin dan untuk memperbaiki kinerja mereka. b. Tipe negatif, motivasi ini bertujuan untuk mengendalikan upaya-upaya negatif dalam lingkup pekerjaan dan bertujuan untuk menimbulkan rasa takut pada karyawan, bila tidak memberikan kinerja yang baik. McClelland (Harbani Pasolong, 2008:143-144) mengemukakan bahwa: Teori motivasi kerja yang berhubungan erat dengan teori pembelajaran (learning theory). Teori ini berusaha untuk menjelaskan achievement oriented behavior yang didefinisikan sebagai perilaku yang diserahkan terhadap tercapainya standard of excellent. Menurut teori ini, seseorang mempunyai needs for achievement yang tinggi selalu mempunyai pola pikir tertentu ketika ia merencanakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan, yaitu selalu mempertimbangkan pekerjaan yang akan dilakukan itu cukup menantang atau tidak. Jika pekerjaan yang dihadapinya, maka ia berpikir tentang kekuatan, peluang, dan ancaman yang mungkin dihadapi dalam mencapai tujuan tersebut dan menentukan strategi yang tepat untuk melaksanakannya. Berdasarkan beberapa definisi di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa: a) Motivasi merupakan dorongan dari individu untuk mencapai sasaran atau tujuannya; b) Motivasi merupakan tindakan dari individu guna mencapai tujuan yang didasari untuk memenuhi kebutuhannya; dan c) Motivasi secara psikologis dapat membentuk perilaku manusia yang direpleksikan dalam tindakan untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga perlu adanya tindakan manajerial baik yang positif maupun negatif.
33
2.1.2.2 Teori Motivasi Kerja Untuk memahami tentang motivasi kerja hendaknya terlebih dahulu kita harus mengetahui teori-teori yang berkenaan dengan motivasi kerja, karena hal ini didasari sekurang-kurangnya pada dua alasan: (1) teori-teori ini menjadi fondasi, dan dari situ berkembang tori-teori yang kontemporer, (2) para manajer aktif masih menggunakan teori-teori ini dan terminologinya secara teratur dalam menjelaskan motivasi karyawan (Robbins, 2007:214 ). Stephen P. Robbins (2007:156-175) mengemukakan beberapa teori motivasi diantaranya adalah: a. Teori Hierarki Kebutuhan (Hierarchy of Needs Theory) Teori ini diungkapkan oleh Abraham Maslow dan terkenal dengan kebutuhan Maslow. Hipotesisnya mengatakan bahwa didalam diri semua manusia bersemayam lima jenjang kebutuhan, yaitu: a) Kebutuhan Psikologis, b) Kebutuhan Keamanan, c) Kebutuhan Sosial, d) Kebutuhan Penghargaan, e) Kebutuhan Aktualisasi Diri. Maslow memisahkan kelima kebutuhan itu sebagai tingkat tinggi dan tingkat rendah. Kebutuhan psikologis dan kebutuhan akan keamanan digambarkan sebagai kebutuhan tingkat rendah, sementara kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri merupakan kebutuhan tingkat tinggi. Teori kebutuhan Maslow diatas merupakan teori kebutuhan yang memiliki bentuk hierarki tetapi untuk saat ini kebutuhan manusia tidak hanya didasari akan jenjang atau tingkatan kebutuhan tetapi kebutuhan manusia bersifat simultan artinya kebutuhan manusia itu dari tingkatan yang paling dasar sampai yang paling tinggi tidak dapat dipisahkan atau kebutuhan tersebut diperlukan secara bersamaan. b. Teori X dan Teori Y (Theory X and Theory Y) Teori ini disampaikan oleh Douglas McGregor, mengemukakan dua pandangan yang jelas berbeda mengenai manusia. Pada dasarnya yang satu negatif yang ditandai sebagai Teori X, dan yang lain positif yang ditandai dengan Teori Y. McGregor merasa bahwa manajemen memerlukan praktek-praktek yang didasarkan atas pengertian tentang hakekat dan motivasi manusia yang lebih cermat. a) Teori X: (1) sifat pekerjaan adalah tidak disukai, (2) kebanyakan orang tidak mempunyai ambisi, mempunyai sedikit keinginan akan tanggung jawab, dan suka diarahkan, (3) kebanyakan orang mempunyai sedikit kemampuan untuk kreatifitas dalam memecahkan masalah-masalah organisasi, (4) motivasi hanya
34 terjadi pada tingkat fisiologi dan keamanan, (5) kebanyakan orang harus dikendalikan secara ketat dan sering dipaksa untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. b) Teori Y: (1) pekerjaan sebagai permainan apabila kondisi-kondisi menguntungkan, (2) pengendalian diri sering sangat diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi, (3) keamanan untuk kreatifitas dalam memecahkan masalah-masalah organisasi dibagikan secara luas kepada banyak orang, (4) motivasi terjadi pada tingkat sosial, penghargaan dan aktualisasi diri, maupun pada tingkat fisiologis dan keamanan, (5) orang-orang dapat mengarahkan sendiri dan kreatif dalam pekerjaan, apabila dimotivasi secukupnya. Teori X dan Teori Y menurut Douglas Mc Gregor di atas menjelaskan tipe pandangan manusia dalam pekerjaannya, sehingga manajer dapat menentukan sikap atau tindakan untuk mempengaruhi anggotanya. Dalam mengelola pegawai berdasarkan teori tersebut dianjurkan untuk menggunakan Teori Y. c. Teori Dua Faktor (Two Factor Theory) Teori ini disampaikan oleh Frederick Herzberg yang terkenal dengan motivation-higiene theory, berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Herzberg, tiba pada suatu keyakinan bahwa dua kelompok faktor yang mempengaruhi perilaku adalah (dalam Halim, 1998:45): a) Hygiene factor, faktor ini berkaitan dengan konteks kerja dan arti lingkungan kerja bagi individu. Faktor-faktor higienis yang dimaksud adalah kondisi kerja, dasar pembayaran (gaji) kebijakan organisasi, hubungan interpersonal, dan kualitas pengawasan. b) Satisfier factor, faktor pemuas yang dimaksud berhubungan dengan isi kerja dan definisi bagaimana seseorang menikmati atau merasakan pekerjaannya. Faktor yang dimaksud adalah prestasi, pengakuan, tanggung jawab, dan kesempatan untuk berkembang. Teori dua faktor diatas menjelaskan bahwa manusia dalam melaksanakan pekerjaannya tidak hanya membutuhkan faktor-faktor yang termasuk kedalam konteks kerja dan lingkungan kerja tetapi juga faktor-faktor yang termasuk ke dalam isi kerja, sehingga kedua faktor dari teori di atas harus menyatu secara simultan. d. Theory ERG Teori ERG menurut Clayton Alderfer terdapat tiga kebutuhan yang melandasi motivasi seseorang yaitu kebutuhan Existence, kebutuhan Relatedness, kebutuhan Growth. Sedangkan menurut John W. Atkinson mengusulkan ada tiga macam dorongan yang mendasar dalam diri orang untuk termotivasi, diantaranya kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement), kebutuhan kekuatan (need for power) dan kebutuhan untuk berafiliasi (need for affiliation).
35 e. Teori Kebutuhan McClelland (McClelland’s Theory of Needs) Teori Kebutuhan McClelland menganalisis tiga kebutuhan manusia yang sangat penting dalam organisasi atau perusahaan tentang motivasi dengan memfokuskan pada tiga hal yaitu: a) Kebutuhan untuk mencapai prestasi (need for achievement), kemampuan untuk mencapai hubungan kepada standar perusahaan yang telah ditentukan juga perjuangan karyawan untuk menuju keberhasilan. b) Kebutuhan untuk mencapai kekuasaan (need for power), kebutuhan untuk membuat orang berperilaku dalam keadaan yang wajar dan bijaksana dalam tugasnya masing-masing. c) Kebutuhan untuk berafiliasi (need for affiliation), hasrat untuk bersahabat dan mengenal lebih dekat rekan kerja atau para karyawan di dalam organisasi. Memotivasi karyawan berdasarkan teori kebutuhan dari Mc Clelland tentunya organisasi perlu menetapkan standar dan aturan serta kondisi lingkungan yang kondusif, sehingga kebutuhan karyawan akan prestasi, kekuasaan, dan hubungan persahabatan akan tercapai. f. Teori Evaluasi Kognitif (Cognitive Evaluation Theory) Menurut teori ini, pengalokasian kesadaran akan adanya berbagai penghargaan bagi lingkungan yang sebelumnya hakikat nilai-nilai penghargaan memelihara bagi pengurangan keseluruhan tingkat dari motivasi. Dalam sejarah teori motivasi umum, berasumsi bahwa intrinsik motivasi seperti prestasi, tanggung jawab, dan kompetensi merupakan nilai-nilai yang tidak terikat pada ekstrinsik motivasi. Hal tersebut salah satunya tidak memberikan pengaruh bagi yang lainnya. Akan tetapi, teori evaluasi kognitif memberikan sugesti dalam bentuk lain. Teori ini mengargumentasikan bahwa saat penggunaan beberapa penghargaan ekstrinsik dalam beberapa organisasi atau perusahaan sebagai pembayaran bagi kinerja yang unggul , penghargaan intrinsik dari apa yang disukai untuk dikerjakan seseorang akan berkurang. Dengan kata lain, ketika penghargaan ekstrinsik diberikan kepada seseorang dalam bentuk sebuah penugasan yang penting, hal ini disebabkan keinginan intrinsik di dalam dirinya sendiri mengalami penurunan. g. Teori Menentukan Sasaran ( Goal-Setting Theory) Teori ini menekankan pada pembuatan tujuan yang spesifik dengan umpan balik berupa kinerja yang lebih tinggi. Teori menentukan sasaran ( Goal-Setting Theory) memusatkan pada proses penentuan sasaran diri mereka sendiri. Menurut ahli psikologi Edwin Locke, kecenderungan sifat manusia untuk menentukan sasaran dan berjuang keras untuk mencapainya hanya bermanfaat bahkan saat orang tersebut memahami dan menerima sasaran tertentu. h. Teori Penguatan ( Reinforcement Theory) Menurut ahli psikologi B. F. Skinner, konsekuensi tingkah laku dimasa lampau mempengaruhi tindakan masa depan dalam proses
36 belajar psikis. Proses ini dinyatakan sebagai: rangsangan- responskonsekuensi-respons masa depan. Pendekatan pada motivasi berdasarkan “hukum pengaruh” bahwa tingkah laku dengan konsekuensi yang negatif cenderung untuk tidak diulang. i. Teori Motivasi Intrinsik (Hakikat) Dikemukakan oleh Ken Thomas, menggambarkan para karyawan memiliki motivasi hakiki (intrinsik) pada saat mereka benar-benar peduli mengenai pekerjaan mereka, menemukan cara terbaik untuk melakukan pekerjaan, memiliki energi dan penuh semangat melaksanakan pekerjaan tersebut dengan sebaik-baiknya. Model Thomas yang mengemukakan bahwa motivasi intrinsik akan tercapai pada saat seseorang memiliki pengalaman beberapa perasaan dari pilihan, kemampuan, penuh pengertian dan kemajuan. Keempat komponen motivasi intrinsik secara signifikan berhubungan dengan perbaikan kepuasan kerja dan meningkatkan kinerja sebagai dasar pengawasan. j. Teori Keadilan (Equity Theory) Teori ini disampaikan oleh Jane yang menggambarkan bahwa persamaan dalam motivasi. Karyawan membandingkan input dalam pekerjaan seperti usaha, pengalaman, pendidikan dan kompetensi. Begitu juga dengan outputnya seperti gaji, tingkat dalam posisi, promosi dan pengakuan lingkungan terhadap diri mereka. Menurut teori keadilan, faktor utama dalam motivasi pekerjaan adalah evaluasi individu atas keadilan dari penghargaan yang diterima. k. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) Victor Vroom mengembangkan suatu model motivasi yang disebut teori pengharapan. Teori ini terdiri dari unsur-unsur Expectancy, Instreumentality, dan Valance. Expectancy adalah hubungan dimana seseorang mempercayai antara usaha dan kemampuan dengan hasilnya diukur dalam sistem pengukuran prestasi organisasi (Hubungan Upaya Kinerja). Instrumentallity adalah hubungan antara kinerja yang diukur dengan hasil yang diharapkan untuk individu (Hubungan Kinerja Ganjaran), sedangkan Valance adalah nilai dimana seseorang menugaskan pada hasil yang disediakan untuk individu dari organisasi sebagai hasil pengukuran prestasi normal (Hubungan Ganjaran Tujuan Pribadi ) teori pengharapan membantu menjelaskan mengapa banyak sekali pekerja tidak termotivasi pada pekerjaannya dan semata-mata hanya melakukan pekerjaan minimal untuk menyelamatkan diri. Teori pengharapan diatas berkenaan dengan prestasi kerja dan kinerja karyawan sehingga untuk memotivasi perlu adanya pengukuran kinerja dari hasil prestasi yang dicapai secara berkala.
Demikian beberapa teori motivasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli, dimana motivasi yang dimiliki oleh seorang pekerja dalam suatu organisasi atau
37 perusahaan merupakan suatu bentuk dorongan keinginan untuk mencapai tujuan atau harapan yang ingin dicapai juga dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari dalam maupun dari luar organisasi atau perusahaan, dan bisa juga dari dalam atau luar pribadi pegawai sendiri. Faktor dari dalam diri sendiri (intrinsik) dapat berupa kepribadian, sikap, pengalaman dan pendidikan, atau berbagai harapan, cita-cita yang menjangkau ke masa depan. Sedangkan faktor dari luar (ekstrinsik) dapat ditimbulkan oleh berbagai sumber, bisa karena pengaruh pemimpi, rekan kerja, lingkungan atau faktor-faktor lain yang sangat kompleks. Berdasarkan teori jenjang kebutuhan yang dikemukakan oleh McClelland dalam Harbani Pasolong (2008:143-144) di atas, semakin jelas terlihat bahwa tingkat motivasi seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan dilandaskan sampai seberapa jauh jenjang kebutuhan yang dimilikinya telah terpenuhi. Hal ini berarti bahwa semangat untuk melakukan pekerjaan tergantung kepada sampai seberapa jauh imbalan yang diperoleh atas pekerjaan yang dilakukan tersebut dalam memenuhi jenjang kebutuhan yang dimiliki oleh seseorang. Dalam penelitian ini, ketiga jenjang kebutuhan dari McClelland dalam Harbani Pasolong (2008:143-144) tersebut dijadikan sebagai indikator-indikator dari motivasi kerja, yaitu terdiri dari: a. Kebutuhan untuk mencapai keberhasilan atau prestasi (need for achievement) Kebutuhan akan keberhasilan atau prestasi adalah dorongan untuk mengungguli berprestasi sehubungan dengan standar perusahaan yang telah ditentukan juga perjuangan karyawan untuk menuju keberhasilan.
38 b. Kebutuhan untuk mencapai kekuasaan (need for power) Kebutuhan akan kekuasaan adalah keinginan
untuk memiliki pengaruh,
menjadi yang berpengaruh serta dapat mengendalikan orang lain. Individu dengan power tinggi suka bertanggung jawab, berjuang untuk mempengaruhi individu lain, senang ditempatkan dalam situasi yang kompetitif dan berorientasi status, serta cenderung lebih khawatir dengan wibawa dan mendapatkan pengaruh atas individu lain dari pada kinerja yang efektif. c. Kebutuhan untuk mencapai hubungan (need for affiliation) Kebutuhan akan hubungan adalah hasrat untuk hubungan antar pribadi, pribadi dengan kelompok, dan pribadi dengan lingkungan sekitarnya. Individu mempunyai dorongan akan persahabatan dan lebih senang dengan situasi yang co-operative dari pada situasi yang kompetitif. Mereka memiliki keinginan yang kuat untuk membina persahabatan yang erat dan untuk menerima kasih sayang dari orang lain.
Mereka secara terus menerus
berusaha menciptakan hubungan persahabatan. Kebutuhan ini menjadi daya penggerak yang akan memotivasi semangat bekerja seseorang.
2.1.2.3 Prinsip-Prinsip Motivasi Sumber Daya Manusia Menurut Wijarna (2007:86) suatu sistem motivasi yang baik harus didasari prinsip-prinsip yang disusun oleh banyak ahli dari waktu ke waktu. Di bawah ini ada beberapa prinsip motivasi, yaitu: a. Prinsip partisipasi, prinsip ini merupakan prinsip motivasi yang paling penting, yang mengatakan bahwa orang-orang dalam organisasi harus didorong untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hal-hal yang terkait dengan mereka.
39 b. Prinsip komunikasi, orang-orang dalam organisasi harus diberi informasi tentang hasil ataupun sasaran organisasi. c. Prinsip pengakuan , orang-orang akan termotivasi untuk bekerja lebih keras bila mereka mendapat pengakuan yang kontinu atas upaya mereka. d. Prinsip pendelegasian wewenang atau otoritas, orang-orang didalam organisasi harus diperbolehkan untuk mengambil tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi tujuan organisasi melalui pendelegasian wewenang untuk mencapai hasil. e. Prinsip individualitas, masing-masing orang berbeda secara fisik dan psikologis. f. Prinsip pengarahan atau bimbingan, tugas manajemen adalah membimbing karyawannya untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. g. Prinsip kepercayaan, manajemen harus menunjukkan kepercayaan kepada karyawannya.
Salah satu kewajiban pemimpin adalah memberikan motivasi kepada anggotanya dengan tujuan untuk meningkatkan semangat, moral, dan kepuasan kerja, sehingga pimpinan diharuskan untuk memahami serta mengaplikasikan dari prinsip-prinsip motivasi di atas. Berdasarkan uraian tentang motivasi di atas, kiranya cukup jelas bahwa perilaku yang timbul pada diri seseorang karena didorong oleh adanya berbagai macam kebutuhan yang menuntut pemenuhan. Dengan demikian sikap dan perilaku selalu berorientasi pada tujuan, yaitu terpenuhinya kebutuhan yang diinginkan atau kebutuhan yang menuntut pemenuhannya. Demikian pula setiap perilaku yang ditampilkan seseorang dalam rangka kehidupan organisasi tidak dapat terlepas dari usahanya untuk mewujudkan suatu kepuasan atas pemenuhan kebutuhannya. Jadi, menurut McClelland, jika kita ingin memotivasi seseorang, kita perlu mendorong pada jenjang kebutuhan yang manakah bagi orang itu dan memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut.
40 2.1.3 Kepuasan Kerja 2.1.3.1 Pengertian Kepuasan kerja Kepuasan kerja merupakan hal penting yang dimiliki individu di dalam bekerja. Setiap individu pekerja memiliki karakteristik yang berbeda-beda, maka tingkat kepuasan kerjanya pun berbeda-beda pula. Tinggi rendahnya kepuasan kerja
tersebut dapat memberikan dampak yang tidak sama. Hal itu sangat
tergantung pada sikap mental individu yang bersangkutan sebagaimana Roe dan Byars (1992:367-368) mengatakan bahwa: Job satisfaction refers to individuals mentals set may be positif or negatif, depending on individual mental set concerning the major components of job satisfaction. Kepuasan kerja yang tinggi sangat memungkinkan untuk mendorong terwujudnya tujuan suatu lembaga atau perusahaan. Sementara tingkat kepuasan kerja yang rendah merupakan ancaman yang akan membawa kehancuran lembaga atau perusahaan segera maupun secara perlahan. William B. Werther Jr. dan Keith Davis (1982:273) mengemukakan, bahwa: Job Satisfaction is the favorableness or Unfavorableness with which employees view their work. Pendapat ini sama seperti dikemukakan oleh Davis dan Newstrom (1996:99) yang menyatakan bahwa: Job satisfaction is a set of favorable or unfavorable feelings with which employees view they work. Dari keduanya menampakan suatu pendapat bahwa kepuasan kerja itu sangat berkaitan dengan sikap pandangan, bahkan perasaan pegawai terhadap pekerjaannya yang menyenangkan atau sebaliknya bisa tidak menyenangkan. Sedangkan Stephen P. Robbin (2003:91) menyatakan bahwa kepuasan kerja sebagai suatu sikap umum
41 seorang individu terhadap pekerjaannya. Demikian juga Gibson, Ivancevich dan Donells mengatakan bahwa kepuasan kerja ialah sikap seseorang terhadap pelayanan mereka, sikap itu berasal dari persepsi mereka tentang pekerjaanya. George dan Jones (1997:71) menyatakan bahwa “Job satisfaction is the collection of feelings, beliefs, and thought about how to be have with respect to one’s current job” (Kumpulan perasaan, keyakinan, dan pikiran tentang bagaimana respon seseorang terhadap pekerjaannya). Hoppeck dalam As’ad (1999:104) Kepuasan kerja merupakan penilaian dari pekerja yaitu seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya. Kreitner dan Kinicki (2001:224) dalam Wibowo (2007:300) menyatakan bahwa “Kepuasan kerja merupakan respons affective atau emosional terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang”. Gibson, Ivancevich, dan Donelly seperti dikutip oleh Agus Dharma (1996:67) menyatakan bahwa: Kepuasan kerja adalah sikap seseorang karyawan terhadap pekerjaannya, sikap itu berasal dari persepsi mereka tentang pekerjaannya. Kepuasan kerja berasal dari berbagai aspek kerja seperti: gaji, kesempatan mengembangkan karier, pengawasan, dan rekan kerja. Kepuasan kerja juga berasal dari faktor lingkungan kerja seperti gaya pengawasan, kebijaksanaan, prosedur, kondisi kerja dan tunjangan. Veithzal Rivai (2004:475) mengungkapkan “kepuasan kerja merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang atau tidak puas dalam bekerja”. Sedangkan Sondang P. Siagian (1998:126) mengemukakan bahwa: Kepuasan kerja adalah sikap umum seseorang karyawan terhadap pekerjaannya, artinya secara umum dapat dirumuskan bahwa seorang yang memiliki rasa puas terhadap pekerjaannya akan mempunyai sikap positif terhadap organisasi dimana dia bekerja. Sebaliknya orang yang merasa tidak puas dengan pekerjaannya apapun faktor yang menyebabkan
42 ketidakpuasan itu, misalnya gaji yang rendah, pekerjaan yang membosankan, kondisi kerja yang kurang memuaskan, maka akan cenderung bersikap negatif terhadap organisasi tempat dia bekerja.
Berdasarkan berbagai pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan sekumpulan perasaan seseorang karyawan terhadap pekerjaannya, apakah senang/suka atau tidak senang/tidak suka sebagai hasil interaksi seseorang dengan lingkungan pekerjaannya atau sebagai persepsi sikap mental juga sebagai hasil penilaian seseorang karyawan terhadap pekerjaannya. Perasaan seseorang karyawan terhadap pekerjaan sesungguhnya sekaligus merupakan pencerminan dari sikap perilakunya terhadap pekerjaan.
2.1.3.2 Teori-Teori Kepuasan Kerja Banyak sekali teori-teori tentang kepuasan kerja yang dibahas para ahli, akan tetapi teori-teori yang berkenaan dengan kepentingan pembahasan dalam bab ini lebih menekankan kepada : (1) Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy Theory), (2) Teori Keadilan (Equity Theory), dan (3) Teori Dua Faktor (Two Factor Theory). Hal tersebut hampir senada dengan pendapat Veithzal Rifai (2009:856), yang mengungkapkan
bahwa ada beberapa teori yang menyatakan tentang
kepuasan kerja diantaranya adalah: a. Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy Theory) Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara sesuatu yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Sehingga apabila kepuasannya diperoleh melebihi dari yang diinginkan, maka orang akan menjadi lebih puas lagi, sehingga terdapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy yang positif. Kepuasan
43 kerja seseorang tergantung pada selisih antara sesuatu yang dianggap akan didapatkan dengan apa yang dicapai. b. Teori Keadilan (Equity Theory) Teori ini mengemukakan bahwa orang merasa puas atau tidak puas tergantung pada ada atau tidaknya keadilan (equity) dalam suatu situasi, khususnya situasi kerja. Menurut teori ini komponen utama dalam teori keadilan adalah input, hasil, keadilan dan ketidakadilan. Input adalah faktor bernilai bagi karyawan yang dianggap mendukung pekerjaanya, seperti pendidikan, pegnalaman, kecakapan, jumlah tugas dan peralatan, atau perlengkapan yang dipergunakan untuk melaksanakan pekerjaanya. Hasilnya adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seorang karyawan yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti: upah/gaji, keuntungan sampingan, simbol, status, penghargaan, dan kesempatan untuk berhasil atau aktualisasi diri. Sedangkan orang selalu membandingkan dapat berupa seseorang diperusahaan yang sama atau ditempat lain atau bisa dengan dirinya dimasa lalu. Menurut teori ini setiap karyawan akan membandingkan rasio input, hasil dirinya dengan dengan rasio input hasil orang lain. Bila perbandingan itu dianggap cukup adil, maka karyawan akan merasa puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan bisa menimbulkan kepuasan, tetapi bisa pula tidak. Tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang akan timbul ketidakpuasan. c. Teori Dua Faktor (Two Factor Theory) Menurut teori ini kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu bukan suatu variabel yang kontinu. Teori ini merumuskan karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok yaitu satisfies atau motivator dan dissatisfies. Satisfies ialah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari: pekerjaan yang menarik, penuh tantangan, ada kesempatan untuk berprestasi, kesempatan memperoleh penghargaan dan promosi. Terpenuhinya faktor tersebut akan menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Dissatisfies (hygiene factors) adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari: gaji/upah, pengawasan, hubungan antar pribadi, kondisi kerja dan status. Faktor ini diperlukan untuk memenuhi dorongan biologis serta kebutuhan dasar karyawan. Jika tidak terpenuhi faktor ini, karyawan tidak akan puas. Namun, jika besarnya faktor ini memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karyawan tidak akan kecewa meskipun belum terpuaskan.
Teori-teori kepuasan kerja yang dikemukakan di atas merupakan landasan dalam meminimalisir ketidakpuasan kerja berupa perhitungan atau penaksiran
44 antara sesuatu yang dilaksanakan dengan yang akan dicapai, implementasi pimpinan dalam organisasi untuk memperlakukan bawahannya.
2.1.3.3 Faktor-Faktor Penentu Kepuasan Kerja Ternyata banyak faktor penentu kepuasan kerja, faktor-faktor yang akan dibahas dimaksudkan untuk memenuhi pertanyaan tentang apa yang diukur dalam variabel kepuasan kerja. Banyak peneliti memperlihatkan sejumlah aspek situasi yang berbeda sebagai sumber yang penting dari kepuasan kerja. Beberapa ahli mengemukakan faktor-faktor kepuasan kerja sebagai berikut: a. Faktor-faktor yang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seorang karyawan menurut Veithzal Rivai (2009:860) adalah: (1) Isi pekerjaan, penampilan tugas pekerjaan yang aktual dan sebagai kontrol terhadap pekerjaan; (2) Supervisi; (3) Organisasi dan manajemen; (4) Kesempatan untuk maju; 5) Gaji dan keuntungan dalam bidang finansial seperti adanya insentif ; (6) Rekan kerja; (7) Kondisi pekerjaan. b. Faustino Cardoso Gomes (1999;178), membuat suatu kesimpulan menyeluruh tentang kepuasan kerja pegawai dengan pertimbangan-pertimbangan subjektif berhubungan dengan: (1) Gaji, (2) Keselamatan kerja, (3) Supervisi, (4) Relasi-relasi antar perorangan dalam kerja, peluang-peluang dimasa yang akan datang, (5) Pekerjaan itu sendiri. c. Alternatif dari konsep kepuasan kerja satu dimensi adalah konse focet (permukaan) atau komponen yang menganggap bahwa kepuasan karyawan dengan berbagai aspek situasi pekerjaan yang berbeda dapat bervariasi secara
45 bebas dan harus diukur secara terpisah. Diantara konsep focet yang mungkin diperiksa adalah (1) Beban kerja, (2) Keamanan kerja, (3) Kompensasi, (4) Kondisi kerja, (5) Status dan prestise kerja, (6) Kecocokan rekan kerja, (7) Kebijakan penilaian perusahaan, (8) Praktek manajemen umum, (9) Hubungan antara atasan dan bawahan, (10) Otonomi dan tanggung jawab jabatan, (11) Kesempatan untuk mempergunakan pengetahuan dan keterampilan,
(12)
Kesempatan untuk pertumbuhan dan pengembangan (L.N. Jewell dan Marc Siegal 1998). d. Job Descriptive Index (JDI) dalam Veithzal Rivai (2009:860), faktor penyebab kepuasan kerja ialah: (1) Bekerja pada tempat yang tepat, (2) Pembayaran yang sesuai, (3) Organisasi dan manajemen, (4) Supervisi pada pekerjaan yang tepat, (5) Orang yang berada dalam pekerjaan yang tepat. e. Siagian (1986:25) menyatakan, bahwa harapan-harapan pada organisasi, biasanya tercermin antara lain : (1) Kondisi kerja yang baik; (2) Merasa diikutsertakan
dalam
proses
pengambilan
keputusan,
terutama
yang
menyangkut nasibnya; (3) Cara pendisiplinan yang diplomatik; (4) Penghargaan yang wajar atas prestasi kerja; (5) Kesetiaan pimpinan terhadap bawahannya; (6) Pembayaran yang adil dan wajar; (7) Kesempatan promosi dan berkembang dalam organisasi; (8) Adanya pengertian pimpinan jika bawahan menghadapi masalah pribadi; (9) Jaminan adanya perlakuan yang adil dan objektif; (10) Pekerjaan yang menarik.
46
Berdasarkan berbagai pendapat di atas menurut As’ad (1999:35) dapat dirangkum mengenai faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja, yaitu: a.
b.
c.
d.
Faktor psikologi, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan, yang meliputi: minat; ketentraman dalam bekerja, sikap terhadap kerja, bakat, dan keterampilan Faktor Sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial, baik antara sesama karyawan, dengan atasannya maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya. Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu udara, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur dan sebagainya. Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan, yang meliputi sistem dan besarnya gaji atau upah, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dan sebagainya.
Pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja memiliki korelasi terhadap kinerja oleh karena itu organisasi dituntut untuk dapat memelihara anggotanya agar tercipta kepuasan pekerja baik dilihat dari segi material maupun immaterial.
2.1.3.4
Pengukuran Kepuasan Kerja Terdapat dua macam pendekatan yang secara luas dipergunakan untuk
melakukan pengukuran kepuasan kerja menurut Stephen P. Robbins (2003:73) seperti yang dikemukakan oleh Wibowo (2007:309), yaitu sebagai berikut: a. Peringkat Global Tunggal (Single Global Rating), yaitu tidak lain dengan minta individu merespon atas satu pertanyaan seperti: dengan mempertimbangkan semua hal, seberapa puas Anda dengan pekerjaan Anda? Responden menjawab antara “Highly Satisfied” dan “Highly Dissatisfied”.
47 b. Skor Perhitungan (Summation Score) lebih canggih, mengidentifikasi elemen kunci dalam pekerjaan dan menanyakan perasaan pekerja tentang masing-masing elemen. Faktor spesifik yang diperhitungkan adalah: sifat pekerjaan, supervisi, upah sekarang, kesempatan promosi dan hubungan dengan co-worker. Faktor ini diperingkat pada skala yang distandarkan dan ditambahkan untuk menciptakan job satisfaction score secara menyeluruh.
Gibson
(2000:110)
dalam
Wibowo
(2007:307),
secara
jelas
menggambarkan bahwa adanya hubungan timbal balik antara kinerja dan kepuasan kerja. Di satu sisi dikatakan kepuasan kerja menyebabkan peningkatan kinerja sehingga pekerja yang puas akan lebih produktif. Di sisi lain dapat pula terjadi kepuasan kerja disebabkan oleh adanya kinerja atau prestasi kerja sehingga pekerja yang lebih produktif akan mendapatkan kepuasan. Dalam pelaksanaan pekerjaan akan sangat berkaitan dengan sejumlah aspek kerja, misalnya saja menurut Gibson dkk (1987:67-68) dari sejumlah dimensi yang dihubungkan dengan kepuasan kerja ada lima, kelima dimensi tersebut adalah: (1) Upah, yaitu jumlah upah yang diterima dan dianggap upah yang wajar. (2) Pekerjaan, yaitu keadaan dimana tugas pekerjaan dianggap menarik, memberikan kesempatan untuk belajar dan bertanggung jawab. (3) Kesempatan promosi, dimana tersedia kesempatan untuk maju. (4) Penyelia, dimana kemampuan penyelia untuk menunjukkan minat dan perhatian terhadap pegawai. (5) Rekan sekerja, yaitu keadaan dimana rekan sekerja menunjukkan sikap bersahabat dan mendorong. Kelima kriteria yang dikemukakan oleh Gibson et. al., tersebut sesuai atau sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Stephen P. Robbins (2003:102)
48 yang menyatakan dalam pengukuran kepuasan kerja, berkaitan dengan beberapa aspek, antara lain: a. Gaji, yaitu jumlah bayaran yang diterima seseorang sebagai akibat dari pelaksanaan kerja apakah sesuai dengan kebutuhan dan dirasakan adil. b. Pekerjaan itu sendiri, yaitu isi pekerjaan yang dilakukan seseorang apakah memiliki elemen yang memuaskan. c. Rekan sekerja, yaitu teman-teman kepada siapa seseorang senantiasa berinteraksi dalam pelaksanaan pekerjaan. Seseorang dapat merasakan rekan kerjanya sangat menyenangkan atau tidak menyenangkan. d. Atasan, yaitu seseorang yang senantiasa memberi perintah atau petunjuk dalam pelaksanaan kerja. cara-cara atasan dapat tidak menyenangkan bagi seseorang atau menyenangkan dan hal ini dapat mempengaruhi kepuasan kerja. e. Promosi, yaitu kemungkinan seseorang dapat berkembang melalui kenaikan jabatan. Seseorang dapat merasakan adanya kemungkinan yang besar untuk naik jabatan atau tidak, proses kenaikan jabatan kurang terbuka atau terbuka. Ini juga dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja seseorang.
Dengan demikian kepuasan kerja merupakan sikap pegawai/pekerja terhadap pekerjaannya. Ini sebagai refleksi persepsi mereka terhadap pekerjaan dan menunjukkan suatu tingkat hubungan terbaiknya antara individu dengan organisasinya. Kelima faktor tersebut telah berasosiasi dengan kepuasan kerja. Dalam hal ini Ben and Jerry’s Homenade, Inc, percaya bahwa aspek-aspek tersebut sangat proaktif menjadikan sebuah lingkungan yang membuat pegawai/pekerja puas dan dapat meningkatkan produktivitas (Ivancevich, Matteson, 2002:15). George dan Jones (1997:78) menyatakan bahwa unsur-unsur kepuasan kerja pegawai antara lain: kepribadian, nilai-nilai, pengaruh sosial dan situasi kerja. Masing-masing akan diuraikan sebagai berikut: a. Kepribadian
49 Merupakan cara pandang seseorang yang terbentuk karena perasaan, pikiran, dan keyakinan, meliputi: pemanfaatan kemampuan, prestasi, kemajuan, kreativitas, dan kemandirian. b. Nilai-Nilai Merupakan nilai-nilai kerja yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik, meliputi: imbalan, pengakuan, tanggung jawab, jaminan kerja, dan layanan sosial. c. Pengaruh Sosial Merupakan pengaruh yang terbentuk karena rekan kerja, kelompok, dan budaya organisasi, menyangkut: aktivitas/kegiatan, kebijakan perusahaan, rekan kerja, nilai moral, dan status. d. Situasi Kerja Merupakan situasi yang terbentuk karena pekerjaan itu sendiri, rekan kerja, supervisor, bawahan, kondisi fisik, menyangkut: wewenang, hubungan dengan atasan, pengawasan teknis, keberagaman tugas, dan kondisi kerja. Penelitian ini berangkat dari teori yang digunakan oleh George dan Jones (1997:78) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja bisa diukur melalui sejumlah indikator, antara lain: situasi kerja, pengaruh sosial, nilai-nilai, dan kepribadian.
2.1.4
Kinerja Pegawai
2.1.4.1 Pengertian Kinerja Pegawai Kinerja berasal dari pengertian performance. Adapula yang memberikan pengertian performance sebagai hasil kerja atau prestasi kerja. Seperti yang dinyatakan Armstrong dan Baron (1998:15) dalam Wibowo (2007:7), Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi.
Bernaddin
dan
Russel
(1993:107)
mendefinisikan
kinerja
sebagai:”Performance is defined as the record of outcomes produced on a specific job function or activity during a specific time period” (Kinerja merupakan catatan
50 tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi tertentu atau kegiatan tertentu dalam kurun waktu tertentu). Milkovich dan Boudreau (1997:100) mengungkapkan bahwa: “Employee performance is the degree to wich employees accomplish work requerement” (Kinerja karyawan merupakan tingkatan dimana karyawan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan).Wood, Wallace, dan Zeffane (1998:149) menyatakan bahwa: “Performance is summary measure of the quantity and quality of task contributions made by an individual or group to the work unit and organization” (Kinerja merupakan sumbangan yang diberikan oleh pekerja individu maupun kelompok dalam hasil kerja secara kualitas maupun kuantitas dalam organisasi). Nawawi (1997:234) mendefinisikan kinerja adalah hasil pelaksanaan suatu pekerjaan baik bersifat fisik/material maupun non fisik/non material dalam suatu tenggang waktu tertentu. Faustino Cordosa Gomes (1995:195) mengemukakan definisi kinerja karyawan sebagai:” Ungkapan seperti output, efisiensi serta efektivitas sering dihubungkan dengan produktivitas”. Selanjutnya definisi kinerja karyawan menurut A.A. Anwar Prabu Mangkunegara (2010:67) bahwa “Kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”. Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas, nampak bahwa kinerja merupakan hasil dari suatu proses atau aktivitas pada fungsi
51 tertentu yang dilaksanakan seseorang, baik sebagai individu maupun sebagai anggota dari suatu kelompok atau organisasi dan dalam kurun waktu tertentu.
2.1.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pegawai Kinerja karyawan adalah tingkat hasil yang dicapai karyawan pada fungsi dan tugas tertentu sesuai dengan persyaratan kerja. Menurut Milkovich dan Boudreau (1991:103), kinerja karyawan merupakan fungsi dari interaksi tiga dimensi, yaitu: a. Kemampuan (Ability) adalah kapasitas seorang individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan keseluruhan seorang individu pada dasarnya tersusun dari dua perangkat faktor yaitu: a) Kemampuan fisik yang diperlukan untuk melakukaan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan dan keterampilan, yaitu berupa faktor kekuatan dinamis, kekuatan tubuh, kekuatan statik, keluwesan ekstent, keluwesan dinamis, koordinasi tubuh, keseimbangan dan stamina. b) Kemampuan mental/intelektual, yaitu kemampuan yang diperlukan untuk kegiatan intelektual seperti kecerdasan numeric, pemahaman verbal, kecepatan perceptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang dan ingatan. b. Motivasi (Motivation) adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat apa yang tinggi ke arah tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya untuk memenuhi suatu kebutuhan individual. c. Peluang (Opportunity) yang dimiliki oleh karyawan yang bersangkutan, karena adanya halangan yang akan menjadi rintangan dalam bekerja, meliputi dukungan lingkungan kerja, dukungan peralatan kerja, ketersediaan bahan dan suplai yang memadai, kondisi kerja yang mendukung, rekan kerja yang membantu, aturan dan prosedur yang mendukung, cukup informasi untuk mengambil keputusan dan waktu kerja yang memadai untuk bekerja dengan baik. Sedangkan menurut Baitul Alim dalam artikelnya mengemukakan teori Herzberg dalam pandangan teori kepuasan kerja karyawan. Pemilihan ini disebabkan karena teori Herzberg diturunkan atas pembagian hierarki kebutuhan
52 Maslow menjadi kebutuhan atas dan bawah. Maslow membagi kebutuhan manusia berdasarkan hierarki dari kebutuhan yang paling rendah ke kebutuhan yang paling tinggi. Kebutuhan manusia versi Maslow pertingkatan adalah: Kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Pembagian dua buah atas dan bawah itu membuat teori Herzberg dikenal orang sebagai two factor theory atau motivator hygiene theory. Kebutuhan tingkat atas pada teori Herzberg yang diturunkan dari maslow adalah penghargaan dan aktualisasi diri yang disebut sebagai motivator, sedangkan kebutuhan yang lain digolongkan menjadi kebutuhan bawah yang disebut sebagai hygiene factor.
Terdapat faktor-faktor tertentu yang diasosiakan dengan kepuasan kerja dan faktor-faktor tertentu yang disosiasikan dengan ketidakpuasan kerja. Faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja antara lain: 1. Tanggung jawab (responsibility), besar kecilnya yang dirasakan dan diberikan pada tenaga kerja. 2. Kemajuan (advancement), besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja dapat maju dalam pekerjaannya.
53 3. Pencapaian (achievement), besar kecilnya tenaga kerja mencapai prestasi kerja yang tinggi. 4. Pengakuan (recognition), besar kecilnya pengakuan yang diberikan kepada tenaga kerja atas kinerjanya. 5. Pekerjaan itu sendiri (work it self), besar kecilnya tantangan bagi tenaga kerja dari pekerjaannya. Semua faktor diatas sering kali berhubungan dengan isi (content) dari sebuah pekerjaan, itu mengapa seringkali disebut juga content factor. Sedangkan kelompok-kelompok faktor yang berhubungan dengan ketidakpuasan dalam pekerjaan seringkali disebut dengan context factor. Faktor faktor ini adalah: 1. Kebijakan perusahaan (company policy), derajat kesesuaian yang dirasakan tenaga kerja dari semua kebijakan dan peraturan yang berlaku diperusahaan. 2. Penyeliaan (supervision), derajat kewajaran penyeliaan yang dirasakan oleh tenaga kerja. 3. Gaji (salary), derajat kewajaran gaji/upah sebagai suatu imbalan atas hasil kerjanya (performance) 4. Hubungan antar pribadi (interpersonal relations), derajat keseuaian yang dirasakan dalam berinteraksi dengan tenaga kerja lainnya. 5. Kondisi kerja (working condition), derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses pelaksanaan pekerjaannya. Content factor dalam teori Herzberg sering disebut dengan motivator, yaitu faktor faktor yang dapat mendorong orang untuk dapat memenuhi kebutuhan
54 tingkat atasnya dan merupakan penyebab orang menjadi puas atas pekerjaannya. Bila content factor ini tidak ada, maka akan dapat menyebabkan seseorang tidak lagi puas atas pekerjaannya atau orang tersebut dalam keadaan netral, merasa tidak ”puas” tetapi juga tidak merasa ”tidak puas”. Sedangkan context factor, yang berhubungan dengan lingkungan pekerjaan ini sering disebut dengan hygiene factor, dimana pekerjaan memberikan kesempatan untuk seseorang dalam pemenuhan kebutuhan tingkat bawah. Bila context factor yang tidak terpenuhi, tidak ada, ataupun tidak sesuai maka dapat membuat pekerja merasa tidak puas (dissatisfied). Dalam ketidakterpenuhinya context factor akan membuat tenaga kerja banyak mengeluh dan merasa tidak puas, tetapi bila dipenuhi maka pekerja akan berada pada posisi tidak lagi tidak puas (bukan berarti puas) atau tepatnya dalam keadaan posisi netral.
Faktor-faktor yang masuk kedalam kelompok motivator cenderung merupakan faktor yang menimbulkan motivasi kerja yang lebih bercorak proaktif, sedangkan faktor yang termasuk kedalam kelompok hygiene cenderung
55 menghasilkan motivasi kerja yang lebih reaktif. Faktor hygiene bisa memindahkan ketidakpuasan dan meningkatkan performance, namun sampai titik tertentu, memperbaiki faktor faktor tersebut tidak lagi berpengaruh banyak. Untuk itu usaha-usaha yang dilakukan untuk lebih meningkatkan peformance dan sikap lebih positif, sebaiknya menggunakan dan berpusat pada faktor faktor motivator.
Pekerjaan
seharusnya
dirancang
sedemikian
rupa
sehingga
menghasilkan derajat penghargaan yang tinggi oleh kedua faktor tersebut. Faktor hygiene untuk menghindari ketidakpuasan kerja karyawan dan motivator sebagai faktor yang memastikan kepuasan kerja karyawan.
Menurut Sutermeister (1976:20), berbagai faktor yang mempengaruhi keterampilan pegawai dan produktivitas kerja pegawai adalah sebagai berikut: “Tecnologcal development, raw material, job lay out, methode, Employees jobs performance, Ability, Education Experience Trainning, Inters, knowledge, Aptitude, Personality, skill, Motivation, Lighting, temperature, ventilation, res periode, safety, mucis, physical condition, individual need, physiological, social, Egoistic, On job ad off jobs activities, perceptioan and situation, level of aspiration, Reference group, Male-female, culture, background, Education, Ekpreience, Poit in time, general economic conditions individual personal situations, Socil condition, Formal organizations, Organization structur, Personal policies, job conten, selection, placement, introduction to job, standard, wage salary level, incentive, jobs evaluation, Ferpormance, ratings, training, Comuncation, Specivic environmental of company or plant, time, Informal organization (groups), Size, Cohensivenesss, Goals, Leader, Relationshps with superior, Planning skill and technical knowledge, Type of lederships, Laizes –Farez, Auotocratic, close supervision, production centered, Democtrasic, Geneal supervisison, employee catered, Particpation, Combination, Union.”
Menurut Sedarmayanti (2001:117), yang mempengaruhi pencapaian kinerja atau prestasi kerja adalah kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation).
56 Hal ini sesuai dengan pendapat Keith Davis (1994) dalam Mangkunegara (2004:67), yang merumuskan bahwa: • • •
Human Performance = Ability – Motivation Motivation = Attitude – Situation Ability = Knowledge – Skill Sedangkan Mathis dan Jackson (2001:57), mengemukakan bahwa kinerja
merupakan rangkaian yang kritis antara strategi dan hasil organisasi, banyak faktor yang dapat mempengaruhi kinerja individu karyawan yaitu kemampuan mereka, motivasi, dukungan yang diterima, keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan dan hubungan mereka dengan organisasi. Berdasarkan sekumpulan dari pernyataan yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat disimpulkan, bahwa kinerja dapat dipengaruhi oleh: kemampuan, motivasi, peluang, dukungan dari organisasi dan manajemen, interaksi individu dengan organisasi.
2.1.4.3 Pengukuran Kinerja Pegawai Ukuran hasil dari kinerja memainkan peranan kunci dalam memantau apakah tujuan jangka panjang, menengah dan pendek organisasi sesuai dengan aspirasi yang diinginkan. Berdasarkan informasi yang dihasilkan dari indicator kinerja, maka manajer akan dapat melihat parameter tersebut kepada atasan maupun bawahan mereka, dirasakan perlu.
guna mengambil tindakan atau keputusan yang
57 Mathis dan Jackson (2001:57), menyebutkan ada banyak cara untuk mengukur kinerja karyawan sehingga dapat mendukung keberhasilan suatu organisasi, elemen utama yang merupakan faktor kunci ada tiga, yaitu: a. Produktivitas, adalah ukuran kuantitas dan kualitas pekerjaan yang dilakukan dengan mempertimbangkan biaya sumber daya yang digunakan untuk mengerjakan pekerjaan tersebut. b. Kualitas produksi juga harus dipertimbangkan sebagai bagian dari produktivitas, karena ada kemungkinan satu alternatif untuk memproduksi lebih banyak tetapi dengan kualitas yang lebih rendah. c. Pelayanan yang berkualitas tinggi pada pelanggan merupakan hasil penting lainnya yang akan mempengaruhi kinerja kompetitif perusahaan. Dimensi pelayanan terdiri dari keyakinan pengetahuan tenaga kerja, fasilitas dan peralatan fisik, perhatian, bantuan tepat pada waktunya, kinerja yang dapat diandalkan dan tepat, semua menuju pada hasil pelayanan terbaik.
Sejalan dengan Furtwengler (2002:1), yang memfokuskan pada ukuranukuran kinerja, yaitu Kecepatan; Kualitas; Layanan; dan Nilai. Sedangkan Bernaddin dan Russel (1993:107) mengungkapkan 6 (enam) kriteria utama kinerja yang dapat dinilai, yaitu: a. Kualitas, merupakan tingkat dimana proses atau hasil dari suatu kegitan yang sempurna, dengan kata lain melaksanakan kegiatan dengan cara ideal atau sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. b. Kuantitas, yaitu besaran yang dihasilkan dalam bentuk nilai uang, sejumlah unit atau kegitan yang diselesaikan. c. Ketepatan waktu, merupakan tingkat dimana kegiatan diselesaikan, atau hasil yang diselesaikan dengan waktu yang lebih cepat dari yang ditetapkan dan menggunakan waktu yang disediakan untuk kegiatan lain. d. Efektivitas biaya, yaitu tingkat dimana penggunaan sumber-sumber organisasi atau perusahaan baik berupa sumber daya manusia, teknologi, bahan baku, peralatan digunakan secara optimal untuk mendapatkan target tertinggi. e. Kebutuhan pengawasan, suatu keadaan dimana seberapa jauh pegawai membutuhkan pengawasan untuk dapat memperoleh hasil yang diinginkan tanpa melakukan kesalahan.
58 f. Pengaruh interpersonal, tingkat dimana pegawai menunjukan perasaan self esteem, goodwill, dan kerja sama diantara rekan sekerja dan bawahan. Selain ukuran-ukuran tersebut ada faktor-faktor lain yang sangat mempengaruhi kinerja karyawan (Furtwengler, 2002:90-92), faktor-faktor tersebut antara lain ; “keterampilan interpersonal, mental untuk sukses, terbuka untuk berubah, kreativitas, keterampilan berkomunikasi”. Berdasarkan definisi kinerja yang merupakan hasil kerja seseorang yang dicapai dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya yang sesuai dengan kecakapan, keterampilan, dan keahliannya, serta waktu yang diperlukan dalam mencapai kinerja efektif. Oleh karena itu kualitas, kuantitas, ketepatan waktu, efektivitas biaya, kebutuhan pengawasan, pengaruh interpersonal, layanan, dan nilai dapat dijadikan tolak ukur dalam pencapaian kinerja yang efektif.
2.1.4.4 Meningkatkan Kinerja Pegawai Menurut Tyson and Jackson (2000:76) meningkatkan kinerja merupakan konsep sederhana tetapi penting. Konsep tersebut didasarkan pada ide bahwa sebuah tim akan meningkat dengan cepat dan terus-menerus dengan cara meninjau keberhasilan dan kegagalannya. Tyson dan Jackson mengatakan ada 4 (empat) tahap dalam rencana kerja meningkatkan kinerja, yaitu : a. Tahap 1, memulai tugas-tugas yang telah dikerjakan oleh kelompok dan membiarkan tim mengidentifikasi faktor-faktor signifikan yang telah memberikan kontribusi terhadap keberhasilan dan tugas-tugas yang merintangi keberhasilan. b. Tahap 2, dari faktor-faktor keberhasilan dan kegagalan pilihlah yang praktis dan buang yang tidak mempunyai nilai. c. Tahap 3, kelompok kemudian harus menyetujui bagaimana membuat faktor-faktor tersebut dengan tepat dan menyingkirkan yang lain.
59 d. Tahap 4, analisis tersebut tidak hanya dilakukan pada tingkat kelompok, tetapi juga pada tingkat individual.
Sedangkan menurut Wirjana ( 2007:145-147) meningkatkan kinerja pada umumnya terdiri dari meningkatkan kinerja pada tingkat organisasi dan pada tingkat individu. Pada tingkat organisasi, kinerja yang kurang berkualitas merupakan akibat atau hasil dari kepemimpinan yang kurang berkualitas, manajemen yang kurang profesional, atau sistem kerja yang tidak baik. Untuk mencapai peningkatan kinerja yang berkualitas dan mengatasi masalah yang ditemui dalam upaya meningkatkan kinerja Schaffer dalam Wirjana (2007:146) memberikan beberapa strategi: a. Seleksi tujuan mengatasi masalah yang paling urgen lebih dahulu, mengoreksi biaya yang terlalu tinggi, spesifikasi kualitas yang rendah, target kerja yang tidak tercapai, memastikan masalah-masalah tersebut diatasi dengan tuntas. b. Spesifikasi hasil yang diharapkan: sasaran harus SMART (Specific, Mesurable, Achievable, Realistic, Time-bound ). c. Komunikasi yang jelas. d. Alokasi tanggung jawab, organisasi perlu membagi atau mengalokasikan tanggung jawab untuk mencapai tujuan setiap karyawan. e. Luas proses, sukses dalam mencapai tujuan dapat digunakan untuk mengulangi proses dengan tujuan yang baru atau perluasan tujuan yang terdahulu. Pada tingkat individu strategi yang dipaparkan untuk meningkatkan kinerja pada tingkat organisasi dapat digunakan dan diadaptasi untuk meningkatkan kinerja pada tingkat individu, sebagai berikut: a. Seleksi tujuan, menentukan area prioritas bagi tindakan. b. Spesifikasi hasil, menentukan target dan standar.
60 c. Penetapan ukuran kerja, menentukan dasar bagi kemajuan yang mengarah pada tercapainya tujuan dapat dipantau. d. Pemantauan, mengkaji kemajuan dan menganalisis umpan balik untuk memastikan target dan standar tercapai. e. Luas proses, mengulangi proses dengan tujuan lain sesuai prioritas. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam meningkatkan kinerja karyawan dimulai dari seleksi tujuan, adanya spesifikasi hasil, jumlah waktu yang diperlukan, dan tingkat komunikasi.
2.1.5
Hubungan Kompetensi Kerja, Motivasi Kerja, dan Kepuasan Kerja dengan Kinerja Pegawai Pada umumnya semua organisasi menghendaki sumber daya manusia atau
sumber insani yang bermutu, karena SDM yang mampu mengkreasi usaha-usaha organisasi dari yang tidak ada menjadi ada, atau dari kehidupan organisasi yang biasa-biasa menjadi organisasi yang mampu melakukan sesuatu yang lebih bagi kemajuan organisasi. Disinilah kompetensi kerja dibutuhkan sehingga dapat melaksanakan program-program yang sudah direncanakan. Oleh karena itu kompetensi kerja dapat berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai. Kompetensi kerja merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mengenali kemampuan, keterampilan, pengetahuan, motivasi, dan karakteristik pribadi yang sangat penting lainnya diperlukan untuk mencapai kinerja superior. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Spencer-Spencer dalam Moeheriono (2009:8) bahwa antara kompetensi dengan kinerja mempunyai hubungan sebab
61 akibat (causally related) yang sangat erat sekali. Oleh karena itu apabila pegawai ingin meningkatkan kinerjanya, seharusnya mempunyai kompetensi kerja yang sesuai dengan tugas pekerjaannya. Untuk menghasilkan kinerja yang superior di tempat kerja, dibutuhkan motivasi kerja dari individu itu sendiri. Motivasi kerja yang timbul pada diri seseorang karena didorong oleh adanya berbagai macam kebutuhan yang menuntut pemenuhan. Dengan demikian sikap dan perilaku selalu berorientasi pada tujuan, yaitu terpenuhinya kebutuhan yang diinginkan atau kebutuhan yang menuntut pemenuhannya. Setiap perilaku yang ditampilkan seseorang dalam rangka kehidupan organisasi tidak dapat terlepas dari usahanya untuk mewujudkan suatu kepuasan atas pemenuhan kebutuhannya. Dengan diberikan motivasi kerja berupa pemenuhan kebutuhan, maka akan memberikan implikasi terhadap meningkatkan semangat dari seseorang, dan semangat itu yang menjadikan motor penggerak bagi peningkatan kinerja seseorang menjadi kinerja yang superior. Selanjutnya kepuasan kerja merupakan faktor intern yang dapat memotivasi pegawai yang sangat menentukan didalam jalinan dan aktivitas kerja. Untuk itu kepuasan kerja pegawai harus diciptakan sebaik-baiknya supaya moral kerja, dedikasi, kecintaan dan kedisiplinan pegawai meningkat. Kepuasan kerja merupakan perasaan yang menyenangkan yang dirasakan pegawai apabila dia memperoleh kebutuhan dari pekerjaannya. Sebaliknya ketidakpuasan merupakan perasaan yang tidak menyenangkan yang dirasakan oleh pegawai apabila dia tidak memperoleh kebutuhan dari pekerjaannya. Jadi kepuasan kerja adalah sekumpulan
62 perasaan seseorang pegawai terhadap pekerjaannya, apakah senang/suka atau tidak senang/tidak suka sebagai hasil interaksi seseorang dengan lingkungan pekerjaannya atau sebagai persepsi sikap mental juga sebagai hasil penilaian seseorang pegawai terhadap pekerjaannya. Perasaan seseorang pegawai terhadap pekerjaan sesungguhnya sekaligus merupakan pencerminan dari sikap perilakunya terhadap pekerjaan.
2.2 Penelitian Terdahulu Sebagai landasan penelitian maka penulis mencantumkan beberapa peneliti terdahulu yang telah melakukan penelitian berkaitan dengan pembahasan tentang kompetensi kerja, motivasi kerja dan kepuasan kerja berpengaruh terhadap kinerja pegawai, seperti tercantum dalam tabel di bawah ini. TABEL 2.2 HASIL PENELITIAN TERDAHULU No. Urut
Nama/NIM/ Asal Univ.
1.
Itje Siti Dewi Kuraesin/ 055790/UPI
2.
Siti Sundari/0808854/ UPI
3.
Eek Rohendi/0808129 / UPI
Judul/Metode Pengaruh Motivasi dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan PT. Pos Indonesia (Persero) Cabang Bandung 40000/ Metode Penelitian yang digunakan deskriptif survey dan explanatory survey. Pengaruh Penilaian Kinerja dan Kompetensi Pegawai Terhadap kinerja pegawai (Studi Pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Lamongan)/ Metode Penelitian yang digunakan deskriptif survey dan explanatory survey. Pengaruh Motivasi Kerja dan Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Kantor Dinas Pendidikan Kota Cimahi/Metode Penelitian yang
Hasil Penelitian Terdapat pengaruh yang signifikan antara motivasi dan kepuasan kerja dengan kinerja karyawan.
Sistem penilaian kinerja dan kompetensi pegawai secara positif dan signifikan berpengaruh terhadap kinerja pegawai BKD di kab. Lamongan..
Diperoleh antara motivasi kerja dan lingkungan kerja menunjukkan adanya hubungan positif dengan kinerja pegawai.
63 No. Urut 4.
Nama/NIM/ Asal Univ. Nandang Rudi Kurniadi/ 0706665/UPI
Judul/Metode digunakan deskriptif survey dan explanatory survey. Pengaruh Kompetensi, Motivasi dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan Tenaga Administrasi Fakultas dan Sekolah Pascasarjana UPI/Metode Penelitian yang digunakan deskriptif survey dan explanatory survey.
Hasil Penelitian
Diketahui bahwa ketiga variabel bebas memiliki pengaruh terhadap variabel terikat (kinerja karyawan). Hal ini dapat mengindikasikan bahwa suatu kinerja dipengaruhi oleh kompetensi, motivasi, dan budaya organisasi, ini pun menunjukkan bahwa semakin tinggi kompetensi, motivasi dan budaya organisasi maka akan semakin tinggi pula kinerja.
Berdasarkan penelitian terdahulu tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Kompetensi, Motivasi, dan Kepuasan terhadap Kinerja Pegawai Administratif di Lingkungan Universitas Pendidikan Indonesia (Studi terhadap Persepsi Pegawai Administratif UPI Kampus Bumi Siliwangi Berstatus PNS)”.
2.3
Kerangka Pemikiran Dasar pemikiran yang melandasi penelitian ini adalah untuk melihat faktor-
faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai. Asumsi dasarnya adalah bahwa kompetensi kerja, motivasi kerja, dan kepuasan kerja memiliki pengaruh positif terhadap kinerja pegawai. Seperti yang dikemukakan Sutermeister (1976:16) yang mengemukakan bahwa berbagai faktor yang mempengaruhi keterampilan pegawai dan produktivitas kerja pegawai adalah sebagai berikut: “Tecnologcal development, raw material, job lay out, methode, Employees jobs performance, Ability, Education Experience Trainning, Inters, knowledge, Aptitude, Personality, skill, Motivation, Lighting, temperature, ventilation, res
64 periode, safety, mucis, physical condition, individual need, physiological, social, Egoistic, On job ad off jobs activities, perceptioan and situation, level of aspiration, Reference group, Male-female, culture, background, Education, Ekpreience, Poit in time, general economic conditions individual personal situations, Socil condition, Formal organizations, Organization structur, Personal policies, job conten, selection, placement, introduction to job, standard, wage salary level, incentive, jobs evaluation, Ferpormance, ratings, training, Comuncation, Specivic environmental of company or plant, time, Informal organization (groups), Size, Cohensivenesss, Goals, Leader, Relationshps with superior, Planning skill and technical knowledge, Type of lederships, Laizes –Farez, Auotocratic, close supervision, production centered, Democtrasic, Geneal supervisison, employee catered, Particpation, Combination, Union.”
Pengembangan teknologi, bahan baku, lay out pekerjaan, metode, kinerja karyawan, kondisi kemampuan, pengalaman pendidikan dan pelatihan, minat, pengetahuan, bakat, kepribadian, keterampilan, motivasi, pencahayaan, suhu, ventilasi, waktu istirahat, keamanan, musik, fisik, kebutuhan individu, kebutuhan fisiologis, sosial, egoistik, aktivitas pekerjaan dan diluar pekerjaan, situasi dan persepsi, tingkat aspirasi, referensi kelompok, pria dan wanita, latar belakang budaya, pendidikan, pengalaman, waktu kerja, kondisi secara umum, situasi pribadi individu, kondisi sosial, organisasi formal, struktur organisasi, kebijakan pribadi, isi pekerjaan, penempatan, pengenalan pekerjaan, standar pekerjaan, tingkat upah gaji, insentif, pekerjaan, evaluasi kinerja, peringkat, pelatihan, komunikasi, lingkungan spesifik perusahaan atau pabrik, organisasi waktu, kelompok informal, ukuran, keterikatan, tujuan, pemimpin, hubungan dengan atasan, keterampilan perencanaan dan pengetahuan teknis, jenis kepemimpinan, kebebasan, autokratis, pengawasan yang ketat, produksi terpusat, demokrasi, supervisi umum, pelayanan karyawan, partisipasi, kombinasi, serikat kerja.
65
Teori utama (grand theory) yang dijadikan dasar dalam penelitian ini adalah teori dari Sutermeister (1976:16). Luthans (1985:23) dalam Suwatno (2004:4) melalui kajiannya mengenai perilaku organisasi, mengatakan bahwa panduan untuk mempelajari perilaku didalam organisasi adalah dengan menggunakan pendekatan stimulus-response. Model ini kemudian dikembangkan Luthans menjadi S-O-B-C (Stimulus-Organisme-Behavior-Consequences) dengan asumsi yang sama dengan model S-O-R. Kelebihan yang diberikan model S-O-B-C adalah adanya consequences menunjukan orientasi yang akan dicapai melalui perilaku kerja, setiap perilaku diarahkan kepada peningkatan kinerja pegawai. Berdasarkan teori perspektif psikologis yang menganut model S-O-R yang kemudian dikembangkan oleh Luthans menjadi model S-O-B-C maka kompetensi kerja, motivasi kerja, dan kepuasan kerja dapat ditempatkan sebagai stimulus (S) bagi terbentuknya kinerja pegawai sebagai respon (R/B) yang dilandasi oleh motif dan sikap yang berkembang dalam organisasi (O) individu pegawai. Kinerja pegawai sebagai respon dari model S-O-R merupakan fokus kajian dari penelitian ini. Berkaitan dengan tugas pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya, Bernaddin dan Russel (1993:107) mengungkapkan 6 (enam) Kriteria utama kinerja yang dapat dinilai, yaitu: kualitas, kuantitas, ketepatan waktu, efektivitas biaya, kebutuhan pengawasan, dan pengaruh interpersonal. Kajian terhadap kinerja pada suatu lembaga atau organisasi tidak bisa terlepas dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Sesuai dengan lingkup penelitian yang dilakukan dan mengacu kepada pendapat para ahli
diantaranya yang
66 diungkapkan oleh Sutermeister (1976:16), David C. McClelland (1973:3), Spencer dan Spencer (1993:9), Stephen P. Robbins (2006:213), George dan Jones (1997:71), serta Bernaddin dan Russel (1993:107), maka faktor-faktor yang dijadikan dasar kajian adalah kompetensi kerja, motivasi kerja, dan kepuasan kerja. Jika diaplikasikan dalam model S-O-R dari teori perspektif psikologis sebagai teori utama maka faktor-faktor ini ditempatkan sebagai stimulus (S). Sutermeister (1976:16) menjelaskan bahwa kompetensi kerja merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai didalam organisasi. Dimana semua organisasi menghendaki sumber daya manusia atau sumber insani yang bermutu, karena SDM yang mampu mengkreasikan usaha-usaha organisasi dari yang tidak ada menjadi ada, atau dari kehidupan organisasi yang biasa menjadi organisasi yang mampu melakukan sesuatu yang lebih bagi kemajuan organisasi.
Kompetensi
kerja
merupakan
karakter
dasar
orang
yang
mengindikasikan cara berperilaku atau berpikir, yang berlaku dalam cakupan situasi yang sangat luas dan bertahan untuk waktu yang lama. Spencer dan Spencer (1993:9) menyatakan bahwa kompetensi kerja merupakan karakteristik dasar dari individu yang membuat individu tersebut akan dapat menghasilkan kinerja yang superior dalam mengerjakan tugasnya. Selanjutnya Spencer dan Spencer (1993:10) menjelaskan bahwa lima karakteristik dari kompetensi kerja diantaranya adalah motif, sifat/ciri bawaan, konsep diri, pengetahuan, dan keterampilan. Maka dengan adanya karakteristik tersebut, kinerja dari seorang pegawai akan dapat diperkirakan dan kita dapat membuat suatu strategi untuk mencapai kinerja pegawai yang superior tersebut. Disinilah kompetensi kerja
67 dibutuhkan sehingga dapat melaksanakan program yang sudah direncanakan, oleh karena itu kompetensi kerja dapat berpengaruh positif terhadap kinerja individu. Selain kompetensi kerja, motivasi kerja juga mempengaruhi pada kinerja pegawai, sebab motivasi kerja merupakan salah satu faktor yang mendorong seorang pegawai yang dapat menimbulkan dan mengarahkan perilaku. Dorongan untuk berperilaku ini dapat dipicu oleh suatu rangsangan dari luar atau lahir dari dalam diri orang tersebut dalam proses fisiologis dan pemikiran individu itu. Ini berarti ada ketidakseimbangan atau ketidakpuasan dalam diri pegawai, sehingga pegawai mengidentifikasikan sasaran dan merasa butuh berperilaku untuk dapat mencapai sasaran itu. Ketidakseimbangan atau ketidakpuasan itu lazim disebut dengan kebutuhan. Teori motivasi kerja dan kebutuhan ini seperti yang dikemukakan oleh McClelland yaitu dikenal hirarki kebutuhan. Teori Kebutuhan McClelland dalam Harbani Pasolong (2008:143-144) menganalisis tiga kebutuhan manusia yang sangat penting dalam organisasi atau perusahaan tentang motivasi dengan memfokuskan pada tiga hal yaitu: kebutuhan untuk mencapai prestasi (need for achievement), kebutuhan untuk mencapai kekuasaan (need for power), dan kebutuhan untuk berafiliasi (need for affiliation). Sedangkan faktor kepuasan kerja tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi peningkatan kinerja, karena kepuasan kerja ini merupakan hasil interaksi manusia dengan lingkungan kerjanya yang mengandung muatan emosional dan erat kaitannya dengan perasaan sikap senang atau tidak puas dalam bekerja. Seseorang dapat relatif puas dengan salah satu aspek pekerjaan dan tidak puas dengan satu atau lebih aspek lainnya. George dan Jones (1997:71)
68 menyatakan bahwa: “Job satisfaction is the collection of feelings, beliefs, and thought about how to be have with respect to one’s current job”. Kepuasan kerja adalah kumpulan perasaan, keyakinan, dan pikiran tentang bagaimana respon seseorang terhadap pekerjaannya. George dan Jones (1997:78) menyatakan bahwa unsur-unsur kepuasan kerja pegawai antara lain: kepribadian, nilai-nilai, pengaruh sosial dan situasi kerja. Berdasarkan uraian kerangka pemikiran tersebut, dapat diperoleh alur pemikiran bahwa penelitian ini berangkat dari permasalahan belum optimalnya kinerja pegawai administratif berstatus PNS di lingkungan UPI Kampus Bumi Siliwangi yang berdampak pada belum optimalnya fungsi organisasi di UPI. Terkait dengan hal tersebut, berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Luthans menjadi model S-O-B-C, diketahui bahwa kompetensi kerja, motivasi kerja, dan kepuasan kerja dapat ditempatkan sebagai stimulus (S) bagi terbentuknya kinerja pegawai, sebagai respon (R/B) yang dilandasi oleh motif dan sikap yang berkembang dalam organisasi (O) individu pegawai. Alur tersebut selanjutnya digambarkan dalam alur kerangka pemikiran sebagai berikut.
69
Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian GRAND THEORY Teori Sutermeister (1976:16)
MIDDLE RANGE THEORY Teori Luthans (1985:23)
APLIED THEORY • Kompetensi Kerja (Spencer dan Spencer 1993:9) • Motivasi Kerja McClelland (Harbani Pasolong, 2008:143-144) • Kepuasan Kerja George dan Jones (1997:71) • Kinerja Pegawai (Bernaddin dan Russel 1993:107)
• • • • •
TINJAUAN Kondisi Umum UPI Gambaran Kompetensi Kerja Gambaran Motivasi Kerja Gambaran Kepuasan Kerja Gambaran Kinerja Pegawai
METODE PENELITIAN Deskriptif Survey dan Explanatory Survey.
Analisis Data Hasil Penelitian
Kesimpulan dan Saran
GAMBAR 2.4 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan gambaran kerangka pemikiran tersebut, diketahui bahwa variabel yang diteliti ada empat yaitu kinerja pegawai sebagai variabel dependen, dipengaruhi oleh sejumlah variabel independen, antara lain: a) kompetensi kerja
70 yang terdiri dari motif, sifat/ciri bawaan, konsep diri, pengetahuan, dan keterampilan; b) motivasi kerja yang terdiri dari kebutuhan berprestasi, kebutuhan kekuasaan, dan kebutuhan berafiliasi; serta c) kepuasan kerja yang terdiri dari kepribadian, nilai-nilai, pengaruh sosial dan situasi kerja. Gambaran tersebut dituangkan dalam paradigma penelitian di bawah ini.
KOMPETENSI KERJA
MOTIVASI KERJA
KINERJA PEGAWAI
KEPUASAN KERJA
GAMBAR 2.5 PARADIGMA PENELITIAN
2.4 Hipotesis Penelitian Menurut Moh. Nasir (2003:151), hipotesis adalah pernyataan yang diterima secara sementara sebagai suatu kebenaran sebagaimana adanya, pada saat fenomena dikenal dan merupakan dasar kerja serta paduan dalam verifikasi. Sementara Sugiyono (2004:51) menyatakan bahwa hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Karena sifatnya masih sementara, maka perlu dibuktikan kebenarannya melalui data empirik yang terkumpul.
71 Berdasarkan permasalahan yang dianalisis, serta kerangka pemikiran di atas, maka penelitian ini dituangkan dalam hipotesis penelitian sebagai berikut: 1.
Terdapat pengaruh positif dan signifikan dari kompetensi kerja terhadap kinerja pegawai.
2.
Terdapat pengaruh positif dan signifikan dari motivasi kerja terhadap kinerja pegawai.
3.
Terdapat pengaruh positif dan signifikan dari kepuasan kerja terhadap kinerja pegawai.