13
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Sinyal (signalling theory) Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis karena informasi pada hakekatnya menyajikan keterangan, catatan atau gambaran baik untuk keadaan masa lalu, saat ini maupun keadaan masa yang akan datang bagi kelangsungan hidup suatu perusahaan dan bagaimana pasaran efeknya. Signalling Theory menjelaskan bahwa laporan keuangan yang baik merupakan sinyal atau tanda bahwa perusahaan juga telah beroperasi dengan baik. Manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik sebagai wujud dari tanggung jawab atas pengelolaan perusahaan. Teori sinyal menjelaskan mengapa perusahaan mempunyai dorongan untuk memberikan informasi laporan keuangan pada pihak eksternal. Dorongan perusahaan untuk memberikan informasi adalah karena terdapat asimetri informasi antara perusahaan dan pihak luar karena perusahaan mengetahui lebih banyak mengenai perusahaan dan prospek yang akan datang daripada pihak luar (khususnya investor dan kreditur). Menurut Jogiyanto (2003: 392) informasi yang dipublikasikan sebagai suatu pengumuman akan memberikan sinyal bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi. Saat informasi diumumkan dan diterima pelaku pasar, pelaku pasar terlebih dahulu menginterpretasikan dan menganalisis informasi tersebut sebagai signal baik (good news) atau signal buruk (bad news). Pengumuman
13
14
informasi akuntansi yang baik (good news) memberikan signal bahwa perusahaan mempunyai prospek yang baik di masa mendatang, sehingga investor tertarik dan pasar akan bereaksi yang tercermin melalui perubahan dalam volume perdagangan saham. Dengan demikian hubungan antara publikasi informasi baik laporan keuangan, kondisi keuangan ataupun sosial politik terhadap fluktuasi volume perdagangan saham dapat dilihat dalam efisiensi pasar. Pelaksanaan analisis terhadap laporan keuangan diharapkan menjadi acuan bagi investor dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan investasinya, dengan kata lain informasi tersebut akan menyebabkan harga saham berfluktuasi.
2.1.2 Teori Stakeholders Stakeholder
merupakan
sebuah
kelompok
atau
individual
yang
berkepentingan terhadap perusahaan yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh aktivitas perusahaan. Semua pihak yang terlibat dalam usaha lembaga merupakan kontributor dalam menciptakan kinerja, dan oleh karena itu, berhak menerima bagian dari kinerja ini. Stakeholder merupakan para shareholders, kreditor,
karyawan,
konsumen,
supplier,
kelompok
masyarakat
yang
berkepentingan, dan pemerintah. Kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholder dan dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut. Pengungkapan sosial dianggap sebagai bagian dari dialog antara perusahaan dengan stakeholdernya (Gray et al., 1995). Perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri, dan untuk
15
mendapatkan dukungan dari stakeholder perusahaan harus memberikan manfaat bagi para stakeholdernya. Chan et al. (2004) menggunakan teori stakeholder untuk menjelaskan tujuan
perusahaan
dimana
salah
satu
tujuan
utamanya
adalah
untuk
menyeimbangkan konflik kepentingan di antara para stakeholder. Tanpa dukungan yang berkelanjutan oleh para stakeholder, maka perusahaan akan mengalami kesulitan dalam mempertahankan kelangsungan usahanya. Chan et al. (2004) juga berpendapat bahwa perusahaan yang efektif akan memperhatikan semua hubungan dengan stakeholder yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tujuan perusahaan, sehingga perusahaan harus menjaga hubungan baik dengan seluruh stakeholder. Salah satu strategi untuk menjaga hubungan dengan para stakeholder perusahaan adalah dengan melaksanakan dan mengungkapkan CSR, dengan pelaksanaan CSR perusahaan menunjukkan kepeduliannya kepada semua pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung, dan diharapkan keinginan dari stakeholder dapat terakomodasi sehingga akan menghasilkan hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan stakeholdernya. Hubungan yang harmonis akan berakibat pada perusahaan dapat mencapai keberlanjutan atau kelestarian perusahaannya (sustainability).
2.1.3 Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan telah menjadi sebuah konsep dan berkembang dengan pesat. Istilah
16
CSR secara global mulai digunakan pada tahun 1970 dan kemudian menjadi sebuah isu hangat setelah adanya buku yang diterbitkan oleh John Elkington yaitu Cannibals With Forks : The Triple Bottom Line in 21st Century Business pada tahun 1998. John mengembangkan tiga komponen penting yaitu economic growth, environmental protection, dan social equity, yang kemudian berkembang menjadi 3P yaitu profit, people, dan planet. Jadi perusahaan hendaknya tidak hanya mengejar keuntungan bisnis perusahaan saja, namun harus memberikan perhatian dan kepedulian terhadap lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Definisi dari CSR sendiri saat ini masih menjadi perdebatan antara para prakitisi maupun akademis, namun beberapa lembaga telah mendefinisikan CSR sebagai berikut : 1) World Business Council for Sustainable Development menyatakan CSR adalah
komitmen
berkesinambungan
dari
kalangan
bisnis
untuk
berperilaku etis dan memberi pengaruh bagi pembangunan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya. 2) International Finance Corporation menyatakan bahwa CSR adalah komitmen
dunia
pembangunan
bisnis
ekonomi
untuk
memberikan
berkelanjutan
melalui
pengaruh kerjasama
terhadap dengan
karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal, dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang baik bagi bisnis maupun pembangunan.
17
3) European Commission menyatakan bahwa CSR adalah sebuah konsep dengan mana perusahaan mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para
pemangku
kepentingan
(stakeholder)
berdasarkan
prinsip
kesukarelaan. 4) Canadian Government menyatakan bahwa CSR adalah kegiatan usaha yang mengintegrasikan ekonomi, lingkungan, dan sosial ke dalam nilai, budaya, pengambilan keputusan, strategi, dan operasi perusahaan yang dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan berkembang. 5) Institute of Chartered Accountants, England and Wales menyatakan bahwa CSR adalah jaminan bahwa organisasi-organisasi pengelola bisnis mampu memberi dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan, seraya memaksimalkan nilai bagi para pemegang saham (shareholders) mereka. 6) International Organization for Standardization (ISO) mengembangkan standar internasional ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility dan mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan
berkelanjutan
dan
kesejahteraan
masyarakat;
mempertimbangkan harapan para pemangku kepentingan, sejalan dengan
18
hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional; serta terintegrasi dengan dengan organisasi secara menyeluruh. 7) CSR Asia menyatakan bahwa CSR adalah komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan berdasarkan prinsip ekonomi, sosial, dan lingkungan serta menyeimbangkan beragam kepentingan para stakeholder.
2.1.4 Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Pertanggungjawaban
sosial
perusahaan
atau
Corporate
Social
Responsibility (CSR) adalah mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan interaksinya dengan stakeholders, yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang hukum (Anggraini, 2006). Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), Corporate Social Responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan didefinisikan sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama dengan para karyawan serta perwakilan mereka. Sedangkan menurut ISO 26000 “Tanggung Jawab Sosial adalah tanggung jawab suatu perusahaan atas dampak dari berbagai keputusan dan aktivitas mereka terhadap masyarakat dan lingkungan melalui suatu perilaku yang terbuka dan etis, yang konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, memperhatikan ekspektasi para pemangku kepentingan, tunduk kepada hukum yang berlaku dan konsisten dengan
19
norma perilaku internasional dan diintegrasikan ke dalam seluruh bagian organisasi”. Pertanggungjawaban sosial perusahaan diungkapkan di dalam laporan yang disebut Sustainability Reporting. Sustainability Reporting adalah pelaporan mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja organisasi dan produknya di dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (Anggraini, 2006). Meski memiliki banyak definisi, namun secara esensi tanggung jawab sosial merupakan wujud giving back dari perusahaan kepada komunitas. Perihal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan dan menghasilkan bisnis berdasarkan pada niat tulus guna memberi manfaat yang positif bagi komunitas (stakeholders). Rahman (2009:37) menyatakan bahwa terdapat empat kategori Tanggung Jawab Sosial perusahaan, yaitu: 1) Tanggung Jawab Ekonomi (Economic Responsibilities) Pricing, sebagai aktivitas ekonomi, akan bersinergi dengan tanggung jawab sosial jika didasari pada itikad untuk memberikan return yang merupakan representasi dari kualitas dan nilai sebenarnya dari barang dan jasa yang ditawarkan kepada konsumen. Ini merupakan langkah yang dapat ditempuh guna mensinkronkan fungsi ekonomi dengan aktivitas Tanggung Jawab Sosial. 2) Tanggung Jawab Hukum (Legal Responsibilities) Masyarakat berharap bisnis dijalankan dengan menaati hukum dan peraturan yang pada hakikatnya dibuat oleh masyarakat melalui lembaga legislatif. Sebagai contoh, ketaatan perusahaan dalam membayar pajak, menaati undang-
20
undang tenaga kerja, dan sebagainya merupakan tanggung jawab hukum perusahaan. 3) Tanggung Jawab Etis (Ethical Responsibilities) Tanggung jawab etis berimplikasi pada kewajiban perusahaan untuk menyesuaikan segala aktivitasnya sesuai dengan norma sosial dan etika yang berlaku meskipun tidak tertulis secara formal. 4) Tanggung Jawab Filantropis (Philanthropic Responsibilities) Tanggung jawab filantropis merupakan wujud konkret berupa pembangunan fisik yang dilakukan perusahaan terhadap masyarakat. Tanggung jawab ini didasari dari itikad perusahaan untuk berkontribusi pada perbaikan masyarakat secara mikro maupun makro sosial. Pengalokasian keuntungan perusahaan untuk aktivitas filantropis tidak akan menjadi pemicu kerugian melainkan mendorong pada pencapaian keuntungan jangka panjang. Di Indonesia praktek pengungkapan tanggungjawab sosial di atur oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 Paragraf 9, yang menyatakan bahwa: “Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting”. Kewajiban untuk melakukan pengungkapan CSR diatur dalam UndangUndang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pada bab IV, bagian
21
kedua, pasal 66 (2), poin c yang mengatur tentang laporan tahunan, disebutkan bahwa direksi harus menyampaikan laporan tahunan yang sekurang-kurangnya memuat laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Lebih jauh lagi, dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2007, bab V tentang Tanggung Jawab Sosial, pada pasal 74 (1), (2), (3), dan (4) disebutkan bahwa perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan yaitu berupa biaya yang
dianggarkan
dan
diperhitungkan
sebagai
biaya
perseroan
yang
pelaksanaanya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Alasan-alasan perusahaan mengungkapkan kinerja sosial : 1) Internal Decision Making : Manajemen menentukan efektivitas informasi sosial tertentu dalam mencapai tujuan sosial perusahaan. 2) Product Differentiation
: Manajer perusahaan memiliki insentif untuk
membedakan diri dari pesaing yang tidak bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat. 3) Enlightened Self Interest : perusahaan melakukan pengungkapan untuk menjaga keselarasan sosialnya dengan para stakeholder karena mereka dapat mempengaruhi pendapatan penjualan dan return saham perusahaan. Elemen pengungkapan akan disajikan pada Checklist Pengungkapan CSR dalam Lampiran (1).
22
2.1.5 Nilai Perusahaan Nilai perusahaan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai nilai pasar, seperti halnya penelitian yang pernah dilakukan oleh Nurlela dan Islahudin (2008), karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran pemegang saham secara maksimum apabila harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga saham, maka makin tinggi kemakmuran pemegang saham. Untuk mencapai nilai perusahaan umumnya para pemodal menyerahkan pengelolaannya kepada para profesional. Para profesional diposisikan sebagai manajer ataupun komisaris (Nurlela dan Islahudin, 2008). Nurlela dan Islahudin (2008) menjelaskan bahwa enterprise value (EV) atau dikenal juga sebagai firm value (nilai perusahaan) merupakan konsep penting bagi investor, karena merupakan indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan. Sedangkan Wahyudi (2005) dalam Nurlela dan Islahudin (2008) menyebutkan bahwa nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli andai perusahaan tersebut dijual. Dalam penilaian perusahaan terkandung unsur proyeksi, asuransi, perkiraan, dan judgement. Ada beberapa konsep dasar penilaian yaitu : nilai ditentukan untuk suatu waktu atau periode tertentu; nilai harus ditentukan pada harga yang wajar; penilaian tidak dipengaruhi oleh kelompok pembeli tertentu. Secara umum banyak metode dan teknik yang telah dikembangkan dalam penilaian perusahaan, di antaranya adalah : a) pendekatan laba antara lain metode rasio tingkat laba atau price earning ratio, metode kapitalisasi proyek laba; b) pendekatan arus kas antara lain metode diskonto arus kas; c) pendekatan dividen antara lain metode pertumbuhan dividen;
23
d) pendekatan aktiva antara lain metode penilaian aktiva; e) pendekatan harga saham; f) pendekatan economic value added (Suharli, 2002). Pada dasarnya tujuan manajemen keuangan adalah memaksimumkan nilai perusahaan. Akan tetapi di balik tujuan tersebut masih terdapat konflik antara pemilik perusahaan dengan penyedia dana sebagai kreditur. Jika perusahaan berjalan lancar, maka nilai saham perusahaan akan meningkat, sedangkan nilai hutang perusahaan dalam bentuk obligasi tidak terpengaruh sama sekali. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai dari saham kepemilikan bisa merupakan indeks yang tepat untuk mengukur tingkat efektivitas perusahaan. Berdasarkan alasan itulah, maka tujuan manajemen keuangan dinyatakan dalam bentuk maksimalisasi nilai saham kepemilikan perusahaan, atau memaksimalisasikan harga saham. Tujuan memaksimumkan harga saham tidak berarti bahwa para manajer harus berupaya mencari kenaikan nilai saham dengan mengorbankan para pemegang obligasi.
2.1.6 Profitabilitas Dewasa ini banyak pimpinan mendasarkan kinerja perusahaan yang dipimpinnya pada financial performance. Paradigma yang dianut oleh banyak perusahaan tersebut adalah profit oriented. Perusahaan yang dapat meperoleh laba besar, maka dapat dikatakan berhasil atau memiliki kinerja financial yang baik. Sebaliknya apabila laba yang diperoleh perusahaan relatif kecil, maka dapat dikatakan perusahaan kurang berhasil atau kinerja yang kurang baik, hal tersebut
24
dikarenakan profitabilitas adalah hasil akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan manajemen perusahaan. Profitabilitas
merupakan
kemampuan
suatu
perusahaan
untuk
mendapatkan laba (keuntungan) dalam suatu periode tertentu. Pengertian yang sama disampaikan oleh Husnan (2002) bahwa profitabilitas adalah kemampuan suatu perusahaan dalam menghasilkan keuntungan (profit) pada tingkat penjualan, aset, dan modal saham tertentu. Sedangkan menurut Michelle & Megawati (2005) profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan menghasilkan laba (profit) yang akan menjadi dasar pembagian dividen perusahaan. Profitabilitas
menggambarkan
kemampuan
badan
usaha
untuk
menghasilkan laba dengan menggunakan seluruh modal yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan pernyataan Shapiro (1991:731) “Profitability ratios measure managements objectiveness as indicated by return on sales, assets and owners equity.” Profitabilitas suatu perusahaan akan mempengaruhi kebijakan para investor atas investasi yang dilakukan. Kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba akan dapat menarik para investor untuk menanamkan dananya guna memperluas usahanya, sebaliknya tingkat profitabilitas yang rendah akan menyebabkan para investor menarik dananya. Sedangkan bagi perusahaan itu sendiri profitabilitas dapat digunakan sebagai evaluasi atas efektivitas pengelolaan badan usaha tersebut. Profitabilitas perusahaan merupakan salah satu dasar penilaian kondisi suatu perusahaan, untuk itu dibutuhkan suatu alat analisis untuk bisa menilainya. Alat analisis yang dimaksud adalah rasio-rasio keuangan. Ratio profitabilitas
25
mengukur efektifitas manajemen berdasarkan hasil pengembalian yang diperoleh dari penjualan dan investasi. Profitabilitas juga mempunyai arti penting dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka panjang, karena profitabilitas menunjukkan apakah badan usaha tersebut mempunyai prospek yang baik di masa yang akan datang. Dengan demikian, setiap badan usaha akan selalu berusaha meningkatkan profitabilitasnya, karena semakin tinggi tingkat profitabilitas suatu badan usaha maka kelangsungan hidup badan usaha tersebut akan lebih terjamin. Hubungan antara pengungkapan CSR dan profitabilitas perusahaan telah dipostulasikan
untuk
merefleksikan
pandangan
bahwa
kepekaan
sosial
membutuhkan gaya manajerial yang sama sebagaimana yang diperlukan untuk dapat membuat perusahaan menguntungkan (profitable), seperti dikutip dari Hackston dan Milne (1996). Pengungkapan CSR merupakan cerminan suatu pendekatan manajemen dalam menghadapi lingkungan yang dinamis dan multidimensional serta kemampuan untuk mempertemukan tekanan sosial dengan reaksi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, keterampilan manajemen perlu dipertimbangkan untuk survive dalam lingkungan perusahaan masa kini. Hackston dan Milne (1996) menyatakan bahwa profitabilitas merupakan faktor yang memberikan kebebasan dan fleksibilitas kepada manajemen untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kepada pemegang saham. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar pengungkapan informasi sosial yang dilakukan oleh perusahaan.
26
Riset penelitian empiris terhadap hubungan antara profitabilitas dan pengungkapan sosial perusahaan memberikan hasil yang sangat beragam. Penelitian Bowman dan Haire (1976) serta Preston (1978) mendukung hubungan profitabilitas
dengan
pengungkapan
tanggung
jawab
sosial
perusahaan.
Sedangkan penelitian yang dilakukan Hackston dan Milne (1996) dan Belkaoui dan Karpik (1989) melaporkan bahwa profitabilitas tidak berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2005) dan Anggraini (2006) juga menunjukan hasil bahwa profitabilitas tidak berpengaruh terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan.
2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian tentang pengungkapan CSR diantaranya dilakukan oleh Heal dan Garret (2004), Sembiring (2005), Siegel dan Paul (2006), Sayekti dan Wondabio (2007), Nurlela dan Islahuddin (2008) serta Yuniasih dan Wirakusuma (2009). Teori yang mendasari penelitian-penelitian tersebut adalah semakin tinggi kinerja keuangan, maka semakin besar jumlah pengungkapan yang dilakukan, dimana hal ini menjadi sinyal positif yang akan meningkatkan nilai perusahaan yang tercermin pada return saham. Penelitian Gray et al. (2001) mengenai turnover, modal dan jumlah tenaga kerja dan profitabilitas menunjukkan bahwa profitabilitas mempunyai pengaruh signifikan terhadap pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan.
27
Fiori et al. (2007) memproksikan kinerja keuangan perusahaan dengan menggunakan harga pasar saham dengan variabel kontrol Debt Equity Ratio, ROE dan Beta levered. Penelitian pada perusahaan di Italia ini dengan sampel 25 perusahaan dan periode penelitian 2004 – 2006. Hasil empirisnya menunjukkan CSRparameter (environment, employment, dan community) tidak signifikan mempengaruhi harga pasar saham. Ulupui (2007) melakukan penelitian pada 13 sampel perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dalam kurun waktu 1999 sampai 2005. Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling, dan menggunakan analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Return On Asset berpengaruh positif terhadap return saham satu periode ke depan. Oleh karena itu, ROA berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Penelitian Nurlela dan Islahuddin (2008) tentang pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap nilai perusahaan dengan kepemilikan manajemen sebagai variabel moderasi. Sampel menggunakan 41 perusahaan sektor non keuangan yang terdaftar di BEJ untuk tahun 2005. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Corporate Social Responsibility, prosentase kepemilikan, serta interaksi antara Corporate Social Responsibility dengan prosentase kepemilikan manajemen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Dahlia dan Siregar (2008) meneliti mengenai pengaruh CSR terhadap kinerja perusahaan di Indonesia. Pada penelitian ini kinerja perusahaan dibagi menjadi dua yaitu kinerja keuangan dan kinerja pasar. CSR berpengaruh positif
28
terhadap kinerja keuangan perusahaan, tetapi tidak berpengaruh positif terhadap kinerja pasar perusahaan. CSR tidak berpengaruh positif terhadap kinerja pasar perusahaan karena (1) isu mengenai CSR merupakan hal yang relatif baru di Indonesia dan kebanyakan investor memiliki persepsi yang rendah terhadap hal tersebut; (2) kualitas pengungkapan CSR tidak mudah untuk diukur, umumnya perusahaan melakukan pengungkapan CSR hanya sebagai bagian dari iklan dan menghindari untuk memberikan informasi yang relevan; dan (3) kebanyakan investor berorientasi pada kinerja jangka pendek, sedangkan CSR dianggap berpengaruh pada kinerja jangka menengah dan jangka panjang. Yuniasih dan Wirakusuma (2009) melakukan penelitian pada 27 sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dalam kurun waktu 2005 sampai 2006. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Return On Asset berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, Corporate Social Responsibility berpengaruh terhadap
nilai
perusahaan
dan variabel
Corporate
Social
Responsibility mampu menginteraksi hubungan antara Return On Asset dengan nilai perusahaan. Hasil penelitian Rakhiemah dan Agustia (2009) menunjukkan perusahaan dapat memperoleh banyak manfaat dari praktik dan pengungkapan CSR apabila dipraktekkan
dengan
sungguh-sungguh,
diantaranya:
dapat
mempererat
komunikasi dengan stakeholders; meluruskan visi, misi, dan prinsip perusahaan terkait dengan praktik dan aktivitas bisnis internal perusahaan. Rustiarini (2009) meneliti tentang pengaruh Corporate Governance yang diproksikan dengan kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, proporsi
29
komisaris independen, dan jumlah anggota audit pada hubungan pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) dan nilai perusahaan. Penelitian dilakukan di BEI pada tahun buku 2008 dan diperoleh 40 sampel dengan menggunakan metode purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel Corporate Governance mampu memoderasi hubungan antara Corporate Social Responsibility (CSR) dan nilai perusahaan. Kusumadilaga (2010) meneliti tentang pengaruh pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap nilai perusahaan dengan profitabilitas sebagai variabel yang memoderasi. Obyek yang diteliti adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2006-2008 karena tujuan penelitian tersebut adalah untuk
membandingkan
luas
pengungkapan
CSR
sebelum
dan
setelah
dikeluarkannya UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan sampel 21 perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan CSR berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan sedangkan profitabilitas tidak mampu memoderasi hubungan antara CSR dengan nilai perusahaan, serta terdapat perbedaan luas pengungkapan CSR sebelum dan sesudah regulasi UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Titisari dan Suwardi (2010) melakukan penelitian mengenai Corporate Social Responsibility (CSR) dan kinerja perusahaan. Penelitian dilakukan pada perusahaan-perusahaan di Bursa Efek Indonesia periode 2005 dan 2006 yang termasuk dalam industri rawan lingkungan dan mengikuti program PROPER dari Kementerian Lingkungan Hidup dengan sampel 32 perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan CSR, CSRenvironment , dan CSRcommunity berpengaruh terhadap kinerja
30
perusahaan tidak didukung oleh bukti empiris, sedangkan CSRemployment berpengaruh terhadap kinerja perusahaan didukung oleh bukti empiris. Wijayanti dan Sutaryo (2011) melakukan penelitian mengenai pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap kinerja keuangan perusahaan. Variabel kinerja keuangan perusahaan diproksikan dengan Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE), dan Earning Per Share (EPS), dengan mengambil sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2008. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CSR hanya berpengaruh signifikan terhadap ROE, dan tidak berpengaruh terhadap ROA dan EPS. Yintayani (2011) meneliti tentang pengaruh kepemilikan manajemen, leverage, profitabilitas (ROA), dan tipe industri terhadap pengungkapan informasi sosial perusahaan (CSR) pada semua perusahaan yang terdaftar di BEI tahun 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan pada pengungkapan CSR, leverage berpengaruh negatif pada pengungkapan CSR, profitabilitas berpengaruh positif pada pengungkapan CSR, dan tipe industri tidak berpengaruh pada pengungkapan CSR. Dwijayanti Ayu dan Wirakusuma (2012) meneliti tentang pengaruh tingkat pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada hubungan antara kinerja keuangan dan return saham, dengan mengambil sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2007 – 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ROA dan EVA berpengaruh terhadap return saham, dan pengungkapan CSR tidak terbukti berpengaruh pada hubungan kinerja keuangan dan return saham. Penelitian ini juga membuktikan bahwa terdapat perbedaan
31
pengaruh antara variabel ukuran kinerja dan setelah diinteraksi menggunakan variabel CSR. Hasil penelitian merupakan kajian empiris penelitian. Penelitian ini mencoba
mengembangkan
penelitian-penelitian
sebelumnya
dengan
cara
melakukan perluasan pengamatan dan pengembangan proksi. Ringkasan beberapa penelitian sebelumnya disajikan dalam Lampiran (2).