BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Burnout Istilah burnout pertama kali diciptakan oleh Freudenberger tahun 1974 untuk menggambarkan pekerja sebagai respon terhadap stres kerja yang berhubungan dengan interpersonal
(Freudenberger,
1974).
Burnout
adalah
sindrom
kelelahan
emosional,
depersonalisasi atau sinisnme, dan pengurangan prestasi pribadi. Pada kelelahan emosional menunjukkan perkembangan ke arah negative, sinis terhadap suatu pelayanan dan pekerjaan yang berakibat pada kurangnya prestasi pribadi dan memiliki kecendrungan untuk menilai diri sendiri secara negatif (Acker dan Dorothea, 2009). Aspek yang meliputi burnout atau kelelahan kerja antara lain kelelahan fisik, kelelahan mental, dan emosional, rendahnya penghargaan diri dan terganggunya hubungan individu dengan lingkungan sosial kerja (Prihantoro, 2014). Kelelahan emosional dapat menyebabkan antara lain hilangnya motivasi, frustasi, meningkatkan perasaan negatif dan sikap negatif, mengurangi kinerja pribadi, kesedihan, dan ketidakpuasaan, dan akhirnya berakibat pada frustasi dan kegagalan (Galindo, et al., 2012). Burnout bisa juga disebut hal yang berhubungan dengan pekerjaan seseorang yang membedakannya dengan depresi yang cenderung berhubungan dengan kehidupan seseorang. Masalah yang berhubungan dengan burnout antara lain penyakit fisik, masalah emosional, ketidakhadiran di tempat kerja, prestasi menurun, dan sikap negatif yang ditunjukkan saat bekerja di mana berakibat pada kualitas perawat pasien (Embriaco, et al., 2007). Salah satu definisi burnout lainnya adalah sindrom kelelahan emosional, depersonalisasi, dan pengurangan prestasi pribadi yang dapat terjadi antara individu yang bekerja dengan orang
lain (Maslach, et al., 1996). Kelelahan terjadi sebagai akibat dari tuntutan emosional seseorang. Depersonalisasi mengacu respon sinis, negatif atau terpisah untuk pasien. Pengurangan pretasi pribadi mengacu pada keyakinan bahwa tidak ada lagi yang dapat bekerja secara efektif dengan pasien. Ketika melihat burnout secara umum maka dapat dilihat sebagai keadaan kelelahan di mana menilai sinis tentang pekerjaan seseorang dan meragukan kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu (Maslach, et al., 1996). Burish (2006) dan Demerouti et al. (2007) setuju bahwa stres menyebabkan kelelahan dalam layanan manusia juga dapat ditemukan dalam pekerjaan lain. Burish (2006) setuju bahwa burnout tidak terjadi dalam semalam. Itu adalah hasil dari sebuah proses yang berkepanjangan dan lambat yang dapat berlangsung bahkan bertahun-tahun. Menurut Burish (2006) yang pemicu burnout adalah tuntutan pekerja yang berlebihan dan kemampuan pekerja untuk mengumpulkan energi saat memenuhi tuntutan pekerjaan. Perkembangan dari burnout biasanya dimulai pada tahap awal dari kelelahan emosional. Kelelahan emosional yang tinggi menyebabkan penarikan dari pasien dengan pekerja bekerja dan juga dari pekerjaan mereka pada umum (Taris, et al., 2005). Dengan kata lain, kelelahan emosional dapat menyebabkan tahap depersonalisasi dari burnout (Maslach, et al., 2001). Berdasarkan penelitian untuk Demerouti, et al. (2007) perkembangan burnout dibagi menjadi dua. Proses pertama terkait dengan tuntutan pekerjaan yang menyebabkan berhenti dari pekerjaan. Aspekaspek dasar dari proses burnout dapat dilanjutkan pada tahap berikutnya, ada tahap 1 beban kerja yang tinggi, stres kerja, harapan kerja tinggi (permintaan pekerjaan melebihi sumber pekerjaan dan pekerjaan tidak memenuhi harapan seseorang); tahap 2 kelelahan fisik atau emosional (kelelahan investasi energi yang lebih tinggi dalam rangka melaksanakan semua tugas pekerjaan, susah tidur, kecendrungan untuk sakit kepala dan rasa sakit fisik lainnya dan kelelahan emosional); tahap 3 depersonalisasi (sikap apatis; depresi; kebosanan; sikap negatif terhadap pekerjaan, rekan-rekan,
dan pasien; dan mengurangi usaha kerja); dan tahap 4 putus asa (keengganan untuk diri sendiri dan lainnya). Sebagai kondisi klinis atau medis, kelelahan mungkin diberi label sebagai kerja terkait neurasthenia yang dijelaskan dalam International Classification of Disease (ICD-10). ICD-10 mencakup kriteria gejala yaitu keluhan gigih dan tertekan dari perasaan kelelahan dan kelemahan tubuh setelah upaya fisik yang minim, setidaknya dua dari enam gejala berikut nyeri otot dan nyeri, pusing, sakit kepala ketegangan, gangguan tidur, ketidakmampuan untuk bersantai atau lekas marah; pasien tidak mampu untuk pulih dari gejala dengan cara istirahat, relaksasi, atau hiburan; durasi gangguan setidaknya tiga bulan; dan kriteria untuk gangguan yang lebih spesifik tidak berlaku. Burnout juga didefinisikan sebagai gangguan penyesuaian mental dijelaskan di Statisctical Manual of Mental Disorders (DSM IV) yaitu gejala harus mengembangkan dalam waktu 3 bulan dari timbulnya stresor dengan definisi gangguan penyesuaian harus menyelesaikan dalam waktu 6 bulan dari penghentian stresor (Schaufeli & Enzman, 1998). DSM IV membedakan enam subtipe dari gangguan penyesuaian. Hal ini ditandai dengan reaksi maladaptive (keluhan fisik) terhadap stresor psikososial yang tidak diklasifikasikan sebagai salah satu subtipe tertentu dari gangguan penyesuaian. Burnout biasanya bukan merupakan reaksi langsung untuk mengidentifikasi stresor. Itu lebih mungkin akibat dari stres kronis (terus menerus yang terjadi situasi bermasalah) dan berlangsung agak lambat serta biasanya tidak selesai setelah enam bulan. 2.1.1. Epidemiologi Burnout Pada beberapa penelitian ditemukan ada prevalensi burnout yang tinggi seperti FirthCozens telah menemukan bahwa 113 dari perawat di seluruh dunia menunjukkan gejala kelelahan kerja bahkan dari awal karir mereka, sementara tampaknya perawat adalah kelompok berisiko tinggi untuk gangguan jiwa berat (Aristotelis, et al., 2014).
Di Singapura, di antara perawat yang bekerja di rumah sakit tersier umum, diperkirakan bahwa 30-50% dari mereka mengalami stres, tetapi tidak ada literatur tentang prevalensi burnout di kalangan perawat di sebuah rumah sakit komunitas (CH) di Singapura (Yulianti dan Dewi, 2015). Pada penelitian Franca, et al. (2011) populasinya terdiri dari 42 perawat; 38 diwawancarai. Dari jumlah tersebut, 76,3% disajikan dengan sindrom burnout. Sebagian besar profesional diklasifikasikan dengan kelelahan yang tinggi emosional (88,9%), depersonalisasi tinggi (100%), dan prestasi pribadi yang rendah (97,4%). Ada juga yang menemukan sekitar 62%, 58%, dan 68% dari perawat wanita memiliki EE tinggi, DP tinggi, dan PA rendah (Matin, et al., 2014). Ditemukan juga di Eropa pada tahun 2011 menunjukkan bahwa sekitar 30% dari perawat yang disurvei melaporkan kelelahan karena aktivitas kerja (Ribeiro, et al., 2014). Sebuah penelitian di Inggris menemukan bahwa sekitar 42% dari perawat di Inggris dilaporkan menderita burnout, sedangkan di Yunani sekitar 44% dari perawat melaporkan perasaan tidak puas terhadap hasil kerjanya dan memiliki keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Lebih rendah prevalensi dilaporkan dalam survei di Jerman, yang diperkirakan 4,2% dari populasi pekerja terkena burnout (Ribeiro, et al., 2014). Pada survei yang dilakukan oleh Persatuan Perawat Indonesia pada tahun 2006 ada sebanyak 50,9% perawat di Indonesia mengalami stres kerja menyatakan keluhan sering pusing, lelah, tidak ada istirahat yang antara lain dikarenakan beban kerja yang terlalu tinggi dan pekerjaan menyita waktu (Noviandini, 2015). 2.1.2. Faktor Resiko Burnout
Faktor yang mempengaruhi burnout dibedakan menjadi dua yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Yang terdiri dari faktor intrinsik adalah jenis kelamin, usia, keadaan emosi, intelegensi, kepribadian, dan harga diri. Faktor ekstrinsik adalah lingkungan kerja psikologis yang kurang baik, kurang adanya kesempatn untuk promosi, imbalan yang diberikan tidak mencukupi, kurangnya dukungan sosial dari atasan, tuntutan pekerjaan, dan pekerjaan yang monoton. Dikatakan juga pada penelitian yang lainnya oleh Lorenzo et al. (2010) bahwa perawat mendapat tekanan yang lebih besar dan lebih rentan terkena sindrom burnout yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti hubungan interpersonal, stres karena perawatan, dan faktor antar profesional. Pada penelitian Montero et al. (2011) dikatakan bahwa hubungan yang nyata antara berbagai faktor risiko sosial, faktor demografi seperti usia, jenis kelamin, anak-anak, dan faktorfaktor risiko pekerjaan seperti jam kerja per minggu, penghasilan bulanan menyebabkan timbulnya sindrom burnout. Dalam sebuah penelitian oleh Rastgari et al. (2010), faktor-faktor seperti upah yang lebih tinggi, kondisi kerja membaik, promosi, dukungan hukum, dan kebijakan organisasi dianggap oleh perawat sebagai faktor yang penting dalam meningkatkan kualitas hidup. Dalam Gholamnejad & Nikpaima (2009), menyatakan bahwa kurangnya penghargaan, beban kerja yang besar, kurangnya control atas kondisi kerja, dan kurangnya promosi yang dibuat untuk tekanan kerja juga merupakan hal yang paling penting dari perawat. Bahrami et al. (2009) menemukan bahwa frekuensi tertinggi dari stres pada pria adalah peran tanggung jawab dan pada wanita adalah peran ganda dalam kesehariannya atau dualitas peran. Faktor-faktor yang mempengaruhi burnout antara lain adalah 1. Jenis Kelamin Setiap manusia memiliki perbedaan dan ciri khas tersendiri yang tampak secara fisik. Adanya perbedaan secara anatomis yang digolongkan pada dua jenis yang berbeda yaitu
laki-laki dan perempuan (Gunarsa, 1997). Jenis kelamin merupakan kualitas yang menentukan individu yaitu laki-laki atau perempuan yang menyatakan perbedaan secara anatomis dan fisiologis yang menyebabkan perbedaan struktur tingkah dan aktivitas dari laki-laki dan perempuan (Kartono, 1998). Perbedaan jenis kelamin juga dipengaruhi oleh kebudayaan dan norma sosial selain perbedaan fisik dan tingkah laku. Penelitian yang dilakukan oleh Collins (1998) dalam Mochtar et al (2013) menunjukkan bahwa tingkat stres pada wanita memilki kecenderungan tidak ada perbedaan tingkat stres pada pria. Hasil yang berbeda pada penelitian Sarwono dan Purwono (2006) baik pria maupun wanita rentan mengalami stres dibandingkan pria. Adanya sumber stres yang sama yang dialami oleh pria dan wanita yaitu dalam kesehatan dan kesejahteraan, depresi pada pria dan wanita dinyatakan lebih cepat lelah, cemas, dan penyakit psikologis yang ringan (Sirait, 2010). 2. Umur Pada hasil penelitian Noviandini (2015) menunjukkan bahwa semakin bertambahnya umur seseorang, semakin rendah kondisi stres yang dialami. Menurut Siboro (2009), hal ini dikarenakan kelompok umur ini termasuk kelompok umur produktif yang stabil dan mantap dalam mengambil keputusan, dan memiliki tanggung jawab untuk bekerja secara sungguh-sungguh. Menurut Ahsan (2009) dalam Purbonani et al. (2014) umur memiliki hubungan dengan perubahan fisik dan mental pada manusia yang berdampak pada stres seiring bertambahnya umur. Penelitian Rahmawati (2010) menyatakan bahwa usia dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu usia kronologis dan usia biologis. Usia kronologis ditentukan berdasarkan penghitungan kalender, sehingga tidak dapat dicegah maupun dikurangi. Sedangkan usia biologis merupakan usia yang bergantung pada faktor
lingkungan dan nutrisi yang dilihat dari jaringan tubuh seseorang, sehingga usia biologis ini dapat dipengaruhi. Usia dewasa yaitu usia individu antara 18-60 tahun. usia dewasa dibagi menjadi tiga periode yaitu dewasa awal yaitu usia 18-35 tahun, dewasa madya usia 35-45 tahun, dan dewasa akhir dengan usia 46-60 tahun. adanya perbedaan perkembangan emosi yaitu pada dewasa awal perkembangan emosi tidak stabil, masa dewasa madya mengalami emosi berfluktuasi dikarenakan harus melakukan penyesuaian diri untuk menuju pada masa tua, dan dewasa akhir keadaan emosinya sudah stabil. 3. Tingkat pendidikan Penelitian lain menunjukkan hamper seluruh perawat dengan pendidikan D3 mengalami stres kerja yang disebabkan oleh semakin tingginya pendidikan seseorang, semakin banyak pengetahuannya sehingga lebih mampu mengatasi stres yang terjadi dalam dirinya dibandingkan dengan mereka yang pendidikannya lebih rendah (Ismafiaty, 2011). Hasil yang berbeda pada penelitian Suhendar (2012) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan tingkat stres berdasarkan tingkat pendidikan. Menurut Gobel et al. (2013) bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi pemilihan pekerjaan menyebabkan semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin kuat keinginan untuk melakukan pekerjaan dengan tingkat tantangan yang tinggi. 4. Status pernikahan Penelitian yang dilakukan Martina (2012) memperlihatkan bahwa stres kerja yang moderat lebih banyak dialami oleh perawat yang menikah. Hasil penelitian yang berbeda dilakukan Suhendar (2012) bahwa proporsi responden yang mengalami stres dengan lebih tinggi pada yang belum menikah dibandingkan dengan yang sudah menikah. 5. Masa kerja
Dari penelitian Suhendar (2012) diperoleh hasil semakin bertambah lama kerja responden, semakin ringan tingkat stres kerja yang dialaminya dan begitu juga sebaliknya. Hal yang berbeda didapatkan oleh Russeng et al. (2007) yang menunjukkan semakin lama seseorang bekerja dalam suatu organisasi, semakin tinggi kepuasan terhadap pekerjan hal tersebut yang menyebabkan kecenderungan untuk stres semakin menurun. Pada penelitian Dimunova dan Nagyova (2012) menunjukkan bahwa masa kerja perawat 1-3 tahun dan 5 tahun atau lebih mengalami burnout yang lebih tinggi. Pada masa kerja 1-3 tahun terjadi peningkatan usaha kerja yang lebih di mana mereka secara antusias melakukan pekerjaannya dan seringkali mengabaikan kesehatan mentaknya. Pada masa kerja setelah 5 tahun berhubungan dengan stres dan menghadapi kematian, sekarat, penderitaan, dan keletihan yang menyebabkan tingginya insiden burnout. 6. Hubungan dengan rekan kerja Dari hasil penelitian Fitri (2013) menyatakan kemampuan yang baik untuk mengungkapkan masalah dan persepsi tentang lingkungan sekitarnya akan membantu pekerja mengatasi tekanan di tempat kerjanya sehingga mencegah stres kerja. Hubungan yang baik antara anggota dari satu kelompok kerja dianggap faktor utama dalam kesehatan organisasi dan individu. 7. Lingkungan kerja Lingkungan kerja di mana perawat bekerja sudah sesuai dengan standar mengingat lingkungan kerja merupakan salah satu sumber stres kerja (Noviandini, 2015). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Noviandini (2015) pada saat melakukan penelitian di ruang ICU dapat terlihat ruangan yang tidak bising, fasilitas sudah disediakan dengan baik, letak tata ruang yang rapi, pencahayaan yang baik, dan suhu udara yang sesuai dengan setiap
shift. Lingkungan kerja yang kotor dan tidak sehat merupakan sumber pembangkit stres. Kondisi kerja yang buruk mudah menyebabkan pekerja mudah terkena penyakit, mudah stres, konsentrasi menurun, dan menurunnya produktifitas kerja. Hal ini dikaitkan dengan lingkungan kerja dapat menciptakan hubungan kerja yang baik sesama pekerja di dalamnya (Nitisemito, 2000). 8. Beban kerja Pada penelitian Hariyono, et al. (2009) menunjukkan bahwa beban kerja yang tinggi pada perawat menyebabkan perawat mengalami kelelahan atau kejenuhan yang berpengaruh pada kualitas kerja perawat tersebut. Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian Mudayana (2012) yang menunjukkan bahwa beban kerja tidak mempengaruhi pekerja dan pekerja masih bisa bekerja dengan baik selama termotivasi dalam bekerja.
2.1.3. Gejala Burnout Burnout disebut sebagai gejala yang dapat diidentifikasi dengan beberapa masalah pada tingkat individu, interpersonal, dan organisasi. Sebagian besar peneliti setuju bahwa banyak tandatanda yang dapat menunjukkan bahwa seseorang menderita burnout tetapi biasanya seseorang tidak menunjuukan semua gejala yang ada (Burish, 2006). Schaufeli dan Enzman (1998) menunjukkan 5 jenis tanda-tanda pada tingkat individu yaitu afektif, fisik, kognitif, perilaku, dan motivasi. Tanda afektif terdiri dari depresi, merasa sedih, kelelahan emosional, dan kecemasan. Tanda kognitif terdiri dari kehilangan harapan, merasa tidak berdaya, merasa gagal, rendah diri, merasa bersalah akan sesuatu, ide bunuh diri, dan
ketidakmampuan untuk berkonsentrasi. Tanda fisik terdiri dari sakit kepala, mual, pusing, nyeri otot, gangguan tidur, gangguan pencernaan, dan kelelahan yang bersifat kronis. Tanda perilaku yaitu hiperaktif, meninggalkan kegiatan yang bersifat hiburan, dan suka mengeluh. Dalam motivasi ada kehilangan semangat, pengunduran diri, kekecewaan, dan mudah bosan. Maslach et al. (2001) menambhakn bahwa pada tingkat individu yang menjadi perhatian utama adalah kelelahan mental atau emosional, mental, dan perilaku tanda-tanda (bukan fisik) dan efisiensi diri. Selain itu, salah satu yang harus diingat bahwa burnout selalu berkaitan dengan pekerjaan dan memperlihatkan diri sebagai orang normal yang tidak menderita psikopatologi sebelumnya. Schaufeli dan Enzman (1998) menjelaskan juga daftar tentang burnout pada tingkat interpersonal. Schaufeli dan Enzman mengategorikan burnout ke dalam afektif, kognitif, perilaku, dan motivasi. Tanda afektif yaitu iritabilitas, sensitif, dan empati yang berkurang pada pasien. Tanda kognitif yaitu persepsi sinis dan tidak manusiawi kepada pasien, dan sikap pesimis. Pada tanda perilaku ada kecenderungan untuk berperilaku keras, agresif, dan melakukan penarikan diri dari lingkungan. Dalam motivasi ada hilangnya minat dan ketidakpedulian terhadap pasien. 2.1.4. Diagnosis Burnout Kuesioner burnout paling banyak dipakai adalah Maslach Burnout Inventory (MBI) (Maslach, et al., 1996). Bahkan, MBI meliputi tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan pengurangan prestasi pribadi. MBI pertama kali dirancang untuk mengatasi kelelahan dalam bidang pelayanan manusia (MBI-HSS) (Halbesleben & Buckley, 2004). MBI bukan satu-satunya ukuran yang tersedia untuk mengatasi burnout. Alternatif untuk MBI-GS adalah Oldenburg Burnout Inventory mengikuti gagasan tentang burnout. Ini juga
mencakup dua dimensi yaitu kelelahan dan ingin berhenti dari pekerjaannya. Pengukuran lainnya dikenal dengan Tedium Scale (Burish, 2006) dan Copenhagen Burnout Inventory (Kristensen, et al., 2005) yang mengikuti deifinisi yang agak berbeda dari burnout. Namun demikian, MBI tetap ukuran yang paling sering digunakan untuk penelitian tentang burnout. Maslach (1996) membagi burnout menjadi 3 dimensi yaitu
Kelelahan emosional (EE) yaitu individu yang merasa kosong, kelelahan dan mengurangi kegiatan dalam bekerja. Ini dapat berubah menjadi ketidakpedulian dan kurangnya minat untuk mengurus pasien. Dimensi ini dievaluasi oleh skala yang dimulai dari 0 sampai 30 atau lebih seperti kategori rendah 0-17, menengah 18-29, dan tinggi 30 atau lebih.
Depersonalisasi (DP) yaitu reaksi negatif individu terhadap pasien, bersikap tidak sopan, merendahkan, dan menghina pasien. Dimensi ini dievaluasi oleh skala yang dimulai dari 0 sampai 12 atau lebih seperti kategori rendah 0-5, menengah 6-11, dan tinggi 12 atau lebih.
Pengurangan prestasi pribadi (PA) yaitu individu merasa gagal, harga dirinya turun, dan depresi. Dimensi ini dievaluasi melalui skala yang dimulai 0 sampai 40 atau lebih. Evaluasi yang diperoleh berbanding terbalik dengan tingkat ketidaknyamanan seperti kategori rendah 40 atau lebih, menengah 34-39, dan tinggi 33-0. Dari ke tiga bagian tersebut yang dapat dikatakan burnout adalah hasil dari EE 30 atau
lebih, DP 12 atau lebih, dan PA 33 atau kurang. 2.1.5. Intervensi Burnout Cognitive Behavioral Therapy (CBT) banyak digunakan dan diakui sebagai pengobatan untuk masalah kesehatan mental yang berhubungan dengan pekerjaan di Belanda (Keijsers, et al., 2000). Setiap CBT ini terdiri dari modul dasar yang berfokus pada identifikasi
masalah dan pada pengurangan gejala (misalnya, meningkatkan mood dan aktivasi). Setelah ini satu atau lebih modul akan dipilih untuk dibahas dengan pasien untuk setiap sesi. Modul ini terdiri dari umumnya 12 sesi yaitu dalam prakteknya 11,4 sesi selama 5,7 bulan. Kerja yang berfokus pada terapi kognitif (W-CBT) terdiri dari perawatan rutin (CBT) ditambah modul yang berfokus pada pekerjaan dan meminta pasien untuk kembali bekerja. Pusat perawatan yang membahas masalah kerja dalam fase awal dan menggunakan kerja dan tempat kerja sebagai mekanisme untuk mencapai tujuan pengobatan seperti aktivasi, struktur waktu, kontak sosial, aktivitas, dan meningkatkan harga diri. Untuk mengintegrasi ide ini ke setiap sesi, WCBT terdiri dari yang berhubungan dengan pekerjaan yang berhubungan dengan perencanaan RTW (return to work) tertentu. Intervensi CBT diisi dengan konteks pekerjaan seperti pekerjaan yang berfokus pada psiko-pendidikan yang menantang pemikiran disfungsional. Selain dua komponen yang berhubungan dengan pekerjaan, waktu perawatan yang bisa dihabiskan untuk masalah di luar pekerjaan misalnya masalah perkawinan. Namun, terapis didorong untuk berhubungan dengan permasalahan di luar pekerjaan dengan menanyakan bagaimana pekerjaan bisa membantu untuk mengurangi kekhawatiran masalah perkawinan. Intervensi pekerjaan spesifik yang berhubungan di setiap sesi yaitu pada sesi pertama diberi penjelasan yang berhubungan dengan pekerjaan dan tentang gejala yang diderita pasien sebagai contoh, kerja dapat menawarkan beberapa hal seperti peningkatan harga diri yang bermanfaat untuk membantu anda pulih kembali atau anda tidak akan pulih dari gejala anda hanya dengan duduk di rumah, itu akan membuat keadaan lebih buruk. Dalam sesi ke dua karakteristik pekerjaan diinventarisasi dan dianalisis masalah dari situasi kerjanya. Pada sesi ke tiga, perencana RTW disusun oleh terapis dan pasien seperti
kegiatan dan tugas yang akan dilakukan, berapa lama pasien bekerja untuk setiap tugas yang diberikan, dan apakah perlu untuk berubah karakteristik kerjanya. Tuntutan pekerjaan yang seimbang bisa membuat pengalaman untuk belajar sesuatu yang meningkat. Kehadiran karakteristik pekerjaan yang bermanfaat juga diperhitungkan dalam perencaan RTW. Pada sesi ke empat dan berikutnya, RTW dievaluasi dan pasien dirangsang untuk mengambil langkah berikutnya dan meningkatkan keinginan pasien untuk kembali bekerja. Dalam setiap sesi, dibahas juga cara mencegah terjadinya kekambuhan pada pasien. Ditemukan juga pada tahun 2010 oleh Orly et al. melakukan studi terkontrol secara acak untuk mengevaluasi efektivitas intervensi perilaku kognitif yang terdiri dari 16 pertemuan untuk intervensi kognitif dan mengurangi stress dengan keterampilan perilaku dan ditemukan bahwa CBI secara signifilan menurunkan kadar stres dan kelelahan serta meningkatkan SOC.