1
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
A. Kinerja Pengertian Kinerja Karyawan mempunyai arti Performance atau Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masingmasing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral ataupun etika. Menurut Suyadi (1999), kinerja adalah : “Hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu oraganisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab dalam rangka mencapai tujuan organisasi”. Kinerja seorang karyawan akan baik bila dia mempunyai keahlian (skill) yang tinggi, bersedia bekerja karena digaji atau diberi upah sesuai dengan perjanjian, mempunyai harapan (expectation) masa depan lebih baik. Mengenai gaji dan adanya harapan (expectation) merupakan hal yang menciptakan motivasi seorang karyawan melaksanakan kegiata kerja dengan kinerja yang baik. Bila kelompok karyawan dan atasannya mempunyai kinerja yang baik, maka akan berdampak pada kinerja perusahaan yang baik pula. Kinerja (prestasi kerja) menurut Mangkunegara (2006) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja adalah salah satu pendekatan strategi dan terpadu untuk menyampaikan
2
sukses berkelanjutan pada organisasi dengan memperbaiki kinerja karyawan yang bekerja didalamnya dan dengan mengembangkan Capabilitas tim dan Contributor individu berdasar teori Amstrong dan Baron (1998) Faizan dan Winarsih (2008) menyatakan kinerja perawat adalah aktivitas perawat dalam mengimplementasikan sebaik-baiknya suatu wewenang, tugas dan tanggung jawabnya dalam rangka pencapaian tujuan tugas pokok profesi dan terwujudnya tujuan dan sasaran unit organisasi. Kinerja perawat sebenarnya sama dengan prestasi kerja perusahaan. Perawat ingin diukur kinerjanya berdasarkan standar obyektif yang terbuka dan dapat dikomunikasikan. Jika perawat diperhatikan dan dihargai sampai penghargaan superior, mereka akan terpacu untuk mencapai prestasi kerja pada tingkat lebih tinggi. Mahmudi
(2010)
mengatakan
bahwa
kinerja
merupakan
konstruk
multidimensional yang mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja antara lain : 1.
Faktor personal Meliputi pengetahuan, ketrampilan, kemampuan, kepercayaan diri, motivasi dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu.
2.
Faktor kepemimpinan Meliputi kualitas dalam memberikan dorongan, semangat, arahan dan dukungan yang diberikan manajer atau team leader.
3.
Faktor tim Meliputi kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim.
3
4.
Faktor sistem Meliputi sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang diberikan oleh organisasi, proses organisasi dan kultur kinerja dalam organissai.
5.
Faktor kontekstual (situasional) Meliputi tekanan dan perubahan lingkungan eksternal dan internal.
Dalam teori Furtwengler (2002) menerangkan bahwa ada sejumlah aspek yang dapat dijadikan sebagai indikator kinerja yaitu : 1.
Kecepatan Kecepatan terkait dengan unsur-unsur, pemahaman mengenai pentingnya kecepatan dalam lingkungan persaingan, kemmapuan melakukan pekerjaan dengan baik, kemampuan menyelesaikan pekerjaan sesuai jadwal dan kemampuan mencari cara untuk menyelesaikan pekerjaan rutin dengan lebih cepat. Kecepatan sangat penting bagi keuanggulan bersaing perusahaan atau organisasi.
2.
Kualitas Kualitas tidak dapat dikorbankan demi kecepatan. Kualitas pekerjaan dapat dilihat dari beberapa usnur seperti : bangga terhadap pekerjaannya, melakukan pekerjaan dengan benar sejak awal dan mencari cara-cara untuk memperbaiki kualitas pekerjaannya.
3.
Pelayanan Dapat dilihat melalui hal-hal berikut : pemahaman mengenai pentingnya melayani pelanggan, menunjukkan keinginan untuk melayani orang lain
4
dengan baik, merespons pelanggan dengan tepat waktu dan karyawan memberikan sesuatu lebih daripada yang diminta oleh pelanggan. 4.
Nilai Mencakup dua hal yaitu tindakan yang mengindikasikan pemahaman konsep nilai dan nilai merupakan sesuatu yang dipertimbangkan dalam mengambil keputusan.
5.
Ketrampilan interpersonal Menunjukkan perhatian pada perasaan orang lain, menggunakan bahasa yang memberikan semangat kepada orang lain, bersedia membantu orang lain dan merayakan keberhasilan orang lain dengan tulus.
6.
Mental untuk sukses Memiliki sikap can do anything (yakin bahwa ia dapat melakukan apapun) mencari
cara
untuk
menambah
pengetahuan,
mencari
cara
untuk
emmperbanyak pengalaman dan realitas dalam mengukur kemampuan. 7.
Terbuka untuk berubah Bersedia menerima perubahan, menacri cara baru dalam menyelesaikan tugas-tugas, tindsakan yang mengindikasikan sifat ingin tahu.
8.
Kreatifitas Kreatifitas dalam pemecahan masalah, kemampuan melihat hubungan antara masalah-masalah yang kelihatannya tidak berkaitan, kemampuan membuat konsep abstrak dan mengembangkan menjadi konsep yang dapat diterapkan dan kemampuan menerapkan kreatifitasnya dalam pekerjaan sehari-hari.
5
Pabundu (2006) terdapat dua faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan yaitu : 1.
Faktor internal, faktor yang berhubungan dengan kecerdasan, ketrampilan, kestaliban emosi, sifat-sifat seseorang yang meliputi sikap, sifat-sifat kepribadian, sifat fisik, keinginan atau motivasi, umur, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman kerja, latar belakang budaya dan variabel-variabel personal lainnya.
2.
Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan yang berasal dari lingkungan meliputi : peraturan ketenagakerjaan, keinginan pelanggan, pesaing, kondisi ekonomi, kebijakan organisasi, kepemimpinan, tindakan rekan kerja, jenis pelatihan dan pengawasan, sistem upah dan lingkungan sosial.
Menurut Gibson (1996) terdapat tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kinerja dan perilaku yaitu : 1.
Variabel individu, meliputi kemampuan dan ketrampilan, disik maupun mental, latar belakang, pengalaman dan demografi, umur dan jenis kelamin, asal-usul dan sebagainya. Kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama
yang
mempengaruhi
kinerja
individu,
sedangkan
demografi
mempunyai hubungan tidak langsung pada perilaku dan kinerja. 2.
Variabel organisasi, yaitu sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.
3.
Variabel psikologis, yakni persepsi, sikap, kepribadian, belajar, kepuasan kerja dan motivasi. Persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang komplek dan sulit diukur serta kesempatan tentang pengertiannya sukar
6
dicapai, karena semua individu masuk dan bergabung ke dalam suatu organisasi kerja pada usia, etnis, latar belakang dan ketrampilan yang berbeda satu sama lain. Penilaian kinerja disebut juga sebagai perfomance appraisal, performance evaluation, development review, performance review dan development. Penilaian kinerja merupakan kegiatan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Usman (2011) menyatakan penilaian kinerja harus berpedoman pada ukuran-ukuran yang telah disepakati bersama dalam standar kerja. Penilaian kinerja perawat merupakan evaluasi kinerja perawat sesuai standar praktik profesional dan peraturan yang berlaku. Penilaian kinerja perawat merupakan cara untuk menjamin tercapainya standar praktek keparawatan. Penialain kinerja merupakan alat yang dapat dipercaya oleh manajer perawat dalam mengontrol sumber daya manusia dan produktivitas.
Proses penilaian
kinerja dapat digunakan secara efektif dalam mengarahkan perilaku pegawai, dalam rangka menghasilkan jasa keperawatan dalam kualitas dan volume yang tinggi. Nursalam (2008) mengemukakan perawat manajer dapat menggunakan proses operasional kinerja untuk mengatur arah kerja dalam memilih, melatih, membimbing perencanaan karier serta memberi penghargaan kepada perawat yang berkompeten. Menurut Ruky (2004), penilaian kinerja adalah : “Membandingkan antara hasil yang sebenarnya diperoleh dengan yang direncanakan”. Dengan kata lain, sarana-sarana tersebut harus diteliti satu per satu, mana yang telah dicapai
7
sepenuhnya (100%), mana yang diatas standar (target), dan mana yang dibawah target atau tidak tercapai penuh. Nawawi (2006) menyatakan bahwa tujuan penilaian kinerja adalah untuk mengetahui tingkat efektivitas dan efisiensi atau tingkat keberhasilan atau kegagalan seseorang pekerja/karyawan atau tim kerja dalam melaksanakan tugas/jabatan yang menjadi tanggung jawabnya. Model dan metode penilaian kinerja menurut Mangkunegaran (2009) adalah : 1.
Penilaian sendiri pendekatan yang paling umum digunakan untuk mengukur dan memahami perbedaan individu. Akurasi didefinisikan sebagi sikap kesepakatan antara penilaian sendiri dan penilaian lainnya. Other Rating dapat diberikan oleh atasan. Penilaian sendiri biasanya digunakan pada bidang SDM sperti : penilaian, kinerja, penilaian kebutuhan pelatihan, analisa peringkat jabatan, perilaku kepemimpinan dan lainnya.
2.
Penialian atasan Organisasi pada tingkat kematangan majemuk, personal biasanya dinilai oleh manajer yang tingkatnya lebih tinggi, penilaian ini yang termasuk dilakukan oleh supervisor atau atasan langsung.
3.
Penilaian mitra penilaian ini cocok diguankan pada kelompok kerja yang mempunyai otonomi yang cukup tinggi. Dimana wewenang pengambilan keputusan pada tingkat tertentu telah didelegasikan oleh manajemen kepada anggota kelompok kerja. Penilaan mitra dilakukan oleh seluruh anggota kelompok kerja dan umpan balik untuk personal yang dinilai dilakukan oleh
8
komite kerja dan bukan oleh supervisor. Penilaian ini biasanya ditujukan untuk pengembangan personal dibandingkan untuk evaluasi. 4.
Penilaian bawahan penilaian ini dilakukan untuk tujuan pengembangan dan umpan balik. Bila penilaian ini digunakan untuk administratif dan evaluasi, menetapkan gaji dan promosi maka penggunaan penilaian ini kurang mendapat dukungan. Program penilaian bawahan terhadap atasan dalam rangka perencanaan dan penilaian kinerja manajer. Program ini menilai manajer untuk dapat menerima penilaian bawahan sebagai umpan balik atas kemampuan atasan.
B. Motivasi kerja Motivasi berasal dari bahasa latin yaitu movere yang berarti dorongan atau penggerak. Motivasi dalam manajemen hanya ditujukan pada sumber daya manusia pada umumnya dan bawahan pada khususnya. Mathis, Robert L. dan Jackson. John H. (2006) menyebutkan motivasi kerja sebagai hasrat di dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut melakukan tindakan bekerja melakukan sesuatu. Menurut Rivai (2004) motivasi kerja adalah serangkaian sikap dan nilainilai yang mempengaruhi individu untuk mencapai hal yang spesifik sesuai tujuan individu. Berdasarkan kedua pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja karyawan adalah dorongan individu untuk melakukan tindakan karena mereka ingin melakukannya dalam mencapai tujuan yang mereka
9
inginkan. Pencapaian tujuan tersebut dapat berupa uang, keselamatan, penghargaan dan lain-lain. Marliani Rosley (2015) mengemukakan bahwa kekayaan, rasa aman (keselamatan), status dan segala macam tujuan lain merupakan hiasan semata-mata untuk mencapai tujuan akhir setiap orang yaitu menjadi dirinya sendiri. Menurut As’ad (2002) motivasi kerja didefinisikan sebagai sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Oleh sebab itu, motivasi biasa disebut sebagai pendorong atau semangat kerja. Sedangkan menurut Robbins ( 2002), motivasi didefinisikan sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan-tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individu. Sementara motivasi umum bersangkutan sengan upaya ke arah setiap tujuan yang fokusnya dipersempit terhadap tujuan organisasi. Ketiga unsur kunci dalam definisi ini adalah upaya, tujuan, dan kebutuhan. Dalam hubungannya dengan lingkungan kerja, Ernest L. McCormick (2002) mengemukakan bahwa motivasi kerja didefinisikan sebagai kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku yang berhubungan dengann lingkungan kerja. Pada hakikatnya saat karyawan bekerja mereka membawa serta keinginan, kebutuhan, pengalaman masa lalu yang membentuk harapan kerja mereka. Adanya motivasi terutama motivasi untuk berprestasi akan mendorong seseorang mengembangkan pengetahuan dan kemampuannya demi mencapai prestasi kerja yang lebih baik. Biasanya seseorang yang memiliki motivasi kuat akan mempunyai tanggung jawab untuk
10
menghasilkan presatsi yang lebih baik. Menurut Trisnaningsih (2003) dengan adanya motivasi kerja, diharapkan setiap individu mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai kinerja yang tinggi. Motivasi atau dorongan kepada karyawan untuk bersedia bekerja bersama demi tercapainya tujuan bersama ini terdapat dua macam, yaitu: 1.
Motivasi finansial, yaitu dorongan yang dilakukan dengan memberikan imbalan finansial kepada karyawan. Imbalan tersebut sering disebut insentif.
2.
Motivasi nonfinansial, yaitu dorongan yang diwujudkan tidak dalam bentuk finansial/ uang, akan tetapi berupa hal-hal seperti pujian, penghargaan, pendekatan manusia dan lain sebagainya, Gitosudarmo dan Mulyono (1999). Menurut Payaman J.Simanjuntak (2005), memotivasi bawahan berarti
menjadikan mereka merasakan bahwa bekerja sebagai bagian hidup yang dinikmati. Para pekerja pada umumnya akan siap bekerja keras bila menghadapi beberapa kondisi berikut ini: 1.
Merasa diperlukan oleh organisasi
2.
Mengetahui yang diharapkan organisasi
3.
Perlakuan adil antar pekerja dan dalam pemberian imbalan
4.
Peluang untuk berkembang
5.
Tantangan yang menarik
6.
Suasana kerja yang menyenangkan Teori Motivasi dari Frederick Herzberg berhubungan langsung dengan
kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan, berdasarkan studinya tentang hubungan antara sikap – sikap kerja dan kinerja kerja Herzberg menyatakan, bahwa motivasi
11
merupakan sebuah dampak langsung dari kepuasan kerja. Menurut
Siagian
(2002) bahwa karyawan termotivasi untuk bekerja disebabkan oleh dua faktor yaitu : 1.
Faktor instrinsik yaitu daya dorong yang timbul dalam diri dari masingmasing karyawan berupa : a.
Pekerjaannya itu sendiri (the work it self) yaitu berat ringannya tantangan yang dirasakan tenaga kerja dari pekerjaannya
b.
Kemajuan (advancement) adalah besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja berpeluang maju dalam pekerjaannya seperti kenaikan pangkat
c.
Tanggung jawab (responsibility) yaitu besar kecilnya yang dirasakan terhadap tanggung jawab diberikan kepada seorang tenaga kerja
d.
Pengakuan (recognition) yaitu besar kecilnya pengakuan yang diberikan kepada tenaga kerja atas hasil kerja.
e.
Pencapaian (achievement) adalah besar kecilnya kemungkinan tenaga kerja mencapai prestasi kerja
2.
Faktor ekstrinsik yaitu faktor pendorong yang datang dari luar diri seseorang terutama dari organisasi tempatnya bekerja. Faktor ekstrinsik mencakup : a.
Administrasi dan kebijakan perusahaan adalah tingkat kesesuaian yang dirasakan tenaga kerja terhadap semua kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam perusahaan.
b.
Penyeliaan adalah tingkat kewajaran penyelia dirasakan oleh tenaga kerja
12
c.
Gaji yaitu tingkat kewajaran gaji yang diterima sebagai imbalan terhadap tugas pekerjaan
d.
Hubungan antar pribadi merupakan tingkat kesesuaian yang dirasakan dalam berinteraksi antar tenaga kerja lain
e.
Kondisi kerja adalah tingkat kesesuaian kondisi kerja dengan proses pelaksanaan tugas pekerjaan-pekerjaannya.
Teori Herzberg memprediksi, bahwa para manajer dapat memotivasi individu – individu dengan jalan “ memasukkan “ motivator –motivatornya kedalam pekerjaan individu, yaitu proses yang dinamakan perkayaan pekerjaan (job enrichment).
C. Komitmen Organisasi Setiap perusahaan tentu menginginkan karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi. Menurut Greenberg dan Baron (1993), karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi adalah karyawan yang lebih stabil dan lebih produktif sehingga pada akhirnya akan menguntungkan organisasinya. Komitmen organisasional merupakan komitmen seseorang terhadap organisasi tempatnya bekerja. Komitmen seseorang terhadap organisasi merupakan salah satu jaminan untuk menjaga kelangsungan organisasi tersebut. Dalam penelitiannya Porter dan Steers (1992) menunjukkan bahwa komitmen yang tinggi berpengaruh terhadap tingginya tingkat performance. Selain itu seseorang yang mempunyai tingkat komitmen yang tinggi terhadap organisasinya cenderung untuk bertahan sebagai anggota dalam waktu yang relatif panjang.
13
Steers (1985) menyatakan bahwa komitmen organisasi merefleksikan rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilaia-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang anggota terhadap organisasinya. Dalam teori Kuntjoro dikemukakan (2002) bahwa komitmen organisasi artinya lebih dari sektor keanggotaan formal karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan. Definisi komitmen organisasi dikatakan oleh Mowday, Porter dan steers (1982) sebagai daya relatif dan keberpihakan dan keterlibatan seseorang terhadap organisasi. Mereka juga mengatakan komitmen organisasi merupakan kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya dalam organisasi, yang ditandai tiga hal, yaitu : 1.
Penerimaan karyawan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi
2.
Kesiapan dan kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi.
3.
Keinginan karyawan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Komitmen organisasional merupakan suatu bentuk sikap (Luthans, 2002).
Dan sikap dapat dipecah menjadi 3 komponen dasar : emosional, informasional dan keperilakuan. Dalam Organization behavioral atau perilaku organisasi , komitmen organisasi adalah komponen dari perilaku. ( “In organization, attitudes are important because of their behavioral component “), Robbins, S. (2007).
14
Menurut Robbins, Attitudes is Evaluative statements or judgment concerning object, people or events. (Sikap adalah pernyataan tentang penilaian seseorang terhadap objek, orang-orang atau kejadian). Dan dibagi dalam 3 komponen yaitu : cognitive, affective and behavioral (kognitif, afektif dan keperilakuan) (2007). Komponen emosional (afeksi) melibatkan perasaan orang (positif, netral atau negatif) terhadap suatu objek. Komponen informasional (cognitive) terdiri dari kenyakinan/opini dan informasi/pengetahuan yang dimiliki seseorang atas objek. Komponen keperilakuan (intensi) meliputi tendesi seseorang untuk berperilaku dalam cara tertentu terhadap suatu objek. Mowday (1982) juga mengungkapkan bahwa komitmen organisasi memiliki dua komponen, yaitu sikap dan kehendak untuk bertingkah laku. Komponen sikap mencakup tiga hal penting, yaitu : 1.
Identifikasi dengan organisasi, yaitu penerimaan karyawan atas tujuan organisasi sebagai dasar komitmen. Identifikasi karyawan tampak melalui sikap menyetujui kebijakan organisasi, kesamaan nilai pribadi dengan nilainilai organisasi dan rasa bangga menjadi bagian dari organisasi.
2.
Keterlibatan karyawan sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya di dalam organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen tinggi akan menerima hampir semua tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
3.
Kehangatan, afeksi dan loyalitas serta adanya ikatan emosional dan keterikatan antara organisasi dan karyawan. Di sisi lain, Allen dan Meyer (dalam Luthans, 2008) menyebutkan tiga
komponen komitmen organisasi, yaitu :
15
1.
Affective Komitmen efektif berasal dari kelekatan emosional karyawan terhadap organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen efektif yang kuat akan mengidentifikasikan diri dengan terlibat aktif dalam organisasi dan menikmati keanggotaannya dalam organisasi.
2.
Normatif Komitmen normatif berkaitan dengan perasaan karyawan terhadap keharusan untuk tetap bertahan dalam organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen normatif yang tinggi akan bertahan dalam organisasi karena mereka merasa seharusnya melakukan hal tersebut.
3.
Continuance Disebut juga komitmen rasional, berkaitan dengan komitmen yang didasarkan pada persepsi karyawan atas kerugian yang akan diperolehnya jika ia tidak melanjutkan pekerjaannya dalam organisasi. Pegawai yang memiliki komitmen rasional yang kuat akan bertahan dalam organisasi, karena mereka memang membutuhkan.
D. Keterlibatan Kerja Lodahl dan Kejner (Cohen, 2003) mendefinisikan keterlibatan kerja (Job Involvement) sebagai internalisasi nilai-nilai tentang kebaikan pekerjaan atau pentingnya pekerjaan bagi keberhargaan seseorang. Keterlibatan kerja sebagai tingkat sampai sejauh mana performansi kerja seseorang mempengaruhi harga dirinya dan tingkat
sampai sejauh mana seseorang secara psikologis
16
mengidentifikasikan diri terhadap pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan dalam gambaran diri totalnya. Individu yang memiliki keterlibatan yang tinggi lebih mengidentifikasikan dirinya pada pekerjaannya dan menganggap pekerjaan sebagai hal yang sangat penting dalam kehidupannya. Brown (2003) mengatakan bahwa keterlibatan kerja (Job Involvement) merujuk pada tingkat dimana seseorang secara psikologis memihak kepada organisasinya dan pentingnya pekerjaan bagi gambaran dirinya. Ia menegaskan bahwa seseorang yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi dapat terstimulasi oleh pekerjaannya dan tenggelam dalam pekerjaannya. Robbins menambahkan bahwa karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan. Seseorang yang memiliki Job Involvement yang tinggi akan melebur dalam pekerjaan yang sedang ia lakukan. Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi berhubungan dengan Organizational Citizenship Behavior dan performansi kerja. Sebagai tambahan, tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dapat menurunkan jumlah ketidakhadiran karyawan (Robbins, 2009). Hiriyappa (2009) mendefinisikan keterlibatan kerja (Job Involvement) sebagai tingkat sampai sejauh mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjaannya, secara aktif berpartisipasi di dalamnya, dan menganggap performansi yang dilakukannya penting untuk keberhargaan dirinya. Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi akan menurunkan tingkat ketidakhadiran dan pengunduran diri karyawan dalam suatu organisasi. Sedangkan tingkat
17
keterlibatan kerja yang rendah akan meningkatkan ketidakhadiran dan angka pengunduran diri yang lebih tinggi dalam suatu organisasi. Srivastava (2005) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement) yang tinggi akan menunjukkan perasaan solidaritas yang tinggi terhadap perusahaan dan mempunyai motivasi kerja internal yang tinggi. Individu akan memiliki keterlibatan kerja yang rendah jika ia memiliki motivasi kerja yang rendah dan merasa menyesal dengan pekerjaannya. Artinya, individu yang memiliki keterlibatan kerja yang rendah adalah individu yang memandang pekerjaan sebagai bagian yang tidak penting dalam hidupnya, memiliki rasa kurang bangga terhadap perusahaan, dan kurang berpartisipasi dan kurang puas dengan pekerjaannya. Berdasarkan dari definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa keterlibatan kerja (Job Involvement) merupakan komitmen seorang karyawan terhadap pekerjaannya yang ditandai dengan karyawan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan dalam lingkungan kerjanya, serta keterlibatan kerja berhubungan langsung dengan Organizational Citizenship Behavior dalam menentukan kinerja. Dengan adanya perasaan terikat secara psikologis terhadap pekerjaan yang ia lakukan, maka karyawan akan merasa bahwa pekerjaanya sangat penting dalam kehidupan kerja dan mempunyai keyakinan kuat akan kemampuan dalam menyelesaikan masalah.
Karakteristik Job Involvement Ada beberapa karakteristik dari karyawan yang memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement) yang tinggi dan yang rendah (Cohen, 2003), antara lain:
18
1.
2.
Karakteristik karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi: a.
Menghabiskan waktu untuk bekerja
b.
Memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan dan perusahaan
c.
Puas dengan pekerjaannya
d.
Memiliki komitmen yang tinggi terhadap karier, profesi, dan organisasi
e.
Memberikan usaha-usaha yang terbaik untuk perusahaan
f.
Tingkat absen dan intensi turnover rendah
g.
Memiliki motivasi yang tinggi
Karakteristik karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang rendah: a.
Tidak mau berusaha keras untuk kemajuan perusahaan
b.
Tidak peduli dengan pekerjaan maupun perusahaan
c.
Tidak puas dengan pekerjaan
d.
Tidak memiliki komitmen terhadap pekerjaan maupun perusahaan
e.
Tingkat absen dan intensi turnover tinggi
f.
Memiliki motivasi kerja yang rendah
g.
Tingkat pengunduran diri yang tinggi
h.
Merasa kurang bangga dengan pekerjaan dan perusahaan
Dimensi Job Involvement Menurut Lodahl dan Kejner (Cohen, 2003), Job Involvement memiliki dua dimensi, yaitu: 1.
Performance self-esteem contingency
19
Keterlibatan kerja merefleksikan tingkat dimana rasa harga diri seseorang dipengaruhi oleh performansi kerjanya. Aspek ini mencakup tentang seberapa jauh hasil kerja seorang karyawan (performance) dapat mempengaruhi harga dirinya (self-esteem). Harga diri didefinisikan sebagai suatu indikasi dari tingkat dimana individu mempercayai dirinya mampu, cukup, dan berharga (Harris & Hartman, 2002). 2.
Pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri total individu Dimensi ini merujuk pada tingkat sejauh mana seseorang mengidentifikasikan dirinya secara psikologis pada pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri totalnya. Dubin (2003) mengatakan bahwa orang yang memiliki keterlibatan kerja (Job Involvement) adalah orang yang menganggap pekerjaan sebagai bagian yang paling penting dalam hidupnya. Ini berarti bahwa dengan bekerja, ia dapat mengekspresikan diri dan menganggap bahwa pekerjaan merupakan aktivitas yang menjadi pusat kehidupannya. Karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan menurut Robbins (2009).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Job Involvement Keterlibatan kerja (Job Involvement) dapat dipengaruhi oleh dua variabel, yaitu variabel personal dan variabel situasional. 1.
Variabel personal
20
Variabel personal yang dapat mempengaruhi keterlibatan kerja meliputi variabel demografi dan psikologis. Variabel demografi mencakup usia, pendidikan, jenis kelamin, status pernikahan, jabatan, dan senioritas. Moynihan dan Pandey (2007) juga menemukan bahwa usia memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan keterlibatan kerja, dimana karyawan yang usianya lebih tua cenderung lebih puas dan terlibat dengan pekerjaan mereka, sedangkan karyawan yang usianya lebih muda kurang tertarik dan puas dengan pekerjaan mereka. Hickling (2001) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk mengukur pengaruh variabel demografi dan status karyawan (part-time atau full-time) menemukan bahwa variabel demografi dan status karyawan memiliki hubungan dengan keterlibatan kerja. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa karyawan full-time dan part-time berbeda dalam karakteristik demografi, dimana wanita memiliki tingkat absen yang lebih tinggi daripada pria, yang mengindikasikan bahwa wanita memiliki keterlibatan kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan pria. Ia juga menemukan bahwa karyawan yang bekerja full-time lebih terlibat dalam pekerjaannya dibandingkan dengan karyawan yang bekerja part-time. Westhuizen (2008) dalam penelitiannya menambahkan bahwa variabelvariabel demografi lainnya seperti gaji memiliki hubungan dengan keterlibatan kerja (Job Involvement). Sedangkan variabel psikologis mencakup intrinsic/extrinsic need strength,
nilai-nilai
kerja,
locus
of
control,
kepuasan
terhadap
21
karakteristik/hasil kerja, usaha kerja, performansi kerja, absensi, dan intensi turnover. Bazionelos (2004) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara trait kepribadian dengan keterlibatan kerja pada manajer menemukan bahwa ada hubungan antara trait kepribadian dengan keterlibatan kerja ditinjau dari teori 5 Faktor, dimana tipe kepribadian extraversion, openness, agreeableness berhubungan dengan keterlibatan kerja. Ia menemukan bahwa manajer yang memiliki karakteristik aggreableness yang rendah menunjukkan keterlibatan kerja yang tinggi. Selain itu, ia juga menemukan bahwa ada hubungan yang negatif antara extraversion dan openness dengan keterlibatan kerja.
2.
Variabel situasional Variabel situasional yang dapat mempengaruhi keterlibatan kerja mencakup pekerjaan, organisasi, dan lingkungan sosial budaya. Variabel pekerjaan mencakup karakteristik/hasil kerja, variasi, otonomi, identitas tugas, feedback, level pekerjaan (status formal dalam organisasi), level gaji, kondisi pekerjaan (work condition), job security, supervisi, dan iklim interpersonal. Srivastava (2005) mengatakan bahwa faktor-faktor seperti otonomi, hubungan pertemanan, perilaku pengawas, kepercayaan, dan dukungan menuntun pada keterlibatan kerja yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas. Irawan (2010) dalam penelitiannya tentang hubungan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan keterlibatan kerja juga menemukan bahwa
22
ada hubungan positif yang signifikan antara gaya kepemimpinan demokratis dengan keterlibatan kerja. Artinya, apabila persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan demokratis positif, maka keterlibatan kerja karyawan tinggi. Variabel organisasi mencakup iklim organisasi (partisipatif/mekanistik), ukuran organisasi (besar/kecil), struktur organisasi (tall/flat), dan sistem kontrol organisasi (jelas/tidak jelas). Karia dan Asaari (2003) mengatakan bahwa praktek continuous improvement dan pencegahan terhadap masalah secara signifikan berkorelasi positif dengan keterlibatan kerja, kepuasan kerja, kepuasan karier, dan komitmen organisasi.
A. Posisi Penelitian Posisi penelitian digunakan untuk membandingkan model dan variabel penelitian saat ini dengan penelitian sebelumnya dengan tujuan untuk mengetahui letak perbedaannya. Penelitian menganai motivasi, komitmen organisasi, keterlibatan kerja dan kinerja sudah banyak dilakukan sebelumnya untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi kinerja karyawan. Penelitian ini adalah pengembangan dari beberapa model penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Hueryern Yeh & Dachuan Hong (2012), Uygur Akyay & Gonca Kilic (2009), Mohsan Faizan, Moh. Nawaz, M. Sarfraz (2011), Tiwari Vivian & S.K Singh (2014), Shaheen Abnas & Yasir Aftab Farooqi (2014), Shahzadi Irum, Ayesha Javed, Syeh Shahzaib P, Shagufta N dan Farida K (2014), Hettiararchchi & Jayarathna (2014), Trang Irvan, Armanu, Achmad Sudiro dan Noermijati (2013) dan Toya Omoniyi dan Adedapo Adeyemi (2012).
23
Tabel 1 Posisi Penelitian Penulis (Tahun)
Variabel Independent
Mohsan, Nawaz, Employee Sarfraz, S (2011) Motivation Employee commitment Yeh & Hong Leadership style (2012) Akyay & Kilic Organizational (200) commitment Job Involvement Trang, Armanu, Leadership style & Sudiro (2013) Organizationan learning Job motivation Shaheen dan Employee farooqi (2014) motivation
Shahzadi, Javed dan Shahzaib (2014), Hettiararchchi & jayarathna (2014)
Employee motivation
Job satifaction Organization commitment Job involvement Tiwari & Singh Job satifaction (2014) Job involvement Toya & Adeyemi Job involvement (2012) Organizational commitment Peneltian saat ini Motivasi kerja
Variabel Mediasi -
Variabel Dependen
Analisa Statistik
Job Involvement
Organizational Commitment -
Job Perfoemance
Organizational Commitment
Job performance
Partial Least Square
Employee commitment Job involvement Employee engagemt Employee performance
Regression analysis
Job Performance
Regression analysis
Organizational commitment Job Performance
T test, chi-square
Konerja
Analisis Path
-
-
Komitmen organisasi Keterlibatan Kerja
Job performance
Korelasi person T-test
Regression analysis
B. Hubungan Anatar Variabel Penelitian dan Pengembangan Hipotesis Hubungan antar variabel diperlukan untuk menunjukkan keterkaitan variabel penelitian berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya yang terkait dengan
24
permasalahan penelitian untuk pengembangan hipotesis. Berikut akan diuraikan mengenai hubungan antar variabel penelitian dengan pengembangan hipotesis. Motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan untuk kerja (As’ad, 2002). Menurut Trisnaningsih (2003),dengan motivasi kerja diharapkan individu mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai kinerja yang baik. Motivasi kerja berpengaruh terhadap kinerja dibuktikan dalam penelitian Mohsan Faizan, Moh. Nawaz, M. Sarfraz (2011) dan Shahzadi Irum, Ayesha Javed, Syeh Shahzaib P, Shagufta N dan Farida K (2014). Dengan demikian hipotesis yang akan diuji adalah : H1 : Motivasi kerja mempunyai pengaruh pada kinerja Motivasi kerja adalah dorongan yang menjadi pangkal seseorang melakukan sesuatu atau bekerja.
Seseorang yang termotivasi akan melaksanakan upaya
substansial guna mendukung tujuan-tujuan produksi kesatuan kerjanya dan organisasi dimana dia bekerja (Liang Gie, Martoyo, 200). Mohsan Faizan, Moh. Nawaz, M. Sarfraz (2011) serta Shaheen Abnas & Yasir Aftab Farooqi (2014) dalam hasil penelitiannya menemukan bukti bahwa Motivasi kerja yang tinggi berpengaruh signifikan terhadap komitmen organisasi. Dengan demikian hipotesis yang akan diuji adalah : H-2 Motivasi kerja mempunyai pengaruh pada komitmen organisasi
Menurut Srivastava (2005) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi akan menunjukkan perasaan solidaritas yang tinggi terhapa perusahaan dan mempunyai motivasi kerja yang tinggi. Penelitian Mohsan
25
Faizan, Moh. Nawaz, M. Sarfraz (2011) serta Shaheen Abnas & Yasir Aftab Farooqi (2014) mengemukakan bahwa motivasi kerja berpengaruh signifikan terhadap keterlibatan kerja. Dengan demikian hipotesis yang akan diuji adalah : H-3 Motivasi kerja berpengaruh pada keterlibatan kerja Karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi adalah karyawan yang lebih stabil dan lebih produktif sehingga akan menguntungkan organisasinya. (Greenberg & Baron, 1993). Dalam penelitian Hueryern Yeh & Dachuan Hong (2012) mengemukakan bahwa Komitmen organisasi mempunyai pengaruh signifikan terhadap kinerja. Dengan demikian hipotesis yang akan diuji adalah : H-4 Komitment organisasi mempunyai pengaruh pada kinerja
Keterlibatan kerja yang tinggi akan membuat seseorang melebur dalam pekerjaan yang sedang ia lakukan. Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi berhubungan dengan performansi kerja (Robbins, 2009). Hasil penelitian Uygur Akyay & Gonca Kilic (2009), Tayo Omonivi
& Adedapo Adeyemi (2012) serta
Hettiararchchi & Jayarathna (2014) mengemukakan bahwa Keterlibatan kerja mempunyai pengaruh signifikan terhadap kinerja. Dengan demikian hipotesis yang akan diuji adalah : H-5 Keterlibatan kerja mempunyai pengaruh pada kinerja Motivasi kerja yang yang tinggi akan menyebabkan seseorang melaksanakan upaya substansial untuk menunjang tujuan organisasi diaman ia bekerja. Seseorang yeng memiliki motivasi kuat akan mempunyai tanggung jawab untuk menghasilkan prestasi kerja yang lebih baik. Penelitian yang dilakukan Trang
26
Irvan, Armanu, Achmad Sudiro dan Noermijati (2013) menyatakan bahwa motivasi yang diberikan oleh perusahaan dimediasi komitmen organisasi akan meningkatkan kinerja karyawan. Dengan demikian hipotesis yang akan diuji adalah : H6 : Komitmen organisasi memediasi pengaruh motivasi kerja pada kinerja Karyawan yang mempunyai motivasi kerja tinggi akan memiliki keterlibatan kerja yang tinggi yang akan menunjukkan perasaan solidaritas yang tinggi pada perusahaan (Patchen, 2005). Hasil penelitian Shaheen Abnas & Yasir Aftab Farooqi (2014) menunjukkan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif pada keterlibatan kerja. Penelitian Toya Omoniyi & Adedapo Adeyemi (2012) keterlibatan kerja berpengaruh pada kinerja. Sedangkan penelitian Faizan Mohzan, (2011) mengemukakan motivasi kerja berpengaruh terhadap komitmen organisasi dengan dimediasi oleh
keterlibatan kerja Mohsan Faizan, Moh.
Nawaz, M. Sarfraz (2011). Dengan demikian hipotesis yang akan diuji adalah : H7 : Keterlibatan kerja memediasi pengaruh motivasi kerja pada kinerja
C. Model Penelitian Model penelitian digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Berdasarkan hubungan antar variabel penelitian dan pengembangan hipotesa, maka akan dibuat model penelitian yang menjelaskan hubungan motivasi kerja,
27
komitmen oreganisasi, keterlibatan kerja dan kinerja, seperti yang disajikan alam gambar berikut : Komitmen organisasi
H6
H2
H4
Motivasi kerja
Kinerja
H1
Keterlibatan kerja
H3
H5
H7
Sumber : Trang Irvan, Armanu, Achmad Sudiro dan Noermijati (2013)
Gambar 2
Skema Konseptual Penelitian
Model penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian Trang Irvan, Armanu, Achmad Sudiro dan Noermijati (2013). Dalam penelitian ini ditambah variabel mediasi keterlibatan kerja. Model penelitian menjelaskan bahwa motivasi kerja berpengaruh pada kinerja (H1), Motivasi kerja berpengaruh pada komitmen organisasi (H2), motivasi kerja berpengaruh pada keterlibatan kerja (H3), komitmen organisasi berpengaruh pada kinerja (H4), keterlibatan kerja berpengarih pada kinerja (H5), komitmen organisasi memediasi pengaruh motivasi kerja pada kinerja (H6), dan keterlibatan memotivasi pengaruh motivasi kerja pada kinerja (H7).