BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS
Dalam bab ini akan diuraikan kajian pustaka, kerangka teori, dan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian “Keterancaman Leksikon ekoagraris dalam bahasa Angkola Mandailing: Kajian Ekolinguistik”.
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1
Keterancaman Keterancaman merupakan kondisi yang sangat darurat dan dalam keadaan
yang membahayakan. Menentukan sebuah bahasa berada dalam tingkat yang ”membahayakan” atau terancam punah, sangatlah sulit. Hal ini disebabkan oleh keanekaragaman situasi kebahasaan di seluruh dunia dan ketiadaan model teoretis yang tersedia untuk mengkombinasikan variabel-variabel yang relevan. Secara sederhana, untuk kasus ini, Crystal (2008:19) menawarkan tiga kriteria: (1) tingkat pemerolehan bahasa pada anak-anak, (2) sikap masyarakat yang utuh terhadap bahasanya, dan (3) tingkat dampak bahasa-bahasa lain yang mungkin mengancam bahasa tersebut. Terkait dengan bahasa yang terancam punah, Wurm (dalam Crystal 2008:20) memberikan lima kriteria seperti berikut ini. (1) Bahasa yang potensial terancam: secara sosial dan ekonomi tidak menguntungkan, di bawah tekanan berat dari bahasa yang lebih besar, dan awal hilangnya penutur anak-anak, (2) bahasa yang terancam: sedikit atau tidak ada lagi anak-anak yang belajar bahasa tersebut, dan penutur termuda yang menguasai dengan baik adalah penutur dewasa yang masih muda, (3) bahasa yang mengalami
Universitas Sumatera Utara
ancaman serius: penutur termuda yang menguasai dengan baik adalah penutur dewasa usia 50 tahun atau lebih, (4) bahasa yang hampir punah: hanya segelintir penutur yang menguasai dengan baik, kebanyakan sangat tua, (5) bahasa yang musnah: tidak ada penutur yang tinggal. Cara lain untuk melihat keterancaman bahasa-bahasa adalah melalui kriteria linguistik. Kriteria linguistik merefleksikan rentang fungsi-fungsi penggunaan bahasa dan jenis-jenis perubahan struktural yang terjadi. Bahasa yang terancam semakin sedikit digunakan oleh penutur yang secara keseluruhan juga sedikit, dengan pergeseran fungsi-fungsi yang secara berangsur-angsur digantikan oleh bahasa lain. Bagaimanapun, perubahan adalah sesuatu yang biasa terjadi pada semua bahasa. Bahasa yang sehat biasanya selalu “meminjam” dari bahasa yang lain (Crystal 2008:21 – 24). Sementara Haugen (dalam M Bete, 2011: 10-11) tentang ekologi bahasa terkesan lebih berfokus pada aspek – aspek kebahasaan secara internal dan sebagian kajiannya itu bersifat bebas nilai. Ekolinguistik dikembangkan secara lebih luas dengan subjudul bahasa dan lingkungan serta ekolinguistik kritis (Fill dan Muhlhausler, 2001). Persoalan diversifikasi biota dan diversifikasi bentuk – bentuk kebahasan di suatu lingkungan (yang keduanya mulai terusik, tergusur, dan pudar), memandang dan menuntut betapa pentingnya kreatifitas masyarakat di lingkungan tertentu, yang atas dasar sumber daya bahasa lokal ataupun karena kemampuan beradaptasi dengan perubahan
pemahaman tentang
potensi
lingkungan, dituntut untuk berhasil menciptakan kode-kode lingual baru (Fill dan Muhlhausler, 2001). Dengan strategi demikian, pelestarian sumber daya lingkungan berkaitan pula dengan pelestarian bahasa lokal. Istilah polusi yang
Universitas Sumatera Utara
diterjemahkan menjadi pencemaran (dalam bahasa Indonesia) misalnya, perlu dikodekan dalam bahasa lokal, termasuk pula konsep dan istilah-istilah penyelamatan dan pengembangan lingkungan hidup yang kerap didengungkan. Dengan strategi ini, pengalihan pesan kepada generasi muda dapat berlangsung secara lokal-kultural-lingual. Daya
cipta
kode-kode
lingual
kata,
ungkapan-ungkapan,
dan
pemberdayaan wacana bahasa lokal sangat penting sebagai strategi pelestarian bahasa dan sumber daya alami lokal. Cara demikian menjadi alternatif solusi mengatasi persoalan keterancaman sumber daya bahasa daerah dan sumber daya lingkungan di sekitarnya. Selain konsep bahasa dan lingkungan dalam kegawatan dan
tantangan
pelestariannya,
konsep
ekolinguistik
kritis
sangat perlu
dikembangkan. Jikalau keseimbangan dan keharmonisan menjadi prisip-prinsip ekosistem dalam arti kesamaan posisi, peran, saling berinteraksi, dan saling tergantung, paradigma hubungan antar komponen dalam ekosistem itu, yang di dalamnya termasuk juga komunitas penutur, terasa perlu dibangun kembali. Alam dan lingkungan layak dijadikan sebagai subyek, bukan lagi sebaliknya hanya diposisikan sebagai objek.
2.1.2
Leksikon Leksikon adalah koleksi leksem dalam suatu bahasa. Dalam leksikon
terdapat kajian yang meliputi tentang apa yang dimaksud dengan kata, struktur kosakata, pembelajaran kata, penggunaan dan penyimpanan kata, sejarah dan evolusi kata (etimologi), hubungan antarkata, serta proses pembentukan kata pada suatau bahasa. Dalam penggunaan sehari-hari leksikon dianggap sebagai sinonim
Universitas Sumatera Utara
kamus atau kosakata. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Surbakti (2012:11) dalam temuannya tentang konsep ekologi kesungaian. Leksikon didefinisikan sebagai “kosa kata, komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa”. KBBI (2008:805) Chaer (2007:5) mengatakan bahwa istilah leksikon berasal dari kata Yunani Kuno yang berarti ‘kata’, ‘ucapan’, atau ‘cara berbicara’. Kata leksikon seperti ini sekerabat dengan leksem, leksikografi, leksikograf, leksikal, dan sebagainya. Sebaliknya, istilah kosa kata adalah istilah terbaru yang muncul ketika kita sedang giat-giatnya mencari kata atau istilah tidak berbau barat. Selanjutnya Sibarani (1997:4) membedakan leksikon dari perbendaharaan kata, yaitu “leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentang kata dalam suatu bahasa seperti perilaku semantis, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau sesuatu bahasa”. 2.1.2.1 Kata Benda (Nomina). Chaer (2008:69) mengatakan “ kata-kata yang dapat diikuti dengan frase yang... atau yang sangat... disebut kata benda”. Misalnya kata-kata (1) pakaian (yang bagus); (2) anak (yang rajin); (3) pelajar (yang sangat rajin). Ada tiga macam kata benda yaitu: (a) kata benda yang jumlahnya dapat dihitung sehingga di depan kata benda itu dapat diletakkan kata bantu bilangan. Ke dalam kelompok kata benda ini termasuk kata-kata yang menyatakan:
Universitas Sumatera Utara
(1) orang, termasuk kata-kata: (a) nama diri, seperti Ali, Ana, Alya, dan Roni. (b) nama perkerabatan, seperti adik, kakak, ayah, ibu, dan saudara. (c) nama pangkat, jabatan, atau pekerjaan, seperti letnan, lurah, penulis, dan raden, (d) nama gelar, seperti insinyur, profesor, dan petani. (2) hewan, seperti ayam, kucing, semut, kambing. (3) tumbuhan atau pohon seperti jati, palem, beringin dan jambu. (4) alat, perkakas, atau perabot, seperti gergaji, pisau, obeng dan lampu. (5) benda alam, seperti desa, danau,sawah dan ladang. (6) atau proses, seperti peraturan, perampokkan, kekuatan dan pembongkaran. (7) hasil, seperti jawatan, bendungan, karangan dan binatang. (b) kata benda yang jumlahnya tak terhitung. Untuk dapat dihitung di depan kata benda itu harus diletakkan kata keterangan ukuran satuan seperti gram, ton, cm (sentimeter), km (kilometer), persegi, liter, kubik, termasuk juga kata-kata yang menyatakan nama wadah yang menjadi tempat benda tersebut, seperti karung, gelar, kaleng, truk, dan gerobak, serta kata-kata seperti (se)ikat, (se)potong, (se)kerat, (se)tumpuk, (se)iris. Kelompok kata benda ini termasuk kata-kata yang menyatakan (1) bahan, seperti semen, pasir, tepung, gula, beras, dan kayu, dan (2) zat, seperti air, asap, udara, dan bensin.
Universitas Sumatera Utara
(c) kata benda yang menyatakan nama khas. Di muka kata benda ini tidak dapat diletakkan kata bilangan, seperti Jakarta, Medan, Surabaya, dan Palembang. 2.1.2.2 Kata Kerja (Verba). Chaer (2008:106) mengatakan “kata-kata yang dapat diikuti oleh frase dengan..., baik yang menyatakan alat, yang menyatakan keadaan, maupun yang menyatakan penyerta, disebut kata kerja”. Misalnya kata-kata: (1) tidur (dengan nyenyak); (2) pulang (dengan gembira); (3) berpakaian (dengan rapi); (4) menulis (dengan pinsil). Dilihat dari strukturnya ada dua macam kata kerja, yaitu kata kerja dasar dan kata kerja berimbuhan. a. Derivasi Proses derivasi mengubah suatu kata menjadi kata baru. Kata baru itu pada umumnya berbeda kelas atau jenisnya dengan kata yang belum mengalami derivasi. Dalam proses infleksi perubahan kelas kata itu tidak terjadi. b. Infleksi Infleksi mengubah bentuk suatu kata untuk menetapkan hubungannya dengan kata-kata lain dalam kalimat. Jadi, infleksi menentukan dan membatasi tugas gramatikal kata yang dibentuknya. Contoh, boy menjadi boys (kata boys dibatasi kedudukannya dalam kalimat). 2.1.2.3 Kata Sifat (Ajektiva). Chaer (2008:168) mengatakan ciri gramatikal kosakata bahasa Indonesia ‘asli’ yang berkategori ajektiva memang tidak tampak. Hal ini berbeda dengan kosakata yang berasal dari unsur serapan bahasa asing.
Universitas Sumatera Utara
Dari bentuknya ajektiva dapat dibedakan menjadi: (1) Ajektiva dasar (a) Yang dapat diuji dengan kata sangat, lebih, misalnya: adil, alim, bahagia, besar, kecil, cepat, gemar. (b) Yang tidak dapat diuji dengan kata sangat, lebih, misalnya: cacat, genap, langsung, tunggal. (2) Ajektiva turunan (a) Ajektivs turunan berafiks, misalnya: terhormat. (b) Ajektiva turunan bereduplikasi, misalnya: elok-elok, gagah-gagah, cantik-cantik, muda-muda, berat-berat. (c) Ajektiva berafiks ke-R-an atau ke-an, misalnya: kesepian, kesakitan, kemerah-merahan. (3) Ajektiva majemuk (a) Subordinatif, misalnya: besar mulut, buta huruf, keras kepala, murah hati. (b) Koordinatif, misalnya: baik buruk, gagah perkasa, lemah lembut, suka duka.
2.1.3
Bahasa dan Lingkungan Bahasa dan lingkungan adalah dua hal yang saling berhubungan dan saling
memengaruhi.
Dalam
tulisannya
Language
Ecology
and
Environment,
Muhlhausler (2001:3) menyebut, ada empat yang memungkinkan hubungan antara bahasa dan lingkungan yakni: (1) bahasa berdiri dan terbentuk sendiri (Chomsky, Linguistik Kognitif); (2) bahasa dikonstruksi alam (Marr); (3) alam
Universitas Sumatera Utara
dikonstruksi bahasa dan (4) bahasa saling berhubungan dengan alam-keduanya saling mengontruksi, namun jarang yang berdiri sendiri
(ekolinguistik).
Ekologi bahasa adalah ruang hidup atau tempat hidup bahasa-bahasa yang secara nyata hadir dalam komunikasi manusia dan interaksi verbal baik lisan maupun tulisan. Ekologi diartikan ilmu tentang lingkungan hidup dan linguistik diartikan ilmu tentang bahasa. Kerangka pandang ekologi, bandingkan misalnyaekolinguistik, menjadi parameter yang membedakannya dengan cabang makrolinguistik lainnya (seperti sosiolinguistik, psikolinguistik, neurolinguistik, atau antropolinguistik), adalah (1) interelasi (interelationship), (2) lingkungan (environment), dan (3) keberagaman (diversity) (Haugen dalam Fill and Muhlhausler, 2001: 1). Berdasarkan kerangka pandang tersebut bahwa secara khusus bahasa dapat dimaknai, dikaji dan didalami. Lingkungan hidup bahasa memberikan keberagaman dan kesinambungan dengan sebuah pemahaman di suatu lingkungan atau kawasan hidup bahasa, namun bahasa hidup dalam leksikon persawahan dan perladangan. Secara khusus lingkungan hidup merupakan sebuah lingkungan bagi manusia dalam jejaring dan keberagaman sosial, dan ragam bahasa juga. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Surbakti (2012:21) dalam temuannya pada ekologi kesungaian. Sebagaimana yang dikemukakan Safir dalam Fill dan Muhlhausler (eds) (2003:14), menyebutkan tiga bentuk lingkungan: 1. Lingkungan fisik yang mencakupi karakter geografis seperti topografi sebuah Negara (baik pantai, lembah dataran tinggi, maupun pegunungan, keadaan cuaca dan jumlah curah hujan).
Universitas Sumatera Utara
2. Lingkungan ekonomis ‘kebutuhan dasar manusia’ yang terdiri atas flora dan fauna dan sumber mineral yang ada dalam daerah tersebut. Lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang dalam masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama lain. Namun yang paling penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar etika, bentuk organisasi politik dan seni. Menurut Habermas dalam M. Bete (2011: 2) kaitannya dengan ekolinguistik ini, hubungan timbal balik antara manusia dengan manusia, berarti antar anggota guyub tutur (speech community) dan hubungan timbal balik manusia dengan alam disekitarnya. Jikalau daya tarik dan obsesi ekologi saat ini mempersoalkan kerusakan dan kemerosostan kualitas lingkungan hidup itu dapat dianalogikan dengan persoalan ekolinguistik, niscaya kemerosotan kualitas hubungan antar manusia, karena lumpuhnya infrastruktur komunikatif. Sehubungan dengan kebahasaan adalah suatu sosok yang hidup dalam lapisan masyarakat terbukti juga dapat berkembang, terus berubah, dan bergeser tanpa henti dari waktu ke waktu (Rahardi, 2006: 69). Adanya perubahan dan pergeseran bahasa itu dengan mudah dapat dilihat dan dicermati pada leksikon sebuah bahasa dengan penambahan, pengurangan, atau mungkin penghilangan. Secara empiris hal ini dapat terjadi pada bahasa Angkola/Mandailing dalam leksikon ekoagraris, khususnya leksikon persawahan dan perladangan.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4
Nilai Budaya dan Kearifan Lingkungan 2.1.4.1 Nilai Budaya. Kebudayaan merupakan identitas suatu bangsa yang dapat membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lainnya. UndangUndang Dasar 1945 Pasal 32 mengamanatkan bahwa Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Dalam konteks ini, Pemerintah menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia. Pada era globalisasi,
pemerintah
berkewajiban
melindungi
dan
melayani
masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya agar tidak tergerus oleh nilai-nilai budaya global yang tidak sesuai dengan karakter dan jati diri bangsa. Kebudayaan menurut
Mahsun (2005: 2) terdiri dari nilai-nilai,
kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik, dan tercermin dalam perilaku manusia. Sejalan dengan itu Haviland (1999: 333) mengemukakan pendapatnya bahwa kebudayaan adalah seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, dan apabila dilaksanakan oleh para anggotanya, maka akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh seluruh anggota masyarakat tersebut. Menurut Koentjaraningrat (2004: 85) nilai budaya terdiri dari konsepsi–konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal–hal yang mereka anggap amat mulia.
Universitas Sumatera Utara
Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara-cara, alatalat, dan tujuan-tujuan pembuatan yang tersedia. Sementara itu Sumaatmadja
dalam
Marpaung
(2000)
mengatakan
bahwa
pada
perkembangan, pengembangan, penerapan budaya dalam kehidupan, berke mbang pula nilai-nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya. Selanjutnya, bertitik tolak dari pendapat diatas, maka dapat dikatakan bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktifitas sosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman kepada nilai-nilai atau sistem nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu sendiri. Artinya nilai-nilai itu sangat banyak mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia, baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut. Suatu nilai apabila sudah membudaya di dalam diri seseorang, maka nilai itu akan dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk di dalam bertingkah laku. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya budaya gotong royong, budaya malas, dan lain-lain. Jadi, secara universal, nilai itu merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai tujuan tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam
Universitas Sumatera Utara
bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut. 2.1.4.2 Kearifan Lingkungan. Handayani (2012: 17) adalah pengetahuan yang ada sejak periode yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses ini sangat panjang sehingga melekat dalam kehidupan masyarakat dan menjadi kearifan lokal sebagai sumber eneri potensial dari sistem penegtahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai landasan perilaku seseorang, melainkan mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat penuh keadaban Prinst (2004: 69) juga mengatakan bahwa lingkungan hidup kayu dapat
diambil
untuk
keperluan
rumah
tangga,
bukan
untuk
diperdagangkan. Karena jika diperdagnagkan akan dapat menyebabkan keserakahan masyarakat yang ingin mengambil kayu. Namun hal itu dapat juga dilakukan jika ada gantinya dengan menanam pohon dan hasilnya dapat diperjualbelikan. Jenis kearifan lokal menurut Sibarani (2012: 133) yang menagndung nilai-nilai budaya antara lain: (1) kesejahteraan, (2) kerja keras, (3) disiplin, (4) pendidikan, (5) kesehatan, (6) gotong royong, (7) pengelolaan gender, (8) pelestarian dan kreativitas budaya, (9) peduli lingkungan, (10) kedamaian, (11) kesopansantunan, (12) kejujuran, (13) kesetiakawanan sosial, (14) kerukunan dan penyelesaian konflik, (15) komitmen, (16) pikiran posistif dan rasa syukur.
Universitas Sumatera Utara
2.2
Landasan Teori
2.2.1
Ekolinguistik Ekolinguistik mengkaji interaksi bahasa dengan ekologi pada dasarnya
ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Ekologi bahasa dan ekologi memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem bahasa. Ekolinguistik adalah suatu disiplin ilmu yang mengkaji lingkungan dan bahasa. Ekolinguistik merupakan ilmu bahasa interdisipliner, menyanding ekologi dan linguistik (Mbete, 2008:1). Ekolinguistik adalah studi hubungan timbal balik yang bersifat fungsional. Dua parameter yang hendak kita hubungkan adalah bahasa dan lingkungan. Bergantung pada perspektif yang digunakan baik ekologi bahasa maupun bahasa ekologi. Kombinasi keduanya menghasilkan kajian ekolinguistik. Ekologi bahasa mempelajari dukungan pelbagai sistem bahasa yang diperkenalkan bagi kelangsungan makhluk hidup, seperti halnya dengan faktor-faktor yang memengaruhi kediaman (tempat) bahasa-bahasa dewasa ini. Dinamika perubahan sosiokultural, sosioekonomis, sosioekologis, dan sosiolinguistik terjadi sangat cepat merasuk ke relung-relung jiwa warga etnik di banyak wilayah tanah air (Aron, 2010). Masyarakat tradisional berbasis etnik Indonesia setingkat jauh lebih dinamis daripada yang diperkirakan umum, sebagaimana negara berkembang lainnya (Dove, 1985). Dalam The Ecology of Language Shift, Mickey (dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:67) menjelaskan bahwa pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Dalam ekologi bahasa, konsep
Universitas Sumatera Utara
ekologi memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem dalam bahasa (Fill, 2001:43). Sementara itu, dalam bahasa Indonesia dikenal istilah ekologi linguistik, linguistik ekologi, ekologi bahasa/bahasa ekologi, dan ekolinguistik. Lingkungan bahasa dalam ekolinguistik meliputi lingkungan ragawi dan sosial (Sapir dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:14). Dalam perspektif antropologi, kognitif, seperangkat leksikon yang digunakan merupakan objek, peristiwa, dan tanda aktivitas yang penting di lingkungan (Casson, 1981 dalam M Bete, 2011:2). Kajian ini pertama kali dikenalkan oleh Einar Haugen dalam tulisannya yang bertajuk Ecology of language tahun 1972. Haugen lebih memilih istilah ekologi bahasa (ecology of language) dari istilah lain yang bertalian dengan kajian ini. Pemilihan tersebut karena pencakupan yang luas di dalamnya, yang mana para pakar bahasa dapat bekerjasama dengan pelbagai jenis ilmu sosial lainnya dalam memahami interaksi antar bahasa (Haugen dalam Fill & Muhlausler, 2001:57). Sementara itu, Muhlausler (dalam al-Gayoni, 2012:3) dalam tulisannya yang berjudul Ecolinguistics in the University, menyebutkan: Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters we wish to interrelate are language and the environment/ecology. Depending on whose perspective one takes one will get either ecology of language, or language ecology. Combined they constitute the field of ecolinguistics. Ecology of language studies the support system languages require for their continued wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of many languages in recent times (p.2). (Ekologi adalah studi tentang keterkaitan fungsional. Dua parameter yang ingin kita hubungkan adalah bahasa dan lingkungan/ekologi. Tergantung bab IV pada perspektif seseorang yang digunakan baik ekologi bahasa maupun bahasa ekologi. Gabungan tersebut merupakan bidang ekolinguistik. Ekologi bahasa mempelajari dukungan pelbagai sistem bahasa yang diperlukan bagi kelangsungan makhluk hidup serta faktor-faktor yang mempengaruhi habitat (tempat) berbagai dewasa ini (hal.2).
Universitas Sumatera Utara
Haugen (1972), lihat Mbete (2009: 11-12), menyatakan bahwa ekolinguistik memiliki kaitan dengan sepuluh ruang kaji, yaitu: (1) linguistik historis komparatif; (2) linguistik demografi; (3) sosiolinguistik; (4) dialinguistik; dialektologi; (5) filologi; (6) linguistik preskriptif; (7) glotopolitik; (8) etnolinguistik, linguistik antropologi ataupun linguistik kultural (cultural linguistics); dan (9) tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan. Ekolinguistik merupakan payung dan wadah bersama yang bersifat lintas bidang keilmuanm menjadi pilihan yang sangat penting dan strategis. Sebagai kajian yang bertolak dari konsep dan parameter ekologi yakni: (1) linguistik (environment), (2) keberagaman (diversity), dan (3) interaksi, interelasi, dan interdependensi. Kajian ekolinguistik menempatkan dan menjadikan fenomena (penggunaan) bahasa dalam suatu perspektif yang lebih integratif, prospektif, dan juga historis. Sejalan dengan apa yang dinyatakan Surbakti (2012:17) dalam temuannya tentang ekologi kesungaian. Lingkungan kebahasaan dan penggunaan bahasa (bahasa lingkungan) yakni ekspresi verbal manusia dalam memahami, menanggapi, dan menggunakan sumber daya lingkungan. Baik alam sebagai matra kesejagatan yang makrosmos, maupun manusia (dengan tatanan dan sumber
Universitas Sumatera Utara
daya sosial-budayanya) dalam cakupan yang mikrosmos (jagat kecil), merupakan objek formal dan objek material kajian ekolinguistik. Bahasa adalah sumber daya makna. Termasuk makna dan pemaknaan alam dan makna budaya dalam kemasan verbal sebagaimana terekam dalam bahasa-bahasa etnik khususnya. Baik khazanah leksikon maupun gramatikalnya. Sumber daya tekstual yang kontekstual masa lalu dan masa kini. Secara khusus misalnya gramatika metaforik sebagai khazanah ekspresi verbal manusia alami. Semuanya adalah tanda adanya keterkaitan dan ketergantungan manusia dengan alam di sekitarnya, yang menjadi lahan garapan ekolinguistik. Dalam kajian ekolingistik hal yang paling terlihat dalam tautan ekosistem yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia dalam berkomunikasi dalam lingkungannya. Lingkungan tersebut adalah lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan pelabagi dalam sebuah masyarakat. Situasi dwi/multibahasa inilah yang mendorong adanya interaksi bahasa. Lingkungan ragawi dengan pelbagai kondisi sosial sangat mempengaruhi penutur bahasa secara psikologis dalam penggunaan bahasanya (Al-gayoni, 2012: 31). Peneliti bidang ekolingusitik dapat juga membedah makna-makna sosialekologis di balik bahasa, khususnya leksikon, di atas dasar konsep dan landasan teoritis yaitu (1) bahasa yang hidup dan digunakan itu menggambarkan, mewakili, melukis (merepresentasikan secara simbolik-verbal) realitas di lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan buatan manusia (lingkungan sosial-budaya); (2) dinamika dan perubahan bahasa pada tataran leksikon. Pada tataran leksikon,
Universitas Sumatera Utara
dinamika dan perubahan bahasa dipengaruhi oleh tiga dimensi (Lindo dan Bundsgaard 2000: 10-11), antara lain: 1. Dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat misalnya ideologi kapitalisme yang disangga pula dengan idelologi pasar sehingga perlu dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti muncul istilah dan wacana eksploitasi, pertumbuhan, keuntungan secara ekonomis. Jadi ada upaya untuk tetap mempertahankan, mengembangkan, dan membudidayakan jenis ikan atau tumbuhan produktif tertentu yang bernilai ekonomi tinggi dan kuat, 2. Dimensi sosiologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa merupakan wujud praktik sosial yang bermakna, dan 3. Dimensi biologis, berkaitan dengan adanya diversivitas (keanekaragaman) biota danau (atau laut, maupun darat) secara berimbang dalam ekosistem, serta dengan tingkat vitalitas spesies dan adanya hidup yang berbeda antara satu dengan yang lain; ada yang besar dan kuat sehingga mendominasi dan “menyantap” yang lemah dan kecil, ada yang kecil dan lemah sehingga terpinggirkan dan termakan. Dimensi bilogis itu secara verbal terekam secara leksikon dalam khazanah kata setiap bahasa sehingga entitas-entitas itu tertandakan dan dipahami.
2.2.2
Semantik leksikal Dari segi semantis, “setiap kata memiliki makna sesuai dengan lingkungan
budaya bahasa bersangkutan” (Sibarani, 1997:7). Pembahasan makna dalam kata
Universitas Sumatera Utara
merupakan kajian semantik leksikal. Makna kata itu dianggap sebagai satuan mandiri, bukan makna kata dalam kalimat (Pateda, 2010:74). Jadi, menurut semantik leksikal, makna satu kata sesuai dengan referennya, sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Kata merupakan tumpuan dalam pembahasan semantik leksikal. Sweet dalam Palmer (1976:37) membagi kata atas kata penuh (full words), kata tugas, dan partikel (form words). Kata penuh mengandung makna tersendiri. Kata ini bebas konteks kalimat sehingga mudah dianalisis. Misalnya, nomina, verba, ajektiva, dan adverbia. Kata tugas merupakan bentuk bebas yang terikat konteks kalimat. Kata ini mengandung makna apabila berada dalam kalimat. Contohnya, pronomina, numeralia, interogativa, demonstrativa, artikula, preposisi, konjungsi, interjeksi. Partikel merupakan bentuk terikat yang melekat pada kata dasar dan terikat pada konteks kalimat. Semantik berkaitan dengan semiotik. Dalam semantik, kata disebut lambang (symbol) sedangkan dalam semiotik lambang itu sendiri disebut tanda (sign) (Pateda 2010:25). Sebagai pengguna bahasa, masyarakat dikelilingi oleh tanda. Tanda-tanda itu mengandung makna. Dalam semiotik natural ditelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam (Pateda, 2010: 31). Misalnya, air sungai keruh menandakan bahwa di hulu telah turun hujan, tanah longsor memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam.
2.3
Penelitian Terdahulu Penelitian tentang ekolinguistik masih sangat terbatas, sehingga masih
banyak lagi tugas bagi peneliti dalam lingkup ekolinguististik, khususnya tentang
Universitas Sumatera Utara
ekologi persawahan dan perladangan. Beberapa artikel penelitian ekolinguistik sudah ada yang menelitinya, di antaranya sebagai berikut: Penyusutan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat pada Komunitas Remaja di Stabat, Langkat oleh Aron Meko Mbete dan Abdurrahman Adisaputera (2009). Dari hasil
tes penguasaan leksikon sosioekologis terhadap responden
terungkap bahwa rata-rata pemahaman remaja tentang leksikon bahasa Melayu Langkat (BML) tergolong rendah. Perubahan dipicu oleh (1) kurangnya interaksi komunitas remaja dengan entitas yang bercirikan ekologi Melayu, (2) langka bahkan punahnya entitas sehingga tidak terkonsep dalam alam pikiran penutur, dan (3) konsepsi leksikal penutur tentang entitas-entitas itu bukan dalam piranti BML, tetapi dalam bahasa lain. Yang dijadikan acuan dari penelitian ini adalah penyebab perubahan pemahaman leksikon sebagaimana disebutkan diatas, teknik pengumpulan/pemerolehan, dan analisis data. Dalam penelitian mereka, pemerolehan data dilakukan dengan mendokumentasi leksikon BML terkait dengan lingkungan alamiah komunitas Melayu di Stabat. Adisaputra (2009) yang meneliti tentang Potensi Kepunahan Bahasa Pada Komunitas Melayu Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, penelitian ini dilakukan oleh 230 orang responden remaja dari 1500 orang populasi yang dijadikan sebagai sampel. Data yang digunakan adalah pengakuan diri (self report) dengan memilih jawaban yang tersedia pada instrumen kuesioner. Selain itu, data diperoleh melalui pengamatan langsung dengan cara pengamatan berpartisipasi. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa adanya pergeseran bahasa dari BML ke BI. Hal ini ditandai oleh tingginya penggunaan BI dalam interaksi
Universitas Sumatera Utara
komunikasi sehari-hari (20%) meskipun masih dalam wilayah Melayu, (2) responden tidak mengakui bahwa BI tidak sama dengan BML. (3) responden tidak lancar dan tidak paham menggunakan BML. Penelitian ini memberikan kontribusi teori – teori ekolinguistik terhadap penelitian yang akan dilakukan sehingga memberikan motivasi kepada penulis untuk meneliti keterancaman leksikon ekoagraris di Kecamatan Sayurmatinggi Kabupaten Tapanuli Selatan: kajian Ekolinguistik. Penelitian
yang dilakukan
Adisaputra berbeda demgam penelitian ini, Adisaputra membahas tentang pergeseran menuju arah kepunahan bahasa
Melayu
di
Stabat
sedangkam
penelitian ini adalah keterancaman leksikon ekoagraris dalam persawahan dan perladangan serta nilai budaya dan kearifan lingkungan ekoagraris di Kecamatan Sayurmatinggi. Yusradi Usman (2010) meneliti tentang Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: pendekatan Ekolinguistik. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan hasil dalam penelitian ini adalah (1) konsep tutur dalam masyarakat Gayo; munculnya tutur dalam msyarakat Gayo tidak berdiri sendriri melainkann ada faktor sosial budaya yang merangkainya. Hal tersebut tidak terlepas dari nilai budaya Gayo yang terdiri dari pelbagai nilai. Nilai-nilai yang dimaksud adalah imen (iman), mukemel (harga diri), tertip (tertib), setie (setia), semayang gemasih (kasih sayang), mutentu (kerja keras), amanah (amanah), genap mupakat (musyawarah), alang tulung (tolong menolong), dan bersikemelen (kompetitf). Hubungan darah perkawinan, belah (klan), terjadinya kecelakaan, perkelahian, membantu seseorang, dan mengadopsi anak merupakan perangkai social yang membentuk tutur masyarakat Gayo. (2)
Universitas Sumatera Utara
klasifikasi, bentuk, dan fungsi tutur dalam masyarakat Gayo diklasifikasikan menjadi beberapa buntuk tutur yaitu: 1) patut atau muperdu bentuk tutur yang sudah baku); 2) museltu (terbentuk akibat faktor tertentu); 3) mantut (peralihan tutur ke bentuk yang sebenarnya/seharusnya); 4) uru-uru (tindak betutur akibat ikut – ikutan); 5) gasut (pemakaian tutur yang kerap berubah – ubah). (3) penyusutan tutur; perubahan sosio-ekologis yang terjadi di dataran tinggi tanoh Gayo sangat mempengaruhi penyusutan tutur hkususnya di daerah Takengon yang dikenal dengan pluralitas etnik, hal ini dapat mempengaruhi masyarakat Gayo secara psikologis dan sosial dalam bertutur. (4) bentuk tutur baru (variasi tutur); yaitu : tetap, jarang, dan tidak dipakainya lagi tutur serta tercipta bentuk tutur baru. Penelitian penyusutan tutur dalam masyarakat Gayo memberikan kontribusi dalam hal teori – teori ekolinguistik. Perbedaan penelitian yang dilakukan Usman Yusradi dengan penelitian ini adalah penelitian Usman Yusradi mengenai penyusutan tutur sedangkan penelitian ini keterancaman leksikon. Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik (Sukhrani. 2010) Penelitian yang dilakukan oleh Sukhrani (2010) dalam “Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar adalah menggunakan metode penelitian kualitatif. Pemerolehan data leksikon bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan ragawi Lut Tawar melalui dokumen tertulis, observasi nonpartisipan, dan wawancara mendalam. Selanjutnya hasil penelitian menyangkut gambaran pemahaman leksikon nomina bahasa Gayo guyub tutur dengan lingkungan ragawi Lut Tawar adalah (1) saat ini sebagian besar penutur
Universitas Sumatera Utara
bahasa Gayo pria dan wanita dari masing-masing kelompok usia masih mengenal dan sering mendengar maupun menggunakan leksikon nomina bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan kedanauan Lut Tawar (2) Leksikon kedanauan Lut Tawar yang diteliti tingkat pemahamannya lebih didominasi nomina karena begitu beragam dan kayanya Lut Tawar akan nama biota dalam dan sekitar danau dan nama alat tangkap ikan, dan (3) Leksikon nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar sebagian besar masih dikenal dan digunakan dalam berkomunikasi. Faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut adalah karena biodiversitas lingkungan sekitar danau, penuntur dari masingmasing kelompok usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam, dan penutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa Gayo dalam keseharian. Ketahanan Khazanah Lingual Pertanian Guyab Tutur Bahasa Bima dalam Perspektif Ekolinguistik Kritis (Umiyati, 2011) Penelitian ketahanan khazanah lingual pertanian guyub tutur bahasa bima dilakukan dengan menghimpun leksikon-leksikon, teks-teks tentang lingkungan hidup, wacana-wacana, dokumen-dokumen, publikasi serta publikasi serta hasil interview. Penelitian ini dilakukan di dua desa dan dua kelurahan yang tersebar di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu. Hasil penelitian ini menyimpulkan ketahanan khazanah lingual pada ranah pertanian masih sangat terjaga, ditandai dengan kemunculan sejumlah leksikon khas ranah pertanian dalam sejumlah metafora dan ungkapan-ungkapan yang lahir dari kearifan lokal setempat. Dalam pandangan ekolinguistik pandangan green
Universitas Sumatera Utara
grammar dijadikan sebagai bentuk struktur yang ideal untuk menyelaraskan kalimat/klausa yang ada pada guyub tutur ini dengan alam. Penelitian yang berjudul Ketahanan khazanah LingualPertanian Guyub Tutur Bahasa Bima dalam Persfektif Ekolinguistik Kritis ini memberikan kontribusi terhadap penelitian yang akan dilakukan dalam hal teori ekolinguistik yang terbilang baru di Indonesia dalam usaha pelestarian lingkungan. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Umiyati dengan penelitian ini adalah mengenai bentuk metafora dari sejumlah leksikon pertanian dan pandangan kajian green grammar dalam ungkapan-ungkapan pelestarian alam lingual pertanian guyub tutur bahasa Bima. Penelitian ini mendeskripsikan leksikon ekoagraris bahasa Angkola Mandailing khususnya leksikon persawahan dan perladangan di Kecamatan Sayurmatinggi dan mendeskripsikan nilai budaya serta kearifan lingkingan terhadap ekoagraris di daerah ini. Tradisi
Lisan
Upacara
Perkawinan
Adat
Tapanuli
Selatan
(Pemahaman leksikon pada Remaja di Padangsidempuan), (Amri, 2011) Penelitian yang dilakukan Amri (2011) menggunakan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Dia menyimpulkan pertama, tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Padangsidempuan merupakan suatu kebiasaan dan masih terselenggara. Kedua, tradisi lisan upacara adat yang dianalisis adalah leksikon yang berasal dari lingkungan sebnyak 272 kata yang dikelompokkan menjadi 16 kelompok. Hasil penelitian tersebut terjadi penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan upacara adat Tapanuli Selatan. Faktor utama penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara adat tersebut karena
Universitas Sumatera Utara
ketua adat belum maksimal menyampaikan atau mengajari orosedur adat pada generasi berikutnya. Lembaga adat belum mensosialisasikan adat pada remaja, pagelaran budaya adat sangat jarang diselenggarakan. Nilai kearifan lokal tradisi lisan upacara adat mengandung keikhlasan,
identitas,
nilai
kekerabatan.
kegotong-royongan, kerukunan,
Kontribusi penelitian Amri terhadap
penelitian leksikon ekoagraris dalam bahasa Angkola Mandailing khusunya leksikon persawahan dan perlangan di Kecamatan Sayurmatinggi adalah cara pengolahan data kuantitatif. Leksikon Ekologi Kesungaian Lau Bingei: Kajian Ekolinguistik (Surbakti, 2011) Penelitian
ini
dilakukan
oleh
Surbakti
yang
bertujuan
untuk
mendeskripsikan leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei, mendeskripsikan pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon ekologi kesuangaian Lau Bingei dan menjelaskan nilai-nilai budaya dan kearifan lingkungan guyub tutur bahasa Karo melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil analisis data ini juga dijelaskan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Sumber data primer penelitian ini adalah kata-kata dari informan yang berprofesi sebagai pembuat obat tradisional dan petani di lingkungan irigasi Namo Sira-sira Kecamatan Sei Bingei. Selanjutnya, data sekunder merupakan dokumen tertulis berupa kamus bahasa Karo dan buku-buku yang berhubungan dengan lingkungan kesungaian Lau Bingei. Pengumpulan data penelitian ini terkait dengan nomina dan verba melalui wawancara mendalam dan observasi partisipan. Selanjutnya proses analasis data
Universitas Sumatera Utara
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Miles and Hubberman. Hasil penelitian ini terdapat 14 kelompok leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei sebanyak 520, masing-masing terdiri dari 409 leksikon nomina dan 111 leksikonverba. Nilai budaya yang terdapat dalam leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei yaitu (1) nilai sejarah (2) nilai religious dan keharmonisan (3) nilai sosial dan budaya (4) nilai kesejahteraan (5) nilai ciri khas. Sementara, nilai kearifan lingkungan yaitu (1) nilai kedamaian (2) nilai kesejahteraan gotong royong (3) penentuan batas wilayah, dan (4) penentuan arah. Penelitian Surbakti memberikan kontribusi terhadap penelitian ini dalam hal teori-teori ekolinguistik dan metode penelitian. Perbedaan penelitian Surbakti ini adalah mengenai leksikon ekologi kesungaian sedangkan penelitian ini keterancaman leksikon ekoagraris.
Universitas Sumatera Utara