9
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Paradigma Penelitian Paradigma adalah gambaran fundamental mengenai masalah pokok dalam ilmu tertentu. Paradigma membantu dalam menentukan apa yang mesti dikaji,
pertanyaan
apa
yang
mestinya
diajukan,
bagaimana
cara
mengajukannya dan apa aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit konsensus terluas dalam bidang ilmu tertentu dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) tertentu dari komunitas ilmiah yang lain. Paradigma menggolongkan, menetapkan dan menghubungkan eksemplar, teori, metode dan instrumen yang ada di dalamnya (Ritzer dan Goodman, 2008:A-13). Emile Durkheim dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-14) melalui karyanya The Rules of Sociological Method dan Suicide menjelaskan bahwa teoritisi Fakta Sosial memusatkan perhatian pada apa yang disebut Durkheim fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala luas. Mereka yang menganut paradigma ini tidak hanya memusatkan perhatian pada fenomena fakta sosial ini tetapi juga pada pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu. Penganut paradigma ini lebih besar kemungkinannya menggunakan metode interview-kuesioner dan metode perbandingan sejarah ketimbang penganut paradigma lain. Paradigma ini mencakup sejumlah perspektif teoritis. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial sama kerapian antarhubungan dan keteraturannya dengan dipertahankan oleh
9
Universitas Sumatera Utara
10
konsensus umum. Teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antara fakta sosial dan gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuatan yang memaksa dalam masyarakat. Max Weber dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-16) menjelaskan bahwa Paradigma Definisi Sosial ini mempelajari cara aktor mendefinisikan situasi sosial mereka dan dalam mempelajari pengaruh definisi situasi sosial ini terhadap tindakan dan integrasi berikutnya. Observasi adalah metode khusus penganut paradigma definisi sosial. Ada sejumlah besar teori yang dapat dimasukkan ke dalam paradigma ini: Teori Tindakan, Interaksionisme Simbolik, Fenomenologi, Etnometodologi dan Eksistensialisme. Paradigma definisi sosial memusatkan perhatian pada tindakan, interaksi dan konstruksi sosial dari realitas. Realitas sosial dilihat sebagai fenomena sosial yang sangat beraneka ragam yang meliputi interaksi dan perubahan yang berlangsung terus-menerus. B.F. Skinner dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-15) menjelaskan bahwa perhatian utama penganut paradigma perilaku sosial tertuju pada hadiah (rewards) yang menimbulkan perilaku yang diinginkan dan hukuman (punishments) yang mencegah perilaku yang tak diinginkan. Metode khusus paradigma ini adalah eksperimen. Ritzer dalam Bungin (2008:187) mengemukakan bahwa pada umumnya teori dalam Paradigma Definisi Sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Dalam arti, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaankebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya, yang kesemuanya itu tercakup dalam
Universitas Sumatera Utara
11
fakta sosial yaitu tindakan yang menggambarkan struktur dan pranata sosial. Tindakan manusia adalah hasil interaksinya dengan orang lain dalam lingkungannya. Pandangan sebagaimana tersebut di atas sejalan dengan pendekatan interpretif/konstruktivisme yang melihat kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif dan diciptakan oleh partisipan. Dalam hal ini, peneliti sendirilah yang bertindak sebagai salah satu partisipan. Pada pendekatan ini terdapat lebih sedikit penekanan penekanan pada objektivitas karena sifat objektif yang mutlak sangat tidak mungkin. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa penelitian pada tradisi ini harus bergantung pada apa yang dikatakan oleh partisipan tanpa ada penilaian di luar diri peneliti (West dan Turner, 2009:75) Menurut Deddy N. Hidayat (2002), Paradigma Konstruktivisme memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap tindakan sosial yang berarti (socially meaningful action) melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam situsasi (setting) keseharian yang alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara/mengelola dunia sosial mereka. Sementara Berger dan Luckmann dalam Bungin (2008:190) melihat konstruktivisme sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihatnya itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Konstruktivisme semacam inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut sebagai konstruksi sosial.
Universitas Sumatera Utara
12
Asumsi dasar kalangan konstruktivisme menyatakan bahwa kebenaran tidak hanya dapat diukur dengan indra semata. Ada kebenaran yang dapat ditangkap dari pemaknaan manusia atas suatu fenomena yang tertangkap indra. Apabila membedah interpretivisme dalam sudut pandang filsafat berdasarkan aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis, dapat dipertegas beberapa hal umum sebagai berikut. Secara ontologis, interpretivisme menuntut pendekatan holistik, menyeluruh: mengamati objek dalam konteks keseluruhan, tidak diparsialkan, tidak dieliminasi dalam variabel-variabel guna mendapat pemahaman lengkap apa adanya, karena objek tidak mekanistis melainkan humanistis. Secara epistimologis, interpretivisme menuntut menyatunya subjek dengan objek penelitian serta subjek pendukungnya, karenanya pula menuntut keterlibatan langsung peneliti di lapangan serta menghayati berprosesnya subjek pendukung penelitian. Secara aksiologis, penelitian tidak bebas nilai, karena memang tidak ada aspek sosial yang benar-benar bebas nilai (Vardiansyah, 2008:59-61). Penjelasan
interpretif
terkait
dengan
upaya
untuk
membantu
pembentukan pemahaman. Penjelasan semacam ini mencoba untuk menemukan
makna
dari
sebuah
peristiwa
atau
praktik
dengan
menempatkannya dalam sebuah konteks sosial tertentu. Proses penjelasan semacam ini sama dengan proses penafsiran teks atau karya sastra. Teori-teori komunikasi
dalam
kelompok
tradisi
fenomenologis,
semiotika
dan
sosiokultural bisa dikategorikan menggunakan model penjelasan interpretif ini (Sunarto, 2013:57).
Universitas Sumatera Utara
13
Martin Hammersley dalam West dan Turner (2009:75), mendukung adanya realisme yang tidak kentara yang menyatakan bahwa peneliti “memonitor berbagai asumsi dan inferensinya berdasarkan penilaian mereka”. Pada realisme yang tidak kentara ini Hammersley berpendapat bahwa penelitian dapat menemukan cara untuk menjadi cukup objektif. Dalam tradisi ini, peneliti percaya bahwa nilai-nilai sangat relevan dalam mengkaji komunikasi dan bahwa peneliti harus waspada terhadap nilai pribadinya dan ia harus menyatakannya secara jelas kepada pembacanya, karena niai-nilai akan secara alami masuk ke dalam penelitian. Penelitipeneliti pada tradisi ini tidak terlalu mementingkan kontrol dan kemampuan untuk melakukan generalisasi ke banyak orang, melainkan mereka lebih tertarik untuk memberikan penjelasan yang kaya mengenai individu yang mereka teliti. 2.2. Penelitian Sejenis Terdahulu Beberapa penelitian sejenis terdahulu juga pernah meneliti mengenai beberapa topik yang turut menjadi kajian dalam penelitian ini, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan referensi bagi peneliti.
1) Penelitian yang dilakukan oleh Mark S. Rosenbaum dengan judul “Exploring the Social Supportive Role of Third Places in Consumer’s Lives”, Illinois University Tahun 2006 menggunakan metodologi grounded theory. Penelitian ini menggambarkan bagaimana dan mengapa “tempat ketiga” seperti kedai kopi dan bar menjadi bermakna dalam kehidupan para pelanggannya. Hasil penelitian menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
14
bahwa beberapa pelanggan mendatangi kedai-kedai kopi dan bar tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka, tetapi juga kebutuhan mereka akan persahabatan yang dapat memberikan dukungan secara emosional. Kebutuhan-kebutuhan seperti ini lazimnya hanya berlaku pada mereka dengan usia tua, dimana sering mengalami kerenggangan pada hubungan mereka. Oleh karena itu, para pelanggan bisa berpaling kepada sebuah “persahabatan komersial” mereka di “tempat ketiga” seperti kedai kopi dan bar untuk memperoleh dukungan.
Atas dasar kebutuhan dan memberikan kepuasan tersendiri, maka “tempat ketiga” ini dapat dilihat sebagai tempat dari sisi praktis, tempat sebagai
lokasi
pertemuan
dan
tempat
sebagai
rumah.
Data
mengungkapkan bahwa dengan mengunjungi tempat-tempat tersebut secara rutin dapat membuat seseorang memperoleh peningkatan kualitas pada persahabatan, dukungan emosional dan loyalitas mereka. Gambaran ini pula yang akan dilihat oleh peneliti pada penelitian mengenai profesi wartawan dan warung kopi, bagaimana warung kopi dapat mendukung kebutuhan wartawan dari segi fisik maupun emosional.
2) Penelitian oleh Sue Robinson dan Cathy Deshano dengan judul “Citizen Journalists and Their Third Places” Tahun 2011 berusaha mengkaji apakah orang-orang yang terlibat dalam situs berita lokal dapat mencapai perasaan masyarakatnya terkait dengan adanya “tempat
Universitas Sumatera Utara
15
ketiga” bergaya Amerika, yakni sebuah istilah yang mengacu pada kedai kopi, perpustakaan dan tempat-tempat pertemuan masyarakat lainnya. Tulisan ini berpendapat bahwa beberapa orang yang disebut sebagai “jurnalis warga” berusaha meningkatkan pemenuhan kebutuhan mereka akan pemberdayaan informasi dan koneksi komunal lokal di saat mereka terlibat dalam situs berita lokal dan blog online. Penelitian ini juga turut menggali mengapa sebagian orang termotivasi meskipun bukan bagian dari kontributor situs-situs lokal tersebut. Empat hambatan yang ditemui adalah adanya persepsi penuh dari suatu kelompok sosial, otoritas atas informasi, kebingungan temporal dan ketidaknyamanan spasial antara dunia fisik dan virtual.
Penelitian Sue Robinson dan Cathy Deshano ini melihat peran para jurnalis warga dalam pemberdayaan informasi di situs berita lokal melalui tempat-tempat seperti warung kopi, perpustakaan dan tempat pertemuan lain, sementara peneliti ingin melihat bukan pada jurnalis warga, melainkan profesi wartawan pada sebuah media yang juga mengunjungi warung-warung kopi. 3) Penelitian oleh En-Ying Lin dengan judul “Starbucks as the Third Place: Glimpses into Taiwan’s Consumer Culture and Lifestyles” tahun 2012 menemukan bahwa kedai kopi kelas dunia, Starbucks telah mendominasi konsumsi kopi pada masyarakat Taiwan, dimana Starbucks telah berfungsi sebagai “tempat ketiga” dalam kehidupan para
konsumennya.
Tujuan
dari
penelitian
ini
adalah
untuk
Universitas Sumatera Utara
16
mengeksplorasi faktor-faktor budaya pada konsumen serta hubungan gaya hidup dan konsumsi. Temuan menunjukkan bahwa dalam budaya konsumen, Starbucks telah mempengaruhi budaya percakapan dari mulut ke mulut di warung kopi, termasuk persoalan gaya hidup dan konsumsi kopi memiliki hubungan yang sangat signifikan. Jadi, faktor budaya disini perlu juga didalami dalam kaitannya dengan kebiasaan masyarakat tertentu mengunjungi warung kopi. 4) Anne P. Crick dalam sebuah penelitian di Tahun 2011 yang berjudul “New Third Places: Opportunities and Challenges” membahas fenomena “tempat ketiga” sebagai sebuah institusi yang menyediakan tempat bagi interaksi sosial di luar rumah dan kantor. Studi ini mengeksplorasi berbagai jenis “tempat ketiga” serta peluang dan tantangan yang ditawarkannya. Penelitian ini menyoroti pertumbuhan sebuah organisasi yang ingin mendapatkan keuntungan dari fenomena “tempat ketiga” dengan kesempatan untuk memperoleh keuntungan lebih lanjut, di samping juga turut menyoroti potensi “tempat ketiga” virtual dalam meningkatkan peluang bagi brand awareness pada penjualan produk dan jasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa generasi baru lebih mementingkan faktor fleksibilitas dan kegembiraan dibandingkan generasi lainnya. Bagi organisasi, “tempat ketiga” menciptakan peluang untuk interaksi sosial dan membangun komunitas dalam organisasi yang bermanfaat untuk menarik generasi yang berbeda dalam pemilihan “tempat ketiga” mereka.
Universitas Sumatera Utara
17
Penelitian ini mengkaji hal yang sama dengan peneliti, yakni persoalan warung kopi dalam menciptakan peluang untuk berinteraksi, namun berbeda pada aspek kajian yang mengarah pada segi pemasaran dari warung kopi itu sendiri, yakni pada bagaimana menciptakan brand awareness pada generasi muda.
5) Neeti Gupta dan Keith N. Hampton dalam sebuah penelitian berjudul “Grande Wi-Fi: Social Interaction in Wireless Coffee Shop” meneliti perihal interaksi dan komunitas masyarakat di warung kopi. Penelitian dilakukan di warung-warung kopi dengan fasilitas Wi-Fi gratis maupun berbayar di wilayah Boston dan Seattle. Penelitian dilakukan mulai dari Bulan Desember 2003 sampai dengan Bulan Maret 2004 dan menghabiskan 120 jam untuk mengobservasi warung-warung kopi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa internet digunakan oleh para pengguna di warung-warung kopi tersebut untuk lingkaran sosial yang lebih kecil, sebagian bahkan berdampak pada aktivitas interpersonal dan jaringan sosial mereka. Penelitian ini juga turut mendukung penelitian sebelumnya oleh Robert Putnam, yang mengidentifikasikan bahwa tren sosial yang semakin maju ini turut menambah nilai privatisme, yakni sebuah kecenderungan dimana orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat umum.
Temuan lain dari penelitian ini adalah bahwa keberadaan teknologi baru seperti internet dan Wi-Fi juga turut mempengaruhi perilaku orang-
Universitas Sumatera Utara
18
orang di ruang-ruang publik, seperti warung kopi. Fasilitas Wi-Fi yang tersedia di warung-warung kopi turut memberikan kontribusi bagi masyarakat, jaringan sosial dan ikatan sosial yang menghubungkan manusia sebagai makhluk individu terhadap dukungan sosial di sekelilingnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Ada kelompok di warung kopi yang disebut sebagai “True Mobile” dan “Place Maker”. Kelompok “True Mobile” adalah kelompok orangorang yang menghabiskan waktunya untuk memanfaatkan fasilitas internet dan Wi-Fi selama berada di warung kopi, teknologi baru ini sebagai pendukung aktivitas mereka dalam bekerja demi meningkatkan produktivitasnya. Kelompok ini jarang sekali terlibat dalam sebuah interaksi dengan orang lain di sekitarnya, kecuali rekan sekerja yang duduk dengannya. Kelompok “Place Maker” adalah kelompok yang pergi ke warung kopi untuk sekedar bersantai dan mencari hiburan di waktu luang. Biasanya mereka pergi ke warung kopi yang sama setiap harinya, bertemu dan berkomunikasi secara tatap muka dengan orangorang di sekelilingnya dan menggunakan teknologi baru hanya sebagai pengikat hubungan sosial mereka saja. Umumnya kedua kelompok ini menghabiskan waktu 30 menit di setiap kunjungannya ke warungwarung kopi dan sebagian dari mereka bisa menghabiskan waktu 4-5 jam dalam setiap kunjungannya.
Penelitian ini membagi para pengunjung warung kopi ke dalam dua kategori berdasarkan intensitas penggunaan dan pemanfaatan fasilitas
Universitas Sumatera Utara
19
free Wi-Fi di warung kopi. Kategori ini nantinya dapat membantu peneliti mendapatkan gambaran masuk ke dalam kategori manakah dari informan dari peneliti.
6) Penelitian oleh Grant Blank dan Nicole Van Vooren yang berjudul “Camping Out in the Coffee Shop World: A Sociological Analysis of Coffee Shop Conventions”, American University menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi dan wawancara. Penelitian ini meneliti tentang orang-orang yang disebut sebagai “Campers” atau “orang-orang yang berkemah” di dunia warung kopi. Para “Campers” ini bersosialisasi dengan pola-pola yang diterapkan di warung kopi, mencakup beberapa kegiatan yang bervariasi seperti: membaca buku atau surat kabar, menggunakan komputer, bekerja dan lain sebagainya. Para “Campers” ini bisa saja datang sendiri ke warung kopi tanpa ditemani oleh siapapun. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian orang merasa terpenuhi kebutuhan sosialnya dengan mengunjungi warung-warung kopi, sekalipun mereka pergi sendiri dan tidak terlibat percakapan dengan orang lain.
Penelitian ini menggambarkan pengunjung warung kopi yang disebut sebagai “Campers” yang menikmati dunianya di warung kopi, dengan atau tanpa teman sekalipun. Menjadi suatu hal yang menarik mengetahui informan peneliti adalah bagian dari kategori ini atau bukan.
Universitas Sumatera Utara
20
7) Fidagta Khoironi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta Tahun 2009 dengan judul “Ekspresi Keberagaman Komunitas Warung Kopi Blandongan di Yogyakarta” menemukan bahwa latar belakang terciptanya komunitas warung kopi di Yogyakarta berawal dari hadirnya warung kopi itu sendiri. Bercorak nuansa kedaerahan dan cita rasa tradisional ternyata tidak menggeser eksistensinya di tengah-tengah kompleksitas kehidupan budaya modern dengan produk-produk lain seperti: Cheers Coffee Shop, Coffee Break dan Starbucks Coffee Shop. Fanatisme
pelanggan
Blandongan
atas
dasar
kesenangan
dan
kenyamanan, pada akhirnya menciptakan komunitas penikmat kopi di dalamnya. Pada awalnya ngopi hanyalah sebentuk aktivitas mengisi waktu luang, tempat untuk istirahat dari kepenatan. Namun kemudian ngopi menjadi sebuah gaya hidup. Komunitas lifestyle ini telah melahirkan sebuah subkultur baru yaitu komunitas Blandongan.
Sebagai bagian dari kompleksitas kehidupan modern dalam kerangka spektrum global market (pasar global), warung kopi Blandongan ternyata menciptakan kultur positif sekaligus negatif yang berimplikasi terhadap persepsi dan ekspresi komunitas di dalamnya. Blandongan memiliki banyak konsumen yang berasal dari berbagai jenis lapisan masyarakat. Sebagai ruang publik yang cukup fenomenal, keberadaan Blandongan menciptakan kultur pluralisme di dalam komunitas ini. Plural terhadap keanekaragaman budaya, status sosial, stratifikasi sosial, egalitaritas gender bahkan diferensiasi religi tidak berlaku disini, setiap orang bebas masuk ke dalamnya. Dari sini dapat dipahami bahwa
Universitas Sumatera Utara
21
kultur Blandongan memiliki kecenderungan nilai dan norma yang identik dengan budaya modern. Budaya yang senantiasa toleran terhadap berbagai perbedaan yang ada. Atas dasar ini, peneliti nantinya juga ingin melihat dalam fenomena warung kopi Aceh apakah terdapat komunitas-komunitas serupa dan bagaimana mereka berinteraksi di dalam komunitas tersebut. 8) Penelitian tentang “Perkembangan Warung Kopi Phoenam 1946-2006” yang
dilakukan
oleh
Riswan
Amri,
Universitas
Hasanuddin
menyimpulkan bahwa Warung Kopi Phoenam kini berkembang bukan hanya sebatas tempat menyediakan kopi, namun telah berubah wajah dengan menjadi rumah kedua bagi para pengusaha, pejabat pemerintah, aktivis, politisi dan lain sebagainya, dikarenakan menikmati kopi di Warung Kopi Phoenam mewakili banyak aktivitas mulai dari negosiasi bisnis, tukar pikiran dalam pekerjaan, reuni dengan teman lama, sampai dengan berbincang-bincang formal (rapat) dan sebagainya. Pengelola Warung Kopi Phoenam telah menyediakan fasilitas ruang terbuka dan ruang tertutup yang terbilang eksklusif (VIP).
Warung Kopi Phoenam juga telah bekerjasama dengan Radio Mercerius FM, yang menjadi mediator dalam acara talkshow di Warung Kopi Phoenam. Pembicaraan publik yang dahulunya banyak berlandaskan pada budaya politik tradisional kini telah tergantikan oleh diskusidiskusi ala Warung Kopi Phoenam yang berdasarkan pada mediasi media massa dan representasi tokoh-tokoh publik.
Universitas Sumatera Utara
22
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, nantinya peneliti ingin menggali lebih dalam pada penelitian mengenai wartawan dan warung kopi ini untuk melihat keunikan apa yang dimiliki oleh warung kopi Aceh yang tidak dimiliki oleh warung kopi lainnya serta meneliti apakah ada bentuk kerjasama yang dilakukan dengan media lokal (Cth: radio) dan mengadakan acara talkshow live di warung kopi dengan mengangkat topik-topik tertentu, sehingga terbuka ruang untuk berdiskusi dengan pihak-pihak yang berkompeten di bidangnya. 9) Beberapa penelitian berikutnya yang menggunakan pendekatan fenomenologi dengan perspektif Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann yaitu penelitian yang dilakukan oleh Faya Praditya Ridwan, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, yang berjudul
“Konstruksi Makna Citizen Journalism
Oleh Member Program Wide Shot Metro TV dengan sub bab Studi Fenomenologi Mengenai Konstruksi Makna Citizen Journalism Oleh Member Program Wide Shot Metro TV di Bandung”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motif member bergabung menjadi citizen journalist Wide Shot, pemaknaan member Wide Shot mengenai citizen journalism dan pengalaman komunikasi member selama menjadi citizen journalist Wide Shot. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dan dengan perspektif teori fenomenologi Schutz serta Teori Konstruksi Sosial atas realita Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Teknik penelitian yang
Universitas Sumatera Utara
23
digunakan dalam pengumpulan data yaitu observasi, wawancara mendalam, analisis dokumen dan studi pustaka.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konstruksi makna citizen journalism oleh member program Wide Shot Metro TV diperoleh dari pengalaman dan pengetahuan baik sebelum maupun setelah bergabung dengan Wide Shot. Para member Wide Shot membangun makna citizen journalism berdasarkan motif, pemaknaan dan pengalaman mereka selama menjadi citizen journalist. Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) Motif yang dimiliki terdiri atas motif masa lalu (motif-karena) dan motif masa depan (motif-untuk) (2) Pemaknaan member mengenai citizen journalism yaitu peduli terhadap perkembangan negara, kepedulian terhadap sesama manusia dan bentuk eksistensi diri (3) Pengalaman member selama menjadi citizen journalist terdapat tiga bagian, yaitu pengalaman komunikasi antara member citizen journalist dengan narasumber, pengalaman suka dan pengalaman duka.
Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa setiap informan memiliki ke dua jenis motif yang disebutkan oleh Alfred Schutz yaitu “because motive” dan “in order motive” dengan porsi yang berbedabeda. Berdasarkan hasil kajian terdahulu ini, peneliti ingin melihat “because motive” dan “in order motive” dari profesi wartawan sebagai pengunjung warung kopi.
10) Penelitian Reza Pahlevy, Atwar Bajari dan Agus Setiaman, yang berjudul “Konstruksi Makna Tato pada Anggota Komunitas Paguyuban
Universitas Sumatera Utara
24
Tattoo Bandung”, Jurusan Manajemen Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi,
Universitas
Padjadjaran,
Bandung
Tahun
2012
menuangkan analisis konstruksi makna dan realitas sosial tato pada anggota komunitas Paguyuban Tattoo Bandung ke dalam model konstruksi makna. Peneliti menggunakan konsep fenomenologi transedental Husserl untuk melakukan analisis terhadap pembentukan makna secara mental pada ranah individu. Peneliti menggunakan fenomenologi Alfred Schutz untuk melakukan analisis terhadap faktorfaktor yang melatarbelakangi ketertarikan terhadap tato. Sedangkan untuk proses konstruksi makna dan realitas tato secara sosial, peneliti menggunakan konsep Berger dan Luckmann tentang konstruksi realitas secara sosial.
Kesimpulan dari penelitian ini menjelaskan bahwa realitas makna tato menurut pandangan anggota Komunitas Paguyuban Tattoo Bandung, yaitu sebagai identitas, karya seni dan bisnis. Makna tato Sebagai identitas menunjukkan identitas mereka sebagai pencinta dan penggemar tato. Makna tato sebagai seni meliputi hobi, ekspresi, kreativitas dan gaya hidup. Sedangkan makna tato sebagai bisnis yaitu sumber penghasilan. Adapun faktor yang melatarbelakangi ketertarikan anggota komunitas Paguyuban Tattoo Bandung terhadap tato terbentuk dalam dua lingkup, yakni ranah individu dan ranah komunitas. Dalam ranah individu, ketertarikan mereka terhadap tato dilatarbelakangi oleh empat faktor, yaitu motivasi internal, motivasi eksternal, keterampilan dan tujuan. Sedangkan dalam ranah komunitas dilatarbelakangi oleh
Universitas Sumatera Utara
25
tiga faktor, yaitu orientasi terdahulu, orientasi sekarang dan orientasi masa depan.
Makna tato mengalami pergeseran dari dulu hingga saat ini, mulai dari kebudayaan tradisional, budaya populer, budaya tandingan, hingga konsumsi dan komersialisme. Di Indonesia tato sempat mendapat tanggapan yang negatif pada tahun 1980-an, namun saat ini penggunaan tato lebih kepada trend perkembangan fashion dan gaya hidup seseorang. Melalui kajian terdahulu ini peneliti ingin melihat proses pergeseran makna warung kopi melalui orientasi terdahulu, orientasi sekarang dan orientasi masa depan. 11) Penelitian Citra Abadi yang berjudul “Konstruksi Makna Sosialita Bagi Kalangan Sosialita di Kota Bandung (Studi Fenomenologi Tentang Konstruksi Makna Sosialita Bagi Kalangan Sosialita Di Kota Bandung)”, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia, Bandung, Tahun 2013. Dalam kerangka ini, sosialita merupakan fenomena yang menjadi sebuah realitas. Kalangan sosialita tersebut memiliki makna tentang sosialita sesuai dengan pemahaman masing-masing. Untuk mengetahui makna tersebut, akan dilihat dari berbagai sub fokus pembahasan, mulai dari nilai sosial yang ada di lingkungan sosial mereka, motif menjadi sosialita, pesan artifaktual yang digunakan sebagai wujud pemaknaan sosialita dan pengalaman yang telah dilakukan sebagai seorang sosialita. Berdasarkan kajian terdahulu ini, peneliti ingin melihat lebih
Universitas Sumatera Utara
26
jauh tentang profesi wartawan dan keberadaannya di warung-warung kopi berdasarkan nilai sosial yang ada di lingkungannya, motif menjadi wartawan dan pengalamannya selama berada di warung kopi. 2.3. Teori Interaksionisme Simbolik Pendekatan Interaksionisme Simbolik oleh George Herbert Mead dan Herbert Blumer berasumsi bahwa pengalaman manusia ditengahi oleh penafsiran. Objek, orang, situasi dan peristiwa tidak memiliki pengertiannya sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan untuk mereka. Penafsiran bukanlah tindakan bebas dan bukan pula ditentukan oleh kekuatan manusia atau bukan. Melalui interaksi seseorang membentuk pengertian. Orang dalam situasi tertentu sering mengembangkan definisi bersama (atau perspektif bersama dalam bahasa interaksi simbolik) karena mereka secara teratur berhubungan dan mengalami pengalaman bersama, masalah dan latar belakang, tetapi kesepakatan tidak merupakan keharusan (Moleong, 2006:20). Para ahli perspektif interaksionisme simbolik melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Afdjani dan Soemirat (2010:59) menyebutkan bahwa: “Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tandatanda, isyarat dan kata-kata. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal dan objek yang disepakati bersama.”
Universitas Sumatera Utara
27
Sunarto (2013:54) melalui tulisannya menyatakan bahwa aspek ontologis Ilmu Komunikasi tidak hanya tanda atau simbol saja, tapi juga makna yang muncul dalam proses transaksi diantara para partisipan pengguna simbol tesebut untuk memuaskan tujuan-tujuan mereka. Interaksionisme Simbolik, berfokus pada cara-cara manusia membentuk makna dan susunan dalam masyarakat melalui percakapan. Barbara Ballis Lal dalam Littlejohn dan Foss (2011:231) meringkaskan dasar-dasar pemikiran gerakan ini:
a. Manusia membuat keputusan dan bertindak sesuai dengan pemahaman subjektif mereka terhadap situasi ketika mereka menemukan diri mereka. b. Kehidupan sosial terdiri dari proses-proses interaksi daripada susunan, sehingga terus berubah. c. Manusia memahami pengalaman mereka melalui makna-makna yang ditemukan dalam simbol-simbol dari kelompok utama mereka dan bahasa merupakan bagian penting dalam kehidupan sosial. d. Dunia terbentuk dari objek-objek sosial yang memiliki nama dan makna yang ditentukan secara sosial. e. Tindakan manusia didasarkan pada penafsiran mereka, dimana objek dan tindakan yang berhubungan dalam situasi yang dipertimbangkan dan diartikan. f. Diri seseorang merupakan sebuah objek yang signifikan dan layaknya semua objek sosial, dikenalkan melalui interaksi sosial dengan orang lain. Masyarakat (society) atau kehidupan kelompok, terdiri atas perilakuperilaku kooperatif anggota-anggotanya. Kerjasama manusia mengharuskan kita untuk memahami maksud orang lain yang juga mengharuskan kita mengetahui apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Jadi, kerjasama terdiri dari “membaca” tindakan dan maksud orang lain serta menanggapinya dengan cara yang tepat (Littlejohn dan Foss, 2011:233). Teori Interaksi Simbolik ini memiliki pengaruh yang sangat penting dalam tradisi
Universitas Sumatera Utara
28
sosiokultural karena teori ini berangkat dari ide bahwa struktur sosial dan makna diciptakan dan dipelihara dalam interaksi sosial (Morissan dan Wardhany, 2009:39). Bagian lainnya yang penting dari Teori Interaksionisme Simbolik ialah konstrak atau definisi tentang diri. Diri tidak dilihat sebagai yang berada dalam individu seperti “aku” atau kebutuhan yang teratur, motivasi dan norma serta nilai dari dalam. Diri adalah definisi yang diciptakan orang (melalui interaksi dengan yang lainnya) di tempat ia berada. Dalam mengkonstrak atau mendefinisikan “aku”, manusia mencoba melihat dirinya sebagai orang lain, melihatnya dengan jalan menafsirkan tindakan dan isyarat yang diarahkan kepada mereka dan dengan jalan menempatkan dirinya dalam peranan orang lain. Jadi, diri itu juga merupakan konstrak sosial, yaitu hasil persepsi seseorang terhadap dirinya dan kemudian mengembangkan definisi melalui proses interaksi tersebut (Moleong, 2006:22). 2.4. Fenomenologi Tradisi fenomenologis menekankan pada proses interpretasi, tetapi dalam cara yang sangat berbeda daripada yang dilakukan oleh Osgood. Teori Osgood-yang jelas-jelas didasarkan pada tradisi sosiopsikologis-melihat interpretasi sebagai sebuah proses intuitif, tidak sadar, kognitif dan berhubungan dengan perilaku. Sebaliknya, teori-teori fenomenologis melihat interpretasi sebagai sebuah proses pemahaman yang sadar dan hati-hati. Fenomenologi secara harfiah berarti penelitian tentang pengalaman sadar, dimana interpretasi mengambil peranan yang penting (Littlejohn dan Foss, 2011:192).
Universitas Sumatera Utara
29
Fenomenologi menjadikan pengalaman sebenarnya sebagai data utama dalam memahami realitas. Apa yang diketahui seseorang adalah apa yang dialaminya. Stanley Deetz dalam Littlejohn dan Foss (2011:57), mengemukakan tiga prinsip dasar fenomenologi sebagai berikut: 1. Pengetahuan adalah kesadaran. Pengetahuan tidak disimpulkan dari pengalaman, namun ditemukan secara langsung dari pengalaman sadar. 2. Makna dari sesuatu terdiri atas potensi sesuatu itu pada hidup seseorang. Dengan kata lain, bagaimana Anda memandang suatu objek, bergantung pada makna objek itu bagi Anda. 3. Bahasa adalah “kendaraan makna” (vehicle meaning). Kita mendapatkan pengalaman melalui bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan dan menjelaskan dunia kita. Proses interpretasi merupakan hal yang sangat penting dan sentral dalam fenomenologi. Interpretasi adalah proses aktif pemberian makna dari suatu pengalaman. Menurut pemikiran fenomenologi,
orang
yang
melakukan interpretasi (interpreter) mengalami suatu peristiwa atau situasi dan ia akan memberikan makna kepada setiap peristiwa atau situasi yang dialaminya. Dengan demikian, interpretasi akan terus berubah, bolak-balik, sepanjang hidup antara pengalaman dengan makna yang diberikan kepada setiap pengalaman baru (Morissan dan Wardhany, 2009:31-32). Jadi, dalam pandangan fenomenologi sesuatu yang tampak itu pasti bermakna menurut subjek yang menampakkan fenomena itu, karena setiap fenomena berasal dari kesadaran manusia sehingga sebuah fenomena pasti ada maknanya (Bungin, 2007: 3). Dalam pandangan fenomenologist, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasisituasi tertentu. Inkuiri fenomenologis memulai dengan diam. Diam
Universitas Sumatera Utara
30
merupakan tindakan untuk mengungkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti. Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis adalah aspek subyektif dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari (Moleong, 2006:17). Para fenomenolog percaya bahwa pada makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk
kenyataan.
Untuk
paham
fenomenologi
sebagaimana
diungkapkan Husserl, bahwa kita harus kembali kepada benda-benda itu sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek harus diberikan kesempatan untuk berbicara melalui deskripsi fenomenologis guna mencari hakikat gejala-gejala (Wessenchau). Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan melainkan asal kenyataan, dia menolak bipolarisasi antara kesadaran dan alam, antara subyek dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-obyek, tapi obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran (Ikbar, 2012:65-66). Tradisi fenomenologis memandang bahwa peran kepribadian dalam perilaku paling mudah dipahami dengan melukiskan peranan langsung orang, yaitu proses yang digunakan oleh mereka yang memperhatikan dan memahami fenomena yang disajikan langsung oleh mereka. Oleh sebab itu, tradisi fenomenologis menekankan bahwa cara orang mengalami dunia
Universitas Sumatera Utara
31
secara subjektif, sensasi, perasaan dan fantasi yang terlibat adalah titik tolak untuk
meneliti
bagaimana
orang
menanggapi
berbagai
subjek
(Surip, 2011:12). Tim Fakultas Ilmu Sosial Ilmu dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro dalam Pramestaningtyas (2013:7) menulis bahwa fenomenologi mendeskripsikan pengalaman yang diperoleh secara langsung dan memahami
perilaku
sebagai
sesuatu
yang
dipengaruhi
fenomena
pengalaman daripada realitas obyektif yang berasal dari luar diri individu. Teori Fenomenologi dari Alfred Schutz mengemukakan bahwa orang secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberi tanda dan arti tentang apa yang mereka lihat. Interpretasi merupakan proses aktif dalam menandai dan mengartikan tentang sesuatu yang diamati, seperti bacaan, tindakan atau situasi bahkan pengalaman apapun. Lebih lanjut, Schutz menjelaskan pengalaman indrawi sebenarnya tidak punya arti. Semua itu hanya ada begitu saja; obyek-obyeklah yang bermakna. Semua itu memiliki kegunaan-kegunaan, nama-nama, bagian-bagian, yang berbeda-beda dan individu-individu itu memberi tanda tertentu mengenai sesuatu. Menurut Schutz, fenomenologi adalah studi tentang pengetahuan yang datang dari kesadaran atau cara kita memahami sebuah obyek atau peristiwa melalui pengalaman sadar tentang obyek atau peristiwa tersebut. Sebuah fenomena adalah penampilan sebuah obyek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi seseorang, jadi bersifat subjektif. Bagi Schutz dan pemahaman kaum
fenomenologis,
tugas
utama
analisis
fenomenologis
adalah
merekonstruksi dunia kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang
Universitas Sumatera Utara
32
mereka sendiri alami. Realitas dunia tersebut bersifat intersubjektif dalam arti bahwa sebagai anggota masyarakat berbagi persepsi dasar mengenai dunia yang mereka internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan mereka melakukan interaksi atau komunikasi (Mulyana, 2008:63). 2.5. Teori Konstruksi Sosial Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality), menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul “The Social Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge”. Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Bungin, 2008:189). Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi sekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini adalah masyarakat transisi modern di Amerika pada sekitar tahun 1960-an dimana media massa belum menjadi sebuah fenomena yang menarik dibicarakan. Dengan demikian teori konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann tidak memasukkan media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas (Bungin, 2008:175). Di dalam penjelasan paradigma konstruktivis, realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia yang bebas melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain.
Universitas Sumatera Utara
33
Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah korban fakta sosial, namun sebagai media produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia sosialnya (Basrowi dan Sukidin, 2002:194). Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik di dalamnya maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan mengkonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektifitas individu lain dalam institusi sosialnya (Bungin, 2008:12). Berger dan Luckmann dalam Yuningsih (2006:62) mengatakan bahwa dengan memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan (eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi) serta masalah yang berdimensi kognitif dan normatif, maka yang dinamakan kenyataan sosial itu adalah suatu konstruksi sosial produk masyarakat sendiri (social construction of reality) dalam perjalanan sejarahnya di masa lampau, ke masa kini dan menuju masa depan. Berger dan Luckmann dalam Bungin (2008:193) menjelaskan bahwa tugas pokok Sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan dialektika antara diri (self) dengan dunia sosiokultural. Dialektika ini berlangsung dalam proses dengan tiga momen simultan, (1) eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia; (2) objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau
Universitas Sumatera Utara
34
mengalami proses institusionalisasi; sedangkan (3) internalisasi, yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Dunia pengalaman individual tidak dipisahkan dari dunia sosial sebagaimana diutarakan oleh Berger dan Luckmann dalam Ngangi (2011:3). Selanjutnya dinyatakan bahwa realitas terbentuk secara sosial dan sosiologi ilmu pengetahuan harus menganalisa bagaimana proses itu terjadi. Keduanya mengakui adanya realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang dianggap berada di luar kemauan kita (sebab sesungguhnya fenomena tersebut tidak dapat dihindarkan). Baran dan Davis (2010:383) menyebutkan bahwa konstruksi sosial merupakan pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Realitas memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan realitas tersebut secara objektif. Konstruksi sosial realitas merupakan teori yang mengasumsikan sebuah persetujuan berkelanjutan atas makna, karena orang-orang berbagi sebuah pemahaman mengenai realitas. 2.6. Komunikasi Antar Pribadi Komunikasi memainkan peran penting dalam kehidupan manusia. Hampir setiap saat kita bertindak dan belajar dengan dan melalui komunikasi. Dikarenakan manusia bisa menciptakan simbol-simbol, maka ia juga mampu mengkomunikasikan suatu niat, makna, keinginan atau maksud yang kompleks dan karena itu pula manusia bisa mengubah bentuk kehidupan sosialnya. Dengan demikian, komunikasi merupakan pendorong proses sosial,
Universitas Sumatera Utara
35
yang ditentukan oleh akumulasi, pertukaran dan penyebaran pengetahuan. Tanpa komunikasi, manusia akan tetap pada pola primitif tanpa organisasi sosial (Rivers et al., 2003:33). Sebagian besar kegiatan komunikasi berlangsung dalam situasi komunikasi antar pribadi (komunikasi interpersonal). Komunikasi antar pribadi mempunyai berbagai macam manfaat. Melalui komunikasi antar pribadi kita dapat mengenal diri kita sendiri dan orang lain, kita dapat mengetahui dunia luar, bisa menjalin hubungan yang lebih bermakna, bisa memperoleh hiburan dan menghibur orang lain dan sebagainya. Menurut Abadi (1996:4) Komunikasi interpersonal dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) komunikasi tatap muka (face to face communication) antar pribadi dan (2) komunikasi tatap muka forum (assabled). Komunikasi tatap muka antar pribadi melibatkan sekurang-kurangnya dua orang, sedangkan komunikasi tatap muka forum melibatkan banyak orang yang berhimpun di suatu tempat. Devito (2011:258) menjelaskan efektivitas komunikasi interpersonal dalam lima kualitas umum yang dipertimbangkan, yaitu:
1) Keterbukaan (openness), ialah sikap dapat menerima masukan dari orang lain, serta berkenan menyampaikan informasi penting kepada orang lain. Hal ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya, tetapi rela membuka diri ketika orang lain menginginkan informasi yang diketahuinya. Dengan kata lain, keterbukaan ialah kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan informasi ini tidak bertentangan dengan asas kepatutan. 2) Empati (empathy), ialah kemampuan seseorang untuk merasakan kalau seandainya menjadi orang lain, dapat memahami sesuatu yang sedang dialami orang lain, dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain dan dapat memahami sesuatu persoalan dari sudut pandang orang lain, melalui kacamata orang lain.
Universitas Sumatera Utara
36
3) Sikap mendukung (supportiveness), artinya masing-masing pihak yang berkomunikasi memiliki komitmen untuk mendukung terselenggaranya interaksi secara terbuka. 4) Sikap positif (positiveness), ditunjukkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Dalam bentuk sikap, maksudnya adalah bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi interpersonal harus memiliki perasaan dan pikiran positif, bukan prasangka dan curiga. Dalam bentuk perilaku, artinya bahwa tindakan yang dipilih adalah yang relevan dengan tujuan komunikasi interpersonal, yaitu secara nyata melakukan aktivitas untuk terjalinnya kerjasama. 5) Kesetaraan (equality), ialah pengakuan bahwa kedua belah pihak memiliki kepentingan, kedua belah pihak sama-sama bernilai dan berharga dan saling memerlukan. Memang secara alamiah ketika dua orang berkomunikasi secara interpersonal, tidak pernah tercapai suatu situasi yang menunjukkan kesetraan atau kesamaan secara utuh diantara keduanya. Kesetaraan yang dimaksud disini adalah berupa pengakuan atau kesadaran, serta kerelaan untuk menempatkan diri setara (tidak ada yang superior atau inferior) dengan partner komunikasi. Komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antar-perorangan dan bersifat pribadi baik yang terjadi secara langsung (tanpa medium) ataupun tidak langsung (melalui medium). Contohnya kegiatan percakapan tatap muka,
percakapan
melalui
telepon,
surat-menyurat
pribadi
fokus
pengamatannya adalah bentuk-bentuk dan sifat-sifat hubungan (relationship), percakapan (discourse), interaksi dan karakteristik komunikator (Bungin, 2008:32). Richard L. Weaver dalam Budyatna dan Ganiem (2012:15), menyebutkan bahwa karakteristik komunikasi antar pribadi, yaitu:
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Melibatkan paling sedikit dua orang. Adanya umpan balik atau feedback. Tidak harus tatap muka. Tidak harus bertujuan. Menghasilkan beberapa pengaruh atau effect. Tidak harus melibatkan atau menggunakan kata-kata. Dipengaruhi oleh konteks.
Universitas Sumatera Utara
37
Hardjana (2003:90) dalam buku Komunikasi Intrapersonal & Interpersonal menulis bahwa komunikasi interpersonal dengan masingmasing orang berbeda tingkat kedalaman komunikasinya, tingkat intensif dan tingkat ekstensifnya. Komunikasi interpersonal merupakan kegiatan yang dinamis. Fajar (2008:78) menyebutkan bahwa komunikasi antar pribadi dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain sebagai berikut:
1) 2) 3) 4) 5)
Mengenal Diri Sendiri dan Orang Lain Mengetahui Dunia Luar Menciptakan dan Memelihara Hubungan Menjadi Bermakna Mengubah Sikap dan Perilaku Bermain dan Mencari Hiburan Komunikasi merupakan pendorong proses sosial, yang ditentukan oleh
akumulasi, pertukaran dan penyebaran pengetahuan. John Dewey dalam Rivers et al. (2003:33), mengatakan bahwa masyarakat manusia bertahan berkat adanya komunikasi. Dengan komunikasi, manusia melakukan berbagai penyesuaian diri yang diperlukan dan memenuhi berbagai kebutuhan dan tuntutan yang ada sehingga masyarakat manusia tidak tercerai-berai. Melalui komunikasi pula manusia mempertahankan institusi-institusi sosial berikut segenap nilai dan norma perilaku, tidak hanya dari hari ke hari, namun juga dari generasi ke generasi. 2.7. Fakta, Media Massa, Berita, Wartawan dan Khalayak Dilihat dari Paradigma Kontruksionis Paradigma konstruksionis mempunyai penilaian sendiri dalam melihat fakta/peristiwa, media massa, wartawan dan berita.
Universitas Sumatera Utara
38
2.7.1. Fakta/peristiwa dalam pandangan paradigma konstruksionis Dalam paradigma konstruksionis, realitas itu besifat subjektif dan tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu dari wartawan. Realitas bisa berbedabeda, tergantung bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda. Menurut James W. Carey dalam Eriyanto (2002:22), realitas bukanlah sesuatu yang diberi begitu saja, seakan-akan ada, realitas sebaliknya diproduksi. Hal yang utama dalam pandangan konstruktivisme adalah fakta itu sendiri bukan sesuatu yang terberi, melainkan ada dalam benak kita, yang melihat fakta tersebut. Kitalah yang memberi definisi dan menentukan fakta tersebut sebagai kenyataan. Kita secara aktif mendefinisikan dan memaknai peristiwa/fakta tersebut sebagi sesuatu. Karena fakta itu diproduksi dan ditampilkan secara simbolik, maka realitas tergantung pada bagaimana ia dilihat dan bagaimana fakta tersebut dikonstruksi. 2.7.2. Media massa dalam pandangan paradigma konstruksionis Selama ini kita mengetahui bahwa media massa adalah sebuah saluran, sebuah sarana bagaimana pesan disebarkan dari komunikator ke komunikan
(khalayak).
menggambarkan konstruksionis,
Media
massa
realitas/peristiwa. media
massa
adalah
Tetapi
bukanlah
saluran
dalam
sekedar
untuk
pandangan
saluran
untuk
menggambarkan realitas. Menurut Eriyanto, media massa juga merupakan
Universitas Sumatera Utara
39
subjek yang mengonstruksikan realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Berita yang disajikan selain menggambarkan realitas dan menunjukan pendapat sumber berita, juga menggambarkan konstruksi realitas dari media itu sendiri. Media massa memilih realitas mana yang diambil dan mana yang tidak diambil. Selain itu, secara sadar atau tidak sadar, media massa juga memilih aktor yang dijadikan sumber berita, sehingga hanya sebagian saja dari sumber berita yang tampil dalam pemberitaan. Media massa juga berperan dalam mendefinisikan aktor dan peristiwa lewat bahasa yang digunakan dalam pemberitaan. Media massa dapat membingkai suatu peristiwa dengan bingkai tertentu yang pada akhirnya menentukan bagaimana cara khalayak harus melihat dan memahami peristiwa dalam kaca mata tertentu. Eriyanto (2002:24) menyebutkan bahwa pekerjaan media massa pada dasarnya adalah pekerjaan yang berhubungan dengan pembentukan realitas. Peran media dalam membentuk realitas bisa dilihat dalam tiga tingkatan, yaitu: 1) Media massa membingkai peristiwa dalam bingkai tertentu. 2) Media massa memberikan simbol-simbol tertentu pada peristiwa dan aktor yang terlibat dalam berita. 3) Media massa juga menentukan apakah peristiwa ditempatkan sebagai hal yang penting atau tidak. 2.7.3. Berita dalam pandangan paradigma konstruksionis Fakta merupakan hasil konstruksi dan media massa sebagai agen konstruksi, begitu juga berita dalam pandangan konstruksionis juga dilihat sebagai hasil konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan, ideologi
Universitas Sumatera Utara
40
dan nilai-nilai wartawan atau media. Menurut Eriyanto (2002:25), bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta dipahami dan dimaknai oleh media atau wartawan. Dalam pembentukan dan penulisan berita, secara sadar atau tidak sadar akan melibatkan nilai-nilai tertentu yang dimiliki wartawan atau media, sehingga mustahil berita merupakan pencerminan realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena adanya cara pandang yang berbeda. Oleh karena itu, berita bersifat subjektif karena saat melihat realitas wartawan atau media melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. Hal ini dapat dilihat dari contoh sederhana, yakni bagaimana seorang tokoh lebih ditonjolkan pendapatnya dan mendapat ruang yang lebih besar dalam sebuah berita dibandingkan tokoh lainnya. Namun dalam pandangan konstruksionis, perbedaan antara realitas yang sesungguhnya dengan berita tidak dianggap kesalahan, tetapi suatu kewajaran karena berita adalah produk jurnalistik bukan representasi dari realitas. Sebuah berita yang hadir di tengah-tengah khalayak pun tidak serta-merta jadi, tetapi telah melalui proses seleksi agar memenuhi kriteria kualifikasi yang berlaku dalam sebuah media tertentu. 2.7.4. Wartawan dalam pandangan paradigma konstruksionis Paradigma
konstruksionis
memandang
wartawan
sebagai
agen/aktor konstruksi. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta, memberitakan atau mentransfer apa yang dilihatnya di lapangan, melainkan wartawan juga mendefinisikan peristiwa dan secara aktif membentuknya. Setiap berita yang disajikan dalam sebuah surat kabar
Universitas Sumatera Utara
41
tidak terlepas dari peran serta dari jurnalis yang melakukan proses pengumpulan berita. Wartawan atau jurnalis merupakan orang yang bertugas atau bekerja untuk mencari, mengumpulkan, memilih, mengolah berita dan menyajikannya secara cepat kepada khalayak luas yang dapat dilakukan melalui media cetak atau media elektronik. Menurut
Eriyanto
(2002:28),
dalam
melakukan
tugasnya,
wartawan sebetulnya bukan hanya mengambil realitas yang sebenarnya, tapi juga membentuk berita: ia menguraikan, mengurutkan, mengonstruksi peristiwa demi peristiwa, sumber demi sumber, serta membentuk citra dan berita tertentu. Saat meliput satu peristiwa dan menuliskannya, ia secara sengaja atau tidak menggunakan dimensi perseptualnya. Dengan begitu realitas yang berserakan dipahami dan ditulis dengan melibatkan konsepsi yang mau tidak mau sulit dilepaskan dari unsur subjektivitas. Apa yang kemudian tersaji dan muncul sebagai berita, pada dasarnya adalah hasil olahan dan konstruksi wartawan. Sebagai konsekuensinya, realitas yang dihasilkan bersifat subjektif. Dengan kata lain, dalam proses kerjanya wartawan sering kali bukan melihat lalu menyimpulkan suatu peristiwa dan menulisnya, tetapi justru menyimpulkan terlebih dahulu kemudian melihat fakta yang ingin dikumpulkan. Dalam proses ini wartawan tidak bisa menghilangkan faktor subjektivitasnya, misalnya dengan memilih fakta tertentu dan membuang fakta yang lainnya. Wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita. Lagi pula berita yang disajikan bukan merupakan
Universitas Sumatera Utara
42
produk individual wartawan, melainkan juga merupakan bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya. Dalam pandangan paradigma konstruktivisme, fenomena “realitas” adalah penciptaan kognitif manusia. Dengan demikian, pemikiran konstruktivisme
sangat
meragukan
kemampuan
jurnalis
untuk
“mencerminkan” realitas murni di lapangan seperti apa adanya. Sebab, berita yang disajikan wartawan adalah salah satu versi dari realitas di lapangan (Hanitzsch, 2001). 2.8. Profesionalisme Wartawan Profesi (profession) adalah penghargaan atas karya etika profesi berarti suatu cabang ilmu yang secara sistematis merefleksikan moral yang melekat pada suatu profesi. Etika profesi juga dipahami sebagai nilai-nilai dan asas moral yang melekat pada pelaksanaan fungsi profesional tertentu dan wajib dilaksanakan oleh pemegang profesi itu (Masduki, 2004:35). Di Indonesia, wartawan adalah sebuah profesi dan menjadi wartawan adalah pilihan profesional. Bagaimana wartawan mendefinisikan pekerjaannya akan mempengaruhi isi media yang ia produksi. Ukuran profesionalisme wartawan terletak pada ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Selagi berpegang teguh pada KEJ, tidak satu pihakpun bisa menggugat hasil karya jurnalistik yang dibuat wartawan. selain itu, wartawan secara profesi juga sudah semestinya berpegang pada undang-undang yang secara khusus berlaku untuknya, yaitu UndangUndang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Wartawan juga perlu bergabung dengan organisasi formal terkait profesinya, seperti PWI dan
Universitas Sumatera Utara
43
AJI, untuk dapat mengaktualisasikan diri dalam profesi kewartawanan (Ershad, Srimulyani, H., Supriadi, D., 2012:9). Dalam Undang-Undang Pers No. 40/1999 Bab I pasal 1 Ayat (1) tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) beserta penjelasannya, Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Ada delapan atribut professional wartawan, diantaranya: 1) 2) 3) 4) 5)
Menunjukkan identitas diri kepada narasumber; Menghormati hak privasi; Tidak menyuap; Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang; 6) Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara; 7) Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri; 8) Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik. Menurut Yasak (2010:21), wartawan dituntut profesional sematamata bukan hanya karena idealisme yang ada pada profesi tersebut, namun keprofesionalan itu mempengaruhi media yang mempunyai efek cukup besar terhadap publik. Suatu profesi memerlukan semangat dan kesungguhan terentu. Disiplin profesi mengikat setiap anggota yang telah bergabung ke dalam lingkaran profesi tersebut, sekaligus menolak hadirnya orang-orang yang tidak dapat memenuhi disiplin tersebut. Masyarakat melihat wartawan sebagai alat untuk menegakkan keadilan. Menurut Shoemaker dalam Yasak (2010:21), ada tiga pengaruh penting atas isi media yang bersumber pada faktor personalitas wartawan.
Universitas Sumatera Utara
44
Pertama, latar belakang pendidikan. Kedua, kepercayaan dan nilai-nilai yang dianutnya. Ketiga, orientasi profesional atau tujuan ketika seseorang memilih pekerjaannya sebagai wartawan. Jadi, berita yang dihasilkan oleh wartawan baik itu berita foto maupun berita tulis tidak benar-benar obyektif. Namun subyektifitas wartawan dalam melaporkan suatu kejadian dapat dilihat dari latar belakang pribadi wartawan tersebut. Dalam melaksanakan tugas sebagai wartawan, penting kiranya bagi wartawan untuk turut memperhatikan nilai-nilai lokal yang berlaku di masyarakat sekitarnya. Menurut Popples dan Bailey dalam Samovar, L. A., Porter, R. E. & McDaniel, E. R. (2010:30), nilai merupakan fitur lain dari suatu budaya. Nilai merupakan kritik atas pemeliharaan secara keseluruhan karena hal ini mewakili kualitas yang dipercayai orang yang penting untuk kelanjutan hidup mereka. Nilai adalah standar keinginan, kebaikan dan keindahan yang diartikan dari udaya yang berfungsi sebagai petunjuk dalam kehidupan sosial. Dengan kata lain, nilai-nilai berguna untuk menentukan bagaimana seseorang seharusnya bertingkah laku. Sementara Ade M. Kartawinata (2011) dalam sebuah buku berjudul “Merentas Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi dan Tantangan Pelestarian” menulis bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah kearifan lokal sebagai sebuah konsepsi eksplisit dan implisit yang khas milik seseorang, suatu kelompok atau masyarakat. Suatu nilai yang diinginkan yang dapat mempengaruhi pilihan yang tersedia dari bentukbentuk, cara-cara, dan tujuan-tujuan tindakan secara berkelanjutan. Nilai yang hanya dapat disimpulkan dan ditafsirkan dari ucapan, perbuatan dan
Universitas Sumatera Utara
45
materi yang dibuat manusia yang diturunkan melalui suatu aktivitas ritual atau pendidikan. Karena itu, fungsi langsung nilai adalah untuk mengarahkan tingkah laku individu dalam situasi sehari-hari, sedangkan fungsi tidak langsungnya adalah untuk mengekspresikan kebutuhan dasar yang berupa motivasional. Lebih jauh, makna dari sebuah nilai dapat mengikat setiap individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu, memberi arah dan intensitas emosional terhadap tingkah laku secara terus menerus dan berkelanjutan. Itu artinya, dengan nilai setiap pelaku merepresentasikan tuntutan termasuk secara biologis dan keinginankeinginannya, selain tuntutan sosial tentunya. Masih berkaitan dengan profesionalisme wartawan, rutinitas yang dijalankan oleh sebuah media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Silaban (2012:322) menulis bahwa setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung setiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebuah tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Rutinitas media ini mempengaruhi wujud akhir sebuah berita.
Universitas Sumatera Utara
46
Agar sebuah perusahaan/organisasi media dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan aturan untuk mencapai suatu sasaran yang diinginkan, baik sasaran jangka pendek maupun jangka panjang, maka perlu adanya sebuah pedoman, metode, dasar atau aturan yang harus dijalankan secara benar oleh semua bagian di organisasi/perusahaan. Standar kinerja ini sekaligus untuk menilai organisasi/perusahaan baik secara internal maupun eksternal. Standar internal yang bersifat prosedural inilah yang disebut dengan Standard Operating Procedures (SOP) atau Prosedur Operasi Standar. Menurut Jones (2001:49) dalam bukunya Organizational Theory dinyatakan bahwa istilah SOP ini merupakan bagian dari peraturan tertulis yang membantu untuk mengontrol perilaku anggota organisasi. SOP mengatur cara pekerja untuk melakukan peran keorganisasiannya secara terus-menerus dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab organisasi. Secara umum, SOP merupakan gambaran langkah-langkah kerja (sistem, mekanisme dan tata kerja internal) yang diperlukan dalam pelaksanaan suatu tugas untuk mencapai organisasi. Standard Operating Procedure (SOP) adalah pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja organisasi yang bersangkutan berdasarkan indikator teknis, administrasif dan prosedural. Tujuan SOP adalah menciptakan komitmen mengenai apa yang dikejarkan oleh satuan unit kerja sebuah organisasi.
Universitas Sumatera Utara
47
2.9. Kerangka Berpikir Wartawan atau jurnalis merupakan orang yang bertugas atau bekerja untuk
mencari,
mengumpulkan,
memilih,
mengolah
berita
dan
menyajikannya secara cepat kepada khalayak luas yang dapat dilakukan melalui media cetak atau media elektronik. Menurut Eriyanto (2002:28), dalam melakukan tugasnya, wartawan sebetulnya bukan hanya mengambil realitas yang sebenarnya, tapi juga membentuk berita: ia menguraikan, mengurutkan, mengonstruksi peristiwa demi peristiwa, sumber demi sumber, serta membentuk citra dan berita tertentu. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia. Dari keseluruhan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pers tersebut, dapat dirangkum menjadi tiga kegiatan yang umumnya dilakukan oleh wartawan di lapangan, yaitu kegiatan mencari berita (news hunting) yang merujuk pada kenyataan bahwa wartawan harus mengejar (memburu) sumber berita agar mendapatkan hasil yang diharapkan, lalu kegiatan pengumpulan berita (news gathering), merujuk pada pekerjaan wartawan yang hanya mengumpulkan bahan berita dari berbagai sumber yang tersedia sampai kepada kegiatan membuat berita (news making).
Universitas Sumatera Utara
48
Ukuran profesionalisme wartawan terletak pada ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Selagi berpegang teguh pada KEJ, tidak satu pihakpun bisa menggugat hasil karya jurnalistik yang dibuat wartawan. selain itu, wartawan secara profesi juga sudah semestinya berpegang pada undang-undang yang secara khusus berlaku untuknya, yaitu UndangUndang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Wartawan juga perlu bergabung dengan organisasi formal terkait profesinya, seperti PWI dan AJI, untuk dapat mengaktualisasikan diri dalam profesi kewartawanan (Ershad et al., 2012:9). Selain ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, seorang wartawan juga harus memperhatikan nilai-nilai lokal yang berlaku pada masyarakat di sekitarnya. Hal ini dikarenakan profesi wartawan memiliki mobilitas dan dinamika yang tinggi. Wartawan harus aktif melakukan “personal contact” atau hubungannya dengan orang lain. Wartawan menjalin hubungan dengan semua orang dari berbagai latar belakang dan status sosial, khususnya narasumber yang menjadi mitra wartawan. Warung kopi, merupakan tempat yang sangat akrab dengan profesi wartawan khususnya di Kota Lhokseumawe. Wartawan dari berbagai media kerap memanfaatkan warung kopi sebagai sarana berkumpul dan berdiskusi tentang berbagai hal, khususnya yang berhubungan dengan pekerjaan dan kegiatan peliputan di lapangan. Warung kopi menawarkan beragam fasilitas
Universitas Sumatera Utara
49
yang dapat mendukung kegiatan wartawan sekaligus sebagai tempat berkomunikasi dan berdiskusi. Ada begitu banyak informasi yang berkembang di warung kopi. Beberapa diantaranya bahkan menginspirasi para wartawan untuk mengangkatnya menjadi sebuah berita di media. Namun demikian, tidak semua informasi yang berkembang di warung kopi bisa diangkat ke media, kesemuanya harus melewati proses seleksi dengan melihat nilai berita (news value) yang dimilikinya. Hanya informasi yang memiliki nilai berita yang tinggilah yang dapat diangkat menjadi sebuah berita di media sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) yang dimiliki oleh media yang bersangkutan. Dengan mengacu pada gambaran tersebut, maka dapat dibuat sebuah alur kerangka berpikir pada penelitian ini sebagai berikut:
Warung Kopi
Organisasi Media
Wartawan
Profesi
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir
Universitas Sumatera Utara