12
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1.
Kajian Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai film memang telah banyak dilakukan, khususnya yang berbicara mengenai representasi. Menggunakan analisis semiotika sebagai pisau analisisnya. Penelitian yang sudah ada banyak mengungkapkan makna dan mitos di balik simbol-simbol yang tampil dalam film untuk membongkar representasi dan ideologi. Akan tetapi dari sekian banyak penelitian tersebut, masih jarang sekali yang menggunakan metode semiotika Christian Metz sebagai pisau analisisnya. Berikut penelitian terdahulu yang digunakan peneliti sebagai tambahan rujukan dalam melakukan penelitian.
2.1.1. Representasi Represi Orde Baru Terhadap Buruh (Studi Saluran Komunikasi Modern Christian Metz dalam Film Marsinah (Cry Justice) Penelitian berjudul Represetasi Represi Orde Baru Terhadap Buruh (2014) oleh Ike Desi Florina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendapatkan pemahaman bagaimana film Marsinah (Cry Justice) merepresentasikan represi Orde Baru terhadap buruh melalui struktur filmis yang khas. Teori yang digunakan dalam penelitinan ini adalah teori semiotika Crhistian Metz. Dengan analisis Large Syntagmatic. Metode
12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
penelitian deskriptif kualitatif dengan paradigma konstruktivis. Hasil penelitian ini ditemukan bahwa terdapat tanda represi, diantaranya: Teror dan intimidasi. Kedua tanda tersebut merupakan bentuk representasi represi pada masa orde baru yang berusaha ditampilkan dalam film Marsinah (Cry Justice).
2.1.2. Representasi Kekerasan Simbolik pada Hubungan Romantis dalam Serial Komedi Situasi How I Meet You Mother (Analisis Semiotika Roland Barthes) Penelitian yang dilakukan oleh Preciosa Alnashava (2012), berjudul Representasi Kekerasan Simbolik pada Hubungan Romantis dalam Serial Komedi Situasi How I Meet You Mother membahas tentang bagaimana representasi kekerasan simbolik dalam hubungan romantis , serta berusaha membongkar idelogi patriarki dibalik representasi tersebut. Menggunakan metode semiotika Roland Barthes, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sitkom tersebut menampilkan kekerasan simbolik dengan memproduksi mitos perempuan dalam hubungan romantis sebagai: objek seks, makhluk yang emosional dan pihak yang harus lebih rela berkorban. Mitos inilah yang mengkonstruksi ideologi patriarki dibalik komedi situasi How I Meet You Mother.
2.1.3. Military Brats (Film Representations of Children from Military Families)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
Penelitian representasi juga ditemukan dalam penelitian yang berjudul “Military Brats (Film Representations of Children from Military Families)” oleh Morten G. Ender (2005). Melalui analisis isi yang dilakukan terhadap 46 film dari tahun 1953-2002 dengan tema anak-anak, remaja dan orang tua yang berlatar belakang keluarga militer. Hasil penelitiannya
mengungkapkan:
(a)
beracam-macam
peran
yang
ditampilkan dalam film mengenai keluarga militer, menggambarkan ketidakkonsistenan antara kehidupan militer sebenarnya, serta menguatkan jarak antara sipili-militer itu sendiri; (b) terdapat enam pola dan karakteristik keluarga militer; terkait jabatan militer, penyimpangan sosial, mobilitas sosial, anak yang cepat dewasa (dewasa belum saatnya), percintaan anak muda dan konflik orang tua; (c) terdapat negosiasi antara konsep diri dan pencitraan diri anak-anak dari keluarga militer yang terlanjur dicap sebagai anak nakal dari keluarga militer.
2.1.4. Kajian Mise en scene dan Montage dalam Film Citizen Cane. Penelitian berjudul Kajian Mise en scene dan Montage dalam Film Citizen Kane, yang dilakukan Gideon Kamang, berbicara mengenai kajian film melalui unsur teknis film: Mise en scene dan Montage. Kedua unsur tersebut dikatakan juga sebagai sistem sintaks interpretasi estetis perfilman atau langue. Pertama, Mise en scene adalah artikulasi ruang artistk yang mengatur bagaimana objek-objek hadir dalam satu shot. Dengan kata lain sebuah sajian citra-citra; pilihan objek-objek dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
bagaimana objek-objek dalam sebuah shot direpresentasikan. Mise en scene adalah what to shot dan how to shot. Kedua adalah Montage, yaitu artistik yang mengatur bagaimana shot-shot di „link‟, disambungkan satu sama lain untuk mendapatkan makna berbeda. Montage sebuah sajian citra mengenai bagaimana gambar-gambar dihubungkan, sekaligus dipisahkan. Montage berhubungan berhubungan degan how to present the shot. Melalui dua desain citra di atas, Kamang berusaha mencari pengertian, makna, teknik dan aplikasinya mengenai mise en scene dan montage ; dengan menjadikan film Citizen Cane, yang diklaim film terbaik sepanjang masa sebagai suatu „sample box‟. Hasil penelitiannya adalah predikat yang disematkan kepada film Citizen Cane (1941) memang pantas diberikan. Memang bukan mengenai narasinya, kualitas tekniknya, grandiose efek-efeknya atau hal lain yang menjadi kualitas gambar zaman sekarang, melainkan pada pengaruhnya terhadap perkembangan medium film di era-era setelahnya. Yaitu seberapa besar sumbangan pemikiran dan teknik yang diberikan pada dunia perfilman. Citizen Cane memiliki suatu sintaks film yang sangat idealistik namun tetap menghibur (entertaining). Banyak ide-ide Welles (parole) telah menjadi langue pada masa kini, misalnya dari teknik montage dan mise en scene. Keduanya merupakan kekuatan utama dari film di era kini yang telah berkembang sangat pesat.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
2.1.5. Kritik Sosial dalam Film (Analisis Isi pada Film Marsinah Karya Slamet Raharjo Djarot) Penelitian berjudul Kritik Sosial dalam Film (Analisis Isi pada Film Marsinah Karya Slamet Raharjo Djarot) (2009) oleh Muhlis. Ia mempertanyakan mengenai seberapa sering kemunculan kritik sosial, yan menjadi sasaran kritik dan tema kritik yang terkandung dalam kritik sosial dalam film Marsinah, dengan tujuan penelitian untuk mengetahui frekwensi kemunculan kritik sosial dalam film Marsinah karya Slamet Raharjo Djarot. Dengan menggunakan metode analisis isi dengan perangkap
statistik
mempresentasikan
deskriptif, kerangka
tujuan
pesan
dari
secara
analisis akurat.
isi
adalah
Penelitian
ini
menggunakan scene sebagai unit analisis yang merupakan bagian penting dari sebuah film. Teknik pengumpulan data yang digunakan lembar koding (coding sheet), dengan struktur kategori sasaran kritik dan tema kritik
dan
selanjutnya
peneliti
menggunakan
rumus
CR
yang
dikembangkan oleh R. Holsty untuk menghitung nilai dari hasil penelitian, sedangkan untuk uji reliabilitas menggunakan rumus PI Index Scott. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kritik sosial yang muncul dalam film Marsinah ini ada 22 scene dari total 98 scene atau 22,45%, indikator pemerintah 12 scene (12,25%), indikator perusahaan 10 scene (10,20%), dan untuk kategori tema kritik indikator upah buruh sebanyak 2 scene (2,04%) dan indikator ketidakadilan terhadap buruh sebanyak 14 scene (14,29%) sedangkan indikator kekerasan terhadap buruh sebanyak 6
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
scene (6,12%) semuanya adalah total dari film. Kesimpulan dari penilaian menunjukkan bahwa frekuensi kemunculan kritik sosial dalam film Marsinah adalah sebesar 44,9 scene atau belum sampai setengah dari jumlah scene yang ada pada film (98 scene) karena setiap ada tema kritik berhubungan dengan sasaran kritik dan begitu juga sebaliknya setiap sasaran kritik terdapat tema di dalamnya. Hasil ini diperoleh melalui penjumlahan kemunculan setiap kategori dalam film.
2.1.6. Representasi Liberalisme dalam Film Menculik Miyabi (Analisis Semiotika Roland Barthes) Penelitian berjudul Represetasi Liberalisme dalam Film Menculik Miyabi
(2014) oleh
Sumanjaya. Penelitian ini
bertujuan untuk
membongkar makna atau mengetahui bagaimana representasi liberalisme yang tercermin dari kebebasan berbicara dan kebebasan bertindak yang ada dalam beberapa adegan film tersebut. Teori yang digunakan adalah representasi yang merupakan salah satu praktik penting yang membentuk kebudayaan melalui bahasa menjadi perantara dalam memaknai sesuatu, memproduksi, mengubah makna dan konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes dengan teori sistem penandaan bertingkat yang disebut sistem denotasi dan konotasi. Hasil penelitian
ini
menunjukkan
bahwa
mitologi
liberalisme
moral
dikonstruksikan oleh pembuat film dengan tampilan dimana seseorang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
bebas
berekspresi,
mengidolakan
artis
porno,
dan
hal
yang
menggambarkan betapa permisifnya masyarakat terhadap sesuatu yang berkaitan dengan pornografi. Protes, ancaman, dan hujatan yang mengiringi film tersebut seperti mendapat iklan gratis di media. Hal tersebut dimanfaatkan oleh produser film bermodal besar (kapitalis) yang memiliki kemampuan finansial untuk menghadirkan artis porno asing dalam film produksi mereka.
2.1.7. Representasi Realitas Bullying dalam Serial Film Kartun Doraemon (Analisis Semiotika Charles Sander Pierce) Penelitian berjudul Representasi Realitas Bullying dalam Film Kartun Doraemon (2012) oleh Arie Nugraha. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui
jenis-jenis
perilaku
bullying
apa
saja
yang
direpresentasikan di dalam serial film kartun Doraemon, juga untuk mengetahui bagaimana representasi realitas bullying dalam serial film tersebut. Teori yang digunakan adalah representasi yang merupakan salah satu praktek penting yang membentuk kebudayaan melalui bahasa yang menjadi perantara dalam memaknai sesuatu, memproduksi, mengubah makna dan konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis semiotika Charles Sander Pierce dengan teori segitiga makna yang mengacu pada tiga jenis pembagian tanda yaitu, ikon, indeks, dan simbol. Penelitian ini menghasilkan ada temuan beberapa jenis realitas bullying yaitu, bullying
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
verbal, bullying fisik, merebut barang milik korban, dan bullying dengan memaksa disertai ancaman fisik
2.1.8. Representasi Pahlawan Underground dalam Film “The Green Hornet” ” (Analisis Semiotika Charles Sander Pierce) Penelitian berjudul Representasi Pahlawan Underground dalam Film The Green Hornet (2012) oleh Martin Kusumadewi ini bertujuan untuk
mengetahui
bagaimana
konsep
pahlawan
underground
direpresentasikan melalui tanda verbal dan nonverbal dalam film tersebut. Untuk mengungkap persoalan tersebut secara menyeluruh dan mendalam digunakan metode penelitian paradigma kritis yang merupakan upaya menemukan makna termasuk dari hal-hal tersembunyi dibalik sebuah teks. Juga semiotika Pierce yang digunakan untuk memberikan gambaran dan makna mengenai representasi pahlawan underground dalam film tersebut. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa: (1) pahlawan underground dalam film The Green Hornet merepresentasikan proses pencarian jati diri dikarenakan sang superhero underground mengalami krisis identitas dengan melakukan serangkaian aktivitas yang dianggapnya sebagai kebenaran; (2) pahlawan underground dalam film The Green Hornet ini juga merepresentasikan akan melemahnya penegakkan hukum (law enforcement) terhadap tindak kejahatan yang dimiliki kelompok dominan (mafia).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
2.1.9. Pesan Dakwah
dalam Film “Tampan Tailor” (Analisis Semiotika
Charles Sander Pierce) Penelitian berjudul
Pesan Dakwah dalam Film Tampan Tailor
(2014) oleh Ria Isnaini ini berfokus pada pesan dakwahnya yaitu tentang kebersihan dan tolong-menolong. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui pesan dakwah yang terkandung dalam film tersebut. Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, jenis deskriptif yang berguna memberikan fakta serta data mengenai pesan dakwah dalam film Tampan Tailor, kemudia data temuan tersebut dianalisis menggunakan analisis semiotika Charles Sander Pierce, sehingga diperoleh makna mendalam tentang pesan dakwah yang ditemukan. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bentuk pesan dakwah yang menonjol dalam film Tampan Tailor adalah kebersihan dan tolongmenolong. Kebersihan yang ditandai dengan beberapa adegan diantaranya adalah mandi, sedangkan tolong-menolong ditandai dengan adegan pemberian pekerjaan.
2.1.10. Rasisme dalam Film “The Help” (Analisis Pendekatan Semiotika Roland Barthes) Penelitian ini dilakukan oleh Ina Nuriska Kencana pada tahun 2014. Dalam penelitian ini masalah yang diteliti adalah bagaimana gambaran rasisme dalam film The Help. Metode yang digunakan adalah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
deskriptif dengan metode riset analisis semiotika Roland Barthes. Subyek penelitian dalam film ini ialah audio yang berupa dialog antar pemain, musik transisi dan backsound dari film ini serta visual yang berupa foto, video, subtitle dalam bahasa Indonesia, setting tempat dan waktu dan bahasa tubuh atau gesture. Berdasarkan
hasil
penelitian,
ditemukan
perilaku
yang
menimbulkan adanya sikap rasisme, yakni, prasangka, stereotip, dan diskriminasi. Serta adanya kepercayaan bahwa budaya anda sendiri, bangsa anda sendiri, atau agama anda sendiri lebih hebat dan superior dibandingkan dengan yang lain. Konflik rasisme yang terjadi di tahun 1960 dimunculkan kembali dalam film The Helpdi tahun 2011 karena ada kemungkinan masyarakat sudah mulai lupa akan peristiwa rasisme yang pernah terjadi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22 Tabel 2.1 Kajian Penelitian Terdahulu No
Nama Peneliti
Judul Penelitian
Metode Penelitian
1
Ike Desi Florina
Representasi Represi Orde Baru Terhadap Buruh (Studi Saluran Komunikasi Modern Christian Metz dalam Film Marsinah (Cry Justice)). 2014
Penelitian Kualitatif dengan menggunakan model semiotika Christian Metz (The Large Syntagmatic)
2
Preciosa Alnashava
Representasi Kekerasan Simbolik pada Hubungan Romantis dalam Serial Komedi Situasi How I Meet You Mother (Analisis Semiotika Roland Barthes). 2012
Penelitian Kualitatif dengan menggunakan model semiotika Roland Barthes
3
Morten G. Ender
Military Brats (Film Representations of Children from Military Families). 2005
Hasil Penelitian
Perbedaan
Persamaan
Hasil penelitian ini ditemukan bahwa terdapat tanda represi, diantaranya : Teror dan intimidasi. Kedua tanda tersebut merupakan bentuk representasi represi pada masa orde baru yang berusaha ditampilkan dalm film Marsinah (Cry Justice).
Perbedaan terdapat pada unit analisis. Penelitian ini menganalisis bentuk tindakan, sedangkan penelitian saya menganilisi tokoh peran.
Menggunakan model semiotika yang sama, yaitu model Christian Metz (The Large Syntagmatic)
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sitkom tersebut menampilkan kekerasan simbolik dengan memproduksi mitos perempuan dalam hubungan romantis sebagai : objek seks, makhluk yang emosional dan pihak yang harus lebih rela berkorban. Mitos inilah yang mengkonstruksi ideologi patriarki di balik komedi situasi How I Meet You Mother.
Perbedaan terdapat pada unit analisis. Penelitian ini menganalisis bentuk tindakan, sedangkan penelitian saya menganilisi tokoh peran.
Sama-sama mengungkap bagaimana penggambaran sebuah realitas dalam sebuah film
Penelitian Kualitatif, Hasil penelitiannya mengungkapkan menggunakan : (a) beracam-macam peran yang ditampilkan dalam film mengenai metode analisi isi keluarga militer, menggambarkan ketidakkonsistenan antara kehidupan militer sebenarnya, serta menguatkan jarak antara sipilimiliter itu sendiri. (b) terdapat enam
Berbeda metode, karena mengunakan analisis isi
Mengungkap penggambaran terkait karakterisasi tokoh
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
pola dan karakteristik keluarga militer ; terkait jabatan militer, penyimpangan sosial, mobilitas sosial, anak yang cepat dewasa (dewasa belum saatnya), percintaan anak muda dan konflik orang tua. (c) terdapat negosiasi antara konsep diri dan pencitraan diri anak-anak dari keluarga militer yang terlanjur dicap sebagai anak nakal dari keluarga militer. 4
Muhlis
Kritik Sosial dalam Penelitian kualitatif. Film (Analisis Isi Menggunakan pada Film Marsinah metode analisis ini Karya Slamet Raharjo Djarot). 2009
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kritik sosial yang muncul dalam film Marsinah ini muncul 22 scene dari total 98 scene atau 22,45%, yaitu dengan indikator pemerintah 12 scene (12,25%) dan indikator perusahaan sebanyak 10 scene (10,20%) dan untuk kategori tema kritik indikator upah buruh sebanyak 2 scene (02,04%) dan indikator ketidakadilan terhadap buruh sebanyak 14 scene (14,29%) sedangkan indikator kekerasan terhadap buruh sebanyak 6 scene (06,12%) semuanya adalah total dari film. Kesimpulan dari penilaian menunjukkan bahwa frekwensi kemunculan kritik sosial dalam film Marsinah adalah sebesar 44,9 scene atau belum sampai setengah dari
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Berbeda metode, karena mengunakan analisis isi. Penelitian ini menghitung jumlah frekwensi yang muncul terkait topik penelitian
Melihat secara kronologis untuk mengetahui bagaimana pembentukkan cerita filmnya.
24
jumlah scene yang ada pada film (98 scene) karena setiap ada tema kritik berhubungan dengan sasaran kritik dan begitu juga sebaliknya setiap sasaran kritik terdapat tema di dalamnya. Hasil ini diperoleh melalui penjumlahan kemunculan setiap kategori dalam film. 5
Sumanjaya
Represetasi Liberalisme dalam Film Menculik Miyabi. (2014)
Penelitian kualiatif. Menggunakan model semiotika Roland Barthes
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa mitologi liberalisme moral dikonstruksikan oleh pembuat film dengan tampilan dimana seseorang bebas berekspresi, mengidolakan artis porno dan hal yang menggambarkan betapa permisifnya masyarakat terhadap hal yang berkaitan dengan pornografi. Protes, ancaman dan hujatan yang mengiringi film tersebut seperti mendapat iklan gratis di media. Hal tersebut dimanfaatkan oleh produser film bermodal besar (kapitalis) yang memiliki kemampuan finansial untuk menghadirkan artis porno asing dalam film produksi mereka.
Menggunakan paradigma kritis. Sedangkan penelitian saya menggunakan paradigma konstruktivis.
Sama-sama mengungkap makna dari sebuah representasi realitas
6
Arie Nugraha
Representasi Realitas Bullying Dalam Film Kartun Doraemon. (2012)
Penelitian Kualitatif. Menggunakan analisi semiotika Charles Sander Pierce
Penelitian ini menghasilkan ada temuan beberapa jenis realitas bullying yaitu, bullying verbal, bullying fisik, merebut barang milik korban, dan bullying dengan
Scene sebagai Unit analisis. Sedangkan penelitian saya mengambil shot sebagai unit
Sama-sama mengungkap makna dari sebuah representasi realitas. Menggunakan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
memaksa disertai ancaman fisik.
analisis.
paradigma yang sama yaitu konstruktivis. Melihat bagaimana sebuah realitas diciptakan
7
Martin Kusumadewi
Representasi Pahlawan Underground dalam Film The Green Hornet. (2012)
Penelitian kualiatif. Menggunakan model semiotika Roland Barthes
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa, (1) pahlawan underground dalam film The Green Hornet merepresentasikan proses pencarian jati diri dikarenakan sang superhero underground mengalami krisis identitas dengan melakukan serangkaian aktifitas yang dianggapnya sebagai kebenaran. (2) pahlawan underground dalam film The Green Hornet ini juga merepresentasikan akan melemahnya penegakkan hukum (law envorment) terhadap tindak kejahatan yang dimiliki kelompok dominan (mafia).
Menggunakan paradigma kritis. Sedangkan penelitian saya menggunakan paradigma konstruktivis
Sama-sama mengungkap makna dari sebuah representasi realitas
8
Ria Isnaini
Pesan dakwah dalam Film Tampan Tailor (2014)
Penelitian Kualitatif. Menggunakan analisi semiotika Charles Sander Pierce
Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bentuk pesan dakwah yang menonjol dalam film Tampan Tailor adalah kebersihan dan tolongmenolong. Kebersihan yang ditandai dengan beberapa adegan diantaranya adalah mandi, sedangkan tolongmenolong ditandai dengan adegan
Scene sebagai Unit analisis. Sedangkan penelitian saya mengambil shot sebagai unit analisis.
Menggunakan paradigma yang sama yaitu konstruktivis. Melihat bagaimana sebuah realitas diciptakan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
pemberian pekerjaan. 9
Ina Nuriska Kencana
Rasisme dalam Film “The Help”. (2014)
Penelitian kualiatif. Menggunakan model semiotika Roland Barthes
hasil penelitian, ditemukan perilaku yang menimbulkan adanya sikap rasisme, yakni, prasangka, stereotip, dan diskriminasi. Serta adanya kepercayaan bahwa budaya anda sendiri, bangsa anda sendiri, atau agama anda sendiri lebih hebat dan superior dibandingkan dengan yang lain. Konflik rasisme yang terjadi di tahun 1960 dimunculkan kembali dalam film The Helpdi tahun 2011 karena ada kemungkinan masyarakat sudah mulai lupa akan peristiwa rasisme yang pernah terjadi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Menggunakan paradigma kritis. Sedangkan penelitian saya menggunakan paradigma konstruktivis
Sama-sama mengungkap makna dari sebuah representasi realitas
27
Referensi Jurnal Internasional No
Nama Penulis
Data Jurnal
Judul Jurnal
1
Handerson, Brian.
Scholarly Journal
Callenbach, Ernest.
Proquest Document ID : 223106298.
Metz: Essais I and Film Artikel ini membahas lebih lanjut diskusi tentang film berdasarkan teori Metz. Theory Brian Henderson menghubungkan kerja Metz untuk teori film sebelumnya dan membedah konsep Metzian dasar dari dalam. Dia mengatakan bahwa teori semiotika film Metz tidak koheren secara teknis dalam membedah film. Namun, dalam artikel kedua Bill Nicholas membantahnya dengan mengatakan hanya semiotika Metz secara pendekatan struktural-linguistik yang paling sesuai untuk mebedah film. Dengan alasan, bahwa konsep digital linguistik telah inhern jika dibedah menggunakan teori semiotika film Metz.
University of California Press. ISSN: 00151386
2
Louisa Desilla
Implicatures in film: Construal and functions Volume 44. Issue 1, January 2012, Pages 30- in Bridget Jones romantic 53 comedies Jurnal of Pragmatics
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Pembahasan
Menjelaskan pengetahuan tentang teori hubungan, kajian film, dan banyak perumpamaan. Makalah ini menyajikan studi implikasi dalam konteks semiotika film. Definisi implikasi kognitifpragmatis diusulkan pada konsep teori hubungan yang disesuaikan untuk memenuhi kompleksitas semiotika komunikasi Film. Saat ini studi kasus yang mengeksplorasi construal dan fungsi
28
implikasi diidentifikasi dalam Bridget Jones Diary (2001) dan Bridget Jones: The Edge of Reason (2004). Hal ini menunjukkan bahwa implikasi tidak disampaikan oleh dialog film itu sendiri, melainkan melalui penyebaran pesan verbal dan non-verbal penanda sinematik. Implikasi dalam dua film komedi romantis telah ditemukan untuk memenuhi fungsi komedi dan / atau narasi di tandem dengan mise-en-scene, sinematografi, editing, dan / atau soundtrack non-verbal. Secara khusus, implikasi muncul sebagai unsur organik dari dua film karena kontribusi kedua film tersebut pada penciptaan humor, keintiman antara protagonis dan plot. 3
Claudia M. Bubel
Film audiences as overhearers
Journal of Pragmatics Volume 40, Issue 1, January 2008, Pages 5571
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Makalah ini mencoba untuk menggambarkan cara kerja film wacana dengan berfokus pada proses kognitif yang terlibat dalam pemahaman dan desain dari pertukaran lisan pada layar . Beberapa konsep telah dikembangkan untuk memperhitungkan berbagai bentuk wacana dimediasi.Namun , konsep ini tidak menjelaskan bagaimana penonton mengkonstruksi makna, dan mereka gagal untuk menguraikan keterlibatan mental yang terlibat dalam hal konstruksi makna . Proses kognitif yang mengarah kepada
29
pemahaman dialog film, sejajar dengan yang terjadi dalam kasus overhearers dalam situasi sehari-hari . Ini juga memiliki konsekuensi untuk desain dialog film. Kedua pemahaman dan desain dialog film didasarkan pada pola yang mendasari pengetahuan , termasuk pengetahuan tentang percakapan nyata dan dialog film . Richard L. Anderson,
4 2.
o
Brian C. O'Connor
First published: 19 June 2009 DOI: 10.1002/bult.2009.1720350508
Reconstructing Bellour: Automating the semiotic analysis of film
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Pada tahun 1981, Teoritisi film Bertrand Augst bertanya (komunikasi pribadi), "Mengapa kita tidak bisa menggunakan komputer untuk mengukur dan berbicara tentang struktur filmis dengan cara yang sama seperti yang kita lakukan untuk teks verbal?" Pertanyaan Augst ini muncul dalam sebuah percakapan ketika menemui kesulitan pada studi tentang film. Hal tersebut bukan untuk mengatakan tidak ada mekanisme wacana yang bekerja dalam film "sastra metafora."; itu menunjukkan bahwa setiap langkah korespondensi antara frame dan kata serta kalimat atau yang serupa dari bentuk verbal ke bentuk gambar mengalami kegagalan. Film bukan dokumen tekstual. Film tidak memiliki struktur tata bahasa yang didefinisikan secara baku. Gambar bukan kata-kata. Shots bukan kalimat. Film umumnya melihat pada tingkat presentasi dan linearitas. Teknologi yang
30
digunakan dalam produksi dan menonton film telah berubah sejak Augst mengajukan pertanyaan aslinya; Namun, ada sedikit perubahan atau kemajuan dalam teori film sebagai hasil dari teknologi yang lebih baik dan lebih efisien 5
John A Bateman1
Citation Information: Semiotica. Volume Towards a grande 2007, Issue 167, Pages 13–64, ISSN (Online) paradigmatique of film: 1613-3692, ISSN (Print) 0037Christian Metz reloaded 1998, DOI: 10.1515/SEM.2007.070,December 2007
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Makalah ini mensintesis dan menghubungkanseluruh bahasan sebelumnya mengenai montase filmis yang dilakukan dalam tradisi semiotik Metzian, untuk menunjukkan bahwa semiotika film dan pangsa bahasa fitur utama verbal organisasi mereka . Menggambarkan pada kemajuan terbaru semantik wacana linguistik formal dan fungsional , makalah ini menyediakan skema analisis yang mendukung perspektif film sebagai wacana sintagmatik dan sumbu paradigmatik dari deskripsi semiotik . pendekatan sebelumnya, membatasi untuk melihat komposisi semantik hanya sesuai untuk sintaks saja . Hal iini telah dikompromikan terkait efektivitas mereka untuk menyediakan dasar empiris yang sesuai untuk meneliti film .
31
2.2.
Kajian Teoritis
2.2.1
Komunikasi Politik Propaganda
Definisi Komunikasi Politik Komunikasi adalah proses interaksi sosial yang digunakan orang untuk menyusun makna yang merupakan citra mereka mengenai dunia (yang berdasarkan itu mereka bertindak) dan untuk bertukar citra itu melalui simbol-simbol. Sedangkan politik adalah proses, dan seperti komunikasi, politik melibatkan pembicaraan. Ini bukan pembicaraan dalam arti sempit seperti kata yang diucapkan, melainkan pembicaraan dalam arti yang lebih inklusif, yang berarti segala cara orang bertukar simbol kata-kata yang dituliskan dan diucapkan, gambar, gerakan, sikap tubuh, perangai, dan pakaian. Oleh karena banyak aspek kehidupan politik yang dapat dilukiskan dengan komunikasi, sehingga disebut dengan komunikasi politik (Dan Nimmo, 2005:6-8).
Politik Propaganda Menurut Anwar Arifin (2011:125), terdapat berbagai bentuk komunikasi politik yang biasa dilakukan oleh politikus atau aktivis politik untuk mencapai tujuan politiknya. Teknik komunikasi yang dilakukan diarahkan untuk mencapai dukungan legitimasi (otoritas sosial), yang meliputi tiga level, yaitu pengetahuan, sikap samapai dengan perilaku khalayak.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
Beberapa bentuk atau jenis-jenis seni dan teknik aplikasi (penerapan) komunikasi politik yang sudah lama dikenal dan dilakukan oleh para politikus atau aktivis politik, antara lain: retorika politik, agitasi politik, propaganda politik, lobi politik, dan tindakan politik
yang dapat
dilakukan dalam kegiatan politik
yang
terorganisasi seperti: public relation politik, pemasaran politik, dan kampanye politik. Semua bentuk komunikasi politik itu berkaitan dengan pembentukan citra dan opini publik. Propaganda yang berasal yang berasal dari kata latin propagare yang berarti menyemaikan tunas suatu tanaman, adalah salah satu bentuk seni dan teknik berkomunikasi yang sering kali juga diaplikasikan dalam kegiatan politik. Propaganda merupakan kegiatan yang sudah lama dikenal penggunaannya dalam bidang politik, meskipun pada awalnya (1622) digunakan sebagai bentuk kegiatan keagamaan (agama katolik). Pada tahun 1622, Paus Gregoreus XV membentuk suatu komisi kardinal yang bernama Congregatio de propaganda fide, untuk menumbuhkan keimanan kristiani di antara bangsa-bangsa. Secara
khusus
para
missionaris
ditugaskan
untuk
menyebarkan doktrin kristiani tersebut, yaitu seorang missionaris harus mampu menggalang beberapa ribu pemeluk baru yang diharapkan. Dari situlah berasal istilah propaganda dan karakteristik utama kegiatannya, yaitu satu kepada-banyak (satu orang propagandis
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
menggalang banyak pengikut). Propagandis adalah orang yang melaksanakan kegiatan propaganda, yang mampu menjangkau khalayak kolektif yang lebih besar. Propagandis adalah politikus atau kader politik yang memiliki kemampuan dalam melakukan sugesti kepada khalayak dan menciptakan suasana yang mudah terkena sugesti (suggestible). Situasi yang mudah terkena sugesti itu sangat ditentukan oleh kecakapan propagandis dalam menyugestikan atau menyarankan kepada khalayak (sugeestivity), dan khalayak itu sendiri diliputi oleh suasana yang mudah terkena sugesti (suggestibility). Itulah sebabnya, propaganda dipandang negatif karena menggunakan metode persuasi yang negatif. Di negara demokrasi, propaganda menurut Leonardo W. Dobb (1966) dalam Arifin (2011:133), dipahami sebagai suatu usaha individu
atau
mengontrol
individu-individu
sikap
kelompok
yang
individu
berkepentingan lainnya
dengan
untuk jalan
menggunakan sugesti. Sedang Herbert Blumer (1969) dalam Arifin (2011:133), mengemukakan bahwa propaganda dapat dianggap sebagai suatu kampanye politik yang denga sengaja mengajak dan membimbing untuk memengaruhi dan membujuk orang guna menerima suatu pandangan, sentimen atau nilai. Berdasarkan pengertian tersebut, Jacques Ellul (1965) dalam Arifin (2011:133), membagi propaganda dalam dua tipe, yaitu propaganda politik dan propaganda sosiologi. Propaganda politik
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, partai politik, dan kelompok kepentingan untuk mencapai tujuan politik (strategis atau taktis) dengan pesan-pesan yang khas yang lebih berjangka pendek. Sedang propaganda sosiologis biasanya kurang kentara dan lebih berjangka panjang dengan pesan-pesan suatu cara hidup, yang selanjutnya akan memengaruhi lembaga-lembaga sosial, ekonomi, dan politik. Dengan demikian, propaganda politik dapat merupakan kegiatan komunikasi politik yang dilakukan secara terencana dan sistematik, untuk menggunakan sugesti (mempermainkan emosi), untuk tujuan memengaruhi seseorang atau kelompok orang, khalayak atau komunitas yang lebih besar (bangsa) agar melaksanakan atau menganut suatu ide (ideologi, gagasan sampai sikap), atau kegiatan tertentu dengan kesadarannya tanpa merasa dipaksa/terpaksa. Ada beberapa tipe propaganda yang diperkenalkan oleh para pakar dan penulis. Dobb (1950) dalam Arifin (2011:134), membedakan antara propaganda tersembunyi dengan propaganda terang-terangan, propaganda disengaja dan propaganda yang tidak disengaja.
Propaganda
tersembunyi
terjadi
jika
propagandis
menyelubungi (membungkus) tujuan-tujuannya ketika berbicara. Sedang propaganda terang-terangan menyingkap tujuan politiknya tatkala berusaha memperoleh dukungan suara.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
Selanjutnya, propaganda yang disengaja adalah propaganda yang memang dipersiapkan dengan cermat untuk memperoleh dukungan politik. Sedangkan propaganda yang tidak disengaja adalah propaganda yang terjadi secara spontan (tanpa disengaja), dalam sebuah suasana atau kondisi yang tidak direncanakan sebelumnya. Selain itu, Ellul (1965) dalam Arifin (2011:134) juga membedakan antara propaganda vertikal dan propaganda horizontal. Kategori pertama yaitu propaganda vertikal dimaksudkan satu kepada-banyak, terutama mengandalkan retorika dan penggunaan media sebagai andalannya. Kategori kedua yaitu propaganda horizontal yaitu kegiatan propaganda yang berlangsung di dalam kelompok (antara warga kelompok) dari pemimpin kepada anggota kelompoknya, dengan mengandalkan komunikasi antar individu atau komunikasi antarpersona yang bersifat dialogis. Bentuk kegiatannya antara lain dengan anjangsana atau diskusi kelompok. Ada beberapa teknik propaganda (politik) yang dikenal sejak lama, yaitu sebagai hasil penelitian Lembaga Analisis Propaganda, tentang propaganda yang berlangsung selam Perang Dunia II. Lembaga tersebut merangkum tujuh macam teknik propaganda, yang memanfaatkan kombinasi kata, tindakan, dan logika untuk tujuan persuasif (negatif). Ketujuh teknik propaganda yang sudah lama dikenal adalah (1) penjulukan (name calling) memberi nama jelek kepada pihak lain;
http://digilib.mercubuana.ac.id/
36
(2) iming-iming (glittering generalities) yaitu menggunakan kata-kata yang muluk, slogan-slogan, dan memutarbalikan fakta; (3) transfer, yaitu melakukan identifikasi dengan lembaga-lembaga otoritas; (4) testimonial, yaitu pengulangan ucapan orang yang dihormati atau yang dibenci untuk mempromosikan atau meremehkan suatu maksud; (5) merakyat (plain foks) yaitu menempatkan diri sebagai bagian dari rakyat; (6) menumpuk kartu (card stacking) yaitu memilih dengan teliti pernyataan yang akurat dan logis; dan (7) gerobak musik (bandwagon) , yaitu mendorong khalayak untuk bersama-sama orang banyak bergerak untuk mencapai tujuan atau kemenangan yang pasti. 2.2.2 Film sebagai Media Komunikasi Massa Kajian mengenai film sebagai media komunikasi massa mulai banyak dikemukakan oleh para teoritisi. Bagi Graeme Turner misalnya, kini film tidak hanya dimaknai sebagai sebuah karya seni (film as art), tetapi lebih sebagai praktik sosial (film as sosial practice) : “film was examined as a cultural product and as a sosial practice, valuable both for it self and for what it could tell us the sistems and processes of culture” (Turner, 1993 : 237). Sedangkan
Jowet
dan
Linton
mengatakan
film
sebagai
„komunikasi massa‟ (Irwanto, 1999 : 11). Ketika berbicara film sebagai komunikasi massa, fungsi komunikasi massa tentunya merupakan bagian dari fungsi film itu sendiri. Selain fungsi: to inform, to entertain, to
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37
persuade, transmission of the culture (Jay Black dan Federick C Withney (1988))
atau oleh
Laswell, komunikasi
massa memiliki
fungsi
pengawasan, korelasi dan pewarisan nilai sosial. Dalam teori komunikasi, Irwanto menambahkan, film bisa dikatakan sebagai sebuah pesan yang disampaikan kepada komunikan. Sedangkan makna tidak terdapat pada pesan melainkan pada penerima pesan. Efektivitas komunikasi bisa diukur secara berbeda-beda tergantung seperti apa tujuan dari proses komunikasi itu sendiri. Bagaimana tanda itu dipersepsi oleh penerima atau oleh interpreter sehingga terjadi komunikasi yang efektif. (Irwanto, 1999 : 12) Sebagai media komunikasi massa, film mempunya beberapa peran dan fungsi dalam masyarakat yakni : (MqQuail, 2011 : 35) 1. Sebagai sumber pengetehuan yang menyediakan informasi tentang peristiwa dan kondisi masyarakat dan dunia, gambaran dan citra realitas sosial, film juga menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan hiburan. 2. Sebagai sarana sosialisasi dan pewarisan nilai-nilai, norma-norma dan kebudayaan. 3. Film
sering
sekali
berperan
sebagai
wahana
pengembangan
kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, melainkan juga dalam pengertian pengemasan tata cara, mode, gaya hidup dan norma-norma.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
38
4. Sebagai sarana hiburan dan pemenuhan kebutuhan estetika. Melalaui fungsi-fungsi itu pula film menampilkan kenyataan (yang telah dikonstruk lebih dahulu) layakanya realitas yang sesungguhnya terjadi. Film dijadikan sebagai cerminan kondisi mengenai kondisi masyarakat yang ditampilkannya. Disini film dilihat sebagai cermin yang memantulkan
kepercayaan-kepercayaan
dan
nilai
dominan
dalam
kebudayaannya. Namun sesungguhnya bagi Turner seperti yang dikutip Irwanto, pandangan tersebut sangat primitive dan mengemukakan metaphor yang tidak memuaskan, karena menyederhanakan proses seleksi dan kombinasi yang selalu terjadi dalam setiap komposisi ungkapan. Antara film dan masyarakat, sesungguhnya terdapat kompetisi dan konflik dari berbagai faktor yang menentukan, baik bersifat kultural, sub-kultural, industrial, serta institusional. (Turner, 1991 : 14). Oleh karena itu, bisa dipahami jika ia menolak yang melihat film sebagai refleksi masyarakat, dengan mengatakan: “film does not reflect or even record reality; like any other medium of representation it constructs and „represent‟ it picture of reality by way of codes, conventions, myth, and ideologies of its culture as well as by way of the specific signifying practices of the medium.” (film tidak mencerminkan atau bahkan merekam realitas seperti medium representasi yang lain, ia mengkonstruksi dan „menghadirkan kembali‟ gambaran dari realitas melalui kode-kode, konvensi-konvensi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
39
mitos dan ideology-ideologi kebudayaan sebagaimana cara praktik signifikansi yang khusus dari medium.) (Turner, 1991 : 14) Lebih lanjut Turner mengatakan makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat, adalah berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar „memindah‟ realitas tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu, sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideology dari kebudayaannya. Representasi disini mempunyai dimensi lebih. Terdapat kemungkinan serangkaian pesan lain yang mengikuti penggunaan media, baik sengaja/disadari atau tidak. 2.2.3
Tinjauan Umum Tentang Film
2.2.3.1 Film Sebagai Alat Komunikasi Film merupakan seni mutakhir yang muncul pada abad ke20, film sendiri merupakan perkembangan dari fotografi yang ditemukan oleh Joseph Nicephore Niepce dari Prancis pada tahun 1826. Penyempurnaan dari fotografi yang berlanjut akhirnya rintisan penciptaan film itu sendiri. Nama-nama penting dalam sejarah penemuan film ialah Thomas Alva Edison dan Lumiere Bersaudara (Sumarno, 1996 : 2). Sejak awal pemunculan film sampai sekarang banyak bermunculan sineas-sineas yang makin terampil dalam membuat, meramu segala unsur untuk membentuk sebuah film. Berbagai pemikiran seorang pembuat film yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
40
dituangkan dalam karyanya maka film dapat digolongkan menjadi film cerita dan non cerita. Film cerita sendiri memiliki genre atau jenis film dengan durasi waktu yang berbeda-beda pula, ada yang berdurasi 10 menit hingga beberapa jam. Genre sediri dapat diartikan sebagai jenis film yang ditandai oleh gaya, bentuk, da nisi film itu sendiri. Ada yang menyebutkan film drama, film horror, film klasikal, film laga, film komedi, dan lain-lain. Film yang juga merupakan media komunikasi, tidak mencerminkan atau bahkan merekam realitas, seperti medium representasi
yang
lain
film
hanya
mengkonstruksi
dan
“menghadirkan kembali” gambaran realitas melalui kode-kode, konvensi-konvensi,
mitos
dan
ideologi-ideologi
dari
kebudayaannya sebagai cara praktik signifikansi yang khusus dari medium (Turner, 1999 : 128). Dalam pembuatan film cerita diperlukan proses pemikiran dan proses teknis. Proses pemikiran berupa pencarian ide, gagasan atau cerita yang akan dikerjakan. Sedangkan proses teknis berupa keterampilan artistik untuk mewujudkan segala ide, gagasan atau cerita menjadi film yang siap ditonton. Oleh karena itu suatu film terutama film cerita dapat dikatakan sebagai wahana penyebaran nilai-nilai (Effendy, 2002 : 16). Jika dalam film cerita memiliki ragam jenis demikian pula pada film yang tergolong non cerita, namun pada mulanya hanya ada dua tipe film non cerita yakni film
http://digilib.mercubuana.ac.id/
41
dokumenter dan film faktual. Film faktual umumnya hanya menampilkan fakta, kamera sekedar merekam peristiwa sedangkan film dokumenter selain mengandung fakta ia juga mengandung subjektivitas pembuatnya. Subjektivitas diartikan sebagai sikap atau opini terhadap sebuah peristiwa. 2.2.3.2 Jenis-Jenis Film Marcel Danesi dalam buku Semiotik Media, menuliskan tiga jenis atau kategori utama film, yaitu film fitur, film documenter, dan film animasi (Danesi, 2010 : 134-135). Penjelasannya adalah sebagai berikut :
Film Fitur: Film fitur merupakan karya fiksi, yang strukturnya selalu berupa narasi, yang dibuat dalam tiga tahap. Tahap praproduksi merupakan periode ketika skenario diperoleh. Sekenario ini bisa berupa adaptasi dari novel, atau cerita pendek, cerita fiktif atau kisah nyata yang dimodifikasi, maupun karya cetakan lainnya, bisa juga yang ditulis secara khusus untuk dibuat filmnya. Tahap produksi merupakan masa berlangsungnya pembuatan film berdasarkan skenario itu. Tahap akhir, pasca produksi (editing) ketika semua bagian film yang pengambilan gambarnya tidak sesuai dengan urutan cerita, disusun menjadi suatu kisah yang menyatu.
Film Dokumenter
http://digilib.mercubuana.ac.id/
42
Film dokumenter merupakan film nonfiksi yang menggambarkan situasi kehidupan nyata dengan setiap individu menggambarkan perasaannya dan pengalamannya dalam situasi yang apa adanya, tanpa persiapan, langsung pada kamera atau pewawancara. Robert Claherty mendefinisikannya sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan”, creative treatment of actuality (Ardianto & Komala, 2007 : 139). Dokumenter sering kali diambil tanpa skrip dan jarang sekali ditampilkan di gedung bioskop yang menampilkan film-film fitur. Akan tetapi, film jenis ini sering tampil di televisi. Dokumenter dapat diambil pada lokasi pengambilan apa adanya, atau disusun secara sederhana dari bahan-bahan yang sudah diarsipkan. Dalam kategori dokumenter, selain mengandung fakta, film dokumenter mengandung subjektivitas pembuatnya. Dalam hal ini pemikiranpemikiran, ide-ide, dan sudut pandang idealisme mereka. Dokumenter merekam adegan nyata dan faktual (tidak boleh merekayasa sedikitpun) untuk kemudian dirubah menjadi sefiksi mungkin menjadi sebuah cerita yang menarik.
Film Animasi Animasi adalah teknik pemakaian film untuk menciptakan ilusi gerakan dari serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. Penciptaan tradisional dari animasi gambar-bergerak selalu diawalai hampir bersamaan dengan penyusunan storyboard, yaitu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
43
serangkaian sketsa yang menggambarkan bagian penting dari cerita. Sketsa tambahan dipersiapkan kemudian untuk memberikan ilustrasi latar belakang, dekorasi serta tampilan dan karakter tokohnya. Pada masa kini, hampir semua film animasi dibuat secara digital dengan komputer. Salah satu tokohnya yang legendaris dari Walt Disney dengan film-film kartunnya seperti Donald Duck, Snow White, dan Mickey Mouse. 2.2.3.3 Unsur-Unsur Pembentuk Film Film secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuk, yakni unsur naratif dan unsur sinematik, dua unsur tersebut saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain:
Unsur Naratif Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film. Dalam hal ini unsur-unsur seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu adalah elemen-elemennya. Mereka saling berinteraksi satu sama lain untuk membuat sebuah jalinan peristiwa yang memiliki maksud dan tujuan, serta terikat dengan sebuah aturan hukum kausalitas (logika sebab akibat).
Unsur Sinematik Unsur sinematik merupakan aspek-aspek teknis dalam produksi sebuah film. Terdiri atas: (a) Mise en scene yang memiliki empat elemen pokok: setting atau latar, tata cahaya, kostum, dan make up, (b) Sinematografi, (c) editing, yaitu transisi sebuah gambar (shot)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
44
ke gambar lainnya, dan (d) Suara, yaitu segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui indera pendengaran (Prastita, 2009 : 1-2). 2.2.3.4 Struktur dalam Film
Shot Shot adalah a consecutive series of pictures that constitutes a unit of action in a film, satu bagian dari rangkaian gambar yang begitu panjang yang hanya direkam dalam satu take saja. Secara teknis, shot adalah ketika kamerawan mulai menekan tombol record hingga menekan tombol record kembali (Pintoko & Umbara, 2010 : 97)
Scene Adegan adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu adegan umumnya terdiri dari beberapa shot yang saling berhubungan.
Sequence Sequence adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu peristiwa yang utuh. Satu sekuen umumnya terdiri dari beberapa adegan yang saling berhubungan. Dalam karya literatur, sekuen bisa diartikan seperti sebuah baba tau sekumpulan bab (Prastita, 2009 : 29-30).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
45
2.2.4
Semiotika dan Film Film merupakan transformasi dari gambaran-gambaran kehidupan manusia. Kehidupan manusia penuh dengan simbol yang mempunyai makna dan arti berbeda, dan lewat simbol tersebut film memberikan makna yang lain lewat bahasa visualnya. Film juga merupakan sarana ekspresi indrawi yang khas dan efesien, aksi dan karakteristik yang dikomunikasikan dengan kemahiran mengekspresikan image yang ditampilkan dalam film yang kemudian menghasilkan makna tertentu yang sesuai konteksnya. Tidaklah mengherankan bahwa film merupakan bidang kajian penerapan semiotika, film dibangun dengan tanda-tanda, termasuk berbagai sistem tanda yang bekerjasama dalam rangka mencapai efek yang diharapkan. Film menjadi media yang menarik untuk dijadikan bahan kajian yang mempelajari berbagai hal di dalamnya. Kajian dalam film dilakukan karena film memberikan kepuasan dan arti tentang budaya maupun lingkungannya. Terdapat hubungan antara image film dengan penikmat film. Langkah yang dapat dilakukan dalam mengkaji film adalah dengan menganalisis bahasa film sehingga dapat menghasilkan makna. Teks merupakan kajian dalam analisis „bahasa‟ film, yaitu teks dijelasakan hingga sistem penandaan (signifiying sistem) (Tumper, 1999:48). Film sebagai teks akan memberikan makna-makna sehingga film dapat dijadikan media untuk mengkonstruksikan pandangan seseorang terhadap suatu kejadian dimasyarakat. Image, dalam film tidak
http://digilib.mercubuana.ac.id/
46
berada dalam hubungan yang sewenang-wenang terhadap obyeknya, sebuah image tetaplah image yang termotivasi artinya adalah signifier ditentukan oleh signified, tanda yang termotifikasi merupakan sesuatu yang sangat ikonis. (Turner, 1999:15). Film memiliki dua unsur utama di dalamnya yaitu gambar dan dialog. Film disini dapat disebut sebagai citra (image) berbentuk visual bergerak dan suara dalam dialog di dalamnya. Citra menurut Barthes merupakan amanat ikonik (iconic message) yang dapat dilihat berupa adegan (scene) yang terekam. Kode-kode dalam film terbentuk dari kondisi sosial budaya dimana film itu dibuat, serta sebaliknya kode tersebut dapat berpengaruh pada masyarakat ketika seseorang melihat film, ia memahami gerakan, aksen, dialog, dan lainnya, kemudian disesuaikan dengan karakter untuk memperoleh posisi dalam struktur kelas atau dengan mengkonstruksikan apa yang dilihat dalam film dengan lingkungannya.
2.2.5 Film Sebagai Representasi Realitas Konsep mengenai representasi merupakan kajian yang khas dalam cultural studies. Hal ini tentunya banyak mempengaruhi dalam kajian media maupun komunikasi massa. Khususnya yang membongkar represetasi ideologis dan proses pertarungan ideologi dengan dan di dalam media, dengan penekanan hubungan antara dan keberlangsungan tatanan sosial (Setiawan, 2008:19).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
47
Bagi Eriyanto (2012 : 113). Konsep representasi dalam studi media massa, termasuk film, dapat dilihat dari beberapa aspek tergantung sifat kajiannya. Studi media yang melihat bagaimana wacana berkembang di dalamnya, biasanya dapat ditemukan dalam studi wacana kritis pemberitaan media, memahami ‟representasi‟ sebagai konsep yang “menunjuk bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemeberitaan”. Masih menurut Eriyanto, setidaknya terdapat dua hal penting berkaitan dengan representasi; pertama, bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tersebut ditampilkan bila dikaitkan dengan realita yang ada, dalam arti apakah ditampilkan sesuai dengan fakta yang ada atau cenderung diburukkan sehingga menimbulkan kesan meminggirkan atau hanya menampilkan sisi buruk seseorang atau kelompok tertentu dalam peberitaan. Kedua, bagaimana eksekusi penyajian objek tersebut dalam madia. Eksekusi representasi objek tersebut berwujud dalam pemilihan kata, kalimat, aksentuasi dan penguatan dalam foto imaji macam apa yang akan dipakai menampilkan seseorang, kelompok atau suatu gagasan dalam pemberitaan. Berdasarkan penjelasan diatas, representasi dalam sebuah film hadir melalui sebuah proses dialogis berdasar kenyataan yang diangkat, baik dalam bentuk film fiksi maupun dokumenter, dimana kecenderungan pada fokus tertentu akan muncul melalui eksekusi penyajian melalui
http://digilib.mercubuana.ac.id/
48
gambar, shot dan angle kamera serta narasi dan ekspresi tokoh yang menguatkan titik tekan yang ingin ditampilkan. Dalam konteks ini ketika sebuah film sebagai media komunikasi dipandang sebagai produk kebudayaan, dimana budaya digambarkan sebagai proses produksi dan pertukaran makna yang terus-menerus, maka menjadi
penting
untuk
melihat
bagaimana
memproduksi
dan
mempertukarkan makna melalui bahasanya. Secara etimologis, film berarti moving image, gambar bergerak. Awalnya, film lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi. Ia ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Thomas Edison yang untuk pertama kalinya mengembangkan kamera citra bergerak pada tahun 1888 ketika ia membuat film sepanjang 15 detik yang merekam salah seorang asistennya ketika sedang bersin. Segera sesudah itu, Lumiere bersaudara bersaudara memberikan pertunjukan film sinematik kepada umum di sebuah kafe di Paris. (Danesi, 2010 : 132). Pada titik ini film telah menjadi media bertutur manusia, sebuah alat komunikasi, menyampaikan kisah. Jika sebelumnya bercerita dilakukan dengan lisan, lalu tulisan, kini muncul satu medium lagi dengan gambarbergerak, yang diceritakan adalah perihal kehidupan. Di sinilah lantas kita menyebut film sebagai representasi dunia nyata. Eric Sasono menulis, disbanding media lain, film memiliki kemampuan untuk meniru kenyataan sedekat mungkin dengan kenyataan sehari-hari.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
49
Film dibuat representasinya oleh pembuat film dengan cara melakukan pengamatan terhadap masyarakat, melakukan seleksi realitas yang bisa diangkat menjadi film dan menyingkirkan yang tidak perlu, dan direkonstruksi yang dimulai saat menulis skenario hingga film selesai dibuat. Meski demikian, realitas yang tampil dalam film bukanlah realitas sebenarnya. Film menjadi imitasi kehidupan nyata (Irwansyah, 2009 : 12), yang merupakan hasil karya seni, di mana di dalamnya diwarnai dengan nilai estetis dan pesan-pesan tentang nilai yang terkemas rapi.( Al-Malaky, 2004 : 139). Dalam kajian semiotik, film adalah salah satu produk media massa yang menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri. Caranya adalah dengan mengetahui apa yang dimaksudkan atau direpresentasikan oleh sesuatu, bagaimana makna itu digambarkan, dan mengapa ia memiliki makna sebagaimana ia tampil. Pada tingkat penanda, film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata. Pada tingkat petanda, film merupakan cerminan kehidupan metaforis. Jelas bahwa topik film menjadi sangat pokok dalam semiotic media karena di dalam genre film terdapat sistem signifikansi yang ditanggapi orang-orang masa kini dan melalui film mereka mencari rekreasi, inspirasi, dan wawasan pada tingkat interpretant (Danesi, 2010 : 135).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
50
Tokoh semiologi film, Christian Metz menyatakan bahwa bahasa film semacam bahasa yang memiliki sistem dan terstruktur seperti laiknya bahasa (Metz, 1991:19). Artinya tidak sama persis sebagai bahasa yang kita pahami pada umumnya sebagai sistem linguistik, melainkan sebuah bahasa yang terdiri dari audiovisual serta teks, yang berupa jalinan alur cerita kemudian dikemas dalam sebuah film yang dibuat oleh pembuat film selalu bermotivasi dan ditunjukkan kepada seseorang atau suatu peristiwa( Metz, 1991:37). Pada akhirnya sebuah film pun dapat merepresentasikan nilai, gagasan ataupun ideologi tertentu. Stephen Heat (1981) mengaskan bahwa semua yang namanya bioskop (flm) berkaitan dengan representasi dan representasi itu sendiri merupakan suatu bentuk bahasa dengan model linguistik Saussure tentang “ langue” (Seiler, 1992:56).
2.3 Semiologi Christian Metz Film merupakan kajian yang amat relevan bagi analisis semiotika. Berangkat dari analisis sebuah sinema sebagai industri, bagi Christian Metz, film atau sinema merupakan sebuah sistem yang kompleks, multidimensi baik secara sosio kultural, teknologi, distribusi, ekonomi sosial politik budaya. Film juga merupakan sebuah teks dan wacana dengan model strukturalis melalui pendekatan linguistik dan kemudian psikoanalisis (Stam, 1992:34). Sehingga ia menyebut buah pikirannya sebagai semiotika film dengan berbasis psikoanalisis.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
51
Christian Metz, adalah salah satu pencetus teori film yang berasal dari Perancis. Dalam bukunya, Film Language: A Semiotics of the Sinema (1974), Christian Metz berpendapat bahwa sinema terstruktur seperti bahasa. Mengadopsi model Saussure, Metz membuat perbedaan antara “langue” sistem bahasa, dan “bahasa”. Metz berpendapat : “…the sinema is certainly not a language sistem (langue)...”.(Metz, 1991:75). Artinya film itu tidak dapat dianggap sebagai “langue” dalam arti memiliki tata bahasa yang ketat dan sintaks setara dengan kata-kata tertulis atau lisan. Berbeda dengan kata-kata tertulis, unit dasar film adalah shot, yan di dalamnya terdapat montage, pergerakan kamera, efek optik, interkasi antara visual dan audio dan masih banyak lagi. Kesemuanya bekerja selalu bermotivasi dan ikonik, bukanlah simbolis atau sewenang wenang dalam proses signifikansi, karena itu film syarat dengan makna khusus.(Metz, 1991:75-77). Karena mirip dengan bahasa, maka beberapa metode yang dipergunakan untuk mempelajari bahasa mungkin bermanfaat untuk mempelajari film. Karena seperti bahasa, sesungguhnya film pun memiliki narasi. Akan tetapi narasi dalam film tentunya dikonstruksi dengan cara tertentu sehingga merepresentasikan rangkaian dan peristiwa yang saling berhubungan satu sama lainnya. Menurut Van Zoest (Sobur, 2009:129-131), film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri. Kekhususan film adalah mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
52
dengan proyektor dan layar. Apa yang menjadi kekhususan sebuah film dapat dikatakan sebagai „tata bahasa‟ yang terdiri atas istilah pemotongan (cut), pemotretan jarak dekat (close up), pemotretan dua (two shot), pemotretan jarak jauh (long-shot), pembesaran gmbar (zoom-in), pengecilan gambar (zoom-out), memudar (fade), pelarutan (dissolve), gerak lambat (slow motion), gerakan yang dipercepat (speeded-up), efek khusus (special effect). Namun bahasa tersebut juga mencakup kode-kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol-simbol yang paling abstrak dan arbiter secara metafora. Metafora visual sering menyinggung onjek-objek dan symbol-simbol dunia nyata serta mongkonotasikan makna-makna sosial dan budaya. Semiotika film Metz berusaha memahami cara bagaimana media film dapat memaparkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tokoh melalui penekanan psikoanalisis dan struktur film. Semiotika film adalah sebuah transfer visual menjadi wacana dimana sebuah proses eksperimen untuk aplikasi konsep-konsep linguistik berstruktur dari Saussure dengan signifikansinya.(Metz,1991:74) Semiotika film bekerja melalui struktur bahasa film, estetika, serta fenomenologis
gambar
audio-visual
sebagai
ekspresi
film
yang
digabungkan dengan hubungan antar tanda yang termaktub dalam sebuah proses sintagmatik yang besar (The Large Syntagmatic). Perhatian utama semiotika film adalah bagaimana makna dibangkitkan dan disampaikan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
53
Makna dibangkitkan dan disampaikan melalui analisis unsur denotatif film, yang merupakan titik tekan semiotika film. Unsur denotatif ini dapat membangun, mengorganisir dan mengkode, melakukan proses signifikansi tanda-tanda yang terlihat dalam layar, disinilah sebuah proses pemaknaan terjadi. (Metz,1991:70-72) Bagi Metz, bahasa film data disebut sebagai “ a langue without a langue”. Ia menyamakan bahasa gambar (image) yang tersusun dalam narasi sebuah film dengan kalimat yang dapat dibaca seperti yang berada pada sebuah tulisan. Tiap komponen gambar saling memenuhi unsurunsurnya satu sama lain hingga membentuk sebuah stuktur kalimat dalam film yang dibangun dari bahasa gambar dan kamera. Lebih lanjut dijelaskan bahwa shot tidak lebih dari sebuah ungkapan daripada kata, meskipun tidak selalu menyerupai. Sebuah bahasa adalah sebuah proses semiotik yang dapat menyampaikan maksud pikiran. Disini film tidak semata menggunakan kata dan bahasa, tetapi juga berbagai jenis shot, sudut dan kecepatan.(Metz, 2012) Metz juga mengungkapkan fakta yang harus dipahami bahwa film harus benar-benar dimengerti. Analogi ikon tidak selalu dapat menjelaskan wacana dalam film, sehingga membutuhkan pemahaman lebih mendalam untuk membaca bahasa film, yang disebut dengan fungsi dari “ The Large Syntagmatic Category”. Bahasa struktur film kemudian dibagi menjadi delapan pengelompokan: Autonomous Shot, Paralel Syntagma, Bracket
http://digilib.mercubuana.ac.id/
54
Syntagma, Descriptive Syntagma, Alternate Syntagma, Scene, Episodic Sequence dan Ordinary Sequence.(Metz, 1991:145) Penjelasannya adalah sebagai berikut : 1. Autonomous Shot (establishing shot, insert) : tahap ini merupakan single shot yang ditambah dengan empat jenis insert. Menampilkan episode dari plot, dengan empat jenis insert yang dimaksud adalah: nondiegetic insert, subjective insert, displaced insert dan explanatory insert. 2. Parallel Syntagma: merupakan syntagma non-kronologis yang terdiri dari gabungan beberapa shot dengan gambar-gambar kontras. Memiliki jalinan dua atau lebih motif, dengan maksud simbolis. Contoh: gambar kota dengan gambar desa, gambar kaya dengan gambar miskin; menyimbolkan suatu paradoks. 3. Bracket Syntagma: bagian dari syntagma non-kronologis yang menggabungkan gambar-gambar dengan tema yang senada. Meskipin tidak berurutan, namun menampilkan serpihan kejadian dalam film. 4. Descriptive Syntagma : merupakan bagian dari syntagma kronologis, yang mengurutkan peristiwa dalam satu screen atau setting secara langsung. Menjelaskan secara deskriptif pesan yang terangkai secara langsung. Menghubungkan fakta yang ditemukan di layar atau dengan kata lain menampilkan pesan yang terangkai secara langsung dalam level denotatif (ditampilkan di layar)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
55
5. Alternate Syntagma : peristiwa kronologis yang terjadi dalam dua shot secara bergantian dan berhubungan. Menyatukan shot-shot yang berbeda, namun memiliki satu kesamaan dan disajikan secara simultan. 6. Scene : secara kronologis dan kontinyu menampilkan adegan-adegan spesifik atau khusus yang dapat membentuk kepribadian tokoh. Dapat berupa setting tempat, peristiwa, moment atau aksi. Bersifat kontinyu tanpa ada break/jeda pada akhirnya berakhir dalam satu shot. 7. Episodic Sequence: shot yang dalam penyajiannya diskontinyu atau memiliki lompatan, namun cenderung konstan atau ajeg dan masih membicarakan hal/tujuan yang sama. 8. Ordinary Sequence : shot yang lompatannya terkesan tidak teratur, tidak memiliki tema/tujuan yang sama. Tetapi berada pada setting yang sama. Perpindahan/break menandakan kebalikannya, dan tidak terduga. Naratif film dalam “The Large syntagmatic Category” merupakan ide sebagai sebuah sistem tekstual, dimana film dipahami sebagai teks atau wacana dibandingkan sebuah bahasa. Film menjadi sebuah wacana melalui pengelompokan sebagai naratif yang kemudian menciptakan sebuah prosedur pendaan. Penandaan tersebut memiliki awalan dan akhiran, yang terdiri dari rangkaian ruang dan waktu atau temporal sequence. Shot-shot yang ada dalam film merupakan sebuah rangkaian ruang dan waktu. Waktu bagi significate dan signifier, pun dengan ruang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
56
bagi significate dan signifier untuk melakukan penandaan yang dimaksud.(Metz, 1991:17) Seperti yang sudah disebutkan di atas, semiotika film Metz berbasis psikoanalisis. Hal ini berhubungan pengalaman identifikasi primer dengan apa yang dalam psikoanalisis disebut “fase cermin”. Untuk psikoanalisis seperti Jacques Lacan salah satu proses psikis formatif manusia adalah fase cermin. Lacan yang merujuk teori psikoanalisis Freud mengumpamakan dengan ego bayi atau diri muncul melalui identifikasi bayi dengan gambar tubuhnya sendiri di cermin (atau bisa kita katakana juga
dengan
wajah
ibu,
atau
permukaan
atau
“liyan”
yang
memproyeksikan kembali ke bayi). Sekitar enam sampai delapan belas bulan, ketika anak merasakan citra di cermin, itu kesalahan atau misrecognize gambar ini, terpadu koheren untuk dirinya sendiri. Sebuah citra diri yang lebih unggul atau ideal karena koherensi jelas dan kesatuannya, anak yang sebenarnya sangat tidak terkoordinasi dan terpisah-pisah dalam gerakan dan kemampuan. Anak itu mengidentifikasi dengan gambar dan menemukan kepuasan.(Lacan, 2009:201) Sedangkan Freud membagi struktur kepribadian ke dalam tiga komponen : 1. Das Es (The Id), yaitu aspek biologis, Id adalah sistem kepribadian yang asli, dibawa sejak lahir. Dari id kemudian muncul ego dan super ego. Id merupakan komponen kepribadian yang primitive, instinktif (pemenuhan kepuasan insting) dan rahim tempat ego dan super ego
http://digilib.mercubuana.ac.id/
57
berkembang. Id merupakan sumber psikis, dimana merupakan sumber dari insting kehidupan atau dorongan biologis (makan, minum, tidur, berstebuh dll) dan insting kematian. Aspek kepribadia sepenuhnya sadar dan termasuk perilaku naluriah dan primitive. 2. Das Ich (The Ego), yaitu aspek psikologis. Ego berfungsi secara logis/rasional berdasarkan prinsip kenyataan (reality principe) dan proses sekunder; proses logis untuk melihat kepada kenyataan. 3. Das Ueber Ich (The Super Ego), yaitu aspek sosiologis. Merupakan wakil
dari
nilai0nilai
tradisional
serta
cita-cita
masyarakat
sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anaknya, yang diajarkan berbagai perintah dan larangan. Fungsi pokok super ego adalah untuk menentukan sesuatu itu benar atau salah, pantas atau tidak pantas, susila atau tidak dan demikian dapat bertindak sesuai dengan moral yang berlaku di masyarakat. Super ego dianggap sebagai aspek moral dalam kehidupan. (Koeswara, 2004:29)
2.4 Teori Kepribadian Para ahli tampaknya masih sangat beragam dalam memberikan rumusan tentang kepribadian. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
58
organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider (1964) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhankebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan. Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya : teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, teori Analitik dari Carl Gustav Jung, teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori Personologi dari Murray, teori Medan dari Kurt Lewin, teori Psikologi Individual dari Allport, teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson, teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang di dalamnya mencakup :
http://digilib.mercubuana.ac.id/
59
Karakter yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
Temperamen yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
Stabilitas emosi yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, marah, sedih, atau putus asa
Responsibilitas (tanggung jawab) adalah kesiapan untuk menerima risiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima risiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari risiko yang dihadapi.
Sosiabilitas yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti : sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain. Setiap individu memiliki ciri-ciri kepribadian tersendiri, mulai dari yang
menunjukkan kepribadian yang sehat atau justru yang tidak sehat. Dalam hal ini, Elizabeth (Syamsu Yusuf, 2003) mengemukakan ciri-ciri kepribadian yang sehat dan tidak sehat, sebagai berikut : a.
Kepribadian yang sehat
Mampu menilai diri sendiri secara realisitik; mampu menilai diri apa adanya tentang kelebihan dan kekurangannya, secara fisik, pengetahuan, keterampilan dan sebagainya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
60
Mampu menilai situasi secara realistik; dapat menghadapi situasi atau kondisi kehidupan yang dialaminya secara realistik dan mau menerima secara wajar, tidak mengharapkan kondisi kehidupan itu sebagai sesuatu yang sempurna.
Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik; dapat menilai keberhasilan yang diperolehnya dan meraksinya secara rasional, tidak menjadi sombong, angkuh atau mengalami superiority complex, apabila memperoleh prestasi yang tinggi atau kesuksesan hidup. Jika mengalami kegagalan, dia tidak mereaksinya dengan frustrasi, tetapi dengan sikap optimistik.
Menerima
tanggung jawab;
dia
mempunyai
keyakinan
terhadap
kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya.
Kemandirian; memiliki sifat mandiri dalam cara berfikir, dan bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
Dapat mengontrol emosi; merasa nyaman dengan emosinya, dapat menghadapi situasi frustrasi, depresi, atau stress secara positif atau konstruktif , tidak destruktif (merusak)
Berorientasi tujuan; dapat merumuskan tujuan-tujuan dalam setiap aktivitas dan kehidupannya berdasarkan pertimbangan secara matang (rasional), tidak atas dasar paksaan dari luar, dan berupaya mencapai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
61
tujuan dengan cara mengembangkan kepribadian (wawasan), pengetahuan dan keterampilan.
Berorientasi keluar (ekstrovert); bersifat respek, empati terhadap orang lain, memiliki kepedulian terhadap situasi atau masalah-masalah lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berfikir, menghargai dan menilai orang lain seperti dirinya, merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain, tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban orang lain dan mengorbankan orang lain, karena kekecewaan dirinya.
Penerimaan sosial; mau berpartsipasi aktif dalam kegiatan sosial dan memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain.
Memiliki filsafat hidup; mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup yang berakar dari keyakinan agama yang dianutnya.
Berbahagia; situasi kehidupannya diwarnai kebahagiaan, yang didukung oleh faktor-faktor achievement (prestasi), acceptance (penerimaan), dan affection (kasih sayang).
b.
Kepribadian yang tidak sehat
Mudah marah (tersinggung)
Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan
Sering merasa tertekan (stress atau depresi)
Bersikap kejam atau senang mengganggu orang lain yang usianya lebih muda atau terhadap binatang
Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang meskipun sudah diperingati atau dihukum
http://digilib.mercubuana.ac.id/
62
Kebiasaan berbohong
Hiperaktif
Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas
Senang mengkritik/mencemooh orang lain
Sulit tidur
Kurang memiliki rasa tanggung jawab
Sering mengalami pusing kepala (meskipun penyebabnya bukan faktor yang bersifat organis)
Kurang memiliki kesadaran untuk mentaati ajaran agama
Pesimis dalam menghadapi kehidupan
Kurang bergairah (bermuram durja) dalam menjalani kehidupan
2.5 Biografi Kim Jong Un Lahir 8 januari 1983, adalah Kim Jong-un seorang pemimpin tertinggi Republik Demokratik Rakyat Korea, atau yang lebih dikenal dengan Korea Utara. Ia adalah putra dari Kim Jong-il (1941-2011) dan cucu dari Kim Il-sung (1912-1994). Sebelum menjadi pemimpin Korea Utara, ia pernah menjabat sebagai sekretaris utama Partai Buruh Korea, ketua utama komisi militer sentral, panglima tertinggi tentara rakyat Korea, dan anggota presidium Politbiro Partai Buruh Korea. Ia secara resmi dinyatakan sebagai pemimpin tertinggi Korea Utara setelah pemakaman kenegaraan ayahnya pada tanggal 28 Desember 2011 (Yahoo ! News : 2012).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
63
Kim Jong-un adalah putra ketiga sekaligus putra bungsu Kim Jongil dengan salah seorang istrinya, Ko Young-hee. Sejak akhir 2010, ia dianggap sebagai pewaris kepemimpinan Korea Utara, dan setelah kematian ayahnya, ia dinyatakan sebagai “Penerus Agung” oleh stasiun televisi Korea Utara. Setelah kematian Kim Jong-il, ketua Majelis Rakyat Tertinggi Korea Utara, Kim Yong-nam menyatakan bahwa bahwa Kim Jong-un adalah pemimpin tertinggi partai, militer, dan negara kita, yang mewarisi ideologi, kepemimpinan, karakter, kebijakan, ketabahan, dan keberanian Kim Jong-il (The Washington Post : 2011). Tidak ada biografi komprehensif Kim Jong-un yang dirilis hingga saat ini. Oleh sebab itu, informasi mengenai kehidupan awalnya hanya diketahui dari kesaksian para pembelot Korea Utara dan orang-orang yang mengaku pernah melihatnya berada di luar negeri, misalnya Swiss. Namun, beberapa informasi ini saling bertentangan dan kontradiktif, karena kakaknya, Kim Jong-chul, juga pernah bersekolah di Swiss pada periode yang sama. Meskipun demikian, terdapat beberapa kepastian mengenai kehidupan awal Kim Jong-un. Pemerintah Korea Utara menyatakan bahwa Kim lahir pada tanggal 8 Januari 1982, namun intelijen Korea Selatan meyakini bahwa ia lahir satu tahun kemudian. Dennis Rodman memastikan bahwa Kim Jong-un lahir pada tanggal 8 Januari 1983 setelah bertemu dengannya pada awal September 2013 (The New York Times : 2013)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
64
Menurut laporan yang dimuat dalam surat kabar Jepang, Kim pernah bersekolah di Bern, Swiss. Laporan pertama mengklaim bahwa ia bersekolah di Sekolah Internasional Bahasa Inggris swasta di Gümligen, di dekat Bern, dengan menggunakan nama "Chol-pak" atau "Pak-chol", dari tahun 1993 sampai 1998. Saat bersekolah di Swiss, ia digambarkan sebagai seorang siswa yang pemalu, baik, mudah bergaul dengan temantemannya, dan menggemaribola basket. Ia juga selalu didampingi oleh seorang siswa yang lebih tua, yang diduga adalah pengawalnya (Elisalex Henckel 2009). Pada bulan April 2012, terungkap bahwa Kim Jong-un telah menetap di Swiss sejak tahun 1991 atau 1992, lebih awal dari yang diperkirakan sebelumnya. Laboratorium Antropologi Anatomi Universitas Lyon, Perancis, telah memeriksa foto Kim saat bersekolah di Liebefeld Steinhölzli pada tahun 1999 dan membandingkannya dengan foto Kim Jong-un yang diambil pada tahun 2012. Pemeriksaan ini menunjukkan bahwa kedua foto tersebut memiliki kecocokan 95%. Raoul Perrot, seorang antropolog forensik yang juga menjabat sebagai kepala laboratorium, menyatakan bahwa objek kedua foto tersebut kemungkinan besar adalah orang yang sama (Plattner, 2012 :17). Kenji Fujimoto, seorang koki Jepang yang bekerja sebagai koki pribadi Kim Jong-il mengungkapkan bahwa Kim Jong-un "mewarisi wajah, bentuk tubuh, dan kepribadian ayahnya. Pada tahun 2009, The Washington Post melaporkan bahwa menurut pengakuan teman-teman
http://digilib.mercubuana.ac.id/
65
sekolahnya, Kim Jong-un "menghabiskan waktu berjam-jam untuk menggambar
pemain
basket Chicago
Bulls, Michael
Jordan
(The
Washington Post : 2009). Ia dikabarkan terobsesi dengan basket dan permainan komputer. Pada 26 Februari 2013, Kim Jong-un bertemu dengan
mantan
pemain NBA Dennis
Rodman, yang
memunculkan
spekulasi bahwa Rodman adalah orang Amerika pertama yang telah bertemu secara langsung dengan Kim Jong-un. Rodman mengisahkan mengenai perjalanannya menuju pulau pribadi Kim Jong-un: "Pulaunya seperti Hawaii atau Ibiza, namun hanya dia satu-satunya yang tinggal di sana. Kim Jong-un dilaporkan juga mengidolakan penyanyi Inggris Eric Clapton. Kim Jong-un juga diberitakan kerap kali melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Banyak laporan yang menunjukkan adanya pelanggaran hak asasi manusia di bawah pemerintahan Kim Jong-il dan putranya.
Pelanggaran
ini
termasuk
pembangkang, melaksanakan hukuman
pembunuhan
mati di
muka
para
umum, dan
menjebloskan orang-orang ke kamp penjara politik. Pelanggaran HAM pada
masa
Kim
Jong-un
seperti penenggelaman Cheonan
terlihat
dari
sejumlah
dan penembakan
peristiwa
Yeonpyeong
(The
Chosun Ilbo : 2011). Laporan
tahun
2013
oleh Reporter
Khusus
PBB Marzuki
Darusman mengenai kondisi hak asasi manusia di Korea Utara mendorong PBB untuk
membentuk
komisi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
khusus
terkait
dengan
66
dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh rezim Kim Jong-un (Marzuki : 2013). Surat kabar Jepang, Asia Press, melaporkan pada Januari 2013 bahwa di provinsi Hwanghae Utara dan Selatan, lebih dari 10.000 orang tewas akibat kelaparan. Media internasional lainnya mulai memberitakan mengenai kanibalisme. Salah seorang sumber yang tinggal di Hwanghae Selatan mengungkapkan: "Di desa saya, seorang pria yang membunuh dua anaknya dan memakannya telah dieksekusi oleh regu tembak (Williams : 2013). 2.6 Tokoh dan Penokohan 2.6.1
Tokoh Tokoh merupakan unsur yang vital dalam sebuah karya sastra, karena ia merupakan pelaku yang berperan untuk mentransmisikan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Dalam bukunya Memahami Cerita Rekaan, Sudjiman mendefinisikan tokoh sebagai ”individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita” (Sudjiman, 1988:16). Tokoh dikatakan sebagai individu rekaan karena tokoh tidak betul-betul ada dalam kehidupan nyata, karena hanya dengan cerita ini tokoh bisa menjadi relevan dengan para penonton. Relevansi tokoh dengan penonton inilah yang membuat tokoh tersebut dapat diterima. Sudjiman kemudian membagi tokoh ke dalam dua kategori, yaitu berdasarkan fungsi tokoh dan cara menampilkan tokoh. Berdasarkan fungsinya, tokoh dibagi menjadi tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh
http://digilib.mercubuana.ac.id/
67
utama adalah tokoh yang menjadi sorotan utama dalam cerita dan berperan memimpin cerita. Tokoh dapat dikatakan tokoh utama jika ia memiliki intensitas keterlibatan yang cukup tinggi dalam cerita yang membangun cerita, dan bukan dilihat dari frekuensi kemunculannya di dalam cerita tersebut. Sudjiman menyebut tokoh utama sebagai protagonis, dan lebih lanjut mengatakan bahwa tokoh penentang protagonis yaitu antagonis pun termasuk ke dalam kategori tokoh utama. Tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak memiliki kedudukan sentral dalam cerita, namun kehadirannya sangat penting karena ia diperlukan untuk menunjang tokoh utama. Berdasarkan cara menampilkanya, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh datar dan tokoh bulat. Sudjiman mendefinisikan tokoh datar sebagai tokoh yang wataknya hampir tidak berubah atau bahkan tidak berubah sama sekali (Sudjiman, 1988:21). Tokoh stereotip termasuk kedalam kategori tokoh datar. Sebaliknya tokoh dapat dikatakan tokoh bulat jika ada lebih dari satu sifat yang disorot di dalam cerita. 2.6.2
Penokohan Istilah penokohan mempunyai pengertian yang lebih luas dari pada tokoh dan perwatakan, sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan serta pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada khalayak. Sudjiman mendefinisikan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
68
penokohan sebagai penyajian watak dan penciptaan citra tokoh (Sudjiman, 1988 : 58). Di dalam cerita rekaan, keberadaan tokoh merupakan hal yang penting karena pada hakikatnya sebuah cerita rekaan merupakan serangkaian peristiwa yang dialami oleh seseorang atau suatu hal yang menjadi pelaku cerita. Secara sederhana metode penokohan dibedakan menjadi dua, yaitu metode langsung atau metode analitis dan metode tidak langsung atau metode dramatik (Sudjiman, 1988:22). Metode langsung atau metode analitis memaparkan sifat tokoh dan menyajikan secara langsung. Metode ini memperkecil kemungkinan dalam menafsirkan watak tokoh, akan tetapi metode ini kurang memancing imajinasi karena semua wataknya telah dipaparkan secara jelas. Pada metode tidak langsung atau metode dramatik, khalayak dituntut untuk dapat menafsirkan watak-watak tokohnya melalui perilaku, ucapan, pikiran dan penampilan fisik tokoh serta gambaran lingkungan atau tempat tokoh berada. Sumardjo dan Saini mengutarakan hal yang hampir sama, hanya saja metodenya tdak dikategorikan secara spesifik. Sumardjo dan Saini mengemukakan lima cara yang dapat menuntun pembaca sampai pada karakter tokoh tersebut, yaitu : 1. Melalui apa yang diperbuat tokoh, tindakan-tindakan tokoh 2. Melalui ucapan-ucapan tokoh 3. Melalui gambaran fisik
http://digilib.mercubuana.ac.id/
69
4. Melalui pikiran-pikiran tokoh 5. Melalui penerangan langsung, yaitu watak tokoh dijabarkan secara langsung. (Sumardjo dan Saini, 1986:65) Menurut Roberts (1964:11), kualitas sebuah tokoh dalam karya dapat diinterpretasikan melalui apa yang pengarang tulis tentang tokoh tersebut. Kita hanya dapat membuat kesimpulan berdasarkan apa yang dilakukan oleh tokoh dan apa yang dikatakan tokoh lain tentang tokoh tersebut. Metode-metode untuk analisi watak yang telah disebutkan di atas menjadi salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui kualitas tokoh dalam sebuah cerita. 2.7 Kerangka Pemikiran Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana film The Interview melalui strukturnya merepresentasikan tokoh Kim Jong Un. Langkah awal penelitian ini dimulai dengan peneliti menonton film The Interview, kemudian melihat lebih detail mengenai scene-scene yang menunjukkan adanya representasi Kim Jong Un yang digambarkan dalam film tersebut. Langkah
analisis
dilanjutkan
dengan
memilih
scene
dan
memecahnya dalm bentuk shot-shot yang relevan dengan fokus penelitian. Analisis menggunakan The Large Syntagmatic milik Christian Metz dengan delapan langkah analisis, namun dalam penelitian ini peniliti hanya menggunakan lima langkah untuk menganalisis. Lima langkah tersebut peneliti gunakan untuk menentukan tanda-tanda yang merepresentasikan tokoh Kim Jong Un.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
70
Setelah melakukan pemetaan lima langkah The Large Syntagmatic Crhistian Metz, peneliti kemudian melakukan proses interpretasi untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai tanda-tanda representasi yang terdapat dalam film The Interview. semiotika Christian Metz bekerja melalui struktur dan pemaknaan psikoanalisis yang pada langkah akhir adalah pengambilan kesimpulan dari hasil dan pembahasan yang telah peneliti lakukan. Berikut skema kerangka pikir penelitian :
http://digilib.mercubuana.ac.id/
71
Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran
Fenomena dampak politik yang luas. Film The Interview memicu kembali ketegangan politik antara Korea Utara dengan Amerika Serikat
Analisis The Large Syntagmatic Christian Metz. 8 Langkah Pemetaan Metz : Autonomous Shot Scene Episodic Sequence Descriptive Syntagma Ordinary Sequence Bracket syntagma Alternatif Syntagma Paralel Syntagma
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Representasi Tokoh: Terdapat penggambaran sikap dan perilaku/kepribadian buruk terhadap tokoh Kim Jong-un : Arogan, kejam, brutal, Homoseksual, cabul.
72
http://digilib.mercubuana.ac.id/