BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Kajian Pustaka Sebagai bahan kajian pendukung dalam penelitian ini, peneliti melakukan kajian terhadap penelitian terdahulu yang bahasannya mendekati topic yang dibahas dalam penelitian ini. penelitian yang pertama berjudul “Manajemen Komunikasi Pemerintah Dalam Kebijakan Transparansi Informasi (Studi evaluasi Komunikasi Keterbukaan Informasi Publik pada Kementerian Komunikasi dan Informatika) yang dilakukan oleh Marroli J. Indarto. Fokus dari penelitian ini adalah implementasi manajemen komunikasi pemerintahan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik pada Kementerian Komunikasi dan Informasi di mana menurut peneliti penerapan keterbukaan informasi pada badan public masih rendah. Disamping itu partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak untuk tahu (rights to know) juga masih sangat minim. Pendekatan yang digunakan penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi kasus yang diambil di lingkungan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa komunikasi pemerintah sudah menerapkan metode manajemen dalam menganalisis dimensi transparansi namun belum maksimal. Disumpulkan bahwa manajemen komunikasi pemerintah mempunyai perencnaan yang komprehensi dan terstruktur, akan tetapi ada kelemahan dalam melakukan identifikasi masalah, aksi dan komunikasi serta evaluasi.
13 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Menurut peneliti, penelitian yang dilakukan ini sangat mendekati dengan isu yang diiangkat oleh peneliti namun dalam konteks yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Indarto ini membahas manajemen komunikasi pemerintahan dengan sangat komprehensif sehingga memudahkan peneliti untuk memahami bagaimana proses manajemen komunikasi itu seharusnya dilakukan oleh intitusi pemerintahan. Penelitian kedua yang menjadi bahan kajian peneliti berjudul “Pola Komunikasi Politik Kader dalam Menindaklanjuti Koalisi Pimpinan Partai Menuju Pemilihan Presiden 2009 (Studi Kasus tentang Pola Komunikasi Politik Kader DPC PDI Perjuangan dan Partai Gerindra Kota Bogor atas Pasangan Calon Presiden Megawati Sukarno Putri dan Prabowo Subianto) yang ditulis oleh Made Wilantara. Penelitian ini berfokus pada tiga hal, yaitu: 1) pola komunikasi vertical-horisontal di tingkat internal organisasi dalam mendukung pasangan Megawati-Prabowo, 2) pola komunikasi politik kader terhadap khalayak didalam menindaklanjuti dinamika komunikasi politik Megawati dan Prabowo dan 3) media yang digunakan kader dalam komunikasi politiknya. Pendekatan penelitian ini sama seperti penelitian sebelumnya yaitu kualitatif dengan metode studi kasus. Dari hasil penelitiannya, didapatkan fakta bahwa pada proses pemilihan presiden 2009 yang lalu terjadi dinamika pola komunikasi politik di tempat penelitian dilakukan. Pola komunikasi kader yang ada mengalami dinamisasi yang simetris dengan perubahan penerimaan publik terhadap eksistensi pimpinan. Made W. sebagai peneliti memberikan contoh pada saat pola komunikasi politik Megawati berubah dari “diam” ke arah “terbuka”, pola komunikasi kader banyak mengedepankan pencitraan Megawati sebagai Ibu
14 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bangsa yang sangat peduli dengan problematika kerakyatan. Namun ketika dinamika terjadi, dan citra Megawati justru berganti sebagai figure yang sifat kenegarawanannya diragukan, maka pola komunikasi politik kader beralih pada argument-argumen kebobrokan ekonomi yang dibangun oleh pemerintahan saat itu. Dengan demikian, kritik yang ditujukan kepada Megawati bisa direduksi oleh kader di akar rumput. Kritik terhadap penelitian ini adalah mengenai pola komunikasi yang diimplementasikan didalam organisasi politik yang menjadi objek penelitiannya belum tergali secara lebih mendalam. Penelitian yang juga menjadi bahan kajian dalam penelitian ini berjudul “Strategi Komunikasi Politik Dalam Politik (Studi Kasus Pemenangan Pasangan Kandidat Ratu Atut dan Rano Karno pada Pilkada Banten 2011)” yang disusun oleh Muhamad Rosit. Fokus dari penelitian ini adalah; 1) bagaimana mekanisme dan pola komunikasi yang dilakukan tim sukses gabungan partai koalisi dan tim sukses relawan serta 2) bagaimana strategi komunikasi dan langkah yang dilakukan kedua tim dalam proses pemenangan pasangan Ratu Atut Chosiyah dan Rano Karno pada Pilkada Banten 2011. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus yang bersifat deskriptif. Penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan strategi yang digunakan pasangan Ratu Atut Chosiyah dan Rano Karno dalam memenangkan Pilkada Banten tahun 2011 yang lalu. Sebagai petahana, Ratu Atut dinilai berhasil untuk “merawat” tim suksesnya dengan baik sehingga membuahkan hasil kemenangan di Pilkada Banten tahun 2011. Ratu Atut juga mampu menggandeng 11 partai yang ada di DPRD Banten serta 22 partai yang ada di
15 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Banten diluar DPRD Banten. Disamping itu, popularitas Ratu Atut sebagai tokoh Banten juga mampu meningkatkan elektabilitasnya dalam pemilihan di Banten. Hasil survey juga menjadi tolok ukur yang signifikan dalam menjaga isu yang berkembang di masyarakat Banten untuk kemudian dijadikan materi kampanye di lapangan. Kritik atas penelitian ini adalah penelitian ini tidak membahas faktor dinasti politik Ratu Atut di Banten sebagai faktor yang signifikan dalam proses pemenangannya di Banten.
2.2. Kerangka Pemikiran 2.2.1. Teori Kendali Organisasi Untuk menjelaskan fenomena komunikasi pemerintahan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, peneliti mengggunakan teori kendali organisasi yang diangkat oleh Phillip Tompkins dan George Cheney (1987). Tomkins dan Cheney mengenalkan sebuah pendekatan yang berguna dalam menjelaskan komunikasi organisasi. Mereka tertarik untuk menjelaskan tentang bagaimana cara berkomunikasi satu organisasi dapat membentuk kendali atas anggotanya. Menurut Tompkins dan Cheney, sebenarnya kendali komunikasi dalam organisasi terdapat empat jenis, yaitu:
16 http://digilib.mercubuana.ac.id/
1. Kendali sederhana (simple control) yakni penggunaan kekuasaan yang langsung dan terbuka. Umumnya bentuk kendali sederhana ini terjadi dalam bentuk hierarki organisasi di mana atasan memberikan perintah (mengendalikan) bawahannya atas dasar jabatan yang diembannya; 2. Kendali teknis (technical control) yakni penggunaan alat-alat atau teknologi. Misalnya penggunaan mesin absensi dengan sidik jari, di mana kehadiran pegawai di kantor dikendalikan oleh mesin absensi yang telah diatur sebelumnya; 3. Kendali birokrasi yang merupakan penggunaan prosedur organisasi dan aturan-aturan formal seperti yang digambarkan oleh Webber. Dalam konteks ini, pegawai diberikan sebuah buku panduan yang mencakup kebijakan yang harus diikuti, memo, tinjauan laporan, tinjauan rapat dan tinjauan kinerja yang kemudian digunakan untuk menyampaikan harapan yang lain; dan 4. Kendali konsertif yakni penggunaan hubungan interpersonal dan kerja sama tim sebagai sebuah cara kendali. Ini merupakan bentuk kendali yang paling sederhana karena mengandalkan pada realitas dan nilai-nilai bersama. Teori kendali organisasi yang dijelaskan oleh Tompkins dan Cheney ini masuk dalam kategori tradisi sosiokultural yang fokus pada proses pemaknaan dan penafsiran yang dilakukan bersama yang terbentuk dalam jaringan dan implikasi susunannya dalam kehidupan organisasi. Peneliti menganggap teori kendali ini sangat relevan dalam menjelaskan bagaimana proses komunikasi di dalam organisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dijalankan hingga saat ini.
17 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebagai sebuah organisasi yang birokratis cenderung mengendalikan anggota dibawahnya dengan menggunakan kendali birokrasi di mana kebijakan disusun untuk diikuti, dilaksanakan, dan dipertanggungjawabkan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan nomor PAS-54.PK.01.04.01 TAHUN 2013 Tentang Pedoman Lapas, Rutan Dan Cabang Rutan Bebas Dari Handphone, Pungli Dan Narkoba (Halinar) merupakan wujud nyata kendali birokrasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Webber tentang organisasi birokrasi, organisasi merupakan sebuah sistem kegiatan interpersonal yang memiliki maksud tertentu yang dirancang untuk menyelaraskan tugas-tugas individu. Hal ini tidak dapat dilakukan tanpa adanya tiga prinsip birokrasi, yaitu; otoritas, spesialisasi, dan regulasi. Otoritas hadir bersamaan dengan kekuasaan, tetapi dalam organisasi, otoritas harus “sah” atau disahkan secara formal oleh organisasi. Secara ekstrem, Weber menyampaikan bahwa pejabat yang ada dalam birokrasi tidak ada bedanya dengan buruh bangunan, namun diferensiasi yang paling menonjol ada pada otoritas. Efektifitas organisasi bergantung pada tingkatan yang memberikan manajemen kekuasaan resmi oleh organisasi. Organisasi didirikan sebagai sebuah sistem rasional oleh kekuatan aturan yang kemudian menjadikannya semacam otoritas rasional resmi. Cara terbaik untuk merorganisir otoritas rasional remi itu adalah dengan hierarki yang dijelaskan oleh aturan dalam organisasi tersebut. Setiap lapisan manajemen dalam hieraki tersebut memiliki otoritasnya masingmasing dan hanya kepala organisasi yang memiliki otoritas penuh dan menyeluruh.
18 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Dalam konteks institusi Pemasyarakatan, Direktur Jenderal Pemasyarakatan merupakan penguasa tertinggi yang memiliki otoritas penuh terhadap seluruh Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Melalui Surat edaran yang ditanda-tanganinya, Direktur Jenderal Pemasyarakatan menggunakan otoritasnya untuk mendorong Lapas, Rutan dan Cabang Rutan untuk melaksanakan kebijakan anti halinar guna meningkatkan layanan Pemasyarakatan. Prinsip kedua adalah spesialisasi. Spesialisasi ditujukan untuk membedakan pekerjaan setiap individu dalam organisasi serta membagi tugas secara proporsional dalam pelaksanaan tugasnya masing-masing. Melalui aturan yang legal dalam sebuah organisasi, individu diberikan uraian jabatan masing-masing sesuai posisi yang didudukinya yang mana uraian jabatan tadi memberikan kekhususan bagi setiap individu dalam menjalankan tugasnya masing-masing untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam organisasi birokrasi, spesialisasi ini jamak kita temui. Dalam organisasi Pemasyarakatan, spesialisasi ini dapat kita temukan secara jelas dari tugas yang diemban masing-masing individu.
Pada bagian luar Lapas ada petugas yang ditugaskan secara khusus untuk menangani pendaftaran (registrasi) tamu yang akan membesuk kerabatnya yang berada didalam. Kemudian pada saat akan masuk kedalam, pembesuk akan berhadapan dengan petugas penjaga pintu utama yang bertugas membuka – tutup gerbang serta melakukan pemeriksaan fisik kepada para pembesuk dan seterusnya.
19 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Spesialisasi ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas fungsi dari individu yang ada didalam organisasi tersebut. Spesialisasi semacam ini mungkin tidak kita temukan dalam organisasi yang kecil seperti usaha cukur rambut, sehingga ada istilah manajemen “tukang cukur” di mana satu orang menjalankan banyak tugas dalam mencapai tujuan organisasi. Prinsip ketiga adalah aturan yang mengikat. Apa yang membuat koordinasi organisasi menjadi mungkin adalah implementasi aturan yang mengatur perilaku setiap orang. Aturan-aturan organisasi yang rasional akan memudahkan organisasi mencapai tujuannya. Dalam pelaksanaan tugasnya, ada aturan-aturan yang mengikat individu agar berpeilaku sesuai keinginan organisasi dalam mencapai tujuan organisasi. 2.2.2. Komunikasi Pemerintahan Komunikasi pemerintahan merupakan suatu frase yang terdiri atas dua kata yaitu komunikasi dan pemerintahan. Objek materiil ilmu komunikasi adalah perilaku manusia yang dapat merangkum perilaku individu, kelompok dan masyarakat. Sementara itu, pemerintahan objek formalnya adalah suatu situasi komunikasi yang mengarah pada perubahan sosial termasuk pikiran, perasaan, sikap dan perilaku individu, masyarakat dan pengaturan kelembagaan (Indarto, 2012: 15). Komunikasi yang dilakukan dimaksudkan untuk menyampaikan suatu pesan, informasi, pemahaman, perasaan serta pengalaman kepada orang lain. Selain itu, komunikasi akan menjadi efektif apabila terdapat kesamaan makna, bahasa serta pemahaman (Indarto, 2012:16). Sebagaimana yang dijelaskan Dedy Mulyana (1999:49) bahwa komunikasi adalah penciptaan makna antara dua orang atau lebih
20 http://digilib.mercubuana.ac.id/
lewat penggunaan simbol-simbol atau tanda-tanda. Komunikasi disebut efektif apabila makna yang tercipta relatif sesuai dengan yang diinginkan komunikator. Unsur
kedua
yang
merangkai
komunikasi
pemerintahan
adalah
pemerintahan. Mariun (1978) dalam Suacana (2002:14) menyatakan bahwa pemerintahan menunjuk pada kegiatan atau fungsi-fungsi Negara. Pemerintahan dalam arti luas menunjuk pada segala kegiatan yang dilakukan oleh badan-badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sedangkan dalam arti sempit, pemerintahan menunjuk hanya kepada kegiatan eksekutif semata. Menurut Musanef (1989:7) dalam Indarto (2012: 30), ilmu pemerintahan adalah ilmu yang menggeluti studi tentang kinerja internal dan eksternal dan struktur-struktur dan proses-proses pemerintahan umum. Pemerintahan umum dapat didefinisikan sebagai keseluruhan struktur dan proses di mana keputusan-keputusan yang mengikat diambil. Dari kedua unsur tersebut maka komunikasi pemerintahan dapat dipahami sebagai ( Indarto, 2012: 30) proses penyampaian ide-ide, gagasan-gagasan dan program pemerintah kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan negara yaitu kesejahteraan rakyat. Riant Nugroho (2004: 121) menjelaskan komunikasi pemerintahan sebagai komunikasi manajerial, yakni tentang bagaimana para manajer professional didalam organisasi publik menggunakan komunikasi secara opitimal didalam proses memejenemeni organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Disamping itu, Ndaraha dalam Sitorus (2010:4) menjelaskan bahwa komunikasi pemerintahan adalah proses timbal balik penyampaian informasi dan pesan antara pemerintah dengan yang diperintah, pihak yang satu menggunakan frame of reference pihak yang lain, pada posisi dan peran tertentu, sehingga perilaku dan 21 http://digilib.mercubuana.ac.id/
sikap pihak lain terbentuk, berubah, atau terpilihara, berdasarkan
kesaling
pengertian dan kesaling percayaan antara kedua belah pihak. 2.2.3. Komunikasi Pemerintahan dalam Perspektif Hubungan Masyarakat Riant Nugoho (2004:138-139) menggambarkan Indonesia hari ini “babak belur” digebuki dari dalam dan dari luar negeri. Indikatornya adalah investasi asing dan domestic belum memuaskan dan anjloknya nilai tukar rupiah. Dua indikator tersebut menunjukkan bahwa “pasar” tidak percaya kepada pemerintah. Pasar yang dimaksud adalah para konstituen dari pemerintah yang memberi input kepada pemerintah, yang memroses dan yang menggunakannya. Kekurangan pemerintah yang digambarkan di atas adalah citra positif yang itu harus dibangun lewat sebuah proses hubungan masyarakat (humas) yang tepat. Cutlip dkk (2005) dalam M. Taufiq Hidayat (2012:33) menjelaskan bahwa pemerintah membutuhkan humas karena (1) pemerintah yang demokratis harus menyampaikan informasi kegiatan kepada warga Negara dan (2) administrasi pemerintahan yang efektif memerlukan partisipasi serta dukungan aktif warga negara. Menurut Efffendy (2006:37) hal tersebut dapat dilakukan melalui cara menyebarluaskan informasi kebijakan pemerintah dan mengkaji opini publik seefektif mungkin untuk pengambilan keputusan atau penentuan kebijakan. Dalam membangun sebuah citra positif bagi pemerintah, humas yang diperlukan adalah sebuah humas dalam perspektif publisitas sebagaimana yang dijelaskan oleh Rhenald Kasali. Rhenald Kasali, dalam Riant (2004:136), menjelaskan humas sebagai publisitas yaitu kegiatan yang dilakukan oleh lembagalembaga pemerintah untuk mempublikasikan kebijakan-kebijakan pemerintah serta
22 http://digilib.mercubuana.ac.id/
pemimpinnya. Agar humas dapat secara efektif meningkatkan citra pemerintah maka diperlukan strategi yang tepat. Strategi humas yang tepat tentu akan mendapatkan respon yang positif dari konstituen dalam bentuk dukungan terhadap pemerintah. Untuk menyusun strategi humas yang tepat, Howard Stephenson (1971:19) dalam Riant (2004: 142) menjelaskannya dalam beberapa langkah. Langkah pertama adalah melakukan riset internal yang melibatkan tiga “I”, yaitu pengumpulan informasi (information), kesan (impression) dan ide (ideas) di dalam organisasi. Ketiga hal tersebut menjadi modal untuk menyusun strategi humas . Langkah kedua adalah mengintegrasikan dengan kebijakan organisasi dengan tujuan menyelaraskan kegiatan (termasuk materi) humas dengan kebijakan dari organisasi. langkah ketiga, mempersiapkan pesan. Kegiatan ini termasuk teknikteknik menyusun pesan kedalam bentuk-bentuk yang sesuai dengan prosedur distribusinya.
Keempat,
mengkomunikasikannya
kepada
publik.
Kelima
melakukan riset eksternal untuk mengetahui sejauh mana pesan yang dikirimkan telah dipahami sesuai dengan yang dikehendaki. Dalam tataran ideal, humas yang dilakukan pemerintah tidak hanya menginformasikan apa yang sedang dan akan dilakukan pemerintah kepada rakyat, namun berupaya mempertemukan kepentingan kedua belah pihak untuk mencapai tujuan bersama (McNamara, 2011: 5 dalam Hidayat, 2012:36). Penerapan dalam lembaga pemerintahan tentu bukn hal mudah, sebab tugas humas harus mengembangkan perencanaan komunikasi dan penyesuaian organisasi pemerintah
23 http://digilib.mercubuana.ac.id/
dengan pengetahuan, opini dan tindakan kelompok yang lebih besar dalam masyarakat.
2.2.4. Manajemen Komunikasi Pemerintahan Untuk meningkatkan efektifitas komunikasi, maka perlu dilakukan manajemen komunikasi. Michael Kaye (1994) menjelaskan bahwa manajemen komunikasi adalah bagaimana individu mengelola proses komunikasi melalui penyusunan kerangka makna dalam hubungannya dengan orang lain dalam berbagai setting atau konteks komunikasi dengan mengoptimalkan sumber daya komunikasi dan teknologi yang ada. Sementara itu, Egan dan Cowan (1979) menjelaskan manajemen komunikasi sebagai pengaplikasian penggunaan sumber daya manusia dan teknologi secara optimal untuk meningkatkan dialog antar manusia.
Terkait dengan hal tersebut, Brent Baker (1997: 456-457) menjelaskan bahwa ada empat pendekatan stratejik mengenai komunikasi pemerintahan, yaitu: 1. Komunikasi pemerintahan berfungsi sebagai komunikasi politik bertujuan untuk mempersuasi dan mendapatkan legitimasi baik dari dalam maupun luar negeri mengenai rezim pemerintahan. Hal ini berdampak pada pengajuan anggaran, penegakkan hukum, dan kebijakan; 24 http://digilib.mercubuana.ac.id/
2. Komunikasi pemerintahan berfungsi sebagai pelayanan informasi, yaitu memberikan pelayanan informasi kepada publik mengenai informasi penting kepemerintahan dan menyediakan fasilitas agar publik dapat mengakses informasi strategis; 3. Komunikasi
pemerintahan
mempertahankan
citra
berfungsi
positif
untuk
institusi
yang
membangun bertujuan
dan untuk
menginformasikan maupun memengaruhi publik agar memberikan dukungan positif baik jangka pendek maupun jangka panjang pada semua tingkatan pemerintahan; dan 4. Komunikasi pemerintahan berfungsi untuk menghasilkan umpan balik dari masyarakat untuk memastikan pemerintah mendapatkan informasi terbaru sekaligus meminta masukan dalam proses pembuatan kebijakan dari masyarakat.
Dalam penelitian ini, objek penelitian yang sentral adalah kebijakan Program Anti Halinar bagi seluruh Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pemasyarakatan diseluruh Indonesia yang dikeluarkan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Menurut Avery dkk (1995:173) peran Direktur Jenderal Pemasyarakatan yang mana bertindak sebagai pejabat yang melakukan komunikasi berfungsi untuk: “Meningkatkan kesadaran bawahannya, mengubah perilaku personal yang bertentangan, menyediakan solusi bagi para pimpinan dibawahnya serta memfasilitasi komunikasi dua arah, baik secara internal maupun eksternal”.
25 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, Heise (1985) berpendapat agar sebaiknya pemerintah melakukan komunikasi yang efektif kepada publik dengan berlandaskan lima prinsip. Pertama, pejabat pemerintah harus mempublikasikan semua informasi baik positif maupun negatif. Diseminasi informasi harus tepat waktu dan benar-benar akurat. Kedua, pejabat pemerintah berkomunikasi dengan publik melalui saluran komunikasi yang terjangkau. Ketiga, tidak terus bergantung pada sekelompok kecil organisasi yang aktif dalam politik dan individu untuk melakukan umpan balik parsial dan bias, komunikator pemerintah perlu mengembangkan saluran efektif untuk mengumpulkan perspektif dan umpan balik dari semua kelompok penyusunnya. Keempat, pejabat publik senior harus menggunakan sumber daya publik dan saluran komunikasi untuk masukan perumusan kebijakan tanpa bias terhadap kepentingan politik praktis. Kelima, pelaksanaan pendekatan komunikasi publik perlu menjadi tanggung jawab administrator yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan komunikasi intstansi bersangkutan. Dalam kaitannya dengan peningkatan kepercayaan publik, manajemen komunikasi pemerintah sangat dibutuhkan agar upaya tersebut dapat dikelola dengan baik sehingga tujuannya tercpai. Cutlip-Center-Broom (2006: 320) menjelaskan bahwa dalam proses manajemen komunikasi suatu program maka harus dilakukan empat langkah penting, yaitu: 1) mendefinisikan masalah, 2) perencanaan dan pemrograman, 3) mengambil tindakan dan bekomunikasi dan 4) mengevaluasi program.
26 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Gambar 2.1. Proses Manajemen Cutlip, Center dan Broom (2009:320) Dalam bentuknya yang paling maju, hubungan masyarakat adalah bagian proses perubahan dan pemecahan masalah di organisasi yang dilakukan secara ilmiah. Praktisi hubungan masyarakat menggunakan teori dan bukti terbaik yang ada untuk melakukan proses empat langkah pemecahan masalah humas dalam mengelola peran hubungan masyarakat sebagaimana dijelaskan gambar di atas; 1. Mendefinisikan problem (atau peluang). Langkah pertama ini mencakup penyelidikan dengan memantau pengetahuan, opini, sikap dan perilaku pihakpihak terkait dengan dan dipengaruhi oleh, tindakan dan kebijakan organisasi. Pada dasarnya ini adalah fungsi intelejen organisasi. Fungsi ini menyediakan dasar untuk semua langkah dalam proses pemecahan problem dengan
27 http://digilib.mercubuana.ac.id/
menentukan “Apa yang sedang terjadi saat ini?”. Dalam mendefinisikan problem, praktisi harus mampu juga menjawab pertanyaan tentang: (1) gambaran situasi terkini, (2) konteks yang spesifik yang dapat diukur secara detil, dan (3) memberikan solusi yang lugas. Menurut Cutlip, Center dan Broom (2009:288) analisis situasi harus dilakukan berdasarkan mtodologi riset yang ilmiah dan pendekatan formal, bukan sekedar intuitif. Riset ilmiah ini penting untuk mendapatkan informasi dalam rangka merumuskan perencanaan strategis. Tanpa riset yang ilmiah, pelaku komunikasi akan mendapatkan keterbatasan dalam memahami situasi dan memberikan solusi.
2. Perencanaan dan pemrograman. Informasi yang dikumpulkan dalam langkah pertama digunakan untuk membuat keputusan tentang program publik, strategi tujuan, tindakan dan komunikasi, taktik dan sasaran. Langkah ini akan mempertimbangkan temuan dari langkah sebelumnya dalam membuat kebijakan dan program organisasi. langkah kedua ini akan menjawab pertanyaan “Berdasarkan apa kita tahu tentang situasi, dan apa yang harus kita lakukan atau apa yang harus kita ubah dan apa yang harus kita katakan?”. Ada dua tipe perencanaan, yaitu planning mode dan evolutionary mode. Planning mode merupakan rencana sistematis dan panduan untuk mencapai tujuan organisasi. sementara itu, evolutionary mode adalah strategi yang diterapkan
28 http://digilib.mercubuana.ac.id/
sepanjang masa dan mencirikan pola keputusan yang mampu menyesuaikan pada peluang dan ancaman organisasi (Cutlip – Center – Broom, 2009:314).
3. Mengambil
tindakan
dan
berkomunikasi.
Langkah
ketiga
dalam
mengimplementasikan program aksi dan komunikasi yang didesain untuk mencapai tujuan spesifik untuk masing-masing publik dalam rangka mencapai tujuan program. Pertanyaan dalam langkah ini adalah “Siapa yang harus melakukan dan menyampaikannya, dan kapan, di mana, dan bagaimana caranya?”.
4. Mengevaluasi program. Langkah terakhir dalam proses ini adalah melakukan penilaian atas persiapan, implementasi dan hasil dari program. Penyesuaian akan dilakukan sembari program diimplementasikan dan didasarkan pada evaluasi atas umpan balik tentang bagaimana program itu berhasil atau tidak. Program akan dilanjutkan atau dihentikan setelah menjawab pertanyaan “Bagaimana keadaan kita sekarang atau seberapa baik langkah yang telah kita lakukan?”. Empat langkah manajemen komunikasi di atas dapat dirumuskan melalui pendekatan sebagai berikut: LANGKAH PERENCANAAN STRATEGIS PROSES EMPAT LANGKAH A. Mendefinisikan Problem
DAN OUTLINE PROGRAM 1. Problem, Perhatian, atau Peluang “Apa yang sedang terjadi saat ini?”
29 http://digilib.mercubuana.ac.id/
2. Analisis Situasi (internal dan eksternal) “Apa kekuatan positif dan negatif yang sedang beroperasi?” “Siapa yang terlibat dan/ atau dipengaruhi?” “Bagaimana mereka terlibat dan/atau dipengaruhi?”
B. Perencanaan dan Pemrograman
3. Tujuan
Program
“Apa
solusi
yang
diharapkan?” 4. Publik Sasaran “Siapa – dalam lingkungan internal dan eksternal – yang harus direspon, dijangkau, dan dipengaruhhi oleh program?” 5. Sasaran “Apa yang harus dicapai pada setiap publik untuk mencapai tujuan program?”
C. Mengambil Tindakan dan
6. Strategi Aksi “Perubahan apa yang harus
Berkomunikasi
dilakukan
untuk
sebagaimana
mendapatan
dinyatakan
dalam
hasil sasaran
program?” 7. Strategi Komunikasi “Apa isi pesan yang harus disampaikan untuk mencapai hasil seperti
yang dinyatakan dalam sasaran
program?” 8. Rencana Implementasi Program “Siapa yang akan
bertanggung
jawab
untuk
mengimlementasikan setiap tindakan dan taktik berkomunikasi?” D. Mengevaluasi Program
9. Rencana Evaluasi “Bagaimana hasil yang disebutkan dalam tujuan dan sasaran program akan diukur?”
30 http://digilib.mercubuana.ac.id/
10. Umpan Balik dan Penyesuaian Program “Bagaimana hasil evaluasi akan dilaporkan ke manajer program dan dipakai untuk membuat perubahan program?” Tabel 2.1. Empat Langkah Manajemen Komunikasi (Sumber: Cutlip, Center dan Broom) Sejatinya, manajemen, termasuk perencanaan, komunikasi pemerintahan ini sangat perlu dilaksanakan oleh lembaga pemerintahan agar pelaksanaan setiap kebijakan dapat dipahami oleh publik dan tingkat resistensi dari publik cenderung rendah. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, manajemen komunikasi pemerintahan dibutuhkan untuk meningkatkan efektifitas dalam pelaksanaan kebijakan secara internal maupun eksternal. Secara internal, efektifitas kebijakan dapat dilihat dari pelaksanaan Anti Halinar secara menyeluruh melalui pengecekan langsung ke lapangan maupun menerima laporan dari masyarakat. Efektifitas secara eksternal dapat dilihat dari dukungan masyarakat kepada petugas Pemasyarakatan untuk menjaga integritasnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. 2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian yang membahas komunikasi pemerintahan masih terbilang jarang dilakukan di Indonesia, karena itu Taufik Hidayat (2012:43) menjelaskan bahwa kajian ini tidak bisa terlepas dari konsep public relations, public speaking dan komunikasi manajerial. Menurut Cutlip dkk (2005:388-389), dalam Taufik Hidayat (2012:44), komunikasi pemerintahan dalam perspektif public relation
31 http://digilib.mercubuana.ac.id/
adalah sebuah bagian dari aktifitas pemerintahan demokratis yang mengutamakan layanan kepada rakyat. Dalam konteks public speaking, komunikasi pemerintahan dibutuhan sebagai sarana pembentukan citra pemerintah. Riant Nugroho (2004:xi) menegaskan bahwa membangun citra yang baik jauh lebih baik daripada memperbaiki citra yang buruk untuk menjadi baik. Bagi pemerintah, fungsi komunikasi sangat penting untuk menciptakan tata kehidupan yang berkeadilan dan berperikemanusiaan melalui kewenangannya untuk “memaksa” masyarakat agar mendukung pemerintah. Dalam konteks manajerial, Riant Nugroho (2004: 121) menjelaskan komunikasi pemerintahan sebagai komunikasi manajerial, yakni tentang bagaimana para manajer professional didalam organisasi publik menggunakan komunikasi secara opitimal didalam proses memejenemeni organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Disamping itu, Ndaraha dalam Sitorus (2010:4) menjelaskan bahwa komunikasi pemerintahan adalah proses timbal balik penyampaian informasi dan pesan antara pemerintah dengan yang diperintah, pihak yang satu menggunakan frame of reference pihak yang lain, pada posisi dan peran tertentu, sehingga perilaku dan sikap pihak lain terbentuk, berubah, atau terpilihara, berdasarkan kesaling pengertian dan kesaling percayaan antara kedua belah pihak. Untuk memastikan komunikasi pemerintahan berjalan dengan semestinya, baik dalam konteks public relation, public speaking, maupun manajerial, maka diperlukan suatu metode perencanaan yang telah mapan. Salah satu metode tersebut adalah metode manajemen empat langkah yang diajukan oleh Cutlip, Center dan Broom (2009:320) yang telah menjadi rujukan banyak praktisi maupun akademisi. 32 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Metode ini menekankan empat langkah penting tentang bagaimana seharusnya komunikasi dilakukan dengan efektif dan efisien. Metode ini meliputi: 1) mendefinisikan masalah, 2) perencanaan dan pemrograman, 3) mengambil tindakan dan bekomunikasi dan 4) mengevaluasi program. Metode ini sesungguhnya sangatlah diperlukan oleh semua organisasi pemerintah untuk memastikan kebijakan yang dikeluarkannnya dijalankan dengan baik oleh pelaksana di lapangan serta dirasakan secara nyata manfaatnya oleh kalangan publik. Kedua sasaran ini memerlukan pendekatan yang berbeda dalam konteks implementasi kebijakan. Khusus terhadap pelaksanaan kebijakan di lapangan, diperlukan kendali birokrasi untuk mendorong mereka melaksanakan kebijakan pemerintah pusat (dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan). Birokrasi yang kita kenal mungkin adalah organisasi yang besar, lamban, malas dan menang sendiri (Nugroho: 2004;65). Namun sejatinya, birokrasi yang ditawarkan Webber, dalam Littlejohn dan Foss (2011: 362), sejak awal adalah sebuah organisasi sebagai sebuah sistem kegiatan interpersonal yang memiliki maksud tertentu yang dirancang untuk menyelaraskan tugas-tugas individu. Hal ini tidak dapat dilakukan tanpa adanya tiga prinsip birokrasi, yaitu; otoritas, spesialisasi, dan regulasi. Citacita Webber dalam mewujudkan birokrasi yang ideal tersebut sangat relevan dilaksanakan di Indonesia pada era reformasi birokrasi saat ini. Dalam penelitian ini, organisasi pemerintah yang menjadi sasaran adalah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang merupakan unit eselon 1 di lingkungan Kementerian hukum dan HAM RI. Unit pelayanan teknis yang berada dibawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan adalah Balai Pemasyarakatan (Bapas), Rumah 33 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Tahanan Negara (Rutan)/ Cabang Rumah Tahanan Negara (Cab. Rutan), Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara (Rupbasan). Sebagai salah satu aparat penegak hukum yang kerap menjadi sorotan publik atas layanannya yang belum optimal, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menghadapi masalah yang cukup laten, yakni peredaran telepon genggam (HP/ hape), pungutan liar (pungli) dan peredaran narkoba. ketiga permasalahan tersebut dikenal dengan akronim “Halinar”. Pada tahun 2013 yang lalu Direktorat Jenderal Pemasyarakatan telah mengeluarkan
kebijakan
yang
dikenal
dengan
istilah
Program
Aksi
Pemasyarakatan Getting to Zero Halinar melalui Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan No. PAS-54.PK.01.04.01 Tahun 2013 tentang Pedoman Lapas, Rutan dan Cabang Rutan Bebas Dari Handphone, Pungli dan Narkoba (Halinar). Surat edaran di atas merupakan bentuk kendali birokrasi yang dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan terhadap UPT Lapas, Rutan dan Cabang Rutan di seluruh Indonesia untuk mematuhi dan menjalankannya sebagaimana yang dijelaskan oleh Tompkins dan Cheney (1987) tentang Teori Kendali Organisasi. Selanjutnya, dengan menggunakan metode manajemen komunikasi empat langkah dari Cutlip, Center dan Broom serta teori kendali organisasi dari Tompkins dan Cheney, peneliti berusaha untuk mengevaluasi proses komunikasi Program Aksi Pemasyarakatan Getting to Zero Halinar ini. Evaluasi terhadap proses manajemen komunikasi pemerintahan semacam ini sangatlah penting, khususnya di era reformasi birokrasi saat ini di mana tuntutan masyarakat terhadap pemerintahan yang bersih transparan dan akuntabel sangatlah tinggi. Dengan adanya hal ini,
34 http://digilib.mercubuana.ac.id/
organisasi pemerintah mendapatkan masukan yang konstruktif agar pelaksanaan program/ kebijakan menjadi lebih optimal dilaksanakan oleh pelaksana di lapangan dan menjadi lebih optimal dirasakan oleh publik. Evaluasi yang telah dilakukan kemudian dapat digunakan untuk mengatasi problem yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, yakni peredaran handphone, pungli dan peredaran narkoba. Untuk mengkonseptulisasikan kerangka pemikiran terhadap masalah yang diangkat dalam penelitian ini, maka digambarkan sebagai berikut :
35 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran
36 http://digilib.mercubuana.ac.id/