29
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Paradigma Konstruktivisme Penelitian ini menggunakan pendekatan konstruktivisme yang diharapkan dapat menggambarkan hubungan interaksi sosial di dalamnya. Konstruktivisme, satu di antara paham yang menyatakan bahwa positivisme dan postpositivisme merupakan paham yang keliru dalam mengungkapkan realitas dunia. Karena itu, kerangka berpikir kedua paham tersebut harus ditinggalkan dan diganti dengan paham yang bersifat konstruktif. Paradigma ini muncul melalui proses yang cukup lama setelah sekian generasi ilmuwan berpegang teguh pada paradigma positivisme. Konstruktivisme muncul setelah sejumlah ilmuwan menolak tiga prinsip dasar positivisme: (1) ilmu merupakan upaya mengungkap realitas; (2) hubungan antara subjek dan objek penelitian harus dapat dijelaskan; (3) hasil temuan memungkinkan untuk digunakan proses generalisasi pada waktu dan tempat yang berbeda. Pada awal perkembangannya, paradigma ini mengembangkan sejumlah indikator sebagai pijakan dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan ilmu. Beberapa indikator itu antara lain: (1) penggunaan metode kualitatif dalam proses pengumpulan data dan kegiatan analisis data; (2) mencari relevansi indikator kualitas untuk mencari data lapangan; (3) teori-teori yang dikembangkan harus bersifat natural (apa adanya) dalam pengamatan dan menghindarkan diri dengan kegiatan penelitian yang telah diatur dan bersifat serta berorientasi laboratorium; (5) pola-pola yang diteliti dan berisi kategori-kategori jawaban
Universitas Sumatera Utara
30
menjadi unit analisis dari variabel-variabel penelitian yang kaku dan steril; (6) penelitian lebih bersifat partisipatif dari pada mengontrol sumber-sumber informasi dan lain-lainnya (Muslih, 2004: 34). Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui bagaimana cara seseorang melihat sesuatu (Morissan, 2009:107) Secara ontologis, paradigma ini menyatakan bahwa realitas bersifat sosial dan karena itu akan menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk dari masyarakatnya. Dengan demikian, tidak ada suatu realitas yang dapat dijelaskan secara tuntas oleh suatu ilmu pengetahuan. Realitas ada sebagai seperangkat bangunan yang menyeluruh dan bermakna yang bersifat konfliktual dan dialektis. Karena itu, paham ini menganut prinsip relativitas dalam memandang suatu fenomena alam atau sosial. Jika tujuan penemuan ilmu dalam positivisme adalah untuk
membuat
generalisasi
terhadap
fenomena
alam
lainnya,
maka
konstruktivisme lebih cenderung menciptakan ilmu yang diekspresikan dalam bentuk pola teori, jaringan atau hubungan timbal balik sebagai hipotesis kerja, bersifat sementara, lokal dan spesifik. Dengan pernyataan lain, bahwa realitas itu merupakan konstruksi mental, berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukannya. Karena itu suatu realitas
Universitas Sumatera Utara
31
yang diamati seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang seperti yang biasa dilakukan kalangan positivis atau postpositivis. Sejalan dengan itu, secara filosofis, hubungan epistemologis antara pengamatan dan objek, menurut aliran ini bersifat suatu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi di antara keduanya. Sementara secara metodologis, paham ini secara jelas menyatakan bahwa penelitian harus dilakukan di luar laboratorium, yaitu di alam bebas secara sewajarnya (natural) untuk menangkap fenomena alam apa adanya dan secara menyeluruh tanpa campur tangan dan manipulasi pengamat atau pihak penelitian. Dengan setting natural ini, maka metode yang paling banyak digunakan adalah metode kualitatif daripada metode kuantitatif. Suatu teori muncul berdasarkan data yang ada, bukan dibuat sebelumnya, dalam bentuk hipotesis bagaimana dalam penelitian kuantitatif. Untuk itu pengumpulan data dilakukan dengan metode hermeneutik dan dialektik yang difokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu proses sosial. Metode pertama dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat dari orang-perorang, sedangkan metode kedua mencoba untuk membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang-perorang yang diperoleh melalui metode pertama untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang disepakati bersama. Dengan demikian, hasil akhir dari suatu kebenaran merupakan perpaduan pendapat yang bersifat reflektif, subjektif dan spesifik mengenai hal-hal tertentu.
Universitas Sumatera Utara
32
Ditemukannya paradigma konstruktivisme ini dapat memberikan alternatif paradigma dalam mencari kebenaran tentang realitas sosial, sekaligus menandai terjadinya pergeseran model rasionalitas untuk mencari dan menentukan aturanaturan ke model rasionalitas praktis yang menekankan peranan contoh dan interpretasi mental. Konstruktivisme dapat melihat warna dan corak yang berbeda dalam berbagai disiplin ilmu, khususnya disiplin ilmu-ilmu sosial, yang memerlukan intensitas interaksi antara penelitian dan objek yang dicermati, sehingga akan berpengaruh pada nilai-nilai yang dianut, etika, akumulasi pengetahuan, model pengetahuan dan diskusi ilmiah (Muslih, 2004: 35-36).
2.2. Kajian Terdahulu
Adapun kajian-kajian yang pernah dilakukan yang berkaitan dengan tema penelitian adalah sebagai berikut: 1)
Penelitian sebelumnya yang berjudul Identitas Diri Anggota Komunitas
Punk di Bandung, tesis oleh Dian Maria Sari, berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga kategori identitas diri angggota komunitas punk, yaitu identitas diri yang masih menjadi anggota komunitas punk, identitas diri yang mulai merasa jenuh dan bimbang dalam komunitas punk, dan identitas diri anggota komunitas punk yang sudah insaf. Identitas diri tersebut terdiri dari faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal berasal dari pola asuh orangtua, dan faktor internal berasal dari latar belakang subjek.
Universitas Sumatera Utara
33
Identitas diri anggota komunitas punk di Bandung yaitu ingin menutupi ketidakpuasan atau ketidakberdayaan hidup maupun perasaan inferior mereka dalam bentuk penampilan yang superior dan unik di mata masyarakat. Anggota komunitas punk tersebut juga ingin mengekspresikan kemarahannya melalui suatu simbolisme berupa atribut bergaya punk dan pemikiran-pemikiran ideologi antikemapanan. Hal tersebut merupakan suatu bentuk kompensasi diri anggota komunitas punk untuk menutupi kemarahan dan rasa frustasi dari ketidakpuasan terhadap sistem yang telah diterapkan baik oleh orangtua maupun masyarakat (http://www.eprints.undip.ac.id).
2)
Penelitian berjudul Konsep Diri Remaja Punk, skripsi oleh Ulfa Amalia,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diri remaja punk. Masa remaja merupakan masa transisi, keadaan emosi remaja belumlah stabil. Idealnya seorang remaja dapat menjaga sikap dan berperilaku sesuai nilai moral yang ada di masyarakat, karena bagaimanapun remaja adalah generasi penerus bangsa. Namun saat ini, problem sosial yang sering muncul adalah remaja lebih senang berkelompok atau membentuk peers group, di mana rasa solidaritas remaja dituntut di dalam kelompok tersebut. Peran yang diukur dalam kelompok sebaya sangat berpengaruh terhadap pandangan individu mengenai dirinya sendiri atau konsep dirinya.
Universitas Sumatera Utara
34
Saat ini di Yogyakarta bermunculan anak muda yang tergabung dalam suatu kelompok yang mereka namakan dengan kelompok punk dengan gaya yang khas dengan rambutnya yang Mohawk, atribut rantai yang tergantung di saku celana, sepatu boot, kaos hitam, jaket kulit penuh badge, tindik (piercing) di hidung, bibir, telinga, alis dan tato. Mereka berkumpul dengan teman-teman sesama punk hingga larut malam bahkan sampai pagi hari, sekedar bermain gitar, merokok, minum-minuman keras, ngamen, mereka tidak mengetahui apakah yang mereka lakukan sesuai dengan pribadinya, yang mereka inginkan adalah menjadi punkers seumur hidupnya. Subjek penelitian ini adalah remaja punk yang memiliki karakteristik yaitu berusia antara 13-19 tahun, berjenis kelamin laki-laki, berasal dan tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Subyek penelitian berjumlah lima informan penelitian, yang merupakan orang-orang yang dekat dan mengenal baik subjek penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
metode
fenomenologis dengan metode pengambilan data adalah wawancara mendalam. Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dengan penandaan/pengkodean (coding). Dari hasil wawancara didapatkan gambaran mengenai konsep diri remaja punk, di mana konsep diri mereka dipengaruhi dari dalam maupun lingkungan luar dirinya Dalam penelitian ini juga diketahui latar belakang dan dampak yang ditimbulkan dengan menjadi remaja punk, serta nilainilai positif yang dimiliki remaja punk. Rincian mengenai hasil penelitian dideskripsikan
dalam
laporan
penelitian
ini
(http://www.naskah-
publika.psychologi.uii.ac.id).
Universitas Sumatera Utara
35
3)
Penelitian berjudul Keberadaan Komunitas Punk di Kota Bukit Tinggi,
skripsi oleh Jhoni Akbar. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa perilaku komunitas punk yang berada di kota Bukit Tinggi dapat dilihat dari segi pengetahuan, sikap dan tindakan semua anggotanya. Dari segi pengetahuan, mereka sangat mengetahui dan memahami ideologi-ideologi yang dimiliki punk secara umum. Dari segi sikap, mereka menghayati dan menilai bahwa tidak semua ideologi dapat diterima, akan tetapi juga memikirkan kemampuannya di dalam menerapkan ideologi tersebut. Segi tindakan, penerapan ideologi tersebut dapat dilihat dalam hal penampilan dan asesoris yang dipakai serta kegiatan-kegiatan yang dilakukannya, seperti mengamen, berkumpul-kumpul, meminum tuak, tidur di emperan-emperan toko, bergaul bebas, jalan-jalan ke luar daerah dengan cara estafet, menato dan menindik. Sedangkan faktor-faktor yang mendorong keberadaan komunitas punk di kota Bukit Tinggi dapat dilihat dari faktor eksternal dan internal. Dari faktor eksternal, seperti adanya proses perekrutan anggota yang dilakukan oleh komunitas punk secara terus menerus, anarkisme komunitas punk yang kuat, dan keberadaan anggota komunitas punk itu sendiri. Dari faktor internal, seperti ketertarikan anggotanya terhadap penampilan dan kesesuaian dengan ideologi yang dimiliki oleh komunitas punk dan kemauan dari diri sendiri untuk berada di jalanan (http://ww.repository.unand.ac.id).
Universitas Sumatera Utara
36
4)
Penelitian selanjutnya berjudul Busana dalam lingkup kelompok punk,
reggae dan black metal di Surakarta, skripsi oleh Yudhistira Ardi Nugroho. Dalam penelitian ini objek yang diteliti adalah pengembangan busana kelompok budaya
“Punk”,
“Reggae”
dan
“Blackmetal”
di
Surakarta.
Selain
memperlihatkan aspek historis penciptaan busana penelitian ini menekankan pada aspek-aspek simbolis dan filosofis yang dikandung dalam perwujudan busananya. Berdasarkan wujudnya busana kelompok budaya kawula muda “Punk”, “Reggae” dan “Blackmetal” diciptakan atas dasar konsep ‘anti kemapanan’ seperti latar belakang munculnya kelompok budaya “Punk” yang muncul sebagai bentuk melawan arus kemapanan menurut faham kapitalisme. Konsep ‘anti kemapanan’ melahirkan tata busana yang jauh dari estetis di mata masyarakat awam. Meskipun secara tampilan visual tata busana tidak estetis namun telah terbukti fashion “Punk”, “Reggae” dan “Blackmetal” telah menjadi bagian dari kehidupan kawula muda. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka data yang diperoleh diolah dan dianalisis melalui cara kualitatif. Proses dalam penelitian ini mencakup tiga alur kegiatan yang dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi (seleksi) data, pengujian data dan penarikan kesimpulan. Perwujudan busana “Punk”,“Reggae” dan “Blackmetal” merupakan cerminan dari kehidupan sosial budaya dan falsafah hidup anak muda kalangan bawah. Simbolisasi dapat digambarkan melalui busana dan aksesoris. Berdasarkan pemikiran yang melatarbelakangi penciptaan busana “Punk”, dapat disebutkan tata rambut “Mohawk” adalah lambang keberanian, sepatu boots dan bahan jeans yang dipakai adalah simbol dari kelas buruh, aksesoris dari logam dan rantai adalah alat pertahanan diri. Dalam busana “Reggae” tata rambut dreadlock atau
Universitas Sumatera Utara
37
rambut gimbal adalah penyatuan dengan alam dan keyakinan dalam ajaran “rastafara“. Sementara dalam busana “Blackmetal” seperti setan menjadi pesan bahwa manusia bisa tidak ada bedanya dengan setan. Pakaian serba hitam dan lambang-lambang setan yang dikenakan menjadi peringatan bagi manusia terhadap kematian dan kegelapan (http://www.eprints.uns.ac.id).
5)
Penelitian berjudul Tanggapan Masyarakat terhadap Perilaku Budaya
Anak Punk di Kota Medan, skripsi oleh Fransiskus B.Marbun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan masyarakat Lingkungan II Kelurahan Sei Kambing C II – Medan Helvetia, terhadap perilaku budaya anak punk di Kelurahan tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komunikasi, komunikasi antar budaya, dan perilaku budaya. Metode penelitian ini adalah kuantitatif dengan menggunakan penyebaran kuesioner kepada sejumlah responden sebanyak 72 orang. Jumlah sampel didapat dengan menggunakan rumus Arikunto, dengan cara mengambil 20% dari total populasi sebanyak 362 orang. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tunggal. Tahapantahapan dalam pengelolahan data dimulai dengan penomoran kuesioner, editing, coding, inventarisasi tabel, dan tabulasi data. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sebagian besar masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini berpendapat bahwa perilaku budaya anak punk dinilai kurang menarik dan terkesan negatif di mata masyarakat. Sebagian besar responden dalam penelitian ini menanggapi bahwa perilaku budaya anak punk merupaka perilaku budaya
Universitas Sumatera Utara
38
yang menyimpang dan masih menganggap bahwa budaya yang diadopsi oleh anak punk tersebut adalah hal yang sangat berbeda dengan budaya yang ada pada masyarakat Indonesia pada umumnya (Fransiskus B. Marbun, 2012: 2-5).
2.3. Komunikasi Antarpribadi
2.3. Definisi Komunikasi Antarpribadi Para ahli teori komunikasi mendefinisikan komunikasi antarpribadi secara berbeda-beda (Bochner,1978;Cappella, 1987;Miller, 1990) (dalam Devito, 2011: 252) ada tiga definisi pendekatan utama yaitu : A.Definisi Berdasarkan Komponen (Componential) Definisi berdasarkan komponen menjelaskan komunikasi antarpribadi dengan mengamati komponen-komponen utamanya, dalam hal ini penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dengan peluang untuk memberikan umpan balik segera. B.Definisi Berdasarkan Hubungan Diadik (Relational dyadic) Dalam definisi berdasarkan hubungan, kita mendefinisikan komunikasi antar pribadi sebagai komunikasi yang berlangsung di antara dua orang yang mempunyai hubungan yang mantap dan jelas. Jadi misalnya, komunikasi antarpribadi meliputi komunikasi yang terjadi antara pramuniaga dan pelanggan, anak dan ayah, dua orang dalam suatu wawancara, dan sebagainya. Dengan definisi ini hampir tidak mungkin ada komunikasi diadik (dua orang) yang bukan komunikasi antarpribadi. Tidaklah mengherankan, definisi ini juga disebut sebagai definisi diadik. Hampir tidak terhindarkan, selalu ada hubungan antara dua orang. Bahkan seseorang asing di sebuah kota yang menanyakan arah jalan ke seseorang penduduk mempunyai hubungan yang jelas dengan penduduk itu segera setelah disampaikan. Ada kalanya definisi hubungan ini diperluas sehingga mencakup juga sekelompok kecil orang, seperti anggota keluarga atau kelompok yang terdiri atas 3 atau empat orang. C. Definisi Berdasarkan Pengembangan (Developmental) Dalam pendekatan pengembangan, komunikasi antarpribadi dilihat sebagai akhir dari perkembangan dari komunikasi yang bersifat tak-pribadi (impersonal) pada suatu ekstrem menjadi komunikasi antarpribadi atau intim pada ekstrem yang lain. Perkembangan mengisyaratkan atau mendefenisikan pengembangan komunikasi antarpribadi. Komunikasi antarpribadi ditandai oleh dan dibedakan dari komunikasi tak-pribadi berdasarkan data psikologis, pengetahuan dan aturan secara pribadi.
Universitas Sumatera Utara
39
2.3.2. Fungsi Komunikasi Antarpribadi
Menurut Miller dan Steinberg, fungsi adalah sebagai tujuan di mana komunikasi digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi utama komunikasi ialah mengendalikan lingkungan guna memperoleh imbalan-imbalan tertentu berupa fisik, ekonomi dan sosial. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa komunikasi insani atau human communication baik maupun antarpribadi yang
yang
non-antarpribadi
antar pribadi semuanya mengenai pengendalian
lingkungan guna mendapatkan imbalan seperti dalam bentuk fisik, ekonomi, dan sosial. Keberhasilan yang relatif dalam melakukan pengendalian lingkungan melalui komunikasi menambah kemungkinan menjadi bahagia, kehidupan pribadi yang produktif. Kegagalan relatif mengarah kepada ketidakbahagiaan akhirnya bisa terjadi krisis identitas diri (Budyatna, 2011: 27). Imbalan ialah setiap akibat berupa perolehan fisik, ekonomi dan sosial yang dinilai positif. Uang sebagai akibat perolehan ekonomi yang dinilai positif. Jika seorang pegawai berhasil mengendalikan perilaku atasannya, seperti rajin, prestasi kerja baik, dan jujur, maka menurut logikanya ia akan memperoleh kenaikan upah atau gaji. Inilah yang disebut imbalan dalam bentuk ekonomi berupa uang. Sedangkan atasannya juga mendapatkan imbalan dalam bentuk sosial berupa kepuasan karena ia merasa puas akan kinerja bawahannya yang baik. Demikian pula jika seorang sales mampu mengendalikan reaksi pelanggannya yaitu mau membeli produk yang ditawarkannya, maka ia akan memperoleh imbalan dalam bentuk ekonomi berupa komisi dari perusahaannya. Imbalan berupa hal-hal yang menyenangkan seperti atasan tadi yang bukan berupa nilai materi berupa senyuman dengan wajah yang menyenangkan sebagai rasa
Universitas Sumatera Utara
40
terima kasih kepada pihak lain. Rasa puas kalau kita dapat menolong orang dalam kesusahan sebagai imbalan dalam bentuk sosial. Kita dapat membedakan pengendalikan lingkungan dalam dua tingkatan, yaitu: 1) Hasil yang diperoleh sesuai dengan apa yang diinginkan yang dinamakan compliance. 2) Hasil yang diperoleh mencerminkan adanya kompromi dari keinginan semula bagi pihak-pihak yang terlibat, yang dinamakan penyelesaian konflik atau conflict resolution (Budyatna, 2011: 28).
2.3.3. Ciri-ciri Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi antarpribadi juga memiliki ciri-ciri yang dapat membedakan komunikasi antarpribadi dengan model komunikasi lainnya, ada enam karakteristik komunikasi antarpribadi menurut Judy C. Pearson, yaitu: 1) Komunikasi antarpribadi dimulai dengan diri pribadi (self). Berbagai persepsi komunikasi yang menyangkut pengamatan dan pemahaman berawal dari diri kita, artinya dibatasi oleh siapa diri kita dan bagaimana pengalaman kita. 2) Komunikasi antarpribadi bersifat transaksional. Anggapan ini mengacu pada tindakan pihak-pihak yang berkomunikasi secara serempak menyampaikan dan menerima pesan. 3) Komunikasi antarpribadi mencakup aspek-aspek isi pesan dan hubungan antarpribadi. Maksudnya komunikasi antarpribadi tidak hanya berkenaan berkomunikasi dan hubungan kita dengan partner tersebut. 4) Komunikasi antar pribadi mensyaratkan adanya kedekatan fisik antara pihak-pihak yang berkomunikasi. 5) Komunikasi antarpribadi melibatkan pihak-pihak yang saling tergantung satu sama lain (interdependen) dengan isi pesan yang dipertukarkan, tetapi juga melibatkan partner dalam proses komunikasi. 6) Komunikasi antarpribadi tidak dapat diubah ataupun diulang, jika kita salah mengucapkan sesuatu pada partner kita maka mungkin kita dapat meminta maaf dan diberikan maaf, namun itu tidak berarti menghapus apa yang pernah kita ucapkan (Senjaya, 2005: 21).
Universitas Sumatera Utara
41
Menurut Devito ada 5 ciri-ciri komunikasi antarpribadi yang umum yaitu sebagai berikut: 1) Keterbukaan (Openess) Komunikator dan komunikan saling mengungkapkan ide atau gagasan bahkan permasalahan secara bebas dan terbuka tanpa ada rasa malu. Keduanya saling mengerti dan memahami pribadi masing-masing. 2) Empati (Emphaty) Komunikator dan komunikan merasakan situasi dan kondisi yang dialami mereka tanpa berpura-pura dan keduanya menanggapi apa-apa saja yang dikomunikasikan dengan penuh perhatian. Empati merupakan kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya kepada peranan orang lain. Apabila komunikator atau komunikan mempunyai kemampuan untuk melakukan empati satu sama lain, kemungkinan besar akan terjadi komunikasi yang efektif. 3) Dukungan (Supportiveness) Setiap pendapat atau ide serta gagasan yang disampaikan akan mendapatkan dukungan dari pihak-pihak yang berkomunikasi. Dukungan membantu seseseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta meraih tujuan yang diharapkan. 4) Rasa Positif (Possitivenes) Apabila pembicaraan antara komunikator dan komunikan mendapat tanggapan positif dari kedua belah pihak, maka percakapan selanjutnya akan lebih mudah dan lancar. Rasa positif menjadikan orang-orang yang berkomunikasi tidak berprasangka atau curiga yang dapat mengganggu jalinan komunikasi. 5) Kesamaan (Equality) Komunikasi akan lebih akrab dan jalinan pribadi akan menjadi semakin kuat apabila memiliki kesamaan tertentu antara komunikator dan komunikan dalam hal pandangan, sikap, kesamaan ideologi dan lain sebagainya (Liliweri, 1991: 13).
Universitas Sumatera Utara
42
2.3.4. Proses Komunikasi Antarpribadi Berkomunikasi secara efektif memiliki arti bahwa komunikator dan komunikan memiliki pengertian yang sama tentang isi suatu pesan. Komunikasi antarpribadi dikatakan efektif apabila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan dan dalam proses komunikasi antarpribadi tersebut tercipta sebuah kebersamaan dalam makna yang secara langsung hasilnya dapat diperoleh, jika peserta komunikasi cepat tanggap dan paham terhadap setiap pesan yang dipertukarkan. Selain itu, Menurut Steward L. Tubs dan Sylvia Moss (dalam Rakhmat, 2005: 133) menambahkan bahwa tanda-tanda komunikasi yang efektif setidaknya menimbulkan hal sebagai berikut: 1) Saling pengertian 2) Memberikan kesenangan 3) Mempengaruhi sikap Komunikasi antarpribadi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui media dan tatap muka. Meskipun demikian, yang dianggap paling sukses adalah komunikasi antarpribadi secara tatap muka, sebab dalam komunikasi antarpribadi yang dilakukan melalui tatap muka pengiriman pesan dan umpan baliknya dapat diamati secara langsung dengan melihat, mendengar, mencium, meraba dan merasa. Proses berkomunikasi antarpribadi menggunakan lambang-lambang sebagai media penyampaian pesan yaitu:
Universitas Sumatera Utara
43
1) Lambang Verbal Lambang verbal ini biasanya dalam bentuk bahasa, oleh karena itu, dengan bahasa seorang komunikator dapat mengunggkapkan pikirannya mengenai hal atau peristiwa, baik yang kongkrit maupun yang abstrak yang terjadi pada masa lalu, masa kini dan masa depan kepada komunikannya.
2) Lambang Non Verbal Lambang Non Verbal adalah lambang yang dipergunakan dalam komunikasi yang berbentuk isyarat dengan menggunakan anggota tubuh seperti kepala, mata, jari dan lainnya. Batasan komunikasi non verbal secara garis besar sebenarnya sebagai arah dari suatu gejala seperti setiap bentuk penampilan wajah dan gerak gerik tubuh seseorang sebagai suatu cara dan simbol dari statusnya, dengan isyarat non verbal seorang individu dapat memahami orang lain ketika orang lain tersebut berbicara atau menulis bahasanya untuk menyatakan sesuatu tentang dirinya (Rakhmat, 2005: 134).
Universitas Sumatera Utara
44
2.3.5. Sifat Komunikasi Antarpribadi Komunikasi antarpribadi sama halnya dengan ilmu-ilmu lain yang pasti memiliki sifatnya tersendiri sehingga menjadi suatu ciri khas pada ilmu tersebut. Beberapa sifat yang dapat menunjukan komunikasi antara dua orang, yang mengarah pada komunikasi antarpribadi yaitu didalamnya melibatkan perilaku verbal maupun nonverbal, yang dapat menunjukkan seberapa jauh hubungan antara pihak yang terlibat di dalamnya. Berikut adalah beberapa sifat yang dimiliki oleh komunikasi antarpribadi: 1. Komunikasi antarpribadi melibatkan perilaku yang spontan, perilaku ini timbul karena kekuasaan emosi yang bebas dari campur tangan kognisi. 2. Komunikasi antarpribadi harus menghasilkan umpan balik agar mempunyai interaksi dan koherensi, artinya suatu komunikasi antarpribadi harus ditandai dengan adanya umpan balik serta adanya interaksi yang melibatkan suatu perubahan di dalam sikap, perasaan, perilaku dan pendapat tertentu. 3. Komunikasi antarpribadi biasanya bersifat intrinsik dan ekstrinsik. Intrinsik merupakan suatu standar perilaku yang dikembangkan oleh seseorang sebagai panduan melaksanakan komunikasi, sedangkan ekstrinsik yaitu aturan lain yang ditimbulkan karena pengaruh kondisi sehingga komunikasi antar manusia harus diperbaiki atau malah harus berakhir. 4. Komunikasi antarpribadi menunjukan adanya suatu tindakan. Sifat yang dimaksud adalah suatu hubungan sebab akibat yang dilandasi adanya tindakan bersama sehingga menghasilkan proses komunikasi yang baik. 5. Komunikasi antarpribadi menunjukkan adanya suatu tindakan. Sifat yang dimaksud adalah suatu hubungan sebab akibat yang dilandasi adanya tindakan bersama sehinnga menghasilkan proses komunikasi yang baik (Liliweri, 1991: 29).
Universitas Sumatera Utara
45
2.3.6. Hubungan Antarpribadi Hubungan antar pribadi dapat di identifikasikan dua karakteristik penting yang pertama hubungan antar pribadi berlangsung melalui berapa tahap, mulai dari tahap interaksi awal sampai ke pemutusan (dissolution). Kedua hubungan antarpribadi berbeda-beda dalam bentuk hal keluasan (breadth) dan kedalamannya (depth). Kebanyakan hubungan, mungkin semua, berkembang melalui tahaptahap. Ada lima model tahap dalam hubungan antar pribadi yaitu kontak, keterlibatan, keakraban, perusakan, dan pemutusan. Tahap-tahap ini tidak mengevaluasi atau menguraikan bagaimana seharusnya hubungan itu berlangsung (Devito, 2011: 254-255): 1.Kontak Pada tahap pertama kita membuat kontak. Ada beberapa macam persepsi alat indra yaitu mata, hidung, telinga, lidah dan kulit. Pada tahap inilah penampilann fisik begitu penting, karena dimensi fisik paling terbuka untuk diamati secara mudah. Meskipun demikian, kualitas-kualitas lain seperti sikap bersahabat, kehangatan, keterbukaan dan dinamis juga terungkap pada tahap ini. 2.Keterlibatan Tahap keterlibatan adalah tahap pengenalan lebih jauh, ketika kita mengikatkan diri kita untuk lebih mengenal orang lain dan juga mengungkapkan diri kita. Jika ini adalah hubungan yang bersifat romantik, mungkin anda melakukan kencan pada tahap ini. Jika ini merupakan hubungan persahabatan, anda mungkin melakukan sesuatu yang menjadi minat bersama seperti ke bioskop, atau pergi ke pertandingan olahraga bersama-sama. 3.Keakraban Pada tahap keakraban, maka ada ikatan diri yaitu membuatnya hubungan primer, di mana orang ini akan menjadi sahabat yang baik atau menjadi kekasih. Komitmen ini dapat mempunyai berbagai bentuk; perkawinan, membantu orang itu, atau mengungkapkan rahasia terbesar anda. Tahap ini hanya disediakan untuk sedikit orang saja, kadang-kadang hanya satu, dan kadang-kadang dua, tiga atau empat orang saja. Jarang sekali orang mempunyai lebih dari empat orang sahabat akrab, kecuali dalam keluarga. 4.Perusakan Dua tahap berikutnya merupakan penurunan hubungan, ketika ikatan di antara kedua belah pihak melemah. Pada tahap perusakan mulai merasa bahwa hubungan tidak sepenting dan tidak seperti yang dipikirkan. 5.Pemutusan Tahap pemutusan adalah pemutusan ikatan kedua belah pihak. Jika bentuk ikatan itu adalah perkawinan maka akan diputuskan melalui perceraian.
Universitas Sumatera Utara
46
Aplikasi dan implikasi dari hubungan antar pribadi (dalam Littlejhon, 2011: 312) diantaranya adalah: 1.Hubungan terbentuk, terjaga, dan berubah melalui komunikasi Dalam interaksi maju mundur dari sebuah percakapan, banyak hal yang dan dapat diketahui dari makna gerak tubuh, mendefinisikan objek, menciptakan konotasi baru untuk kata-kata, mencapai tujuan dan mengubah gambar diri. Akan tetapi jika terlalu sering berbicara dengan orang lain, akan menciptakan sesuatu yang lain (sebuah hubungan). Hal ini dapat berupa pertemanan, hubungan antara rekan kerja, pernikahan, hubungan antara tua anak, hubungan dengan pelanggan, hubungan antar tetangga, atau sejumlah hubungan lain. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa setiap hubungan dibentuk oleh pelaku percakapan dalam sebuah percakapan. Hubungan tidak terjadi begitu saja, hubungan diciptakan dan dijaga melalui komunikasi. 2. Hubungan adalah sesuatu yang teratur Sebagain besar dalam kehidupan modern kita harus menghadapi masamasa stabilitas dan masa-masa perubahan dalam hubungan. Bakhtin (dalam Littlejhon, 2011: 315) mengatakan masa-masa perubahan yaitu masa sentripetal dan massa sentrifugal. Namun, selalu ada kecenderungan untuk menemukan sebuah cara untuk mengatur atau menyelaraskan interaksi di dalam hubungan. Bahkan,
pengaturan
tekanan
dinamis
antara
kekuatan-kekuatan
yang
berbentangan juga diatur atau disusun, dalam beberapa cara.
Universitas Sumatera Utara
47
Koerner dan Fitzpatrick (dalam Littlejhon, 2011: 316) telah menunjukkan bahwa keluarga-keluarga pada akhirnya cenderung terbagi beberapa tipe. Beberapa tipe ini seperti keluarga protektif sangat stabil dan saling melengkapi dalam pola hubungan, sedangkan keluarga pluralistis akan cukup dinamis. Ada dua pola dasar organisasional yang biasanya ditemukan dalam hubungan, yaitu simetri dan pelengkapnya. Setiap bentuk dapat bersifat fungsional dan nyaman atau bersifat merusak dan tidak nyaman, tetapi bagaimana pola-pola dalam sebuah hubungan saling merespon akan selalu mengatur interaksi tersebut. Bahkan, sebuah perebutan kekuasaan biasanya tidak nyaman adalah sebuah cara untuk menyusun sebuah hubungan. Walaupun sebuah hubungan selalu memiliki susunan, susunan tersebut tidak selalu diatur dengan cara yang sama dan susunan tersbut pasti akan berubah. Fitzpatrick dan koleganya lebih melihat pada susunan hubungan yang stabil, sedangkan Baxter dan koleganya melihat pada sifat hubungan yang dinamis dan berorientasi pada proses (Littlejhon,2011:317). 3.Hubungan bersifat dinamis Bakhtin (dalam Littlejhon,2011:318) mengatakan bahwa kita hidup dalam dunia dengan banyak suara, sebuah dunia heteroglossia. Metafora suara dianggap berharga karena hal tersebut mengingatkan kita bahwa percakapan terdiri atas suara-suara yang harus disusun atau diatur menjadi wacana di balik pesan seseorang. Tidak seperti berbicara pada diri sendiri, sebuah percakapan (terpisah dari hubungan) mengharuskan untuk mencampur atau menghubungkan suara kita dengan orang lain. Kadang, hal ini sangat mudah karena setiap orang memiliki
Universitas Sumatera Utara
48
pandangan yang umum tentang bagaimana berinteraksi dan berhubungan. Dalam hal ini, sebagian besar aturan dibagi dan percakapannya pertalian, tidak seperti sebuah paduan suara. Kadang, mengatur pembicaraan adalah hal yang sulit karena adanya ketidakcocokan tradisi budaya yang sangat berbeda, pandangan politik yang berbeda yang harus didengar, dan suara-suara yang tidak tercampur dengan baik.
2.4. Teori Pengembangan Hubungan Barangkali tidak ada yang lebih penting bagi kita selain kontak atau hubungan dengan sesama manusia. Begitu pentingnya kontak ini sehingga bila kita tidak berhubungan dengan orang lain dalam waktu yang lama, rasa tertekan akan timbul, rasa ragu terhadap diri sendiri mucul, dan orang merasa sulit untuk menjalani kehidupan sehari-harinya. Desmond Morris, dalam Intimate Behaviour, mencatat bahwa kontak dengan orang lain begitu pentingnya sehingga kultur kita telah membentuk segala macam substitusi untuk menggantikan ketiadaan hubungan ini. Orang sering kali mengunjungi profesional seperti dokter, perawat dan pemijat bukan karena sakit fisik, melainkan karena kebutuhan kontak (Littlejohn, 2011: 268).
Universitas Sumatera Utara
49
Setiap hubungan bersifat unik beegitu juga masing-masing dari kita membina hubungan karena alasan yang unik. Meskipun demikian, dalam keragaman ini, ada beberapa prinsip umum yang berlaku. Pertama, kita membahas beberapa alasan umum untuk mengembangkan sebagian besar hubungan. Kedua, kita membahas proses memprakarsai hubungan dan beberapa saran non-verbal serta verbal untuk membuat jumpa pertama yang lebih efektif. Self Disclosure atau proses pengungkapan diri yang tealah lama menjadi fokus penelitian dari teori komunikasi mengenai hubungan, merupakan proses mengungkapkan informasi pribadi kita kepada orang lain dan sebaliknya. Sidney Jourard menandai sehat atau tidaknya komunikasi antar pribadi dengan melihat keterbukaan yang terjadi dalam komunikasi. Mengungkapkan yang sebenarnya mengenai diri kita kepada orang lain yang juga bersedia mengungkapkan yang sebenarnya tentang dirinya, dipandang sebagai ukuran dari hubungan yang ideal (Senjaya, 2007: 244). Setelah mengurangi penderitaan umum untuk pengembangan hubungan yaitu mengurangi kesepian, mendapatkan rangsangan, mendapatkan pengetahuan diri, dan memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan penderitaan. Alasanalasan untuk pengembangan hubungan (dalam Devito, 2011: 268): 1. Mengurangi Kesepian Kontak dengan sesama manuasia mengurangi kesepian. Ada kalanya kita mengalami kesepian karena fisik kita sendirian, walaupun kesendirian tidak selalu berarti kesepian. Barang kali kita kesepian meskipun kita bersama orang lain, kita mempunyai kebutuhan yang terpenuhi akan kontak yang dekat, kadang secara
Universitas Sumatera Utara
50
fisik, adakalanya secara emosional, dan lebih sering lagi kedua-duanya (Peplau dan Periman, 1982; Rubenstein dan Shever, 1982). Sementara
orang,
dalam
upaya,
mengurangi
kesepian,
berusaha
melingkungi dirinya dengan banyak kenalan. Kadang-kadang ini membantu, tetapi sering kali malah membuat rasa sepi makin parah. Satu hubungan yang dekat biasanya malah lebih baik. Kebanyakan dari kita mngetahui hal ini, dan itulah sebabnya kita berusaha membina hubungan antar pribadi (Perlman dan Peplau, 1981). 2. Mendapatkan Rangsangan (Stimulasi). Manusia membutuhkan stimulasi. Jika kita tidak menerima stimulasi, kita mengalami kemunduran dan bisa mati. Kontak antar manusia merupakan salah satu cara terbaik untuk mendapatkan stimulasi ini. Kita merupakan gabungan dari banyak dimensi yang berbeda-beda dan semua dimensi kita membutuhkan stimulasi. Kita adalah makhluk intelektual, dan karenanya kita membutuhkan stimulasi intelektual. Kita membicarakan gagasan, mengikuti kegiatan kelas, dan berdebat tentang interpretasi yang berbeda dalam suatu hal. Dengan cara itu kita mengasah kemampuan penalaran, analisis dan interpretasi kita. Kemudian dengan melakukannya,
kita
meningkatkan,
mempertajam
dan
mengembangkan
kemampuan-kemampuan ini.
Universitas Sumatera Utara
51
3. Mendapatkan Pengetahuan Diri (Self-Knowledge) Sebagian besar melalui kontak dengan sesama manusia ialah kita belajar mengenai diri kita, belajar mengenai diri kita sendiri. Dalam diskusi tentang kesadaran diri telah dijelaskan bahwa kita melihat diri sendiri sebagian melalui mata orang lain. Jika kawan-kawan kita melihat kita sebagai orang yang hangat dan pemuarah, misalnya barang kali kita juga akan memandang diri sendiri sebagai hangat dan pemurah. Persepsi diri kita sangat dipengaruhi oleh apa yang kita yakini dan kita pikirkan orang tentang diri kita. 4. Memaksimalkan Kesenangan, Meminimalkan Penderitaan Alasan paling umum untuk membina hubungan dan alasan yang dapat mencakup semua alasan lainnya, adalah bahwa kita berusaha berhubungan dengan manusia lain untuk memaksimalkan kesenangan kita dan meminimalkan penderitaan kita. Kita perlu berbagi rasa dengan orang lain mengenai nasib baik kita serta mengenai penderitaan emosi dan fisik kita. Barangkali kebutuhan yang terakhir ini bermula di masa kanak-kanak, ketika anda berlari mendekati ibu sehingga beliau dapat mengecup luka anda dan menikmati kegembiraan anda. Sekarang kita tentu sulit untuk berlari dan mendekati ibu, karena anda mencari orang lain, umumnya kawan-kawan yang akan memberikan dukungan yang sama seperti yang pernah dilakukan ibu di waktu lalu.
Universitas Sumatera Utara
52
2.4.1. Teori Penetrasi Sosial Teori ini merupakan bagian teori dari pengembangan hubungan atau relation ship development theory. Teori penetrasi sosial dikembangkan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor. Menurut kedua pakar ini komunikasi adalah penting dalam mengembangkan hubungan pribadi. Teori penetrasi sosial menfokuskan diri pada pengembangan hubungan. Hal ini terutama berkaitan dengan perilaku antarpribadi yang nyata dalam interaksi sosial dan proses-proses kognitif internal yang mendahului, menyertai dan mengikuti pembentukan hubungan (Budyatna, 2011: 227). Teori Penetrasi Sosial dipopulerkan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor. Teori penetrasi sosial secara umum membahas tentang bagaimana proses komunikasi interpersonal. Di sini dijelaskan bagaimana dalam proses berhubungan dengan orang lain, terjadi berbagai proses gradual, di mana terjadi semacam proses adaptasi di antara keduanya, atau dalam bahasa Altman dan Taylor: penetrasi sosial. Altman dan Taylor (dalam Griffin, 2003: 132) membahas tentang bagaimana perkembangan kedekatan dalam suatu hubungan. Menurut mereka, pada dasarnya kita akan mampu untuk berdekatan dengan seseorang yang lain sejauh kita mampu melalui proses “gradual and orderly fashion from superficial to intimate levels of exchange as a function of both immediate and forecast outcomes.” Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Maksudnya adalah pada hakikatnya manusia memiliki beberapa layer atau lapisan kepribadian. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, maka kita akan menemukan lapisan kulit yang lainnya. Begitu pula kepribadian manusia. Lapisan kulit terluar dari kepribadian manusia adalah apa-apa yang terbuka bagi publik, apa yang biasa kita perlihatkan kepada orang lain secara umum, tidak ditutup-tutupi. Jika kita mampu melihat lapisan yang sedikit lebih dalam lagi, maka di sana ada lapisan yang tidak terbuka bagi semua orang, lapisan kepribadian yang lebih bersifat semiprivate. Lapisan ini biasanya hanya terbuka bagi orang-orang tertentu saja, orang terdekat misalnya.
Universitas Sumatera Utara
53
Lapisan yang paling dalam adalah wilayah private, di mana di dalamnya terdapat nilai-nilai, konsep diri, konflik-konflik yang belum terselesaikan, emosi yang terpendam, dan semacamnya. Lapisan ini tidak terlihat oleh dunia luar, oleh siapapun, bahkan dari kekasih, orang tua, atau orang terdekat manapun. Akan tetapi lapisan ini adalah yang paling berdampak atau paling berperan dalam kehidupan seseorang.
Kedekatan kita terhadap orang lain, menurut Altman dan Taylor, dapat dilihat dari sejauh mana penetrasi kita terhadap lapisan-lapisan kepribadian tadi. Dengan membiarkan orang lain melakukan penetrasi terhadap lapisan kepribadian yang kita miliki artinya kita membiarkan orang tersebut untuk semakin dekat dengan kita. Taraf kedekatan hubungan seseorang dapat dilihat dari sini.
Dalam perspektif teori penetrasi sosial, Altman dan Taylor menjelaskan beberapa penjabaran sebagai berikut (Griffin, 2003: 133): 1. Kita lebih sering dan lebih cepat akrab dalam hal pertukaran pada lapisan terluar dari diri kita. Kita lebih mudah membicarakan atau ngobrol tentang hal-hal yang kurang penting dalam diri kita kepada orang lain, daripada membicarakan tentang hal-hal yang lebih bersifat pribadi dan personal. Semakin ke dalam kita berupaya melakukan penetrasi, maka lapisan kepribadian yang kita hadapi juga akan semakin tebal dan semakin sulit untuk ditembus. Semakin mencoba akrab ke dalam wilayah yang lebih pribadi, maka akan semakin sulit pula. 2. Keterbukaan-diri (self disclosure) bersifat resiprokal (timbal-balik), terutama pada tahap awal dalam suatu hubungan. Menurut teori ini, pada awal suatu hubungan kedua belah pihak biasanya akan saling antusias untuk membuka diri, dan keterbukaan ini bersifat timbal balik. Akan tetapi semakin dalam atau semakin masuk ke dalam wilayah yang pribadi, biasanya keterbukaan tersebut semakin berjalan lambat, tidak secepat pada tahap awal hubungan mereka juga semakin tidak bersifat timbal balik.
Universitas Sumatera Utara
54
3. Penetrasi akan cepat di awal akan tetapi akan semakin berkurang ketika semakin masuk ke dalam lapisan yang makin dalam. Tidak ada istilah “langsung akrab”. Keakraban itu semuanya membutuhkan suatu proses yang panjang biasanya banyak terjadi dalam hubungan interpersonal yang mudah runtuh sebelum mencapai tahapan yang stabil. Pada dasarnya akan ada banyak faktor yang menyebabkan kestabilan suatu hubungan tersebut mudah runtuh, mudah goyah. Akan tetapi jika ternyata mampu untuk melewati tahapan ini, biasanya hubungan tersebut akan lebih stabil, lebih bermakna dan lebih bertahan lama. 4. Penetrasi adalah proses yang bertahap dengan semakin memudar. Maksudnya adalah ketika suatu hubungan tidak berjalan lancar, maka keduanya akan berusaha semakin menjauh. Akan tetapi proses ini tidak bersifat eksplosif atau meledak secara sekaligus, tapi lebih bersifat bertahap. Semuanya bertahap dan semakin memudar.
Teori penetrasi sosial menekankan kedalaman suatu hubungan adalah penting. Tapi, keluasan ternyata juga sama pentingnya. Maksudnya adalah mungkin dalam beberapa hal tertentu yang bersifat pribadi kita bisa sangat terbuka kepada seseorang yang dekat dengan kita. Akan tetapi bukan berarti juga kita dapat membuka diri dalam hal pribadi yang lainnya. Mungkin kita bisa terbuka dalam urusan asmara, namun kita tidak dapat terbuka dalam urusan pengalaman di masa lalu. Atau yang lainnya. Karena hanya ada satu area saja yang terbuka bagi orang lain (misalkan urusan asmara tadi), maka hal ini menggambarkan situasi di mana hubungan mungkin bersifat mendalam akan tetapi tidak meluas (depth without breadth). Dan kebalikannya, luas tapi tidak mendalam (breadth without depth) mungkin ibarat hubungan “halo, apa kabar?”, suatu hubungan yang biasa-biasa saja. Hubungan yang intim adalah di mana meliputi keduanya, dalam dan juga luas (Griffin, 2003: 134-135).
Universitas Sumatera Utara
55
Keputusan tentang seberapa dekat dalam suatu hubungan menurut teori penetrasi sosial ditentukan oleh prinsip untung-rugi (reward-costs analysis). Setelah perkenalan dengan seseorang pada prinsipnya kita menghitung faktor untung-rugi dalam hubungan kita dengan orang tersebut, atau disebut dengan indeks kepuasan dalam hubungan (index of relational satisfaction). Begitu juga yang orang lain tersebut terapkan ketika berhubungan dengan kita. Jika hubungan tersebut sama-sama menguntungkan maka kemungkinan untuk berlanjut akan lebih besar, dan proses penetrasi sosial akan terus berkelanjutan.
Altman dan Taylor merujuk kepada pemikiran John Thibaut dan Harold Kelley (1952) tentang konsep pertukaran sosial (social exchange). Menurut mereka dalam konsep pertukaran sosial, sejumlah hal yang penting antara lain adalah soal relational outcomes, relational satisfaction dan relational stability. Thibaut dan Kelley menyatakan bahwa kita cenderung memperkirakan keuntungan apa yang akan kita dapatkan dalam suatu hubungan atau relasi dengan orang lain sebelum kita melakukan interaksi. Kita cenderung menghitung untungrugi. Jika kita memperkirakan bahwa kita akan banyak mendapatkan keuntungan jika kita berhubungan dengan seseorang tersebut maka kita lebih mungkin untuk membina relasi lebih lanjut (Griffin, 2003: 136).
Universitas Sumatera Utara
56
Masa-masa awal hubungan kita dengan seseorang biasanya kita melihat penampilan fisik atau tampilan luar dari orang tersebut, kesamaan latar belakang, dan banyaknya kesamaan atau ketidaksamaan terhadap hal-hal yang disukai atau disenangi. Hal ini biasanya juga dianggap sebagai suatu “keuntungan”. Akan tetapi dalam suatu hubungan yang sudah sangat akrab seringkali kita bahkan sudah tidak mempermasalahkan mengenai beberapa perbedaan di antara kedua belah pihak dan kita cenderung menghargai masing-masing perbedaan tersebut. Karena kalau kita sudah melihat bahwa ada banyak keuntungan yang kita dapatkan daripada kerugian dalam suatu hubungan, maka kita biasanya ingin mengetahui lebih banyak tentang diri orang tersebut.
Teori pertukaran sosial memaparkan (dalam Griffin, 2003: 137-138) kita sebenarnya kesulitan dalam menentukan atau memprediksi keuntungan apa yang akan kita dapatkan dalam suatu hubungan atau relasi dengan orang lain. Karena secara psikologis apa yang dianggap sebagai “keuntungan” tadi berbeda-beda tiap-tiap orang. Teori pertukaran sosial mengajukan dua standar umum tentang apa-apa yang dijadikan perbandingan atau tolok ukur dalam mengevaluasi suatu hubungan interpersonal. Yang pertama, terkait dengan relative satisfaction (kepuasan relatif): seberapa jauh hubungan interpersonal tersebut dapat membuat kita bahagia atau justru tidak bahagia. Thibaut dan Kelley menyebut hal ini sebagai comparison level.
Universitas Sumatera Utara
57
Contohnya ketika kita mengobrol dengan kekasih kita melalui telpon. Jika kita biasanya berbincang melalui telpon dengan kekasih kita dalam hitungan waktu satu jam, maka angka satu jam akan menjadi tolok ukur kepuasan kita dalam hubungan tersebut. Jika ternyata kita mengobrol lebih lama dari satu jam, katakanlah satu jam tiga puluh menit maka kita akan menilai hal tersebut lebih dari memuaskan. Akan tetapi begitu pula sebaliknya, jika ternyata kita hanya berbincang kurang dari 1 jam kita cenderung menganggap obrolan kita tersebut kurang memuaskan. Ini memang hanya salah satu faktor saja dalam menilai kepuasan dalam hubungan via telpon tersebut.
Faktor lainnnya yang juga dijadikan pertimbangan adalah nada bicara, intonasi, topik yang dibicarakan, kehangatan bicara dan seterusnya. Selain itu, comparison level kita dalam hal pertemanan, asmara, hubungan keluarga, banyak dipengaruhi oleh bagaimana sejarah hubungan interpersonal kita di masa lalu. Kita menilai nilai suatu hubungan berdasarkan perbandingan dengan pengalaman kita di masa yang lampau. Kita cenderung menyimpan secara baik kenangan kita dalam hubungan interpersonal dengan pihak lain untuk dijadikan semacam perbandingan dalam hubungan interpersonal kita di masa sekarang dan di masa depan. Ini juga tolok ukur yang sangat penting.
Kedua, oleh Thibaut dan Kelley disebut sebagai the comparison level of alternatives. Pada tahapan ini kita memunculkan suatu pertanyaan dalam hubungan interpersonal kita. Kita mulai mempertanyakan kemungkinan apa yang ada di luar hubungan yang sedang dijalani tersebut. Pertanyaan tersebut antara lain “Apakah saya akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak jika saya
Universitas Sumatera Utara
58
berhubungan dengan orang yang lain?” atau pertanyaan “Kemungkinan terburuk apa yang akan saya dapatkan jika saya tetap berhubungan dengan orang ini?”.
Semakin menarik kemungkinan yang lain di luar hubungan tersebut maka ketidakstabilan dalam hubungan kita akan semakin besar. Dalam hal ini terkesan teori pertukaran sosial ini lebih mirip dengan kalkulasi ekonomis tentang untungrugi, memang. Banyak pihak yang menyebutkan teori ini sebagai theory of economic behavior. Tidak seperti comparison level, comparison level of alternatives tidak mengukur tentang kepuasan. Konsep ini tidak menjelaskan mengapa banyak orang yang tetap bertahan dalam suatu hubungan dengan orang yang sering menyiksa dirinya, sering menyakiti.
Menurut teori ini, kunci dari suatu hubungan yang akan tetap terbina adalah sejauh mana suatu hubungan itu memberikan keuntungan, sejuah mana hubungan tersebut mampu menghasilkan kepuasan, sejauh mana hubungan tersebut tetap stabil, dan tidak adanya kemungkinan yang lain yang lebih menarik daripada hubungan yang sedang mereka jalani tersebut. Teori ini sendiri tidak terlepas dari sejumlah kritikan. Ada kritikan yang menyatakan bahwa seringkali cepat-lambatnya suatu hubungan tidak bersifat sengaja atau mampu diprediksikan sebelumnya. Ada kalanya ketika kita dengan terpaksa harus cepat mengakrabkan diri dengan seseorang tertentu, dan kita tidak memiliki pilihan yang lain. Teori tersebut tidak mampu menjelaskan soal ini.
Universitas Sumatera Utara
59
Teori
ini
juga
tidak
mengungkapkan
persoalan
gender
dalam
penjelasannya. Padahal perbedaan gender akan sangat berpengaruh kepada persoalan keterbukaan-diri dalam relasi interpersonal. Bahkan penelitian selanjutnya dari Altman dan Taylor mengungkapkan bahwa males are less open than females. Altman dan Taylor juga hampir secara konsisten menggunakan perspektif untung-rugi dalam menilai atau mengukur suatu relasi interpersonal. Pertanyaannya yang pertama muncul adalah sejauh mana kita akan konsisten dalam menilai yang mana yang merupakan keuntungan dan yang mana yang merupakan kerugian bagi diri kita dalam hubungan tersebut? Dan pertanyaan yang kedua adalah sejauh mana kita akan terus bersifat egois dalam suatu hubungan dengan orang lain? Kita juga sering merasa bahwa dalam suatu hubungan interpersonal bahwa segalanya tidak melulu tentang diri kita, tentang apa keuntungan yang kita dapatkan dalam hubungan tersebut. Bahkan kita seringkali merasa senang bahwa teman kita mendapatkan suatu keuntungan atau kabar yang menggembirakan. Walaupun hal itu bukan terjadi pada diri kita, ternyata kita juga mampu untuk turut berbahagia. Hal ini juga tidak mampu dijelaskan dalam teori tersebut (Griffin, 2003: 139-141).
Universitas Sumatera Utara
60
2.5. Teori Identitas Diri Identitas diri adalah susunan gambaran diri sebagai seseorang. Teori- teori yang berfokus pada pada pelaku komunikasi akan selalu membawa identitas diri ke sejumlah tingkatan, tetapi identitas berada dalam lingkup budaya yang luas dan manusia berbeda dalam menguraikan diri. Misalnya di Afrika, identitas sering kali dipahami sebagai sebuah hasil dari pencarian keseimbangan dalam hidup dan sebagian bergantung pada kekuatan yang didapatkan manusia dari leluhur mereka. Di Asia, identitas sering kali didapatkan bukan melalui usaha perorangan, tetapi melalui kelompok dan timbal balik antar manusia. Dalam budaya Yunani, identitas dipahami sebagai sesuatu yang bersifat pribadi dan seseorang melihat diri bertentangan atau berbeda dengan identitas lain (Little Jhon, 2011: 130). Michael Hecht (dalam Little Jhon, 2011: 131) teori komunikasi tentang identitas tergabunglah ketiga konteks budaya yaitu individu, komunal dan publik. Menurut Michael Hect identitas merupakan penghubung utama antara individu dan masyarakat merupakan mata rantai yang memperbolehkan huungan ini terjadi. Identitas adalah “kode” yang mendefinisikan seseorang dalam komunitas yang beragam, yang terdiri dari simbol-simbol seperti bentuk pakaian dan kepemilikan, kata-kata seperti deskripsi diri atau benda yang biasanya dikatakan, dan makna antara diri dan orang lain hubungkan terhadap benda-benda tersebut. Hecht memperkenalkan dimensi-dimensi identitas khusus, termasuk perasaan (dimensi afektif), pemikiran (dimensi kognitif), tindakan (dimensi perilaku) dan transenden (spiritual). Karena cakupannya yang luar biasa identitas adalah sumber bagi motivasi dan ekspetasi dalam kehidupan serta memiliki kekuatan yang tetap yaitu abadi. Hal ini tidak berarti bahwa identitas, sesudah dibuat, tidak pernah berubah. Ketika ada substansi dari identitas yang stabil, identitas tidak pernah diperbaiki, tetapi selalu berkembang.
Identitas diri baik dalam pandangan diri sendiri maupun orang lain, dibentuk ketika diri secara sosial berinteraksi dengan orang lain dalam kehidupan. Hal ini akan mendapatkan pandangan serta reaksi orang lain dalam interaksi sosial dan sebaliknya, memperlihatkan rasa identitas dengan cara mengekspresikan diri dan merespon orang lain. Subjective dimension akan identitas merupakan perasaan diri pribadi, sedangkan ascribed dimension adalah apa yang orang lain katakan tentang diri kita (LittleJhon, 2011:131).
Universitas Sumatera Utara
61
Hecht menguraikan identitas melebihi pengertian sederhana akan dimensi diri dan dimensi yang digambarkan. Kedua dimensi tersebut berinteraksi dalam rangkaian empat lapisan (LittleJhon, 2011: 132): 1. Personel Layer Tingkatan pertama yang terdiri dari rasa akan keberadaan diri dalam situasi sosial, dalam situasi tertentu melihat diri dalam kondisi-kondisi tertentu. Identitas tersebut terdiri dari berbagai perasaan serta ide tentang diri sendiri, siapa dan seperti apa diri sebenarnya. 2. Enactment layer Tingkatan kedua dalam pengetahuan orang lain tentang diri anda berdasarkan pada apa yang dilakukan, apa yang dimiliki dan bagaimana anda bertindak. Penampilan diri adalah simbol-simbol aspek yang lebih mendalam tentang identitas diri serta orang lain akan mendefinisikan dan memahami kita melalui penampilan tersebut. 3. Relational Tingkatan diri dalam kaitannya dengan individu lain. Identitas dibentuk dalam interaksi kita dengan orang lain. Kita dapat melihat dengan sangat jelas identitas hubungan ketika kita merujuk diri secara spesifik sebagai mitra hubungan, seperti ayah, suami istri, rekan kerja. Perhatikan bahwa identitas kita menjadi terikat kepada peran tertentu yang berhadap-hadapan dengan peran lain. Oleh karena itu, pada tingkatan hubungan, identitas sangat tidak invidualis, tetapi terikat pada hubungan itu sendiri. 4. Communal Identitas adalah tingkatan yang diikat pada kelompok atau budaya yang lebih besar. Tingkat identitas ini sangat kuat dalam banyak budaya. Misalnya di Asia ketika identitas seseorang dibentuk terutama oleh komunitas yang lebih besar daripada oleh perbedaan individu di antara manusia dalam komunikasi.
Universitas Sumatera Utara
62
2.5.1. Pengelolahan Identitas Pengelolahan identitas (dalam Little Jhon, 2011: 294) dikembangkan oleh Tadasu Todd Imahori dan William R.Cupach menunjukkan bagaimana identitas terbentuk, terjaga dan berubah dalam hubungan. Dengan adanya orang-orang yang penting dalam kehidupan, maka akan terus memberikan jawaban yang dapat diterima secara umum untuk pertanyaan, “Siapakah kita dan apa sifat hubungan kita?”
Ketika membentuk identitas sebuah hubungan, perbedaan budaya sebenarnya terlihat jelas dan mereka akan menemukan diri mereka terlibat dalam komunikasi interkultural ketika mereka mempertimbangkan aspek-aspek budaya dari hubungan. Dalam suatu hubungan, hal ini bisa terjadi ketika pasangan harus melewati perbedaan budaya yang menonjol. Di lain waktu, ketentuan budaya tertentu akan mengambil alih mengharuskan adanya komunikasi interkultural, yang terjadi ketika identitas budaya yang umumnya mulai menonjol. Pada kesempatan lain, suatu hubungan juga memerlukan komunikasi interpersonal untuk terlibat dalam masing-masing tiga tipe komunikasi yaitu dengan keluarga, teman dan rekan kerja. Menyebutkan identitas yang kita inginkan secara metafora dengan rupa serta usaha yang kita lakukan untuk membentuk hubungan bagaimana rupa kita dengan orang lain yang disebut karya rupa. Identitas atau rupa yang diinginkan seseorang dapat didukung atau diancam dan dalam pembicaraan mengenai identitas hubungan, kita saling mengharapkan, walaupun sebagian besar orang berusaha meyakinkan untuk mendukung rupa orang lain dengan menerima dan menyetujui identitas yang mereka harapkan untuk diri mereka dan saling memberi jumlah otonomi dan kebebasan tertentu tanpa adanya campur tangan.
Universitas Sumatera Utara
63
Ada tiga tahapan dalam pengelolahan identitas yaitu (dalam Little Jhon, 2011: 295-296) : 1. Percobaan Dalam tahap ini mencoba untuk menghindari non-dukungan dan kebekuan, sementara tetap berusaha mengatur tekanan dalam dialektis diri orang lain dan rupa positif dan negatif. Tahap ini juga mempertaruhkan ancaman muka sebagai bagian alami dari pencarian keseimbangan yang diperlukan jika ingin memiliki hubungan. 2. Kecocokan Sebuah identitas hubungan tertentu dengan bentuk fitur-fitur budaya secara umum, akan muncul. Di sini dalam hubungan seseorang akan menemuka tingkat kenyamanan dalam diri, berbagai aturan dan simbol serta mengembangkan pemahaman umum tentang yang satu dengan yang lain tentang hubungan itu sendiri. Dengan kata lain, mereka memiliki kebutuhan yang lebih kecil untuk komunikasi interkultural, tetapi menggunakan interaksi interkultural. 3. Tahap Negosiasi Ulang Dalam tahap ini hubungan mulai melewati berbagai macam masalah identitas ketika masalah tersebut muncul dengan menggunakan sejarah hubungan yang telah dikembangkan. Memiliki identitas yang kuat pada titik ini dan mereka mampu menggunakan pada tingkatan yang lebih tinggi dari waktu-waktu sebelumnya. Dengan kata lain perbedaan diharapkan untuk dilihat sebagai aspek positif dalam hubungan.
2.6. Teori Disonansi Kognitif Teori disonansi kognitif diperkenalkan oleh Leon Festinger pada tahun 1957 dan berkembang pesat sebagai sebuah pendekatan dalam memahami area umum dalam komunikasi dan pengaruh sosial. Terdapat beberapa teori yang menjelaskan
konsistensi
atau
keseimbangan
diantaranya
adalah
teori
ketidakseimbangan kognitif (cognitive inbalance) oleh Heiden (1946), teori Asimetri (Asymmetry) oleh Newcomb (1953), dan teori ketidaksetaraan (Incongruence) oleh Osgood dan Tunnembaun (1952). Teori ini menjadi salah satu penjelasan yang paling luas yang diterima terhadap perubahan tingkah laku dan banyak perilaku sosial lainnya.
Universitas Sumatera Utara
64
Teori ini telah digeneralisir pada lebih dari seribu penelitian dan mempunyai kemungkinan menjadi bagian yang terintegrasi dari teori psikologi sosial untuk bertahun-tahun. Teori ini banyak mendapat perhatian dari para ahli psikologi sosial. Ahli psikologi sosial umumnya berpendapat bahwa manusia pada dasarnya bersifat konsisten dan orang akan berbuat sesuatu sesuai dengan sikapnya, sedangkan berbagai tindakannya juga akan bersesuaian satu dengan lainnya. Ada kecenderungan pada manusia untuk tidak mengambil sikap-sikap bertentangan satu sama lain dan kecenderungan untuk menghindari tindakan yang tidak sesuai dengan sikapnya. Teori disonansi kognitif dari Festinger tidak jauh berbeda dari teori-teori konsistensi kognitif lainnya, namun ada dua perbedaan yang penting (Sarwono, 2009: 122):
1. Tujuan teori ini tentang tingkah laku umum, tidak khusus tentang tingkah laku sosial. 2. Pengaruhnya terhadap penelitian-penelitian psikologi sosial jauh lebih menyolok daripada teori-teori konsistensi lainnya.
Festinger berpendapat bahwa disonansi kognitif berarti ketidaksesuaian antara kognisi dengan perilaku yang terjadi pada diri seseorang. Orang yang mengalami
disonansi
akan berupaya
mencari dalih untuk
mengurangi
disonansinya ini (Effendy, 2000: 262). Wibowo (dalam Sarwono, 2009: 97) mendefinisikan disonansi sebagai keadaan tidak nyaman akibat adanya ketidaksesuaian antara dua sikap atau lebih serta antara sikap dan tingkah laku.
Universitas Sumatera Utara
65
Untuk menjelaskan teorinya ini Festinger mengatakan bahwa apa yang dimaksud dengan unsur kognitif adalah setiap pengetahuan, opini atau apa yang dipercayai seseorang mengenai diri sendiri atau mengenai perilakunya. Elemenelemen kognitif ini berhubungan dengan hal-hal nyata atau pengalaman seharihari di lingkungan dan hal-hal yang terdapat dalam psikologis seseorang. Unsur kognitif atau kognisi-kognisi ini umumnya dapat hadir secara damai (konsisten) tapi kadang-kadang terjadi konflik di antara mereka (inkonsistensi). Sewaktu terjadi konflik di antara kognisi-kognisi terjadilah disonansi. Jika seseorang mempunyai informasi atau opini yang tidak menuju ke arah menjadi perilaku, maka informasi atau opini itu akan menimbulkan disonansi dengan perilaku. Apabila disonansi tersebut terjadi, maka orang akan berupaya menguranginya dengan jalan mengubah perilaku, kepercayaan atau opininya (Effendy, 2000: 262). Pentingnya disonansi kognitif bagi peneliti komunikasi ditunjukkan dalam pernyataan Festinger bahwa ketidaknyamanan yang disebabkan oleh disonansi akan mendorong terjadinya perubahan. Teori ini menyatakan bahwa agar dapat menjadi persuasif, strategi-strategi komunikasi harus berfokus pada inkonsistensi sambil menawarkan perilaku baru yang memperlihatkan konsistensi atau keseimbangan. Selanjutnya disonansi kognitif dapat memotivasi perilaku komunikasi saat orang melakukan persuasi kepada orang lainnya dan saat orang berjuang untuk mengurangi disonansi kognitifnya.
Universitas Sumatera Utara
66
Roger Brown mengatakan, dasar dari teori ini mengikuti sebuah prinsip yang cukup sederhana ”Keadaan disonansi kognitif dikatakan sebagai keadaam ketidaknyaman psikologis atau ketegangan yang memotivasi usaha-usaha untuk mencapai konsonansi”. Disonansi adalah sebutan ketidakseimbangan dan konsonansi adalah sebutan untuk keseimbangan. Brown menyatakan teori ini memungkinkan dua elemen untuk melihat tiga hubungan yang berbeda satu sama lain. Mungkin saja konsonan (consonant), disonansi (dissonant) atau tidak relevan (irrelevant) (Turner, 2009: 138).
Teori ini memungkinkan adanya dua elemen (Sarwono, 2009: 122) untuk memiliki tiga hubungan yang berbeda satu sama lain, yaitu:
1) Hubungan tidak relevan, yaitu tidak adanya kaitan antara dua elemen kognitif dan tidak saling mempengaruhi. 2) Hubungan yang relevan, yaitu hubungan dua elemen kognitif yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Ada dua hubungan yang relevan yaitu: a) Disonan, yaitu jika terjadi penyangkalan dari satu elemen yang diikuti oleh atau mengikuti suatu elemen yang lain. Misalnya: seseorang yang mengetahui bahwa bila terkena hujan akan basah mengalami disonan ketika pada satu hari ia ternyata mendapati dirinya tidak basah saat terkena hujan. b) Konsonan, terjadi jika dua elemen bersifat relevan dan tidak disonan, dimana diikuti elemen yang selaras. Misalnya: seseorang yang mengetahui bahwa bila terkena hujan akan basah dan memang selalu basah bila terkena hujan. Beberapa preposisi mengenai disonansi dapat dikemukakan: pertama, bila seseorang mengalami disonansi, ini merupakan hambatan dalam kehidupan psikologisnya dan ini akan mendoromg individu untuk mengurangi disonansinya untuk mencapai konsonan. Kedua, individu akan menghindari meningkatkan disonansinya (Walgito, 2003: 120).
Universitas Sumatera Utara
67
2.6.1. Proses Disonansi Kognitif ` Ketika teoretikus disonansi berusaha untuk melakukan prediksi seberapa banyak ketidaknyaman atau disonansi yang dialami seseorang, mereka mengakui adanya konsep tingkat disonansi. Tingkat disonansi (magnitude of dissonance) merujuk kepada jumlah kuantitatif disonansi yang dialami oleh seseorang. Tingkat disonansi akan menentukan tindakan yang akan diambil seseorang dan kognisi yang mungkin digunakan untuk mengurangi disonansi (Turner, 2009: 140). Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi tingkat disonansi yang dirasakan seseorang, antara lain: 1. Kepentingan atau seberapa signifikan suatu masalah, berpengaruh terhadap tingkat disonansi yang dirasakan. Semakin penting unsur kognitif yang terlibat dalam disonansi bagi seseorang semakin besar pula disonansi yang terjadi. Disonansi dan konsonansi dapat melibatkan banyak unsur kognitif sekaligus. Jadi, besarnya disonansi tergantung pula pada penting dan relevansi unsur-unsur yang disonan dan yang konsonan. 2. Rasio disonansi atau jumlah kognisi disonan berbanding dengan jumlah kognisi yang konsonan. 3. Rasionalitas yang digunakan individu untuk menjustifikasi inkonsistensi. Faktor ini merujuk pada alasan yang dikemukan untuk menjelaskan mengapa sebuah inkonsistensi muncul. Makin banyak alasan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi kesenjangan yang ada, maka semakin sedikit disonansi yang seseorang rasakan.
Tingkatan disonansi yang maksimum adalah sama dengan jumlah daya tolak dari elemen yang paling lemah. Jika disonansi maksimum tercapai, maka elemen yang paling lemah akan berubah dan disonansi akan berkurang. Tentu saja ada kemungkinan bahwa perubahan elemen yang lemah itu akan menambah disonansi pada hubungan-hubungan yang lain dalam kumpulan elemen-elemen kognitif yang bersangkutan. Dalam hal ini maka perubahan pada elemen yang lemah tersebut tidak jadi terlaksana (Turner, 2011: 137).
Universitas Sumatera Utara
68
Menurut Festinger disonansi dapat terjadi dari beberapa sumber (Sarwono, 2009: 123-124), yaitu: 1. Inkonsistensi logis, yaitu logika berpikir yang mengingkari logika berpikir lain. 2. Norma dan tata budaya, yaitu bahwa kognisi yang dimiliki seseorang di suatu budaya yang kemungkinan berbeda dengan budaya lain. 3. Opini umum, yaitu disonansi mungkin muncul karena sebuah pendapat yang berbeda dengan yang menjadi pendapat umum. 4. Pengalaman masa lalu, yaitu disonansi akan muncul bila sebuah kognisi tidak konsisten dengan pengalaman masa lalunya.
2.6.2. Konsekuensi-Konsekuensi Disonansi
Pengurangan disonansi dapat dilakukan melalui 3 kemungkinan, yaitu: 1) Mengubah elemen tingkah laku. Misalnya: seseorang yang akan piknik di luar ruangan, akan tetapi ternyata hujan, ia memilih untuk melakukan pekerjaan di dalam rumah.
2) Mengubah elemen kognitif lingkungan. Misalnya: seorang perokok berat yang mempercayai bahwa merokok tidak mengganggu kesehatan dan mengetahui orang lain berpendapat berbeda, berusaha mempengaruhi orang lain yang berbeda pendapat tersebut untuk mendukung pendapatnya.
3) Menambah elemen kognitif baru. Misalnya: seorang perokok berat seperti diatas, meyakinkan dirinya sendiri bahwa merokok masih lebih baik daripada mengkonsumsi alkohol atau narkoba yang jauh lebih merusak kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
69
Ketiga cara itulah yang pada akhirnya akan mengubah sikap seseorang ke arah yang lebih sesuai dengan yang dikehendaki oleh subyek. Kondisi ini terjadi hanya bila kondisi awal memang disonan. Untuk mengubah sikap pada orang yang sudah stabil (konsonan), maka langkah awalnya adalah membuat kondisi menjadi disonan terlebih dahulu (Faturochman, 2006: 49).
2.6.3. Penghindaran Disonansi
Adanya disonansi selalu menimbulkan dorongan untuk menghindari disonansi tersebut. Dalam hubungan ini caranya adalah dengan menambah informasi baru yang diharapkan dapat menambah dukungan terhadap pendapat orang yang bersangkutan atau menambah perbendaharaan elemen kognitif dalam diri orang yang bersangkutan. Penambahan elemen baru ini harus sangat selektif, yaitu hanya mencarinya pada orang-orang yang diperkirakan dapat memberi dukungan dan menghindari orang-orang yang mempunyai pandangan berbeda.
Ketika seseorang menggunakan strategi untuk mengubah kognisinya dan mengurangi perasaan disonansinya, prose-proses perseptual akan berlangsung. Secara spesifik, teori disonansi kognitif berkaitan dengan proses pemilihan terpaan (selective exposure), pemilihan perhatian (selective attention), pemilihan interpretasi (selective interpretation), dan pemilihan retensi (selective retention) karena teori ini memprediksi bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi. Proses perseptual ini merupakan dasar dari penghindaran disonansi yaitu (dalam Faturochman, 2006: 50-51):
Universitas Sumatera Utara
70
1) Terpaan Selektif (Selective Exposure) Mencari informasi yang konsisten yang belum ada, membantu untuk mengurangi disonansi. Disonansi kognitif memprediksikan bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi dan mencari informasi yang konsisten dengan sikap dan prilaku mereka. 2) Pemilihan Perhatian (Selective Attention) Merujuk pada melihat informasi secara konsisten begitu konsisten itu ada. Orang memperhatikan informasi dalam lingkungannya yang sesuai dengan sikap dan keyakinannya sementara tidak menghiraukan informasi yang tidak konsisten. 3) Interpretasi Selektif (Selective Interpretation) Melibatkan penginterpretasian informasi yang ambigu sehingga menjadi konsisten. Dengan menggunakan interpretasi selektif, kebanyakan orang menginterpretasikan sikap teman dekatnya sesuai dengan sikap mereka sendiri daripada yang sebenarnya terjadi. 4) Retensi Selektif (Selective Retention) Merujuk pada mengingat dan mempelajari informasi yang konsisten dengan kemampuannya yang lebih besar dibandingkan yang kita akan lakukan terhadap informasi yang konsisten dengan kemampuan yang lebih besar dibandingkan yang kita lakukan terhadap informasi yang tidak konsisten.
2.7. Teori Interaksi Simbolik Interaksi simbolik merupakan perspektif teoritis Amerika yang nyata dikembangkan oleh para ilmuwan psikologi sosial di Universitas Chicago Geoge Herbert Mead, yang berakar pada filsafat pragmatis. Ini merupakan perspektif yang luas daripada teori yang spesifik dan berpendapatan bahwa komunikasi antar manusia terjadi melalui pertukaran lambang-lambang beserta maknanya. Perilaku manusia dapat dimengerti dengan mempelajari bagaimana para individu memberikan makna informasi simbolik yang mereka pertukarkan dengan pihak lain. Interaksionisme simbolik berdasarkan pada pemikiran bahwa para individu bertindak terhadap objek atas dasar pada makna yang dimiliki objek itu bagi
Universitas Sumatera Utara
71
mereka, makna ini berasal dari interaksi sosial dengan seseorang teman dan makna ini dimodifikasi melalui proses penafsiran (Budyatna, 2011: 192). Barbara Ballis Lal meringkaskan dasar-dasar pemikiran interaksi simolik (dalam Littlejohn, 2011: 231): 1) Manusia membuat keputusan dan bertindak sesuai dengan pemahaman subjektif mereka terhadap situasi ketika mereka menemukan diri mereka. 2) Kehidupan sosial terdiri dari proses-proses interaksi daripada susunan, sehingga terus berubah 3) Manusia memahami pengalaman meraka melalui makna-makna yang ditemukan dalam simbol-simbol dari kelompok utama mereka dan bahasa merupakan bagian penting dalam kehidupan sosial. 4) Dunia terbentuk dari objek-objek sosial yang memiliki nama dan makna yang ditentukan secara sosial. 5) Tindakan manusia didasarkan pada penafsiran mereka, di mana objek dan tindakan yang berhubungan dalam situasi yang dipertimbangkan dan diartikan. 6) Diri seseorang merupakan sebuah objek yang signifikan dan layaknya semua objek sosial, dikenalkan melalui interaksi sosial dengan orang lain.
Ada tiga konsep utama dalam teori Mead yaitu masyarakat, diri sendiri dan pikiran. Kategori ini merupakan aspek-aspek yang berbeda dari proses umum yang sama disebut tindak sosial, yang merupakan sebuah kesatuan tingkah laku yang tidak dapat dianalisis ke dalam bagian-bagian tertentu. Sebuah tindakan dapat saja singkat dan sederhana, seperti mencoba sepatu atau dapat saja panjang dan rumit, seperti pemenuhan rencana kehidupan. Tindakan saling berhubungan dan dibangun seumur hidup. Tindakan dimulai dengan sebuah dorongan, repetisi mental, pertimbangan alternatif dan penyempurnaan (Littlejohn, 2011: 232).
Interaksionisme simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi. Interaksionisme simbolik (IS) adalah nama yang diberikan kepada salah satu teori tindakan yang paling terkenal. Melalui interaksionisme simboliklah pernyataan-pernyataan seperti “definisi situasi”,
Universitas Sumatera Utara
72
“realitas di mata pemiliknya”, dan “jika orang mendefinisikan situasi itu nyata, maka nyatalah situasi itu dalam konsekuensinya”, menjadi paling relevan. Meski agak berlebihan, nama IS itu jelas menunjukkan jenis-jenis aktifitas manusia yang unsur-unsurnya memandang penting untuk memusatkan perhatian dalam rangka memahami kehidupan sosial (Jones, 2002: 142). Interaksi simbolik, menurut Herbert Mead Blumer, merujuk pada “karakter interaksi khusus yang berlangsung antar manusia.”. Oleh karenanya, interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain. Dalam konteks itu, menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi di mana dan ke arah mana tindakannya.
Teori interaksionisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya “proses mental” atau proses berpikir bagi manusia sebelum mereka bertindak. Tindakan manusia itu sama sekali bukan stimulus – respon, melainkan stimulus – proses, berpikir – respons. Jadi, terdapat variabel antara atau variabel yang menjembatani antara stimulus dengan respon, yaitu proses mental atau proses berpikir, yang tidak lain adalah interpretasi. Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa arti/makna muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda tumbuh dari cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut.
Universitas Sumatera Utara
73
Teori interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi
yang
merupakan kegiatan sosial dinamis sosial manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Teori ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Dalam pandangan perspektif ini, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakan aturanaturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakan kehidupan kelompok.
Menurut teoritisi perspektif ini, kehidupan sosial adalah “interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol.” Penganut interaksionisme simbolik berpandangan, perilaku manusia adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori struktural.
Universitas Sumatera Utara
74
2.7.1. Prinsip-Prinsip Dasar Interaksionalisme Simbolik Tidak mudah menggolongkan pemikiran ke dalam teori dalam artian umum karena seperti dikatakan Paul Rock, pemikiran ini “sengaja dibangun secara samar” dan merupakan “resistensi terhadap sistemasisasi”. Ada beberapa perbedaan signifikan dalam interaksionalisme simbolik. Menurut Dauglas Goodman yang mengutip dari beberapa tokoh interaksionalisme simbolik Blumer, Meltzer, Rose, dan Snow telah mencoba menghitung jumlah prinsip dasar teori ini, yang meliputi (Ritzer, 2004: 68): 1. Manusia tidak seperti binatang, manusia dibekali kemampuan untuk berpikir. 2. Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial. 3. Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir mereka yang khusus itu. 4. Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus dan berinteraksi. 5. Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi. 6. Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan, sebagian karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif mereka, dan kemudian memilih satu di antara serangkaian peluang tindakan itu. 7. Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat.
Pikiran menurut interaksionisme simbolik, sebenarnya berhubungan dengan setiap aspek lain termasuk sosialisasi, arti, simbol, diri, interaksi dan juga masyarakat. Manusia yang hanya memiliki kapasitas umum untuk berfikir, kapasitas ini harus dibentuk dan diperluas dalam proses interaksi sosial. Pandangan ini menyebabkan teoritisi interaksionisme simbolik memusatkan perhatian pada bentuk khusus interaksi sosial yakni, sosialisasi dan bagi teoritisi simbolik adalah proses yang lebih dinamis yang memungkinkan manusia mengembangkan kemampuan untuk berfikir, untuk mengembangkan cara hidup manusia tersendiri. Sedangkan interaksi adalah proses dimana kemampuan
Universitas Sumatera Utara
75
berfikir
dikembangkan
dan
diperlihatkan.
Blummer
(mengikuti
Mead)
membedakan dua bentuk interaksi yang relevan dikemukakan di sini, pertama: interaksi nonsimbolik, percakapan atau gerak isyarat menurut Mead tidak melibatkan pemikiran. Kedua: interaksi simbolik memerlukan proses mental. Karya Erving Goffman, karya terpenting tentang diri dalam interaksionisme simbolik adalah Presentation of self in everyday life oleh Evring Goffman, konsep Goffman sangat dipengaruhi oleh pemikiran Mead, khususnya dalam diskusinya mengenai ketegangan antara diri spontan, “I” dan “me” diri yang di atasi oleh kehidupan sosial. Ketegangan ini tercermin dalam pemikiran Goffman tentang apa yang disebutnya” ketaksesuaian antara diri manusiawi kita dan diri kita sebagai hasil proses sosialisasi. Goffman memusatkan perhatian pada pelaksanaan audiensi sosial dengan diri sendiri ini. Dalam hal ini Goffman membangun konsep Dramartugi atau pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukan drama, seperti yang ditampilkan di atas pentas.
2.8. Teori Dramaturgi
Kehidupan sosial manusia dalam berinteraksi di mana saja, kapan saja, selalu menampilkan dirinya sebagai pemain teater yang setiap saat penampilannya dapat berubah-ubah bergantung pada konteksnya. Hal itu terjadi pada kehidupan kita, siapa pun kita, dan dalam kondisi apa pun, kita selalu berinteraksi dalam simbol-simbol. Mungkin tanpa kita sadari, itu semua terjadi dalam setiap “adegan”, pada sebuah “sandiwara” kehidupan. Dalam pendekatan terhadap
Universitas Sumatera Utara
76
interaksi simbolik, Goffman (sebagaimana dikatakan Mulyana, 2005: 84) sering dianggap sebagai “penafsir teori diri” dari Mead dengan menekankan sifat simbolik interaksi manusia, pertukaran makna di antara orang-orang melalui simbol. Varian lain dari teori interaksi simbolik selain yang dimunculkan George Herbert Mead adalah teori dramaturgis yang dipelopori Erving Goffman. Dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Goffman membagi kondisi sebagai bagian depan (front) dan bagian belakang (back). Front mencakup setting, personal front (penampilan diri), dan expressive equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri). Adapun bagian belakang adalah the self, yaitu semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan acting atau penampilan diri yang ada pada front. Goffman menggambarkan peranan orang-orang yang berinteraksi dan berhubungan dengan realitas sosial yang dihadapinya melalui panggung sandiwara dengan menggunakan skrip (jalan cerita) yang telah ditentukan. Menurut Erving Gofffman, di dalam situasi sosial, seluruh aktivitas dari partisipan tertentu adalah suatu penampilan (performance), sedangkan orang lain yang terlibat dalam situasi sosial disebut sebagai pengamat atau partisipan lainnya (Supardan, 2007:158). Goffman memahami diri bukan sebagai milik aktor namun sebagai produk interaksi dramatis antara aktor dengan audien. Karena diri adalah produk interaksi dramatis, ia rentan mengalami disrupsi selama pertunjukan. Dramaturgi Goffman berkenaan dengan proses pencegahan dan penanggulangan gangguan-gangguan semacam itu. Meskipun himpunan besar diskusinya berfokus pada kontingensikontingensi dramaturgis, Goffman menunjukkan bahwa sebagian besar sandiwara
Universitas Sumatera Utara
77
berhasil. Hasilnya ialah bahwa di dalam suasana sehari-hari, diri yang kukuh selaras dengan para pemain sandiwara, dan ia “tampak” berasal dari sang pemain sandiwara.
Goffman menerima bahwa ketika para individu berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu pengertian diri tertentu yang akan diterima oleh orang lain. Akan tetapi, bahkan selagi mereka menyajikan diri itu, para aktor sadar bahwa para anggota audiens dapat mengganggu sandiwara mereka. Oleh karena alasanalasan itu, para aktor menyesuaikan diri dengan kebutuhan untuk mengendalikan audiens khususnya unsur-unsurnya yang dapat menimbulkan kekacauan. Para aktor berharap bahwa pengertian diri yang mereka sajikan kepada audiens akan cukup kuat bagi audiens untuk mendefinisikan para aktor seperti yang diinginkan para aktor itu. Para aktor juga berharap bahwa hal itu akan menyebabkan audiens bertindak dengan sengaja seperti yang diinginkan para aktor. Goffman mencirikan perhatian sentral tersebut sebagai “manajemen kesan”. Hal itu meliputi teknikteknik yang digunakan para aktor untuk memelihara kesan-kesan tertentu dalam menghadapi masalah-masalah yang mungkin mereka jumpai dan metode-metode yang mereka gunakan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, mengikuti analogi teatrikal demikian, Goffman berbicara tentang (dalam Ritzer, 2012: 637):
1.
Panggung Depan (Front Stage) Bagian depan adalah bagian dari sandiwara yang secara umum berfungsi dengan cara-cara yang agak baku dan umum untuk mendefinisikan situasi bagi orang-orang yang mengamati sandiwara itu. Dengan kata lain panggung depan adalah bagian penampilan individu yang secara teratur berfungsi sebagai cara untuk tampil di depan umum sebagai sosok yang ideal.
Universitas Sumatera Utara
78
Di dalam panggung depan, Goffman membedakan lebih lanjut bagian depan-latar (setting front) dan bagan depan-pribadi (personal). Latar mengacu kepada tempat atau situasi (scane) fisik yang biasanya harus ada jika para aktor hendak bersandiwara. Tanpa itu para aktor biasanya tidak dapat melakukan sandiwara. Contohnya, seorang ahli bedah pada umumnya memerlukan suatu ruang operasi, seorang supir taksi memerlukan taksi, dan pemain ski es memerlukan es. Bagian depan-pribadi terdiri dari item-item perlengkapan ekspresif yang diidentifikasi audiens dengan para pemain sandiwara dan mengharapkan mereka membawa hal-hal itu kedalam latar. Sebagai contoh, seorang ahli bedah diharapkan berpakaian jubah medis, mempunyai peralatanperalatan tertentu, dan seterusnya. Goffman kemudian memecah-mecah bagian depan pribadi menjadi penampilan dan sikap. Penampilan meliputi item-item yang menceritakan kepada kita status sosial pemain sandiwara itu, misalnya jubah medis sang ahli bedah. Sikap menceritakan kepada audiens jenis peran yang diharapkan dimainkan pemain sandiwara di dalam situasi itu, contohnya penggunaan kebiasaan fisik, dan kelakuan. Goffman mendekati bagian depan dan aspek-aspek lain sistemnya sebagai seorang interaksionis simbolik, dia benar-benar mendiskusikan karakter strukturalnya. Contohnya, dia beargumen bahwa bagian depan cenderung menjadi terlembaga, dan begitu juga “representasi kolektif” muncul di sekitar apa yang sedang berlangsung di dalam suatu bagian depan tertentu. Sering kali ketika para aktor mengambil peran-peran yang sudah mapan, mereka menemukan bagian depan tertentu sudah mapan untuk sandiwara demikian. Hasilnya, Goffman berargumen, ialah bagian depan itu cenderung diseleksi, bukan diciptakan. Ide tersebut menyampaikan gambaran struktural yang lebih banyak daripada yang akan kita terima dari sebagian besar interaksionis simbolik. Pandangan Goffman yang paling menarik terletak pada ranah interaksi. Dia beragumen bahwa karena orang pada umumnya berusaha menyajikan suatu gambaran diri yang diidealkan di dalam sandiwara mereka di panggung bagian depan mau tidak mau mereka merasa bahwa mereka harus menyembunyikan berbagai hal di dalam sandiwara mereka. Pertama, para aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenanngan-kesenangan rahasia turut serta sebelum sandiwara dilakukan atau di kehidupan masa silam. Kedua, para aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan-kesalahan yang telah mereka buat di dalam persiapan sandiwara dan juga langkah-langkah yang telah diambil untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan itu. Ketiga, para aktor mungkin merasa perlu menunjukkan produk-produk akhir saja dan menyembunyikan proses yang dilalui dalam menghasilkannya. Keempat, mungkin perlu bagi para aktor untuk menyembunyikan dari audiens bahwa “pekerjaan kotor” telah dilakukan di dalam membuat produk-produk akhir. Kelima, dalam memberikan sandiwara tertentu, para aktor mungkin terpaksa membiarkan standar-standar lain melenceng. Aspek lain daramaturgi di panggung depan adalah bahawa para aktor sering berusaha menyampaikan kesan bahwa mereka lebih dekat dengan audiens daripada
Universitas Sumatera Utara
79
sebenarnya. Para aktor berusaha memastikan bahwa semua bagian dari sandiwara bercampur bersama. Teknik lain yang digunakan oleh para pemain sandiwara adalah mistifikasi. Para aktor sering memistifikasi sandiwara mereka dengan membatasi kontak di antara mereka dan audiens. Dengan menghasilkan ‘jarak sosial” di antara diri mereka dan audiens, mereka mencoba menciptakan suatu rasa kagum pada sang audiens. Hal itu, sebaliknya membuat audiens tidak mempertanyakan sandiwara itu.
2. Panggung Belakang (Back Stage) Goffman juga mendiskusikan panggung belakang (back stage) tempat fakta-fakta yang ditindas di panggung bagian depan atau berbagai jenis tindakantindakan informal bisa kelihatan. Suatu panggung belakang biasanya berdekatan dengan panggung depan, tetapi diputus darinya. Para pemain sandiwara dapat berharap dengan cara yang dapat dipercaya tidak ada anggota audiens panggung bagian depannya tampak di panggung bagian belakang. Selanjutnya, mereka melakukan berbagai tipe manajemen kesan untuk memastikan hal itu. Suatu sandiwara kemungkinan besar sulit dilakukan bila para aktor tidak mampu mencegah audiens memasuki panggung bagian belakang. Ada juga bagian ketiga, ranah sisa, bagian luar, yang bukan bagian depan juga bukan bagian belakang. Tidak ada wilayah yang selalu salah satu dari ketiga ranah tersebut. Juga suatu wilayah tertentu dapat menduduki ketiga ranah itu pada waktu-waktu yang berbeda. Contoh kantor profesor adalah panggung depan ketika dikunjungi seorang mahasiswa, panggung bagian belakang ketika sang mahasiswa pergi, dan bagian luar ketika sang profesor berada di pertandingan bola basket universitas. Berbicara mengenai Dramaturgi Erving Goffman, maka kita tidak boleh luput untuk melihat George Herbert Mead dengan konsep the self, yang sangat mempengaruhi teori Goffman. Erving Goffman lahir di Mannville, Alberta, Canada, 11 Juni 1922. Meraih gelar Bachelor of Arts (BA) tahun 1945, gelar Master of Arts (MA) tahun 1949 dan gelar Philosophy Doctor (Ph.D) tahun 1953. Tahun 1958 meraih gelar guru besar, tahun 1970 diangkat menjadi anggota Committee for Study of Incarceration tepat di tahun 1977 ia memperoleh penghargaan Guggenheim. Meninggal pada tahun 1982, setelah sempat menjabat
Universitas Sumatera Utara
80
sebagai presiden dari American Sociological Association dari tahun 1981-1982 (Ritzer, 2005 : 296). Goffman dalam karyanya sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa, karya-karyanya sangat dipengaruhi oleh Mead yang memfokuskan pandangannya pada “the self”. Misalnya, The Presentation of Self in Everyday Life (1955), merupakan pandangan Goffman yang menjelaskan mengenai proses dan makna dari apa yang disebut sebagai interaksi (antarmanusia). Dengan mengambil konsep mengenai kesadaran diri dan “the self” Mead, Goffman kembali memunculkan teori peran sebagai dasar teori dramaturgi. Goffman mengambil pengandaian kehidupan individu sebagai panggung sandiwara, lengkap dengan setting panggung dan akting yang dilakukan oleh individu sebagai aktor kehidupan. Misi utama kaum dramaturgis sebagaimana dikatakan Gronbeck adalah memahami dinamika sosial dan menganjurkan kepada mereka yang berpartisipasi dalam interaksi-interaksi tersebut untuk membuka topeng para pemainnya untuk memperbaiki kinerja mereka.
Bagi Mead, “the self” lebih dari sebuah internalisasi struktur sosial dan budaya. “The self” juga merupakan proses sosial, sebuah proses di mana para pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya, di dalam situasi di mana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu melalui penafsirannya atas hal-hal tersebut. Dalam hal ini, aktor atau pelaku yang melakukan interaksi sosial dengan dirinya sendiri, menurut Mead dilakukan dengan cara mengambil peran orang lain, dan bertindak berdasarkan peran tersebut, lalu memberikan respon atas tindakan-tindakan itu. Konsep interaksi pribadi (self interaction), di mana para pelaku menunjuk diri mereka sendiri berdasarkan pada skema Mead mengenai psikologi sosial. “the self”di sini bersifat aktif dan kreatif, serta tidak ada satupun variabel sosial, budaya, maupun psikologis yang dapat memutuskan tindakan-tindakan “the self” (Wagiyo, 2004: 107).
Universitas Sumatera Utara
81
Mead mendeskripsikan secara tegas bahwa "the self"merupakan makhluk hidup yang dapat melakukan tindakan, dan bukan sesuatu yang pasif yang sematamata hanya menerima dan merespon suatu stimulus belaka. Secara hakiki, pandangan Mead merupakan isu sentral bagi interaksionisme simbolik. Dalam tulisan kami kali ini, tidak bisa begitu saja melepaskan diri dari pengaruh teori interaksi simbolik. Dramaturgi itu sendiri merupakan sumbangan Goffman bagi perluasan teori interaksi simbolik. Mead menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan mengenai “siapa aku” untuk kemudian dikumpulkan dalam bentuk kesadaran diri individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung. Pendapat Mead tentang pikiran adalah bahwa pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara “aku” dengan “yang lain” pada titik ini, konsepsi tentang “aku” itu sendiri merupakan konsepsi orang lain terhadap individu tersebut. Atau dengan kalimat singkat, individu mengambil pandangan orang lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut adalah “dirinya” yang berasal dari “aku.”
Pembahasan Mead tentang ketegangan antara diri yang spontan (“aku” atau “I”) dan kendala-kendala sosial dalam diri (“daku” atau “me”) tampak mengilhami Goffman. Ketegangan antara diri yang spontan dan kendala sosial dalam diri ini (dalam Mulyana, 2005: 87) muncul disebabkan perbedaan antara apa yang orang harapkan dari kita (sebagai “me”) untuk kita lakukan dan apa yang mungkin ingin kita lakukan secara spontan (sebagai “I”). Kita dihadapkan pada tuntutan untuk tidak ragu-ragu melakukan apa yang diharapkan dari kita. Untuk memelihara citra diri yang stabil, orang melakukan pertunjukan (performance) di hadapan khalayak. Sebagai hasil dari minatnya pada pertunjukan inilah, Goffman memusatkan perhatian pada dramaturgis, atau pandangan atas kehidupan sosial sebagai serangkaian pertunjukan drama yang mirip dengan pertunjukan drama di panggung (Polama, 2000: 229).
Universitas Sumatera Utara
82
Pada pandangan Goffman, kesadaran diri adalah hasil adopsi dari ajaranajaran Durkheim. Bagi Goffman, struktur sosial merupakan countless minor synthesis (sintesis-sintesis kecil yang tak terbilang), di mana manusia merupakan atom-atom atau partikel-partikel yang sangat kecil dari sebuah masyarakat yang besar. Ide serta konsep dramaturgi Goffman itu sendiri, menolong kita untuk mengkaji hal hal yang berada di luar perhitungan kita (hal-hal kecil yang tak terbilang tersebut), manakala kita menggunakan semua sumber daya yang ada di bagian depan dan bagian belakang (front and back region) dalam rangka menarik perhatian orang-orang yang di sekeliling kita. Bentuk-bentuk interaksi, komunikasi tatap muka, dan pengembangan konsep-konsep sosiologi, merupakan sumbangan Goffman bagi interaksionis simbolik bahkan Goffman juga mempengaruhi tokoh-tokoh di luar interaksionis simbolik. Walaupun pada karya terakhirnya, Goffman terfokus pada gerakan-gerakan yang mengarah pada bentukbentuk strukturalisme masyarakat.
2.8.1 Manajemen Kesan
Manajemen kesan secara umum diorientasikan untuk menjaga serangkaian tindakan yang tidak diharapkan, seperti gerak isyarat yang tidak diinginkan, gangguan yang tidak menguntungkan, dan kecerobohan, dan juga tindakantindakan yang diinginkan seperti membuat onar. Goffman tertarik pada berbagai metode menangani masalah-masalah tersebut yaitu (Ritzer, 2012: 639-642) :
Universitas Sumatera Utara
83
1. Ada sekumpulan metode yang mencakup tindakan-tindakan yang bertujuan menghasilkan kesetiaan dramaturgis dengan, misalnya menumbuhkembangkan kesetiaan
yang tinggi
dalam kelompok, yang mencegah anggota tim
mengidentifikasi sang audiens dan mengubah audiens secara periodik sehingga mereka tidak dapat terlalu kenal dengan para pemain sandiwara
2.
Goffman menyarankan berbagai bentuk disiplin dramaturgis, seperti
memusatkan pikiran untuk menghindari salah ucap, menjaga pengendalian diri, dan mengatur ungkapan raut wajah dan novel sandiwara seseorang.
3. Mengenali berbagai tipe sifat hati-hati dramaturgis, seperti menentukan terlebih dahulu bagaimana suatu pementasan harus berjalan, merencanakan keadaan darurat, menyeleksi kawan seregu yang setia, menyeleksi para pendengar yang baik, melibatkan diri di dalam tim-tim kecil yang kurang mungkin dirundung perselisihan, hanya membuat penampilan-penampilan singkat, mencegah audiens mengakses informasi pribadi, dan memutuskan berdasarkan agenda yang komplet untuk mencegah kejadian-kejadian yang tidak teramalkan.
2.8.2 Jarak Peran Jarak peran adalah suatu fungsi dari status sosial seseorang. Orang berstatus tinggi sering mewujudkan jarak peran karena alasan-alasan yang lain dari orang yang berada di posisi status rendah (Ritzer, 2012: 643).
Universitas Sumatera Utara
84
2.8.3 Stigma
Dalam teori Dramatugi menjelaskan bahwa identitas manusia itu tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Goffman membuat kategori tentang stigma, yaitu orang yang direndahkan (stigma diskredit) dan orang yang dapat direndahkan (discreditable stigma). Orang yang direndahkan adalah orang yang memiliki kekurangan yang dapat dipanjangkan dengan kasat mata, misalnya seperti orang cacat fisik dan orang buta. Sedangkan orang yang dapat direndahkan adalah orang yang memiliki aib yang tidak dapat di lihat secara langsung, misalnya seperti orang yang suka sesama jenis (Ritzer, 2012: 644).
2.9. Punk
Sejarah
punk
berawal
dari
merupakan
sub-budaya
yang
lahir
di London, Inggris. Pada awalnya, kelompok punk selalu dikacaukan oleh golongan skinhead.
Namun,
sejak
tahun 1980-an,
saat
punk
merajalela
di Amerika, golongan punk dan skinhead seolah-olah menyatu, karena mempunyai semangat yang sama. Namun, punk juga dapat berarti jenis musik atau genre yang lahir di awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik. Gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja ini dengan segera merambah Amerika yang
Universitas Sumatera Utara
85
mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu oleh kemerosotan moral oleh para tokoh politik yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun kadang-kadang kasar, bit yang cepat dan menghentak. Banyak yang menyalahartikan punk sebagai glue sniffer dan perusuh karena di Inggris pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra punk karena banyak dari mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai tindak kriminal. Punk selanjutnya berkembang sebagai buah kekecewaan musisi rock kelas bawah terhadap industri musik yang saat itu didominasi musisi rock mapan, seperti The Beatles, Rolling Stone dan Elvis Presley. Musisi punk tidak memainkan nada-nada rock teknik tinggi atau lagu cinta yang menyayat hati. Sebaliknya, lagu-lagu punk lebih mirip teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia. Lirik lagu-lagu punk menceritakan rasa frustrasi, kemarahan dan kejenuhan berkompromi dengan hukum jalanan, pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran serta represi aparat, pemerintah dan figur penguasa terhadap rakyat Akibatnya punk dicap sebagai musik rock and roll aliran kiri, sehingga sering tidak mendapat kesempatan untuk tampil di acara televisi. Perusahaan-perusahaan rekaman pun enggan mengorbitkan mereka. Namun lebih tepatnya seorang punk itu mempunyai perilaku yang berbeda. Mereka hanya sebuah aliran, jadi jiwa dan kepribadiannya akan kembali pada individu masing-masing.
Universitas Sumatera Utara
86
Dick Hebdige (2002: 147), memandang punk adalah sebuah subkultur yang menghadapi dua bentuk perubahan yaitu: 1. Bentuk komoditas, dalam hal ini segala atribut maupun aksesoris yang dipakai oleh komunitas punk telah dimanfaatkan industri sebagai barang dagangan yang didistribusikan kepada konsumen untuk mendapatkan keuntungan. Dulu aksesoris dan atribut yang hanya dipakai oleh anak punk sebagai simbol identitas, namun kini sudah banyak dan mudah kita jumpai di toko yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat umum. 2. Bentuk ideologis, komunitas punk mempunyai ideologi yang mencakup pada aspek sosial dan politik. Ideologi mereka dahulu sering dikaitkan dengan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak punk. Ada beberapa perilaku menyimpang itu telah didokumentasikan dalam media massa, sehingga membuat identitas punk menjadi buruk dipandang sebagai seorang yang bahaya dan berandalan. Namun walaupun begitu, nilai-nilai dan eksistensi punk masih dipertahankan sampai sekarang. Dalam artikel
”Philosophy of
Punk”, Craig
O’Hara (1999:
31)
menyebutkan tiga pengertian Punk. Punk sebagai trend remaja dalam fashion dan musik.
Punk
sebagai
pemula
yang
punya
keberanian
memberontak,
memperjuangkan kebebasan dan melakukan perubahan. Punk sebagai bentuk perlawanan yang “hebat”, karena menciptakan musik, gaya hidup, komunitas dan kebudayaan sendiri. Banyak faktor mengapa seseorang ikut dalam sebuah komunitas punk. Antara lain karena mereka mempunyai sebuah tujuan dan ideologi yang sama. Sehingga mereka mudah menerima sebuah golongan yang dianggap sebagai sesuatu yang sama, yaitu tujuan yang ingin dicapai. Ada juga yang tertarik dari motto komunitas punk, yaitu Equality atau persamaan hak. Aliran Punk lahir karena adanya persamaan terhadap jenis aliran musik Punk dan adanya gejala perasaan yang tidak puas dalam diri masing-masing. Sehingga mereka mengubah gaya hidup dengan gaya hidup Punk.
Universitas Sumatera Utara
87
2.10. Kerangka Berpikir Anak punk selalu dianggap sebagai komunitas yang dianggap sebelah mata, yang pekerjaannya hanya mengamen di persimpangan jalan, membaret mobil dan mabuk-mabukan. Seriring dengan perkembangan zaman ada sebagian anak punk memilih untuk bekerja di kantoran di mana hal itu tidak sesuai dengan ideologi mereka yaitu membenci sistem pemerintahan dan menyukai kebebasan. Dalam komunitas ada komunikasi antarpribadi di mana hal ini dapat mengungkapkan identitas diri masing-masing individu di dalamnya. Ada pun kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Komunikasi Antar Pribadi Anak Punk yang Bekerja Dikantoran
Identitas Diri Teori : - Penetrasi sosial - Teori identitas diri - Disonansi kognitif - Interaksi simbolik - Teori Dramaturgi
Gaya hidup Ideologi Fashion Musik
Faktor yang mendorong bekerja Pengembangan hubungan antar pribadi
Universitas Sumatera Utara